Anda di halaman 1dari 13

Bahan semai

Bahan semai adalah bahan kimia yang ditambahkan ke dalam awan dalam proses hujan buatan. Ada 2 jenis bahan yang dipakai yaitu higroskopik dan glasiogenik. Baham semai higroskopis dapat menarik uap air dari sekelilingnya dan membentuk tetes-tetes air yang kemudian ikut berperan di dalam proses pembentukan butir-butir hujan di dalam awan. Dengan penambahan bahan ini, awan semakin cepat matang. Volume awan menjadi lebih besar dari biasanya. Akibatnya air hujan yang dihasilkan dari awan ini semakin banyak. Tidak semua awan dapat dikenai perlakuan dengan bahan semai ini. Hanya awan cumulus dengan kriteria-kriteria tertentu yang dapat disemai. Bahan semai glasiogenik adalah bahan yang dapat menghasilkan es. Bahan ini diterbarkan di atmosfer pada ketinggian di atas freezing level. Pada lapisan ini banyak terdapat uap air lewat dingin (super cooled moisture) yang dapat membeku secara alami karena lingkungan yang amat bersih. Dengan penambahan bahan glasiogenik uap air ini membeku dengan cepat. Es yang turun ke lapisan lebih rendah perlahan-lahan mencair dan menambah jumlah air hujan yang turun kepermukaan bumi.

Teknologi Modifikasi Cuaca Bisa Kurangi Banjir Jakarta


Rabu, 27 Oktober 2010 15:10 WIB | Iptek | Teknologi | Dibaca 2471 kali Jakarta (ANTARA News) - Intensitas curah hujan yang cukup tinggi dan kemungkinan banjir di ibukota Jakarta musim hujan ini bisa dikurangi sejak dari dimulainya pembentukan awan dengan teknologi modifikasi cuaca. "Teknologi modifikasi cuaca difokuskan pada pengendalian awan sebagai sumber dari curah hujan," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Samsul Bahri, di sela-sela Seminar "Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Energi dan Lingkungan yang Lebih Baik" di Jakarta, Rabu. Dikatakan Samsul, ada tiga sumber curah hujan di Jakarta. Yakni curah hujan yang merupakan hasil konveksi (penguapan) dari wilayah Jakarta sendiri dan curah hujan yang berasal dari konveksi di laut Jawa yang terbawa angin dan kemudian berkumpul dalam bentuk awan di langit Jakarta. Selain itu, curah hujan yang berdasarkan orografik atau pertumbuhan awan di lereng gunung tempat hulu sungai-sungai di Jakarta seperti Gunung Gede, Pangrango dan Gunung Salak yang kemudian menuju langit Jakarta. "Jadi sebelum awan-awan itu membesar kita bisa memecah dia menjadi awan-awan kecil atau jika sudah terlanjur matang dijatuhkan dengan intensitas hujan yang kecil sebelum sampai di Jakarta," katanya. Sebelum dilakukan modifikasi cuaca tersebut, lanjut dia, kondisi awan harus dipantau lebih dulu melalui radar bergerak (mobile) yang sudah dimiliki oleh BPPT. Jika kondisi awan seperti usia awan sudah beberapa jam dan berapa menit, kandungan awan dan lainnya sudah diketahui, mulailah pihaknya melakukan penyemaian awan. Untuk menghentikan pertumbuhan awan, penyemaian dilakukan dengan bahan semai Natrium Klorida (NaCl) dengan ukuran di bawah 10 mikron, sedangkan untuk mempercepat turunnya hujan, awan disemai dengan butiran NaCl seukuran 30-100 mikron, ujarnya. Penyemaian awan bisa dilakukan secara konvensional ditabur melalui lubang khusus di pesawat, atau bisa dengan sistem "flare" atau ditembakkan melalui mercon ke awan. BPPT, ujar dia, memiliki lima pesawat jenis Casa 212-200 untuk melakukan penyemaian awan. Ia mengatakan, teknologi modifikasi cuaca memang mahal dimana tarif sesuai PP untuk Jakarta mencapai Rp110115 juta per hari sehingga untuk operasional sebulan dibutuhkan sekitar Rp3,5 miliar.

Pernah mendengar hujan buatan? Wah apakah itu berarti kita manusia sudah bisa membuat hujan sendiri? Bagaimana caranya? Apakah dengan menyemprotkan air dari pesawat terbang? Berapa banyak air yang diterbangkan? Kenapa diperlukan hujan buatan?

Sejarah Hujan buatan di dunia dimulai pada tahun 1946 oleh penemunya Vincent Schaefer dan Irving Langmuir, dilanjutkan setahun kemudian 1947 oleh Bernard Vonnegut. Yang sebenarnya dilakukan oleh manusia adalah menciptakan peluang hujan dan mempercepat terjadinya hujan. Nama yang digunakan sebagai upaya membuat hujan adalah menjadi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) .

Di Sekolah kamu tentu tahu tentang proses terjadinya hujan kan? Yaitu dikenal dengan siklus hidrologi, ada penguapan air, pembentukan awan, dan turun menjadi hujan. Nah yang dilakukan oleh manusia pada TMC, adalah mempengaruhi proses yang terjadi di awan sebagai dapur pembuat hujan. Sehingga mempercepat peluang terjadinya hujan. Bahan untuk mempengaruhi proses yang terjadi di awan terdiri dari dua jenis yaitu 1. Bahan untuk membentuk es, dikenal dengan glasiogenik, berupa Perak Iodida (AgI) 2. Bahan untuk menggabungkan butir-butir air di awan, dikenal dengan higroskopis, berupa garam dapur atau Natrium Chlorida (NaCl), atau CaCl2 dan Urea.

Bahan-bahan ini disebar dengan bantuan Pesawat terbang, Roket, dan disebar dari daerah tinggi (misal : puncak gunung). Penyebaran bahan bibit hujan tadi, harus memperhatikan kondisi yang akurat tentang arah angin, kelembaban dan tekanan udara, peluang terjadinya awan. Kerap terjadi, bahan-bahan yang sudah disebar tadi tidak menghasilkan hujan, justru hilang begitu saja. Di Indonesia, upaya hujan buatan ini diperlukan untuk : 1. Antisipasi Ketersediaan Air, misal pengisian waduk, danau, untuk keperluan air bersih, irigasi, pembangkit listrik (PLTA) 2. Antisipasi Kebakaran hutan/lahan, kabut asap Nah jika hujan tiba, dapatkah kamu menduga-duga, apakah ini hasil hujan buatan atau bukan ?. Oh ya kualitas air hujan buatan tidak terlalu berbeda dengan hujan asli lho, kamu tidak perlu khuatir air hujan nya berasa asin atau berbau. http://www.apakabardunia.com/post/teknologi/hujan-buatan-atau-modifikasi-cuacaBanjir yang terjadi hampir merata di seluruh Pulau Jawa pada akhir tahun 2007 dan awal tahun ini sungguh tidak bisa dianggap ringan. Puluhan jiwa melayang, ribuan penduduk menjadi sengsara, dan infrastruktur yang telah dibangun dengan biaya miliaran bahkan mungkin triliunan rupiah harus luluh lantak. Banjir sempat surut. Bahkan, bumi Indonesia sempat kering akibat hujan yang tidak turun dalam dua minggu. Periode kering ini secara regional wilayah Indonesia hanya bertahan hingga sekitar tanggal 20 Januari 2008. Kini curah hujan terus mengguyur sebagian wilayah Indonesia hingga puncak musim hujan untuk wilayah Indonesia pada minggu terakhir bulan Januari hingga Februari 2008. Prakiraan ini didasarkan pada perilaku gelombang atmosfer yang dominan memengaruhi cuaca saat ini, yaitu gelombang intramusim yang dikenal dengan Madden Julian Oscillation (MJO). Berdasarkan pemantauan gelombang MJO kemudian sudah meninggalkan wilayah Indonesia dan berada di sebelah timur wilayah Indonesia. Dalam waktu beberapa hari ini, gugus awan ini kembali berada di sebelah barat wilayah Indonesia (Samudra Indonesia). Di Indonesia bagian barat, seperti Jakarta dan Sumatera,

tumbuh awan-awan konvektif yang biasanya turun menjadi hujan pada siang hingga sore hari. Ketika gugus awan sudah berada di wilayah Indonesia, hujan akan turun sepanjang hari dan malam, seperti terjadi akhirakhir ini. Pada saat inilah peluang terjadinya banjir di wilayah Indonesia sangat besar. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi terjadinya banjir ini? Tanpa mengecilkan arti dari berbagai upaya yang telah dilakukan berbagai pihak, sebenarnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mempunyai kemampuan antisipasi banjir dengan sebuah teknologi untuk memodifikasi cuaca. Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) selama ini banyak berfungsi untuk menambah curah hujan. Dalam fungsinya menambah curah hujan, teknologi ini dilaksanakan dengan memasukkan bahan semai yang bersifat higroskopis dengan ukuran 1-100 mikron (). Bahan semai yang berukuran kurang dari 10 ini berfungsi untuk meningkatkan energi awan sehingga menambah suplai uap air yang masuk ke dalam sistem awan. Sedangkan bahan semai yang berukuran lebih dari 10 berfungsi mempercepat proses-proses di dalam awan sehingga cepat turun menjadi hujan. Dalam usaha menambah curah hujan, awan yang disemai adalah awan yang diperkirakan akan turun menjadi hujan di daerah yang memerlukan tambahan hujan. Modifikasi teknologi TMC Kemudian bagaimana TMC bisa mengantisipasi banjir? Dengan mempertimbangkan konsep TMC untuk menambah curah hujan, dengan sedikit saja modifikasi, teknologi ini juga bisa digunakan untuk mengantisipasi (atau bisa diartikan mencegah) terjadinya banjir (akibat curah hujan tinggi). Modifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Bahan semai yang digunakan adalah bahan semai higroskopis dengan ukuran lebih dari 10 -100 . Agar lebih aman dari kemungkinan terjadinya peningkatan curah hujan, bisa saja digunakan bahan semai higroskopis dengan ukuran 30-100 . Dengan cara ini, penyemaian awan hanya bertujuan untuk mempercepat terjadinya hujan. Mekanisme ini disebut juga sebagai jumping process. 2. Awan-awan yang disemai adalah awan-awan yang masih berada di atas laut dan diperkirakan (dengan mengukur kecepatan angin dan posisi awan) dalam tiga jam ke depan masih berada di atas laut. Dengan cara ini, bisa dipastikan awan-awan yang disemai akan jatuh di lautan karena awan-awan yang disemai akan turun menjadi hujan dalam waktu kurang dari dua jam akibat mekanisme jumping process. Dari segi teknis, teknologi ini tidak terlalu sulit dilaksanakan BPPT karena BPPT (melalui bagian organisasinya, yaitu Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan) sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun dan sekarang sudah memiliki alat-alat canggih untuk melakukan tugas-tugas seperti yang penulis sebutkan di atas. Akan tetapi, bagaimanapun, teknologi ini tidak bisa menjamin untuk tidak akan terjadinya banjir di wilayah Indonesia. Meski demikian, teknologi ini akan cukup signifikan dalam mengurangi curah hujan yang jatuh di wilayah daratan Indonesia, yang pada akhirnya bisa mengurangi peluang terjadinya banjir. Hanya masalahnya, cukupkah keberanian kita untuk mengantisipasi/mencegah sesuatu (bencana sekalipun) yang belum terjadi (meskipun secara saintifik berpeluang besar untuk terjadi)? TRI HANDOKO SETO Peneliti dan Praktisi TMC di BPPT Sumber: http://www.opensubscriber.com/message/forum-pembacakompas@yahoogroups.com/8642960.html; Rabu, 20 Februari 2008 | 01:58 WIB

Mengenal Teknologi Modifikasi Cuaca (Hujan Buatan)

Pesawat sedang melakukan penyemaian awan untuk merangsang terjadinya hujan Pernah mendengar istilah hujan buatan? Kebanyakan orang mengartikan istilah hujan buatan adalah hujan yang sengaja dibuat oleh manusia. Sebenarnya istilah hujan buatan tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai pekerjaan membuat atau menciptakan hujan, karena teknologi ini hanya berupaya untuk meningkatkan dan mempercepat jatuhnya hujan, yakni dengan cara melakukan penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan bahan-bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan. Istilah yang lebih tepat untuk mendefinisikan aktivitas hujan buatan adalah Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan aplikasi dari suatu teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di dalam awan. Proses fisika yang diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat berupa proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) atau proses pembentukan es (ice nucleation). Saat ini TMC menjadi salah satu solusi teknis yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana yang ditimbulkan oleh karena adanya penyimpangan iklim/cuaca. TMC bukanlah hal baru di dunia, karena teknologi ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara untuk berbagai kepentingan. Sejarah Modifikasi Cuaca di Dunia

Vincent Schaever (membungkuk) memperagakan pembuatan kristal es dengan meniupkan nafasnya pada lemari pendingin Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Kedua penemuan penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya perkembangan modifikasi cuaca di dunia untuk selanjutnya. Sejarah Modifikasi Cuaca di Indonesia Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah hujan buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto (Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh

Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui Advance Teknologi sebagai embrio Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand. Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPt yang bernama Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No: SK/342/KA/BPPT/XII/1985 fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal meningkatkan intensitas (menambah) curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi dan PLTA. Proses Pembentukan Awan Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air. Tidak terhitung banyaknya gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air terangkat ke langit. Partikel-partikel yang disebut dengan aerosol inilah yang berfungsi sebagai perangkap air dan selanjutnya akan membentuk titik-titik air. Selanjutnya aerosol ini naik ke atmosfer, dan bila sejumlah besar udara terangkat ke lapisan yang lebih tinggi, maka ia akan mengalami pendinginan dan selanjutnya mengembun. Kumpulan titiktitik air hasil dari uap air dalam udara yang mengembun inilah yang terlihat sebagai awan. Makin banyak udara yang mengembun, makin besar awan yang terbentuk.

Jenis-jenis awan berdasarkan ketinggiannya dapat dlihat pada gambar berikut.

Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dangan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan Cumulus terjadi karena proses konveksi. Secara lebih rinci awan Cumulus terbagi dalam 3 jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang barau tumbuh ; Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat besar dan mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang bergabung menjadi satu.

Jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol, merupakan jenis awan yang dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan Awan Dingin dan Awan Hangat Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm cloud). Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku (< 00C), sedangkan awan hangat adalah awan yang semua bagiannya berada diatas titik beku ( > 00C). Awan dingin kebanyakan adalah awan yang berada pada daerah lintang menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara dekat permukaan tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar 180C. Namun demikian puncak awan dapat menembus jauh ke atas melampaui titik beku, sehingga sebagian awan merupakan awan hangat, sebagian lagi diatasnya merupakan awan dingin. Awan semacam ini disebut awan campuran (mixed cloud).

Ilustrasi awan dingin dan awan hangat Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin (supercooled water) langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut proses kristal es. Hujan, salju dan hujan batu es terutama disebabkan oleh air yang menjadi dingin. Salju terbentuk dalam atmosfer atas yang suhunya dibawah titik beku. Waktu jatuh lewat atmosfer salju mencair dan menjadi hujan. Pada musim dingin, salju jatuh tanpa menjadi cair dan masih berbentuk salju. Butiran salju terdiri dari kristal es kecil-kecil. Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air, dan terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya berada di bawah titik beku, awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil. Udara sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan demikian kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada musim dingin salju jatuh tanpa mencair. Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Hangat Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 0,1 mikron) yang banyak beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut mengalami pengembunan.Sumber utama inti kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena bersifat higroskofik maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel berubah menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan. Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 5 mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30 mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan turun dari awan bila melalui

proses tumbukan dan penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan penggabungan tidak terjadi.

Tipikal Ukuran Diameter Tetes Hujan (Rain Drop), Tetes Awan (Cloud Droplet), dan Inti Kondensasi (Condensation Nucleus) ( Sumber : http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect14/Sect14 1d.html) Bagaimana TMC Dapat Menambah Curah Hujan ? Prinsip dasar penerapan TMC untuk menambah curah hujan adalah mengupayakan agar proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif. Upaya dilakukan dengan cara mempengaruhi proses fisika yang terjadi di dalam awan, yang dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana lingkungan awan tersebut berada. Untuk bagian awan dingin, curah hujan akan bertambah jika proses pembentukan es di dalam awan juga semakin efektif. Proses pembentukan es dalam awan akan semakin efektif jika awan disemai dengan menggunakan bahan semai berupa perak iodida (Agl). Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan partikel higroskopik dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN : berukuran lebih dari 5 mikron ) ke dalam awan yang sedang dalam masa berkembang atau matang sehingga proses hujan dapat segera dimulai serta berkembang ke seluruh awan. Penambahan partikel dengan spektrum CCN (Cloud Condencation Nucleus: Inti Kondensasi Awan) tidak perlu dilakukan, karena partikel dengan spektrum ini sudah disediakan sendiri oleh alam. Dengan demikian awan tidak perlu dibuat, karena dengan tersedianya CCN awan dapat terbentuk dengan sendirinya bila kelembaban udara cukup. Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi. Dari sinilah didapatkan tambahan curah hujan. Injeksi partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua manfaat sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan penggabungan sehingga menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan yang kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan. Bahan semai yang digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik dalam bentuk super fine powder (berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus), paling sering digunakan adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl2 atau Urea. Berikut adalah animasi yang menggambarkan perbedaan antara sekuens pertumbuhan awan yang tidak disemai dengan awan yang disemai : Sekuens awan tidak disemai 5 menit : Kumulus mulai tumbuh.

10 menit : Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar 15 Menit : Tetes besar semakin banyak dan mulai terjadi kristal es. Awan mencapai tinggi maksimum 20 menit : Kristal-kristal semakin besar, tetes air di dalam awan berkurang. Kristal es jatuh dan mencair menjadi tetes air hujan. 30 menit : Hujan ringan berlangsung dan awan membuyar. Sekuens awan yang disemai 5 menit : Kumulus mulai tumbuh. 10 menit : Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar 15 menit : Sejumlah bahan semai yang terkonsentrasi dimasukan ke dalam awan dari dasar awan maupun dari puncak awan. 20 menit : Terjadi pelepasan panas laten ketika air supercooled membeku menjadi es dan awan tumbuh menjadi sangat besar. 30 menit : Jumlah air yang terlibat di dalam awan semakin besar sehingga curah hujan meningkat. METODA PENYEMAIAN AWAN Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan adalah menggunakan wahana pesawat terbang. Selain menggunakan pesawat terbang, modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan sistem statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana roket yang diluncurkan ke dalam awan. Di Indonesia untuk saat ini yang sudah operasional dan dikuasai teknologinya berubah TMC dengan menggunakan wahana pesawat terbang TMC sistem GBG saat ini masih dalam tarap ujicoba dan telah terpasang sejumlah menara di daerah Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede Pangrango), sedangkan untuk wahana roket baru sebatas kajian dan dalam wacana akan mulai dicoba di Indonesia. Pesawat terbang jenis Cassa NC 212-200 sedang melepaskan bahan semai berupa serbuk garam NaCI melalui airscooper yang terpasang pada bagian bawah pesawat. bahan semai dilepaskan pada medan updraft yang ada di sekitar dasar awan (jenis awan hangat). Selain berupa serbuk (powder), bahan semai dapat pula dikemas dalam bentuk flare yang dipasang pada bagian sayap ataupun bawah pesawat. Partikel bahan semai masuk ke dalam awan jika flare terbakar. Bahan semai jenis ejectable flare dimasukkan ke dalam awan dengan cara ditembakkan dari pesawat pada bagian puncak awan (jenis awan dingin).

Ground Base Generator Ground Base generator (GBG) merupakan salah satu metoda alternatif untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan, yang pada prinsipnya dengan memanfaatkan potensi topografi dan angin lembah (valley breeze), yaitu angin lokal yang berhembus ke atas pegunungan pada siang hari dengan mengikuti kemiringan permukaan gunung. Bahan semai dikemas dalam bentuk flare yang dibakar dari atas menara pada ketinggian tertentu. Kembang api yang merupakan hasil pembakaran dari flare dengan bahan higroskopik itu ditujukan untuk mengatur partikel Cloud Condensation Nuclei ( CCN) yang berukuran sangat halus ke dalam awan sehingga diharapkan mampu merangsang terjadinya hujan. GBG aslinya digunakan di daerah lintng menengah dan tinggi dengan suhu lingkungan berada di bawah titik beku (<00C), namun saat ini sudah mulai diterapkan di Indonesia meski masih dalam taraf ujicoba. Sejumlah menara GBG telah terpasang menyebar di kawasan Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede Pangrango) dengan tujuan untuk menyemai awan-awan orografis yang melintas di kawasan Puncak. Jika setiap awan yang melintas dapat disemai, maka hujan dapat turun lebih awal sehingga tidak terjadi penumpukan awan yang dapat menimbulkan hujan lebat di daerah tersebut sehingga diharapkan akan mampu memperkecil resiko banjir untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Penyemaian awan menggunakan sistem statis Ground yang memanfaatkan awan-awan orografis pada daerah pegunungan Wahana Roket Roket dapat pula dimanfaatkan sebagai wahana untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Metode ini sudah banyak dikembangkan oleh negar-negara di Eropa. Saat ini BPPT bekerjasama dengan LAPAN tengah menjajaki kemungkinan teknologi ini untuk diaplikasikan di Indonesia. Penyemaian awan menggunakan wahana roket yang ditembakkan ke dalam awan dari darat. Evaluasi Hasil TMC Pengukuran hasil TMC dapat ditinjau dari hasil tambahan air hujan selama periode dilakukannya kegiatan modifikasi cuaca (hujan buatan) di daerah target. Ada dua pendekatan besara dalam evaluasi hasil TMC yaitu dari segi curah hujan dan aliran. Evaluasi penambahan curah hujan diukur melalui pendekatan atau estimasi menggunakan daerah kontrol sebagai pembanding untuk daerah target. Syarat daerah kontrol antara lain berada di luar daerah target dan tidak terkontaminasi dengan bahan semai yang dilepaskan, serta memiliki karakteristik curah hujan yang berkorelasi kuat dengan curah hujan di daerah target. Selisih antara besarnya curah hujan rata-rata di daerah target dengan besarnya curah hujan rata-rata di daerah kontrol selama periode kegiatan hujan buatan dinyatakan sebagai tambahan curah hujan hasil TMC. Metode Evaluasi hasil TMC lainnya adalah melalui pendekatan debit aliran (inflow) di daerah target. Prinsip dari metode ini adalah membandingkan nilai denit aliran selama periode kegiatan hujan buatan dengan nilai debit saat tidak ada pelaksanaan hujan buatan. Selisih besarnya debit aliran diantara kedua periode tersebut dinyatakan sebagai penambahan aliran hasil TMC. Kualitas Air Hujan Hasil TMC Kegiatan TMC ini ramah lingkungan. Bahan yang digunakan untuk penyemaian awan juga dipergunakan pada kehidupan sehari-hari. Contohnya NaCI, bahan ini banyak terdapat di atmosfer sebagai hasil dinamika air laut, dan pada kehidupan sehari-hari biasa digunakan sebagai bahan masakan ataupun dalam pertanian. Dari sisi konsentrasi, satu butir bahan higroskopik berukuran 50 mikro mengalami pengenceran hingga satu juta kali ketika menjadi tetes hujan berukuran 2.000 mikron. Hasil analisis kualitas air hujan dari Base Generator (GBG)

beberapa kali kegiatan TMC telah membuktikan bahwa parameter kualitas air hujan maupun badan-badan air masih aman untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan TMC di Indonesia Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh berbagai pihak. Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Perusahaan Listrik negara (PLN), Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pihak Pengelola Waduk seperti Perum Jas Tirta I dan II, ataupun perusahaan swasta seperti PT INCO adalah beberapa contoh para pengguna jasa teknologi ini. Saat ini pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan tidak lagi hanya terbatas untuk keperluan pengisian air pada waduk/bendung yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi ataupun PLTA saja, namun juga telah banyak dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai bencan yang disebabkan oleh kondisi iklim dan cuaca lainnya, contohnya untuk mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun di indonesia. Secara teori, teknologi ini juga mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi bencana banjir. Namun sejauh ini efektifitas TMC untuk mengantisipasi banjir belum terukur karena belum pernah dilakukan. Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, yang sering dijadikan target kegiatan hujan buatan . Secara garis besar, pedoman penentuan waktu pelaksanaan dan pemanfaatan TMC untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut. Pedoman penentuan waktu pelaksanaan berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia. TMC untuk mengantisipasi

Sumber: http://www.e-dukasi.net/pengpop/pp_full.php?ppid=297&fname=semua.html http://bebasbanjir2025.wordpress.com/teknologi-pengendalian-banjir/teknologi-modifikasi-cuaca/ Perkembangan TMC Penguasaan TMC oleh peneliti BPPT, papar Mahally Kudsy, Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan UPTHB-BPPT dimulai dari belajar pada Thailand yang lebih dulu menguasai teknik itu. Setelah itu, Indonesia mulai melaksanakan TMC di Pulau Jawa tahun 1977. Apabila dirunut sejarahnya, pengembangan TMC ternyata diperkenalkan oleh seorang Serbia bernama Tesla yang berimigrasi ke AS pada tahun 1890. Ia mengembangkan teknik mengarahkan gelombang magnetik ke udara untuk memengaruhi cuaca. Temuan itu kemudian dipatenkannya tahun 1905. Mendatangkan hujan kemudian dikembangkan oleh pakar dari Rusia dengan teknik mini siklon. Dengan bantuan satelit, dihidupkan proses ionisasi langsung hingga terkumpul butiran air hingga menghasilkan hujan. Teknik lain yang diperkenalkan ahli dari Universitas Moskwa adalah mendatangkan hujan dengan mengaktifkan muatan elektron statis di laut sehingga terjadi penarikan uap air. TMC di Indonesia Teknologi penyemaian awan mengalami beberapa perkembangan di Indonesia. Sejak diaplikasikan tahun 1977, dari sisi penggunaan bahan penyemai, BPPT mencoba beberapa senyawa. Semula dipakai urea yang menyerap uap air. Penggunaan bahan ini ditolak petani karena menyebabkan menguningnya daun. Kemudian dicoba menggunakan es kering atau CO2 padat. Tujuannya untuk memperbesar curah hujan dan volume awan. Namun, karena bersifat mencemari lingkungan, pilihan pun jatuh pada serbuk garam yang ramah lingkungan. Bahan ini digunakan sampai sekarang, kata Mahally. Dilihat dari prasarana yang digunakan, yaitu pesawat terbang, ujar Syamsul, penyemaian awan dengan menaburkan garam dilakukan lewat lubang di perut pesawat. Operasi hujan buatan dengan pesawat ini antara

lain digunakan untuk mengisi waduk. Cara tradisional ini, tambah Mahally, mengalami pengembangan, yaitu dengan penambahan mesin siklon untuk menyemburkan serbuk garam pada sasaran. Adapun penggunaan tabung karton berisi garam padat yang disebut flare yang dipasang di bagian belakang sayap pesawat terbang diperkenalkan di Indonesia oleh perusahaan AS yang membantu operasi hujan buatan untuk mengisi waduk di Soroako pada tahun 1996. Untuk mengurangi ketergantungan pada pihak asing, BPPT membuat sendiri flare beberapa tahun terakhir. Saat ini telah ada enam prototipe flare yang dibuat, papar Mahally. Dalam tabung itu berisi bahan bakar magnesium dan sumber oksigen berasal dari kalium perklorat (KClO4). Adapun bahan semainya adalah garam atau kalsium klorida. Penggunaan flare memiliki kelebihan, seperti mudah dan cepat pengoperasiannya serta tidak melibatkan banyak orang dalam penyemaiannya, ujar Syamsul.

Anda mungkin juga menyukai