Anda di halaman 1dari 83

Untuk yang kusayangi: Saudara kandungku lain ayah lain ibu Felicia Hughes-Freeland

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PURNAMA SEMBILAN HARI

Leen Willaeys ngomong dengan rembulan Di pantai kenangan, Bintang-bintang berjatuhan

Bintang-bintang menjelma ikan-ikan kecil Berbaris rapi, Keluar dari mimpi masuk ke masa silam Meninggalkan bayang-bayang

Butir-butir pasir bermekaran menjelma Mawar-mawar kecil, Bertebaran dan diterbangkan angin

Entah ke benua mana Gairah jiwa, Mengabur bersama nyanyian

Kemesraan sekadar nama Dan satu kata, Melebihi ungkapan kehanyutan semesta

Menghabiskan malam Meletakkan rahasia di kuku jemari Angin, Cahaya menari melingkari batas kejemuan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MEMBACA SENJA

Seutas tali cahaya menjulur dari langit Mengancam leherku sejak waktu melingkar Kehidupan, Antara tidur dan jaga tiada berjarak

Andai masa depan dan masa lalu Dapat saling bertukar tempat Musim berhenti beredar Kefanaan membeku

Suasana hilang tanpa jejak Keheningan menggaris

Dari tiada menuju tak tiada Senantiasa kemestian habis

Duka meniupkan kegamangan ke tepian Meski diri, Kian renta dan sunyi melepaskan raga Kelam membatas tenang, rindu pertama

Puisi : Sri Harjanto Sahid

MENCARI SARANG REMBULAN

Kuarungi sepuluh ribu lautan Pulang ke kerajaan kenangan Menaiki puncak-puncak badai Dan jiwa terasa fana

Nyeri pun menyatakan diri Kukawinkan dendam dan harapan Heran, Tuhan tak habis dihitung

Segala kejadian terasa remaja Tak ada yang lebih mengesan Kecuali, Membaca kehidupan semakin senja

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PERBURUAN

Aku tidak tidur sepanjang abad Hanya terbaring di jantung kalbu Tanpa henti kuucap rahasia langit

Tetapi hanya bias-bias cahaya biru Dan kutemui pula kemuraman jagat Waktu mengasuh segala peristiwa beku

Puisi : Sri Harjanto Sahid

BARA DALAM KABUT

Lonceng berdentang sampai ke mimpi Bayangan hilang ketemu kembali Tersergap kelam, Di langit tak tertulis puisi

Merpati hitam terbang terbakar sayapnya Melintas-lintas di garis batas fatamorgana

Kalaulah tangan menampar sepi Kenangan pulang biar abadi Di tiap musim, Tubuh hamil oleh misteri

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PENAT

Kembang plastik menyimpan rahasia di putiknya Daun-daun waktu berontokan di atas meja Terbakar napas, Sia-sia di lorong diri memeras makna

Cahaya luruh dari pusat lampu Terhampar, Memantul menerangi luka kalbu

Antara tidur dan jaga hanyalah lupa Di mana kini harus merumahkan jiwa Di mana-mana, Hewan ajaib berkeliaran mencari mangsa

Puisi: Sri Harjanto Sahid

UNDANGAN

Maut menunggu di balik pintu Kuhayati, Jarum jam membisu!

Selamat datang masa silam yang berdebu Silakan masuk tak usah lepas sepatu

Kurasakan waktu pelan membeku Diam-diam, Suara asing menyeru!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

KESENJANGAN

Kulewatkan waktu dengan tiduran semata Berlintaskan kenangan, Di pucuk pagi kudiamkan saja

Kupandangi sunyi menuliskan nama Dengan cahaya, Angin menyanyi amat sederhana

Jari-jari suasana berubah seketika Pelan-pelan, Menjadi bunga di atas meja

Tak ada yang mau berangkat Di sudut kamar, Hari Minggu tidur melepas penat

Kubiarkan kesangsian menyamar Keinginan terkapar Suara asing menderu di kalbu Masa lalu berdiri kelu di pintu

Puisi : Sri Harjanto Sahid

MENATAP MATAKU SENDIRI

Kuletakkan sukmaku di atas sekuntum bunga Menatap air telaga yang tenang Dan anak-anak angsa bernyanyi Di tepi pagi

Ada suara-suara memanggil Entah dari mana Barangkali dari mulutku sendiri

Di sini napas keheningan berpusar Awan dan ular tidur bersama Di kasur tua di dasar telaga

Ikan-ikan bader berbaris rapi Diam-diam saja Barangkali sekadar menuju ke surga

Di saat kehilangan menyapa Apa pun yang terlupa terasa punya makna Menyimpan hari-hari di genggaman Berlinangan segala tanya Di tepi diri

Puisi : Sri Harjanto Sahid

IRAMA KESUNYIAN

Perahu jiwaku melaju perlahan Menempuh samudera keheningan Menuju ke ujung waktu

Di mana-mana kubuat tanda Kulepas senantiasa mimpi dunia

Perahu jiwaku menempuh samudera Keheningan melaju perlahan Ke ujung waktu

Puisi: Sri Harjanto Sahid

KENANGAN

Kuda Terbang melintas di langit kalbu Dunia hilang, Berlabuh kesenyapan dan rindu

Burung hitam bersarang di lorong waktu Mata terpejam, Terbayang sukma menggeleng ragu

Puisi: Sri Harjanto Sahid

KONTEMPLASI

Bayangan kelam muncul dari masa silam Menaburkan luka-luka membunga Hantu kecil bersenandung lirih Mendesahkan kepedihan semesta

Apakah yang tak dikhianati zaman? Apakah yang tiada sebelum memakna?

Hanya belantara waktu yang terbakar! Menghabiskan debaran kalimat cinta!

Keindahan meremukkan kesederhanaan Tak perlu diperbincangkan; Nurani, derita, dan segala kegalauan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

POTRET YANG HILANG

Leen Willaeys merintih lirih Di tepi pagi, Angin biru mengibarkan rambutnya Begitu saja tanpa makna

Cakrawala membersih Mengapungkan impian

Cakrawala memutih Merangkum keluasan

Di antara segala yang hilang Mendekatlah, Hanya sesuatu yang sederhana Akan membuat bahagia

Puisi: Sri Harjanto Sahid

BINGKAI MIMPI

Berlepasan mimpi-mimpi remaja Di kebun bunga, Kelam dan dingin menyergap tiba-tiba

Terdengar detik arloji Pedih menyayat hati

Dan selembar daun Melayang di kegelapan

Kehampaan terurai Di dalam diri duka mengalun Terpupuslah kenangan lama

Puisi: Sri Harjanto Sahid

GELOMBANG RINDU

Angin pun berhenti Mencari sarang, Pada gema sunyi berpulang

Ada yang lepas terurai Menyisir tepian pantai

Antara kelu dan dendam Bersama menjaring malam

Tatkala sunyi berkaca Di wajah lautan, Burung hantu mematuk bulan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

ALBUM KOSONG

Bagai angin yang menderu Kesunyianku, Bergelombang di lautan kalbu

Terlampau dekat Meski tak terpeluk

Kekecewaan merambat Meski tak berbentuk

Tidak ada apa Kecuali luka

Bagaimanakah bisa tergapai Yang telah pergi, Dalam mimpi pun tiada tercari

Puisi : Sri Harjanto Sahid

MELEPAS KENANGAN

Bayanganmu terkurung di dalam gelas Kukenali segala yang asing Jemu bermahkota

Sendu terangkai Angin remaja

Kutatap kenangan putih Seruling berbunyi lirih

Nestapa meraba kening Di tepi,

Ke mana menidurkan diri Cuaca gulita Duka cinta menyenggama

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PERJAMUAN

Menatap diri sendiri Detik pecah membatu Kekasih berlinang

Kecemasan membeku Membekas tanda

Bayangan berlalu Melepas nama

Waktu mekar bagai mawar Dan, Tuhan tersaji di meja

Puisi: Sri Harjanto Sahid

SELINTAS SUNYI

Kukenali keramahan Maut, Bertemu di setiap sisi

Terakit Harapan

Atau kelenyapan Mewujudkan diri

Pada yang tak tercapai sudah Terenggut, Lelap yang membasah

Kemudian berlinangan ketakcukupanku Tenggelam, Merakit hari-hari lalu membiru

Puisi: Sri Harjanto Sahid

BAYANGAN MEMBATU

Berada di batas kejemuan Menggigil, Terguyur kabut dan angin lalu

Tak ada tempat bagi jiwa Yang penat, Di keremangan kenangan membatu

Tidurlah bunga-bunga Di pangkuan luka-luka

Bergandengan detik dan usia Selepas senja, Menyiramkan kata-kata

Hanya yang bernama cinta Merahasiakan, Jejak dan bayangannya

Puisi: Sri Harjanto Sahid

KESENDIRIAN

Hanya kabut dan angin Bersiut, Di udara dingin

Mawar semerah darah Merekah, Mengekalkan gairah

Surya bertapa di balik candi Berguguran sejumlah mimpi Selebihnya tak ada yang menyapa

Barangkali segala yang telah abadi Sekadar segala yang tidak pasti

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PENYEMPURNAAN

Daun-daun melepas Mimpi, Di tepi pagi

Angin bergerak perlahan Membuka jendela hati

Sesudah makna tergenggam Dan tersimpan di saku

Bunga-bunga jatuh Sepi, Dan sekadar sepi

Puisi: Sri Harjanto Sahid

LUPA DAN LUKA

Sesaat sebelum kesunyian berangkat Cahaya putih menulis semua nama Di balik dinding: dilingkari rahasia!

Di mana waktu mendarat Hari-hari menghilang

Kenangan meleleh Darah! Darah!

Selesai sudah Yang termulai

Dan kesetiaan yang nyaris terluka Mendidihkan seribu mimpi di cakrawala Kalau saja, Kegelapan membeningkan yang telah putus Kebisuan menyebut yang dilupakan cinta

Puisi: Sri Harjanto Sahid

KABAR

Sunyi menjerit Melepas raga Siapa menabur duka?

Puisi : Sri Harjanto Sahid

RUANG BELAJAR

Matamu adalah ruang yang nyaman Aku ingin berdiam di situ Belajar, Membaca buku-buku

Puisi: Sri Harjanto Sahid

KEKASIH

Di sudut ruang matamu Kulihat Tuhan Tersenyum kepadaku

Puisi : Sri Harjanto Sahid

PERISTIWA SEDERHANA

Ada bunga Merah jambu Mekar, Di relung kalbu

Puisi : Sri Harjanto Sahid

NYANYIAN ANGIN

Bulan jelita betapa bening Selembar daun melayang Ditiup angin, Siapa tersedu di balik dinding?

Puisi : Sri Harjanto Sahid

MENCARI DUNIA HILANG

Bersama kabut : Sebuah suara ! Kurakit sejumlah kebimbangan Teka-teki tanpa makna Ke mana kita ?

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PULANG

Ke sebuah negeri yang hilang Burung hitam kembali pulang O, kekasih yang berkhianat Seandainya hidup ini cuma mimpi Tak usahlah berangkat tidur

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MIMPI KETIGA BELAS

Aku bermimpi dikejar-kejar hantu Kekasihku, Ayolah masuk ke dalam mimpiku Tolong, kau usir hantu nakal itu

Puisi: Sri Harjanto Sahid

DI TAPLAK MEJA

Demikian malam mengandung Angin menukar kabar Di taplak meja, Beribu puisi meregang nyawa

Puisi : Sri Harjanto Sahid

DONGENG 1000 MALAM

Sebuah bulan Menangis tersedu Di sudut dasar kolam Dimakan ikan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MEDITASI

Kalbuku terbuka Menjadi kelopak bunga Rembulan bertahta!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PERJALANAN TAK SELESAI

Yang belum dilunaskan abad-abad lampau Dalam hening kehidupan menggilas hari Kita baca di sini dalam diam Tanda dan makna cinta Atau maut melintas Kekasih! Sekalipun semua janji sia-sia Tetap menerang keindahannya

Seandainya terus kupeluk kematianmu yang membunga Tiadakah selesai jalan panjang dari pertanyaan ini?

Puisi: Sri Harjanto Sahid

TAK KUSENTUH LAGI DUNIAMU

Tanpa kejelasan apa pun yang cukup memadai Dalam waktu panjang teramat panjang Aku berusaha menemukan setiap luka Yang putih membunga

Dan tak sesuatu pun bisa didapat Di tengah gelombang kesunyian mahafana Hanya garis kecil biru menggores pelupuk mata Hilang! Hilanglah hilang semua dalam rinduku Sekadar pelarian atau apa pun namanya Kalau diperlukan biarlah hadir begitu saja Tidak semua hal bisa tak diratapi Sangat jauh, Meski selintas sajapun mungkin tersentuh

Keabadian pastilah terlampau luas Dengan apa kini kujangkau duniamu Yang sudah sukar dibayangkan Seandainya hari ini dapat ditukar hari kemarin Tidak kuperbolehkan waktu berjalan ke depan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

TAK KULEPAS DUNIA KEMARIN

Sedangkan menanti di tepi kesunyian aku tak mampu Apalagi memetik bencana demi bencana bersamamu Rasanya tak layak diselesaikan di pengasingan Hanyalah luka biru dan maut yang kelu Berserah pada kebimbangan Atau masa lalu membatu Di mana tempatmu kini? Telah kulupakan kenyerian yang tak dapat hilang Kenangan bukan lagi sesuatu yang perlu disimpan Ayolah manis, Pergi!

Sekadar melerai penipuan-penipuan panjang Penjelasan apa pun tetaplah menggelapkan Keheningan sedemikian menakutkan hatiku

Tak mungkin cair impian Dan segala yang mengungkapkan perjalanan kemarin Atau sebaiknya barangkali dibiarkan begitu saja Sampai batas-batas menghilangkan dirinya sendiri Sebab kepercayaan apa pun Hanya kesangsian Yang tersembunyi Kalau saja kemungkinan terbaik adalah mati Semestinya tak kupilih suatu cara!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

BUKAN SEKADAR KEABADIAN

Misalkan sunyi tidak memekakkan telingamu Cari bulan sepotong dan benamkan dalam gelas Apa yang terkubur selain cinta yang hilang Kutengok diriku dalam dirimu Wajah terluka diam membeku Dekaplah aku, manis! Meski dunia tertawa kelu Keabadian bukan apa-apa lagi Dan kemungkinan yang mulai menderu Melepas semua tanda di seluruh duniaku

Puisi: Sri Harjanto Sahid

ISYARAT YANG MEMUDAR

Berulang kali kujelaskan dengan isyarat kelu Jarak dan waktu menghapus segala kenangan Apa yang berarti menjadi pudar mengabstrak Lalu kita menggigil diam saling memandang Berseberangan; disergap keheningan!! Di dua kutub berbeda didera cahaya kelam

Puisi: Sri Harjanto Sahid

HILANG DALAM SUNYI

Matamu seperti bintang pagi Hening, Memancarkan seribu nyeri

Ada yang hilang Ada yang hilang Di kelopak mawar bermahkota sunyi Ada yang hilang, hilang, hilang

Serigala raksasa menjilati jejakmu Dunia kosong, Tak terjumpai yang lama dicari

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MENGHITUNG RENJANA

Gadis kecil berwajah rembulan Tidur di kekosongan hatiku Kesedihan, Menyelimuti tubuhnya Yang perlahan membatu

Ribuan bunga bertebaran Berjatuhan dari langit kenangan

Jutaan mimpi sembunyi Lebur, Hilang di kehampaan

Gadis kecil berwajah rembulan Tidur di kekosongan hatiku Kesedihan, Menyelimuti tubuhnya Yang perlahan membatu

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MENGUBUR WAKTU

Namamu bukan senja Sedikit senyum, Mengisyaratkan marabahaya

Tertulis indah di kartu nama Bukan senja, bukan senja Barangkali antara tidur dan jaga Bisa cukup jelas terbaca

Rindu pada aroma tubuhmu Membuyarkan, Keserasian seluruh semesta jiwaku Kupahami mimpi di mana bertemu Bukan senja yang mengubur waktu

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PERJALANAN KEHILANGAN

Seperti kilat menggaris langit Merpati megan terbang melesat Menempuh sejarah masa laluku

Dunia mekar Bagai mawar Dilingkari naga raksasa

Semua yang tidak sempat tercatat Tidak dilupa meski dibalut kecewa Melelehkan kenangan demi kenangan Terkubur sunyi, terkubur sunyi Sesuatu yang tidak pernah abadi

Puisi: Sri Harjanto Sahid

BIANGLALA MEMUDAR

Bidadari melintasi samudera kesunyian Noktah kenangan luruh Air mata jatuh Di dataran kepedihan

Luka dunia menganga Di pusat pesona, Ditidurkan beribu tanya

Ke mana diri? Serasa mati?

Melayang bagai daun melayang Terkapar dan jiwa pun terkapar

Di kenyerian ingatan Cahaya dan kata Menggenapkan, Apa pun yang dikhianati semesta Serta duka dan duka dan duka

Puisi: Sri Harjanto Sahid

POTRET BURAM

Dalam gelap mengambang di mata Bidadari kecil bersayap patah Menyapa tanpa kata Dan suara

Malam melenyap Gulana meraga

Tutur kata menggelisah Merobek tabir rindu

Senyum hanyalah kepalsuan Yang mengemas kesedihan

Alangkah santun Getir membayang

Kerisauan mengalir dalam gumam Memisau kekosongan makna terpendam Mestikah memeluk segala kesenjangan? Atau mimpi yang tak terurai? Kehilangan arti diri!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

ROMANSA

Kenapa kau simpan badai di saku bajumu? Kenapa kau tidurkan naga di pelupuk matamu? Kenapa kau biarkan sukmamu terserang flu?

Cahaya mengepung tubuhmu Kehidupan merestui

Keanggunan memancar Langit menaburkan mimpi

Candra pesona menebar Meski hatimu luka memar

Kenapa kau simpan naga di saku bajumu? Kenapa kau tidurkan badai di pelupuk matamu? Bidadari yang terserang flu, kenapa?

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PESONA MATA TERPEJAM

Mata yang menyimpan hutan belantara Mata yang mengandung pesona pelangi Mata bidadari kecil putus asa Mata yang dibalut gelap bianglala Meneteskan beribu mutiara Di keheningan jiwa

Puisi: Sri Harjanto Sahid

TIDURLAH DI KESUNYIAN

Bidadari yang dikoyak-moyak serigala Merahasiakan jejak dan bayangan Membalut luka dengan kesunyian

Tidurlah di mata pengembara lelah Lupakan bintang Tidurlah!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

LURUH DALAM HENING

Badai menggeliat di kedalaman kalbu Raksasa hitam mengamuk sepanjang jalan darah Semua kenangan terasa pahit Durhaka dan menggarami luka Di mana kesedihan bermuara?

Ketulusan meranggas Kesucian robek Harapan remuk dan remuk dan remuk Tak berbentuk dan betapa terkutuk

Pisau mengiris kerongkongan Sukma menjerit di kekosongan Terpana dan terpesona

Luruh, meniada, hening menggelora Kepedihan membatukan kilatan cahaya Betapa rindu meraga lalu melenyap Hampa menerkam lalu mencengkeram Selesailah; Yang Tak Bernama!!!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

AMARAH

Menari sempoyongan dimabukkan kemarahan Menghantami langit dan meludahi bulan Air mata menetes membasahi sekujur kaki Menginjak-injak rindu, kelu membatu

Nyeri mengalir Dari hari ke minggu

Tiada terbagi Gulita membakar api

Menjulurkan lidah menjilati mimpi Mencakar sepi, Ke manakah dukacita ditidurkan?

Jalanan dipenuhi genangan nanah Pikiran digelapkan kilatan cahaya darah Kalaupun nista disempurnakan oleh kata Senyuman melahirkan kutuk pengkhianatan Waktu pun melerai pudarnya kemungkinan Hari menjadi hara, lalu bukan siapa

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MENJARING MAKNA

Tidaklah cukup meski jalan hidup bertautan Yang terucap lenyap dikubur keremangan senja Angan-angan mengalir menghanyutkan kata Dusta menyuburkan punahnya harapan Kekasih, jangan menabur janji!

Muntahkan anjing hitam dalam mulut Bukan cakrawala menurunkan kutuk

Mengristalkan mimpi sekadar keisengan Kesia-siaan terenggut sejak permulaan

Menjaring makna dalam hubungan gelap Mengkhianati diri sendiri, Melukai sejarah. Masa depan sejarah!

Tidaklah cukup memandang dan bergenggaman Napas mendesahkan berjuta-juta kebohongan Membiarkan jiwa dimabukkan keheningan Ayolah merumuskan kebusukan, Kebersihan diri memutiarakan alpa dan cinta!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PURBASANGKA

Sukma pun meranggas dinodai prasangka Keinginan terlelap di kaki cakrawala Menuli dan membuta, Mencari jejak darah di dunia hilang

Putus tali cahaya Cermin retak, Wajah luka-luka

Menginjak hati sendiri Melupakan harga diri

Kenapa sumpah-serapah dikukuhi? Cinta mengubur diri di kesunyian? Nestapa menanti lalu berlari pergi?

Telah kukuh keyakinan di puncak kehancuran Duka menggunung merobek langit kelam Keabadian sekadar soal remeh-temeh Alangkah hina menabung kepalsuan Rindu mencemari indahnya keputus-asaan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

BERTUKAR DUSTA

Langit jiwa menumpahkan hujan air mata Candra pesona meredupkan 1000 tanda tanya Hanguslah mimpi yang terukir di jalan raya

Saling bercermin di mata. Merias dusta Saling bertukar napas. Alangkah lupa Di mana kesadaran? Melenyap ke bulan Di mana birahi? Meringkuk di saku Terasing di kegelapan kurungan diri sendiri Derita semesta menggeletarkan intuisi Kabur dan tersungkur. Letih. Letih Berkelana di padang ketidaktahuan Menggenapkan semua ketidaksempurnaan

Andai tak jumpa pasti lebih bahagia Tidur mati tak direcoki bayangan Terbatuk-batuk memangku 1000 kenangan Bukan asmara namanya, Kalau tak menghadiahi berjuta penderitaan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PANGGUNG DUNIA

Menyerahkan diri dilelapkan dusta Nikmat nian anggur bernama lupa Lalu terlentanglah sukma Di padang cahaya hampa

Risau adalah anugerah Melenturkan intuisi Rahmat Sang Mahadewi

Ilham berjatuhan Gumpalan kekalutan

Tapi hidup terasa sedemikian pahit Menjangkau surga tersentuh neraka Sandiwara menjadi panggung dunia

Makhluk bertubuh api berkeliaran dalam diri Membakar hutan, bangunan dan angkasa Lalu melelehlah bianglala Fatamorgana terkubur usia senja Sukma teler oleh influenza

Puisi: Sri Harjanto Sahid

SEKADAR KASMARAN

Bukan puisi yang terucap dari hati Tapi kutuk, khianat dan pengingkaran Berapa harga keindahan?

Permusuhan dipelihara bagai benalu Kelu dibungakan dianakpinakkan Apa nilai persahabatan?

Membangun mimpi besar Membunuh waktu dengan cucuran keringat Mengukur umur dan menakar nasib Di mana asmara diletakkan?

Jalan terbuka menuju puncak menara cahaya Makna mengelopak memancarkan restu semesta Tinggal langkah diayun, diayun, diayun Keindahan, persahabatan, asmara dikristalkan Memanah matahari dan memetik bintang Melunaskan yang digariskan takdir Kenapa prasangka dibirukan?

Puisi: Sri Harjanto Sahid

KESABARAN TAK BERMAKNA

Kesabaran tak melimpahkan berkah Masa lalu selalu mengharu biru Hati yang dingin, Curiga menyelubungi pandangan mata

Ketuklah pintu ketulusan Kenapa tak terbukakan?

Yang pergi biarlah pergi Yang datang dekaplah

Tataplah mata batin sendiri Tiada duka yang mengabadi

Yang menyakiti ditampar sunyi Yang menyayang dipeluk usia

Kembali kepada diri sendiri Waktu nanti tinggal dijalani Menghitung makna luasnya kemungkinan Melafaskan keyakinan, Takdir tersergap di senja ketiadaan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

HANYA ILUSI

Percakapan semu. Membakar waktu. Sia-sia Bertukar napas mengulum kelu. Bangsat! Curiga. Bertatap mata. Pura-pura jatuh cinta Mabuk dusta. Hati meranggas. Gila! Gila!! Sementara senja mulai tertidur di saku celana

Sunyi mendamprat rindu. Sendu. Angin membiru Serangga nyanyi. Mata basah. Berkeluh kesah Dingin. Nyeri. Terasing. Inspirasi keruh. Gema Siapa menjerit dalam gelap? Burung kelaparan? Tidak. Bukan siapa. Barangkali bukan berita Mereguk pengkhianatan menghangatkan luka lama Hidup sekadar ilusi kosong kehilangan makna Lalu lusuh. Mendebu. Percuma. Kata berlalu Biarlah yang abadi yang tidak pernah terjadi

Bertengkar mesra memperebutkan ketiadaan asmara Gerimis melengkapi indahnya kengerian sandiwara Gelap kian merambat. Bergenggam tangan. Merapat Hening. Berontak pada dinding pembatas. Kelu Kemudian selesai mewariskan kebusukan semesta

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MENARUH KENANGAN

Mata tak berbintang. Getir. Sejarah gelap mengambang Nafsu menggeletar. Bianglala hangus. Tubuh mengkarat Omong kosong. Hilang diri dalam senyap. Kenangan membatu Mengaduk impian menisbikan dendam. Intuisi menggelap Pulang ke mana jika rumah dalam jiwa luluh lantak?

Senja mendesir nyeri mengalir Kebisuan merayap. Sempurna! Mulut berdusta dan berdusta

Teka-teki bukan untuk dijawab Prasangka ditidurkan dalam dompet

Rasa malu mati. Riuh kerajaan diri. Dunia pecah Kesadaran terbang ke angkasa bagai burung hantu raksasa Kesedihan menggelombang. Kehilangan mengharu biru Bayangan hampa bermuara di laut ketiadaan tak terduga

Hancurkan saja bukit asmara. Lepaskan kuda jalang Langit mengucurkan kebencian berabad-abad sudah Kesepian hati menjadi bangunan cahaya jernih abadi Lupakan arti bahagia. Bunuh. Lupakan makna derita Sebaiknya hari esok biar tanggal dari gambar peta

Puisi: Sri Harjanto Sahid

NYERI TAK TERBAGI

Belum jelas tapi kesimpulan lahir Rawan benar. Kepercayaan memar Yang diduga melenyap sementara

Gamang. Rindu. Muak. Mengilusi Hari membusuk menggugurkan harapan Badan merenta tiba-tiba

Pintu kemungkinan terkunci rapat Kalimat hancur. Keindahan retak Kemuliaan hanya bayangan hantu Cerita sendu menghangatkan derita

Galau memuisi. Berlepasan suara hati Betapa nyeri tak bakal bisa dibagi

Di lembaran kalbu tercatat nama Mencederai ingatan di kala lupa Hening membadai. Mengekalkan keluh Merajut kesialan, dan keterasingan Yang mewujud melenyapkan tanda

Puisi: Sri Harjanto Sahid

WAKTU MEMBUSUK

Setelah dekat kenapa justru semakin jauh? Misteri belum hilang. Kedirian masih remang Kenapa batas menebal padahal dinding runtuh?

Hasrat kian sembunyi. Harga diri kian mati Yang pergi menolak kembali. Yang pudar membayang Sialan! Sialan!! Waktu membusuk. Sialan! Sialan!! Seumur jagung cuma. Pesona meletakkan mahkota

Kecantikan hanya dagangan. Senyuman hanya jebakan Bermuram durja. Bicara tanpa kata. Wajah terhina Rindu tak berjawab. Lepas. Meniada. Cinta hangus Masa silam menampar. Tak terhitung penyesalan Senja. Angin. Teka-teki. Luka. Senyap. Romansa

Pancaran cahaya ternyata menggelapkan pandangan Kehalusan sikap memalsukan kebengisan penipuan Rahasia dirumahkan di kekelaman tak terduga Hantu galak membangun sarang di pelupuk mata Di mana kebaikan? Borok merata. Di mana muara? Kepercayaan berlebihan meluluhlantakkan keanggunan Pendurhakaan menyempurnakan keindahan disamarkan Lalu hidup menjadi pertunjukan teater bayangan Segalanya bertanggalan melayang bagai daun gugur

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PENIPUAN

Kejalangan terpendam di kedalaman mata rembulan Kebetinaan bagai naga menggelenyari sekujur badan Betapa panjang petualangan kelabu tersembunyi Meratapkan keangkuhan. Meluruh dalam kelam Perahu jiwa terdampar. Disapu gelombang rindu

Kapan layar panggung sandiwara ditutup? Kapan karakter murni ditampakkan? Kapan keterbukaan ditempatkan?

Permainan pilu. Tak menyentuh kalbu Gagap. Melukai batin. Percuma Topeng terpasang salah posisi Mengelabuhi diri sendiri Betapa buntu

Taruh saja kehormatan di lantai dasar Lupakan kemuliaan badak bermahkota duri Hidup memang pahit. Sukar! Menakutkan!!! Ketegangan memperindah pencapaian memalukan Lalu segalanya selesai tanpa kepastian Matahari salah terbit. Hari berjalan mundur Kesederhanaan menghancurkan kemewahan pikiran

Puisi: Sri Harjanto Sahid

SEPI MEMBUNUH PUISI

Anjing kecil melompat-lompat di kekosongan bola mata Tujuh warna pelangi melengkung menghias kening Angin sore menebar misteri. Jiwa mengambang Tenang. Nafsu dipendam. Nyeri. Dendam membeku Mendekap fatamorgana. Ngungun. Duka mendinding batu Cedera masa lalu menggeletari cinta yang menubuh Tapi pemberontakan sia-sia dikelamkan kefanaan Kemudian kegamangan menyelimuti pandangan tentang waktu Semesta membuka layar menyajikan adegan-adegan baru

Barangkali keberuntungan berumah di ketiadaan harapan Kemungkinan digugurkan kesetiaan serta ketakutan Barangkali nasib berputar tidak seperti jarum jam

Amarah melumpuhkan kepekaan dan merusak pintu kesadaran Kesombongan mempersempit jangkauan, mengecilkan keabadian Cakrawala meleleh. Awan berjatuhan. Sukma kelimpungan Cahaya membutakan mata hati. Sepi membunuh puisi Purbasangka? Lelah? Sia-sia? Lapar batin? Sudah? Sekadar bersujud ke bumi tidaklah cukup menyelesaikan Burung hilang tidaklah mustahil kembali pulang ke kandang Debaran misteri kasih sayang memutihkan kesalahan Lalu mati. Lalu mati. Bahagia. Lalu mati. Lalu mati

Puisi: Sri Harjanto Sahid

BERBAGI MIMPI

Mengeja nasib di tepi danau kelengangan Tukar menukar mimpi. Asmara digadaikan Bulan mengintip. Muram. Sukma menggigil Bukan kemewahan teraih tapi semata kesederhanaan Memenuhkan diri demi menyempurnanya kekosongan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

DI TEPI SENJA

Saling berbisik. Jual-beli tanda tanya. Geram Birahi mengalir. Kelam. Meremuklah harapan Hantu jahat bertahta di puncak kepala

Adakah yang lebih indah selain derai air mata? Adakah yang lebih sakit selain hati dijatuhkan?

Puisi: Sri Harjanto Sahid

DINDING

Meski berdekapan betapa jauh jarak terasa Tubuh cuma sarang. Jiwa ialah burung terbang Angkasalah wilayah pencarian. Hampa didapatkan Hilang hati. Renjana. Gelap cahaya. Sempoyongan Memeluk erat apa yang tidak terjangkau Yang tak pernah pergi senantiasa ditangisi Alangkah nista cinta karatan di genggaman

Setiap pagi di meja tersaji batu pengkhianatan Bunga cahaya tampaknya. Kotoran jiwa hakekatnya Betapa tega meludahi keagungan dewa keindahan Merasa merana padahal bermandi kasih sayang

Di mana terima kasih pernah diletakkan? Di mana kekerdilan diri lalu diistirahatkan?

Remuk redam. Tersia. Tidur jaga. Berlenyapan Kepercayaan jatuh. Sungguh naas. Hidup merapuh Masa silam buram disunggi semulia mahkota duri Kemesraan dicampakkan dibuang di lorong keheningan Yang terlukis hanya bayangan mayat biru membusuk Yang dilupa justru pandangan luas di depan mata Mengasihani diri. Lupa mangaca. Meludahi cinta Realita digelapkan demi terangnya mentari kepalsuan Pasti: tak ada baiknya lagi bergandeng tangan

Puisi: Sri Harjanto Sahid

HAMPIR TAMAT

Tak lama lagi sejarah hidup bakal rapat tertutup Tapi pengingkaran budi makin gelap meniada Tapi senja memperpagi hitungan utang piutang Tapi kecewa bukan soal ruginya keraguan Mawar merekah di ketiadaan. Retorika cuma api Apa yang merapuh? Kasih. Di mana kebahagiaan?

Tanda tanya menggunung batu di tepi hari Tapi keluh kesah meredup di padang cahaya Tanpa kecurangan hati di manakah rahasia?

Pesona menabir sempurna. Usia dirampok derita Kegalauan menipu daya. Di kening naga bertahta

Matahari berjalan tanpa mencipta bayangan Cinta diri menidurkan hasrat terpendam Asmara busuk meleleh nanah pengkhianatan

Beribu tahun drama dimainkan tanpa sutradara Peristiwa menghitam kelam bagai bayangan Adakah yang nista? Raga. Apa yang menjadah? Manis nian luka zaman. Kian kelu duka rindu Terkunci intuisi. Misteri pecah. Kata mengambang Andai mabuk puisi mencuci bersih sesat pikiran Rasa haru membangkitkan kematian inspirasi

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MABUK

Yang dikhianati rindu bakal mati pagi hari Hasrat mendidih di ujung kelelapan naluri Pulang kembali ke dunia hilang

Rahasia menjerit membuka kedok Yang dipagut duka pasti hidup sampai senja Segala alpa menerangi kegelapan semesta

Benarkah ranjang terindah adalah pelupuk mata? Tetapi sarang sepi hanyalah di pusat hati Benarkah sakit asmara tak sepedih air mata?

Yang dirundung rindu mengalami pengayaan jiwa Kepedihan meneteskan air mata menjelma mutiara Inspirasi membadai. Kalimat membius bianglala Rebah di puncak gelombang. Birahi di puncak gunung Nyawa menjernih. Semesta penuh. Waktu mencahaya Diri? Perjalanan? Memuisi? Hakekat? Pencapaian? Yang tak terlupa adalah yang tak pernah diingat Penyirnaan diri memahkotai pengutuhan eksistensi Hadir supaya lenyap. Hilang agar kembali Kenapa melahirkan diri cuma untuk sekadar mati? Mendinginkan secangkir mimpi melipat rahasia hati Reguk racun dunia. Ayo! Ayo habiskan saja!!!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

DIALOG

Berbisik hilang kata. Tanpa memantikkan makna Diguyur hujan kebajikan. Tereguk kebimbangan Kenapa bibir dikatupkan padahal jiwa meronta? Bukan kecurigaan yang memperterang cahaya Lupakan kekasih. Simpan di buku. Tutuplah Kebisuan sejenak membeningkan kerisauan Tak ada pendustaan. Tak ada Tak mungkin ada

Mari berbagi lidah Melipat tanda tanya

Restu alam luluh Melebur di raga

Perjumpaan tidaklah kebetulan Takdir tercetak tanpa awal-akhir Saling tatap saling meluk saling tampar Menabung kesangsian. Dan kasih dibelakangkan Waktu robek. Terbakar nama. Jejak menyiapa Yang sederhana mengabadi melalui puisi Tidurkan raksasa api di kedalaman sunyi kalbu Menyatukan visi tak cukup sekadar saling menyinta Nasib tumbuh! Nestapa menubuh! Jarak tumbuh!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PENANTIAN

Wajah terlupa diselimuti kabut sihir semesta Namun senyum jelas membayang di balik cahaya Membiaskan kegetiran. Tangis tertahan. Beruraian Seabad sudah. Teralun lagu bisu. Menghambar Terapung di laut kecemasan. Terlibas ketidakpastian Setan manakah yang meludahi kecantikan rembulan? Tidak tersentuhkah yang terengkuh di dalam dekapan? Berlepasankah mimpi yang terangkum menjadi bebungaan? Lalu bagaimana mengalirkan waktu yang mengristal rindu?

Ketulusan maaf pasti memutihkan segala kesalahan Berdamai dengan masa lalu. Gelombang dendam beku Kapal tanah air kesunyian mengembangkan layar

Berdiri kukuh di pantai hilang menanti bayangan Melupa kepada rumah. Dijerat tali halusinasi Tapi sesal mematahkan sisa keping kenangan Berlindapankah? Raga oleng. Perih? Tak sampai Rintihan kedasih meluruhkan kejalangan batin Suasana menjernih. Risau memisau. Sepi memedih Bingung. Tak segala. Ahh. Mungkin. Tak terkira Berulang kali terjadi selalu tak bisa dimengerti Yang hilang muncul kembali yang muncul hilang lagi Selalu selalu selalu selalu selalu selalu selalu selalu Membangun menara imajinasi! Menyucikan harga mati!!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MEDITASI

Sejenak keluar dari hari. Pergi dari diri sendiri Melupakan hutang budi. Menjauh dari misteri Di mana sembunyi yang tak mungkin tercari? Di mana bangkai Tuhan yang katanya telah mati? Apakah sunyi itu sunyi? Apakah sunyi itu sunyi? Sejenak keluar dari hari. Pergi dari diri sendiri Melupakan hutang budi. Menjauh dari misteri

Puisi: Sri Harjanto Sahid

PERISTIWA TAK TERLUPA

Ayolah saling bertukar ludah Sebentar saja. Tak usah lama-lama Bangsat!! Ada yang ngintip di balik pohon mangga

Puisi: Sri Harjanto Sahid

SEKS DI MEJA MAKAN YANG TIDAK SERIUS

Mengingat persetubuhan yang gagal alangkah malu Kelamin mengacung langit tidak juga tersentuh Tubuh terbanting. Sukma meraung. Tubuh terbanting Kelamin mengacung langit tidak juga tersentuh Mengingat persetubuhan yang gagal alangkah malu

Puisi: Sri Harjanto Sahid

REMBULAN DAN ULAR HITAM

Rembulan melepas gaun telanjang di tempat tidur Betapa jorok paha mengangkang mengundang bintang Ular hitam yang datang. Ular hitam kelam yang datang Menyelusup tanpa permisi. Menyelusup tanpa peduli Apakah Tuhan diam-diam memotret peristiwa ini?

Puisi: Sri Harjanto Sahid

DOA DAN KEAJAIBAN

Terbaring nyenyak semalaman di atas meja makan Mimpi bersetubuh dengan kuntilanak. Ngompol sedikit Seekor ular jantan perkasa terkulai di balik celana Tiba-tiba terbangun lalu berdoa sembari menangis Mohon kepada Tuhan agar semua hutang terbayar Dan Tuhan menjawab dengan meludahkan keajaiban Terima kasih Sang Maha Tinggi: Besok pagi hobi berhutang bisa dimulai lagi!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

TUHAN DAN FILM BIRU

Menyapu otak kotor akibat keseringan nonton film biru Mendadak saja sapu patah. Film biru diputar lagi Tuhan tergelak menyaksikan. Bukan menyaksikan film biru Tapi kelakuan tolol-kocak. Menyedihkan tapi lucu Tuhan memang tak pernah marah melihat segala kebejatan Sebab Dia jugalah asal-usul semua kejadian seperti itu Meski ogah mengakui dan enggan bertanggung jawab

Puisi: Sri Harjanto Sahid

BINATANG JALANG

Membayangkan Paris Hilton telanjang. Berkomplot dengan setan Mau onani agak enggan. Padahal istri tengah memangku bulan Bagaimana kalau sembahyang? Mohon hujan duit seratus ribuan?

Di atas ranjang berserakan majalah-majalah porno Di lantai tergelar indah sajadah rindu sentuhan Pilih Paris Hilton atau Tuhan? Tuhan atau Paris Hilton?

Diancuk!!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MENCARI PENCERAHAN

Setelah orgasme gagal total dilaksanakan Minum kopi bagai minum air comberan Semangat ambruk memeluk dinding penyesalan Di mana Tuhan menyembunyikan kebahagiaan?

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MEMBUNUH WAKTU

Mengasah pisau belati di kamar mandi Kikuk merasa dipergoki oleh Tuhan Gundah mendengar Tuhan tertawa cekikikan Ah, barangkali Tuhan lagi kurang kerjaan!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

MENDADAK INSYAF

Mencari lonte muda di Pasar Kembang Padahal uang tak cukup buat makan Ah, sebaiknya pulang langsung sembahyang Siapa tahu Tuhan jatuh kasihan Dan menggelontorkan uang dari surga Nah, lalu bisa balik lagi pelesiran!

Puisi: Sri Harjanto Sahid

GELETAR LIBIDO

Tuhan mengeluh sakit kepala Obat mencret yang tersedia

Di mana kondom tersimpan? Di almari cuma sarung bantal

Tuhan terkapar dihajar sepi!!

Hak cipta 2012 pada Sri Harjanto Sahid

Anda mungkin juga menyukai