Anda di halaman 1dari 24

Friday, June 29, 2007

RUU Pengelolaan Pesisir DISETUJUI

Setelah melalui proses yang panjang dan berliku akhirnya DPR menyetujui RUU Pengelolaan Pesisir dan Laut menjadi Undang-undang. Apakah ini suatu peluang atau malah menjadi ancaman bagi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah digagas sejak lama oleh rekan-rekan penggiat Pela? Masih terbuka peluang untuk mendiskusikannya. Selanjutnya langkah-langkah strategis apa yang bisa dilakukan sepenandatanganan UU PWP ini? Ini adalah pertanyaan besar yang perlu penggiat PELA pikirkan.

Masih adakah keinginan kita, para penggiat PELA di Indonesia untuk mengatur langkah bersama menghadapi semua ini? Mari kita pikirkan dan diskusikan di forum ini.

Wassalam

Pustaka Pela

26/06/07 13:22 (Antara News)

DPR Setujui RUU Pengelolaan Wilayah PesisirJakarta (ANTARA News) -

Rapat Paripurna DPR RI diGedung DPR/MPR Jakarta, Selasa, menyetujui RUU tentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWPPPK) untuk disahkan menjadi UU setelah dibahas selamalima tahun.

Dalam Rapat Paripurna DPR dipimpin Wakil Ketua DPRMuhaimin Iskandar, Menteri Kelautan dan PerikananFreddy Numbery menjelaskan, pembangunan kelautan,pesisir dan pulau-pulau kecil selama ini belummendapat perhatian serius dari berbagai pihak.

Akibatnya kondisi wilayah tersebut cenderung mengalamikerusakan dan mengalami ketertinggalan pembangunandibanding wilayah lain. Karena iu, pemerintah bersama DPR sejak tahun 2002menyusun RUU PWP PPK dengan tujuan untuk mengaturpengelolaan di wilayah

tersebut. Disahkannya RUU ini merupakan langkah strategis sebagai upaya mengubah arah kebijakan pembangunannasional dari kebijakan berbasis matra darat ke matralaut.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di duniadengan kekayaan sumber daya pesisir dan 17.504 pulauserta garis pantai sepanjang 95.181 kilometer memilikisumber dalam alam yang sangat besar. Namun, kekayaan sumber daya pesisir terus mengalamidegradasi akibat berbagai faktor, antara lain akibatkonservasi dan kesejahteraan masyarakat pesisir,disamping laju pertambahan penduduk yang tidakterkendali.

Freddy Numberi menyatakan, isu pengelolaan tersebuttelah diindentifikasi dan dianalisis oleh tim khususRUU PWP PPK melalui studi dan observasi lapangan. Selanjutnya, bersama Komisi IV DPR telah dilakukankonsultasi publik ke berbagai daerah dengan pemangku kepentingan terkait untuk merekam aspirasi masyarakat.Aspirasi itu dirangkum dalam bentuk 225 daftarinventarisasi masalah (DIM) yang akhirnya RUU ini terdiri atas 19 bab dan 80 pasal.

Konsep baru dalamRUU ini, antara lain penambahan frase pulau-pulau kecil, hak pengusahaan perairan pessir, mitigasi bencana, kawasan strategis nasional tertentu dan pengawasan serta pengendalian. UU ini nantinya akan dilaksanakan melalui berbagai peraturan pelaksanaan, yaitu empat PeraturanPemerintah (PP), enam Peraturan Presiden (Perpres) dan11 Peraturan Menteri (Permen).
http://pustakapela.blogspot.com/

Pesisir
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari

Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001). Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pesisir

Budaya
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari

Lukisan musisi wanita Persia dari Istana Hasht-Behesht (Istana 8 surga).

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Definisi Budaya 2 Pengertian kebudayaan 3 Unsur-Unsur 4 Wujud dan komponen o 4.1 Wujud o 4.2 Komponen 5 Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan o 5.1 Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi) o 5.2 Sistem mata pencaharian o 5.3 Sistem kekerabatan dan organisasi sosial o 5.4 Bahasa o 5.5 Kesenian o 5.6 Sistem Kepercayaan 5.6.1 Agama Samawi 5.6.2 Agama dan Filosofi dari Timur

5.6.3 Agama tradisional 5.6.4 "American Dream" 5.6.5 Pernikahanm o 5.7 Sistem ilmu dan pengetahuan 6 Perubahan sosial budaya 7 Penetrasi kebudayaan 8 Cara pandang terhadap kebudayaan o 8.1 Kebudayaan sebagai peradaban o 8.2 Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum" o 8.3 Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi 9 Kebudayaan Diantara Masyarakat 10 Kebudayaan menurut wilayah 11 Referensi 12 Daftar pustaka 13 Lihat pula 14 Pranala luar

[sunting] Definisi Budaya


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.[1] Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2] Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggotaanggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

[sunting] Pengertian kebudayaan


Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

[sunting] Unsur-Unsur
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: o alat-alat teknologi o sistem ekonomi o keluarga o kekuasaan politik 2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: o sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya o organisasi ekonomi o alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) o organisasi kekuatan (politik)

[sunting] Wujud dan komponen


[sunting] Wujud
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

Gagasan (Wujud ideal) Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. Aktivitas (tindakan) Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak (karya) Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

[sunting] Komponen
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

Kebudayaan material Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

[sunting] Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan


Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:

[sunting] Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasilhasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

alat-alat produktif senjata wadah alat-alat menyalakan api makanan pakaian tempat berlindung dan perumahan alat-alat transportasi

[sunting] Sistem mata pencaharian

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

Berburu dan meramu Beternak Bercocok tanam di ladang Menangkap ikan

[sunting] Sistem kekerabatan dan organisasi sosial


Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unitunit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral. Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

[sunting] Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

[sunting] Kesenian

Karya seni dari peradaban Mesir kuno.

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

[sunting] Sistem Kepercayaan


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut: ... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[3] Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian.

[sunting] Agama Samawi

Tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama Samawi[4] atau agama Abrahamik.[5] Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama namun juga perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia. Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, adalah agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya, seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa.[6] Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 s.d. 2,1 milyar pemeluk agama Kristen di seluruh dunia.[7] Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5 milyar pemeluk agama Islam di dunia.[8]
[sunting] Agama dan Filosofi dari Timur

Agni, dewa api agama Hindu Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama dari timur dan Filosofi Timur

Agama dan filosofi seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China, dan menyebar di sepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi. Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahyna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.

Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia. Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, mempengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia. Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.
[sunting] Agama tradisional Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama tradisional

Agama tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.
[sunting] "American Dream"

American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. [9] Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"),[10] yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.
[sunting] Pernikahanm

Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya. Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya.

[sunting] Sistem ilmu dan pengetahuan

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error). Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

pengetahuan tentang alam pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia pengetahuan tentang ruang dan waktu

[sunting] Perubahan sosial budaya


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:
1. tekanan kerja dalam masyarakat 2. keefektifan komunikasi 3. perubahan lingkungan alam.[11]

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

[sunting] Penetrasi kebudayaan


Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
Penetrasi damai (penetration pasifique) Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat. Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli. Penetrasi kekerasan (penetration violante) Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat[rujukan?]. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.

[sunting] Cara pandang terhadap kebudayaan


[sunting] Kebudayaan sebagai peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan". Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature) Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaandapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan. Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

[sunting] Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"


Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masingmasing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif." Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan. Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

[sunting] Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi


Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.

[sunting] Kebudayaan Diantara Masyarakat


Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender, Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama. Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah. Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

[sunting] Kebudayaan menurut wilayah


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kebudayaan menurut wilayah

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaankebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.
Afrika

Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan Arab dan Islam.

Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat. Amerika

Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.
Asia

Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam. Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mempengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.
Australia

Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia, Aborigin.
Eropa

Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat". Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.
Timur Tengah dan Afrika Utara

Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di daerah ini.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya

Budaya Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Kenetralan sebagian atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan. Silakan melihat pembicaraan di halaman diskusi artikel ini.

Tari tradisional, bagian dari budaya daerah yang menyusun kebudayaan nasional Indonesia

Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Kebudayaan nasional 2 Wujud kebudayaan daerah di Indonesia o 2.1 Rumah adat o 2.2 Tarian o 2.3 Lagu o 2.4 Musik o 2.5 Alat musik o 2.6 Gambar o 2.7 Patung o 2.8 Pakaian o 2.9 Suara o 2.10 Sastra/tulisan o 2.11 Makanan o 2.12 Kebudayaan Modern Khas Indonesia

[sunting] Kebudayaan nasional


Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:

Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bai Masyarakat Pendukukungnya, Semarang: P&K, 199

kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.Nunus Supriadi, Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang. Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaankebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional, Kongres Kebudayaan 1991: Kebudayaan Nasional Kini dan di Masa Depan,

[sunting] Wujud kebudayaan daerah di Indonesia


Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap saerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia

Wisata Budaya 19-04-2007


Adanya berbagai warisan sejarah kepurbakalaan serta eksistensi sosial dan budaya yang unik dan khas ditengah masyarakat, merupakan kekayaan budaya yang memiliki nilai daya tarik tersendiri, sebagai penunjang bagi pengembangan sektor pariwisata. Peninggalan budaya masa lalu memberikan karakteristik dan kekayaan nilai-nilai budaya yang hingga saat ini dapat dilihat pada pola/tradisi kehidupan masyarakat Wakatobi yang lebih dikenal sebagai masyarakat kepulauan dan pesisir. Sehingga budaya masyarakat yang dimiliki lebih bersifat budaya pesisir (marine antropologis). Eksisting budaya inilah yang memberikan fenomena unik bagi pengembangan pariwisata yang berbasis pada nilai-nilai budaya.

http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=4042&Itemid=1498

Just another Staff.undip.ac.id weblog

EKSISTENSI BUDAYA PESISIRAN PADA ERA GLOBALISASI


by mudjahirin on 03.05.09 Artikel 911 Payday Loans Colon Cleanser

EKSISTENSI BUDAYA PESISIRAN PADA ERA GLOBALISASI Oleh Mudjahirin Thohir 1. Pendahuluan Budaya Jawa, tidaklah tunggal, tetapi ia memiliki sub-sub budaya yang dari aspek historisnya (bisa dikaji) berakar dari era kerajaan Jawa Mataram. Di antara sub-budaya Jawa itu adalah Budaya Pesisiran. Pada makalah ini, saya ingin menyajikan kebudayaan Jawa Pesisiran dimaksud berdasarkan pada perspektif antropologis, dengan urutan: tipologi masyarakat Jawa (Pesisiran); Kebudayaan Jawa Pesisiran; dan fenomena dinamika kebudayaan Jawa Pesisiran dalam kaitannya dengan era kekinian (Globalisasi). 2. Masyarakat Jawa Pesisiran Dilihat dari segi lingkungan fisikal di mana masyarakat Jawa tinggal, dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu (a) masyarakat yang tinggal di seputar daerah pegunungan, (b) masyarakat yang tinggal di daerah dataran, dan (c) masyarakat yang tinggal di kawasan pantai . Sedang jika tinjauannya pada segi wilayah kebudayaan (culture area), maka secara historis masyarakat Jawa dapat dibedakan ke dalam tiga tipe (sub) kebudayaan yaitu (a) Negarigung, (b) Mancanegari, dan (c) Pesisiran.

Kategori masyarakat yang berkebudayaan negarigung ialah masyarakat yang enkulturasi dan proses sosialisasinya berada dan tinggal di seputar kota Solo dan Yogyakarta. Mereka disebut tiyang negari (orang negeri). Peradaban yang hidup di daerah negarigung ini merupakan peradaban orang Jawa yang dahulunya berakar dari keraton. Oleh karena bersumber dan berakar dari keraton maka dengan meminjam istilah Robert Redfield , peradabannya masuk pada ketegori peradaban besar (great tradition). Ciri dari peradaban besar ini, di antaranya yang penting ialah mengutamakan kehalusan (baik bahasa maupun kesenian), dan pandanganpandangan keagamaannya cenderung sinkretik . Dengan menggunakan cara berfikir bipolar maka peradaban yang bersumber dan berakar dari luar keraton, disebut peradaban kecil (little tradition) yaitu tipe peradaban yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat Mancanegari dan masyarakat Pesisiran . Masyarakat Mancanegari (tipe kedua dari wilayah kebudayaan Jawa), memiliki kemiripankemiripan dengan masyarakat Negarigung dalam hal pementingan tutur bahasa dan keseniannya, kendatipun kualitasnya tidak sebaik atau sehalus peradaban keraton. Mancanegari ini merupakan suatu sebutan untuk daerah-daerah di luar kota Solo dan Yogyakarta. Masyarakat yang hidup dalam peradaban ini disebut sebagai tiyang pinggiran (orang pinggiran) . Sedang daerah kebudayaan Pesisiran, adalah suatu daerah atau wilayah kebudayaan yang pendukungnya adalah masyarakat yang proses sosialisasinya berada dan tinggal di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa, yang dikenal dengan tiyang pesisiran . Dari aspek sosial historisnya, yaitu sejak masa kejayaan Mataram antara tahun 1613 hingga sampai tahun 1709, daerah-daerah pesisiran umumnya juga menjadi daerah kekuasaan kerajaan Mataram. Akan tetapi sejak tahun 1743 dan 1746, daerah-daerah pesisiran itu secara berangsurangsur diambilalih oleh Kompeni (VOC) . Sebagai daerah kekuasaan Mataram, daerah pesisiran itu dalam proses kesejarahannya dibangun berdasarkan atau dipengaruhi oleh peradaban Mataram, tetapi sejak daerah-daerah Pesisir yang umumnya dipimpin oleh seorang bupati menjadi daerah kekuasaan Kompeni (1746), keterlibatan mereka terhadap raja Mataram dengan semua adat upacaranya, relatif terputus karena konsentrasi dan kewajiban mereka terhadap raja Mataram dialihkan kepada Kompeni. Bersamaan dengan itu, para keluarga dan kerabat-kerabat bupati diakui oleh Kumpeni sebagai kelompok aristokrasi tersendiri. Sebagai kelompok aristokrasi, mereka dengan bebas dan leluasa meniru dan mengembangkan kehidupan istana sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing, dan mempunyai gaya kehidupan yang khas. Kabupaten-kabupaten Pesisir seolah-olah merupakan kerajaan kecil dengan segala adat, lambang dan upacaranya, dan Kompeni tidak mengurusi rumahtangga bupati dan kerabatnya. Corak dari gaya aristokrasi pesisiran bersama dengan pengembangan adat-istiadatnya yang tidak lagi harus disesuaikan dengan peradaban Mataram, semakin memiliki wama Pesisiran setelah kerajaan Mataram mengalami masa keruntuhan, berbarengan dengan lahirnya kerajaan Islam yang berpusat di Demak, (sekitar pertengahan abad 17). Kelahiran dari kerajaan Islam di Jawa pesisiran ini tidak terlepas dari terjadinya penyiaran (Islamisasi) yang intensif oleh para penyiar Islam yang di antaranya berasal dari Gujarat. Masyarakat pesisir yang tinggal dalam satuan geografis yang berupa dataran pantai, orientasi pekerjaan yang condong kepada kegiatan dagang, petani dan nelayan (nonpegawai pemerintah), serta intensifnya pengajaran Islam yang memberi tekanan pada konsep equalitas, serta relatif jauhnya dengan pusat kerajaan Mataram (waktu itu), memberi pengaruh kepada karakteristik masyarakat pesisir yang relatif berbeda dengan masyarakat Jawa pedalaman (negarigung dan mancanegari), sebagaimana yang akan saya jelaskan pada corak kebudayaan Jawa Pesisiran berikut.

3. Kebudayaan Pesisir Kebudayaan Pesisir dapat diartikan sebagai sistem-sistem pengetahuan yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang dipunyai dan dijiwai oleh masyarakat pendukungnya. Perangkat model-model pengetahuan tadi, berisi konsep-konsep, teori-teori, dan metode atau teknik . Keseluruhannya itu digunakan secara selektif untuk melangsungkan kehidupan, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan: fisik, sosial, dan integratifnya dalam lapangan: bahasa, agama, seni, ilmu pengetahuan, organisasi sosial (politik), teknologi, dan ekonomi. Bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi di antara warga masyarakat pesisir, lebih terlihat kasar (dibanding dengan masyarakat Jawa Pedalaman), yaitu dengan penggunaan bahasa Jawa Ngoko/Madya. Mengapa? Karena yang dipentingkan adalah pada substansi/pesan yang ingin disampaikan sehingga terasa spontan dan langsung (straight forward) bukan kepada bagaimana menyampaikan. Hal ini ada kaitannya dengan cara mereka memperlakukan diri dan orang lain secara equal. Equalitas tadi berkorelasi dengan arena kehidupan yang ditekuni yakni pasar (berdagang), dan faham keagamaan yang menekankan pada konsep kesejajaran. Strata sosial dilihat lebih pada alasan keagamaan (taqwa) dan bukan status (sosial) itu sendiri. Dalam pandangan keagamaan (Islam), kehormatan manusia dilihat sama kecuali sisi ketaqwaannya. Konsep taqwa sebagai ukuran derajat ditarik ke ranah sosial menjadi indikasi atas individuindividu yang memiliki kedekatan kepada Tuhannya, sehingga dalam strata sosial masyarakat pesisir kehormatan lebih diacukan kepada tokoh keagamaan seperti kiai. Frame berfikir seperti itu, telah mewarnai kehidupan sosial masyarakat pesisir sebagaimana yang ditampakkan dari cara mereka menempatkan organisasi-organisasi sosial keagamaan maupun partai politik yang diikuti. Dengan demikian, agama tidak saja dilihat sebagai kepentingan dan kebutuhan individu tetapi juga sebagai identitas dan pengikatan sosial. Dalam konteks sosial, agama menjadi sumber inspirasi dan gerakan, yakni gerakan untuk melakukan perlawananan atau keseimbangan terhadap kekuasaan atau kekuatan ideologi sekuler di luarnya. Dalam batasbatas tertentu, kepercayaan atas agama seperti itu, menjadi penguatan dan kekuatan masyarakat pesisir itu sendiri, karena sumber dari apa yang mereka pahami sebagai agama, tidak terbatas: alquran, hadits, dan ribuan kitab-kitab (yang terdifinisi sebagai kitab agama). Sumber referensial keagamaan seperti itu, tersosialisasikan secara rapi dan berkelanjutan sebagaimana yang nampak dan ditampakkan dalam kegiatan yang ada dalam kehidupan pesantren, madrasah diniyah, dan berbagai kegiatan di dalam tempat-tempat ibadah seperti masjid dan musholla. Referensi keagamaan seperti itu juga dijadikan nafas dan landasan dalam satuan-satuan sosial kemasyarakatan, ormas-ormas keagamaan, dan kehidupan di luarnya seperti dalam kesenian. Kesenian yang ditunjukkan terutama dalam kantong-kantong (enclave) kaum santri menggambarkan keterpautan kepada kecenderungan, keislaman sebagaimana yang nampak dalam sastra-sastra pesantren. Di luar kebudayaan pesisir yang bersumber pada tradisi-tradisi pesantren, juga hidup secara berdampingan yaitu kebudayaan yang bersumber pada ajaran-ajaran kejawen, di mana pendukung sub-budaya ini menamakan diri sebagai kaum nasionalis . Ciri dari pendukung subbudaya kejawen ini ialah mencintai segala macam kesenian Jawa seperti wayang, tayub, dan semacamnya. Suatu kecenderungan yang amat berbeda dengan budaya pesisir kelompok santri . 4. Kebudayaan Jawa Pesisiran dalam Perubahan Dewasa ini (era globalisasi), hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada lagi masyarakat (Jawa) yang hidup dalam keterasingan (kecuali mungkin masyarakat Samin dan semacamnya), sehingga

corak dari kebudayaan Jawa Pesisiran sendiri, dalam banyak hal sudah ber-akulturasi dengan berbagai kebudayaan di luarnya. Terhadap realitas seperti ini, memaksa kita untuk mengatakan bahwa sesungguhnya kebudayaan (termasuk kebudayaan Jawa Pesisiran) dalam rentang waktu memiliki tiga sifat pemaknaan, yaitu (1) kebudayaan adalah segala sesuatu yang sudah terbentuk; (2) sedang membentuk, dan (3) dalam proses rancangan ke depan. Yang pertama digambarkan sebagai kebudayaan asli yang bisa dianalogikan kepada kebudayaan nusantara. Kebudayaan nusantara adalah kebudayaan-kebudayaan yang hidup dan berkembang di berbagai masyarakat Indonesia sebelum bersentuhan secara intensif dengan kebudayaan Barat. Dalam kebudayaan Nusantara ini (kadang-kadang disebut sebagai kebudayaan tradisional) masih terlihat warna-warna lokal secara amat menonjol, sehingga pada masing-masing daerah dikenal adanya ciri-ciri khasnya. Sementara kebudayaan dalam artian sedang membentuk, justru berada dalam pergolakan untuk mempertahankan, atau memadukan . Kecenderungan untuk mempertahankan kebudayaan asli lebih didasarkan oleh kecurigaan yang berlebihan terhadap kebudayaan-kebudayaan asing. Kecurigaan itu terutama dikaitkan dengan cara kita menempatkan kebudayaan timur (termasuk kebudayaan Jawa Pesisiran) sebagai kebudayaan yang memiliki ciri-ciri religiusitas (sakral) sementara budaya asing (Barat) sebagai kebudayaan berciri sekuler, dan profan. Budaya timur menekankan pada nilai rohani, sementara budaya asing (barat) bernilai materi, berpaham kapitalisme. Kecurigaan yang luar biasa seperti itu, menjadikan kita dalam batas-batas tertentu, tidak bergerak maju (karena disibukkan oleh upaya mempertahankan), sementara pada batas-batas yang lain, kita menyerap produk dari masyarakat berbudaya asing (Barat) termasuk memimpikan menjadi orang-orang yang sukses secara ekonomi sebagaimana masyarakat di negara-negara maju. Apa yang terjadi kemudian? Adalah kerentaan baik secara sosial ekonomi maupun secara kebudayaan. Dari kerentaan sosial ekonomi, masyarakat kita (pesisir) hingga dewasa ini masih banyak yang hidup dalam ekonomi tradisional. Penduduk yang tinggal di desa-desa, bertahan dalam pola pertanian sawah semi tradisional sehingga tingkat keberhasilannya masih banyak bergantung pada derma alam. Sementara itu, minat penduduk Pesisir Jawa terhadap dunia kelautan masih sangat kecil. Dari jumlah yang sangat kecil itu, umumnya masih berada pada nelayan tradisional, sehingga gambaran mengenai kehidupan umumnya nelayan di Jawa ini masih sangat memprihatinkan . Yang terjadi kemudian adalah para nelayan masih tetap terpuruk dalam kemiskinan, dan sebagian dari para petani sawah (apalagi yang buruh tani), mulai banyak yang beralih kepada usaha dagang atau jasa. Sementara bagi para buruh tani berpindah orientasi kerja menjadi buruh lepas, menjadi buruh pabrik, atau migrasi ke kota. Kalau dihitung secara statistik, penduduk usia muda yang meninggalkan desa dan mengadu nasib ke kota-kota besar, jumlahnya sangat besar dan secara hipotesis akan semakin membengkak tajam . Kondisi ini, dalam satu sisi mencemaskan, sebab bisa jadi kalau tidak mendapat perhatian serius, akan melahirkan berbagai dampak, baik yang positif maupun dan terutama yang negatif . Sedang dalam sisi yang lain menjelaskan kepada kegagalan pemerintah sendiri di dalam mengelola pemerintahan yang bisa mensejahterakan rakyatnya sendiri. Kondisi seperti itu, tidak banyak berbeda dengan masyarakat (penduduk) yang tinggal di berbagai kota-kota pesisir. Orientasi kerja masyarakat pesisir perkotaan yang lebih mengandalkan kepada usaha wiraswasta, dewasa ini mengalami berbagai kelesuan terutama di sektor-sektor ekonomi. Berbagai perusahaan yang ada, yang semula bisa menyerap tenaga kerja

usia muda mulai mengurangi bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Sementara sektorsektor swasta dalam berbagai segi mengalami penurunan produksi dan pendapatan secara berarti. Kondisi kemiskinan dan ketakberdayaan masyarakat dalam berbagai sisi kehidupan sebagaimana yang kita amati dewasa ini secara antropologis perlu dicari tahu terutama dari nilai-nilai kebudayaan yang menjadi dan dijadikan landasan kehidupan. Artinya, berdialog tentang kebudayaan tidaklah karena alasan romantik bahwa kebudayaan yang kita miliki adalah kebudayaan adiluhung, karena itu harus dipertahankan dari infiltrasi kebudayaan-kebudayaan luar, melainkan bagaimana merumuskan kembali kebudayaan adiluhung tadi menjadi kebudayaan pemenang di dalam berkompetisi. Itu yang lebih penting!!!
http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/03/05/eksistensi-budaya-pesisiran-pada-era-globalisasi/

Anda mungkin juga menyukai