Anda di halaman 1dari 20

Kabupaten Jember

Oleh

Ahmad Nando (XI IPA 5) Akhbamah Primadaniyah Febrin (XI IPA 7) Cattetiana Dhevi (XI IPS 4) Dhandhan Prima Raja (XI IPA 5) Luluil Maknuunah (XI IPA 5)

SMA N 10 Malang November 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelusuran peninggalan budaya yang ada di daerah Jember sebagai tugas Sejarah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat Jember sebagai narasumber yang telah menjaga eksistensi sejarah Jember. Dan juga kepada Ibu Endang, selaku guru Sejarah yang telah menugaskan penulis untuk membuat laporan hasil ini, sehingga penulis dapat mengambil segudang pengalaman dari ini semua. Penulis mengharapkan laporan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat kepada pembaca tentang berbagai kisah sejarah yang menarik dari daerah Jember serta peninggalannya yang tak lekang oleh usia maupun modernisasi. Akhirnya, penulis berharap laporan ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Dan penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan lebih lanjutnya.

Malang, 10 November 2012

Tim Jember

Sejarah Kota Jember


Menurut legenda rakyat Jember diambil dari nama seorang putri yaitu Jembersari. Jembersari merupakan penganjur pembangunan pertanian dan pemukiman pertama daerah yang sekarang menjadi kota Jember. Dia dan keluarganya menempati pondok kecil disekitar danau dipinggir sungai Jompo. Karena pengaruh alam, danau tersebut kini menjadi sebuah kampung yang diberinama kampung Ledok.

Peta Kabupaten Jember Jember terletak diprovinsi daerah tingkat 1 Jawa Timur, berbatasan dengan samudra Hindia di sebelah selatan dan dikelilingi pegunungan yang membentang di sebelah utara dan timur, hal inilah yang menjadikan Jember banyak memiliki objek wisata alam.

Tahun 1868 Jember mulai dikenal secara luas. Waktu itu tanaman tembakau mulai di tanam secara besar-besaran. Tembakau Jember sangat digemari oleh orang-orang Eropa. Pusat pemasarannya berada di kota Breman, Jerman. Pada tanggal 1 Januari 1929, Jember dijadikan kota kabupaten. Bupati pertama adalah bapak Notoadinegoro dan pada tanggal 3 Mei 1976 kota Jember berkembang menjadi kota administratif. Walikota pertama yang terpilih adalah Drs. Syafii Asari. Dalam perkembangannya, Kota Jember banyak mengalami perubahan. Didukung dengan keadaan wilayah dan letaknya yang strategis serta pesatnya pembangunan kota pada bidang pemerintahan, pendidikan, industri perhubungan maupun pariwisata menjadikan Jember menjadi salah satu kota besar di Jawa Timur.

Palagan Jumerto , Saksi Perjuangan Rakyat Jember

Desa menyimpan belas

Jumerto,

Patrang,

Jember,

sejarah Brimob dari dan

perjuangan 20 warga yang depan

mempertahankan kemerdekaan NKRI. Tiga anggota Cakra Jumerto setempat tewas karena ditembus peluru pasukan berniat Palagan KNIL Belanda di menduduki Jumerto, Indonesia. berdiri Kecamatan Monumen Patrang,

yang

Kelurahan

tetap kukuh. Deretan nama 13 anggota Brimob Polri dan 20 warga setempat tertulis

jelas pada monumen yang diresmikan 1 Juli 1984 oleh Kapolda Jawa Timur saat itu, Mayjen Polisi Soedarmadji. Kapolres Jember saat itu, Letkol Polisi H Soemardiono, juga tertulis di monumen tersebut. Dua bambu runcing, logo Brimob, logo Polri, serta logo Polda Jatim, pun terpampang di monumen bersejarah tersebut. Tidak banyak yang tahu sejarah monumen setinggi 10 meter tersebut. Para saksi mata peristiwa maut itu sudah tiada. Kini tinggal anak dan para cucu saksi mata yang tetap mengenang sejarah kepahlawanan 13 anggota Brimob dan 20 warga Jumerto tersebut. Suhadi, salah seorang warga Jumerto, menyatakan mendapatkan cerita kepahlawanan itu dari Abdarullah, ayahnya yang meninggal lima bulan lalu. Dia kemudian menceritakan peristiwa Palagan Jumerto. Kejadian tersebut bermula dari kedatangan 13 anggota Brimob yang mendapatkan tugas patroli keliling Jawa Timur (Jatim). Tiga belas anggota Brimob itu baru datang dari perjalanan panjang, kata Suhadi. Sebelum menginap di Desa Jumerto, mereka menempuh perjalanan dari Lumajang, Malang, dan Blitar.

Mengenang Kembali Sosok Pahlawan Jember, Muhammad Seruji


Moehamad Seroedji adalah salah satu sosok pahlawan Indonesia dari kota kecil di Jawa Timur yang bernama Jember. Beliau merupakan seorang letkol atau pemimpin perjuangan di jaman perang kemerdekaan yang berperan aktif dalam mengusir penjajah dari tanah Jember. Beliau menjadi seorang pejuang dari usia yang sangat muda dan memiliki rasa cinta terhadap tanah air yang sangat tinggi. Setelah penjajah keluar dari kota Jember dan negara Indonesia telah merdeka, Moehamad Seroedji diangkat menjadi bupati pertama Kota Jember. Bagi masyarakat Jember dari dulu hingga sekarang menyakini bahwa Moehamad Seroedji adalah

pahlawan kota Jember,

sehingga masyarakat Jember pada waktu itu

bersepakat untuk membuat sebuah patung Moehamad Seroedji sebagai tanda penghormatan akan jasa jasa nya untuk kota Jember dan diletakkan di depan kantor Kabupaten Jember hingga saat ini.

Di jaman modern seperti sekarang ini, saya melihat banyak masyarakat kota Jember yang telah melupakan Beliau sebagai pahlawan kotanya, terutama generasi mudanya yang tidak mengenal lagi sosok Moehamad Seroedji. Hal ini dapat terjadi karena dunia pendidikan di Indonesia hanya mengenalkan generasi mudanya dengan tokoh tokoh pahlawan nasional yang memiliki prestasi perjuangan tinggi dalam usaha mewujudkan kemerdekaan di negara Indonesia. Sehingga generasi muda Indonesia tidak lagi mengenal lagi tokoh tokoh pahlawan lokal. Maka dari itu, kita sebagai masyarakat negara Indonesia harus peduli dan kembali belajar untuk mengenal, menghargai, dan mencintai sejarah bangsa kita terutama sejarah perjuangan para pahlawan nasional maupun lokal atas jasa jasa nya yang begitu besar dalam mewujudkan kemerdekaaan di tanah pertiwi ini sehingga kita dapat merasakan kemerdekaan saat ini. Sejarah merupakan guru kehidupan bagi manusia, karena dari sejarah kita bisa belajar tentang masa lalu, masa ini, dan masa mendatang.

Sejarah Singkat Universitas Jember

Cikal bakal Universitas Jember berasal dari gagasan dr. R. Achmad bersama-sama yang dengan R. Th. Soengedi dan R. M. Soerachman bercita-cita mendirikan perguruan tinggi di Jember. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut pada tanggal 1 April 1957, ketiganya membentuk panitia yang diberi nama Panitia Triumviraat dengan komposisi Ketua dr. R. Achmad; Penulis R. Th. Soengedi, dan Bendahara R. M. Soerachman. Selanjutnya Panitia Triumviraat ini pada tanggal 5 Oktober 1957 membentuk yayasan dengan nama Yayasan Universitas Tawang Alun (disahkan dengan Akta Notaris tanggal 8 Maret 1958 Nomor 13 di Jember). Yayasan Universitas Tawang Alun inilah yang kemudian mendirikan universitas swasta di Jember dengan nama Universitas Tawang Alun yang kemudian disingkat UNITA. Dalam perjalanannya, ketiga tokoh tersebut mendapatkan dukungan penuh Bupati Jember saat itu, R. Soedjarwo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP No. 151 Tahun 1964 tanggal 9 Nopember 1964, tentang didirikannya Universitas Negeri di Jember. Usaha tanpa kenal lelah sejak tahun 1957 itu akhirnya berhasil menjadi kenyataan, Universitas Negeri Djember berdiri !

Pada awal berdirinya pada tahun 1964, Universitas Negeri Djember yang disingkat UNED, memiliki lima fakultas, terdiri dari Fakultas Hukum di Jember, dengan cabangnya di Banyuwangi, Fakultas Sosial dan Politik dan Fakultas Pertanian di Jember, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sastra di Banyuwangi. Dengan rektor pertama dijabat oleh dr. R. Achmad. Kepemimpinan dr. R. Achmad dilanjutkan oleh Letkol. Soedi Harjohoedojo (1967-1969), Letkol. Soetardjo, SH (1969-1978) dan Kol. Drs. H. R. Warsito (1978-1986). Baru semenjak tahun 1986, rektor Universitas Jember dijabat oleh sivitas akademika-nya sendiri, yakni oleh Prof. Dr. Simanhadi Widyaprakosa (1986-1995), Prof. Dr. Kabul Santoso, MS (1995-2003), Dr. Ir. T. Sutikto, MSc (2003-2011) dan Drs. Moh. Hasan, Msc Ph.D (2012 sampai sekarang).

Sosok 3 Patung di Universitas Jember dan Sejarahnya


Tahun 2010 di Universitas Jember tepatnya di Ujung dobleway atau depan kantor pusat ada penghuni baru, yaitu 3 Sosok Patung berdiri tegap. Patunng siapa saja itu?Tentu saja tokoh pendiri Universitas Jember.

Sempat ada revisi mengenai patung ini yang berkaitan dengan sejarah.

Berikut ini sejarah yang saya ambil dari tulisan di Diambil dari Jawa Pos, Radar Jember, Senin, 04 Mei 2009. Tak banyak orang tahu, salah satu yang punya peran penting dalam pendirian Universitas Jember (Unej) yang dulunya bernama Universitas Tawang Alun (Unita) adalah Alm R. Soedjarwo.Saat Unita dirintis, dia menjabat sebagai Bupati Jember sekaligus merangkap sebagai Ketua DPRD Swatantra.Inilah penuturan Ir Suhardjo Widodo MS, putra keempat R. Soedjarwo yang juga menjadi saksi mata sejarah pendirian perguruan tinggi negeri di Jember. Winardi Nawa Putra, Jember Dalam konteks pembangunan Kabupaten Jember, Unej mempunyai peranan sangat strategis.Kampus yang terletak di Tegal Boto ini telah menjadi magnet luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi di Jember.Telah banyak andal lulusan dan Unej yang menjadi hingga pengusaha ke besar dan tokoh nasional.Unej telah melahirkan generasi bangsa yang punya kualitas diperhitungkan kancah internasional. Jumlah mahasiswa Unej sekarang ini lebih dari 20 ribu mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah.Tentu ini merupakan potensi ekonomi yang luar biasa dalam meningkatkan perputaran uang yang masuk ke Jember.Keberadaan Unej sekaligus memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.Banyak usaha kos-kosan dan berbagai aktivitas usaha di sekitar kampus yang bermunculan. Tidak dapat dipungkiri, Unej memberikan wajah tersendiri bagi kota Jember sebagai salah satu kota pendidikan terpandang di Jawa Timur, selain Surabaya dan Malang. Saat-saat rintisan pendirian perguruan tinggi di Jember, salah satu yang tahu banyak adalah Ir Suhardjo Widodo MS. Dia adalah putra keempat alm R. Soedjarwo, mantan bupati Jember yang juga salah satu perintis berdirinya Unej. Menurut Suhardjo, periode cikal bakal pendirian Universitas Jember mulai tahun 1957-1964. Ini diawali dengan munculnya gagasan tentang pentingnya suatu universitas di kota Jember. Tokoh yang mempunyai

gagasan tersebut adalah dr R. Achmad, R. Th. Soengedi, dan M. Soerachman, ujarnya. Ketiga tokoh tersebut akhirnya berhasil mendirikan Yayasan Tawang Alun.Tujuan pokok yayasan tersebut adalah mendirikan Universitas swasta Tawang Alun (Unita).Pada waktu, Unita berdiri baru memiliki sebuah fakultas, yakni Fakultas Hukum. Pada masa itu, Unita belum mempunyai gedung, masih menempati Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jember dan Sekolah Menengah Pertama Katolik Putra Jember, kisahnya. Memasuki tahun 1959, ujar pria kelahiran 21 Mei 1949 ini, tuntutan kepada Unita untuk terus berkembang semakin besar. Maka, atas permintaan warga Unita, pada 26 Januari 1959, R. Soedjarwo diangkat sebagai Ketua Yayasan Unita. Secara kebetulan, pada periode 1957 sampai dengan 1964, R. Soedjarwo menjabat sebagai Bupati Jember dan merangkap sebagai Ketua DPRD Swatantra, ujarnya. Boleh dikata, sebagai Bupati Jember waktu itu, R. Soedjarwo mempunyai perhatian cukup besar terhadap pembangunan pendidikan di Kabupaten Jember. Ini mengingat bahwa anggaran pemerintah saat itu masih sangat terbatas. Atas kenyataan itu, untuk menunjang bidang pendidikan, R. Soedjarwo masyarakat bersama tokoh-tokoh masyarakat kemudian dunia mendirikan pendidikan. Yayasan Pendidikan Kabupaten Jember (YPKD) dengan menggali dana dari untuk menunjang Salah satu cara yang unik dalam mengumpulkan dana, R. Soedjarwo minta sumbangan dari masyarakat Kabupaten Jember berupa buah kelapa dan botol kosong untuk dijual. Selanjutnya dananya dipergunakan untuk membantu Unita dan sekolah-sekolah yang lain, ujar bapak berputra dua ini. Dia ingat betul, saat itu dia masih duduk di bangku SMP.Dengan usaha tersebut, lanjut dia, R. Soedjarwo di kalangan masyarakat terkenal sebagai Bupati Botol Kosong. Beberapa sekolah yang sempat dibantu pembangunannya oleh YPKD antara lain, Gedung SGA yang sekarang ditempati MAN II, gedung SMA I,

SMEA, SKP yang sekarang ditempati SMPN 11 Jember, STM yang sekarang menjadi SMPN X , PGA, dan SPPMA. Serta tidak kurang 50 gedung Sekolah Rakyat (SD) termasuk gedung Asrama Putri di Jalan PB Sudirman yang dibantu, ujarnya. Untuk membesarkan Unita, R. Soedjarwo kemudian membantu

mendirikan gedung kampus Unita yang ada di jalan PB Sudirman seluas 656 meter persegi. Gedung tersebut dibangun di atas tanah seluas 2.160 meter persegi dengan biaya pembangunan sebesar Rp 23.243,66. Dana tersebut bersumber dari dana YPKD. Sejak tahun 1960, Unita semakin Ilmu berkembang.Jumlah Pendidikan USAID dan untuk fakultas, Fakultas mendapatkan satu demi satu bertambah. tambahnya. berupa alat Meliputi, Fakultas Sosial Politik, Fakultas Kedokteran, Fakultas Keguruan Pertanian, sumbangan Seiring perjalanan waktu, untuk menambah prasarana kampus, Unita mengundang laboratorium dan buku-buku.Kampus Universitas Jember di Tegal Boto, sebenarnya sudah diimpikan R. Soedjarwo.Saat itu tahun 1960, Tegal Boto masih berupa daerah terpencil bagaikan pulau mati dan tidak bisa dijangkau transportasi darat, ujarnya. Untuk membuka daerah tersebut, R. Soedjarwo mulai membangun jembatan di jalan PB Sudirman arah ke Jalan Mastrip pada 1961. Jembatan tersebut baru selesai tahun 1976 dan hingga kini dikenal sebagai jembatan Jarwo, ujarnya. Nah, awal 1961 Yayasan Unita mulai merintis upaya agar Unita bisa berstatus negeri. Untuk itu, R. Soedjarwo mengadakan koordinasi dengan segenap termasuk pengurus yayasan, pengurus anggota Unita, tokoh-tokoh daerah, DPRD.

Sidang DPRD pada 19 April 1961 akhirnya menghasilkan keputusan menetapkan resolusi, ujarnya.Resolusi tersebut isinya menyangkut beberapa hal. Pertama, tentang memperkuat ide pembukaan Fakultas Kedokteran, kedua mengirim delegasi yang terdiri dari Ketua DPRD menghadap Pemerintah Pusat, dan ketiga Universitas Tawang Alun agar diakui sebagai Universitas Negeri. Langkah selanjutnya, Yayasan Unita mengirim beberapa delegasi untuk

menghadap

Menteri

PTIP

waktu

itu

dipegang

Prof

Mr

Iwa

Kusumasumantri, ujarnya. Hasilnya memberikan harapan baru, pemerintah akan menegerikan Unita bersama-sama dengan Unibraw pada 20 Mei 1962. Untuk menyongsong rencana tersebut, ujar suami EM Evi ini, Yayasan Unita kemudian mengirim kembali delegasinya pada 14-24 Maret 1962. Namun di luar dugaan, telah terjadi pergantian Menteri PTIP, yaitu Prof Dr Ir Thoyib Hadiwidjaja yang mempunyai kebijakan baru bahwa tidak membenarkan penegerian dua universitas dalam satu provinsi secara bersamaan. Akibat penundaan penegerian Unita tersebut, Unita akhirnya diintegrasikan ke Universitas tertanggal masyarakat Brawidjaya 5 Januari Jember Malang 1963.Hal dan berdasarkan ini mahasiswa SK Menteri Unita PTIP No1, bagi menimbulkan keresahan

khususnya.

Melihat hambatan tersebut R. Soedjarwo terus berusaha dengan mengirim delegasi ke Jakarta hingga mendapat dukungan dari DPRD untuk mendesak pemerintah pusat untuk menegerikan Unita menjadi universitas negeri secepatnya. Jerih payah R. Soedjarwo dengan dibantu pihak-pihak terkait, akhirnya membuahkan hasil dengan terbitnya SK Menteri PTIP No 153 tahun 1964 tertanggal 9 November 1964 tentang Didirikannya Sebuah Universitas Negeri Jember, paparnya. Sejak Unita menjadi Universitas Negeri R. Soedjarwo tidak aktif dalam mengembangkan Universitas Jember, ujarnya. Menurut Suhardjo, dalam perkembangan Universitas Jember hingga maju pesat dan menjadi besar hingga berskala nasional tidak lepas dari peran dua Rektor terakhir yaitu Prof Dr Kabul Santoso MS dan Dr Ir T Sutikto MSc. Tahun ini Universitas Jember akan berdies natalis ke-45. Melihat perjalanan Universitas Jember hingga maju pesat seperti ini, tak salah jika dalam dies natalis tersebut ada suatu apresiasi yang memadai bagi founding fathers Universitas Jember yang telah bersusah payah membangun pendidikan di Jember.

Cagar Budaya di Jember


Situs Kamal yang berlokasi di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.Di situs Kamal tersebut terdapat situs-situs pra sejarah seperti batu kenong, kubur batu, dan menhir. Batu kenong adalah batu yang pada bagian atasnya terdapat tonjolan yang berbentuk bundar.Di situs Kamal ini terdapat dua jenis batu kenong yaitu batu kenong dengan 1 tonjolan dan batu kenong dengan 2 tonjolan.Batu kenong tersebut sudah tersusun yang sudah dipindahkan dari tempat semula. Batu kenong melambangkan bentuk persembahan kepada arwah nenek moyang dan menjadi pemujaan yang dibuat sekitar abad X XIV M ( puslit arkenus ). Batu kenong tonjolan 1 sebagai tanda tempat penguburan sedangkan, batu kenong tonjolan 2 sebagai ompakompak atau alas bangunan rumah dari kayu. Kubur batu merupakan peti mayat dari batu, yang keempat sisinya berdinding papan-papan batu bagian alas dan bidang atasnya juga terbuat dari batu. Dibuat sekitar abad X XIV M ( puslit arkenas ). Kubur batu merupakan tempat pemakaman atau peti mayat yang didalamnya terdapat jenazah yang di simpan dalam keadaan terbaring dengan posisi kepala menghadap ke tempat yang lebih tinggi. Kubur batu yang berada di situs kamal adalah kubur batu masyarakat sekitar yang dahulu bermukim di sekitar situs kamal. Kalau kita melihat kondisi topografi dari daerah sekitar situs kamal, dapat di perkirakan bahwa kubur batu melingkar menuju keatas ketempat yang posisinya lebih tinggi, sehingga untuk mencapai surga akan lebih cepat. Di dalam kubur batu selalu ada bekal kubur berupa manik manik serta perhiasan, Tergantung dari kelas sosial pada waktu kehidupan sang mayat. Semua kubur yang ada disekeliling Desa Kamal semuanya menghadap ke kubur batu yang ada didesa kamal maksudnya, kepala orang yang meninggal selalu mengarah ke kubur batu di desa kamal,

mereka mengarah ke arah kubur batu tersebut karena orang yang di makamkan di kubur batu tersebut adalah tokoh masyarakat atau kepala suku. Jadi kubur batu memiliki fungsi sebagai tempat pesemayaman orang-orang yang sudah wafat. Selain itu ada juga menhir atau batu tegak yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 600M. Batu tegak atau menhir yaitu tiang batu atau tugu batu yang didirikan sebagai tanda peringatan yang melambangkan arwah nenek moyang dan menjadi benda pemujaan. Dibuat sekitar abad X XIV M ( puslit arkenas). Di situs kamal ini terdapat dua menhir, menhir yang pertama lebih pendek berbentuk silinder, lebih ke atas diameternya lebih kecil.Sedangkan menhir yang kedua lebih tinggi, berbentuk silinder luas lingkaran bagian bawah silindernya semakin kecil. Selain sebagai tempat pemujaan menhir juga di gunakan sebagai tanda peringatan sebuah kejadian, biasanya menhir yang digunakan sebagai tanda di bawahnya terdapat prasasti serta tulisan yang berisi penjelasan kejadian apa yang terjadi. Menhir dapat di kategorikan menjadi dua yaitu menhir arca dan menhir biasa Di dekat menhir ini terdapat pohon besar dan dikira dahulu orangorang yang datang selalu membawa sesajen sebagai tanda penghormatan kepada hal yang ghaib. Sesajen itu biasanya kue apem yang berfungsi sebagai payung penyelamat warga-warga disekitarnya. Media menhir sebagai arah berkomunikasi. Menhir juga sebagai symbol fisik orang yang dimakamkan atau orang yang sudah meninggal. Diperkirakan pada tahun 1988 masih ada penghormatan. Situs-situs menhir banyak ditemukan di desa kamal, Karena daerah ini memiliki suasana geografis daerah pegunungan. Daerahnya subur, Banyak makanan dan Air yang cukup mudah sehingga pada zaman dahulu banyak orang yang tinggal didaerah ini. Kubur batu ialah peti minyak dan batu, ke empat sisinya berdinding papan-papan batu bagian alas dan bidang atasnya juga terbuat dari batu. Dibuat sekitar abad X XIV M ( puslit arkenas ).

Sarkofagus 3500 Tahun

Mumi ini awalnya dikira hanya berusia 2.400-2.600 dan tak penting.Namun, seorang pengunjung mengenalinya dan mengatakan sarkofagus itu berusia lebih tua. Kuator Torquay Museum Barry Chandler mengatakan, "Dr Aidan Dodson dari Bristol University melihat desain dan menyadari sarkofagus ini berasal dari 'era emas' Mesir atau masa Akhenaten dan Tutankhamun". Tak hanya itu, sarkofagus ini mengindikasikan dibuat untuk anak berstatus tinggi, kemungkinan keluarga kerajaan. "Dari detail mata, lutut dan lainnya, peti mati ini jauh lebih tua dari perkiraan. Ini seribu tahun lebih tua dan untuk keluarga status tinggi atau kerajaam," lanjutnya.

Dr Aidan Dodson dari Bristol University akhirnya memeriksa artefak ini dan menemukan, peti mati ini berasal dari 3.500 tahun silam dari masa Thutmose II atau dinasti Mesir ke-18 seperti ditulis DM

dr. Soebandi Sejarah Jember tidak bisa dipisahkan dari sosok pejuang bernama Dokter Soebandi. Namanya tidak hanya dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan pada era Agresi Militer Pertama dan Kedua, namun juga dikenal sebagai seorang dokter. Kini, namanya diabadikan sebagai nama jalan, hingga nama rumah sakit daerah Jember. Bukan hal yang mudah bagi Widiyastuti mengingat sepak terjang almarhum Soebandi, sang ayah. Di era itu, dia bersama dua saudaranya, Widiyasmani, dan Widorini masih sangat kecil. Malah, dia bersama saudara dan sang ibu, almarhum Rr Soekesi hampir tidak pernah bertemu dengan sang kepala keluarga. Waktu itu, bapak banyak di-front pertempuran. Beliau jarang sekali pulang. Setiap hari lebih banyak bertugas, kenangnya. Masa peperangan mempertahankan kemerdekaan, memang masa yang sarat keprihatinan. Sebagai anak seorang dokter yang banyak ditugaskan, sekaligus sering diminta untuk membantu perjuangan, Tuti, panggilan akrabnya, dituntut untuk menerima keadaan hidup hanya dengan ibu dan kedua saudaranya. Bahkan, ketika, Soebandi bersama Brigade III Damarwulan diminta hijrah ke Blitar, dia bersama saudara dan sang ibu hanya bisa mendoakan dari Jember. Lama berselang. Waktu serasa berputar dengan cepat, ketika keluarga kecil itu tidak pernah mendengar kabar Soebandi. Bingung itu pasti. Ibu jelas khawatir tidak bisa mendengar kabar tentang bapak, katanya. Dengan segala pertimbangan, Soekesi nekat membawa ketiga

anaknya yang masih kecil pergi ke Blitar. Di kota tempat Bung Karno beristirahat dengan damai itu, mereka berempat bisa bertemu kembali dengan Soebandi. Sayang, kebersamaan itu tidak bisa mereka dapatkan lebih lama. Karena Soebandi diminta bergabung dengan Brigade III Damarwulan, dimana dia menjabat sebagai kepala dokter dan merangkap sebagai Residen Militer Daerah Besuki. Selanjutnya, rombongan ini diminta kembali bertugas di Jember. Tak mau mempersulit keluarganya, Soebandi meninggalkan Soekesi dan tiga anaknya di Blitar. Sampai jasadnya ditemukan di sebuah sawah, setelah pertempuran bersama Letkol Sroedji di Desa Karangkedawung, Kecamatan Mumbulsari, satu tahun berikutnya, keluarga baru mengetahui kepastian bahwa Soebandi telah gugur di medan juang. Kami sekeluarga baru diberi tahu setelah jenasah ditemukan. Tidak ada pejuang teman bapak, yang berani memberitahu. Kabar itu kami terima setelah bapak meninggal satu tahun, katanya. Sebagai seorang pejuang, kemampuan Soebandi dalam bidang kedokteran memang sangat membantu. Terutama untuk menyembuhkan tentara Indonesia yang terluka akibat pertempuran. Dilahirkan di Klakah, Lumajang, pada 17 Agustus 1917, Soebandi termasuk orang yang beruntung di zaman itu. Putra pertama dari dua bersaudara ini, berhasil masuk di Ika Daigoku (sekolah kedokteran di Jakarta). Sebelumnya, dia mengikuti pendidikan di HIS, MULO, dan NIAS. Setelah lulus dari Ika Daigoku pada 12 November 1943, Soebandi melanjutkan pendidikannya di Pendidikan Eise Syo Dancho. Selanjutnya, setelah lulus, dia diangkat sebagai Eise Syo Dancho. Yang kemudian di tempatkan di Daidan Lumajang.

Pada saat itu, selain sebagai tentara, Soebandi juga bertugas sebagai dokter tentara. Ketika PETA dibubarkan pada 19 Agustus 1945 karena Jepang menyerah pada Sekutu, dia ditugaskan di RSU Probolinggo sebagai dokter. Pada waktu pembentukan BKR, Soebandi yang sudah berpangkat letnan kolonel dipanggil ke Malang. Di sana dia ditugaskan menjadi dokter di RST Claket Malang dengan pangkat kapten. Ketika BKR diubah menjadi TKR pada 5 Oktober 1945 dan berubah menjadi TRI , dia diberi pangkat mayor. Pada masa Agresi militer pertama, tahun 1946, Soebandi kembali ditugaskan ke Jember. Dia yang ditugaskan sebagai kepala DKT dengan pangkat Mayor, dipindahkan ke resimen IV Divisi III, yang kemudian berubah menjadi Resimen 40 Damarwulan Divisi VIII. Pada rentang 1945-1947 itu, Soebandi banyak bertugas di front pertahanan Surabaya selatan, Sidoarjo, Tulangan Porong, dan Bangil. Bahkan, pernah ditugaskan di front pertahanan Bekasi Jawa Barat sebagai dokter perang. Pada tahun 1947, setelah tentara Belanda menduduki Jember, dia pernah ditangkap dan dijadikan tahanan kota. Karena terpergok menolong seorang prajurit yang terluka di DKT. Kini, sudah 61 tahun sejak Soebandi gugur di medan juang. Negara ini juga sudah merdeka, dan telah berganti-ganti presiden. Jejak perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, harusnya tidak hanya berupa monumen dan taman makam pahlawan. Kami, sebagai anak dari seorang pejuang, kadang merasa prihatin. Negeri ini sudah lama merdeka, tapi, makin lama kok makin banyak koruptor. Seolah, setiap hari selalu saja ada korupto yang ditangkap, kata Tuti. Padahal, dulu di medan perang, banyak pahlawan yang tidak peduli dirinya sendiri. Mereka mengorbankan apa saja, agar negeri ini bisa

merdeka. Setelah merdeka, anak bangsanya kok malah korupsi. Mereka memang tidak merasakan kesedihan kami. Merasakan susahnya masa perang dan ditinggal seorang ayah berjuang hidup dan mati, katanya. Dia juga sedikit menyesalkan penghargaan negara terhadap

pejuang masih sangat kurang. Banyak rekan-rekan bapak saya, sesama pejuang, yang butuh perhatian dari pemerintah, kata ibu empat anak. Dia berharap, agar pemerintah lebih memperhatikan para pejuang yang masih hidup. Selain itu, dia juga berharap agar generasi muda negeri ini, bisa menghargai perjuangan pahlawan dengan berkarya lebih baik untuk bangsa. (lie)

Candi Deres

Candi Deres adalah peninggalan sejarah kebudayaan di Kabupaten Jember yang terletak di dusun. Deres, Desa. Puwo Asri, Kecamatan Gumukmas, kabupaten Jember, Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai