Anda di halaman 1dari 12

Kisah Sukses Boy Hidayat Lubis

Terinspirasi dari praktik kerja di sebuah perusahaan telekomunikasi nasional ketika masih mahasiswa, kini Boy Hidayat Lubis menjadi pengusaha sistem telekomunikasi sukses lewat TelAccess. Apa kuncinya? Ketika keran izin untuk mengembangkan operator telekomunikasi di Tanah Air mulai dibuka Pemerintah Orde Baru pada awal 1990-an, Boy Hidayat Lubis melihatnya sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Saya melihat peluang untuk menyediakan solusi software bagi operator-operator telekomunikasi yang baru berdiri itu sangat besar, kata Boy. Ide untuk mengembangkan bisnis muncul ketika ia sedang melaksanakan tugas kerja praktik di PT Gratika, salah satu anak perusahaan PT Telkom, pada 1993. Ketika itu, Telkom membeli teknologi voice responsedari Australia untuk sistem billing information, yakni sistem untuk mengetahui tagihan telepon rumahsekarang dikenal dengan kode telepon 147. Kala itu, Boy yang masih mahasiswa semester VI Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung menemukan banyak sekali sistem softwareyang seharusnya bisa dikembangkan sendiri di Indonesia. Ia juga melihat aplikasi-aplikasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh operator telekomunikasi di Tanah Air. Saya sendiri bisa mengerjakan software-nya. Gampang kok. Dan, saya pikir itu bisa dijual, ujarnya. Ia pun memancangkan tekad, selesai program kerja praktik akan membuat perusahaan yang membidangi solusi untuk telekomunikasi. Untuk merealisasi niatnya tersebut, pria kelahiran Jakarta, 11 Juni 1970, ini mengajak tiga rekan kuliahnya. Maka, dibentuklah PT Teleakses Solusindo (kini dikenal dengan brandTel-Access) pada 1993. Investasinya hampir tidak ada, karena modal yang dibutuhkan hanyalah skilluntuk mengerjakan software, kata Boy, yang sekarang menjabat sebagai Preskom Tel-Access.

Proyek perdana Tel-Access datang dari Telkom, yaitu pembuatan calling card menggunakan teknologi yang sama, voice response.Di Amerika Serikat, layanan calling cardini sangat populer. Sayangnya, di Indonesia hanya bertahan sebentar. Sebab, muncul teknologi baru, yaitu berupa kartu telepon yang bisa dimasukkan ke dalam telepon umum. Yang membedakan, calling cardtidak perlu dimasukkan ke dalam pesawat telepon. Cukup memasukkan nomor kartunya, setelah itu sistem akan memberi tahu sisa pulsanya berapa atau bisa langsung melakukan dialke nomor tujuan. Calling cardinvestasinya lebih murah karena tidak perlu mesin telepon khusus. Ketika itu, proyek pengembangan calling cardini bernilai US$ 250 ribu atau sekitar Rp 500 juta (kurs saat itu Rp 2.000/US$). Tahun 1994, boleh dibilang booming-nya industri telekomunikasi di Indonesia. Setelah Telkom dan Indosat, berikutnya muncul pemain-pemain baru, seperti Satelindo, Komselindo, Telesera, Ratelindo dan Excelcomindo Pratama (XL). Nah, ketika perusahaan operator seluler mulai bermunculan, salah satu kebutuhan utamanya adalah informasi billing. Peluang ini langsung disambar dengan cepat oleh Boy dan timnya dengan memperkenalkan solusi informasi billing.Yang pasti, ketika perusahaan telekomunikasi berdiri, yang mereka perlukan adalah sistem yang bisa membantu customermenanyakan tagihan, kata pengagum Steve Jobs ini. Logikanya, setelah bertanya soal tagihan, pelanggan pasti butuh media untuk komplain. Jadi, mereka membutuhkan layanan contact center. Para operator tersebut menghubungi Tel-Access kembali untuk memasok sistem contact center. Pasalnya, mereka masih kesulitan mencari tenaga ahli lokal yang bisa mengembangkannya. Bahkan, vendor jaringan telekomunikasi raksasa seperti Lucent dan Nortel belum punya ahli softwareseperti itu di Indonesia. Mereka pun menggunakan Tel-Access untuk implementasi teknologinya. Menurut Boy, untuk layanan contact centerini, nilai kontraknya US$ 100-150 per proyek. Para operator ini ada yang beli kontan, ada juga yang memasukkannya ke dalam operational expenditure, kata Boy. Selain operator telekomunikasi, yang membutuhkan call centerdi antaranya kalangan perbankan, asuransi, dan industri yang punya banyak pelanggan. Saat ini, semua operator telekomunikasi pernah menggunakan layanannya. Begitu juga beberapa bank besar seperti Bank Niaga (sebelum bergabung dengan Lippobank), Bank Muamalat dan Bank Bukopin. Pada prinsipnya semua jenis usaha

membutuhkan contact system. Sebab, sistem ini dirancang untuk mengelola proses bisnis antara pelanggan dan perusahaan, dimulai dengan proses suspecting, prospecting, deal, hingga after sales, Boy menjelaskan. Dari pengalaman tersebut, Tel-Access mulai menguasai teknologinya. Beberapa jenis sistem diimplementasikan untuk mereka, antara lain call center, billing info, voice mail system, conference system calling card system. Yang menjadi kebanggaan, pada saat itu kamilah satu-satunya perusahaan yang mengembangkan sistem itu sendiri di dalam negeri dengan tenaga engineer . Selain bisa menekan biaya produksi, kami juga bisa menyesuaikan sistemnya dengan kebutuhan para klien, ujar Boy bangga. Bahkan, diklaim Boy, Tel-Access merupakan perusahaan pertama yang membuat sistem VoIP (Voice Internet Protocol) di Indonesia, yakni tahun 1998. TelAccess mendapatkan proyek implementasi telepon berbasis Internet yang berbiaya murah itu dari Telkom. Sayangnya, belakangan sistem VoIP ini terhambat aspek aturan hukum. Memasuki tahun 2000-an, ketika layanan telekomunikasi seluler semakin dikenal oleh masyarakat di Indonesia, Tel-Access mulai mengembangkan solusi mobile intelligent network, merupakan jantung teknologi seluler. Bahkan, Tel-Access mampu mengembangkan teknologi ini dimanfaatkan oleh Kepolisian RI untuk mendeteksi lokasi para penjahat atau teroris, dengan cara melacak lokasi telepon seluler mereka. Untuk mengembangkan teknologi mobile intelligent networkini, dana yang dibenamkan mencapai Rp 1 miliar. Diyakini Boy, solusi ini akan terus berkembang dengan semakin luasnya pemanfaatan ponsel. Kejelian Boy dalam menangkap peluang tak berhenti di situ. Tingginya pemakaian SMS oleh pelanggan di Tanah Air dijadikan peluang untuk mengembangkan sistem Short Message Service Center (SMSC). Melalui layanan SMSC ini, para operator seluler bisa mengirimkan sampai dengan puluhan juta SMS setiap hari tanpa mengganggu kapasitas SMS di antara pelanggan. Sistem ini sangat efektif bagi operator untuk memperkenalkan layanan mereka, ujar Boy menegaskan.

Begitu pula, Boy memprediksi, ke depan pemanfaatan teknologi ponsel akan terus berkembang, mulai dari voice, data, hingga multimedia. Ia memperkirakan, semua operator sedang mengarah ke multimedia. Jadi, tidak hanya jasa telepon lagi, tetapi juga jasa akses Internet, televisi, sampai periklanan. Nah, untuk menangkap peluang itu, Tel-Access pun menawarkan solusi mobile advertising yang diramalkan akan menjadi bidang pertumbuhan baru dalam bisnis seluler. Tel-Access telah berpengalaman dalam implementasi sistem mobile network yang menjadi jantung dari platform mobile advertising, kata ayah Debra Mazaya (8 tahun) dan Zhillan Bariq Gann (4 tahun) ini. Menurut Boy, m-advertising menjadi menarik karena penyebaran ponsel semakin luas di masyarakat. Mengingat besarnya jumlah penggunanya dewasa ini, ponsel pun sangat mungkin menjadi media yang paling banyak penggunanya di masa mendatang. Informasi iklan yang ingin disampaikan bisa kapan saja dan di mana saja karena bersifat mobile. Diklaim Boy, Tel-Access mempunyai teknologi m-advertising yang dapat mengirimkan pesan iklan bervariasi, mulai dari voice, SMS, MMS, WAP, Web, hingga videoklip. Karenanya, teknologi m-advertising yang dikembangkan akan dapat melayani seluruh pelanggan mulai dari yang menggunakan ponsel sederhana hingga yang paling canggih. Kami juga dapat mengirimkan pesan iklan tersebut berdasarkan lokasi terkini pelanggan, sehingga untuk pertama kalinya iklan akan dapat dikirimkan sesuai dengan pergerakan masyarakat, kata pehobi sepeda gunung ini. Platform teknologi untuk m-advertising yang dikembangkan Tel-Access ini, menurut Boy, nantinya bisa dipakai untuk bekerja sama dengan pemilik database atau perusahaan agensi iklan yang punya profil pelanggan. Kini, Indosat dan XL telah menggunakan solusi m-advertising dari Tel-Access ini. Secara keseluruhan, hampir semua operator seluler di Indonesia menjadi kliennya, di antarnaya XL, Telkom, Indosat, Bakrie Telecom, Ratelindo, Komselindo, Telesera dan Infomedia. Juga, beberapa operator telekomunikasi negara tetangga, termasuk Celcom (Malaysia) dan Intex (Filipina). Adapun pelanggannya di industri perbankan lokal, yakni Bank Niaga (sebelum gabung dengan Lippobank), Citibank dan Bank Muamalat. Rata-rata, diklaim Boy, bisnis Tel-Access tumbuh 30% setiap tahun. Bahkan, pada 2009 ia

menyebut pertumbuhannya lebih dari 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini disebabkan lonjakan jumlah pelanggan seluler di Indonesia. Diakui Boy, sejauh ini bisnisnya berjalan mulus. Menurutnya, masa sulit terjadi pada saat pecah kongsi. Karena perbedaan pandangan, dua rekannya memutuskan pisah tahun 2004. Kini, Tel-Access dikendalikan Boy dan kolega lamanya, Hermansyah, yang bertindak sebagai dirut, dibantu 32 karyawan. Boy menyebutkan, persaingan tidak menjadi kendala. Terlebih, ia tak punya pesaing lokal. Masalahnya justru belum cukup kuatnya kepercayaan konsumen terhadap produk dan layanan pemain lokal seperti Tel-Access. Menurut Boy, kunci suksesnya selama ini karena pihaknya tidak overpromise kepada pelanggan. Prinsipnya, selama melakukan apa yang dijanjikan, pelanggan akan terus percaya. Ia juga selalu menanamkan semangat pada karyawan bahwa kemajuan perusahaan tergantung pada manusia di dalamnya. Kami juga mengapresiasi karyawan yang berprestasi, ucap Boy. Misalnya, memberikan bonus jalan-jalan ke luar negeri. Kepiawaian Boy dalam menggelindingkan roda bisnis diakui koleganya, Hermansyah. Menurutnya, Boy memang punya bakat kuat dalam dunia bisnis. Sementara Hermansyah lebih berperan di sisi teknologinya. Kalkulasi bisnisnya (Boy) betul-betul akurat. Teknologi tidak hanya diserap begitu saja, tetapi (dipertimbangkan) laku atau tidak, ungkap Hermansyah. Selain itu, lanjut Hermansyah, koleganya itu merupakan sosok pribadi yang tegas. Ia juga merasakan karakter itu dibutuhkan untuk mengambil keputusan bisnis. Tampaknya, antara Boy dan Hermansyah saling mem-back up, dengan prinsip saling percaya. Ungkapan senada dikemukakan mitra bisnis Boy. Aang Koesmanggala, General Manager Head of Network Roll Out Jabodetabek I Banten dan Jawa Barat PT Natrindo Telepon Selular, menilai Boy sebagai orang yang konsisten melakukan usaha di bidang yang termasuk high profile, high competition. Padahal, persaingannya dengan produk dan aplikasi yang sama dari luar negeri. Di masa sulit sekalipun, Boy

tetap menunjukkan keseriusannya untuk membina dan mengembangkan tenagatenaga muda programmer, untuk tetap berkarya dan berinovasi menghasilkan produk dan aplikasi baru, ujar Aang. Saya kenal Boy sejak masuk kuliah di ITB, kata Aristo Lystiono. Menurut Aristo, Boy itu orang yang sangat ulet, dan bakat bisnisnya sudah terlihat sejak masih mahasiswa. Salah satu kekuatan Boy adalah bisa membangun basis networking yang kuat, sehingga sangat mendukung dan membesarkan kegiatan bisnisnya, ujar GM IT Network Operations Center PT Bakrie Telecom itu. Yang perlu ditingkatkan, jika memang sudah confident terhadap produknya, sebaiknya mulai bergerak ke arah highprofile campaign. Jadi, sudah saatnya mengumumkan semua portofolio produk secara high profile, Aristo menyarankan. (SWA)

Biografi Bob Sadino - Pengusaha Sukses Dari Indonesia


Bob Sadino (Lampung, 9 Maret 1933), atau akrab dipanggil om Bob, adalah seorang pengusaha asal Indonesia yang berbisnis di bidang pangan dan peternakan. Ia adalah pemilik dari jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Dalam banyak kesempatan, ia sering terlihat menggunakan kemeja lengan pendek dan celana pendek yang menjadi ciri khasnya. Bob Sadino lahir dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan. Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan hidupnya, Soelami Soejoed. Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri. Pekerjaan pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan adalah menyewakan mobil Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang menjadi sopirnya. Namun sayang, suatu ketika ia mendapatkan kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya rusak parah. Karena tak punya uang untuk memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan menjadi tukang batu. Gajinya ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya.

Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa. Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing. Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek. Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah. Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang. Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. Yang paling penting tindakan, kata Bob. Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai bidangnya.

Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional. Menurut berpikir dan Bob, bertindak banyak serba orang yang memulai dari ilmu, canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain. Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya. Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan.

Anak Guru Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19. Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya. Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. Hati saya ikut hancur, kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal,

kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah. Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah warung shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, ratarata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar. Saya hidup dari fantasi, kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu, kata Bob. Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam. Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya. Profil dan Biodata Bob Sadino Nama Lahir Agama : Bob Sadino : Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933 : Islam

Pendidikan : -SD, Yogyakarta (1947) -SMP, Jakarta (1950) -SMA, Jakarta (1953) Karir : -Karyawan Unilever (1954-1955) -Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967) -Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang) -Dirut PT Boga Catur Rata

-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham) -PT Kem Farms (kebun sayur) Alamat Rumah: Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 793981 Alamat Kantor : Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618 Referensi : - http://pengusahamuda.wordpress.com/biografi/ - http://id.wikipedia.org/wiki/Bob_Sadino

Anda mungkin juga menyukai