Anda di halaman 1dari 214

BUKAN JALAN TENGAH Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965

Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Tim Penulis Margiyono, SH. Muktiono, SH., M.Phil Dr. Rumadi, MA. Prof. Dr. Soelistyowati Irianto

The Indonesian Legal Resource Center ILRC Jakarta, 2010

ii B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965

BUKAN JALAN TENGAH Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ILRC ukuran 14,5 x 21cm; xiv + 200 halaman Majelis Eksaminasi : Margiyono Muktiono Rumadi Soelistyowati Irianto Tim Asisten/Penyusun : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Perwajahan dan Sampul : Canting Production Penerbit : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641 Email : Indonesia_lrc@yahoo.com Website:www.mitrahukum.org Edisi pertama, 2010 ISBN :

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR PENDAHULUAN A. Pertimbangan Pembentukan Majelis Eksaminasi B Tujuan Eksaminasi C. Majelis Eksaminasi BAGIAN PERTAMA : POSISI KASUS A. Sekilas UU No. 1/PNPS/1965 B. Permohonan Uji Materiil UU No.1/PNPS/1965 C. Proses Persidangan 1. Keterangan Presiden/ Pemerintah: Bukan Kebebasan Sebebas-bebasnya 2. Keterangan DPR RI: Tidak Merencanakan Perubahan ataupun Penggantian UU Penodaan Agama 3. Keterangan Saksi: Tidak Ada Sumpah Pancasila! 4. Keterangan Ahli: UU Penodaan Agama Memiliki Masalah 5. Keterangan Pihak Terkait: Antara Dipertahankan, Revisi atau Dicabut D. Teror, Intimidasi, Kekerasan, dan Pengerahan Massa 1. Stigma PKI, Atheis dan Penganut Kebebasan Tanpa Batas 2. Teror dan Intimidasi 3. Kekerasan terhadap Ahli, Saksi dan Kuasa Pemohon vii ix xiii xiv

1 8 11 13 14 15 22

26 28 32

iv B u kan Jal an Teng ah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965

4. Mobilisasi dan Tekanan Massa 5. Pernyataan Ketua MK Sebelum dan Sesudah Putusan E. Putusan Mahkamah Konstitusi 1. Alasan-Alasan Penolakan Permohonan 2. Alasan berbeda (concurring opinion) Hakim Harjono 3. Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Maria Farida Indrati. BAGIAN KEDUA : KERANGKA KONSEPTUAL A. Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 1. Delapan Elemen Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan 2. Pembatasan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan 3. Larangan Diskriminasi dan Hasutan Kebencian Keagamaan B. Hak Kebebasan Berekpresi 1. Sejarah Hak Atas Kebebasan Berekpresi 2. Pembatasan Hak Kebebasan Berekspresi C. Penistaan Agama (Blasphemy), Penodaan Agama (Defamation of Religion), Ajaran Menyimpang (Heresy) dan Penyebaran Kebencian (Hate Speech) 1. Pengertian Blasphemy, Sejarah dan Pengaturan di Beberapa Negara 2. Penodaan Agama (Defamation of Religion) 3. Ajaran Menyimpang (Heresy) 4. Penyataan Kebencian (Hatred Speech) D. Perlindungan Hak-Hak Minoritas 1. Pengertian Minoritas dan Kelompok Rentan 2. Hak-Hak Minoritas 3. Perlakuan Khusus (Affirmative Action)

34 36 39 42 42

46 47 50 52 54 55 55 59 61 62 64 67 70

Daf t ar Is i

BAGIAN KETIGA : ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI A. Jalan Tengah Mahkamah Konstitusi 1. Mahkamah Dalam Bayang-Bayang Ketakutan 2. Jalan Tengah Hakim Harjono 3. Mahkamah Melegitimasi Ideologi Politik Piagam Jakarta B. Mahkamah Menyeret Indonesia memasuki Era Kemunduran HAM C. Perspektif Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 1. Mahkamah Tidak Melihat Keterkaitan Penodaan Agama dengan Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2. Mahkamah Memberi Jalan Intervensi Negara Terhadap Agama 3. Mahkamah Konstitusi tidak mampu membedakan penodaan agama (defamation of religion) dan penyebaran kebencian (hatred speech) 4. Mahkamah Tidak Memperhatikan Fakta-Fakta Diskriminatif Pemberlakuan UU Penodaan Agama 5. Mahkamah Mengikuti Paham Politik Keagamaan Media Dakwah dan Suara Hidayatullah D. Perspektif Hak Kebebasan Berekpresi 1. Mahkamah Tidak Mempertimbangkan Amicus Curie Kebebasan Berekpresi 2. Mahkamah Tidak Memperhatikan Perkembangan Hukum Internasional E. Perlindungan Hak-Hak Minoritas 1. Mahkamah Tidak Mampu Melihat Kerentanan Kelompok Minoritas 2. Mahkamah Tidak Memberikan Affirmative Action Pada Kelompok Minoritas

74 78 81 86

88 90 92 93 97 99 102 103 105

vi B u kan Jal an Teng ah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965

BAGIAN KEEMPAT : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN B. REKOMENDASI BAGIAN KELIMA : PENUTUP DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Lampiran 1 : Anotasi Putusan UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penodaan Agama Dilihat dari Hak Atas Kebebasan Berekspresi Oleh : Margiyono Lampiran 2 : Prospek Umat Minoritas dalam Kerapuhan Hukum dan Tafsir Konstitusi Oleh : Muktiono, SH. M.Phil. Lampiran 3 : Antara Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh : Rumadi Lampiran 4 : Mengapa Ditolak Seruan Membawa Bangsa Indonesia yang Berkeadilan Hukum dan Berkeadilan Sosial? Oleh : Sulistyowati Irianto PROFIL MAJELIS EKSAMINASI PROFIL ILRC

109 109 111 113

117 143 159

185 198 199

KATA PENGANTAR MENGAWASI MAHKAMAH KONSTITUSI


Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga negara yang dibentuk sebagai jawaban atas praktik penyelewengan konstitusi yang melembaga semasa Orde Baru. Ia mengemban misi besar membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. Di usia mudanya, MK telah menjadi tumpuan baru bagi usaha penghormatan hak-hak konstitusional dan tumbuh menjadi lembaga yang populer dan disegani. Dilihat dari kepentingan penegakan konstitusi, MK adalah lembaga yang sangat strategis. Melalui kewenangan untuk menguji undang-undang, MK memiliki pengaruh yang begitu besar pada arah politik hukum di Indonesia. Ia memiliki dua potensi strategis sekaligus, yaitu menegakkan konstitusionalitas dan sekaligus memiliki potensi untuk merobohkannya. Sekalipun MK dirancang untuk menjadi lembaga yang memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagaimana praktik ketatanegaraan yang ada, kinerja MK pada periode tertentu sangat dipengaruhi oleh integritas dan profesionalitas para hakimnya. Para hakim konstitusi bukanlah para malaikat yang turun dari langit. Para hakim konstitusi diusulkan oleh tiga lembaga tinggi negara, yaitu DPR, MA dan Presiden. Oleh karena itu, tidak bisa diingkari jika kualitas dan figur hakim-hakim konstitusi akan senantiasa merefleksikan kepentingan tiga lembaga negara tersebut. Jadi begitu banyak faktor yang memungkinkan lembaga ini melahirkan keputusan-keputusan yang justru membahayakan konstitusi, mencederai demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia. MK juga tidak bisa membebaskan dirinya dari logika kekuasaan yang senantiasa memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan. Pada akhirnya setiap hakim akan diuji dan dinilai dari

viii B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

keputusan-keputusan yang telah mereka buat. Demikian juga halnya dengan MK, kredibilitas lembaga sangat tergantung pada kualitas dan integritas para hakimnya. Oleh karena itu, setiap usaha masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan kekuasaan kehakiman di MK perlu dihargai dan didukung. Demikian juga dengan apa yang telah dilakukan oleh ILRC bersama para intelektual dalam melakukan kajian kritis dalam bentuk eksaminasi terhadap Putusan MK tentang UU Pencegahan/Penodaan Agama. Para intelektual yang terlibat di dalam Majelis Eksaminasi adalah mereka yang kompeten di bidangnya masing-masing. Mereka adalah: Dr. Rumadi, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Margiyono,S.H., dan Muktiono, S.H., MA. Kepada mereka patut diberikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas komitmennya untuk terus memperjuangkan prinsip-prinsip kebebasan beragama. Penghargaan serupa juga patut diberikan kepada kawan-kawan eksekutif ILRC yang dengan komitmen tingginya telah mampu memfasilitasi berlangsungnya eksaminasi ini hingga akhir. Eksaminasi ini sendiri dilakukan semata-mata sebagai kontribusi ILRC untuk ikut menegakkan konstitusi dan ikut menegakkan martabat MK sebagai Pengawal Konstitusi. Penerbitan dan penyebarluasan hasil eksaminasi ini kepada publik, selain dimaksudkan untuk menyebarluaskan semua pedebatan yang termuat di dalamnya, juga untuk mendorong berkembangnya sikap kritis dan replikasi inisiatif serupa di masyarakat. Selamat Membaca Indonesian Legal Resource Centre (ILRC) Ketua Dewan Pengurus Dadang Trisasongko

PENDAHULUAN
A. PERTIMBANGAN PEMBENTUKAN MAJELIS EKSAMINASI
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) yang demokratis dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat), oleh karenanya tuntutan akan adanya suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (independen), berwibawa, bersih, dan jujur harus secara konsekuen diwujudkan. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara baru sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Lahirnya MK didasarkan perubahan mendasar sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kepada supremasi hukum. Perubahan ini memerlukan mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga negara yang mempunyai derajat yang sama serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). MK didirikan berdasarkan amandemen Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945, dengan kewenangan: 1) menguji undang-undang terhadap UUD 1945, 2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, 3) memutus pembubaran partai politik, dan 4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Putusan MK bersifat final, yaitu memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Karena kewenangannya tersebut MK disebut sebagai the guardian of the constitution (pengawal konstitusi). Untuk mewujudkan MK sebagai kekuasaan kehakiman

x B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965

yang mandiri diperlukan keterlibatan dan partisipasi publik untuk mengontrol kewenangannya. Salah satu bentuknya adalah dengan membentuk lembaga eksaminasi yang independen, yang dikenal dengan Majelis Eksaminasi. Majelis Eksaminasi dibentuk untuk melakukan verifikasi terhadap proses persidangan yang memperoleh perhatian luas dari masyarakat/publik, belum mempertimbangkan secara optimal penerapan ilmu pengetahuan hukum dan HAM dalam pengambilan putusan dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Majelis Eksaminasi melakukan pengujian berdasarkan kompetensi keilmuan (ilmiah) atau akademik dan tidak berpretensi untuk menguji kembali fakta hukum. Oleh sebab itu, Majelis Eksaminasi bersifat independen, objektif dan ilmiah, transparan, dan bertanggungjawab terhadap publik dan dirinya sendiri (hati nurani). Uji Materi UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disebut UU Penodaan Agama) terhadap UUD 1945 mendapatkan perhatiaan publik yang luas, baik di tingkat lokal, nasional, maupun Internasional. Para pihak yang pro maupun kontra memobilisir dukungan baik didalam proses persidangan, media massa, maupun aksi unjuk rasa. Persidangan diwarnai pula sejumlah kekerasan, intimidasi dan teror kepada para pemohon, kuasa pemohon dan ahli-ahli yang mendukung pencabutan UU Penodaan Agama.1 Untuk membahas permohonan ini, MK di luar kebiasaannya menyelenggarakan rapat koordinasi sebelum persidangan, menghadirkan ahli sendiri, dan mendengarkan keterangan dari pihak-pihak yang dinilai MK terkait. Persidangan berlangsung 12 kali yang dilaksanakan secara marathon, dengan menghadirkan 49 ahli - 16 ahli di1) Intimidasi dan teror menimpa Ahli yaitu Ulil Abshar, Lutfi Asyaukani, Garin Nugroho, dan Yunianti Chuzzifah. Sedangkan kekerasan menimpa pengunjung sidang yaitu Noval dan Sidiq, kuasa pemohon yaitu Nurkholis Hidayat dan Uli Parulian Sihombing pada Rabu, 24 Maret 2010. Aksi pelemparan batu dan buah mengkudu terjadi pada Kantor LBH Jakarta, Jl.Diponegoro No. 74, alamat Tim Advokasi Kebebasan Beragama.

Pend ahuluan

xi

hadirkan MK -saksi, dan pihak terkait. Banyak pihak berharap MK membuat terobosan baru untuk mengatasi kekalutan pengaturan negara atas agama. Sebagai sebuah negara-bangsa (nation state), negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warganya, tanpa melihat latar belakang agama, kesadaran individu, keyakinan politik, ras, jenis kelamin dan suku. Siapa saja yang mengakui dan tinggal di bumi Indonesia, wajib dilindungi. Konstitusi Indonesia dengan lugas menjamin kebebasan setiap penduduknya untuk memeluk agama dan keyakinannya.2 Namun, pada akhirnya MK memutuskan bahwa UU Penodaan Agama tidak bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional) dan tetap dipertahankan Terhadap putusan tersebut, kuasa hukum pemohon menilai MK telah gagal menjadi pilar keempat demokrasi dan perlindungan HAM di Negara Indonesia. Penilaian tersebut disimpulkan dari: 1) MK memanipulasi fakta persidangan, 2) MK telah mengambil pertimbangan subyektif tanpa berdasar fakta persidangan dan alat bukti, dan 3) MK telah menolak teori ketatanegaraan universal tentang negara hukum (rechtstaat). Melalui keputusan tersebut MK telah memberikan legitimasi bagi Negara untuk melakukan tindak diskriminasi kepada penghayat kepercayaan dan kelompok minoritas keyakinan (agama dan kepercayaan) lainnya, dan untuk menentukan pokok-pokok ajaran agama di Indonesia. Di sisi lain, putusan ini dinilai akan memberikan angin segar kepada kelompok garis keras untuk melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok agama/keyakinan minoritas.3 Pasca putusan, berbagai pandangan tentang jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indo2) Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 3) Hakim Mahkamah Konstitusi Gagal Menjadi Pilar ke-4 Demokrasi dan Perlindungan HAM, Siaran Pers Pemohon Uji Materiil UU No. 1/PNPS/1965, tanggal 20 April 2010

xii B u kan Jal an Tengah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965

nesia bermuncul. Hal ini tidak terlepas dari argumen-argumen MK dalam menopang keputusannya. MK lebih banyak mendasarkan argumennya atas ketakutan adanya konflik di masyarakat, meninggalkan argumen-argumen konstitusi dan hak asasi manusia yang berlaku universal dan telah menjadi komitmen negara Indonesia. Di sisi lain, pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama meningkat seperti penyerangan Ahmadiyah di Manis Lor,4 Penyerangan Gereja HKBP Bekasi,5 Penyerangan dan Pembakaran Pemukiman Ahmadiyah di Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kabupaten Bogor,6 dan penutupan sejumlah gereja.7 Penyerangan terjadi pula dengan tujuan menghentikan kegiatan-kegiatan pendidikan HAM yang diselenggarakan Komnas HAM8 dan Anggota DPR.9 Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dibentuklah Majelis Eksaminasi Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4) Penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Manis Lor terjadi pada tanggal 28-29 Juli 2010. Penyerangan berawal dari surat perintah penyegelan tempat ibadah Jemaah Ahmadiyah, yaitu masjid An Nur oleh Bupati Kuningan, dengan alasan jemaah Ahmadiyah dianggap meresahkan di wilayah Kuningan. 5) Penyerangan terhadap Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), yang menyebabkan Pendeta Hasian Lumbantoruan Sihombing dan Luspida Simanjuntak terluka karena penusukan. Penyerangan dipicu oleh rencana pendirian gereja HKBP di Ciketing, Bekasi. 6) Penyerangan dan Pembakaran pemukiman Ahmadiyah di Cisalada terjadi pada tanggal 1 Oktober 2010. Penyerangan dilakukan oleh 1000 orang yang menyebabkan belasan rumah hancur, mobil, dua rumah dan satu mesjid terbaka 7) Terjadi 10 peristiwa terkait dengan penutupan gereja dan sarana agama kristen. Untuk lebih lanjut tentang penutupan gereja silahkan akses http://www.pgi.or.id/Penutupan2010.html 8) Pembubaran paksa Pelatihan HAM untuk Waria yang diselenggarakan Komnas HAM, dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan diri LPI (Laskar Pembela Islam) di Hotel Bumi Wiyata Depok, 30 April 9) Pertemuan Anggota DPR RI yaitu Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi IX Bidang Kesehatan), Rieke Diah Pitaloka ( dan Nursuhud (Anggota DPR RI) untuk sosialisasi kesehatan gratis di kota Banyuwangi, Jawa Timu pada tanggal 21 Juni 2010, dibubarkan oleh Front Pembela Islam (FPI) dilakukan FPI Banyuwangi bersama Forum Umat Beragama dan LSM Gerak.

Pend ahuluan

xiii

B. TUJUAN EKSAMINASI
Eksaminasi Publik ini secara umum bertujuan untuk mendorong partisipasi publik untuk melakukan pengkajian, pengkritisan, dan penilaian secara obyektif atas putusan MK. Secara khusus, eksaminasi publik ini bertujuan untuk menguji: a. Ketepatan dan konsistensi MK dalam menerapkan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum baik hukum materiil maupun formil dalam pengujian permohonan tersebut. b. Perspektif MK dalam memahami konsep hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan mendasarkan pada jaminan konstitusi dan kesesuaian dengan standar norma-norma hak asasi manusia internasional. c. Kualitas putusan MK, khususnya penerapan asas dan prinsip-prinsip hak asasi manusia Sedangkan tujuan jangka panjang dari hasil eksaminasi ini adalah : a. Hasil eksaminasi menjadikan bahan kajian akademik yang dapat dijadikan bahan ajar terutama di Fakultas Hukum; b. Mendorong para hakim untuk meningkatkan integritas moral, kredibilitas, intelektualitas, dan profesionalitasnya dalam menguji konstitusionalitas undangundang dengan menggunakan persfektif HAM; dan c. Mendorong advokasi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia baik dalam wilayah legislasi, administrastif maupun penegakan hukum.

xiv B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

C. MAJELIS EKSAMINASI
Untuk menjaga agar hasil pengujian dan penilaian (putusan) yang dilakukan oleh Majelis Eksaminasi dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan, maka susunan anggota Majelis Eksaminasi tersebut terdiri dari orang-orang yang memiliki perhatian yang besar terhadap hukum dan penegakan hukum serta yang memiliki basis keilmuan di bidang ilmu hukum, HAM, ilmu sosial atau berpengalaman dalam praktek penegakan hukum. Majelis Eksaminasi tersebut terdiri dari beberapa unsur yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Akademisi dan Praktisi, yang diharapkan mempunyai posisi obyektif, tidak memihak dengan kasus yang akan dieksaminasi dan tidak mempunyai kepentingan, atau hubungan atau keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan kasus yang akan dieksaminasi. Majelis Eksaminasi yang ditetapkan oleh Tim Panel adalah 1) Prof. Dr.Soelistyowati Irianto, 2) Dr.Rumadi, MA, 3) Margiyono, SH, dan 4) Muktiono, SH,M.Phil. Majelis Eksaminasi melakukan kajian terhadap putusan MK dari berbagai persfektif, sesuai dengan keahliannya masing-masing. Prof. Dr. Soelistyowati Irianto, menganalisa putusan melalui paradigma pluralisme hukum/studi hukum kritis, Margiyono,SH menganalisa putusan berdasarkan prinsip kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat (freedom of ekspresion), Dr. Rumadi, MA menganalisa putusan dari persfektif hak kebebasan beragama, dan Muktiono, SH, M.Phil menganalisa putusan dari aspek perlindungan terhadap kelompok minoritas dan aspek kesetaraan. Metode yang digunakan dalam kajian adalah metode interdisipliner, sebagai perbandingan terhadap metode yang digunakan oleh MK.

Bagian Pertama

POSISI KASUS
A. SEKILAS UU PENODAAN AGAMA
UU ini awalnya hanya berbentuk Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965 yang dikeluarkan Soekarno pada 27 Januari 1965. Lahir dari situasi saat itu dimana hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Situasi ini telah menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan atau mempergunakan agama, dan menodai agama. Dan perkembangan aliran dan organisasi kebatinan dianggap telah berkembang ke arah membahayakan agama-agama yang ada.1 Hal ini tercermin dari laporan Departemen Agama (Depag) yang melaporkan pada tahun 1953 terdapat lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan peran menentukan hingga pada pemilu 1955, partai-partai Islam gagal meraih suara mayoritas.2 Penpres ini merupakan bagian dari gagasan Nasakom3 Presiden Soekarno untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan nasionalisme, agama, dan komunisme demi meningkatkan kekuatan politiknya. Sehingga konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin yang otoriter, sentralistik dan terpusat di tangan Presiden Soekarno. Menyebabkan produk-produk hukum yang diciptakan pada masa tersebut juga bersifat otoriter dan sentralistik, tidak terkecuali UU Pe1) Penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 2) Budhi Munawar Rachaman, Membela Kebebasan Beragama, Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme (Buku 2), LSAF dan Paramadina, Januari 2010, halaman xviii 3) Nasakom adalah singkatan Nasionalisme, Agama dan Komunisme

2 B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965

nodaan Agama.4 UU Penodaan Agama sendiri terdiri dari empat pasal. Pasal 1 merupakan inti dari UU, yang melarang setiap orang yang dengan sengaja di muka umum untuk: 1. menceritakan,menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia; 2. menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia; Pasal 25 dan 36 merupakan mekanisme pelaksanaan pasal 1, baik melalui tindakan administratif berupa peringatan keras dan pembubaran organisasi dan pernyataan sebagai organisasi terlarang, maupun pidana selama-lamanya lima tahun. Sedangkan pasal 47 merupakan kriminalisasi bagi setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada
4) Permohonan Uji Materiil UU No.1/PNPS/1965, halaman 4 5) Pasal 2 ayat (1) selengkapnya berbunyi Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dan Pasal 2 ayat (2) Apabila pelangaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. 6) Pasal 3 selengkapnya berbunyi: Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.. Pasal 4 (156a KUHP) selengkapnya berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. 7) Pasal 4 (156a KUHP) selengkapnya berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Pos is i Kas us

pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Pasal 4 ini selanjutnya ditambahkan dalam KUHP menjadi Pasal 156a dibawah Bab V yang mengatur tentang Kejatahan terhadap Ketertiban Umum. UU ini memberi kewenangan penuh kepada negara untuk: 1) melalui Depag menentukan pokok-pokok ajaran agama; 2) menentukan mana penafsiran agama yang dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama dan mana yang tidak; 3) jika diperlukan, melakukan penyelidikan terhadap aliran-aliran yang diduga melakukan penyimpangan, dan menindak mereka. Dua kewenangan terakhir dilaksanakan oleh BAKORPAKEM,8 yang semula didirikan di Depag pada tahun 1954 untuk mengawasi agama-agama baru, kelompok kebatinan dan kegiatan mereka. Namun, semenjak 1960 tugas dan kewenangan diletakkan di bawah Kejaksaan Agung.9 Sampai dengan tahun 1999, Kejaksaan di berbagai daerah telah mengeluarkan 37 keputusan tentang aliran kepercayaan/keagamaan, dan kepolisian menyatakan 39 aliran kepercayaan dinyatakan sesat.10 Permasalahan lain, dalam penjelasan Pasal 1, memberikan pengertian mengenai agama yang dianut di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Keenam agama tersebut mendapat bantuan dan perlindungan. Sedangkan bagi agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zaratustrian, Shinto, dan Thaoism tidak dilarang di Indonesia. Agama-agama tersebut mendapat jaminan penuh oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dan agama8) Keputusan Jaksa Agung RI no. KEP 108/ J.A./ 1984 tentang pembentukan tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Keputusan Jaksa Agung ini merupakan landasan dari berdirinya Team koordinasi PAKEM (Team Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang dibentuk dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kabupaten. Team Pakem di tingkat Pusat terdiri dari unsur Depdagri, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kejaksaan Agung, Departemen Agama, Departemen Kehakiman, MABES ABRI, BAKIN dan Mabes Polri. 9) Uli Parulian Sihombing dkk, Menggugat Bakor Pakem: Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan, ILRC, Jakarta, 2008. 10) Ibid, halaman 109 - 117

4 B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965

agama tersebut dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Penjelasan ini selanjutnya ditafsirkan bahwa 6 (enam) agama tersebut sebagai agama yang diakui dan mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dan penodaan agama, mendapat fasilitas-fasilitas dari negara dan menjadi kerangka berpikir dalam penyelenggaraan negara. Di sisi lain untuk agama-agama lokal, penganut kepercayaan/kebatinan dalam penjelasan UU dinyatakan Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pengkategorian ini tidak terlepas dari definisi agama yang diajukan Depag yaitu harus memuat unsur-unsur (1) Kepercayaan terhadap Tuhan YME, (2) Memiliki Nabi, (3) Kitab Suci, (4) Umat, dan (5) Suatu sistem hukum bagi penganutnya.11 Pendefinisian ini sendiri tidak terlepas dari konstelasi politik pada masa itu, dimana Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) pada tahun 1957 mendesak Soekarno untuk mengakui secara formal kebatinan setara dengan agama. Akibat pendefinisian ini, maka kelompok kepercayaan, kebatinan, atau agama adat tidak tercakup didalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai belum beragama. Definisi ini diperkuat dengan keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/1978, yang antara lain menyebutkan agama yang diakui oleh pemerintah adalah Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha.12 Selanjutnya keberadaan aliran kebatinan/kepercayaan/ agama adat diakui semenjak dicantumkan dalam GBHN 1978 yang diwadahi dalam Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaannya tidak merupakan agama, dan untuk pembinaannya dilakukan:

11) Budhi Munawar Rachaman, op.cit, halaman xviii 12) Musdah Mulia, Hak Kebebasan Beragama, dalam Islam dan HAM, Konsep dan Implementasi, Naufan Pustaka, Jakarta, 2010, halaman 44

Pos is i Kas us

agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru dan untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu, agar pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.13

Hal sama masih terdapat dalam GBHN 1998 yang menyebutkan :


Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan Tuhan YME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME merupakan tanggungjawab pemerintah dan masayarakat.14

Akibatnya para penganut kepercayaan, kebatinan atau agama lokal menjadi sasaran penyebaran agamaagama diakui atau dikembalikan ke agama induknya. Hal ini misalkan menimpa Agama Tolotang yang dipaksa menjadi Hindu, seperti halnya Hindu di Bali.15 Agama Kaharingan digabungkan atau diintegrasikan ke dalam Agama Hindu.16 Akibatnya penganut kepercayaan, kebatinan dan agama adat
13) GBHN 1993 Bab IV F Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, butir 6 14) Penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa 15) Proses ini didasarkan kepada SK Depag No.6 tahun 1966 yang menunjuk Dirjen Bimbingan Masyrakkat Beragama Hindu dan Budha untuk melakukan pembinaan serta penyuluhan terhadap umat Hindu Tolontang. Vide Musda Musliah, Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia, dalam Chandra Setiawan (Ed) Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia, Komnas HAM, Jakarta, 2006, halaman 52-53 16) SK Menag kepada Kakanwil Depag Kalimantan Tengah No.MA/203/1980 perihal penggabungan atau integrasi Penganut Kaharingan ke dalam Agama Hindu.

6 B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965

untuk mendapatkan hak-hak dasarnya harus menundukkan diri ke dalam salah satu dari enam agama. Bagi yang tidak menundukkan diri, maka mereka kehilangan haknya untuk mendapatkan identitas seperti KTP, dan dilarang untuk menyatakan agamanya dalam surat-surat resmi. Demikian halnya perkawinan yang dilangsungkan menurut keyakinan atau adat tidak dianggap sah.17 Sehingga selanjutnya kelahiran anak-anak dianggap sebagai anak luar kawin, dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja. Hal ini membawa akibat tidak dipenuhinya hakhak yang lain, seperti pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja yang sama,18 kesempatan menduduki jabatan-jabatan publik, maupun pemakaman sesuai agamanya. Secara khusus Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai UU ini telah melanggar hak perempuan, khususnya hak untuk untuk bebas dari kekerasan berbasis gender, hak perempuan untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, Hak perempuan atas penghidupan yang layak, hak perempuan atas kesehatan reproduksi.19 UU Penodaan Agama digunakan pula untuk menghukum orang-orang yang menganut agama turunan dari agama-agama yang diakui. Seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena dinilai melakukan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran islam mengalami persekusi, dan dilegitimasi dengan SKB Tiga Menteri. UU Penodaan Agama mengkriminalkan para penganut agama yang secara damai meyakini dan melaksanakan agama atau keyakinannya. Sepanjang tahun 20032008, lebih dari 150 orang di17) Pasal 2 Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan Perkawinan sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. SE Mendagri No. 158 tahun 1985 menafsirkan bahwa kepercayaan tidak dimaksudkan dengan kelompok penghayat kepercayaan, dan karena bukan agama yang diakui dalam UU No.1/ PNPS/1965 maka UU No.1 Tahun 1974 tidak mengikat mereka. Jika ingin dicatatkan, maka harus menundukkan diri ke dalam salah satu agama yang diakui. 18) Saksi Saldi, tidak bisa menjadi anggota ABRI karena agamanya adalah Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME 19) Hasil pemantauan Komnas Perempuan dan disampaikan dalam Sidang MK

Pos is i Kas us

tangkap, ditahan, dan diadili berdasarkan Pasal 4 UU Penodaan Agama (Pasal 156a KUHP). Diantaranya Lia Aminuddin alias Lia Eden, yang memperkenalkan dirinya sebagai jelmaan Jibril, Ardi Husain dan enam Pengurus Yayasan Kanker Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) yang mengeluarkan sebuah buku berjudul Menembus Gelap Menuju Terang berisi kompilasi uraian Al-quran dan hadits; Sumardin Tappayya yang melakukan shalat bersiul, Yusman Roy yang melakukan Shalat Dwi Bahasa, Masud Simanungkalit menafsirkan Al-Quran, Rusan adalah dosen Fakultas Agama Universitas Muhammadiyah Palu yang menulis artikel berjudul Islam Agama yang Gagal maupun Mangapin Sibuea, pimpinan sekte Pondok Nabi di Bandung.20

Suasana di luar Gedung MK (www.wahid institute.org)

20) Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, makalah, dan untuk proses persidangan dan latar belakang konflik vide Agustinus Edy Kristianto (ed), Refleksi Keberagaman Agama, Hukum Sesat dan Menyesatkan Hukum, YLBHI, Jakarta,2009

8 B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965

B. PERMOHONAN UJI MATERIIL UU PENODAAN AGAMA


Permohonan Judicial Review (JR) diajukan pada tanggal 20 Oktober 2009, dan terdaftar dengan registrasi Nomor 140/PUU-VII/2009. Alasan pengajuan JR UU Penodaan Agama karena dinilai berpotensi melanggar hak konstitusi para pemohon baik badan hukum maupun individu dalam usaha-usaha perlindungan, pemajuan dan pemenuhan HAM, mendorong pluralisme dan toleransi beragama di masyarakat.21 Para pemohon memberikan kuasa kepada para Advokat dan Pengabdi Bantuan Hukum, yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama.22 Pada intinya pemohon menuntut UU Penodaan Agama yang lahir pada era demokrasi terpimpin itu ditinjau kembali. UU Penodaan Agama dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan nilai-nilai demokrasi dan HAM, terutama karena telah menjadi hambatan bagi terpenuhinya jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. UUD 1945 telah mengalami perubahan mendasar, yaitu dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM. Hal ini terdapat dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 2828 J). Untuk bidang HAM, Indonesia telah mengesahkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memperkuat jaminan pemenuhan HAM. Indonesia juga telah meratifikasi dua kovenan pokok internasional yaitu Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) melalui UU No. 11 tahun 2005 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Sipol) melalui UU No. 12 tahun 2005. Sedangkan perubahan kekuasaan dalam membentuk UU, diatur dalam
21) Permohonan diajukan oleh empat individu yaitu KH Abdurahman Wahid (Alm), Siti Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq, dan tujuh organisasi masyarakat sipil, yaitu: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, Setara Institute, Demos, Elsam, Desantara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). 22) Tim Advokasi Kebebasan Beragama terdiri dari 57 advokat dan pengabdi bantuan hukum, beralamat di Jl.Diponegoro No.74, Jakarta Pusat

Pos is i Kas us

UU No.10 tahun 2004 yang memberikan panduan penyusunan UU yang menganut nilai-nilai demokratis. UU Penodaan Agama merupakan UU yang lahir sebelum perubahan Konstitusi. Oleh karena itu, substansinya sudah tidak sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan pasca amandemen konstitusi. Uji Materil diajukan terhadap lima norma yang terdapat dalam Pasal 1-4 UU Penodaan Agama dengan menggunakan sembilan norma dalam UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (3),23 Pasal 27 ayat (1),24 Pasal 28D ayat (1),25 Pasal 28E ayat (1),26 Pasal 28E ayat (2),27 Pasal 28E ayat (3),28 Pasal 28I ayat (1),29 Pasal 28I ayat (2),30 dan Pasal 29 ayat (2).31 Alasanalasan yang diajukan adalah sebagai berikut:32 1. UU Pernodaan Agama bertentangan dengan prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law), Hak atas kebebasan beragana, meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun.
23) Negara Indonesia adalah Negara Hukum 24) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya 25) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 26) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 27) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. 28) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat 29) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. 30) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 31) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keyakinannya itu. 32) Resume permohonan Uji Material

10 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

2. UU Penodaan Agama khususnya Pasal 1 menunjukan adanya pembedaan dan/atau pengutamaan terhadap enam agama antara lain: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, dibandingkan dengan agamaagama atau aliran keyakinan lainnya. Hal mana merupakan bentuk kebijakan diskriminatif yang dilarang. 3. Substansi Pasal 1 yang bertentangan dengan UUD 1945, dengan sendirinya hukum proseduralnya yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2), menjadi bertentangan pula. Pasal 2 ayat (2) bertentangan dengan prinsip negara hukum karena prosedur pembubaran organisasi dimaksud bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka. Proses pembubaran organisasi dan pelarangan organisasi, seharusnya dilakukan melalui proses peradilan yang adil, independen dan terbuka, dengan mempertimbangkan hak atas kebebasan beragama, keragaman dan toleransi; 4. Pasal 3 yang menjatuhkan sanksi pidana selamalamanya lima tahun kepada orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, yang melanggar ketentuan dalam pasal 1, dinilai membatasi kebebasan mereka yang beragama atau berkeyakinan selain keenam agama yang dilindungi, penghayat kepercayaan, dan kelompok atau aliran minoritas dalam keenam agama tersebut. 5. Pasal 4 huruf a yang kemudian ditambahkan menjadi Pasal 156 a KUHP dinilai bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan. Perumusan Pasal 4 huruf a membuat pelaksanaannya mengharuskan diambilnya satu tafsir tertentu dalam agama tertentu untuk menjadi batasan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama. Berpihaknya negara/ pemerintah kepada salah satu tafsir tertentu adalah diskriminasi terhadap aliran/tafsir lain yang hidup pula di Indonesia. Tuntutan yang diajukan adalah agar MK menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU Pe-

Pos is i Kas us

11

nodaan Agama, menyatakan Pasal 1 s/d 4 UU Penodaan Agama bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) dan menyatakan ketentuan Pasal 1-4 UU Penodaan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.

C. PROSES PERSIDANGAN
Hukum Acara di MK, mengacu kepada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Maka berdasarkan peraturan tersebut, proses persidangan JR UU Penodaan Agama, adalah sebagai berikut: 1. Keterangan Presiden/Pemerintah: Bukan Kebebasan Sebebas-bebasnya Keterangan Presiden adalah keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai pokok permohonan yang merupakan hasil koordinasi dari MenteriMenteri dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait.33 Dalam JR ini Presiden/Pemerintah diwakili Menteri Agama (Menag), Suryadharma Ali dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Patrialis Akbar. Presiden/Pemerintah pada intinya memberikan keterangan sebagai berikut:34 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak dalam rangka membatasi dan menegasikan kebebasan beragama tetapi justru memberikan perlindungan dan kebebasan beragama, keharmonisan antar umat beragama serta mencegah dari penghinaan, penodaan, maupun pemaksaan terhadap umat beragama yang berbeda satu sama lain; Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak melarang seseorang melakukan penafsiran terhadap
33) Pasal 25 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang 34) Opening Statement Pemerintah atas Permohonan Pengujian UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945

12 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

suatu ajaran agama ataupun kegiatan keagamaan yang menyerupai suatu agama, tetapi yang dilarang adalah apabila dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dukungan umum untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama yang dianut di Indonesia; Pembatalan terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama akan menyebabkan hilangnya jaminan perlindungan umum (general prevention) sehingga dikhawatirkan masyarakat akan main hakim sendiri oleh karena aparat penegak hukum kehilangan pijakan atau acuan peraturan perundang-undangan dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan dan/ atau penodaan terhadap agama; Kebebasan merupakan hak konstitusional setiap orang, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak boleh dilakukan dengan sebebas-bebasnya tanpa batas, atau bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, ketertiban, dan hukum yang berlaku sebagaimana ditentukan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945; Senada dengan Menteri Agama, Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa jika dikabulkan, di antara pemeluk dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak dan konflik horizontal antar masyarakat dan akan menimbulkan fitnah agama yang diakui di Indonesia dan akan mengganggu kerukunan umat beragama serta dapat menimbulkan ketidakharmonisan di antara umat beragama yang sudah terjalin baik selama ini. Atas dasar hal tersebut, Pemerintah menolak pencabutan UU Penodaan Agama. Untuk mendukung keterangannya, Pemerintah mengajukan 16 (enam belas) orang ahli35 yang pada intinya menguatkan pendapat pemerintah.
35) K.H. Hasyim Muzadi, Amin Suma, Rahmat Syafii, Nur Syam, Mudzakkir, H.M. Atho Mudzhar, Buya Bagindo Letter, Rusdi Ali Muhammad, Rahim Yunus, Ali Aziz, K.H. Hafidz Usman, Filipus Kuncoro, Wijaya, Mahdini, Sudarsono, Hj. Khofifah Indarparawansa, dan Rony Nitibaskara

Pos is i Kas us

13

2. Keterangan DPR RI: Tidak merencanakan perubahan ataupun penggantian UU Penodaan Agama Keterangan DPR adalah keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang berkenaan dengan pokok perkara.36 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam keterangan yang disampaikannya pada intinya menyatakan: Pertama, UU Penodaan Agama walau merupakan produk hukum rezim orde lama, namun semangat dan jiwanya masih relevan dengan kenyataan pada saat sekarang; Kedua, UU Penodaan Agama merupakan payung hukum untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi setiap orang dan pemeluk agama, dan menjalankan hak konstitusionalnya sesuai dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar Tahun 1945. Sehingga UU Penodaan Agama tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28J ayat (1), ayat (2), serta Pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan Ketiga, DPR berpandangan bahwa suatu negara dibolehkan untuk membuat suatu undang-undang yang membatasi pelaksanaan hak-hak dan kebebasan dalam beragama untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, moral masyarakat, atau hak-hak kebebasan mendasar orang lain, oleh karena itu meskipun undang-undang tersebut berbentuk PNPS yang diterbitkan pada rezim Orde Lama, namun undang-undang tersebut tetap berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan.37 Berdasarkan pendapat tersebut, maka DPR, dan Pemerintah tidak merencanakan perubahan ataupun penggantian terhadap UU Penodaan Agama. DPR tidak menyampai36) Pasal 26 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang 37) Keterangan DPR RI atas Permohonan Permohonan Pengujian UU No.1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945

14 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

kan keterangan terkait dengan fakta-fakta saat pembahasan dan/atau risalah UU Penodaan Agama. 3. Keterangan Saksi: Tidak Ada Sumpah Pancasila Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang dalam persidangan tentang sesuatu peristiwa atau keadaan yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Dalam persidangan, pemohon mengajukan dua orang saksi yaitu Arswendo Atmowiloto, yang dipidana berdasarkan Pasal 156a KUHP dan Sardi, penganut Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang kehilangan kesempatan untuk menjadi TNI/ABRI karena agamanya. Dalam pemeriksaan Keterangan Saksi, terdapat peristiwa yang melecehkan keyakinan Saksi, terkait dengan pengambilan sumpah. Pasal 23 Peraturan MK, mengatur sumpah seorang saksi sebagai berikut:
Saya bersumpah/berjanji sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya Untuk yang beragama Islam didahului dengan Demi Allah Untuk yang beragama Kristen Protestan dan Katholik ditutup dengan Semoga Tuhan menolong saya. Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan Om Atah Parama Wisesa Untuk yang beragama Budha dimulai dengan Namo Sakyamuni Buddhaya. Demi Hyang Buddha Saya bersumpah diakhiri dengan Saddhu, Saddhu, Saddhu Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing-masing.

Saksi Sardi mengajukan permohonan lisan agar di sumpah Pancasila, yang kemudian ditolak Ketua MK, Mahfudz MD dengan alasan tidak ada Sumpah Pancasila38
38) Bandingkan dengan ketika Tody Daniel Mendel, seorang atheist dalam sidang JR Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik dalam KUHP vide Menakar Janji Ahli Tak

Pos is i Kas us

15

dan menyarankan untuk menggunakan janji. Merujuk pada klausula Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing-masing, maka seharusnya Saksi diijinkan untuk mengucapkan lafal sumpah menurut keyakinannya, yaitu Pancasila. Maria Farida Indarti, salah seorang hakim konstitusi dalam wawancara dengan majalah Tempo berpendapat bahwa baginya sumpah itu tak jadi masalah karena dalam Pancasila terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa.39 Dalam persidangan tersebut ekpresi keyakinan saksi dijadikan bahan ejekan di dalam persidangan. Hal ini memperlihatkan pula, bahwa dalam teks resmi kenegaraan lafal sumpah/janji hanya merujuk kepada enam agama, yang ada dalam penjelasan UU Penodaan Agama. 4. Keterangan Ahli: UU Penodaan Agama Memiliki Masalah Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang karena pendidikan dan/atau pengalamannya memiliki keahlian atau pengetahuan mendalam yang berkaitan dengan permohonan, berupa pendapat yang bersifat ilmiah, teknis, atau pendapat khusus lainnya tentang suatu alat bukti atau fakta yang diperlukan untuk pemeriksaan permohonan. Sidang UU Penodaan Agama menghadirkan ahliahli, baik yang diajukan pemohon, pemerintah, pihak terkait, maupun MK. Dalam sejarah persidangan di MK, persidangan JR UU Penodaan Agama, adalah sidang yang paling banyak menghadirkan ahli. Pemohon mengajukan enam orang ahli dari berbagai latar belakang dan kompetensi yaitu dari Prof. JE Sahetapy, Prof. Soetandyo Wingjosoebroto, MM Billah, Frans Magnis Suseno, Cole Durham, Prof. Subur. Ahli dari pemohon menyampaikan bahwa UU Penodaan Agama bermasalah karena diskriminatif. Akibatnya, kaum minoritas dirampas hak kebebasan berfikir dan berkeyakinannya, bahkan menjalar kepada
Beragama di Sidang MK 39) Maria Farida Indarti, Sesat Bukan Ranah Negara, http://majalah.tempointeraktif. com/id/arsip/2010/04/26/WAW/mbm.20100426.WAW133367.id.html

16 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

perampasan hak atas identitas, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Selain itu keterangan Ahli dari pemohon juga menegaskan permohonan pemohon bahwa kebebasan berfikir dan berkeyakinan tidak dapat dibatasi, namun ekspresi dari pemikiran dan berkeyakinan harus dibatasi agar tidak mengganggu ketertiban umum dan moral umum. Pemerintah mengajukan tigabelas orang Ahli yang sebagian besar menjalani profesi yang berkaitan dengan keagamaan, seperti Ketua MUI Propinsi atau Rektor/Pengajar di IAIN sehingga kesaksiannyapun cenderung terkonsentrasi pada ajaran-ajaran agama, khususnya islam. Umumnya para ahli menegaskan bahwa UU Penodaan Agama melindungi agama dari tindakan penodaan, tidak diskriminatif, bahkan melindungi minoritas sehingga terwujud kehidupan beragama yang plural dan harmonis. Pihak terkait yang mengajukan ahli hanya enam kelompok. Yaitu Ahli yang diajukan oleh pihak terkait yang berpendapat bahwa UU Penodaan Agama layak dipertahankan dan menegaskan bahwa negara harus melindungi agama dari penodaan, bila tidak maka masyarakat akan main hakim sendiri. Hanya satu orang Ahli yaitu K.P. Seno Adiningrat, yang diajukan HPK yang menyatakan UU Penodaan Agama bersifat diskriminatif. Umumnya Ahli-Ahli yang diajukan oleh pemerintah dan pihak terkait memilliki argumen yang sebangun untuk menyatakan bahwa UU Penodaan Agama tidak diskriminatif, melindungi minoritas, sehingga masih bermanfaat dan harus dipertahankan. Namun, mereka tidak memiliki pendapat yang sama mengenai agama resmi atau agama yang diakui. Ada yang menyatakan UU penodaan agama melindungi semua agama dan bahkan kepercayaan, ada yang menyatakan bahwa hanya enam agama yang diakui dan dilindungi di Indonesia. MK sendiri mengundang empatbelas ahli dengan berbagai keahlian. Seluruh ahli berpendapat bahwa UU Penodaan Agama memiliki masalah. Lima orang dengan tegas meminta dicabut, dan enam orang mengusulkan untuk dire-

Pos is i Kas us

17

visi. Meskipun tidak ada Ahli dari Mahkamah Konstitusi yang dengan jelas mengatakan bahwa UU tidak bermasalah, ada dua Ahli yang berpendapat UU Penodaan Agama layak untuk dipertahankan. Pemerataan pendidikan, pendekatan persuasif, juga dialog yang dilandasi oleh toleransi disarankan oleh enam orang Ahli untuk mengatasi konflik keagamaan, baik di internal pemeluk agama, maupun antar pemeluk agama. Selain itu, ketentuan pidana dalam KUHP juga disarankan untuk menegakan batasan ekspresi berfikir & berkeyakinan, termasuk untuk mengatasi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat yang main hakim sendiri bila UU dicabut.

Nama Ahli MK

Masalah UU No.1/ PNPS/1965

Rekomendasi

Prof. Dr. Andi 1. Pasal 1 dan 2 UU a quo Cabut Hamzah sifatnya administrasi, tapi pasal 3 ada sanksi pidana 5 tahun. Kalau administrasi harusnya 1 tahun kurungan atau denda. 2. Pasal 1, 2, 3 UU a quo multitafsir, tidak memenuhi syarat nullum crimen sine lega scripta. Dr. Eddy OS Hiariej Pertahankan 1. Dalam prakteknya, UU a quo selalu digunakan untuk mengadili pemikiran. Praktek itu bertentang dengan postulat hukum: cogitationis poenam nemo partitur, 2. Penghayat keyakinan tidak bisa dijerat atau dihukum

18 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Prof. 1. Negara tidak boleh ikut Dr.Azyumardi campur soal tafsir Azra 2. UU a quo tidak sesuai dengan zaman. 3. Pasal yang inkonstitusional misalnya pasal 4b UU a quo. 4. UU a quo ambigu sehingga harus disempurnakan. Dr. Fx Mudji Sutrisno

Revisi

1. Sebenarnya masyarakat Revisi kultural saling menghormati satu sama lain terhadap adanya perbedaan, namun adanya hukum akan meniadakan hak-hak lain atau kebebasan yang ada di dalam masyarakat tsb 2. Istilah menyimpang adalah istilah orang dalam (intern agama), sementara bagi orang di luar intern agama, disebut berbeda. 3. Tugas negara paling pokok adalah pada wilayah publik,menjaga ketertiban dan melindungi tiap warga Negara untuk melaksanakan hak kebebasan beragamanya.

Pos is i Kas us

19

Ulil Abshar Abdalla

Cabut 1. Posisi negara harus netral, tidak bisa masuk soal tafsir. 2. Perbedaan tafsir bukan penodaan agama. 3. Pokok-pokok ajaran berbeda-beda. 4. Istilah pokok-pokok ajaran agama di UU a quo ambigu. 5. Negara harus mencegah dan menangkap orang yang melakukan kekerasan. 6. UU a quo tidak melindungi minoritas. 1. UU a quo tidak soleh, banyak mundharatnya. 2. Tafsir tidak bisa dipaksakan. 3. Pluralisme adalah sifat Tuhan, tidak bisa dipaksakan untuk seragam. 4. Pokok-pokok ajaran beda. 5. Toleransi dan saling menyayangi. Revisi

Emha Ainun Nadjib

Dr. Siti Zuhro UU a quo memberi peluRevisi ang untuk diskriminasi & pembatasan hak memeluk agama. Juga bukti tidak dijaminnya masyarakat yang plural dan pengakuan status kelompok minoritas.

20 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Prof. Dr.Jalaludin Rakhmat

1. UU a quo seringkali dipergunakan oleh yang berkuasa 2. UU a quo cenderung merugikan kaum minoritas

Revisi

Prof. Dr. Ahmad Fedyani S.

1. Masyarakat hidup dalam UU baru masa yang berbeda dengan masa pembentukan UU a quo 2. Mengekpresikan pikiran termasuk dalam konteks agama bagian dari HAM, dan posisi manusia sebagai subyek semakin penting. Revisi 1. UU a quo tidak sempurna karena tidak sesuai dengan UU 10/2004. 2. Norma hukum ada di penjelasan, harusnya ada di pasal. 3. Kepentingan Negara bukan menilai benar tidaknya agama, tapi menjaga ketertiban umum dan harmoni dalam masyarakat.

Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra

Pos is i Kas us

21

Dr. Moeslim Abdurrahman

1. Pokok-pokok ajaran berbeda-beda. 2. Perbedaan tafsir harus dihormati. 3. Seseorang di hadapan Negara harus setara, meskipun di hadapan Tuhan berbeda-beda. 4. Beriman atau tidak bukan urusan Negara. UU a quo sebagai pagar sudah usang, ayo kita perbaiki bersama-sama. 1. Penafsiran tidak bisa dibatasi 2. Pembatasan hanya untuk manifestasi atau ekspresi guna kepentingan warga negara bukan kepentingan agama. 1.UU a quo menjadi pengakuan 6 agama resmi dan acapkali memakan korban (Kurdi, Bahai). 2. Tafsir adalah bagian dari kebebasan beragama/ berkeyakinan dan boleh disampaikan ke publik. 3. Masalah keyakinan adalah otoritas Tuhan YME. 4. Negara dan aparatnya tidak boleh bertindak melebihi Tuhan sendiri.

Cabut

Taufik Ismail

Revisi

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

Revisi

Djohan Effendi

Tidak jelas

22 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

S. A. E. Nababan

1. Perbedaan dan perkem- Cabut bangan tafsir adalah lumrah. 2. Negara tidak perlu mengatur masalah penafsiran. 3. Depag tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menilai pokokpokok ajaran agama. 4. Ada ketidakjelasan Istilah (seolah-olah perbedaan tafsir itu sama dengan penodaan agama). 5. Akibat UU a quo, negara berpeluang untuk intervensi wilayah keagamaan. 1. UU ini tidak mendorong masyarakat berubah positif. 2. Kata-kata dalam pasalpasal UU a quo tidak memberi kepastian hukum sehingga mengakibatkan korban. 3. Secara yuridis munculnya UU a quo hanya berlaku tepat untuk saat itu, tidak tepat untuk saat ini. Cabut

Garin Nugroho

5. Keterangan Pihak Terkait: Antara Dipertahankan, Revisi atau Dicabut Pihak Terkait adalah adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh

Pos is i Kas us

23

oleh pokok permohonan dan dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon.40 Sedangkan Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya atau pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud. Pihak terkait tidak langsung, karenanya tidak mempunyai hak-hak yang sama dengan pemohon dalam perkara. Selama proses persidangan, terdapat 24 (dua puluh empat) pihak terkait yang menyampaikan keterangannya. Dari 24 pihak, hanya Himpunan Penghayat Dan Kepercayaan (HPK), Badan Kerjasama Organisasi-Organiasi Kepercayaan (BKOK) yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan, karena penghayat telah menjadi korban. Sehingga HPK dan BKOK memiliki hak yang sama dengan Pemohon. Sedangkan pihak terkait tidak langsung pada persidangan, dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), WALUBI, Forum Kerukunan Umat beragama (FKUB), dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhdap Perempuan (KOMNAS Perempuan) b. Pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau ke40) Hak-hak tersebut meliputi (a) memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis; (b) mengajukan pertanyaan kepada Ahli dan/atau saksi; (c) mengajukan Ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-hal yang dinilai belum terwakili dalam keterangan Ahli dan/atau saksi yang telah didengar keterangannya dalam persidangan; (d) menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis.

24 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

wenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), Persatuan Islam (Persis), DPP Partai Persatuan Pembangunan, Yayasan Irena Center, DPP Ittihadul Muballighin, Badan Silaturrahmi Ulama Madura (BASHRA), Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Al-Irsyad Islamiyah

Sumber: voa-islam.com

Namun, selama proses persidangan batasan pihak terkait langsung dan tidak langsung menjadi hilang. Majelis Hakim memperbolehkan setiap pihak terkait untuk memberikan keterangan lisan/tertulis dan mengajukan pertanyaan kepada saksi dan Ahli. Hal ini menunjukkan bahwa MK menganggap seluruh pihak terkait pada persidangan perkara merupakan pihak terkait langsung, yaitu yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh permohonan. Sikap ini merupakan pelanggaran terhadap hukum acara yang dibuat oleh MK sendiri, khususnya hal yang terkait dengan pembuk-

Pos is i Kas us

25

tian, yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Secara substansi, pihak terkait terbagi dalam dua kelompok besar yaitu kelompok yang menolak permohonan dan kelompok yang sependapat dengan pemohon, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut: Menolak Permohonan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), Persatuan Islam (Persis), Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP), Yayasan Irena Centre, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ittihadul Mubalighin, Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren se-Madura (BASSRA), Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (DPP FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Forum Umat Islam (FUI).

Sependapat Dengan Persekutuan Gereja-Gereja IndoPemohon nesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Badan Kerjasama Organisasi Kepercayaan (BKOK), Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) dan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) Revisi Forum Komunikasi Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI

26 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Kelompok yang menolak permohonan berlandasan pada argumen bahwa kebebasan beragama tidak tanpa batas. UU Penodaan Agama bukan sebagai bentuk intervensi negara terhadap keberagamaan seseorang tetapi sebagai jaminan perlindungan,41 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pencabutan UU Pencegahan Penodaan Agama justru akan menimbulkan anarkhis, konflik dan kekacauan di dalam masyarakat.42 Sedangkan pihak yang mendukung permohonan menilai UU Penodaan Agama perlu dikritisi dalam soal fungsi dan isinya cenderung multitafsir dan dikhawatirkan akan terjadi intervensi negara yang terlalu jauh terhadap kehidupan beragama,43 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak sesuai dengan ketentuan kebebasan beragama dan cenderung mengkriminalisasi ajaran agama yang menyimpang secara represif44 dan dijadikan alat pembenar perlakuan diskriminatif, kekerasan, dan penindasan terhadap golongan pemeluk agama minoritas termasuk masyarakat penghayat kepercayaan.45

D. TEROR, INTIMIDASI, KEKERASAN DAN PENGERAHAN MASSA 1. Stigma PKI, Atheis dan Penganut Kebebasan Tanpa Batas Stigma atheis terhadap para pemohon dan kuasanya pertamakali dilontarkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, sebelum persidangan dimulai. Hasyim menilai ada gerilya politik kaum ateis yang menuntut pencabutan UU Penodaan Agama.46 Selengkapnya Hasyim menyatakan:
41) PP Muhammadiyah 42) Matakin, Persatuan Islam (Persis), HTI 43) PGI 44) KWI 45) BKOK 46) Hasyim: Waspadai Gerilya Kelompok Ateis. Selasa, 16 Pebruari 2010, http://www.antaranews.com/berita/1266296609/hasyim-waspadai-gerilya-kelompok-ateis diakses terakhir 15 Oktober 2010

Pos is i Kas us

27

Belakangan ini, kelompok tersebut sedang mengganggu kerukunan umat beragama dengan `mengendarai` isu demokrasi dan HAM yang dinilainya over dosis karena menggambarkan penodaan agama sebagai kebebasan beragama, padahal tujuannya adalah kebebasan untuk tidak beragama, Tidak ada yang untung dengan pencabutan tersebut, kecuali ateisme.

Pernyataan ketua organisasi massa islam terbesar tersebut dijadikan bingkai untuk menilai pemohonan uji materi. Prejudice terhadap pemohon dan kuasa pemohon sebagai atheis, kafir, penganut kebebasan tanpa batas mengemuka baik yang disampaikan di dalam persidangan, maupun melalui media massa. Misalkan Ketua MUI, Amidhan menyatakan tidak ada tempat untuk yang tidak mau beragama karena tidak sesuai sila pertama Pancasila.47 Sedangkan Menteri Agama, Suryadharma Ali menyatakan kebebasan beragama tanpa batas akan melahirkan kekacauan di dalam masyarakat, sehingga untuk menjamin keharmonisan antar agama di tanah air perlu ada aturan agar tak saling bersinggungan,48 pada acara-acara untuk meminta dukungan berbagai pihak. Hal ini secara nyata terlihat dalam persidangan, ketika Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzzifah menyampaikan keterangannya. Ia mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari pengunjung sidang. Para pengunjung meneriaki Yuni dengan sebutan PKI. Mereka meneriakkan kata-kata tidak mengenakkan setelah mendengar pernyataan Yuni yang mendukung pencabutan UU No. 1/PNPS/1965 itu. Sebelumnya, Yuni sempat menceritakan tentang kesulitan wanita di daerah Lombok dalam membuat KTP karena tidak mempu-

47) Majelis Ulama Nilai Uji Materi Undang-Undang Penodaan Agama Keliru Senin, 01 Februari 2010 http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/02/01/ brk,20100201-222560,id.html, diakses terakhir 15 Oktober 2010 48) http://www.solopos.com/2010/channel/nasional/menag-minta-nu-dukung-uupenodaan-agama-17154

28 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

nyai agama yang sesuai dengan UU No.1 /PNPS/1965.49 Terhadap perlakuan yang menimpanya, Yuni menyampaikan perasaannya sebagai berikut :
Saya merasakan betul, kekuatan massa sangat besar dan saya tidak tahu berapa jauh kekuatan hakim-hakim mahkamah konstitusi untuk independen dalam memutuskan kasus ini. Saya diteriakin PKIPKIPKI.. hanya menyebut Ahmadiyah mereka langsung teriak setan...setan setan ketika hanya ingin memperlihatkan fakta dampak pemberlakuaan undang-undang ini.50

Poster besar yang dipasang di halaman MK (www.suara-islam.com)

2. Teror dan Intimidasi Teror dan intimidasi menwarnai proses persidangan dan dialamatkan kepada pemohon, kuasa pemohon, saksi
49) Ketua Komnas Perempuan Diteriaki PKI Jumat, 12 Maret 2010 http://news.okezone.com/read/2010/03/12/339/312013/ketua-komnas-perempuan-diteriaki-pki, diakses terakhir 15 Oktober 2010 50) Notulensi Religious Freedom Advocacy Training,International Religious Freedom Consortium, Jakarta, Sabtu 17 April 2010, tidak dipublikasikan

Pos is i Kas us

29

dan ahli yang mendukung pencabutan UU Penodaan Agama. Pada tanggal 12 Maret 2010, Ulil Abshar Abdalla, mendapatkan ancaman kekerasan dengan teriakan halal darahnya dan acaman bunuh di dalam ruang persidangan.51 Pemukulan dan penyerangan terhadap Ulil hampir terjadi di depan ruang sidang, seusai memberikan keterangan. Hal ini terekam dalam tulisan naratif Syafatun Nissa52 dalam account jejaring sosial Facebook miliknya dengan judul Teror. TEROR I Mbak, duduknya biasa aja.. Seorang petugas datang menghampiri dan menegur saya. Ha?! Apa..? Saya terbengong-bengong tak mengerti. Duduk lu tu. Gak boleh cross leg, kawan duduk di sebelah saya mencoba menjelaskan. Duduknya, mbak. Kakinya biasa aja. Dah pake rok, duduknya begitu lagi, petugas kembali mengingatkan saya. Kenapa? Saya bertanya balik. Kembali tak mengerti. Apa yang salah? Saya mengenakan rok selutut pagi itu. Dan merasa tak ada yang salah dengan gesture tubuh saya. Saya sengaja berdandan dengan sopan pagi itu. Mengenakan blus putih lengan panjang, rok hitam selutut, bersepatu, dan duduk manis mengikuti jalannya sidang :)... .............................................................................................. ..........................................

51) LBH Jakarta di Teror, http://politik.kompasiana.com/2010/03/17/lbh-jakarta-diteror/ 52) Syafaatun Aisya, Teror, http://www.facebook.com/home.php?#!/note. php?note_id=40623816578, diakses terakhir 15 Oktober 2010

30 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

II Sidang break untuk Shalat Jumat. Palu di ketuk. Pekikan Allahu akbar! segera menggema. Saya bergegas turun dari balkon atas. Pengunjung di lantai bawah ramai. Pengunjung dengan atribut jubah dan sorban merangsek masuk ruang sidang. Peserta sidang keluar satu persatu. Keriuhan terjadi saat peserta sidang yang pro pencabutan UU mencoba keluar ruangan. Kafir! Murtad! Bunuh aja. Halal darahnya. Copot aja jilbabnya. Islam apaan tu. Gak pantes! Beberapa orang mengacung-acungkan tangan. Petugas keamanan gedung berusaha menenangkan. Udah.. Udah.. Sholat jumat.. Kalo mereka ma ketahuan gak sholat.. Teriakan terus bersahutan. Saya berada dalam keriuhan pemuda-pemuda tanggung dengan urat leher yang mengeras. Kata-kata kotor berhamburan dengan mudahnya. Sempat merasa ngeri saya berusaha mencari gambar III Ulil sibuk menelpon atau ditelpon seseorang. Aura kecemasan meruap di ruang yang dikhususkan bagi para saksi ahli. Pastikan Ulil bisa keluar dengan aman. Lewat belakang aja.. Beberapa kawan ikut sibuk mengatur strategi. Bawa mobil, Mas? Gak. Pake taksi. Lewat belakang aja, Mas. Nanti kita kawal. Ok, Amanda mana? Ulil bergegas pergi. Makanan dan minuman yang terhidang tak tersentuh. Makalah dan buku catatannya tertinggal. Takut juga Ulil ya? Saya bertanya naf.

Pos is i Kas us

31

Gak punya basis massa sih.. Seorang kawan merespon pertanyaan saya. Guyon. Mungkin juga ya, Saya ikut tertawa. IV Hidup dalam teror. Bagaimana anda menjalaninya?............................................................. Saya bayangkan hidup menjadi Ulil. Dengan fatwa halal darahnya bagi orang-orang tertentu. Yang bisa tiba-tiba hilang nyawa di tangan orang tak dikenal. Dikeroyok ramairamai seperti maling kesiangan. Sementara, layaknya filmfilm India, aparat keamanan bertindak saat rumah telah hangus terbakar.................................................. Teror dan intimidasi terjadi pula ke kantor LBH Jakarta, yang menjadi sekretariat kuasa hukum pemohon. Sekelompok orang berbaju putih-putih dan bersorban melempari gedung LBH Jakarta dengan batu dan buah mengkudu, pada tanggal 12 Maret 2010. Di sini lain, selama proses persidangan muncul intimidasi dan gangguan yang menyudutkan kuasa hukum, para pemohon sangat keras dan tajam terdengar. Seperti Anam, Anak Namrud, Profesor Bahlul, Setan, Jilbab Palsu yang menganggu persidangan itu sendiri. Kuasa Hukum pemohon dalam siaran persnya menyayangkan Hakim-Hakim di MK pasif dalam mengantisipasi intimidasi dan gangguan terhadap proses persidangan tersebut.53 Ancaman membunuh atau menyembelih disampaikan pula oleh Ketua DPP Front Pembela Islam Habib Riziq didalam persidangan. Sebagai simbolnya FPI melakukan penyembelihan kambing di halaman Gedung MK.54 Padahal jika merujuk pada Pasal 40 ayat (2) UU MK Nomor 24/2003 yang menyatakan setiap orang yang hadir di
53) LBH Jakarta di Teror, http://politik.kompasiana.com/2010/03/17/lbh-jakarta-diteror/ 54) Hasil pemantauan sidang uji materiil UU Penodaan Agama, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, 2010, dokumen tidak dipublikasikan

32 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

dalam persidangan wajib mentaati tata tertib persidangan. Pelanggaran terhadap tata tertib persidangan merupakan penghinaan terhadap MK (contempt of court). Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b,g,h, dan i Peraturan MK No.19/2009 mengatur bahwa pengunjung sidang dilarang: 1) membuat gaduh, 2) menghina para pihak/saksi/ahli, 3) mengajukan dukungan/ komentar terhadap ahli/saksi, 4) melakukan perbuatan yang dapat mengganggu persidangan, 5) merendahkan martabat Hakim MK atau kewibawaan MK, atau 6) memberikan ungkapan berupa ancaman terhadap MK.

Suasana didalam persidangan (www.mahkamahkonstitusi.go.id)

3. Kekerasan terhadap Ahli, Saksi, dan Kuasa Pemohon Kekerasan terhadap Ahli, Saksi, dan Kuasa Pemohon puncaknya terjadi pada sidang terakhir yaitu persidangan tanggal 24 Maret 2010.55 Kondisi ini telah diawali dalam persidangan saat saksi Garin Nugroho menyatakan sebaiknya undang-undang ini dicabut. Lontaran kata-kata mulai bermunculan Kafir!!, Halal Darahnya!!, dan Bunuh!!.
55) http://anbti.org/2010/03/hari-terakhir-persidangan-mahkamah-konstitusi-mengenai-uu-penodaan-agama/

Pos is i Kas us

33

Pada saat istirahat makan siang terjadi keributan di kantin MK. Anggota FPI, LPI, KLI, dan GARIS mengerubung di depan ruangan kantin. Nurkholis Hidayat, dan Uli Parulian Parulian mendapatkan kekerasan berupa injakan, tendangan dan cengkraman di leher dan pertanyaan-pertanyaan terkait agama yang dianut dengan nada mengancam. Suasana menjadi gaduh, Sidiq dari LBH Jakarta dan Novel dari PGI merekam peristiwa tersebut, hal ini membuat anggota FPI marah. FPI mengarah kepada Sidik, dan mengambil paksa kamera dan memintanya untuk hapus. Sidik dikepung, didorong dan di pukul dari belakang, hal sama terjadi pada Novel. Peristiwa ini terhenti setelah para kuasa pemohon mundur ke dalam kantin, dan petugas MK mengunci pintu menuju kantin MK. Sementara Garin Nugroho ketika keluar gedung MK, mobil yang digunakannya dipukul dan dihentak-hentak. Tidak diketahui kelanjutan penanganan oleh Polisi pasca pelaporan yang dilakukan oleh LBH Jakarta.

Suasana Aksi di luar Gedung MK (www.suara-islam.com)

34 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

4. Mobilisasi dan Tekanan Massa Demontrasi para pendukung kelompok yang menginginkan UU Penodaan Agama dipertahankan, berlangsung selama persidangan. Menurut hasil pemantauan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, massa yang dikerahkan paling banyak berjumlah 500 orang. Elemen pendukung diantarannya berasal dari Front Pembela Islam (FPI), Laskar Pembela Islam(FPI), Gerakan Reformasi Islam (GARIS), Partai Bulan Bintang (PBB), Fakultas Ekonomi Universitas Islam Jakarta.56 Pada persidangan pertama, diketahui bahwa massa berasal dari luar kota Jakarta. Mereka mendapatkan informasi bahwa persidangan yang digelar adalah pembacaan putusan hakim.

Sumber: www.okezone.com

56) Hasil pemantauan siding uji materiil UU Penodaan Agama, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, 2010, dokumen tidak dipublikasikan

Pos is i Kas us

35

Massa, umumnya datang sekitar jam 08.00, sebagian berkumpul di lobby dan memenuhi balkon pengunjung sidang, sedangkan sisanya mengelar aksi di halaman MK. Massa yang berada di halaman berbaris untuk mendengarkan orasi. Orasi umumnya berisi propaganda seperti tuduhan-tuduhan Antek Amerika, Yahudi, Perusak Akidah, termasuk penolakan terhadap Ahmadiyah. Para demonstran menganggap gugatan diajukan oleh AKKBB. Terdapat 2 (dua) shift massa yaitu pada sidang jam 10.0012.00 massa berasal dari orang tua dan pemuda, sedangkan untuk sidang jam 14.0015.15 berasal dari anak muda dan mahasiswa. Selain orasi, massa memasang spanduk besar bergambarkan Dawam Rahardjo, Musda Mulia, Asfinawati, Kyai Maman Imanul Haq, dan tokoh lain, sebagai orang yang dicari dan dianggap sebagai penjahat akidah. Spanduk lain berisi ratusan nama yang dianggap sebagai kaum yang menodai islam.57 Selain massa pada level bawah, mobilisasi dilakukan pula oleh kalangan ulama. Badan Ulama Pesantren seluruh Madura dan Forum Ulama seluruh Madura, yang merupakan daerah asal Ketua Mahkamah Konstitusi, pada 23 Februari 2010 menemui Ketua MK. Menurut Mahfudz Kunjungan para ulama ini hendak menyampaikan aspirasi kepada MK berkenaan dengan pengujian UU 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama, red). Mereka pada intinya mengajukan semacam petisi agar UU Penodaan Agama tidak dicabut karena alasan tertentu.58 Padahal dalam Peraturan MK Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi, Pasal 3 Ayat (1) huruf d dinyatakan secara tegas: Dalam penyelesaian perkara, hakim konstitusi:59

57) Ibid 58) Mahfud: Putusan UU Penodaan Agama Adalah Putusan Hukum, Selasa, 23 Februari2010,http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website. BeritaNonSidangDetail&id=3744 59) Peraturan MK Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Kosntitusi

36 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun tidak langsung, baik dengan pihak yang berperkara maupun dengan pihak lain dan tidak mengadakan kolusi dengan siapapun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan dengan perkara yang akan atau sedang ditangani, sehingga dapat mempengaruhi obyektivitas atau citra mengenai obyektivitas putusan yang akan dijatuhkan.

Untuk mensiasati hal ini, Mahfudz menggelar jumpa pers dan menyatakannya sebagai silaturahmi. Selanjutnya Badan Ulama Pesantren se-Madura menjadi pihak terkait dalam persidangan Uji Materi UU Penodaan Agama, walaupun sebelumnya tidak terdapat dalam daftar nama yang akan menjadi pihak terkait.

Ketua MK, Moh. Mahfud MD saat memberikan keterangan pers bersama para ulama asal Madura (www.mahkamahkonstitusi.go.id)

5. Pernyataan Ketua MK Sebelum dan Sesudah Putusan Proses persidangan yang diwarnai demontrasi, teror, pengerahan massa dan kekerasan dari pihak yang menolak pencabutan UU Penodaan Agama telah menimbulkan kekhawatiran MK terpengaruh dalam pengambilan keputusan.

Pos is i Kas us

37

Untuk meyakinkan banyak pihak akan keindependenannya, secara khusus Mahfudz MD mengeluarkan pernyataan sikap dalam website pribadinya pada tanggal 15 April 2010.60
Judicial review UU No. 1/PNPS/1965 yang lebih dikenal sebagai UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945 akan segera diputus. MK menjadwalkan pengucapan vonis atas perkara tersebut akan dilakukan oleh sembilan hakim MK pada hari Senin tanggal 19 April 2010 jam 14.00. Terkait dengan itu sebagai Ketua MK saya menyampaikan: 1. MK memutus dengan independen, tak terpengaruh oleh tekanan atau opini publik yang berkembang di luar sidang-sidang MK. MK hanya mendasarkan diri pada ketentuan UUD 1945 dan fakta hukum yang muncul di persidangan. MK tak pernah bisa ditekan oleh kelompok apa pun dan dengan cara unjuk rasa yang bagaimanapun. 2. Putusan MK dibuat bukan berdasarkan pihak mana yang mendapat dukungan lebih banyak atau pihak mana yang tidak mendapat dukungan. Putusan yang didasarkan berdasar besar/kecilnya dukungan itu adalah putusan politik. MK hanya membuat putusan hukum yang dasarnya adalah logika konstitusi dan hukum. UUD 1945 telah mengatur dengan rinci dan ketat mengenai perlinduangan HAM dan itulah tolok ukur utama dalam pembuatan putusan MK. 3. Dalam membuat putusan MK juga tidak terikat pada pandangan-pandangan teoretis atau pendapat Ahli dan pengalaman di negara lain. Pandangan ahli, teori konstitusi, dan pengalaman negara lain hanya sebagai sumber pembanding dan bukan sumber penentu. Sumber penentunya adalah UUD 1945 yang tafsir-tafsirnya memang bisa saja ditemukan dalam pendapat Ahli atau teori-teori. Tapi pendapat ahli atau teori itu tak mengikat, sebab meskipun baik belum tentu dianut di dalam UUD 1945. 4. Begitu juga MK tak membuat putusan berdasar ayatayat agama, melainkan berdasar ayat-ayat konstitusi yang berlaku di Indonesia. MK berprinsip bahwa hak dan ke60) http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.BeritaDetail&id=162

38 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

bebasan beragama adalah hak azasi yang tak boleh diganggu atau saling mengganggu. 5. Dalam putusannya, MK akan menyajikan konstruksi hukum dan menganalisis setiap argumen yang diajukan oleh Pihak-pihak dan para Ahli yang dihadirkan dalam sidang. Dengan cara menjawab semua isu itu, saya yakin putusan MK bisa dipahami dan dapat menyelesaikan pro dan kontra.

Pernyataan yang diberikan 4 (empat) hari sebelum pembacaan putusan, dinilai sebagai gambaran putusan MK yang diberikan terhadap permohonan uji materiil. Sedangkan pasca putusan, Mahfudz memberikan komentar sebagai reaksinya terhadap siaran pers dari tim kuasa hukum sebagai berikut,61
Silahkan saja kalau mau mengadu ke DPR,...Jangan hanya ke DPR. Bisa ke LSM, bisa ke kampus-kampus, dan lebih afdhol minta eksaminasi ke Komisi Yudisial. Kalau mau ke Komisi HAM PBB juga bagus,. Bagi saya, yang berperkara di MK itu, termasuk yang ingin UU Penodaan Agama itu dipertahankan, tak kalah militansinya sebagai pejuang HAM. Kita tak boleh terjebak dalam kegenitan, bahwa kalau berani mempersoalkan itu lalu disebut tokoh HAM sedang yang lainnya bukan. Itu genit yang kebablasan,

Dalam kode etik hakim konstitusi dinyatakan bahwa hakim konstitusi Tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas sesuatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan. Komentar-komentar Ketua MK atas putusan yang dihasilkannya terjadi pula dalam kasus uji materi tentang jaksa agung yang me61) MK Dituding Manipulasi Fakta Persidangan UU Penodaan Agama, Jumat, 23 April 2010, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bd14fbb6604f/mk-dituding-manipulasi-fakta-persidangan, diakses terakhir 15 Oktober 2010

Pos is i Kas us

39

nimbulkan polemik dan permintaan agar Mahfudz menghentikan komentar-komentarnya. 62 E. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Alasan-Alasan Penolakan Permohonan Setelah melalui proses persidangan maraton selama 3 bulan, MK memutuskan menolak keseluruhan permohonan JR UU Penodaan Agama. MK menarik kesimpulan bahwa dalil-dalil yang diajukan pemohon, baik dalam pengujian formil maupun materiil, tidak beralasan hukum. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : Perspektif Ke-Indonesia-an terhadap Kebebasan Beragama. MK berpendapat bahwa terhadap kebebasan beragama dalam pasal-pasal UU penodaan agama harus dilihat dari perspektif ke-Indonesia-an. Penghormatan Negara Indonesia atas berbagai konvensi serta perangkat hukum internasional termasuk hak asasi manusia haruslah tetap berdasarkan pada falsafah dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga kekhasan sistem ketatanegaraan Indonesia tidak harus sama dengan rechtstaat, rule of law, individualisme, maupun komunalisme. Pembatasan kebebasan beragama berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. MK menegaskan jaminan konstitusional kebebasan beragama oleh Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Instrumen hukum internasional dalam menjamin kebebasan beragama seperti Pasal 18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR yang telah diadopsi/ ratifikasi dalam UU 39/1999 tentang HAM serta UU No.12/2005 tentang Ratifikasi ICCPR. Sedangkan Pembatasan kebebasan beragama berdasarkan
62) Mahfud Diminta Berhenti Komentari Putusan MK Soal Jaksa Agung Sabtu, 25/09/2010, http://www.detiknews.com/commenturut/2010/09/25/012245/1448039/10/10|2/mahfud-diminta-berhenti-komentari-putusan-mk-soal-jaksa-agung, diakses terakhir 15 Oktober 2010

40 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Forum Internum tidak mutlak dan negara dapat menentukan tafsir yang benar. Kebebasan penafsiran terhadap agama sebagai domain forum internum tidak mutlak atau absolut namun tetap berpedoman pada kaidah atau metodologi yang benar berdasarkan kitab suci dan pemuka agamanya. Penentuan atas tafsir mana yang benar terhadap suatu agama dapat dilakukan oleh negara. Fungsi negara tersebut dilakukan oleh Departemen Agama melalui kesepakatan dari pihak internal agama. UU tidak diskriminatif. Pembatasan pengakuan terhadap 6 (enam) agama di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu) tidak diskriminatif, karena merupakan kenyataan sosiologis. Kata dibiarkan dalam Penjelasan Pasal 1 Paragraf 3 UU No.1/PNPS/1965 memberikan ruang tumbuhberkembang semua agama dan termasuk Kepercayaan terhadap Yang Maha Esa. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Penyaluran aliran kebatinan kedalam salah satu agama dibenarkan. Khusus penyaluran badan dan aliran kebatinan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan YME oleh Pemerintah benar adanya dalam konteks menghilangkan praktik-praktik biadab oleh badan atau aliran kebatinan pada waktu dan upacara tertentu. Tokoh (ulama) yang mempunyai otoritas penafsiran atas agamanya. UU diperlukan dan tidak bertentangan dengan perlindungan HAM. UU Penodaan Agama bukan UU tentang kebebasan beragama sebagai HAM melainkan UU tentang larangan penodaan terhadap

Pos is i Kas us

41

agama. UU Penodaan Agama lebih memberi wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya tindakan anarkis apabila ada penganut suatu agama yang merasa agamanya dinodai. Negara memiliki fungsi sebagai pengendali sosial. Negara memang memiliki fungsi sebagai pengendali sosial dan diberikan otoritas berdasarkan mandat dari rakyat dan konstitusi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat sesuai dengan UUD 1945. Jika terdapat suatu kegiatan tafsiran yang kemudian disebarluaskan dan menimbulkan keresahan, konflik, dan ketegangan maka tidak ada alasan bagi Pemerintah, dimanapun di dunia ini, untuk tidak bertindak demi menjaga harmoni, kedamaian, dan ketertiban umum warga negara dan penduduknya. Hak Berserikat, Berkumpul dan Mengeluarkan Pendapat dibatasi Hukum. Sanksi Administrasi dan Pidana. UU Penodaan Agama pada pokoknya mengatur dua aspek pembatasan atas kebebasan beragama yaitu pembatasan yang bersifat administratif dan pembatasan yang bersifat pidana. Kekhawatiran Timbulnya Anarkhi. Untuk kepentingan perlindungan umum (general protection) dan antisipasi bagi terjadinya konflik di tengah-tengah masyarakat baik horizontal maupun vertikal, maka adanya UU Penodaan Agama menjadi sangat penting. UU Pencegahan/Penodaan Agama Perlu direvisi. MK dapat menerima pandangan bahwa perlu adanya revisi terhadap UU Penodaan Agama. Menyangkut kewenangan MK, maka untuk memperbaiki UU, adalah merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk melakukannya melalui proses legislasi yang normal.

42 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

2. Alasan berbeda (concurring opinion) Hakim Harjono Hakim Harjono memberikan alasan yang berbeda terhadap putusan MK. Harjono menyatakan bahwa rumusan Pasal 1 UU Penodaan Agama mengandung kelemahan. Untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan cara melakukan revisi Pasal 1 UU Penodaan Agama. Sedangkan apabila Pasal 1 UU Penodaan Agama dicabut maka akan terdapat ke-vakum-an hukum yaitu ketiadaan aturan yang dapat menimbulkan akibat sosial yang luas. Meskipun akibat itu sendiri dapat diatasi dengan aturan hukum yang ada, namun untuk melakukan hal yang demikian akan memerlukan social cost yang tinggi. Harjono berpendapat bahwa untuk sementara waktu UU perlu dipertahankan, sambil menunggu revisi UU Penodaan Agama selesai dilakukan. 3. Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Maria Farida Indrati. Selain Harjono yang memberikan alasan berbeda, Hakim Maria Farida Indrati memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Maria berpendapat bahwa UU Penodaan Agama merupakan produk masa lampau, yang walaupun berdasarkan Aturan Peralihan Pasal I Undang-Undang Dasar 1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity). Namun, secara substansial UU Penodaan Agama mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia. Terkait pasal-pasal dalam UU Penodaan Agama, Maria berpendapat sebagai berikut: Terdapat perlakuan yang tidak sama (diskriminatif) antara agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, serta Khong Hu Cu (Confusius), dan agamaagama lainnya, terutama terhadap badan/aliran kebatinan; bahkan negara/Pemerintah telah masuk ke dalam ranah yang menyangkut eksistensi spiritual,

Pos is i Kas us

43

yang melekat pada setiap individu (dalam hal ini badan/aliran kebatinan) karena Pemerintah diberikan wewenang untuk berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Perbedaan Adressat (Subjek) Norma dalam Pasal 2 dan 3. Dari rumusan Pasal 2 dan 3 jika dihubungkan dengan Penjelasan pasalnya maka yang menjadi adressat (subjek) norma adalah orang-orang ataupun penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota Pengurus Organisasi atau aliran terlarang. Pelaksanaan Undang-Undang menimbulkan berbagai permasalahan. Walaupun dalam UU Penodaan Agama tidak menyebutkan adanya enam agama yang diakui oleh negara, namun di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan telah terbukti bahwa yang diberikan jaminan dan perlindungan serta bantuan-bantuan hanya keenam agama. Hal ini terjadi misalnya dalam penerbitan Kartu Tanda Penduduk, penerbitan Kartu kematian, atau dalam pelaksanaan dan pencatatan perkawinan. Dengan berdasarkan UU Penodaan Agama juga telah dilakukan pelarangan terhadap penganut agama Kong Hu Cu (termasuk larangan terhadap simbol-simbol, adat kebiasaan, budaya, bahasa China) yang berlangsung sejak jaman Orde Baru hingga saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Hanya terdapat 6 (enam) Dirjen. Dari sisi kelembagaan sampai saat ini hanya terdapat Dirjen Bimas Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha di Kementerian Agama Republik Indonesia. Selain itu, dampak yang lebih kuat adalah yang dirasakan oleh para penganut agama tradisional ataupun penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang jumlahnya tidak sedikit. Tidak mudah bagi setiap orang ataupun negara untuk dapat langsung memahami

44 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

eksistensi spiritual mereka, oleh karena biasanya eksistensi spiritual mereka dikemas dan dilaksanakan dalam bahasa-bahasa daerah setempat. Pasal 156a dalam pelaksanaannya lebih sering diterapkan secara sewenang-wenang. Walaupun rumusan dalam Pasal 156a tersebut bukanlah merupakan delik materiil, namun karena pasal tersebut ditempatkan di antara Pasal 156 dan Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang termasuk dalam haatzaai artikelen) maka ketentuan dalam pasal 156a dalam pelaksanaannya lebih sering diterapkan secara sewenang-wenang. Sehingga dengan terjadinya berbagai permasalahan yang seringkali menimbulkan adanya tindakan yang sewenang-wenang dalam pelaksanaan UU Penodaan Agama dan adanya pertentangan dalam ketentuan pasal-pasalnya terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E, Pasal 28I, dan Pasal 29 UndangUndang Dasar 1945, Maria Farida berkesimpulan bahwa permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan.

BAGIAN KEDUA

KERANGKA KONSEPTUAL
A. HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN (KBB)
Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah suatu hak asasi manusia yang berlaku universal yang terkodifikasi dalam instrumen-instrumen HAM Internasional. Sejak permulaan era HAM, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak yang fundamental yang paling penting, senafas dengan kebebasan berpikir dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Karenanya hak-hak tersebut dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights). Hak ini secara tegas dijamin baik dalam ketentuan nasional maupun internasional, seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 (Pasal 18), Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM (Pasal 4, Pasal 22 Ayat (2), Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial/CERD), Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya/Ecosob), dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik/ICCPR). Keseluruhan ketentuan tersebut menjamin secara tegas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang harus dilindungi dan diakui Negara. Komentar Umum No 22 (48) Komite Hak Asasi Manusia PBB yang memberikan substansi normatif bagi pasal 18

46 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

ICCPR termasuk pengertian agama. Pengertian agama disini haruslah diartikan secara luas atau dengan kata lain agama tidak boleh diartikan secara sempit. Agama/keyakinan tradisional dan agama/keyakinan yang baru didirikan termasuk ke dalam pengertian agama. Pasal 18 ayat (1) UU No.12/2005 melindungi keyakinan orang untuk tidak bertuhan (atheistic), non-tuhan (non-theistic), bertuhan (theistic). 1. Delapan Elemen Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan Inti normatif dari hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat disingkat menjadi delapan elemen, yaitu:1 a. Kebebasan Internal (Forum Internum). Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan setiap orang untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan. b. Kebebasan Eksternal (Forum Eksternum). Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum (publik) atau wilayah pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengamalan, ibadah dan penataannya. c. Tidak ada Paksaan (Non Coersion). Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya. d. Tidak Diskriminatif (Non Discrimination). Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada di dalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan apapun seperti suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik,
1) Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh ? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, Karnisius, Jakarta, 2010, halaman 19-21

Kerang ka Kons ep t ual

47

atau perbedaan pendapat, kebangsaan atau asal-usulnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. e. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkebang. f. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan adalah kebebasan untuk berorganisasi atau berserikat. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama/berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya. g. Pembatasan yang diijinkan. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan ditujukan untuk kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain. h. Tidak Dapat Dikurangi (Non-Derogability). Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun. 2. Pembatasan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan Pembatasan hak untuk memanifestasi agama/keyakinan, menurut pasal 18 ayat (3) ICCPR hanya dibenarkan bila ditentukan oleh hukum. Pembatasan dilakukan karena salah satu dari lima alasan yang diijinkan, dan diperlukan atau diharuskan. Ditentukan oleh hukum, diartikan sebagai suatu aturan formal yang merupakan hasil dari proses legislasi, yang memenuhi keadilan prosedural dan substantif. Artinya, ketika ada pelanggaran dalam prosedural maupun substansi pembentukan undang-undang, seperti bertentangan dengan

48 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

HAM, diskriminatif dan tidak partisipatif, maka hal ini bukanlah aturan hukum yang dimaksudkan dasar pembatasan tersebut.2 Adapun lima alasan diijinkannya pembatasan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, yaitu:3 a. Pembatasan Demi Keamanan Publik (Restriction for the Protection of Publik Safety). Makna pembatasan keamanan publik menurut Manfred Nowak (Special Repourteur PBB) ditafsirkan secara terbatas, berbeda dengan makna keamanan publik di dalam pasalpasal lain di dalam Konvensi Sipol. Pembatasan ini akan dibenarkan seperti ketika ada sekelompok organisasi agama sedang berkumpul untuk melakukan prosesi keagamaan, upacara penguburan jenazah, menyelenggarakan ritual dan kebiasaan keagamaan yang mana secara spesifik mengancam keamanan orang-orang lain (nyawa, fisik dan kesehatan mereka itu) dan benda-benda lainnya. b. Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat (Restriction for the Protection of Publik Order). Pengertian ketertiban umum di sini adalah untuk mencegah gangguan terhadap ketertiban publik dalam arti yang terbatas. Sebagai sebuah gambaran seperti adanya aturan untuk pendaftaran penguburan jenazah dengan maksud untuk mengatur lalu-lintas, sehingga orang-orang yang menggunakan jalan tidak terganggu oleh adanya upacara penguburan jenazah tersebut. Disini, ketertiban umum ditafsirkan secara sempit untuk menjaga arus lalu lintas agar tidak terganggu oleh adanya upacara penguburan jenazah tersebut.

2) Fulthoni et all, Buku Saku untuk Kebebasan Beragama; Jaminan Hukum dan HAM atas Kebebasan Beragama, ILRC HIVOS, Jakarta, 2009, halaman 4 3) Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, Pembatasan-Pembatasan Yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Kebebasan Beragma atau Berkeyakinan : Seberapa Jauh ? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, Karnisius, Jakarta, 2010, halaman 207 - 230

Kerang ka Kons ep t ual

49

c. Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat (Restriction for the Protection of Publik Health). Pembatasan yang diijikan karena alasan kesehatan publik terutama dimaksudkan untuk mengijinkan intervensi negara dalam rangka mencegah wabah atau penyakit-penyakit lain. Seperti vaksinasi, pencegahan rabies, pencegahan penularan TBC. d. Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat (Restriction for the Protection of Morals). Pengertian moral harus diambil dari berbagai macam tradisi keagamaan, sosial dan filosofi. Oleh karena itu pembatasan atas manifestasi keagamaan atas dasar moral tidak boleh hanya diambil secara eksklusif dari satu tradisi saja. Pembatasan manifestasi keagamaan atas dasar moral misalnya ritual/upacara keagamaan dalam kasus black masses (ritual keagamaan yang mensyaratkan hubungan seksual), kemudian upacara/ritual keagamaan yang membahayakan kesehatan, seperti upacara keagamaan/kebiasaan keagamaan mewajibkan sunat untuk perempuan di Afrika, atau mewajibkan pengikutnya untuk minum racun. Negara atas dasar alasan-alasan tersebut dapat membatasi manifestasi keagamaan setiap warga negara. e. Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang Lain (Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom of Others). Pembatasan atas manifestasi keagamaan dalam hal melindungi hak-hak dan kewajiban fundamental orang lain, hanyalah untuk hak-hak dan kewajiban yang fundamental, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Hal yang sama juga terjadi pada hak seseorang untuk menentukan nasib sendiri, hak atas persamaan hak perempuan, larangan perbudakan, hak atas integritas fisik dan

50 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

mental, hak untuk menikah, hak-hak minoritas, hak atas pendidikan dan kesehatan berkonflik dengan hak atas manifestasi agama orang lain. Dalam kasus kebiasaan keagamaan yang mewajibkan perempuan untuk disunat bertentangan dengan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain yaitu hak perempuan atas integritas fisik dan mental serta persamaan hak perempuan. 3. Larangan Diskriminasi dan Hasutan Kebencian Pembatasan-pembatasan terhadap manifestasi agama/keyakinan seseorang hanya boleh dibolehkan jika pembatasan tersebut tidak diskriminatif. Komite HAM dalam komentar umumnya menekankan bahwa jika suatu agama diakui sebagai agama negara atau kalau pengikut agama tersebut merupakan mayoritas penduduk negara tersebut, tidak berarti bahwa agama tersebut diberi hak istimewa (privilege) atau bahwa dibolehkan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain atau yang tidak mempunyai agam/keyakinan. Hal sama juga berlaku jika suatu perangkat keyakinan diperlakukan sebagai ideologi resmi dalam kontitusi atau proklamasi partai yang berkuasa. Suatu sistem pendidikan umum yang diselenggarakan oleh negara yang memasukkan pengajaran suatu agama atau keyakinan tertentu hanya diperbolehkan bila ada ketentuan yang memungkinkan pengecualian atau alternatif yang tidak diskriminatif. Komite HAM mengingatkan kewajiban pemerintah berdasarkan Pasal 20 ICCPR untuk melarang setiap manifestasi agama, keyakinan yang berbentuk propaganda perang atau yang menyuarakan kebencian nasional, rasial atau agama yang merupakan penyulut diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Diskriminasi umumnya terjadi ketika pemerintah menempatkan agama negara, agama mayoritas atau agama tradisional lainnya hak atau kedudukan istimewa tertentu, dan karenanya menempatkan agama atau keyakinan lainnya dalam posisi yang tidak menguntungkan. Mafred Nowak, berdasarkan putusan-putusan pengadilan memberikan contoh

Kerang ka Kons ep t ual

51

pola-pola diskriminasi keagamaan, seperti:4 1. Penggunaan simbol-simbol agama tertentu di sekolah-sekolah umum5 2. Perundang-undangan mengenai penodaan agama membedakan antara agama Negara/mayoritas dengan agama/keyakinan lainnya6 3. Registrasi tempat-tempat peribadatan yang ketat yang menjadi pola sistematis untuk tidak berdirinya tempat peribadatan 4. Pendanaan publik bagi sekolah-sekolah keagamaan7 5. Pendidikan Agama di sekolah umum/negeri 8 6. Sumpah publik di hadapan pengadilan atau organ negara lainnya berdasarkan agama mayoritas 7. Pembebasan/pengecualian dari dinas wajib militer 8. Pelarangan pemakaman untuk agama/keyakinan tertentu

4) Op.cit, halaman 230 -238 5) Dalam Kasus Crucifix, Pengadilan Konstitusi Federal Jerman menyatakan bahwa wajib pasang salib Katolik Roma di sekolah-sekolah umum di Bavaria merupakan pelanggaran kebebasan beragama. 6) UU Blasphemy di Inggris secara terbuka membedakan antara agama Kristen dengan agama/kepercayaan non kristen. 7) Kasus Waldman v Kanada, Komite HAM menyatakan jika suatu negara pihak memilih untuk menyediakan pendanaan publik bagi sekolah-sekolah keagamaan, ia harus menyediakannya tanpa diskriminasi. Dalam kasus ini seorang ayah yang beragama Yahudi menyampaikan pengaduan bahwa ia memasukkan anaknya ke sekolah swasta Yahudi di Ontorio, dimana sekolah-sekolah Katolik Roma merupakan satu-satunya sekolah non sekuler yang menerima pendanaan publik/Negara secara penuh. 8) Pengadilan HAM Eropa menyatakan hak parental mewajibkan Negara-negara untuk menghormati keyakinan agama atau kepercayaan lainnya dari orangtua dalam seluruh program pendidikan Negara dan untuk menjamin bahwa informasi atau pengetahuan yang dimasukkan dalam kurikulum disampaikan secara objektif, kritis dan pluralistik dan tidak ditujukan untuk mengindoktrinasi dalam kasus Danish Sex Education. Sedangkan dalam Hartikainen v Finland bahwa pengajaran di sekolah umum/negeri yang bersifat wajib untuk mata ajaran seperti sejarah umum dan etika hanya akan selaras dengan Pasal 18 ICCPR jika pengajaran tersebut diberikan dalam cara yang obyektif dan netral serta menghormati keyakinan orangtua yang tidak percaya pada suatu agama.

52 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

B. HAK ATAS KEBEBASAN BEREKSPRESI9


1. Sejarah Hak Atas Kebebasan Berekspresi Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi yang diterima secara universal, dan telah diakui di dokumendokumen hak asasi manusia sejak permulaan. Sejarah hak ini dapat dirujuk pada Socrates tahun 339 SM, yang memperkenalkan ide kebebasan berbicara dalam peradilan dan menolak untuk diam. Magna Charta tahun 1215 di Inggris, hak atas kebebasan secara resmi diakui, meskipun tak secara eksplisit menyebutkan kebebasan berekspresi. Pada tahun 1516, Erasmus memperkenalkan prinsip di negara bebas, lidah harus pula bebas sebagai ajaran prinsip kebebasan. Pada 1644, John Milton menerbitkan pamflet berjudul Aeropagitia yang menjadi basis argumentasi awal paham kebebasan pers. Pamflet tersebut terkenal dengan retorikanya yang terkenal mereka yang membakar buku berarti juga membakar akal sehat. Pada 1689, setelah raja James II di Inggris ditumbangkan, negara itu mengesahkan Bill of Rights yang menjamin kebebasan berbicara di parlemen. Pada 1770, Voltaire menulis Monsieur l'abb yang terkenal dengan retorika Saya menentang keras apa yang Anda tulis, tapi saya akan petaruhkan nyawa saja untuk menjamin hak Anda untuk terus menulis. Kebebasan berbicara secara lebih eksplisit dijamin dalam Deklarasi Hak Manusia yang disahkan menyusul Revolusi Perancis (1789). Amerika Serikat melakukan amandemen pertama konstitusinya yang menjamin empat kebebasan: kebebasan beragama, berbicara, pers dan berkumpul (1791). Selanjutnya John Stuart Mill (1859) menerbitkan On Liberty yang menjadi basis teori mengenai toleransi dan individualitas. Esai tersebut terkenal dengan argument bahwa If any opinion is compelled to silence, that opinion may, for aught we can certainly know, be true. To deny this is to assume
9) Diambil dari legal annotation Margiyono Anotasi Putusan UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penodaan Agama Dilihat dari Hak Atas Kebebasan Berekspresi, ILRC dan FH Indonesia, Jakarta, 2010

Kerang ka Kons ep t ual

53

our own infallibility. Pada 1929, Oliver Wendell Holmes, Hakim Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa prinsip kebebasan berbicara adalah bukan hanya kebebasan berpikir bagi orang-orang yang setuju dengan kita, tapi juga bagi orang-orang yang kita benci. Pada 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disahkan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai prinsip bagi negara anggotanya. Pasal 18 menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan dan Pasal 19 menjamin kebebasan berekspresi yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termauk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan keterangan-keterangan, pendapat dengan cara apapun serta dengan tidak memandang batas-batas.

Sedangkan dalam ICCPR, ketentuan mengenai hak kebebasan berekspresi, dijamin dalam Pasal 19 sebagai berikut:
1. Setiap orang berhak untuk mmpunyai pendapat tanpa diganggu 2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya. 3. Pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggungjawab khusus. Oleh karena itu hak tersebut dapat dikenai pembatasan tertentu, namun pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk: (a) menghormati hak atau nama baik orang lain, (b) melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.

54 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

2. Pembatasan Hak Kebebasan Berekspresi Pasal 19 ICCPR mengatan bahwa kebebasan berekspresi dapat dibatasi untuk menghormati hak atau nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. Pembatasan hanya diperbolehkan jika diatur menurut hukum dan dibutuhkan dalam masyarakat yang demokratis. Namun, tidaklah mudah membuat rumusan praktis pembatasan kebebasan berekspresi berdasarkan ICCPR dan instrument HAM internasional lain. Article XIX, sebuah lembaga non-profit yang berpusat di London mengembangkan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan perdamaian, terutama antara agama dan ras yang disebut Cendem Principles. Sedangkan Dewan HAM Eropa menetapkan syaratsyarat pembatasan kebebasan berekspresi haruslah lolos tiga test yang ketat,yaitu: a. Pembatasan dibuat untuk tujuan yang benar-benar legitimed b. Pembatasan harus dilakukan dalam kerangka demokratis (jadi harus oleh parlemen atau lembaga yang diberi kekuasaan oleh parlemen untuk menyusun hukum yang memenuhi proses berkeadilan, baik secara prosedural maupun substantif) c. Pembatasan tersebut harus benar-benar merupakan nesesitas (necessity) bagi masyarakat demokratis, jadi kata nesesitas tidak hanya sekedar berguna (useful) dan beralasan (reasonable) Terkait dengan hak kebebasan beragama/berkeyakinan Dewan HAM Eropa berpendapat ada kebutuhan untuk membuat hukum anti penodaan agama di Eropa. Namun penilaian Dewan HAM Eropa tersebut dikritik oleh Article XIX, dengan alasan tidak ada nesesitas bagi hukum penodaan agama, dengan pertimbangan: a. Tak ada nesesitas untuk hukum penodaan agama, karena public good akan lebih baik disampaikan melalui perdebatan dari berbagai sisi, sekalipun dengan istilah yang keras dan ofensif;

Kerang ka Kons ep t ual

55

2. Tak ada bukti nyata bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama akan berjalan lebih baik dengan adanya hukum anti penodaan agama. Harus ditegaskan bahwa kebebasan beragama bukan berarti untuk menghormati agama tapi adalah menghormati hak setiap orang untuk beragama dan beribadah menurut keyakinannya. 3. Kebebasan berekspresi bukan hanya untuk ide dan informasi yang harmonis tapi juga untuk ide yang mengagetkan, keras, dan juga mengganggu. 4. Penerapan hukum penodaan agama di berbagai tempat di dunia adalah justru untuk membatasi kemerdekaan orang untuk beragama, dan umumnya korbannya adalah penganut agama-agama minoritas.

C. PENISTAAN AGAMA (BLASPHEMY), PENODAAN AGAMA (DEFAMATION OF RELIGION), AJARAN MENYIMPANG (HERESY) DAN PENYEBARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH)
1. Pengertian Blasphemy, Sejarah dan Pengaturan di Beberapa Negara10 Penistaan/penghinaan terhadap Tuhan, dikenal dengan istilah Blasphemy (Inggris) atau Goldslastering (Belanda). Blasphemy berasal dari Bahasa Yunani yaitu blasphemein, yang merupakan paduan dari kata blaptein ("to injure = melukai/ merusak) dan pheme (reputasi), sehingga blaspheimein mengandung arti melukai reputasi/nama baik. Di Belanda, terdapat pasal khusus tentang delik penghinaan Tuhan (Malign blasphemy) dan delik penyiarannya (Dissemination of malign blasphemy). Ketentuan blasphemy di atas, dimasukkan ke WvS Belanda pada tahun 1932, namun tidak dimasukkan kedalam WvS Hindia Belanda (KUHP Indonesia). Terkait dengan hal ini Nico Keijzer,11 memberikan
10) Sebagian besar pada sub bab ini diambil dari legal annotation Margiyono Anotasi Putusan UU No. 1/PNPS/1965 Tetang Pencegahan Penodaan Agama Dilihat dari Hak Atas Kebebasan Berekspresi, ILRC, Jakarta, 2010 11) Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia

56 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

penjelasan tentang blasphemy sebagai berikut :


- Dengan adanya kata blasphemous di dalam perumusan pasal, ketentuan itu berkaitan dengan pernyataanpernyataan yang melukai perasaan keagamaan tentang Tuhan (Supreme Being), sedangkan perasaan keagamaan tentang nabi atau bunda Maria tidaklah dilindungi. - Dengan adanya kata malignly (bersifat menghina) membuat jelas bahwa perdebatan agama yang obyektif (tidak memihak) tidaklah dapat dipidana sekalipun perasaan keagamaan beberapa orang/kelompok orang tersinggung. Suatu pernyataan tidaklah bersifat menghina, sekalipun dapat melukai perasaan keagamaan, apabila tidak dimaksudkan untuk mencerca/memaki Tuhan.

Pada tahun 1968, seorang penulis Belanda, Gerard Kornells van het Reve menyatakan dalam novelnya bahwa Tuhan sebagai keledai (donkey). Hoge Raad membebaskan si pengarang karena tidak terbukti bahwa tujuannya untuk menghina (Hoge Raad 2 April 1968, NJ 1968 no.373).12 Dalam arti luas, blasphemy dapat diartikan sebagai penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang tak boleh diserang (tabu). Bentuk blasphemy umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agama-agama yang mapan. Di beberapa negara tindakan tersebut dilarang oleh hukum. Blasphemy dilarang keras oleh tiga agama Ibrahim (Yahudi, Kristen dan Islam). Dalam agama Yahudi, blasphemy adalah menghina nama Tuhan atau mengucapkan hal-hal yang mengandung kebencian terhadap Tuhan. Dalam Kristen, alam Kitab Perjanjian baru dikatakan menista roh kudus adalah dosa yang tak diampuni dan pengingkaran terhadap Trinitas juga digolongkan sebagai blasphemy. Dalam Kitab perjanjian lama, pelaku blasphemy diancam hukuman mati, dengan cara dilempari batu. Dalam Islam, blasphemy adalah menghina Tuhan, Nabi Muhammad
dan Perbandingan Berbagai Negara, BP Undip, Semarang, 2007, halaman 65- 67 12) ibid

Kerang ka Kons ep t ual

57

dan nabi-nabi yang diakui dalam Al Quran serta menghina Al Quran itu sendiri. Budha dan Hindu tak mengenal adanya blasphemy, paling tidak secara resmi. Blasphemy menjadi hukum negara sejak munculnya teokrasi, dimana terjadi penyatuan antara kekuasaan agama degan kekuasaan politik. Negara-negara Eropa pada Abad ke-17 menetapkan pelaku penistaan agama sebagai tindak kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman berat. Begitu juga di belahan-belahan bumi lain, dimana terjadi penyatuan antara agama dan politik, baik itu negara Kristen, Yahudi maupun Islam. Tujuan memidanakan penistaan agama adalah untuk membatasi kebebasan berbicara, tidak melanggar norma sosial mengenai kesopanan dan hak orang lain. Di Eropa abad ke-17, karena kristen merupakan jantung hukum Inggris, maka hukum dibuat berdasarkan nilainiai kristen. Setiap perkataan yang bertentangan dengan nilai dan ajaran kristen dianggap sebagai tindak pidana. Tentu saja, hukum mencerminkan nilai dan pandangan agama dominan saat itu, dan mengabaikan pandangan keyakinan minoritas. Memasuki abad ke-20, penistaan agama pelanpelan dihapus dari hukum pidana di beberapa negara Eropa. Di Inggris, dalam The Criminal Libel Act 1819 diatur tentang delik penghinaan terhadap Tuhan (Blasphemous Libel). Tujuan pemidanaan ini adalah untuk mempertahankan supremasi gereja Anglikan. Lord Avebury mengusulkan pencabutan, karena delik ini hanya ditujukan pada penyerangan terhadap kedudukan Gereja Inggris yang bertentangan dengan Human Rights Act.13 Blasphemy hanya berlaku untuk penistaan terhadap Gereja Anglikan, tidak berlaku untuk penghinaan agama Yahudi, Islam, bahkan Kristen non-Anglikan. Namun UU ini tidak dicabut karena adanya kebutuhan untuk mempertahankan ketentuan tentang penghinaan yang bersifat menghasut (seditious libel). Menurut Barda Nawawi, Inggris menganut blasphemy dalam pengertian yang sangat sempit.14
13) Ibid, halaman 68 14) Loc cit

58 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Memasuki abad ke-20, penistaan agama pelan-pelan dihapus dari hukum pidana di beberapa negara Eropa. Sepanjang abad-20, hanya ada 4 kasus perdata terhadap perbuatan penistaan agama. Kasus terakhir terjadi tahun 1979 antara Whitehouse vs Lemon. Kasus itu bermula dari penerbitan puisi di majalah Gay News, yang menggambarkan Yesus Kristus sebagai homoseksual. Penerbit majaah tersebut didenda 500 pund dan hukuman percobaan 9 bulan. Majalahnya didenda 1000 pound dan harus membayar pengganti penjara 10.000 pound. Kasus Salman Rusdhie yang digugat di Inggris tidak berujung pada penghukuman.15 Seperti Inggris, di Australia yang merupakan bekas jajahan Inggris, hukum penistaan agama juga hanya berlaku terhadap tindakan penghinaan gereka Anglikan, walau tak seperti Inggris, Australia tak memiliki agama resmi. Kendati banya undang-undang, baik federal, negara bagian, maupun hukum kebiasaan yang memidanakan penistaan agama, hal ini jarang terjadi di Australia. Pemidanaan agama terakhir terjadi tahun 1971, dalam kasus R v. Wiliam Lorando Jones. Jones didakwa menista gereja Anglikan di negara bagian New South Wales karena berbicara di depan umum bahwa Perjanjian Lama itu immoral dan tak cocok bagi perempuan. Jones dihukum denda 100 pound dan penjara 2 tahun. Setelah kasus itu, tahun 1871, parlemen New South Wales mengusulkan UU Opini Mengenai Agama, yang intinya menghentikan pemidanaan terhadap penistaan agama. Ibukota Australia lalu mengadopsi UU tersebut (1996) dan menghapuskan pemidanaan penistaan agama melalui Reformasi Hukum. Pemidanaan penistaan agama di Jerman diatur dalam bab 11 KUHP Jerman. Penistaan agama didefinisikan sebagai:
barang siapa yang menyebarkan tulisanyang menghina ajaran agam lain atau ajaran mengenai pandangan hidup dengan cara yang dapat menyebabkan gangguan
15) Brinton Priestly, Blasphemy and Law: A Comparative Study (2006), http://www. brentonpriestley.com/writing/blasphemy.htm.

Kerang ka Kons ep t ual

59

terhadap ketertiban umum, diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda.

Pada Februari 2006, aktvis politik Jeran Manfred van H, dijatuhi hukuman satu tahun percobaan dan hukuman kerja sosial selama 300 jam karena menyebarkan tisu toilet yang dicetak ayat-ayat Al Quran dan dibagi-bagikan ke masjid dan media-media. Walau banyak pendiri Amerika adalah orang-orang yang melarikan diri dari hukuman penistaan agama di negara asalnya di Eropa, namun Amerika Serikat memiliki hukuman pidana yang keras terhadap penistaan agama. Di beberapa negara bagian AS, penistaan agama dapat dihukum mati. Namun demikian, sejak disahkannya Amandemen Pertama konstitusi AS, pemidanaan terhadap penistaan dilarang karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pakistan adalah negara di dunia yang paling keras mengancam penistaan agama. Menurut KUHP Pakistan,
barangsiapa dengan kata-kata, baik lisan maupun tertulis, atau dengan gambaran, atau dengan tuduhan, gaung, atau insinuasi, baik langsung maupun tak langsung, yang mencemarkan nama suci Nabi Muhammad, diancam hukuman mati, atau penjara seumur hidup, dan denda.

Tahun 2000, seorang guru bernama Muhammad Younas Seikh, menjelaskan di kelas bahwa sebelum nabi Muhammad menerima wahyu Al Quran belum masuk Islam, dijerat dengan penistaan agama dan dihukum mati. Dalam 10 tahun terakhir, 12 orang dieksekusi mati dengan tuduhan penistaan agama, 560 orang didakwa menista agama di pengadilan, dan 30 orang masih menunggu vonis. 2. Penodaan Agama (Defamation of Religion) Sejak 1999, masalah penodaan agama menjadi perhatian PBB. Resolusi PBB tentang Penodaan Agama, dipersiapkan oleh Pakistan atas nama Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke Komisi HAM PBB, dan Mesir atas nama Afrika, da-

60 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

lam Durban Conference. Resolusi ini merupakan upaya untuk menghentikan polarisasi, diskriminasi, ekstrimisme dan misinterpretasi terhadap Islam karena Islam sering dikaitkan dengan terorisme dan pelanggaran HAM, khususnya setelah peristiwa 11 September yang menguatkan sentimen Islamophobia. Namun demikian, dalam Konferensi Durban review II di Jenewa, resolusi-resolusi mengenai defamation of religions dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia, karena terlalu sempit pada perlindungan Islam (awal mula draftnya berjudul defamation of Islam), konsep tersebut melindungi agama (yang esensinya adalah ideologi) bukannya melindungi hak individu, terlalu mempertentangkan pada dan agama, mempreteli hak atas kebebasan berekspresi, ditulis dengan bahasa yang terlalu umum dan tidak jelas, termasuk dalam penggunaan istilah penodaaan (defamation). Berdasarkan evaluasi yang disampaikan oleh beberapa pelapor khusus PBB, penerapan konsep defamation of religion di beberapa negara, seperti Pakistan, Iran, dan Mesir, justru menimbulkan masalah hak asasi manusia, seperti pembungkaman kebebasan berekspresi, xenophobia dan ketegangan antar umat beragama. Sehingga, konsep defamation of religion kembali dipertanyakan.16 Terdapat sejumlah alasan serius untuk mempertanyakan konsep defamation of religion. Pertama, sebagai persoalan teknis, penodaan adalah sebuah konsep hukum yang didesain untuk melindungi individu dari kerugian yang menyangkut reputasi. Tidak jelas, bagaimana agama bisa menuntut perlindungan dari hal ini. Kedua, lepas dari persoalan teknis, gagasan tentang penodaan agama secara inheren adalah sesuatu yang samar-samar dan sulit untuk diterapkan. Pengaturan tentang penodaan agama dapat digunakan oleh pihak yang berkuasa bagi perlindungan terhadap agama mayoritas daripada agama minoritas atau yang tidak popular, untuk menyokong rejim otoriter, menghukum
16) Op.cit, Margiyono

Kerang ka Kons ep t ual

61

kelompok lawan politik yang berbeda dan untuk memperkuat faksi-faksi agama yang sejalan atau tidak sejalan dengan apa yang dianut oleh penganut individual.17 Karenanya sejumlah negara dan kalangan NGO menolak resolusi-resolusi tentang penodaan agama. Pada tahun 2008, total suara menolak dan abstain melampaui jumlah suara setuju untuk pertama kalinya. Penolakan ini bukan dikarenakan penghinaan tak berdasar atas keyakinan agama adalah sesuatu yang dapat diterima, namun karena metodemetode yang lebih sensitif perlu ditemukan untuk melindungi nilai-nilai semacam itu, tanpa mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang lainnya. Selanjutnya pembahasan mengenai penodaan agama lebih mengarah kepada upaya mencegah hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan sebagaimana diijinkan dalam Pasal 20 (2) ICCPR. 3. Ajaran Menyimpang (Heresy) Kata "heresy" berasal dari bahasa Yunani, , hairesis (dari , haireomai, "memilih"), yang berarti pilihan keyakinan atau faksi dari pemeluk yang melawan. Menurut Oxford English Dictionary, adalah "pandangan atau doktrin teologis atau keagamaan yang dianggap berlawanan atau bertentangan dengan doktrin Katolik atau Ortodoks Gereja Kristen, atau, dalam pengertian yang lebih luas, dari gereja, keyakinan, atau sistem keagamaan manapun, yang dianggap ortodoks atau ajaran yang benar. Dalam pengertian ini, termasuk pandangan atau doktrin dalam filsafat, politik, ilmu, seni, dll. yang berbeda dengan apa yang umumnya diakui sebagai yang berwibawa18 atau dapat diartikan paham yang keluar dari mainstream.19 Padanan kata ini diantaranya aliran sesat, ajaran sesat, atau bidah.
17) Tore Lindholm, op.cit, halaman 28 18) http://id.wikipedia.org/ wiki/ Ajaran_sesat, diakses 08 Oktober 2010. 19) Religious Freedom 2006-2008: Data media dan analisis tentang Kebebasan Beragama Nurcholish Madjid Society, Pengajian Nurcholish Madjid 29 January 2009, halaman 13

62 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Dalam sejarah pemikiran dan perkembangan agamaagama di dunia, hampir bisa dipastikan terdapat sekelompok orang maupun perorangan yang memiliki pandangan atau doktrin yang berbeda atau menyimpang dari agama induk yang dianutnya. Penafsiran terhadap suatu ajaran/doktrin terjadi di berbagai agama/keyakinan. Akibatnya, selalu ada pihak yang menyatakan dirinya benar dan ada pihak yang dinyatakan salah, sesat, murtad, bidah, menyimpang dan keluar dari rel keagamaan umum. Terhadap orang atau kelompok ini umumnya terjadi persecutiton yaitu panganiayaan atau pembunuhan, karena keyakinannya. Lahir dan berkembangnya pandangan yang berbeda dari agama/keyakinan induknya, tidak terlepas dari proses berpikir seseorang dalam menilai dan menafsirkan kembali agama/keyakinannya. Dalam konteks hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hal tersebut masuk dalam wilayah forum internum, dimana tidak ada seorangpun, termasuk negara boleh mengintervensinya. Di Indonesia, penafsiran dikategorikan sebagai salah satu bentuk penodaan agama. Sehingga seseorang atau kelompok yang memiliki pikiran, pandangan atau penafsiran yang berbeda diberi stigma sebagai sesat dan menyesatkan, dan dapat dikenai pidana karenanya. Hal ini menimpa Lia Aminudin yang mengaku sebagai Jibril Ruhul Kudus dari kerajaan Tuhan "Eden", Yusman Roy yang melakukan sholat dengan bahasa Indonesia, Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan Sumardin Tappayya, yang melakukan shalat bersiul untuk mengekspresikan kedekatannya dengan Allah. 4. Penyataan Kebencian (Hatred Speech) Penyataan kebencian atau permusuhan adalah pernyataan yang meremehkan seseorang atau kelompok berdasarkan agama, ras, golongan atau orientasi seksual. Dalam hukum, pernyataan kebencian adalah setiap pernyataan, isyarat atau melakukan, menulis, atau tampilan yang karenanya dapat mendorong kekerasan atau tindakan merugikan terhadap atau oleh seorang individu atau kelompok yang di-

Kerang ka Kons ep t ual

63

lindungi, atau karena meremehkan atau menakutkan seorang individu atau kelompok yang dilindungi. Individu yang dilindungi atau kelompok yang dilindungi berdasarkan ras, jenis kelamin, etnis, kebangsaan, agama, orientasi seksual, atau karakteristik lain. Kasus-kasus konflik sosial kerap diawali oleh hasutan kebencian yang kemudian menimbulkan diskriminasi, permusuhan dan kekerasan terhadap kelompok agama yang lain. Pasal 20 ICCPR mewajibkan negara untuk menjadikan pernyataan propaganda apapun untuk berperang, dan segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, rasa atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Ketentuan ini menjadi dasar pembatasan hak kebebasan beragama/berkeyakinan dan hak kebebasan berekspresi, dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : 1. Didefinisikan secara jelas dan terbatas; 2. Pembatasan dilakukan oleh lembaga independen yang bebas dari kepentingan politik, bisnis atau kekuasaan lain, misalnya oleh pengadilan; 3. Orang tak boleh dihukum sebagai melakukan menebar kebencian selama pernyataanya benar; 4. Orang yang menyebarkan pernyataan kebencian harus dipidana, kecuali hal itu dilakukan untuk mencegah deskriminasi, permusuhan atau kekerasan; 5. Hak jurnalis untuk menentukan cara mengkomunikasikan informasi atau ide harus tetap dihormati, khususnya dalam meliput rasisme dan perbuatan intoleran; 6. Saringan sensor tak boleh dilakuan untuk mencegah pernyataan kebencian; 7. Pelaksanaan harus menghindari dampak chilling effect (ketakutan meluas) sehingga orang tidak merasa bebas berekspresi 8. Sanksi untuk pernyataan kebencian harus wajar dan proporsional, untuk hukuman penjara tetap merupakan jalan terakhir;

64 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

9. Rumusan pembatasan harus jelas untuk melindungi hak individu untuk berkeyakinan dan berpendapat dari ancaman permusuhan, deskriminasi dan kekerasan, bukannya untuk melindungi sistem keyakinan, agama, atau lembaga dari kritik.

D. PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS20


1. Pengertian Minoritas dan Kelompok Rentan Pluralisme di Indonesia adalah pluralisme yang multiwarna dan tidak dikotomis baik dari sisi komposisi etnisitas (suku, agama, ras, bahasa, dsb) maupun demografisnya. Fakta tersebut sudah ada bahkan pada jaman Nusantara atau pra-kemerdekaan RI. Kewajiban koheren terhadap corak eksistensi Indonesia tersebut adalah merawat, menjaga dan menghidupi masing-masing elemen bangsa yang menjadi pembentuknya.21 Hal ini kemudian ditegaskan juga dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV bahwa dalam menjalankan kewajiban tersebut, maka Pancasila sebagai sebuah sistem ideologi adalah menjadi dasarnya. Pancasila mempunyai 5 (lima) Sila yang di antara mereka adalah merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Ketika memaknai arti Ketuhanan dalam kehidupan berbangsa maka akan hadir juga aspek kemanusiaan yang mempunyai segi universalitas (human being as a whole), persatuan nasional yang menjaga pluralitas, demokrasi yang agung (wisdom) dan takzim terhadap kehendak rakyat, serta kesejahteraan untuk semua yang searah dengan rasa keadilan. Dalam konteks Indonesia, menjadi sulit untuk menemukan definisi dan batasan terkait kelompok minoritas. Namun, kita dapat mengacu pada definisi minoritas menurut Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan Hak Minoritas, Francesco Capotorti yang mendefinisikannya sebagai:

20) Diambil dari legal anotation 21) Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ....melindungi segenap bangsa Indoensia dan seluruh tumpah darah Indonesia....

Kerang ka Kons ep t ual

65

A group, numerically inferior to the rest of the population of a state, in a non dominant position, whose members being nationals of the state-posses ethnic, religious or linguistic characteristic differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language 22

Dari definisi tersebut yang dikategorikan sebagai minoritas adalah: Pertama, perbandingan numeriknya dengan sisa populasi yang lebih besar. Artinya, sebuah kelompok bisa disebut minoritas jika jumlahnya lebih kecil dari sisa populasi lainnya dalam sebuah negara. Kedua, posisinya tidak dominan dalam konteks negara. Ketiga, terdapatnya perbedaan salah satu atau semuanya dari tiga wilayah yaitu etnik, agama dan bahasa dengan sisa populasi lainnya. Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok orang memiliki rasa solidaritas antara sesamanya, dan membagi bersama keinginan untuk melestarikan agama, bahasa, tradisi, budaya dan kepentingan untuk meraih persamaan di depan hukum dengan populasi di luarnya.23 Dalam hukum internasional, konsep minoritas dipisahkan dengan pengertian indigenous people, yang diartikan sebagai penduduk yang kondisi-kondisi sosial, budaya dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat nasional lainnya dan yang statusnya diatur, secara keseluruhan atau sebagian dengan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi-tradisi mereka sendiri atau dengan undang-undang atau peraturanperaturan khusus.24 Term ini kerap diterjemahkan sebagai suku terasing, masyarakat tertinggal, Komunitas Adat Terpencil (KAT), Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat.
22) Hikmat Budiman, Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas dalam Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia, The Interseksi Foundation Yayasan Tifa, Jakarta,2007, halaman 10 23) Kritik terhadap definisi ini vide Hikmat Budiman, ibid, halaman10 -13 24) Pasal 1 Konvensi ILO No.169 tentang Konvensi Penduduk Asli dan Masyarakat Adat

66 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Istilah masyarakat adat cukup sukar melacak asal-usul kemunculannya. Sebagian kalangan mengatakan bahwa istilah itu adalah terjemahan langsung dari istilah indigenous people. Namun, sebagian juga menganggapnya bukan merupakan terjemahan dari istilah indigenous people. Definisi mengenai istilah masyarakat adat pernah dirumuskan oleh Jaringan Pembela Hak-Hak Masyarakat Adat (Japhama), pada tahun 1993. Menurut Japhama, masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideoleogi, ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri Definisi ini secara resmi diadopsi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada kongres I di tahun 1999. Sedangkan, Jose Martinez Cobo, pelapor khusus PBB untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, pada tahun 1981, dalam laporannya yang berjudul Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat, mendefinisikan indigenous people sebagai kelompok masyarakat atau suku bangsa yang memiliki kelanjutan hubungan sejarah antara masa sebelum invasi dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka, menganggap diri mereka berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau bagian dari masyarakat yang lebih luas. Pemerintah Indonesia sendiri mendefinisikan Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan definisi kelompok sosial (budaya) yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi maupun politik (Keppres No.111/1999 dan Kepmensos No.06/Peghuk/2002). Adapun karakteristiknya meliputi: (1) Berbentuk komunitas relatif kecil, tertutup, dan homogen; (2) organisasi sosial/pranata sosialnya bertumpu pada hubungan kekerabatan (bersifat informal dan kental dengan norma adat); (3) Pada umumnya terpencil secara geografis; (4) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten; (5) peralatan dan teknologinya sederhana; (6) Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam tinggi; (7) Terbatasnya akses pelayanan sosial dasar, ekonomi dan politik.

Kerang ka Kons ep t ual

67

Dalam konteks UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan/Penodaan Agama, pengertian minoritas dapat diartikan (1) agama-agama yang penganutnya lebih kecil dari penganut agama mayoritas dalam hal ini Islam; (2) agama-agama diluar enam agama yang disebutkan secara eksplisit; dan (3) aliranaliran keagamaan yang berbeda dengan pandangan agama utama, (4) Keyakinan/kepercayaan terhadap Tuhan YME dan (5) dalam konteks indegenous people, adalah agama-agama yang dianut oleh masyarakat adat, seperti Agama Adam bagi komunitas Sedulur Sikep, Agama Salih bagi komunitas Orang Rimba/Kubu, Agama Kaharingan bagi Suku Dayak, Agama Patuntung bagi Komunitas Adat Kajang dll. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, sementara keseluruhan penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih. Terkait dengan hak kebebasan beragama, pengkategorisasian agama langit (samawi) dan agama bumi (ardi), menjadikan agama-agama masyarakat adat sebagai agama bumi. Sehingga agama-agama langit mengkategorikan mereka sebagai belum beragama, dan menjadi sasaran penyebaran dari agama-agama samawi (mayoritas). 2. Hak-Hak Minoritas Instrumen internasional HAM yang mengacu pada kelompok kebangsaan, suku bangsa, ras, atau agama, dan beberapa memasukkan hak khusus bagi orang-orang yang termasuk kelompok minoritas, diantaranya : Konvensi Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida (pasal II); Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras (pasal 2 dan 4); Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (pasal 27); Konvensi Hak Anak (pasal 30); Konvensi UNESCO tentang Anti Diskriminasi dalam Pendidikan (pasal 5); Deklarasi PBB tentang Hak Orang-Orang yang termasuk dalam Kebangsaan atau Suku bangsa, Agama dan Bahasa Minoritas; dan Deklarasi UNESCO tentang Ras dan Prasangka Ras (pasal 5). Ketentuan-ketentuan tentang minoritas yang paling

68 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

banyak diterima sebagai ketentuan hukum yang mengikat adalah Pasal 27 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang berbunyi:
Di Negara-negara di mana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri.

Pasal 27 Kovenan memberikan kepada orang-orang yang termasuk kaum minoritas, hak atas identitas nasional, suku bangsa, agama, atau bahasa, atau kombinasi darinya, dan hak untuk mempertahankan ciri-ciri yang ingin mereka pelihara dan kembangkan. Ketentuan ini tidak meminta negara-negara untuk menetapkan upaya-upaya khusus, akan tetapi negara-negara yang telah meratifikasi Kovenan diwajibkan menjamin bahwa semua individu dalam wilayah hukumnya menikmati haknya; hal ini membutuhkan tindakan-tindakan spesifik untuk memperbaiki perbedaan yang diterima oleh kaum minoritas. Satu-satunya instrumen PBB yang menyebutkan hak khusus bagi kaum minoritas dalam sebuah dokumen tersendiri adalah Deklarasi tentang Hak dari Orang-orang yang termasuk dalam Bangsa atau Suku bangsa, Agama, dan Bahasa Minoritas. Walaupun naskah Deklarasi ini menjamin keseimbangan antara hak dari orang-orang yang termasuk kaum minoritas untuk memelihara dan memajukan identitas dan ciri-ciri mereka dengan kewajiban-kewajiban negara, namun Deklarasi ini juga menjamin secara penuh integritas wilayah dan kemandirian politik dari suatu bangsa sepenuhnya. Asas-asas yang terdapat dalam Deklarasi berlaku untuk kelompok minoritas di samping hak asasi manusia yang diakui secara universal yang dijamin dalam instrumen internasional lainnya.Deklarasi ini memberikan hal-hal sebagai-

Kerang ka Kons ep t ual

69

berikut : a. Perlindungan oleh Negara atas eksistensi dan identitas kebangsaan, sukubangsa, budaya, agama dan bahasa mereka (pasal 1); b. Hak untuk menikmati kebudayaan mereka, hak untuk menganut dan menjalankan agama mereka dan menggunakan bahasa mereka sendiri baik dalam kelompok mereka maupun dalam masyarakat (pasal 2 ayat1); c. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi, dan publik (pasal 2 ayat 2); d. Hak untuk turut serta dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka di tingkat nasional dan regional (pasal 2 ayat 3); e. Hak untuk mendirikan dan memelihara perkumpulan-perkumpulan mereka sendiri (pasal 2 ayat 3); f. Hak untuk mengadakan dan mempertahankan hubungan damai dengan anggota-anggota lain dalam kelompok mereka dan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas lain, baik dalam wilayah Negara mereka sendiri maupun melampaui batas-batas Negara (pasal 2 ayat 5); dan g. Kebebasan untuk melaksanakan hak mereka tanpa diskriminasi, baik secara individu maupun dalam masyarakat dengan anggota-anggota lain dalam kelompok mereka (pasal 3). h. Negara berkewajiban melindungi dan memajukan hak orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas dengan mengambil langkah-langkah: Menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan dan memungkinkan mereka mengekspresikan ciri-ciri dan memajukan kebudayaan, bahasa, agama, tradisi dan kebiasaan mereka (pasal 4 ayat 2); Memberikan mereka kesempatan yang cukup untuk mempelajari bahasa ibu mereka dan menggunakan dengan bahasa ibu mereka (pasal 4 ayat 3); Mendorong pemahaman akan kebudayaan, tradisi, bahasa, dan kebudayaan dari kaum minoritas yang berada

70 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

di wilayah mereka, dan menjamin bahwa anggota kelompok minoritas mempunyai kesempatan yang cukup untuk memperoleh pemahaman mengenai masyarakat secara menyeluruh (pasal 4 ayat 4); Mengijinkan mereka untuk turut serta dalam kemajuan dan perkembangan ekonomi (pasal 4 ayat 5); Untuk mempertimbangkan kepentingan-kepentingan sah dari kaum minoritas dalam mengembangkan kebijaksanaan dan program nasional serta dalam perencanaan dan penerapan program kerja sama dan bantuan (pasal 5); Untuk bekerja sama dengan Negara-negara lain berkenaan dengan kaum minoritas, termasuk pertukaran informasi dan pengalaman-pengalaman, dalam rangka memajukan pemahaman dan kepercayaan satu sama lain (pasal 6); Untuk memajukan penghormatan terhadap hak yang terdapat dalam Deklarasi (pasal 7); Untuk memenuhi kewajiban dan ikrar dari Negara-negara sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian dan kesepakatan internasional di mana mereka menjadi negara pihak.

3. Perlakuan Khusus (Affirmative Action) Kelompok minoritas dan masyarakat adat termasuk dalam pengertian Kelompok Rentan (vulrenable groups). Pengertian kelompok rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan. Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a. Refugees, b. Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. Migrant

Kerang ka Kons ep t ual

71

Workers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g. Women.25 Sehingga dengan demikian kelompok minoritas dan masyarakat adat merupakan kelompok rentan dan harus dilindungi oleh Negara. Suatu konstitusi negara harusnya melindungi hak-hak kelompok minoritas dari serangan kelompok mayoritas yang memanfaatkan besarnya jumlah massa pendukung mereka. Meski demokrasi meniscayakan mayoritas suara, namun ia juga ditegakkan lewat aturan main yang bertujuan melindungi dan mengayomi semua pihak, termasuk kelompok minoritas. Inilah yang disebut dengan democratic constitutionalism.26 Dengan atau tanpa konstitusi, kelompok mayoritas akan meraih hak-hak-nya dengan mudah. Sementara, kelompok minoritas hanya bersandar pada jaminan konstitusi. Itulah sebabnya penjaga gawang konstitusi ditentukan oleh sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, bukan ditentukan suara mayoritas rakyat. Dalam konteks kesetaraan terhadap semua pemeluk agama dan kepercayaan, aspek perlindungan terhadap kelompok minoritas yang rentan (minority-and-vulnarable groups) harus mendapatkan perhatian khusus. Sejarah telah membuktikan adanya kekerasan-kekerasan yang mereka dapatkan baik oleh kelompok beragama lainnya (comission) maupun minimnya perlindungan oleh negara (omission). Untuk menjawab lemahnya konstruksi hukum nasional dalam menopang hak atas kebebasan beragama bagi umat minoritas (religious minority) maka perlakuan khusus affirmative action27 dapat diterapkan dalam setiap pertimbangan hukum. Dan Judicial Review UU Penodaan Agama menjadi upaya untuk mendukung perlindungan terhadap kepentingan ke25) Iskandar Hoesin, Perlindungan terhadap Kelompok Rentan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, makalah, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003. 26) Nadirsyah Hosen, Demokrasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, http://islamlib. com/id/artikel/demokrasi-dan-perlindungan-kaum-minoritas/, diakses terakhir 15 Oktober 2010 27) Hak atas affirmative action berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU No.39/1999 tentang HAM.

72 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

lompok rentan, dalam hal ini adalah pemeluk agama/kepercayaan minoritas, yang baik secara historis maupun potensi sudah sangat nyata sangat rawan akan pelanggaran hak-hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan/kepercayaan.

BAGIAN KETIGA

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI1


A. JALAN TENGAH MAHKAMAH KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi dalam menguji permohonan berkeinginan untuk membangun jalan tengah. Hal ini tercermin dalam bagian amar putusan MK, seperti:
Adapun pendapat Mahkamah atas pandangan Jalaluddin Rahmat yang menyarankan agar Mahkamah membuat jalan tengah dengan memberi penafsiran resmi atas UU Pencegahan Penodaan Agama tanpa membatalkannya, Mahkamah sependapat dengan pandangan tersebut. Hal itu telah dilakukan oleh Mahkamah. Penafsiran Mahkamah tentang segi-segi tertentu atas UU Pencegahan Penodaan Agama telah dituangkan secara rinci dalam paragraf-paragraf di bagian Pendapat Mahkamah di atas yang kesemuanya dapat dipandang sebagai jalan tengah sebagaimana diusulkan oleh Ahli Jalaluddin Rahmat.2

Apa yang dimaksud jalan tengah bagi MK? Dari fakta-fakta persidangan terdapat dua saksi yang menyebut istilah jalan tengah, yaitu Jalaluddin Rahmat dan Yusril Ihza Mahendra. Jalaluddin mengusulkan Mahkamah mempertahankan UU Penodaan Agama dan mengakomodasi kepenti1) Bab ini merupakan hasil elaborasi dari empat legal annotation yaitu Rumadi, Antara Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Kembali Putusan Mahkamah Konstitusi, Sulistyowati Irianto, Mengapa Ditolak Seruan Membawa Bangsa Indonesia yang Berkeadilan Hukum dan Berkeadilan Sosial ? Muktiono Prospek Umat Minoritas dalam Kerapuhan Hukum dan Tafsir Konstitusi dan Margiyono Anotasi Putusan UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penodaan Agama Dilihat dari Hak Atas Kebebasan Berekspresi. 2) Amar Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009, h. 263.

74 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

ngan pihak yang merasa dirugikan. Sedang Yusril meletakkan konsep jalan tengah dalam konteks pertarungan ideologis negara Islam versus negara Sekuler. Menurut Yusril, negara Indonesia tidak merdeka sebagai sebuah negara Islam dan negara sekuler, tetapi mengambil jalan tengah yaitu Negara Berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Walaupun tujuan kalimat terakhir dihapus, namun semangat konteks keagamaan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak pernah lenyap. Berdasar fakta persidangan di atas, maka jalan tengah yang dimaksud MK terkait dua hal, Pertama, menengahi tuntutan antara pihak yang menginginkan mencabut UU Penodaan Agama di satu sisi, dan tuntutan untuk mempertahankannya. Kedua, menengahi pertarungan ideologis negara Islam versus negara sekuler. 1. Mahkamah Dalam Bayang-Bayang Ketakutan MK memetakan tiga kelompok pandangan menyikapi UU Penodaan Agama yaitu: Pertama, kelompok yang menyatakan UU Penodaan Agama konstitusional dan menghendaki dipertahankan eksistensinya, tanpa perubahan atau revisi. Kedua, kelompok yang menyatakan UU Penodaan Agama konstitusional, menghendaki dilakukan revisi karena beberapa bagiannya dipandang bermasalah. Ketiga, kelompok yang menyatakan UU Penodaan Agama inkonstitusional dan karenanya harus dibatalkan dan dicabut. Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka jalan tengah itu adalah kelompok kedua. Sehingga jika memang MK melakukan jalan tengah seharusnya putusannya lebih condong kepada pandangan kelompok kedua. Sayangnya, putusan MK lebih mengafirmasi cara pandang kelompok pertama daripada kelompok kedua, apalagi kelompok ketiga.3 Ada upaya MK untuk masuk ke
3) Bandingkan dengan paper yang ditulis Zainal Abidin Bagir, Dimanakah Jalan Ten-

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

75

posisi kedua, namun hal itu tidak tampak tegas dilakukan. Misalnya dengan menunjukkan aspek-aspek problematik dalam UU Penodaan Agama sebagaimana disampaikan sejumlah ahli dan mendorong DPR melakukan langkah-langkah untuk merevisi UU tersebut. Namun, tidak ada isyarat yang jelas dari MK mengenai hal ini. Dalam kaitan ini, dalam bagian menimbang, MK hanya menyatakan persetujuannya dengan pendapat para ahli seperti Andi Hamzah, Azyumardi Azra, Edy OS Hiariej, Emha Ainun Nadjib, Siti Zuhro, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Fedyani Saefuddin, Taufik Ismail dan Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama, baik dalam lingkup formil maupun substansi agar memiliki unsur-unsur materiil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik.
Massa Laskar Pembela Islam demo menolak uji materi UU Penodaan Agama di MK. (Sumber : www: news.okezone.com)

Setelah menyatakan sikap yang tidak secara tegas mendorong adanya revisi, MK kemudian berlindung dibalik kewenangan sebagai negative legislator. Yaitu dengan menyatakan bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbaikan redaksional dan cakupan isi, melainkan
gah?: Beberapa Catatan atas Putusan MK mengenai UU Penodaan Agama, tulisan dipresentsikan dalam pertemuan aktifis NGO yang difasilitasi HIVOS di Hotel Grand Kemang Jakarta, 16 Juni 2010.

76 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

hanya boleh menyatakan apakah sebuah UU yang diujimaterikan itu konstitusional atau tidak konstitusional. Karena seluruh isi UU Penodaan Agama dianggap konstitusional, maka MK tidak dapat mengubah atau membatalkannya. Untuk memperbaiki agar lebih sempurna menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk melakukannya melalui proses legislasi yang normal.4 Argumen normatif MK tersebut memang tidak keliru, tetapi MK sebenarnya bisa lebih progresif sebagaimana dilakukan ketika memutuskan sejumlah judicial review. Dengan tetap berada dalam posisi sebagai negative legislator MK sebenarnya bisa sedikit beranjak dengan memberikan guidance dan pernyataan bahwa UU Penodaan Agama mengan-dung sejumlah masalah dan karenanya harus direvisi. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan MK, sehingga sulit mengatakan MK mendorong adanya revisi UU. Bahkan hal yang tampak jelas dari amar putusan adalah penegasan bahwa UU Penodaan Agama adalah konstitusional, tidak ada masalah baik secara formil maupun materiil, masih relevan, dan bisa melindungi ketentraman beragama, sehingga harus dipertahankan.5 Terhadap kelompok yang terdiskriminasi atau diperlakukan tidak adil melalui, MK menilainya hal itu bukan persoalan norma hukum, tapi lebih karena kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi.6 Di sini MK telah mengabaikan berbagai fakta bahwa UU ini telah digunakan bukan saja untuk membatasi ekspresi keberagamaan (forum eksternum) tapi juga untuk membatasi hak privat yang masuk dalam kategori forum internum. MK memang memberi argu4) Amar Putusan, h. 304-305. 5) Amar Putusan, h. 312 6) Lihat Amar Putusan h. 305-306. Terkait dengan penganut aliran kepercayaan yang merasa terdiskriminasi akibat UU Pencegahan Penodaan Agama, MK menyatakan, masyarakat penganut kepercayaan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan dalam konstitusi. Adapun diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan bukan merupakan permasalahan pertentangan UU Pencegahan Penodaan Agama dengan UUD 1945, tapi lebih kesalahan penerapan norma hukum administrasi.

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

77

mentasi bahwa praktik diskriminasi merupakan kekeliruan, tapi pada saat yang sama MK menolak jika UU Pencegahan Penodaan Agama dikaitkan atau dituduh diskriminatif. Jika ada yang menjadikan UU Penodaan Agama sebagai landasan kebijakan diskriminatif, hal itu merupakan kesalahan implementasi, bukan persoalan UU-nya itu sendiri. Jika cara berpikir ini diikuti, maka bagaimana memastikan bahwa UU Penodaan Agama itu benar jika dalam praktiknya justru menimbulkan banyak masalah? Bagaimana UU Penodaan Agama dikatakan tidak diskriminatif tapi dijadikan landasan melakukan diskriminasi? Pada titik inilah sebenarnya MK bisa lebih progresif sebagaimana dilakukan dalam kasus-kasus lain, tidak hanya berhenti pada argumen normatif. Pilihan MK untuk mendukung argumentasi kelompok pertama, dan tidak memberi dorongan kuat untuk melakukan revisi bisa dipahami dari kutipan sebagai berikut:
.Jika hal tersebut (penodaan agama, pen.) tidak diatur, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan benturan serta konflik horizontal, dapat menimbulkan keresahan, perpecahan, dan permusuhan dalam masyarakat.7

Ketakutan (ancaman?) akan terjadi anarkisme sosial senantiasa dikemukakan pihak-pihak yang menolak pencabutan UU Penodaan Agama. Mereka selalu mengatakan, jika UU Penodaan Agama dicabut, maka orang akan dengan seenaknya melakukan penodaan agama, akan terjadi kekosongan hukum dan sebagainya. Di pihak lain, pendapat kalangan yang menghendaki UU Penodaan Agama dicabut berpendapat bahwa UU inilah yang secara nyata telah melahirkan ketegangan sosial. Dua cara pandang tersebut jelas bertolak belakang. Di sini, MK lagi-lagi tidak mencari jalan tengah tapi justru mengamini ketakutan-ketakutan (bahkan ancaman) akan adanya konflik horizontal. Karena itu, tidak salah jika putusan MK terkait UU Pencegahan Penodaan
7) Amar Putusan, h. 287.

78 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Agama berada dalam bayang-bayang ketakutan ancaman konflik horizontal. 2. Jalan Tengah Hakim Harjono Upaya melakukan jalan tengah yang lebih masuk akal justru tampak dari pendapat Hakim Konstitusi Harjono yang memberi alasan berbeda (concurring opinion). Jika MK mengambil pendapat Hakim Harjono, maka MK bisa dikatakan berhasil menempuh jalan tengah sebagaimana yang diinginkan. Hakim Harjono berpendapat bahwa rumusan pasal 18 UU Penodaan Agama memang mengandung sejumlah kelemahan sehingga perlu dilakukan revisi oleh lembaga pembuat undang-undang. Memang Hakim Harjono masih menyimpan kekhawatiran, jika UU dicabut maka akan terdapat ke-vakum-an hukum yang hal itu dapat menimbulkan akibat sosial yg luas. Namun di sisi lain, Hakim Harjono juga mengakui bahwa akibat itu bisa diatasi dengan aturan hukum yang ada, meski hal itu memerlukan social cost yang tinggi. Argumen Hakim Harjono bertolak dari pandangan bahwa UUD 1945 yang telah mengalami perubahan. Ada dua hal yang harus diperhatikan dengan seksama, yaitu perlindungan agama dan hak kebebasan meyakini sebuah kepercayaan di pihak lain. Hubungan antara dua unsur tersebut harus disatukan dalam formula yang tidak menegasikan satu unsur dengan unsur lainnya. Dalam pandangannya penerapan UU Penodaan Agama secara harfiyah dapat menimbulkan ketidakseimbangan, sehingga merusak keinginan untuk mencari keseimbangan dua unsur tersebut. Untuk menjelaskan kerancuan bunyi pasal 1, Hakim Harjono membuat peragaan kasus. Yaitu ada seseorang yang dengan keyakinannya sengaja membuat penafsiran
8) Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama berbunyi: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu.

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

79

tentang agama lain berdasar dalil-dalil agama yang dia yakini, namun penafsiran tersebut berbeda dengan pokok-pokok ajaran agama lain tersebut. Secara harfiyah, orang tersebut telah memenuhi unsur untuk disebut melakukan penodaan agama, karena ia telah melakukan penafsiran agama yang dianut di Indonesia yang penafsirannya menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama tersebut. Untuk memenuhi unsur delik penodaan agama secara lengkap, maka hal itu harus dinyatakan di muka umum. Apa yang dimaksud di muka umum? Dalam penjelasan pasal 1, di muka umum dimaksudkan apa yang lazim diartikan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian, yang dimaksud di muka umum adalah tempat dimana terdapat lebih dari satu orang, yang artinya terdapat orang lain. Masalahnya, apakah pasal ini memang dimaksudkan untuk melarang orang bicara tentang agama lain di depan umatnya sendiri untuk menafsirkan agama lain yang berbeda dengan pokok-pokok ajaran agama lain yang ditafsirkan? Jika ada yang menjawab bukan, dari rumusan mana jawaban itu didasarkan? Melalui ilustrasi tersebut, Hakim Harjono menyakini bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama dari sudut redaksional mengandung ketidakjelasan sehingga tidak memenuhi syarat tindak pidana yang haruslah jelas (lex certa). Apabila rumusan Pasal 1 UU Penodaan Agama tidak dimaksudkan untuk melarang ceramah agama yang mengandung tafsir terhadap agama lain yang berbeda dengan pokok-pokok ajaran agama lain tersebut yang ceramah dilakukan hanya di hadapan penganut agama dari penceramah, Hakim Harjono berpendapat, maksud tersebut dapat dilakukan dengan cara memberi batasan tentang unsur di muka umum. Hal itu bisa dilakukan dengan tidak memasukkan pengertian di muka umum apabila perbuatan menceritakan tersebut meskipun di hadapan banyak orang namun di tempat yang hanya dimaksudkan untuk dihadiri oleh penganut agama yang sama dengan agama penceramah atau di tempat yang dimaksudkan demikian. Hal ini menunjukkan bahwa ada kelemahan yang harus diakui da-

80 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

lam pasal 1, karenanya ia menyarankan perlunya melakukan revisi oleh lembaga pembuat UU. Hakim Harjono tidak menyarankan untuk mencabut atau membatalkan karena kekhawatiran adanya ke-vakuman hukum dan kekacauan sosial. Ia berpendapat, dengan dasar asas kemanfaatan sambil menunggu penyempurnaan yang dilakukan oleh pembuat UU, untuk sementara waktu UU Penodaan Agama perlu dipertahankan. Sedangkan untuk menetapkan status conditionally constitutional dengan cara memberikan syarat keberlakukannya tidak dapat dilakukan karena syarat tersebut akan sangat umum sifatnya. Padahal penerapan pasal tersebut berlaku untuk semua agama yang masing-masing mempunyai karakteristik berbeda antara satu dengan yang lain. Untuk mengatasi hal demikian, sebenarnya dapat dilakukan oleh hakim yang memutus perkara konkret dengan mempertimbangkan perubahan yang ada untuk menyelaraskan dua unsur tersebut di atas. Pendapat Hakim Harjono ini, lebih dapat disebut sebagai jalan tengah. Di samping secara eksplisit dia menyebut adanya kelemahan dalam UU Pencegahan Penodaan Agama, dia juga lebih tegas untuk mendorong DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang melakukan revisi. Hal ini berbeda dengan keputusan yang diambil Mahkamah, yang cenderung menafikan problem yang ada dalam UU Penodaan Agama. Pendapat sejumlah ahli, memandang perlunya melakukan revisi terhadap UU Penodaan Agama cukup kuat disampaikan sebagai bagian dari fakta persidangan. Yusril Ihza Mahendra, setelah menyatakan bahwa secara formil maupun materiil UU itu tidak berlawanan dengan konstitusi, ia menyatakan juga bahwa dari segi bentuk pengaturan, rumusan, kaidah-kaidah hukumnya perlu disempurnakan. (h. 222). Yusril menunjukkan adanya kekacauan (berdasarkan UU No. 10/2004) dalam penjelasan Pasal 1 dan Pasal 2, karena penjelasan itu mengandung norma, yang tidak ada dalam pasalnya. Persoalan lain adalah penerapan UU yang tidak ideal. Meskipun penerapan yang tidak ideal tersebut tidak

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

81

menggugurkan norma dalam teks, namun hal itu penting untuk mendapat perhatian, karena pasti ada sesuatu yang keliru. Oleh karena itu, Yusril pada akhirnya menyarankan DPR, Presiden dan Kementrian terkait untuk menyempurnakan UU Penodaan Agama. Ahli-ahli lain juga menyatakan adanya problem serupa. Ahli EOS Hiariej menyebutkan bahwa UU Penodaan Agama sering digunakan untuk menghakimi pemikiran dan keyakinan seseorang, tidak semata-mata soal ekspresi atas pikiran dan keyakinan. Meski hal ini tidak bisa dijadikan argumen untuk membatalkan norma dalam UU, namun hal ini menunjukkan bahwa UU ini problematis. Azyumardi Azra juga menegaskan hal yang sama, dimana perlu adanya revisi untuk menghindari ambiguitas dan ekses-ekses negatif yang ditimbulkan dari UU Penodaan Agama. Sejumlah ahli lain juga menyatakan hal yang kurang lebih sama untuk mendorong perlunya penyempurnaan karena UU ini telah menciptakan kecemasan terus menerus.9 3. Mahkamah Melegitimasi Ideologi Politik Piagam Jakarta Aspek jalan tengah kedua yang ingin ditunjukkan dalam putusan adalah persoalan pertarungan lama dalam sejarah pendirian Negara Indonesia, yaitu pertarungan ideologi Negara Islam dan Negara sekuler.10 Dalam kaitan ini, putusan MK ini tidak semata-mata bicara soal hukum dan konstitusi, tapi sudah merambat ke persoalan politik, bukan politik kekuasaan, tapi politik kenegaraan. Persoalan ini sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan UU Penodaan Agama, tapi MK tampaknya mempunyai kepentingan untuk mengangkat tema ini, hanya untuk menunjukkan bahwa negara mempunyai legitimasi untuk mengintervensi keyakinan keagamaan warganya.
9) Lihat Amar Putusan MK, h. 210-224. 10) Perdebatan lebih jauh mengenai pergumulan ini, baca Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999).

82 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Sumber Gambar : eramuslim

Sebagaimana dimaklumi, dalam sejarah pendirian negara Indonesia, para founding fathers berdebat sengit mengenai bentuk negara. Menurut para ahli sejarah, mereka terbagi dalam dua kelompok besar: yaitu nasionalis Islam, yang menghendaki agar Islam menjadi dasar negara; dan nasionalis sekuler yang menghendaki Indonesia sebagai negara nasional dengan Pancasila sebagai dasar negara. Dua arus tersebut ditengahi dengan adanya gagasan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, yang menambahkan tujuh kata setelah Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu: dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata Piagam Jakarta ini pun akhirnya dihilangkan karena adanya penolakan dari tokoh Indonesia Timur. Meskipun penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta termasuk bagian dari sejarah yang agak gelap, namun tujuh kata tersebut memang telah menempatkan Islam dalam posisi yang lebih istimewa dibanding agama-agama lain. Hal ini bisa menjadi bumerang dalam menapaki kehidupan ke depan. Karena itu, demi menjaga integrasi bangsa, tokoh-tokoh Islam kala itu merelakan penghapusan tujuh kata tersebut. Dari sejarah itulah, muncul adagium untuk menggambarkan Negara Indonesia sebagai bukan negara sekuler dan bukan negara agama. Dikatakan bukan negara sekuler karena Ne-

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

83

gara Indonesia tidak menafikan peran agama dalam kehidupan berbangsa; dan tidak dikatakan negara agama karena Negara Indonesia tidak didasarkan pada keyakinan agama tertentu, yang lazim disebut sebagai negara teokrasi. Bagi kalangan yang tidak memahami pergumulan pembentukan Negara Indonesia pasti sulit memahami adagium tersebut. Dalam amar putusannya, MK berupaya meniti jalan tengah tersebut yang diawali dengan membangun argumen mengenai relasi agama dan negara. Titik tolak argumentasi MK adalah Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara harus diterima seluruh warga negara, baik secara individu maupun kolektif. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila memberikan landasan yang kuat bahwa Indonesia negara ber-Tuhan. Hal ini kemudian dituangkan dalam konstitusi, UUD 1945 Pasal (29): Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, sejak awal negara Indonesia adalah negara ber-Tuhan, bukan saja warganya, tapi negaranya pun harus ber-Tuhan. Karena itu, orang yang mengaku tidak ber-Tuhan tidak punya hak hidup di Indonesia. Domain keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah domain forum internum yang merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pandangan MK, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurunkan Undang-Undang yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan mengajarkan agama sebagai suatu mata pelajaran, sesuai dengan agama masing-masing. Mengajarkan agama berarti mengajarkan kebenaran keyakinan agama kepada peserta didik, yaitu siswa dan mahasiswa. Dengan demikian, pengajaran pendidikan agama di sekolah (negeri) bukan dilihat sebagai intervensi, sebaliknya sebagai fasilitasi Negara terhadap kebutuhan masyarakat untuk mempelajari ajaran agama. Namun, pada bagian berikutnya, ada kutipan yang agak aneh, karena MK mengutip dari Majalah Media Dakwah dan Suara Hidayatullah dua majalah yang lebih berhaluan Piagam Jakarta. Pada bagian itu disebutkan:

84 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Di Amerika mengajarkan agama di sekolah-sekolah negeri adalah inkonstitusional, hal ini karena adanya kebebasan beragama dan kebebasan untuk tidak beragama. Keyakinan beragama atau tidak beragama merupakan forum internum bagi setiap warga negara yang tidak boleh diintervensi oleh Negara 11

Kutipan tersebut, bukan saja menunjukkan cara pandang yang layak dipertanyakan, tapi juga mengandung simplifikasi yang berlebihan. Mengatakan bahwa di AS dilarang mengajarkan agama di sekolah-sekolah negeri karena adanya kebebasan beragama merupakan pernyataan yang serampangan. Kutipan tersebut bisa ditafsirkan, karena di Indonesia tidak ada kebebasan beragama dan tidak ada kebebasan untuk tidak ber-Tuhan, maka agama harus diajarkan di sekolah. Cara pandang demikian tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Argumen MK sebenarnya masih bisa diterima, sejauh hal tersebut sebagai bentuk pelayanan Negara, bukan pemaksaan atas sebuah keyakinan kepada anak didik. Inilah yang dimaksud MK sebagai perspektif ke-Indonesiaan mengenai posisi agama yang membedakan dengan demokrasi barat. Di Indonesia, agama bukan hanya dipeluk, tapi nilai-nilainya menjadi salah satu pembatas kebebasan asasi seseorang semata-mata untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain. Sampai di sini ada terdapat argumen yang tidak runtut dan melompat dari MK. Setelah menjelaskan bahwa nilai-nilai agama bisa digunakan untuk membatasi kebebasan seseorang, MK tidak memberi elaborasi apapun. MK justru menjelaskan hal yang sebaliknya, yaitu adanya semacam state favoritism. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan sebagai berikut:
dalam tingkat politik kenegaraan, Negara membentuk satu kementerian khusus yang membidangi urusan agama
11) Amar Putusan MK, h. 273

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

85

yaitu Kementerian Agama. Hari-hari besar keagamaan dihormati dalam praktik bernegara. Demikian pula hukum agama dalam hal ini syariat Islam yang terkait dengan nikah, talak, rujuk, waris, hibah, wasiat, wakaf, ekonomi syariah, dan lain-lain telah menjadi hukum negara khususnya yang berlaku bagi pemeluk agama Islam. 12

Kutipan tersebut bukan merupakan penjelasan adanya pembatasan kebebasan seseorang untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain. Tapi justru menjelaskan bagaimana negara mengakomodasi tradisi dan hukum agama (Islam) menjadi bagian dari hukum negara. Barangkali MK mengangkat hal ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara yang secara tegas memisahkan antara urusan agama dan urusan politik, dan inilah tipikal Indonesia yang berbeda dari negara-negara demokrasi barat. Secara tidak disadari, akomodasi seperti inilah yang sebenarnya dikehendaki Piagam Jakarta dimana umat Islam mempunyai hukum sendiri yang diberlakukan melalui negara. Melalui Amar Putusan ini secara tidak disadari sebenarnya MK sedang melegitimasi ideologi politik Piagam Jakarta. Sebagai realitas politik, akomodasi tradisi dan syariah Islam dalam politik Indonesia merupakan konsekuensi dari politik Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ditekankan MK. Sejauh mana akomodasi tradisi dan syariah Islam bisa diakomodasi dalam struktur kenegaraan Indonesia? Apakah hanya hukum keluarga, peradilan agama, zakat, wakaf, haji, dan hukum ekonomi (perbankan) Islam saja yang bisa diformalisasikan dalam hukum nasional yang hanya berlaku bagi umat Islam? Batas akomodasi inilah yang lepas dari perhatian MK. Apakah kalau ada orang memperjuangkan hukum pidana Islam menjadi hukum nasional yang diimplementasikan melalui peradilan agama dan hanya berlaku bagi umat Islam, masih bisa dianggap sebagai bentuk akomodasi untuk menegaskan politik Ketuhanan Yang Esa. Inilah problem krusial hubungan agama dan Negara
12) Lebih jauh lihat Amar Putusan MK, h. 275.

86 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

yang tidak tuntas diulas MK. MK mengulas persoalan posisi agama dalam negara justru hanya untuk menegaskan bahwa negara mempunyai kewenangan untuk mengintervensi beberapa segi kehidupan beragama, termasuk dengan mengkriminalisasi perbutan-perbuatan yang dikategorikan sebagai penodaan agama. Inilah yang dimaksud MK dalam kutipan berikut:
Pasal-pasal penodaan agama tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridis saja melainkan juga aspek filosofisnya yang menempatkan kebebasan beragama dalam perspektif ke-Indonesia-an, sehingga praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia. Terlebih lagi, aspek preventif dari suatu negara menjadi pertimbangan utama dalam suatu masyarakat yang heterogen.13

Legitimasi delik penodaan agama tersebut berdiri di atas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi poros dari seluruh sistem hukum di Indonesia. Dalam pandangan MK, prinsip hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama, serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme.

B. MAHKAMAH MENYERET INDONESIA MEMASUKI ERA KEMUNDURAN HAM


Mahkamah menggunakan cara pandang bahwa Pancasila, UUD 1945, serta praktik-praktik yang khas ala Indonesia sebagai framework dalam memeriksa reasoning para
13) Amar Putusan MK, h. 274.

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

87

Pemohon yang mencoba untuk mempromosikan hak asasi manusia terkait hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.14 Terhadap hukum HAM internasional, Mahkamah menegaskan segala penghormatan terhadapnya harus mendasarkan pada Pancasila dan Konstitusi 1945. Cara pandang MK terkait dengan domestifikasi nilai-nilai HAM internasional pada sebuah Negara. Pendapat ini dikatagorikan masuk pada fase denial -secara terbuka maupun secara halus- yang pada prinsipnya mempertanyakan atau menolak validitas norma HAM internasional dengan melawankanya pada karakter partikularistik dan prinsip kedaulatan sebuah negara. Fase ini menyeret Indonesia memasuki era kemunduran dalam praktek penegakan HAM setelah sekitar satu dekade mengintrodusir secara normatif nilai-nilai HAM ke dalam banyak peraturan perundang-undangan.15 Dalam pendapatnya, hakim-hakim MK di sisi lain mengakui adanya penormaan HAM dalam substansi peraturan perundang-undangan di Indonesia, tetapi di ujung satu-nya menekankan adanya justifikasi baik secara hukum maupun secara sosial untuk melakukan pembatasan atas HAM. Pembatasan secara umum berputar-putar pada masalah ketertiban umum, memenuhi serta menghormati hak asasi liyan, dan fungsi negara sebagai pelindung agama serta menjaga kerukunan antar umat beragama. Karena jika sampai terjadi penodaan/penyalahgunaan agama diasumsikan akan terjadi chaos dan disintegrasi antar umat beragama. Sejak awal Mahkamah menafsirkan bahwa judicial review adalah mempunyai ide dan tujuan untuk mencari bentuk dan tafsiran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Namun Mahkamah tidak memberikan penjelasan lebih lanjut dasar dan urgensi memberikan penilaian tersebut terhadap Pemohon. Tendensi yang dapat dibaca adalah
14) Sebenarnya, hal ini juga menjadi bentuk pengakuan MK terhadap nilai-nilai HAM karena konstitusi Indonesia juga telah menjadikan HAM menjadi hak dasar atau hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia, vide Bab XA UUD 1945 tentang HAM 15) The power of human rights, international norms and domestic change. Thomas Risse et all, 2005.

88 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

adanya pola-pola defensif dan resisten terhadap apa yang di awal disebut sebagai kegiatan atau praktik yang mengikis religiusitas masyarakat. Relasi dari fakta hukum tersebut adalah adanya pandangan MK yang mengidentikan antara hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan yang bersumber dari norma HAM universal sebagai sebuah potensi atau berkorelasi positif terhadap kegiatan atau praktik yang mengikis religiusitas masyarakat.

C. PERSPEKTIF HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN


1. Mahkamah Tidak Melihat Keterkaitan Penodaan Agama dengan Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan Salah satu argumen MK dalam merumuskan keputusan adalah UU Penodaan Agama tidak ada hubungan dengan kebebasan beragama, tapi hanya terkait dengan penodaan agama. Berikut sejumlah pernyataan yang menjadi pertimbangan Mahkamah, antara lain:
Menimbang bahwa menurut Mahkamah, UU Pencegahan Penodaan Agama tidak menentukan pembatasan kebebasan beragama, akan tetapi pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama serta pembatasan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran agama yang dianut di Indonesia.16

Pada bagian lain, amar putusan MK juga menyatakan:


Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat UU Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan dan sama sekali tidak bertentangan dengan perlindungan HAM sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. Dalam kaitan ini,
16) Amar Putusan MK, h. 287.

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

89

Mahkamah sependapat dengan Ahli Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadi yang menyatakan; pertama, UU Pencegahan Penodaan Agama bukan Undang-Undang tentang kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia melainkan Undang-Undang tentang larangan penodaan terhadap agama. Kedua, UU Pencegahan Penodaan Agama lebih memberi wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya tindakan anarkis apabila ada penganut suatu agama yang merasa agamanya dinodai. Dengan adanya UU Pencegahan Penodaan Agama, jika masalah seperti itu timbul maka dapat diselesaikan melalui hukum yang sudah ada (UU Pencegahan Penodaan Agama). Di samping itu, substansi Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan beragama, melainkan untuk memberikan rambu-rambu tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Penodaan agama atau penghinaan terhadap agama (blasphemy atau defamation of religion) juga merupakan bentuk kejahatan yang dilarang oleh banyak negara di dunia. Secara substantif Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak dapat serta merta diartikan sebagai bentuk dari pengekangan forum externum terhadap forum internum seseorang atas kebebasan beragama.17

Hal tersebut ditegaskan ulang pada bagian berikutnya:


Bahwa permohonan pemohon telah keliru memahami pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama sebagai sebuah pembatasan atas kebebasan beragama. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama adalah bagian tidak terpisahkan dari maksud perlindungan terhadap hak beragama warga masyarakat Indonesia sebagaimana yang terkandung dalam inti UU Pencegahan Penodaan Agama yakni untuk mencegah penyalahgunaan dan penodaan agama demi kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 UU Pencegahan Pe17) Amar Putusan MK, h. 294.

90 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

nodaan Agama sejalan dengan amanat UUD 1945 yakni untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik (the best life possible) dan karenanya dalil-dalil Pemohon harus dikesampingkan. 18

Dari kutipan tersebut, Mahkamah mengamini pendapat ahli, K.H. Hasyim Muzadi, dan yakin betul bahwa UU Penodaan Agama tidak ada hubungan dengan kebebasan beragama. Alih-alih membatasi kebebasan beragama, UU Penodaan Agama justru untuk melindungi kebebasan beragama. Secara teoritik-konseptual maupun dari segi praktek dalam pengadilan, delik penodaan agama tidak dapat dilepaskan dari kebebasan beragama. Dalam hal ini terdapat kontradiksi dalam logika berpikir Mahkamah. Karena di satu sisi, Mahkamah menolak mengkaitkan UU Penodaan Agama dengan kebebasan beragama, namun di sisi lain Mahkamah mengajukan argumen bahwa kebebasan beragama tidaklah mutlak, dan UU ini merupakan bentuk pembatasan terhadap kebebasan beragama. Demikian juga dalam berbagai bagian, Mahkamah senantiasa menyebut berbagai teori kebebasan beragama. 2. Mahkamah Memberi Jalan Intervensi Negara terhadap Agama Dalam teori kebebasan beragama/berkeyakinan dikenal dua istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan wilayah yang bisa diintervensi dan wilayah yang tidak bisa diintervensi. Yaitu forum internum yang bersifat mutlak dan tidak bisa diintervensi apalagi dikriminalisasi; dan forum eksternum yang bisa diatur dan dibatasi dan diatur karena terkait dengan ekspresi dari keyakinan keagamaan. Maka, masalahnya bukan perseteruan kelompok pendukung kebebasan tanpa batas versus kelompok pendukung pembatasan, tapi lebih pada apa yang dibatasi dan bagaimana cara membatasi. Sayangnya, hal demikian tidak bisa dipahami,
18) Amar Putusan MK, h. 295.

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

91

tidak hanya di kalangan masyarakat umum, tapi juga di kalangan pengambil kebijakan keagamaan, akademisi termasuk Mahkamah. Di sini MK mengambil pemikiran bahwa dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, negara diperbolehkan untuk melakukan berbagai hal, termasuk mengintervensi keyakinan keagamaan warganya jika dianggap keyakinannya tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, pada tingkat tertentu, putusan MK ini memberi jalan legal bagi negara untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan umat beragama. Untuk bidang apa yang bisa diintervensi, MK absen memberi guidance. Meski dalam putusan disebut-sebut kategori forum internum dan forum externum, namun hal tersebut nyaris tidak menjadi rujukan argumen. Karena itu, bisa ditafsirkan, putusan ini memberi jalan intervensi negara terhadap agama, bukan saja terkait dengan forum externum, tapi bisa juga forum internum. Pasal 28J UUD 1945, menjadi kunci yang membatasi hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama. Yaitu melalui pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Pembatasan tersebut tidak hanya terkait dengan ekspresi keberagamaan (forum externum), tapi juga forum internum. Hal ini terlihat dalam pertimbangan terhadap penafsiran sebagai berikut:
Menimbang bahwa menurut Mahkamah, penafsiran terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Tafsir dapat memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir dapat mengarah kepada kebenaran maupun berpotensi kepada terjadinya kesalahan. Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, namun penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau

92 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

absolut. Tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi yang umum diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum. Dalam hal demikianlah menurut Mahkamah pembatasan dapat dilakukan

Dengan pertimbangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa forum internum menurut Mahakamah tidak bersifat mutlak, dan dapat dikenakan pembatasan-pembatasan. 3. Mahkamah Konstitusi tidak mampu membedakan penodaan agama (defamation of religion) dan penyebaran kebencian (hatred speech) Di bagian lain dan merupakan bagian yang sangat penting untuk dicermati, adalah UU No.1/PNPS/1965 bukan undang-undang tentang kebebasan beragama sebagai HAM melainkan UU tentang larangan penodaan terhadap agama dan memberikan wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya tindakan anarkis apabila ada penganut suatu agama yang merasa agamanya dinodai. Dari pendapat inilah bermula adanya penegasian terhadap upaya-upaya yang lebih luas untuk memaknai norma dan penilaian-dampak (impact assessment) terhadap UU Penodaan Agama. Keterangan-keterangan ahli yang disampaikan, menyimpulkan adanya relasi yang cukup kuat antara perbedaan interpretasi/penafsiran agama yang sering dipandang sebagai penodaan agama dengan problem kebebasan beragama/berkeyakinan terutama terkait dengan masalah tafsir terhadap suatu ajaran agama.19 Dalam pandangan-pandangannya, Mahkamah selalu mencampuradukkan konsep penistaan agama (blasphemy), penghinaan terhadap agama (defamation of religion), dan penyataan kebencian (hatred speech). Mahkamah bahkan ber19) Vide keterangan saksi ahli Azyumardi Azra, CRCS UGM, Ulil Abshar Abdalla, Frans Magnis Suseno, Luthfhi Asyaukanie, dsb...

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

93

pendapat bahwa UU ini untuk mencegah pernyataan kebencian (hatred speech), padahal tak ada satupun pasal dalam UU ini yang mempidanakan hatred speech. Kegagalan Mahkamah dalam membedakan secara jelas antara blasphemy dan defamation of religion -bahkan tidak menganggap berbeda- membuat kesimpulan mahkamah menjadi fatal. UU Penodaan Agama mengkriminalisasi penafsiran dan praktek yang menyimpang dari agama baku, adalah UU blasphemy. Namun, Mahkamah mengatakan bahwa UU ini untuk mencegah penghinaan terhadap agama, secara saling bergantian. 4. Mahkamah Tidak Memperhatikan Fakta-Fakta Diskriminatif Pemberlakuan UU Penodaan Agama Salah satu sumber permasalahan pemenuhan hak kebebasan beragama di Indonesia, adalah penjelasan pasal 1 UU Pencegahan/Penodaan Agama yang memberikan penjelasan tentang agama yang dianut di Indonesia, sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan agama yang dianut di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia. Maka selain mendapat jaminan dari Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, keenam agama tersebut mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh Pasal ini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zaratustrian, Shinto, dan Thaoism tidak dilarang di Indonesia. Agama-agama tersebut mendapat jaminan penuh oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dan agama-agama tersebut dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.

94 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa ada semacam pengutamaan (preference) terhadap keenam agama tersebut dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Sebaliknya, agama-agama selain keenam agama, mendapat pengecualian (exclusion), pembedaan (distinction), serta pembatasan (restriction) dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Pengutamaan, pengecualian, pembedaan dan pembatasan semacam ini merupakan suatu bentuk diskriminasi yang berbasiskan agama. Diskriminasi ini tidak hanya terhadap agama-agama lain sebagaimana disinggung dalam penjelasan UU Penodaan Agama, akan tetapi juga terhadap agama-agama lain yang tidak disebutkan dalam penjelasannya. Dalam persidangan muncul kesaksian korban bernama Sardi, seorang penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME yang kehilangan hak untuk menjadi anggota ABRI. Hal ini ditegaskan pula oleh Engkus Rusmana, dari Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan (BKOK) yang menyampaikan Surat dari Departemen Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah No.477/ 707/MD tentang Perkawinan yang tidak dicatat oleh Kantor Catatan Sipil yang menyatakan sebagai berikut :

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

95

Engkus membuktikan bahwa UU Penodaan Agama sampai tahun 2006 dijadikan dasar oleh negara untuk melanggar hak-hak dasar penghayat Kepercayaan khususnya pencatatan perkawinan. Sedangkan Aa Sudirman dari Himpunan Penghayat Kepercayaan menyatakan bahwa pada dasarnya Pasal 1, 2 dan 3 UU Penodaan Agama secara langsung ditujukan kepada penghayat, tidak berlaku untuk seluruh penganut agama-agama di Indonesia. Terhadap argumen dan fakta persidangan pemberlakuan UU Penodaan Agama telah menyebabkan diskriminasi, dibantah oleh Mahkamah dengan argumen sebagai berikut:
Menurut Mahkamah makna kata dibiarkan yang terdapat di dalam Penjelasan Pasal 1 paragraf 3 UU Pencegahan Penodaan Agama harus diartikan sebagai tidak dihalangi dan bahkan diberi hak untuk tumbuh dan berkembang, dan bukan dibiarkan dalam arti diabaikan. Oleh sebab itu, semua agama baik yang disebut dalam Penjelasan Pasal 1 paragraf 1 maupun Pasal 1 paragraf 3 UU Pencegahan Penodaan Agama sama-sama dibiarkan untuk tumbuh, berkembang, diperlakukan sama, dan tidak dihambat. Akan halnya isi Penjelasan Pasal 1 paragraf 3 UU Pencegahan Penodaan Agama bahwa pemerintah harus berusaha menyalurkan badan dan aliran kebatinan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Mahkamah adalah benar. Sebab, ketentuan tersebut bukan dimaksudkan untuk melarang aliran kebatinan, tetapi mengarahkan agar berjalan sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal tersebut bisa dipahami dalam konteks bahwa pada masa lalu (sekitar tahun 1960-an) terdapat aliran-aliran yang biadab, misalnya aliran yang meminta korban-korban manusia pada waktu dan upacara tertentu. Dengan demikian, tidak ada diskriminasi dalam penyebutan nama-nama agama di dalam UU Pencegahan Penodaan Agama;

Terhadap pendapat tersebut, nampak bahwa Mahkamah mengabaikan fakta politik yang melatarbelakangi

96 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

lahirnya UU Penodaan agama, yaitu kebutuhan Soekarno untuk menyatukan kekuasaan Nasakom sebagai front nasional untuk menghadapi imperialisme. Adanya pasal penjelasan bahwa UU tersebut lahir karena ancaman muncul aliran kepercayaan yang menjamur, dan dianggap ancaman bagi agama mapan, sama sekali diabaikan oleh Mahkamah. Hal ini membuat mahkamah gagal melihat aspek diskriminatif dari UU ini. Demikian halnya Mahkamah hanya mensandarkan kepada teks UU Penodaan Agama, tanpa menggali hubungan pemberlakuan undang-undang ini dengan sejumlah regulasi yang menjadikan term agama diakui dan agama tidak diakui yang menjadi landasan penyelenggaraan negara. Sehingga Mahkamah tidak mampu menilai fakta-fakta pelanggaran hak sipil dan politik terhadap agama/keyakinan di luar enam agama. Pernyataan pemerintah harus berusaha menyalurkan badan dan aliran kebatinan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Mahkamah adalah benar. Sebab, ketentuan tersebut bukan dimaksudkan untuk melarang aliran kebatinan, tetapi mengarahkan agar berjalan sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan pembenaran Mahkamah terhadap proses pemaksaan untuk menganut agama-agama mayoritas, yang melanggar wilayah forum internum penganut kebatinan/penghayat. Pernyataan Hal tersebut bisa dipahami dalam konteks bahwa pada masa lalu (sekitar tahun 1960-an) terdapat aliran-aliran yang biadab, misalnya aliran yang meminta korban-korban manusia pada waktu dan upacara tertentu, tidak terdapat dalam fakta-fakta hukum di persidangan, dan peryataan ini menunjukkan prejudice Mahkamah terhadap Penghayat Ketuhanan YME. Terhadap praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan, Mahkamah memandang adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan perten-

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

97

tangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Jikalau demikian, seharusnya Mahkamah dapat melakukan langkah progresif untuk menghapuskannya, karena praktik diskriminasi terjadi di seluruh wilayah Indonesia, sistematis dan terstruktur. 5. Mahkamah Mengikuti Paham Politik Keagamaan Media Dakwah dan Suara Hidayatullah MK menyatakan UU Penodaan Agama, meski dibuat dalam situasi darurat pada 1965, masih dianggap relevan, tidak bertentangan dengan UUD 1945 terutama yang terkait dengan HAM dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Alih-alih mencabut, MK berkeyakinan, jika UU Penodaan Agama dicabut maka akan muncul anarkhi dan kekacauan sosial karena akan terjadi kekosongan hukum. MK berpendapat bahwa untuk kepentingan perlindungan umum (general protection) dan antisipasi terjadinya konflik di tengah-tengah masyarakat baik horizontal maupun vertikal, maka adanya UU Penodaan Agama menjadi sangat penting. Dasar pertimbangan tidak semata terkait dengan konstitusi, tapi juga ada pertimbangan sosiologis-politis. Pertimbangan sosiologis antara lain tampak dalam argumen MK yang menyatakan bahwa jika UU ini dicabut maka akan terjadi kekacauan, keresahan, perpecahan, dan permusuhan masyarakat karena adanya kekosongan hukum (h. 287). Alihalih melanggar konstitusi, UU Penodaan Agama justru dilihat sebagai upaya untuk melindungi dan menjaga ketentraman kehidupan beragama. Pertimbangan politis disini terkait dengan relasi agama dan negara. MK mengutip Majalah Media Dakwah No. 258/Desember 1995 untuk menjelaskan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang mewajibkan sekolah umum memberi pelajaran agama kepada anak didiknya; serta mengutip Majalah Suara Hidayatullah No. 02/IX/Juni 1996 untuk menjelaskan larangan pemerintah Amerika Serikat melarang

98 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

mengajarkan agama di sekolah-sekolah negeri. Kutipan dari dua majalah tersebut, agak aneh karena haluan Islam Garis Keras yang dianut kedua majalah tersebut. Apakah dengan demikian, Mahkamah mengikuti paham politik-keagamaan Media Dakwah dan Suara Hidayatullah?

D. PERSPEKTIF HAK KEBEBASAN BEREKSPRESI


Hak kebebasan beragama/berkeyakinan yang meliputi forum internum dan eksternum. Forum eksternum meliputi antara lain kebebasan menyebarkan ajaran, berkumpul dan membuat publikasi yang relevan. Deklarasi Penghapusan Intoleransi dan Diskriminasi Agama merumuskan forum eksternum meliputi antara lain: (1) Membuat, memperoleh dan menyebarkan tulisan terkait bahan-bahan; (2) menulis, menerbitkan dan menyebarluaskan informasi; dan (3) menetapkan dan memelihara komunikasi dengan individu dan komunitas terkait dengan keagamaan di tingkat nasional maupun internasional. Menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum untuk membuat penafsiran adalah bagian dari kebebasan beragama yang dijamin deklarasi anti deskriminasi dan intoleransi agama, yakni: untuk menulis, menerbitkan dan menyebarkan terbitan yang relevan dan untuk mengajarkan agama atau menyajikan di tempat yang sesuai dengan tujuannya. Penyebaran yang tidak patut (polisetysm) dilarang jika penyebaran agama/keyakinan menganjurkan kekerasan, dengan paksaan, atau bermotif ekonomi. Keterangan saksi terkait masalah kebebasan berekspresi diberikan oleh Arswendo Atmowiloto. Mantan Pimred Monitor tersebut dipenjara setelah memuat poling tentang Nabi Muhammad. Arswendo menulis 50 tokoh yang dikagumi pembaca Monitor, yang berdasarkan jajak pendapat Nabi Muhammad berada diurutan ke-11. Tulisan berdampak pada penyerangan kantor monitor dan akhirnya ditutup. Arswendo sendiri diadili berdasarkan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, dan dipidana selama 5 tahun penjara. Arswen-

An alis is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

99

do sendiri tidak menyangka laporan tersebut akan menyinggung umat Islam. Terlebih laporan serupa pernah dimuat di majalah Tempo. Laporan yang dimuat di Tempo merupakan hasil riset dari seorang doktor dengan responden para mahasiswanya, dengan hasilnya kurang lebih sama. Arwesndo sendiri mengaku tidak memiliki semangat atau intense penodaan. Dia hanya memuat angket apa adanya, dan tidak tahu bahwa angketnya itu akan menyinggung perasaan orang Islam. Sebagian besar ahli yang dihadirkan berbicara tentang pelaksanaan beragama, sangat sedikit yang berbicara mengenai mengekspresikan agama. Pandangan mengenai ekspresi keagamaan muncul dari amicus brief yang dibuat lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kebebasan agama dan kebebasan berekspresi. Namun demikian, amicus brief tersebut tidak muncul dalam kutipan, yang artinya tidak dijadikan pertimbangan. Amicus brief lebih berfungsi memberi input pemahaman hakim atas suatu masalah. 1. Mahkamah Tidak Mempertimbangkan Amicus Curie Kebebasan Berekpresi Amicus Brief dari Bucket Fund for Religious Liberty menjelaskan latar sejarah UU penodaan agama di Indonesia yang merupakan bagian dari gagasan Nasakom (co-eksistensi damai antara ideoogi nasionalisme, agama dan komunisme) untuk membangun kekuatan politik melawan imperialism. Sementara, latar belakang sosiologis UU tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan adalah munculnya aliaran-aliran dan organisasi-organisasi kebatinan atau kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran agama. Aliran tersebut dinilai melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama dan dinilai sangat membahayakan agama yang ada, membahayakan persatuan nasional. Dalam amicus tersebut juga dijelaskan instrumeninsturumen HAM internasional dan nasional yang menjamin kemerdekaan beragama, mulai dari DUHAM, ASEAN CHAR-

100 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

TER, ICCPR, UUD 1945 dan UU HAM. Menurut amicus tersebut, UU penodaan agama melanggar kewajiban Indonesia terhadap hukum internasional dan kewajiban yang disepakati Indonesia dalam perjanjian-perjanjian internasional. UU Penodaan agama dinilai melanggar kebebasan berekspresi karena mengancam pidana terhadap penafsiran yang menyimpang dari pokok agama. Pendekatan yang digunakan adalah melindungi prinsip dasar agama resmi daripada melindungi individu. Perlindungan agama tidak memiliki landasan hukum. Instrumen HAM internasional hanya melindungi hak individu. Baik DUHAM atau ICCPR mengakui secara jelas bahwa hak asasi manusia melindungi indvidu, bukan agama, gagasan atau ideologi. Pembatasan kebebasan berekspresi adalah untuk menghormati hak individu lain, bukan untuk menghormati dogma, ajaran, atau agama. Amicus menegaskan bahwa UU penodaan agama melanggar kebebasan berekspresi secara damai, jika penganut tersebut dipandang membahayakan agama yang ada (establish). Pengawasan oleh aparat, dan tindakan didasarkan pada prasangka-prasangka aparat berdasarkan agamaagama mayoritas.

Sumber :http://politikana.com

Ana l is is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

101

Adanya kriminalisasi terhadap penganut agama/ keyakinan atau aliran yang penegakan norma agama dilakukan oleh pengadilan, bertentangan dengan praktek-praktek yang lazim di negara-negara non-teokratis. Sebab, bukan negara yang memiliki tanggung jawab menegakkan ajaran, tapi institusi agama tersebut. Jika pengadilan sudah menegakkan agama, maka yang terjadi adalah tafsir pemerintah/ aparat hukum terhadap agama yang benar dan yang salah. Sedangkan Ammicus Curae yang disampaikan Article XIX terkait kebebasan berekspresi menyatakan bahwa bahwa UU Penodaan Agama bertentangan dengan hak kebebasan berekspresi. Prinsip ICCPR menegaskan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi tidak boleh didasari untuk melindungi kehormatan agama atau melindungi agama dari pencemaran. Yang dapat dijadikan alasan pembatasan kebebasan berekspresi adalah sebagaimana diatur pasal 19 ICCPR yaitu: untuk menghormati hak dan reputasi orang lain, untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, atau untuk melindungi kesehatan masyarakat dan moral masyarakat. Komite HAM PBB sendiri tak pernah mengakui bahwa penghinaan terhadap agama (defamation of religion) dapat dijadikan alasan untuk membatasi kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi justru sangat penting bagi masyarakat, maka pembatasannya harus dilakukan secara legitimate. Pelapor khusus PBB bidang kebebasan berekspresi menyatakan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi dilakukan untuk melindungi individu dari pelanggaran terhadap haknya dan bukan untuk melindungi sistem kepercayaan dari kritik internal maupun eksternal. Pembatasan berdasarkan pasal 19 (3) ICCPR mensyaratkan adanya necessity dan hanya dilakukan secara appropriate untuk tujuan yang legitimate, khusus untuk menjamin kelangsungan dan perlindungan efektif terhadap hak-hak yang dilindungi oleh ICCPR. Pembatasan tersebut tak boleh dilakukan untuk menekan ekspresi pendapat yang kritis, pendapat kontroversial atau pernyataan yang secara

102 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

politik salah oleh penguasa/otoritas. Yuriprudensi dari negara-negara Asia juga menguatkan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi tak boleh dilakukan untuk mencegah kritik terhadap agama atau kepercayaan. Sedangkan tanggung jawab negara untuk mencegah pernyataan penebar kebencian antar agama tidak diatur dalam UU Penodaan Agama. Hukum HAM intenasional menegaskan bahwa negara harus mencegah penyebaran kebencian yang mendorong diskriminasi, permusuhan dan kekerasan. Hal tersebut nyata ditegaskan dalam pasal 20 ICCPR. Kendati pembatasan terhadap kebebasan berekspresi bertujuan untuk menghukum hate speech diperlukan pidana, namun harus dilakukan secara terbatas pada propaganda kebencian kebangsaan, rasial dan agama yang mengandung permusuhan, diskriminasi dan kekerasan dan seruan perang. Pembatasan tak berlaku untuk ekspresi yang mencemarkan, menghina atau mengkritik agama, keyakinan atau lembaga-lembaga serupa. MK tidak mempertimbangkan pendapat-pendapat yang disampaikan para amicus, sehingga pandangan-pandangan tersebut tidak muncul dalam putusan dan tak tercermin dalam analisa-analisa Mahkamah. Mahkamah hanya menilai bahwa UU Penodaan Agama tidak bertentangan dengan pasal 28E UUD 1945. Mahkamah tidak mengeksplorasi pasal 28F -dan sayangnya pasal tersebut tidak dijadikan pasal penguji oleh pemohon dan para saksi- walau disampaikan oleh para amicus. Mahkamah hanya berpatokan pada pasal 28J tentang pembatasan hak asasi manusia, namun tidak mengeksplorasi limitasi-limitasi yang diberikan dalam instrumen hukum international, yurisprudensi internasional, dan pendapat-pendapat ahli hukum internasional, yang sebenarnya telah menjadi sumber hukum. 2. Mahkamah Tidak Memperhatikan Perkembangan Hukum Internasional Karena tidak mempertimbangkan pendapat para amicus, maka dalam menganalisa UU Penodaan, Mahkamah

Ana l is is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

103

tidak memperhatikan perkembangan hukum internasional negara lain terkait blasphemy, defamation of religion, dan hatred speech. Akibatnya, analisa-analisa Mahkamah menjadi sangat terpaku dengan kondisi sosiologi di Indonesia saat ini. Dalam menimbang perkara ini, Mahkamah sangat terpaku pada konstitusi tertulis, yakni UUD 1945, sehingga mengabaikan konstitusi tidak tertulis dan konstitusi tertulis diluar UUD 1945, seperti hukum HAM, prinsip rule of law, bill of rights, dan lain-lain. Hal ini berakibat putusan Mahkamah hanya menguji UU semata-mata terhadap UUD 1945, yang sangat sempit dan hanya berorientasi pada sinkronisasi vertikal. Dengan demikian, mahkamah gagal melihat penyimpangan UU ini dari konstitusi

E. PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HAK MINORITAS


1. Mahkamah Tidak Mampu Melihat Kerentanan Kelompok Minoritas Secara teks, UU Penodaan Agama sama sekali tidak menyinggung relasi mayoritas-minoritas, namun lebih ke substansi norma yang diatur yaitu mengenai Penodaan/Penyalahgunaan Agama. Hal ini juga menjadi konsekuensi logis dari miskinnya peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara spesifik mengatur mengenai umat minoritas sehingga pendasaran judicial review yang secara spesifik menyangkut kepentingan umat minoritas juga mengalami kesulitan. Dalam perdebatan selama persidangan sedikit argumentasi yang dibangun berdasarkan norma-norma perlindungan terhadap umat minoritas. Yang mengemuka adalah masalah persamaan hak di depan hukum, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama/berkeyakinan, perlindungan terhadap kepentingan umum (general protection), perlindungan terhadap kerukunan umat beragama, dan legitimasi dalam limitasi hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan berdasarkan agama. Padahal, dengan membawa isu umat

104 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

minoritas secara spesifik dalam persidangan sebagai bentuk tafsir ekstensif terhadap permasalahan UU Penodaan Agama merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai target yang lebih tinggi dari adanya hukum, yaitu keadilan. Kelompok minoritas dalam konteks UU Penodaan Agama secara sederhana dapat diartikan penganut agama/ keyakinan yang berada di luar mainstream mayoritas baik secara hukum maupun sosial-antropologis. Dan pada eksistensi mereka melekat kerentanan terhadap setiap gangguan yang datang dari luar kelompok mereka menyangkut penikmatan HAM. Berdasarkan bukti-bukti persidangan, umat minoritas tidak hanya terkait dengan umat Islam melainkan sangat relatif dan tersebar ke berbagai agama lain dan termasuk juga mereka yang menganut suatu Kepercayaan/Keyakinan. Waktu telah menunjukan betapa umat minoritas di Indonesia sering mendapat gangguan, ancaman, pengusiran, dan pembungkaman baik oleh umat lainnya maupun oleh negara. Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat dan mengakui bahwa
terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaan sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU a quo terhadap UUD 1945.

Pembacaan MK terhadap eksistensi umat minoritas, dalam hal ini umat penganut kepercayaan, sungguh sangat memprihatinkan dalam konteks perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak terbebasnya dari diskriminasi berdasarkan agama/kepercayaan, dan yang terpenting adalah hak atas akses keadilan. Umat minoritas yang rentan diperlakukan sama di depan hukum tanpa adanya upaya untuk melakukan affirmative action dalam

Ana l is is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

105

rangka mencapai kesetaraan dan keadilan. Hal ini merupakan bentuk ketidak-sensitifan MK dalam memandang realitas pluralitas yang ada di Indonesia termasuk bukti-bukti sejarah yang diskriminatif sebagaimana terungkap dalam persidangan.20 Selain itu, terhadap praktik-praktik diskriminasi terhadap umat minoritas yang terjadi di masa lampau MK berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh kesalahan pada aspek penerapan secara administratif UU Penodaan Agama oleh instansi negara terkait dan bukan persoalan compatibility UU Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Pertanyaan mendasar dari logika MK terkait pemisahan antara invaliditas UU Penodaan Agama dalam praktek secara administratif dan justifikasi normatifnya terhadap UUD 1945 adalah bagaimana MK dapat menguji suatu undang-undang tanpa melihat bagimana potensi maupun manifestasi dari pelaksanaan undang-undang bersangkutan sebagai pedoman untuk mengukur dan menilai validitas normanya terha-dap konstitusi. MK sendiri beberapa kali pernah melakukan terobosan hukum dengan mempertimbangan aspek praktikal suatu undangundang untuk menguji derajat kompatibilitasnya dengan konstitusi serta perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara, namun hal itu rupanya menjadi perkecualian untuk pengujian terhadap UU Penoda-an Agama.21 2. Mahkamah Tidak Memberikan Affirmative Action Pada Kelompok Minoritas Norma-norma HAM internasional menyangkut kewajiban perlindungan terhadap umat minoritas seharusnya memberikan sensitifitas bagi segenap hakim MK dalam proses pengujian karena peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak jelas mengaturnya sehingga kepentingan yang lebih luas terkait eksistensi agama dan umatnya, baik untuk umat mayoritas dan terumata umat minoritas, dapat secara
20) Kasus penyerangan dan pembantaian penganut kepercayaan tahun 1954 di Bandung dan Penyerangan Kampus Mubarok Jemaat Ahmadiyah di Parung Bogor. 21) Kasus penggunaan KTP untuk ikut Pemilu dan Pemutaran bukti rekaman KPK dalam kasus Bibit-Chandra.

106 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

maksimal terlindungi secara adil.22 Selain sebagaimana hakhak atas kebebasan beragama/berkeyakinan yang secara umum telah diberikan oleh hukum kepada setiap orang, maka secara khusus umat minoritas harus mendapat jaminan untuk melakukan peribadatan atau ritual sesuai dengan agama/kepercayaan mereka, berpartisipasi pada setiap kegiatan keagamaan/kepercayaan, dan mendirikan dan menjadi asosiasi agama/kepercayaan mereka. Di sisi lain, Negara, termasuk MK, harus mengambil tindakan-tindakan tertentu guna menjamin umat minoritas dapat melaksanakan secara penuh dan efektif hak atas kebebasan beragama/berkepercayaan mereka tanpa adanya diskriminasi dengan alasan apapun. Menciptakan kondisi yang dapat membangun kemampuan umat minoritas dalam melaksanakan agama atau kepercayaannya, termasuk dalam bidang pendidikan dan kekuatan ekonominya, juga menjadi tanggung jawab negara sejalan dengan ketentuan hukum internasional dan hukum atau kepentingan nasional secara keseluruhan.23 Dalam pertimbangan hukumnya MK sering menegaskan akan diperbolehkannya secara hukum untuk memberikan batasan dalam pemenuhan hak asasi manusia pada umumnya dan hak atas kebebasan beragama/berkepercayaan pada khususnya dalam sistem hukum nasional dengan persyaratan untuk menjaga hak dan reputasi orang lain, melindungi moral masyarakat, selaras dengan hukum nasional, melindungi keamanan nasional, demi kesehatan publik, dan untuk menjaga ketertiban umum.24 Yang sering lupa untuk dicatat mengikuti pendapat tersebut adalah adanya persyaratan situasi emergency yang riil serta terukur untuk dapat diperbolehkannya dilakukan pembatasan terhadap hak atas
22) Vide: Pasal Pasal 27 jo. Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Demikian juga referensi dan kerangka normatif dalam Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minoritie 1992 seyogyanya dapat dijadikan rujukan dalam melakukan penafsiran oleh MK. 23) Vide: Declaration on the rights of persons belonging to national or ethnic, religious and linguistic minorities, GA Resolution 47/135, 18 December 1992. 24) Pendapat ini mengutip ketentuan dalam Pasal 19 (3) Kovenan Internasional HakHak Sipil dan Politik jo. Pasal 28 J (2) UUD 1945.

Ana l is is Put us an Mahkam ah Kons t it us i

107

kebebasan beragama/berkepercayaan sebagai non-derogable rights. Pembatasan tidak valid apabila dilakukan dengan cara-cara yang diskriminatif apalagi hanya bersumber dari nilai-nilai atau tradisi-tradisi yang monolitik bersumber hanya dari kelompok atau umat mayoritas tertentu saja dengan mengurangi, menghalangi atau melemahkan penikmatan HAM umat minoritas lainnya.25

25) General Comments No.22 tentang Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

BAGIAN KEEMPAT

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


A. KESIMPULAN
Dari proses eksaminasi, akhirnya majelis menarik kesimpulan bahwa MK tidak menjalankan mandatnya dengan baik sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah gagal menempuh jalan tengah dalam pengambilan keputusannya. Hal ini bisa berakibat pada kegagalan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi khususnya dalam memenuhi Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Hak Kebebasan Berekspresi dan Hak Kelompok Minoritas Hal tersebut disebabkan MK dalam putusannya tidak menguji konstitusionalitas UU Penodaan Agama terhadap UUD Tahun 1945, tetapi lebih pada pertimbangan sosio politis mayoritas, perspektif hakim yang konservatif dan tidak memperhitungkan kenyataan sosiologis dan antropologis yang beragam di Indonesia.

B. REKOMENDASI
1. Rekomendasi Kepada DPR RI dan Pemerintah Menyusun sebuah UU yang menjamin perlindungan kebebasan warganegara untuk beragama dan menjankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya merupakan turunan dari pasal 29 UUD 1945. UU tersebut harus merujuk pada standar hukum intenasional yaitu Pasal 18 UU Sipol, General

110 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Comment dan deklarasi Intoleransi UU tersebut mencakup jaminan menjalankan ibadah dan tempat ibadah, jaminan terhadap kelompok minoritas, pembatasan KBB yang legitimate, dan tindak pidana penyebaran kebencian (hatred speech) yang menimbulkan diskriminasi, permusuhan dan kekerasan berdasarkan agama. UU ini menjadi penganti dari UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. 2. Rekomendasi Kepada Aparat Penegak Hukum (APH) a. Aparat Penegak Hukum agar selektif dalam menerapkan pasal-pasal dalam UU No.1/PNPS/1965 dalam menangani kasus-kasus terkait ajaran berbeda/menyimpang dari agama pokok, dan perbedaan penafsiran. b. APH mengambil tindakan hukum terhadap pelakupelaku yang melakuan pernyataan kebencian, permusuhan yang menyebabkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok agama. 3. Rekomendasi Untuk Masyarakat Sipil a. Mengedepankan dialog dalam menyikapi perbedaan penafsiran dan ajaran berbeda/menyimpang b. Merevisi UU No.1/PNPS/1965 secara rasional, mengedepankan dialog dan mengedepankan perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas c. Mendorong seluruh komponen masyarakat sipil untuk mengedepankan penegakan hukum yang berorientasi pada perlindungan kelompok minoritas. 4. Rekomendasi Untuk Media Massa Media massa mengedepankan jurnalisme damai (peace jounalism), menggunakan perspektif HAM yaitu berpihak pada kepentingan kelompok minoritas, cover both side, dan menggunakan istilah-istilah yang tidak memberikan stigma/ prejudice terhadap ajaran-ajaran yang berbeda/menyimpang dari pokok agama-agama.

BAGIAN KELIMA

PENUTUP
Demikianlah putusan eksaminasi yang dilakukan Majelis Eksaminasi terhadap berkas-berkas perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Eksaminasi hanya membaca dan mencermati berkas-berkas dan tidak menguji atau mencari bukti-bukti baru untuk menyanggah atau membenarkan. Metode yang digunakan dalam kajian adalah metode interdisipliner. Majelis Eksaminasi melakukan pengujian dari persfektif Hak Asasi Manusia, khususnya hak kebebasan beragama/berkeyakinan, hak kebebasan berekpresi dan hak minoritas. Majelis Eksaminasi menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menilai fakta-fakta dan menafsirkan hak kebebasan beragama/berkeyakinan, khususnya dalam pengujian UU Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Hasil eksaminasi ini belum sempurna, sehingga diperlukan saran dan kritik untuk lebih menyempurnakan dan melengkapinya. Demikian pula masih dibutuhkan pembentukan majelis eksaminasi lainnya untuk menguji putusan dari perspektif yang berbeda. Majelis Eksaminasi menyakini pengujian putusan akan memperkaya khasanah pemikiran hak asasi manusia dan akan mendorong pemenuhan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Hasil Eksaminasi dari Majelis Eksaminasi ini diputus pada tanggal 15 Oktober 2010 di Jakarta.

112 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Jakarta, 15 Oktober 2010 Majelis Eksaminasi

Prof. Dr. Soelistyowati Irianto Dr. Rumadi, MA Muktiono, SH, M.Phil Margiyono, SH

DAFTAR PUSTAKA
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Hasil pemantauan sidang uji materiil UU Penodaan Agama, Jakarta, dokumen tidak dipublikasikan, 2010 Amar Putusan Hakim MK No. 140/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010 Article XIX, Freedom of Expression and Offense, 2010 Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, BP Undip, Semarang, 2007 Becket Found for Religious Liberty Issues Brief, Defamation of Religion, July 2008 Budhi Munawar Rachaman, Membela Kebebasan Beragama, Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme (Buku 2), LSAF dan Paramadina, Jakarta 2010 Fulthoni et all, Buku Saku untuk Kebebasan Beragama; Jaminan Hukum dan HAM atas Kebebasan Beragama, ILRC HIVOS, Jakarta, 2009 Hikmat Budiman, Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas dalam Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia, The Interseksi Foundation Yayasan Tifa, Jakarta,2007 Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, Pembatasan-Pembatasan Yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, Kanisius, Jakarta, 2010 Margiyono Anotasi Putusan UU No. 1/PNPS/1965 Tetang Pencegahan Penodaan Agama Dilihat dari

114 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Hak Atas Kebebasan Berekspresi, ILRC, Jakarta, 2010 Muktiono Prospek Umat Minoritas dalam Kerapuhan Hukum dan Tafsir Konstitusi, ILRC, Jakarta, 2010 Musdah Mulia, Hak Kebebasan Beragama, dalam Islam dan HAM, Konsep dan Implementasi, Naufan Pustaka, Jakarta, 2010 Notulensi Religious Freedom Advocacy Training, International Religious Freedom Consortium, Jakarta,Sabtu 17 April 2010, tidak dipublikasikan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UG, Antara Penodaan dan Kerukunan Makalah Posisi Mengenai UU 1/PNPS/1965 Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta,tanpa tahun. Religious Freedom 2006-2008: Data media dan analisis tentang Kebebasan Beragama Nurcholish Madjid Society, Pengajian Nurcholish Madjid 29 January 2009 Rumadi, Antara Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Kembali Putusan Mahkamah Konstitusi, ILRC, Jakarta, 2010 Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, makalah Sulistyowati Irianto, Mengapa Ditolak Seruan Membawa Bangsa Indonesia yang Berkeadilan Hukum dan Berkeadilan Sosial?, ILRC, Jakarta, 2010 Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, Karnisius, Jakarta, 2010; Uli Parulian Sihombing dkk, Menggugat Bakor Pakem: Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan, ILRC, Jakarta, 2008 Wikrama I Abidin, Hak Konstitusi Pers, Buletin Etika, 4 September 2008,

Kes im p ulan d an R ekom end as i

115

Zainal Abidin Bagir, Dimanakah Jalan Tengah?: Beberapa Catatan atas Putusan MK mengenai UU Penodaan Agama, HIVOS, Jakarta, 16 Juni 2010. Website http://www.brentonpriestley.com http://id.wikipedia.org http://majalah.tempointeraktif.com http://www.antaranews.com/ http://www.tempointeraktif.com/ http://www.solopos.com http://news.okezone.com http://politik.kompasiana.com http://www.facebook.com http://anbti.org http://www.mahkamahkonstitusi.go.id http://www.mahfudmd.com http://www.hukumonline.com http://www.guardian.co.uk http://www.dewanpers.org Instrumen Hukum GBHN 1993 General Comments No. 22 tentang Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Konvensi ILO No.169 tentang Konvensi Penduduk Asli dan Masyarakat Adat Peraturan MK Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Kosntitusi Resolusi Majelis Umum 47/135 pada 18 Desember 1992 UUD 1945 UU No.1/PNPS/1965 UU No.12/2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi UU No.39/1999 tentang HAM.

Lampiran 1 ANOTASI PUTUSAN UU NO. 1/PNPS/1965 TENTANG PENCEGAHAN PENODAAN AGAMA DILIHAT DARI HAK ATAS KEBEBASAN BEREKSPRESI Oleh : Margiyono
PENDAHULUAN
Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi yang diterima secara universal. Menurut David Smith dan Luc Torres, kebebasan berekspresi diakui di dokumen-dokumen hak asasi manusia sejak permulaan.1 Pada 339 SM, Socrates sudah memperkenalkan ide kebebasan berbicara dalam peradilan yang menolak untuk diam. Lalu, pada dokumen Magna Charta tahun 1215 di Inggris, hak atas kebebasan secara resmi diakui, meskipun tak secara eksplisit menyebutkan kebebasan berekspresi. Pada 1516 Erasmus memperkenalkan prinsip di negara bebas, lidah harus pula bebas sebagai ajaran prinsip kebebasan. Pada 1644, John Milton menerbitkan pamflet berjudul Aeropagitia yang menjadi basis argumentasi awal paham kebebasan pers. Pamflet tersebut terkenal dengan retorikanya yang terkenal mereka yang membakar buku berarti juga membakar akal sehat. Pada 1689, setelah raja James II di Inggris ditumbangkan, negara itu mengesahkan Bill of Rights yang menjamin kebebasan berbicara di parlemen. Pada 1770, Voltaire menulis Monsieur l'abb yang terkenal dengan retorika saya menentang keras apa yang Anda tulis, tapi saya akan petaruhkan
1) David Smith dan Luc Torres, Timeline: A History of Free Speech, Guardian, 5 Februari 2006, http://www.guardian.co.uk/media/2006/feb/05/religion.news.

118 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

nyawa saja untuk menjamin hak Anda untuk terus menulis.2 Kebebasan berbicara secara lebih eksplisit dijamin dalam Deklarasi Hak Manusia yang disahkan menyusul Revolusi Perancis pada 1789. Pada 1791, Amerika Serikat melakukan amandemen pertama konstitusinya. Amandemen Pertama menjamin empat kebebasan: kebebasan beragama, berbicara, pers, dan berkumpul.3 Tahun 1859, John Stuart Mill menerbitkan On Liberty yang menjadi basis teori mengenai toleransi dan individualitas. Esai tersebut terkenal dengan argumen bahwa If any opinion is compelled to silence, that opinion may, for aught we can certainly know, be true. To deny this is to assume our own infallibility. Pada 1929, Oliver Wendell Holmes, hakim agung Amerika Serikat menyatakan bahwa prinsip kebebasan berbicara adalah bukan hanya kebebasan berpikir bagi orang-orang yang setuju dengan kita, tapi juga bagi orang-orang yang kita benci.4 Pada 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disahkan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pertama sebagai prinsip bagi negara anggotanya. Pasal 19 DUHAM menjamin kebebasan berekspresi dan pasal 18 menjamin kebebasan beragama.5 Pada 19 Desember 1966, Sidang Umum PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik yang merupakan penjabaran DUHAM dan merupakam bagian dari Bill of Rights internasional. Kemerdekaan beragama dan berkeyakinan dijamin pada pasal 18 Kovenan ini, yang berbunyi:
1. Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in publik or private, to manifest his religion or belief in

2) Ibid. 3) Ibid. 4) Ibid. 5) Ibid.

Penut up i

119

worship, observance, practice and teaching. 2. No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice. 3. Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect publik safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others. 4. The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.

Sedang pasal 19 menjamin kebebasan berekspresi, yang berbunyi:


Article 19 1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference. 2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. 3. The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of publik order (ordre publik), or of publik health or morals.

Sedang pasal 20 secara melarang propaganda perang dan kebencian, yang berbunyi:
1. Any propaganda for war shall be prohibited by law. 2. Any advocacy of national, racial or religious hatred that

120 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

constitutes incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law.

HAK ATAS KEBEBASAN BEREKSPRESI DI INDONESIA


Ide pengakuan hak asasi manusia muncul diidentifikasi muncul pertama kali dalam kumpulan surat-surat RA Kartini yang diterbitkan menjadi buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, tulisan-tulisan HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Deuwes Dekker, Soerjadi Soerjoningrat, petisi Soetardjo di Volksraad, dan pledoi Indonesia Menggugat yang ditulis Soekarno pada sidang pengadilan serta pleidoi Muhammad Hatta yang berjudul Indonesia Merdeka.6 Namun, untuk memasukkan ide-ide mengenai hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia tidaklah berjalan mulus. Pada saat pembentukan UUD 1945, dalam Sidang Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) terjadi perdebatan antara kelompok yang menginginkan adanya jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi dan yang menentang. Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin adalah tokoh yang mendukung agar konstitusi RI menyebutan Bill of Rights. Alasannya, hak warga negara harus dijamin karena negara cenderung untuk melanggar hak warga. Liem Koen Hian, pemimpin redaksi Sin Po mengusulkan, seperti Amandemen Pertama konstitusi AS, agar UUD 1945 memuat pasal yang menjamin kemerdekaan pers. Perlindungan terhadap kemerdekaan pers harus dicantumkan di dalam konstitusi, karena droek pers diperlukan untuk menyinari kebobrokan masyarakat dan penguasa, demikian alasan Liem di hadapan Sidang BPUPKI tanggal 14 Juli1945.7 Sementara, Soekarno dan Soepomo menentang pencantuman Bill of Rights dalam konstitusi. Soekarno beralasan bahwa hak asasi manusia adalah konsep imperialis. Se6) Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Hukum Hak Asasi Manusia, XXX 7) Wikrama I Abidin, Hak Konstitusi Pers, Buletin Etika, 4 September 2008, <http://www.dewanpers.org/dpers.php?x=opini&y=det&z=7134cdf99466952a11f8c7 dd8720ff06>

Penut up i

121

dangkan Soepomo beralasan bahwa negara Indonesia yang dicita-citakan adalah negara integralistik, dimana tidak ada pemisahan penguasa dan rakyat.8 Dalam UUD RIS, hak asasi manusia dijamin sebagai hak warganegara. UUDS 50 juga secara eksplisit mengakui hak asasi manusia. Perdebatan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi kembali muncul, bahkan lebih seru, saat sidang-sidang Konstituante dalam membuat UUD baru antara 1957-1959. Adnan Buyung Nasution dalam disertasinya menjelaskan bahwa Konstituante menerima HAM sebagai natural rights dan menganggapnya sebagai roh UUD baru. Perdebatan sengit terjadi dalam hal melihat hak asasi manusia dari perspektif agama atau budaya. Namun demikian, Konstituante telah berhasil merumuskan 24 butir hak asasi manusia dalam rancangan konstitusi baru. Pada awal pemerintahan Orde Baru, MPRS sempat membuat rancangan TAP MPR mengenai hak asasi manusia, namun urung menjadi ketetapan. Pada 1993, presiden Soeharto mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi warga. Setelah reformasi 1998, wacana perlindungan hak asasi manusia semakin menguat. Sidang Umum MPR tahun 1998 mengesahkan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. TAP MPR tersebut pada intinya merupakan piagam hak asasi manusia Indonesia, yang menjamin hak dasar. Hak terkait dengan agama diakui pada Bab Hak atas Kemerdekaan, pasal 13 yang menyatakan setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.9 Sedang kebebasan berpendapat dijamin di pasal berikutnya, yang menyatakan setiap orang bebas menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani dan pasal 19 yang berbunyi Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.10 Bahkan hak atas informasi dijamin dalam bab
8) Pusham UII, op.cit. 9) TAP MPR No. XVII/1998, pasal 13. 10) Ibid.

122 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

khusus, yaitu bab VI tentang Kebebasan Informasi. Pasal 20 menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dan pasal 21 menjamin hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan semua saluran yang tersedia.11 Setelah K.H. Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden, MPR mengamandemen UUD 1945 kedua kali pada Sidang Tahunan 2000 dengan memasukkan pasal-pasal mengenai hak asasi manusia dalam pasal 28 A sampai J. Pasal 28E menjamin kebebasan memeluk dan beribadat menurut agamanya, meyakini kepercayaan dan menyatakan keyakinan dan sikap sesuai hati nuraninya serta bebas berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Sedang pasal 28 F menjamin setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.12 Pada era reformasi Indonesia juga meratifikasi sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi manusia, antara lain Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik melalui Undang-undang No. 12 tahun 2005.

KETEGANGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN AGAMA


Ketegangan antara kebebasan berekspresi dan agama pertama muncul sejak pengadilan Socrates tahun 399 SM. Socrates diadili karena penentang supranatural dan menemukan tuhannya sendiri selain yang menjadi keyakinan negara, dituduh sebagai penyebar paradigma atheisme dan ajaran ilmiah. Socrates pun dijatuhi hukuman mati. Tahun 1633, Galileo Galilei diadili setelah menyatakan pandangan bahwa bumi yang mengelilingi matahari, bukan matahari yang mengelilingi bumi. Dengan demikian, pusat
11) Ibid. 12) UUD 1945, Amandemen II.

Penut up i

123

tata surya bukan bumi, melainkan matahari. Pandangan Galileo itu dianggap bertentangan dengan kitab suci. Galileo diadili, dijatuhi penjara seumur hidup. Namun Galileo tak benar-benar dipenjara, melainkan menjalani tahanan rumah sampai meninggal. Pada 1859, Charles Darwin diadili setelah mengumumkan penemuannya mengenai teori evolusi dalam buku On the Origin of Species yang terbit 1851. Teori tersebut mengatakan bahwa manusia merupakan hasil evaluasi dari kera dengan dituduh melecehkan keyakinan kristiani. Ketegangan antara agama dan kebebasan berekspresi tidak berhenti sampai kasus Darwin, namun terus berlanjut sampai sekarang. Pada tahun 1925, di Tennesse, AS, seorang guru diadili dalam peradilan yang terkenal dengan istilah Monkey Trial karena mengajarkan teori Darwin di sekolah. Ia didakwa menghina keyakinan kristiani yang percaya bahwa asal-usul manusia bukan dari kera. Tahun 1989, novelis Salman Rusdie dijatuhi fatwa hukuman mati oleh pemimpin Iran Ayatullah Khomeini karena dituduh melakukan penistaan terhadap agama Islam, setelah menerbitkan novel Ayat-Ayat Setan. Fatwa tersebut baru dicabut tahun 1998. Di Indonesia, kasus penistaan agama yang pertama muncul dalam kasus pengadilan koran Dharmo Kondo yang terbit di Surakarta, Jawa Tengah. Pemimpin redaksi koran tersebut dipenjara karena memuat tulisan humor yang menyebutkan kanjeng Nabi Muhammad ngunjuk ciu (Nabi Muhammad minum ciu). Ciu adalah minuman keras khas Surakarta yang sangat populer. Tulisan tersebut menimbulkan kemarahan warga muslim di Surakarta, yang berbuntut pada tindakan hukum bagi pimpinan redaksi Dharmo Kondo. Pemimpin redaksi majalah Sastra, HB Jassin, harus masuk penjara karena memuat cerpen berjudul Langit Makin Mendung karya Ki Pandjikusmin, nama samaran dalam terbitan edisi No. 8/Agustus 1968. Cerpen tersebut dianggap menista agama Islam karena menggambarkan Nabi Muhammad dan Malaikan Jibril nangkring di pucuk Tugu Monas dan berdialog:

124 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan? Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka, Jakarta namanya. Ibu kota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas buta huruf. Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodom dan Gomorah? Hampir sama. Kalau begitu, kafirlah bangsa di bawah ini! Sama sekali tidak, 90% dari rakyatnya orangnya Islam juga. 90% (sambil wajah Nabi berseri), 90 juta ummatku! Muslimin dan muslimat tercinta. Tapi tak kulihat masjid yang cukup besar. Di mana mereka bersembahyang Jumat? Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abu Bakar di sorga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!

HB Jassin tak mau menyebut identitas asli penulis, sehingga dia yang bertanggungjawab secara hukum. Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksi Tabloid Monitor harus mendekam di .penjara karena tuduhan menista agama Islam. Dalam salah satu edisinya, Monitor memuat daftar tokoh-tokoh idola para pembacanya. Menurut pembaca Monitor, Soeharto adalah tokoh yang paling mereka kagumi sedangkan Nabi Muhammad berada pada urutan ketiga. Tulisan tersebut menimbulkan kemarahan umat muslim di Indonesia. Unjuk rasa merebak di berbagai kota. Akhirnya, Monitor ditutup dan Asrwendo dijebloskan ke penjara selama lima tahun. Pasal penodaan agama juga dikenakan terhadap Teguh Santosa, redaktur eksekutif Rakyat Merdeka Online. Teguh memuat ulang kartun yang dianggap melecehkan Nabi Muhammad yang dimuat pertama kali media Denmark, Jyllands-Posten. Kartun tersebut memicu protes kalangan muslim seantero dunia. Teguh Santosa memuat ulang kartun yang dilengkapi kritik dan penutup pada mata orang yang digambarkan sebagai Nabi Muhammad tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak dakwaan jaksa. Menurut ha-

Penut up i

125

kim, dakwaan terhadap Teguh Santosa tidak cermat. Sampai saat ini, kasus itu tidak berlanjut. Sampul majalah Tempo edisi 50/XXXVI/04-10 Februari 2008 dengan gambar Soeharto dan keluarganya dengan pakaian dan pose mirip lukisan Perjamuan Terakhir Yesus sempat diprotes oleh pemuda Katolik, karena dianggap menista Yesus. Alasannya, menyamakan Soeharto dengan Yesus. 13

PENISTAAN AGAMA
Penistaan agama atau blasphemy berasal dari Bahasa Yunani yaitu blasphemein, yang merupaka paduan dari kata blaptein ("o merusak) dan pheme (reputasi). Blasphemy memiliki arti penghinaan agama. Dalam arti luas, blasphemy dapat diartikan sebagai penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang tak boleh diserang (tabu). Bentuk blasphemy umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agama-agama yang mapan. Di beberapa negara tindakan tersebut dapat dilarang oleh hukum. 14 Blasphemy dilarang keras oleh tiga agaa Ibrahim (Yahudi, Kristen dan Islam). Dalam agama Yahudi, blasphemy adalah menghina nama Tuhan atau mengucapkan hal-hal yang mengandung kebencian terhadap Tuhan. Dalam Kristen, alam Kitab Perjanjian baru dikatakan menista roh kudus adalah dosa yang tak diampuni dan pengingkaran terhadap Trinitas juga digolongkan sebagai blasphemy. Dalam Kitab perjanjian lama, pelaku blasphemy diancam hukuman mati, dengan cara dilempari batu.15 Dalam Islam, blasphemy adalah menghina Tuhan, Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang diakui dalam Al Quran serta menghina Al Quran itu sendiri. Budha dan Hindu tak mengenal adanya blasphemy, paling
13) Pada tahun 2007, di Amerika juga ada iklan bir Miler berupa foto beberapa pria maco, sebagian telanjang, dengan pose dan posisi mirip lukisan Perjamuan Terakhir. Jaringan Katolik konservatif di Amerika memboikot bir tersebut secara nasional, tapi iklan tersebut tak pernah menjadi perkara hukum. 14) New World Ensiclopedia. 15) Catholic Encyclopedia.

126 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

tidak secara resmi. 16 Blasphemy menjadi hukum negara sejak munculnya theokrasi, dimana terejadi penyatuan antara kekuasaan agama dengan kekuasaan politik. Negara-negara Eropa pada Abad Ke-17 menetapkan pelaku penistaan agama sebagai tindak kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman berat.17 Begitu juga di belahan-belahan bumi lain, dimana terjadi penyatuan antara agama dan politik, baik itu negara Kristen, Yahudi maupun Islam. Tujuan memidanakan penistaan agama adalah untuk membatasi kebebasan berbicara tidak melanggar norma sosial mengenai kesopanan dan hak orang lain. Di Eropa Abad Ke-17, karena Kristen merupakan jantung hukum Inggris, maka hukum dibuat berdasarkan nilainiai Kristen. Setiap perkataan yang bertentangan dengan nilai dan ajaran Kristen dianggap sebagai tindak pidana. Tentu saja, hukum mencerminkan nilai dan pandangan agama dominan saat itu, dan mengabaikan pandangan keyakinan minoritas.18 Memasuki abad ke-20, penistaan agama pelanpelan dihapus dari hukum pidana di beberapa negara Eropa. Di Inggris, akar hukum penistaan agama muncul 1938, hanya berlaku untuk penistaan terhadap Gereja Anglikan, tidak berlaku untuk penghinaan agama Yahudi, Islam, bahkan Kristen non-Anglikan. Tujuan pemidanaan ini adalah untuk mempertahankan supremasi gereja Anglikan. Kasus penistaan agama terakhir terjadi pada abad-19. Mulai abad-20, praktek pemidanaan penistaan agama sudah hilang, kendatipun pasal pidananya tak pernah dihapus. Penistaan agama menjadi masalah hukum perdata, namun sangat jarang. Sepajang abad-20, hanya ada 4 kasus perdata terhadap perbuatan penistaan agama. Kasus terakhir terjadi tahun 1979 antara Whitehouse v Lemon. Kasus itu bermula dari penerbitan puisi di majalah Gay News, yang menggambarkan Yesus Kristus
16) Ibid. 17) Carly Carlberg, Freedom of Expression in Modern Age: An Obscure Blasphemy Statute and Its Effect on Bussiness Naming, Rutger Journal of Law and Religion, Volume II, Fall 2009, Part I. 18) Ibid.

Penut up i

127

sebagai homoseksual. Penerbit majaah tersebut didenda 500 pound dan hukuman percobaan 9 bulan. Majalahnya didenda 1000 pound dan harus membayar pengganti penjara 10.000 pound. Kasus Salman Rusdhie yang digugat di Inggris tidak berujung pada penghukuman. 19 Seperti Inggris, di Australia yang merupakan bekas jajahan Inggris, hukum penistaan agama juga hanya berlaku terhadap tindakan penghinaan gereka Anglikan, walau tak seperti Inggris, Australia tak memiliki agama resmi. Kendati banya undang-undang, baik federal, negara bagian, maupun hukum kebiasaan yang memidanakan penistaan agama, hal ini jarang terjadi di Australia. Pemidanaan agama terakhir di negeri Kanguru itu terjadi tahun 1971, dalam kasus R v. Wiliam Lorando Jones. Jones didakwa menista gereja Anglikan di negara bagian New South Wales karena berbicara di depan umum bahwa Perjanjian Lama itu immoral dan tak cocok bagi perempuan. Jones dihukum denda 100 pound dan penjara 2 tahun. Setelah kasus itu, tahun 1871, parlemen New South Wales mengusulkan UU Opini Mengenai Agama, yang intinya menghentikan pemidanaan terhadap penistaan agama. Ibukota Australia lalu mengadopsi UU tersebut pada 1996, menghapuskan pemidanaan penistaan agama melalui Reformasi Hukum.20 Pemidanaan penistaan agama di jerman diatur dalam bab 11 KUHP Jerman. Penistaan agama didefinisikan sebagai barang siapa yang menyebarkan tulisanyang menghina ajaran agam lain atau ajaran mengenai pandangan hidup dengan cara yang dapat menyebabkan gangguan terhadap ketertiban umum, diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda. Pada Februari 2006, aktvis politik Jeran Manfred van H, dijatuhi hukuman satu tahun percobaan dan hukuman kerja sosial selama 300 jam karena menyebarkan tisu toilet yang dicetak ayat-ayat Al Qur;an dan dibagi-bagi-

19) Brinton Priestly, Blasphemy and Law: A Comparative Study (2006), http://www. brentonpriestley.com/writing/blasphemy.htm. 20) Ibid.

128 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

kan ke masjid dan media-media. 21 Walau banyak pendiri Amerika adalah orang-orang yang melarikan diri dari hukuman penistaan agama di negara asalnya di Eropa, namun Amerika Serikat memiliki hukuman pidana yang keras terhadap penistaan agama. Di beberapa negara bagian AS, penistaan agama dapat dihukum mati. Namun demikian, sejak disakan Amandemen Pertama konstitusi AS, pemidanaan terhadap penistaan dilarang karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi. 22 Pakistan adalah negara di dunia yang paling keras mengancam penistaan agama. Menurut KUHP Pakistan, barangsiapa dengan kata-kata, baik lisan maupun tertulis, atau dengan gambaran, atau dengan tuduhan, gaung, atau insinuasi, baik langsung maupun tak langsung, yang mencemarkan nama suci Nabi Muhammad, diancam hukuman mati, atau penjara seumur hidup, dan juga diancam denda. 23 Tahun 2000, seorang guru bernama Muhammad Younas Seikh, menjelaskan di kelas bahwa sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu Al Quran belum masuk Islam, dijerat dengan penistaan agama dan dihukum mati. Dalam 10 tahun terakhir, 12 orang dieksekusi mati dengan tuduhan penistaan agama, 560 orang didakwa menista agama di pengadilan, dan 30 orang masih menungguh vonis. 24

BATASAN KEBEBASAN BEREKSPRESI


Sejak 1999, masalah penistaan agama menjadi perhatian PBB. Beberapa kali Sidang Umum PBB menerbitkan resolusi tidak mengikat yang mengecam penghinaan terhadap agama (defamation against religion). Resolusi tersebut disponsori oleh Pakistan atas nama OKI dan Mesir atas nama Afrika, dalam Durban Conference, sebagai upaya untuk menghentikan polarisasi, diskriminasi, ekstrimisme dan
21) Ibid. 22) Ibid. 23) Ibid. 24) Ibid.

Penut up i

129

misintepretasi terhadap Islam karena Islam sering dikaitkan dengan teriorisme dan pelanggaran HAM, khususnya setelah peristiwa 11 September yang menguatkan sentimen Islamophobia. Namun demikian, dalam Konferensi Durban review II di Jenewa, resolusi-resolusi mengenai defamation of religions dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia, karena terlalu sempit pada perlindungan Islam (awal mula draftnya berjudul defamation of Islam), konsep tersebut melindungi agama (yang esensinya adalah idiologi) bukannya melindungi hak individu, terlalu mempertentangkan pada dan agama, mempreteli hak atas kebebasan berekspresi, ditulis dengan bahasa yang terlalu umum dan tidak jelas, termasuk dalam penggunaan istilah penghinaan (defamation).25 Berdasarkan evalusi yang disampaikan oleh beberapa pelapor khusus PBB, penerapan konsep defamation of religion di beberapa negara, seperti Pakistan, Iran dan Mesir, justru menimbulkan masalah hak asasi manusia, seperti pembungkaman kebebasan berekspresi, xenophobia dan ketegangan antar umat beragama. Sehingga, konsep defamation of religion kembali dipertanyakan.2627 Sebagi solusi, muncullah upaya-upaya untuk membuat instrument hak asasi manusia internasional untuk, untuk menyeimbangkan antara hak atas kebebasan berekspresi namun tetap menjamin perdamaian, terutama antara umat beragama. Komisi mengembangkans sebuah inisiatif dengan mengeluarkan sebuah resolusi untuk mengatasi ketegangan antara kebebasan berekspresi dan perdamaian antara umat beragama dan ras. Bagaimana pembatasan kebebasan berekspresi tetap berdasarkan DUHAM dan ICCPR. Article XIX, sebuah lembaga non-profit yang berpusat di London mengembangkan prinsip-prinsip yang menjamin
25) Becket Found for Religious liberty Issues Brief, Defamation of Religion, July 2008 (Condensed version). 26) Ibid. 27) Akhirnya, resolusi Dewan HAM PBB mengenai defamation of religion dicabut pada sidang Dewan HAM 2009.

130 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

kebebasan berekspresi dan perdamaian, terutama antara agama dan ras. Prinsip tersebut disebut Cendem Principles. Kebebasan berekspresi sendiri dapat dibatasi, sesuai pasal 20 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, yaitu:
(1) Any propaganda for war shall be prohibited by law. (2) Any advocacy of national, racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by la

Selain itu, pasal 19 ICCPR mengatakan bahwa kebebasan berekspresi dapat dibatasi to protect, amongst others, the rights of others, publik order, and national security if it is "necessary in a democratic society" to do so and it is done by law. Namun tidaklah mudah membuat rumusan praktis pembatasan kebebasan berekspresi berdasarkan ICCPR dan instrument HAM internasional lain. Dewan HAM Eropa menetapkan syarat-syarat pembatasan kebebasan berekspresi harus lolos tiga tes yang ketat: 1. pembatasan dibuat untuk tujuan yang benar-benar legitimate; 2. Pembatasan harus dilakukan dalam kerangka demokratis (jadi harus oleh parlemen atau lembaga yang diberi kekuasaan oleh parlemen) 3. Pembatasan tersenut harus benar-benar merupakan nesesitas (necessity) bagi masyarakat demokratis, jadi kata nesesitas tidak hanya sekedar berguna (useful) dan beralasan (reasonable).28 Menurut Dewan HAM Eropa, ada kebutuhan untuk membuat hukum anti penistaan agama di Eropa. Namun penilaian Dewan HAM Eropa tersebut dikritik oleh Article XIX, dengan alasan tidak ada nesesitas bagi hukum penistaan agama, dengan pertimbangan: 1. Tak ada nesesitas untuk hukum penistaan agama,
28) Article XIX, Freedom of Expression and Offense, presentasi oleh Sarac Richani.

Penut up i

131

karena public good akan lebih baik disampaikan melalui perdebatan dari berbagai sisi, sekalipun dengan istilah yang keras dan ofensif masih lebih bagus; 2. Tak ada bukti nyata bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama akan berjalan lebih baik dengan adanya hukum anti penistaan agama. Harus ditegaskan bahwa kebebasan beragam bukan berarti untuk menghormati agama tapi adalah menghormati hak setiap orang untuk beragam dan beribadah menurut keyakinannya. 3. Kebebasan berekspresi bukan hanya untuk ide dan informasi yang harmonis tapi juga untuk ide yang mengagetkan, keras, dan juga mengganggu. 4. Penerapan hukum penistaan di berbagai tempat di dunia adalah justru untuk membatasi kemerdekaan orang untuk beragama, dan umumnya korbannya adalah penganut agama-agama minoritas.29 Namun demikian, penebar kebencian (hate speech) adalah yang legitimate untuk membatasi kebebasan berekspresi. Perlindungan hak asasi manusia harus didasarkan prinsip persamaan martabat dan kesetaraan setiap orang, tanpa membedakan suku, ras, jenis kelamin, kebangsaan dan agama. Pernyataan kebencian merupakan ancaman terhadap martabat manusia dan menciptakan kondisi yang tidak memungkinkan adanya kesetaraan antara manusia. Untuk itu, pelarangan pernyataan kebencian merupakan nesesitas untuk menghindari permusuhan, deskriminasi dan kekerasan antara ras, suku, bangsa, agama dan jenis kelamin. 30 Pembatasan pernyataan kebencian, harus dibuat berdasar pasal 19 CCPR, yaitu: 1. Dilakukan melalui undang-undang 2. Tujuan yang dicapai legitimate; 3. Hal itu dibutuhkan bagi adanya masyarakat demokratis.

29 30

Ibid. Ibid.

132 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Secara teknis, pembatasan harus dilakukan secara: 1. Didefinisikan secara jelas dan terbatas; 2. Pembatasan dilakukan oleh lembaga independen yang bebas dari kepentingan politik, bisnis atau kekuasaan lain, misalnya oleh pengadilan; 3. Orang tak boleh dihukum sebagai melakukan menebar kebencian seama pernyataanya benar; 4. Orang yang menyebarkan pernyataan kebencian harus dipidana, kecuali hal itu dilakukan untuk mencegah diskriminasi, permusuhan atau kekerasan; 5. Hak jurnalis untuk menentukan cara mengkomunikasikan informasi atau ide harus tetap dihormati, khususnya dalam meliput rasisme dan perbuatan intoleran; 6. Saringan sensor tak boleh dilakuan untuk mencegah pernyataan kebencian; 7. Pelaksanaan harus menghindari dampak chilling effect (ketakutan meluas) sehingga orang tidak merasa bebas berekspresi 8. Sanksi untuk pernyataan pener kebencian harus wajar dan proporsional, untuk hukuman penjara tetap merupakan jalan terakhir; 9. Rumusan pembatasan harus jelas untuk melindungi hak individu untuk berkeyakinan dan berpendapat dari ancaman permusuhan, deskriminasi dan kekerasan, bukannya untuk melindungi sistem keyakinan, agama, atau lembaga dari kritik.

PUTUSAN MK TERKAIT KEBEBASAN BEREKSPRESI


Para pemohon berpendapat pasal 1 UU No. 1/ PNPS/1965 yang berbunyi:
setiap orang dilarang degan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatankegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran an kegiatan mana menyimpang dari pokok ajaran dari agama itu.

Penut up i

133

Ada dua hal yang dilarang dalam pasal terebut: menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran yang menyimpang dari pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia; menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok ajaran agama. Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan pasal 18 DUHAM mengenai kebebasa berpendapat, hati nurani dan beragama. Hal itu juga bertentangan dengan pasal 18 ICCPR yang menyatakan: Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat, keyakinan sesuai hati nurani, dan beragama. Tak seorangpun bisa dipaksa yang berakibat hilangnya kebebasan diatas; Pasal tersebut juga bertentangan dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 4 yaitu antara lain kebebasan pikiran dan hati nurani dan kebebasan beragama. Menurut penggugat, bahwa kebebasan beragama tak dapat dipisahkan dengan kebebasan berpikiran dan bersikap sesuai hati nurani. Terkait kebebasan tersebut, reporter PBB menyatakan bahwa kebebasan beragama juga meliputi forum eksternum dan internum. Forum eksternum meliputi antara lain kebebasan menyebarkan ajaran, berkumpul dan membuat publikasi yang relevan. Deklarasi Pengahapusan Intoleransi dan Diskriminasi Agama menyatakan forum eksternum meliputi antara lain: 1. membuat, memperoleh dan menyebarkan tulisan terkait bahan-bahan; 2. Menulis, menerbitkan dan menyebarluaskan informasi; 3. Menetapkan dan memelihara komunikasi dengan individu dan komunitas terkait dengan keagamaan di tingkat nasional maupun internasional Menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum untuk membuat penafsiran dalah bagian dari

134 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

kebebasan beragama yang dijamin deklarasi anti diskriminasi dan intoleransi agama, yakni: untuk menulis, menerbitkan dan menyebarkan terbitan yang relevan dan untuk mengajarkan agama atau keyakinan di tempat yang sesuai dengan tujuannya. Penyebaran atau polisetysm merupakan kebebasan yang dilindungi. Polisetysm hanya dilarang kalau menganjurkan kekerasan, dengan paksaan, atau bermotif ekonomi. Para pemohon menilai bahwa pembatasan dengan UU PNPS tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan rule of law. Pembatasan yang legitimate adalah: 1. Berdasar pasal 28 J UUD 1945: dalam menjalankan hak dan kewajibannya setiap orang wajib tunduk kepada pebatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan kekertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; 2. permbatasan berdasarkan ICCPR: kebebasan beragama hanya dapat dibatasi dengan UU, dan jika diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral mayarakat, atau hak-hak kebebasan dasar orang lain; 3. Berdasarkan komentar No. 22 Komentar ICCPR, pembatasan dapat dilakukan dengan: Melindungi hak-hak yang dijamin kovenan, termasuk hak atas kesetaraan dan nondiskriminasi Pembatasan harus dijamin hukum dan tak boleh diterapkan dengan melanggar hak; Harus diartikan secara tegas; Hanya untuk tujuan yang sudah diatur; Tidak boleh untuk tujuan yang diskriminatif Konsep moral yang dijadikan landasan pembatasan harus berasal dari banyak tradisi, filosofi, dan agama. 4. Pembatasan berdasarkan pasal 20 ICCPR: Propaganda perang dilarang

Penut up i

135

Advokasi permusuhan antar bangsa, ras dan agama yang menghasilkan diskriminasi, permusuhan dan kekerasan dilarang oleh hukum; Keterangan ahli dalam sidang, terkait masalah kebebasan berekspresi antara lain adalah Arswendo Atmowiloto, mantan pimred Monitor yang dipenjara setelah memuat poling tentang Nabi Muhammad. Arswendo menulis 50 tokoh yang dikagumi pembaca Monitor, dimana berdasarkan jejak pendapat nabi Muhammad pada urutan ke-11. Tulisan tersebut berdampak pada penyerangan terhadap kantornya, dan akhirnya dia diadili berdasar pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Arswendo sendiri tidak menyangka laporan tersebut akan menyinggung umat Islam, apalagi dia pernah membaca ada laporan serupa di majalah Tempo. Laporan yang dimuat di Tempo merupakan hasil riset doktor yang mana poling diisi mahasiswanya. Hasilnya kurang lebih sama dengan jejak pendapat Monitor. Arswendo sendiri mengaku tidak memiliki semangat atau intens penodaan. Dia hanya memuat angket apa adanya, dan tidak tahu bahwa angketnya itu akan menyinggung perasaan orang Islam. Saksi MM Billah, mantan anggota Komnas HAM menjelaskan instrumen-instrumen HAM terkait kebebasan beragama. Secara khusus, Billah menjelaskan hak-hak derogable dan non-derogable. Menurutnya, forum internum adalah non-derogable rights sedang forum eksternum adalah derogable rights. Sebagian besar saksi yang dihadirkan dalam sidang berbicara tentang pelaksanaan beragama, sangat sedikit yang berbicara mengenai mengekspresikan agama. Pandangan mengenai ekspresi keagamaan muncul dari beberapa amicus brief yang dibuat lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kebebasan agama dan kebebasan berekspresi. Namun demikian, amicus brief tersebut tidak muncul dalam kutipan, yang artinya tidak dijadikan pertimbangan. Amicus brief lebih berfungsi memberi input pemahaman hakim atas suatu masalah.

136 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Amicus Brief dari Bucket Fund for Religious Liberty menjelaskan latar sejarah UU penodaan agama di Indonesia yang merupakan bagian dari gagasan Nasakom (co-eksistensi damai antara ideologi nasionalisme, agama dan komunisme) untuk membangun kekuatan politik melawan imperialisme. Sementara, latar belakang sosiologis UU tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan adalah munculnya aliran-aliran dan organisasi-organisasi kebatinan atau kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran agama. Aliran tersebut dinilai melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama dan dinilai sangat membahayakan agama yang ada, membahayakan persatuan nasional. Dalam amicus tersebut juga dijelaskan instrumeninsturumen HAM internasional dan nasional yang menjamin kemerdekaan beragama, mulai dari DUHAM, ASEAN CHARTER, ICCPR, UUD 1945 dan UU HAM. Menurut amicus tersebut, UU penodaan agama melanggar : 1. Kewajiban Indonesia terhadap hukum internasional 2. Kewajiban yang disepakati Indonesia dalam perjanjian-perjanian internasional. UU Penodaan agama dinilai melanggar kebebasan berekspresi karena mengancam pidana terhadap penafsiran yang menyimpang dari pokok agama. Pendekatan yang digunakan adalah melindungi prinsip dasar agama resmi daripada melindungi individu. Perlindungan agama tidak memiliki landasan hukum. Instrumen HAM internasional hanya melindungi hak individu. Baik DUHAM atau ICCPR mengakui secara jelas bahwa hak asasi manusia melindungi indvidu, bukan agama, gagasan atau ideologi. Pembatasan kebebasan berekspresi adalah untuk menghormati hak individu lain, bukan untuk menghormati dogma, ajaran, atau agama. Amicus tersebut juga menegaskan bahwa UU penodaan agama melanggar kebebasan berekspresi seara damai, kalau penganut tersebut dipandang membahayakan agama yang ada (establish). Pengawasan oleh aparat, maka tindakan didasarkan pada prasangka aparat. Adanya kriminalisasi terhadap penganut agama tidak

Penut up i

137

resmi atau aliran, maka berarti penegakan norma agama dilakukan oleh pengadilan negara/sipil. Hal ini bertetangan dengan praktek-praktek yang lazim di negara-negara nonteokratis. Sebab, bukan negara yang memiliki tanggungjawab menegakkan ajaran, tapi institusi agama tersebut. Jika pengadilan sudah menegakkan agama, maka yang terjadi adalah tafsir pemerintah/aparat hukum terhadap agama yang benar dan yang salah. Amicus Curae yang disampaikan Article XIX terkait kebebasan bereksptresi menyatakan bahwa bahwa UU Penodaan Agama bertentangan dengan hak kebebasan berekspresi. Prinsip ICCPR menegaskan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi tidak boleh didasari untuk melindungi kehormatan agama atau melindungi agama dari pencemaran. Yang dapat dijadikan alasan pembatasan kebebasan berekspresi adalah sebagaimana diatur pasal 19 ICCPR: untuk menghormati hak dan reputasi orang lain, untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, atau untuk melindungi kesehatan masyarakat dan moral masyarakat, yang jelas tidak menyebutkan untuk melindungi agama. Komite HAM PBB tak pernah mengakui bahwa penghinaan terhadap agama (defamation of religion) dapat dijadikan alasan untuk membatasi kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi justru sangat penting bagi masyarakat, maka pembatasannya harus dilakukan secara legitimate. Menurut pelapor khusus PBB bidang kebebasan berekspresi pembatasan kebebasan berekspresi dilakukan untuk melindungi individu dari pelanggaran terhadap haknya dan bukan untuk melindungi sistem kepercayaan dari kritik internal maupun eksternal. Pembatasan berdasarkan pasal 19 (3) ICCPR mensyarakatkan adanya necessity dan hanya dilakukan secara appropriate untuk tujuan yang legitimate khusus untuk menjamin kelangsungan dan perlindungan efektif terhadap hakhak yang dilindingi oleh ICCPR. Pembatasan tersebut tak boleh dilakukan untuk menekan ekspresi pendapat yang kritis, pendapat kontroversial atau pernyataan yang secara

138 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

politik salah. Yustriprudensi dari negara-negara Asia juga menguatkan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi tak boleh dilakukan untuk mencegah kritik terhadap agama atau kepercayaan. Tanggung jawab negara untuk mencegah pernyataan penebar kebencian antara agama justru tidak diatur dalam UU Penodaan Agama. Hukum HAM internasional menegaskan bahwa negara harus mencegah penyebaran kebencian yang mendorong diskriminasi, permusuhan dan kekerasan. Hal tersebut nyata ditegaskan dalam pasal 20 ICCPR: setiap sokongan terhadap kebencian terhadap bangsa, ras atau agama tertentu yang bersisi muatan diskriminasi, permusuhan dan kekerasan harus dilarang oleh hukum. Kendatipun pembatasan terhadap kebebasan bereskpresi bertujuan untuk mengukum hate speech diperlukan pidana, namun harus dilakukan secara terbatas pada advokasi kebencian nasional, ras dan agama yang mengandung permusuhan, deskriminasi dan kekerasan dan juga terhadap seruan perang. Pembatasan tak berlaku untuk ekspresi yang mencemarkan, menghina atau mengkritik agama, keyakinan atau lembaga-lembaga serupa. MK tidak mempertimbangkan pendapat-pandapat yang disampaikan para amici, sehingga pandangan-pandangan tersebut tidak muncul dalam putusan dan tak tercermin dalam analisa-analisa Mahkamah. Sehingga, pendapat Mahkamah atas kasus ini terkait dengan kebebasan bereskpresi tidak muncul. Pandanan Mahkamah, secara singkat adalah: Pertama, Mahkamah menilai bahwa UU Penodaan Agama tidak bertentangan dengan pasal 28E UUD 1945. Mahkamah tidak mengeksplorasi pasal 28F dan juga sayangnya pasal tersebut juga tidak dijadikan pasal penguji oleh pemohon dan para saksi, walau disampaikan oleh para amicus. Mahkamah hanya berpatokan pada paal 28J tentang pembatasan hak asasi manusia, namun tidak mengeksplorasi limitasi-limitasi yang diberikan dalam instrumen hukum international, yurisprudensi internasional, dan pendapat-

Penut up i

139

pendapat ahli hukum internasional, yang sebenarnya juga menjadi sumber hukum. Kedua, Mahkamah sangat memperhatikan aspek-aspek sosiologis, terutama mengenai kekhawatiran akan terjadinya konflik akibat kemarahan kelompok-kelompok agama dominan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah banyak mengutip pendapat-pendapat yang menyatakan kekhawatiran dampak sosial jika UU Penodaaan agama dicabut. Ketiga, Mahkamah berpendapat bahwa UU Penodaan Agama tidak mendiskriminasi penganut agama minoritas, dengan mengacu pada tekstual UU yang tidak setarra eksplisit hanya mengakui 6 agama resmi. Mahkamah berpendapat bahwa UU ini melindungi semua agama dan keyakinan. Keempat, Mahkamah berpendapat adanya fakta kriminalisasi terhadap kelompok keyakinan dan aliran minoritas, juga orang-orang yang menyatakan ekspresi seperti Arswendo, merupakan masalah penerapan hukum yang salah, bukan substansi hukumnya. Sehingga menurut Mahkamah hukumnya tak perlu dicabut, namun penerapan hukum yang diperbaiki. Mahkamah sama sekali tidak mengesplorasi hubungan kesalahan penegakan hukum dan teks hukum yang multitafsir. Dalam pandangan-pandangannya, Mahkamah selalu mencampuradukkan penistaan agama (blasphemy), penghinaan terhadap agama (defamation of religion), dan hatred speech. Mahkamah bahkan berpendapat bahwa UU ini untuk mencegah hatred speech, padahal tak ada satupun pasal dalam UU ini yang mempidanakan hatred speech. Kegagalan Mahkamah dalam membedakan secara jelas antara blasphemy dan defamation against religion bahkan tidak menganggap berbeda, membuat kesimpulan Mahkamah menjadi fatal. UU Penodaan Agama mengriminalisasi penafsiran dan praktek yang menyimpang dari agama baku, jelas ini adalah UU Blasphemy. Nanun, kadang-kadang Mahkamah mengatakan bahwa UU ini untuk mencegah penghinaan terhadap agama, secara saling bergantian. Karena tidak mempertimbangkan pendapat para ami-

140 B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

ci, maka Mahkamah dalam menganalisa UU Penodaan tidak memperhatikan perkembangan hukum internasional dan negara lain terkait blasphemy, defamation of religion, dan hatred speech, terutama dalam kaitannya dengan hak asasi manusia. Akibatnya, analisa-analisa Mahkamah menjadi sangat terpaku dengan kondisi di Indonesia saat ini. Dalam menimbang perkara ini, Mahkamah sangat terpaku pada konstitusi terrtulis, yakni UUD 1945, sehingga mengabaikan konstitusi tidak tertulis dan konstitusi tertulis diluar UUD 1945, seperti hukum HAM, prinsip rule of law, bill of rights, dan lain-lain. Hal ini berakibat putusan Mahkamah hanya menguji UU semata-mata terhadap UUD 1945, yang sangat sempit dan hanya berorientasi pada sinkronisasi vertikal. Dengan demikian, Mahkamah gagal melihat penyimpangan UU ini dari konstitusi (ini mungkin karena UU MK yang membatasi Mahkamah hanya berwenang menguji UU terhadap UUD 1945?) Mahkamah juga mengabaikan fakta politik yang melatari UU penodaan agama, yaitu kebutuhan Soekarno untuk menyatukan kekuasaan Nasakom sebagai front nasional untuk menghadapi imperialisme. Adanya pasal penjelasan bahwa UU tersebut lahir karena ancaman muncul aliran kepercayaan yang menjamur, dan diangga ancaman bagi agama mapan, sama sekali diabaikan oleh Mahkamah. Hal ini membuat mahkamah gagal melihat aspek diskriminatif dari UU ini. Dengan demikian, mahkamah mempertahankan UU Penodaan agama, karena mengganggap UU tersebut menjamin harmoni antar umat beragama.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Uji materi gagal mengaitkan masalah UU Penodaan agama dengan instrumen hukum hak asasi manusia, terutama terkait kebebasan berekspresi. Sebab, Makamah terpaku pada aspek-aspek tekstual pada UU Penodaan agama dan

Penut up i

141

menguji secara sempit dengan UUD 1945 saja; 2. Uji materi gagal menganalisa problem dasar dari UU penodaan agama, karena mahkamah tidak jelas dalam memahami blasphemy, defamation of religion dan hatred speech. 3. Mahkamah mengabaikan perkembangan hukum internasional yang sudah menghapus blasphemy dan defamation of religion, dan memfokuskan pada hatred speech yang merupakan ekspresi kekerasan terhadap penganut agama. 4. Mahkamah gagal membedakan perlindungan terhadap pemeluk agama dan perlindungan terhadap agama, sehingga penerapan limitasi kebebasan berekpresi jadi salah yaitu untuk melindungi agama, bukan melindungi hak-hak individual pemeluknya.

Lampiran 2 PROSPEK UMAT MINORITAS DALAM KERAPUHAN HUKUM DAN TAFSIR KONSTITUSI Oleh : Muktiono, SH. MPhil.
PENDAHULUAN
Sangat mengejutkan bahwa Mahkamah Konstitusi terhadap pengajuan pengujian Undang-Undang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dalam amar putusannya menyebutkan menyatakan menolak permohonan para Pemohon secara keseluruhan dan pada akhirnya Mahkamah Konstitusi meneguhkan bahwa Undang-Undang a quo secara sah dan meyakinkan adalah compatible dengan Undang-Undang Dasar 1945. Keterkejutan terhadap Putusan tersebut tidak hanya pada hasil persidangan saja tetapi juga pada struktur bangun dan pendekatan logika para hakim MK dalam menerapkan hukum serta dampak potensial atas implementasi dari jalan tengah yang diciptakan MK. Terlebih lagi, putusan tersebut akan memantik reaksi-reaksi sosial dan psikologi publik yang memang sudah sangat tegang dengan proses judicial review tersebut, baik kelompok pendukung Pemohon maupun, dan yang terutama, adalah penentangnya.1 Secara hukum terhadap putusan tersebut memang tidak bisa dilakukan upaya apapun karena bersifat final dan mengikat bagi semua pihak,2 akan tetapi, lebih luas dari
1) Terjadi demonstrasi yang besar selama sidang-sidang berlangsung serta distorsi isu yang berkembang di Media Massa bahwa seolah-olah Pemohon akan berusaha untuk mendukung adanya pengakuan atheisme dalam tafsir kebebasan beragama di Indonesia. 2) Pasal 47 UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi

144 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

sekadar masalah yuridis formal adalah mengenai aspek dan prospek penerapannya karena menyangkut masa depan salah satu isu penting dalam Hak Asasi Manusia yaitu Hak atas Kebebasan Beragama,3 terutama bagi umat beragama dan penganut kepercayaan yang dalam korelasi sosial-antropologis adalah minoritas 4 dan rentan (vulnerable group). Berkaca pada kasus-kasus mutakhir tentang relasi minoritas-mayoritas terkait dengan pelaksanaan, pemenuhan dan perlindungan hak atas kebebasan beragama serta berkeyakinan, maka Putusan a quo sangatlah akan berdampak terhadap soliditas dan koherensi semangat berkebangsaan yang Bhinneka Tunggal Ika.5 Pluralisme di Indonesia adalah pluralisme yang multiwarna dan tidak dikotomis baik dari sisi komposisi etnisitas (suku, agama, ras, bahasa, dsb) maupun demografisnya. Fakta tersebut sudah ada bahkan pada jaman Nusantara atau pra-kemerdekaan RI. Kewajiban koheren terhadap corak eksistensi Indonesia tersebut adalah merawat, menjaga dan menghidupi masing-masing elemen bangsa yang menjadi pembentuknya.6 Hal ini kemudian ditegaskan juga dalam Pembukaan UUD 1945 Aline IV bahwa dalam menjalankan kewajiban tersebut maka Pancasila sebagai sebuah sistem ideologi adalah menjadi dasarnya. Pancasila mempunyai 5 (lima) Sila yang di antara mereka adalah merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya.
3) Hak kebebasan beragama berdasarkan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 4 UU No.39/1999 tentang HAM merupakah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apa pun (non-derogable right). 4) Minoritas menyangkut jumlah (quantity) dan juga kekuatan sosial (social ability), sebab belum ada ketetapan baku mengenai kualifikasi minoritias kecuali lebih menetapkan pada aspek potensi-ketidakberdayaan&kerentanan terkait hubungannya dengan kelompok-sisa (selain mereka atau yang mayoritas). 5) Terjadi kekerasan baik secara horisontal (oleh kelompok beragama lainnya) maupun politis-vertikal (peran organ negara, baik omission maupun comission) terhadap kelompok Ahmadiyah di Manis Lor dan penganut agama lainnya (kasus HKBP Bekasi) pasca Putusan a quo meskipun secara legal tidak ada keterkaitan secara langsung antara amar putusan dengan kasus kekerasan. 6) Aline IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ....melindungi segenap bangsa Indoensia dan seluruh tumpah darah Indonesia

Lam p iran

145

Ketika memaknai arti Ketuhanan dalam kehidupan berbangsa maka akan hadir juga aspek kemanusiaan yang mempunyai segi universalitas (human being as a whole), persatuan nasional yang menjaga pluralitas, demokrasi yang agung (wisdom) dan takzim terhadap kehendak rakyat, serta kesejahteraan untuk semua yang searah dengan rasa keadilan. Putusan a quo secara spesifik dan legal text adalah tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, namun dalam kerangka dimana hukum itu akan eksis dan berkorelasi sosial-antropologis maka akan sangat terkait erat dengan aspek ber-Ketuhanan dalam ranah publisitas berkeagamaan dan berkeyakinan di Indonesia. Kedudukan Undang-Undang tersebut kemudian secara sederhana dan awam akan mudah dikaitkan, legitimasi maupun eksistensinya, dengan Sila Ke-1 Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal tersebut tentu sangat logis, akan tetapi akan begitu bermasalah ketika Sila Ke-1 tersebut tidak dikaitkan dengan sila Pancasila yang lainnya sebagai satu kesatuan. Lebih luas lagi, menyangkut Pancasila sebagai ideologi yang terbuka, Indonesia telah menjadi bagian dari sistem hukum internasional yang dalam beberapa dekade ini telah dengan masifnya mengintrodusir norma-norma hak asasi manusia (HAM) yang bahkan telah diadopsi menjadi hak-hak konstitusional melalui amandemen ke-2 UUD 1945. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi, diantaranya, 2 (dua) kovenan penting HAM Internasional yaitu Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.7 Sebagaimana diketahui bahwa salah satu prinsip pokok dari hak asasi manusia adalah ketidakterpisahan (indivisibility) antara hak-hak yang satu dengan yang lainnya. Memenuhi hak kebebasan beragama suatu kelompok tidak berarti boleh melakukan diskriminasi terhadap kelompok beragama atau berkepercayaan lainnya. Prinsip kesetaraan (equality) harus selalu mengikuti setiap tindakan pemenuhan kewajiban ne7) Melalui UU No.11/2005 (ICESCR) dan UU. No.12/2005 (ICESCR)

146 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

gara dalam penegakan hak asasi manusia (protect, promote, fulfil).8 Dalam konteks kesetaraan terhadap semua pemeluk agama dan kepercayaan, aspek perlindungan terhadap kelompok minoritas yang rentan (minority-and-vulnarable groups) harus mendapatkan perhatian yang lebih karena sejarah telah membuktikan adanya kekerasan-kekerasan yang mereka dapatkan baik oleh kelompok beragama lainnya (comission) maupun minimnya perlindungan oleh negara (omission).9 Proses judicial review terhadap UU PNPS 1/1965 seharusnya dilihat juga sebagai upaya untuk mendukung perlindungan terhadap kepentingan kelompok rentan, dalam hal ini adalah pemeluk agama/kepercayaan minoritas, yang baik secara historis maupun potensi sudah sangat nyata sangat rawan akan pelanggaran hak-hak atas kebebasan beragama/ berkeyakinan/kepercayaan. Dengan melihat konstelasi hukum, hak asasi manusia, Pancasila, dan pluralitas bangsa maka sudah sewajarnya jika pertimbangan hukum dalam proses judicial review UU a quo oleh semua pihak (pemohon, pihak terkait, dan terutama Mahkamah Konstitusi) sepatutnya, dan boleh dikata tidak ada pilihan lain kecuali harus menggunakan pendekatan yang komprehensif, interdisipliner, dan kembali kepada kaidah-kaidah penafsiran hukum yang menjunjung tinggi semangat keadilan dan kesetaraan sebagai muara akhir dari alasan mengapa hukum itu diciptakan.

FENOMENA RAPUHNYA PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEPERCAYAAN/BERKEYAKINAN TERHADAP UMAT MINORITAS


Undang-Undang No. 1/PNPS/ 1965 mempunyai titel Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
8) Vide: Pasal 2 Par.1 ICCPR, Pasal 2 Par.2 ICESCR, Pasal 28I (2) UUD 1945, Pasal 3 (3) UU No.39/1999 tentang HAM 9) Hak atas affirmative action berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU No.39/1999 tentang HAM.

Lam p iran

147

Agama dimana manifestasi dari perilaku yang dicegah tersebut menurut Pasal 1 diformulasikan sebagai
...dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Penormaan dari Undang-Undang a quo dalam prakteknya telah mengesampingkan eksistensi umat minoritas yang mana melekat pada diri mereka adalah karakter ketidaksamaan terhadap ajaran umat mayoritas yang salah satunya disebabkan oleh perbedaan tafsir. Dalam banyak kasus, Undang-Undang tersebut diterapkan oleh aparat penegak hukum sebagai bentuk pembatasan atau kriminalisasi terhadap kebebasan beragama terhadap umat minoritas daripada memberikan ruang dialog teologis yang konstruktif di tengah umat beragama/berkeyakinan yang majemuk dan dinamis.10 Sehingga, problem perlindungan terhadap umat beragama/berkeyakinan minoritas untuk menjalankan ajaran mereka baik pada forum privat maupun publik menjadi masalah penting dalam pelaksanaan undang-undang tersebut. Apresiasi dan pengakuan terhadap eksistensi ummat minoritas di Indonesia sangat minimal apabila dibandingkan dengan semangat uniformity yang dibentuk selama awal pembentukan negara kesatuan RI hingga saat ini melalui jargon-jargon negara kesatuan, kepentingan nasional, ketertiban umum dan persamaan di depan hukum (equality before the law). Hal ini sangat dipengaruhi oleh euforia sebagai sebuah negara baru yang sedang membangun solidaritas
10) Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM . Antara Penodaan dan Kerukunan Makalah Posisi Mengenai UU 1/PNPS/1965. Vide: Hal 10 mengenai Penafsiran. Vide: Keterangan Saksi Ahli Frans Magnis Suseno

148 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

nasional dengan latar belakang kerajaan-kerajaan nusantara yang mempunyai karakter regional dan primordial serta derita panjang kolonialisme. Dalam praktek penegakan hukum juga mempunyai corak yang sedemikian karena memang hukum salah satu fungsinya adalah untuk mencapai kepastian hukum dan ketertiban bersama yang secara determinatif apa yang harus tertib dan pasti seringkali merupakan manifestasi dari kewenangan penguasa yang notabene kelompok umat mayoritas.11 Sejarah konstitusi Indonesia sampai saat ini juga belum begitu jelas dan tegas menyatakan pembelaan secara khusus terhadap umat minoritas kecuali memberikan kepada mereka hak-hak yang sama dengan masyarakat secara keseluruhan meskipun dalam tingkatan praktis mereka memang rentan dan memerlukan affirmative action.12 Di sisi lain, masyarakat internasional, termasuk Indonesia, telah menerima adanya norma bahwa Dalam negara dimana terdapat minirotas etnis, agama dan bahasa, maka orang-orang yang menjadi bagian dari minoritas tersebut harus tidak boleh ditolak haknya, dalam komunitas dengan
11) Dalam Penjelasan UU No.1/PNPS/1965 tentang Umum paragraf (2) disebutkan Telah teryata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir diseluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Diantara ajaran-ajaran/perbuatanperbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang kearah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada. Teks ini mencerminkan relasi kuasa dalam mentafsir fakta sosial terkait pluralisme umat beragama/kepercayaan di Indonesia dan proses penciptaan hukum dalam konteks relasi umat mayoritas-minoritas yang tidak adil dan seimbang. Umat mayoritas yang menguasai lembaga eksekutif dapat dengan mudahnya membuat kesimpulan adanya situasi emergency yang dianggap mengancam eksestensi agama mereka tanpa melihat permasalahan secara komprehensif. 12) Pasal 28E UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan bentuk hak individu (individual rights) yang disamaratakan pada semua orang tanpa melihat konteks mayoritas-minoritas; dan hak kelompok (18B-2) merupakan hak kelompok (group right) untuk minoritas etnis yang tidak secara jelas menyebutkan apakah termasuk di dalamnya pengakuan terhadap agama/kepercayaan mereka. Demikian juga Pasal 5 (3) UU 39/1999 tentang HAM yang mengatur perlindungan kelompok rentan tidak menyebut secara

Lam p iran

149

anggota kelompok yang lain, untuk menikmati budaya mereka, untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.13 Hak individu yang merupakan bagian dari kelompok minoritas untuk mendapatkan kebebasan menjalankan ajaran agama/keyakinannya tersebut sejalan dengan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan yang tercantum dalam Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.14 Norma-norma tersebut sudah menjadi hukum nasional Indonesia dan mengikat secara hukum bagi semua lembaga negara untuk secara patuh menghormati, memenuhi, melindungi dan memajukannya.15 Keadilan merupakan tujuan tertinggi dari dibentuktegakkannya hukum di Indonesia seperti selalu tercantum dalam setiap irah-irah putusan lembaga peradilan yaitu Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.16 Hakim dalam menerapkan setiap kasus-kasus menyangkut umat minoritas seharusnya tidak selalu terpukau dan terpaku pada ketentuan normatif dalam Undang-Undang semata-mata sehingga terjebak dalam pola keajekan merekonstruksi pasal dalam setiap kasus yang diperiksanya namun kehilangan ruh keadilan yang justru menjadi tujuan akhirnya. Melihat begitu lemahnya konstruksi hukum nasional dalam menopang hak atas kebebasan beragama bagi umat minoritas (religious minority) maka semangat affirmative action terhadap kelompok tersebut oleh hakim dalam menerapkan hukum seharusnya mewarnai setiap pertimbangan hukumnya. Sehingga, Putusan yang dihasilkan akan mampu memberikan juris13) Terjemahan bebas Pasal 27 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.12/2005. 14) Terjemahan bebas Pasal 18 ICCPR Setiap orang harus mempunyai hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak tersebut juga meliputi kebebasan untuk mempunyai atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan berdasar pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu atau dalam komunitas dengan yang lainnya dan pada area publik atau privat, untuk memanifestasikan agamanya atau kepercayaannya dalam peribadatan, persembahan, praktek dan pengajaran. 15) Vide Pasal 7 ayat (2) UU No.39/1999 tentang HAM. 16) UU No.19/1964 jo. UU No.14/1970 jo. UU No.4/2004 jo. UU No.48/2009 jo. UU. No. 24/2003

150 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

prudensi (benchmark case) terhadap penegakan hukum hak kebebasan beragama bagi umat minoritas dan melengkapi kekurangsempurnaan hukum nasional serta memenuhi rasa keadilan semua warga bangsa tanpa adanya diskriminasi berdasarkan agama/kepercayaan baik secara potensi maupun manifestasi.

ANALISA PUTUSAN MK
Nalar hak asasi manusia mendominasi materi pengujian Undang-Undang No.1/PNPS 1965 yang diajukan oleh para Pemohon yang kemudian dilengkapi selama proses persidangan dengan aspek-aspek lain seperti yuridis formal, filsafat, sosiologi, dan lain sebagainya yang dikemukan oleh para pakar di bidangnya. Kritisasi dalam perspektif hak asasi manusia dari berbagai macam sudut pandang keilmuan dalam proses persidangan seolah-olah ingin menjebol kokohnya nalar legisme yang membentengi keberlakuan UU a quo yang selama ini dianggap telah menjadi bagian dari proses kriminalisasi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menjadi bagian dari anasir-anasir hukum yang busuk dan menggerogoti ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Indonesia. Berhasilkah? Jelas sekali, TIDAK!17 Sejak awal, posisi Mahkamah Konstitusi sangat jelas terhadap mainstreaming nilai-nilai HAM dalam pengajuan judicial review terhadap UU a quo oleh para Pemohon yakni menempatkan diri sebagai benteng pertahanan terakhir atas apa yang Mahkamah anggap dan gambarkan sebagai kegiatan atau praktik yang mengikis religiusitas masyarakat.18 Dasar alasan atas posisi MK tersebut adalah prinsip Indonesia sebagai negara theism yang bersumber dari Sila Ke-1 Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa dan irah-irah dalam setiap putusan lembaga peradilan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, Mahkamah juga
17) Amar putusan hakim MK No. 140/PUU-VII/2009 berbunyi: Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. 18) Vide: Pendapat umum hakim MK dalam putusan a quo

Lam p iran

151

menggunakan cara pandang bahwa Pancasila, UUD 1945, serta praktik-praktik yang khas ala Indonesia sebagai framework dalam memeriksa reasoning para Pemohon yang mencoba untuk mempromosikan hak asasi manusia terkait hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.19 Terhadap hukum HAM internasional, Mahkamah menegaskan kembali bahwa segala penghormatan terhadapnya harus mendasarkan pada Pancasila dan Konstitusi 1945. Cara pandang MK tersebut terkait dengan domestifikasi nilai-nilai HAM internasional pada sebuah negara, dapat dikatagorikan masuk pada fase denial (secara terbuka maupun secara halus) yang pada prinsipnya mempertanyakan atau menolak validitas norma HAM internasional dengan melawankanya pada karakter partikularistik dan prinsip kedaulatan sebuah negara. Fase ini menyeret Indonesia memasuki era kemunduran dalam praktek penegakan HAM setelah sekitar satu dekade mengintrodusir secara normatif nilai-nilai HAM ke dalam banyak peraturan perundang-undangan.20 Dalam pendapatnya, hakim-hakim MK di sisi lain mengakui adanya penormaan HAM dalam substansi peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk yang telah menjadi hak konstitusional warga negara dan salah satunya adalah hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan, meskipun di ujung satunya MK kemudian buru-buru menekankan adanya justifikasi baik secara hukum maupun secara sosial untuk melakukan pembatasan atas HAM tersebut dengan dalih secara umum berputar-putar pada masalah ketertiban umum, memenuhi serta menghormati hak asasi lian, dan fungsi negara sebagai pelindung agama sebagai salah satu identitas nasional serta menjaga kerukunan antar umat beragama karena kalau sampai terjadi penodaan/penyalahgunaan agama diasumsikan akan terjadi chaos dan
19) Sebenarnya, hal ini juga menjadi bentuk pengakuan MK terhadap nilai-nilai HAM karena konstitusi Indonesia juga telah menjadikan HAM menjadi hak dasar atau hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia, vide Bab XA UUD 1945 tentang HAM. 20) The power of human rights, international norms and domestic change. Thomas Risse et all, 2005.

152 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

disintegrasi antar umat beragama. Kemudian, MK sejak awal telah menafsirkan bahwa judicial review yang dilakukan oleh Pemohon adalah mempunyai ide dan tujuan untuk mencari bentuk dan tafsiran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut atas dasar apa MK mempunyai opini tersebut dan urgensi apa untuk memberikan penilaian semacam itu terhadap Pemohon. Tendensi yang dapat dibaca dari argumentasi hukum MK kemudian adalah adanya pola-pola defensif dan resisten terhadap apa yang di awal disebut sebagai kegiatan atau praktik yang mengikis religiusitas masyarakat. Relasi dari fakta hukum tersebut adalah adanya pandangan MK yang mengidentikan antara hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan yang bersumber dari norma HAM universal sebagai sebuah potensi atau berkorelasi positif terhadap kegiatan atau praktik yang mengikis religiusitas masyarakat. Di bagian lain dari pendapat hukum MK, dan merupakan bagian yang sangat penting untuk dicermati, adalah UU No.1/PNPS/1965 bukan undang-undang tentang kebebasan beragama sebagai HAM melainkan UU tentang larangan penodaan terhadap agama dan memberikan wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya tindakan anarkis apabila ada penganut suatu agama yang merasa agamanya dinodai. Dari pendapat inilah bermula adanya penegasian terhadap upaya-upaya yang lebih luas lagi memaknai norma dan penilaian-dampak (impact assessment) terhadap eksistensi UU a quo. Padahal dari banyak keterangan yang disampaikan oleh para ahli menyimpulkan adanya relasi yang cukup kuat berdasarkan penelitian ilmiah maupun fakta-fakta sosial yang sudah menjadi kasus publik antara perbedaan interpretasi agama yang sering dipandang sebagai penodaan agama dengan problem kebebasan beragama/berkeyakinan terutama terkait dengan masalah tafsir terhadap suatu ajaran agama.21
21) Vide keterangan saksi ahli Azyumardi Azra, CRCS UGM, Ulil Abshar Abdalla, Frans Magnis Suseno, Luthfhi Asyaukanie, dsb...

Lam p iran

153

Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan pilihan yang paradoks terkait dengan bagaimana masa depan kerukunan antar umat beragama dan hak asasi atas kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia dengan cara mempertahankan secara keseluruhan muatan norma yang ada dalam UU No.1/PNPS/1965. Di satu sisi MK mengakui perlunya adanya revisi terhadap UU a quo baik secara formil maupun materiil dalam rangka menghindari timbulnya salah tafsir dalam implementasinya, namun disisi lain MK tidak menjelaskan sama sekali alasan mengenai hal-hal apa sajakah yang dapat diterima sebagai kekurangan formil dan materiil tersebut dan yang justru terjadi adalah MK menolak seluruh permohonan para Pemohon. Seharusnya pengakuan atas kekurangan dari UU a quo oleh MK dijelaskan lebih lanjut agar dapat menjawab sebuah pertanyaan penting yaitu apakah kekurangan tersebut terkait atau bersinggungan dengan apa yang didalilkan oleh Pemohon? Dan mengapa justru amar putusan MK pada akhirnya menolak keseluruhan dalil yang diajukan oleh Pemohon dan seolah-olah tidak ada hal-hal yang dapat dijadikan persamaan untuk dijadikan bahan perbaikan, setidak-tidaknya dalam hal penafsiran terhadap UU a quo, dan lebih jauh justru MK menyerahkan proses tersebut kepada proses legislasi yang normal dan tentunya hal ini semakin meneguhkan tafsir yang sudah ada selama ini karena memang sumber permasalahan secara praktikal/implementasi selama ini bersumber dari praktek-praktek yang dijalankan terutama oleh lembaga eksekutif dan hal ini sejalan dengan pendapat hukum dari pihak legislatif apabila dicermati dari proses persidangan selama ini. Secara tersurat pihak Pemohon memang tidak mengajukan pendalilan terkait dengan perlindungan terhadap umat minoritas karena memang secara legal text UndangUndang a quo sama sekali tidak menyinggung relasi mayoritas-minoritas namun lebih ke substansi norma yang diatur yaitu mengenai Penodaan/Penyalahgunaan Agama. Hal ini juga menjadi konsekuensi logis dari miskinnya pera-

154 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

turan perundang-undangan di Indonesia yang secara spesifik mengatur mengenai umat minoritas sebagaimana telah diuraikan sebelumnya sehingga pendasaran judicial review yang secara spesifik menyangkut kepentingan umat minoritas juga mengalami kesulitan. Demikian juga dalam perdebatan selama proses persidangan juga sedikit argumentasi yang dibangun berdasarkan norma-norma perlindungan terhadap umat minoritas, justru yang muncul adalah lebih ke masalah persamaan hak di depan hukum, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama/berkeyakinan, perlindungan terhadap kepentingan umum (general protection), perlindungan terhadap kerukunan umat beragama, dan legitimasi dalam limitasi hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan berdasarkan agama. Padahal, membawa isu umat minoritas secara spesifik dalam persidangan sebagai bentuk tafsir ekstensif terhadap permasalahan UU a quo merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai target yang lebih tinggi dari adanya hukum, yaitu Keadilan. Umat minoritas dalam konteks UU a quo secara sederhana dapat diartikan umat yang berada di luar mainstream umat mayoritas baik secara hukum maupun sosialantropologis. Dan melekat pada eksistensi mereka adalah aspek kerentanan terhadap setiap gangguan yang datang dari luar kelompok mereka menyangkut penikmatan HAM mereka (James W. Nickel, 2009). Berdasarkan bukti-bukti persidangan, umat minoritas tidak hanya terkait dengan umat Islam melainkan sangat relatif dan tersebar ke berbagai agama lain dan termasuk juga mereka yang menganut suatu Kepercayaan/Keyakinan di luar Agama. Waktu telah menunjukan betapa umat minoritas di Indonesia sering mendapat gangguan, ancaman, pengusiran, dan pembungkaman baik oleh umat lainnya maupun oleh negara. Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat dan mengakui bahwa
terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meya-

Lam p iran

155

kini kepercayaan sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU a quo terhadap UUD 1945.

Pembacaan MK terhadap eksistensi umat minoritas, dalam hal ini umat penganut kepercayaan sebagai salah satu contoh, sungguh sangat memprihatinkan dalam konteks perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak terbebasnya dari diskriminasi berdasarkan agama/kepercayaan, dan yang terpenting adalah hak atas akses keadilan. Umat minoritas yang rentan harus diperlakukan sama di depan hukum tanpa adanya upaya untuk melakukan affirmative action dalam rangka mencapai kesetaraan dan keadilan. Hal yang demikian merupakan bentuk ketidak-sensitifan MK dalam memandang realitas pluralitas yang ada di Indonesia termasuk bukti-bukti sejarah yang diskriminatif sebagaimana terungkap dalam persidangan.22 Selain itu, terhadap praktik-praktik diskriminasi terhadap umat minoritas yang terjadi di masa lampau MK berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh kesalahan pada aspek penerapan secara administratif UU a quo oleh instansi negara terkait dan bukan persoalan compatibility UU a quo terhadap UUD 1945. Pertanyaan mendasar dari logika MK terkait pemisahan antara invaliditas UU a quo dalam praktek secara administratif dan justifikasi normatifnya terhadap UUD 1945 adalah bagaimana MK dapat menguji suatu undang-undang tanpa melihat bagimana potensi maupun manifestasi dari pelaksanaan undang-undang bersangkutan sebagai pedoman untuk mengukur dan menilai validitas normanya terhadap konstitusi. MK sendiri beberapa kali pernah melakukan terobosan hukum dengan mempertimbangan aspek praktikal suatu
22) Kasus penyerangan dan pembantaian penganut kepercayaan tahun 1954 di Bandung dan Penyerangan Kampus Mubarok Jemaat Ahmadiyah di Parung Bogor.

156 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

undang-undang untuk menguji derajat kompatibilitasnya dengan konstitusi serta perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara, namun hal itu rupanya menjadi perkecualian untuk pengujian terhadap UU No.1/PNPS 1965.23 Ada apa dengan MK? Norma-norma HAM internasional menyangkut kewajiban perlindungan terhadap umat minoritas seharusnya memberikan sensitifitas bagi segenap hakim MK dalam proses pengujian UU a quo karena peraturan perundangundangan di Indonesia tidak jelas mengaturnya sehingga kepentingan yang lebih luas terkait eksistensi agama dan umatnya, baik untuk umat mayoritas dan terumata umat minoritas, dapat secara maksimal terlindungi secara adil.24 Selain sebagaimana hak-hak atas kebebasan beragama/ berkeyakinan yang secara umum telah diberikan oleh hukum kepada setiap orang, maka secara khusus umat minoritas harus mendapat jaminan untuk melakukan peribadatan atau ritual sesuai dengan agama/kepercayaan mereka, berpartisipasi pada setiap kegiatan keagamaan/kepercayaan, dan mendirikan dan menjadi asosiasi agama/kepercayaan mereka. Di sisi lain, Negara, termasuk MK, harus mengambil tindakan-tindakan tertentu guna menjamin umat minoritas dapat melaksanakan secara penuh dan efektif hak atas kebebasan beragama/berkepercayaan mereka tanpa adanya diskriminasi dengan alasan apapun. Menciptakan kondisi yang dapat membangun kemampuan umat minoritas dalam melaksanakan agama atau kepercayaannya, termasuk dalam bidang pendidikan dan kekuatan ekonominya, juga menjadi tanggung jawab negara sejalan dengan ketentuan hukum internasional dan hukum atau kepentingan nasional secara
23) Kasus penggunaan KTP untuk ikut Pemilu dan Pemutaran bukti rekaman KPK dalam kasus Bibit-Chandra. 24) Vide: Pasal Pasal 27 jo. Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Demikian juga referensi dan kerangka normatif dalam Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities 1992 seyogyanya dapat dijadikan rujukan dalam melakukan penafsiran oleh MK.

Lam p iran

157

keseluruhan.25 Dalam pertimbangan hukumnya MK sering menegaskan akan diperbolehkannya secara hukum untuk memberikan batasan dalam pemenuhan hak asasi manusia pada umumnya dan hak atas kebebasan beragama/berkepercayaan pada khususnya dalam sistem hukum nasional dengan persyaratan untuk menjaga hak dan reputasi orang lain, melindungi moral masyarakat, selaras dengan hukum nasional, melindungi keamanan nasional, demi kesehatan publik, dan untuk menjaga ketertiban umum.26 Yang sering lupa untuk dicatat mengikuti pendapat tersebut adalah adanya persyaratan situasi emergency yang riil serta terukur untuk dapat diperbolehkannya dilakukan pembatasan terhadap hak atas kebebasan beragama/berkepercayaan sebagai non-derogable rights. Pembatasan tidak valid apabila dilakukan dengan cara-cara yang diskriminatif apalagi hanya bersumber dari nilai-nilai atau tradisi-tradisi yang monolitik bersumber hanya dari kelompok atau umat mayoritas tertentu saja dengan mengurangi, menghalangi, atau melemahkan penikmatan HAM umat minoritas lainnya.27

25) Vide: Declaration on the rights of persons belonging to national or ethnic, religious and linguistic minorities, GA Resolution 47/135, 18 December 1992. 26) Pendapat ini mengutip ketentuan dalam Pasal 19 (3) Kovenan Internasional HakHak Sipil dan Politik jo. Pasal 28 J (2) UUD 1945. 27) General Comments No.22 tentang Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

Lampiran 3 ANTARA KEBEBASAN DAN PENODAAN AGAMA: MENIMBANG KEMBALI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Rumadi
REVIEW UMUM
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan masalah yang sangat penting dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, yaitu Judicial Review yang diajukan sejumlah kalangan, baik lembaga maupun individu,1 terhadap UU No. 1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disebut UU Penodaan Agama.2 MK menolak seluruh permohonan yang diajukan pemohon agar UU tersebut dicabut. Pemohon berpendapat bahwa UU Penodaan Agama melanggar prinsip-prinsip kebebasan beragama yang dijamin secara tegas dalam konstitusi, UUD 1945. Keputusan MK tersebut harus dilihat sebagai bagian dari upaya pembelajaran publik terhadap makna kebebasan beragama. Melalui judicial review diskursus mengenai kebebasan beragama diangkat menjadi perbincangan publik
1) Permohonan judicial review dilakukan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam isu kebebasan beragama dan HAM, antara lain Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Masyarakat Setara (Setara Institute), Yayasan Desantara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Di samping lembaga, permohonan juga diajukan sejumlah individu, yaitu: KH. Abdurrahman Wahid (akhirnya dianggap gugur karena meninggal dunia sebelum proses persidangan selesai), Siti Musdah Mulia, M. Dawam Raharjo dan Maman Imanul Haq. 2) Pengucapan dan pembacaan putusa; MK dilakukan pada 19 April 2009.

160 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

dengan pusat diskursusnya ada di gedung MK. Melalui liputan media massa segala perdebatan bisa diikuti masyarakat. Sayangnya, proses pembelajaran tersebut senantiasa diikuti kesalahpahaman, bahkan kesewenang-wenangan. Beberapa minggu setelah putusan MK, penulis menemukan pamflet penelitian kompetitif 2010 dari Balitbang Kementerian Agama mengenai calling proposal riset bertema kebebasan beragama. Dalam bagian pengantarnya terdapat kalimat yang relevan untuk diangkat di sini:
bahwa saat ini berkembang berbagai pemikiran tentang kebebasan dan perlindungan beragama. Di satu sisi ada yang berpendapat seakan-akan kebebasan itu tidak terbatas. Dan di sisi lain ada yang menganggap bahwa kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Bagi mereka yang menganut kebebasan tanpa batas, kebijakan pemerintah yang melarang kegiatan orang atau kelompok yang dianggap menodai ajaran agama tertentu dituduh telah melanggar HAM. Sedangkan bagi mereka yang menganut kebebasan dengan ada batasnya, apa yang dilakukan pemerintah dianggap sudah benar, karena dalam rangka melindungi agama dari penodaan oleh seseorang atau kelompok tertentu. 3

Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang dimaksud kelompok pendukung kebebasan beragama tanpa batas? Barangkali yang dimaksud adalah kelompok yang melakukan judicial review terhadap UU No.1/PNPS/1965, karena asumsinya UU tersebut merupakan pembatasan terhadap kebebasan beragama. Kalau maksudnya demikian, penulis memastikan hal itu keliru. Karena, dalam rezim HAM internasional, termasuk di dalamnya perlindungan atas kebebasan beragama, tidaklah mutlak. Masalahnya bukan adanya kelompok yang ingin adanya kebebasan tanpa batas dan kelompok yang ingin membatasi kebebasan, tapi lebih pada perbedaan dalam melihat dalam aspek apa kebebasan itu
3) Penulis menemukan pamflet ini pada Awal Juni 2010, atau sekitar empat atau lima minggu setelah pembacaan vonis MK terhadap Judicial Review UU Penodaan Agama.

Lam p iran

161

bisa dibatasi. Di sinilah sebanarnya titik krusialnya. Dalam teori kebebasan beragama dikenal dua istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan wilayah yang bisa diintervensi dan wilayah yang tidak bisa diintervensi. Semangat dari pembedaan ini juga dicantumkan dalam pasal 18 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dua wilayah kebebasan beragama yaitu wilayah forum internum yang bersifat mutlak dan tidak bisa diintervensi apalagi dikriminalisasi; ada wilayah forum eksternum yang bisa diatur dan dibatasi dan diatur karena terkait dengan ekspresi dari keyakinan keagamaan. Karena itu, problemnya bukan perseteruan kelompok pendukung kebebasan tanpa batas versus kelompok pendukung pembatasan, tapi lebih pada apa yang dibatasi dan bagaimana cara membatasi. Sayangnya, hal demikian tidak bisa dipahami, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, tapi juga di kalangan pengambil kebijakan keagamaan dan akademisi sekalipun. Dalam amar putusan No. 140/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa UU Penodaan Agama, meski dibuat dalam situasi darurat pada 1965, masih dianggap relevan, tidak bertentangan dengan UUD 1945 terutama yang terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Alih-alih mencabut, MK justru berkeyakinan, jika UU Penodaan Agama dicabut maka akan muncul anarkhi dan kekacauan sosial karena akan terjadi kekosongan hukum. UU Penodaan Agama dianggap tidak terkait dengan kebebasan beragama, tapi hanya terkait dengan penodaan agama. MK berpendapat bahwa untuk kepentingan perlindungan umum (general protection) dan antisipasi terjadinya konflik di tengah-tengah masyarakat baik horizontal maupun vertikal, maka adanya UU Pencegahan Penodaan Agama menjadi sangat penting. MK berpendapat bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah untuk mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia dan bagaimana bentuk pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara substansi

162 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini. Dalam pertimbangannya, pada intinya MK menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, memberikan kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama, UU ini diperlukan, tidak melanggar HAM dan mencegah tindakan anarki. Sedangkan terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan dalam UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Dasar pertimbangan yang dijadikan argumen MK untuk mengambil keputusan ini tidak semata terkait dengan konstitusi, tapi juga ada pertimbangan sosiologis-politis. Pertimbangan sosiologis antara lain tampak dalam argumen MK yang menyatakan bahwa jika UU ini dicabut maka akan terjadi kekacauan, keresahan, perpecahan, dan permusuhan masyarakat karena adanya kekosongan hukum (h. 287). Alihalih melanggar konstitusi, UU Penodaan Agama justru dilihat sebagai upaya untuk melindungi dan menjaga ketentraman kehidupan beragama. Pertimbangan politis disini terkait dengan relasi agama dan Negara. Anehnya, MK mengutip Majalah Media Dakwah No. 258/Desember 1995 untuk menjelaskan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang mewajibkan sekolah umum memberi pelajaran agama kepada anak didiknya; serta mengutip Majalah Suara Hidayatullah No. 02/IX/Juni 1996 untuk menjelaskan larangan pemerintah Amerika Serikat melarang

Lam p iran

163

mengajarkan agama di sekolah-sekolah negeri. Kutipan dari dua majalah tersebut, bagi penulis, agak aneh karena kita tahu halauan Islam seperti apa yang dianut kedua majalah tersebut. Apakah dengan demikian, paham MK mengikuti paham politik-keagamaan dua majalah tersebut? Wallahu alam. Di sini MK mengambil mazhab pemikiran bahwa dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara diperbolehkan untuk melakukan berbagai hal, termasuk mengintervensi keyakinan keagamaan warganya jika dianggap keyakinannya tidak berketuhanan yang maha Esa. Karena itu, pada tingkat tertentu, putusan MK ini memberi jalan legal bagi negara untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan umat beragama. Bidang apa yang bisa diintervensi? Dalam hal ini MK absen memberi guidance. Meski dalam putusan itu disebutsebut kategori forum internum dan forum externum, namun hal tersebut nyaris tidak menjadi rujukan argumen. Karena itu, bisa ditafsirkan, putusan ini memberi jalan intervensi negera terhadap agama, bukan saja terkait dengan forum externum, tapi bisa juga forum internum. Kata kuncinya adalah pasal 28J UUD 1945, yang membatasi hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama, melalui pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Pembatasan tersebut tidak hanya terkait dengan ekspresi keberagamaan (forum externum), tapi juga forum internum. Putusan MK justru mengaburkan hal ini. Memang, di bagian akhir keputusan MK tersirat persetujuan untuk melakukan revisi terhadap UU Penodaan Agama, baik menyangkut lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materiil yang lebih jelas sehingga menimbulkan salah tafsir dalam praktik. Secara tidak langsung sebenarnya MK juga mengakui adanya salah tafsir dan kesewenang-wenangan dalam praktik. Namun hal ini tidak cukup dijadikan alasan bahwa UU ini inskonstitusional. Kesewenang-wenangan dalam penerapan sebuah norma dalam perundang-undangan semata terkait dengan pertimbangan hakim dalam berbagai kasus

164 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

yang dihadapi. Sayangnya, dalam putusan tersebut tidak ada dorongan kuat dari MK kepada DPR untuk melakukan revisi. Dengan berlindung dibalik kewenangannya sebagai negative legislator, MK hanya member pernyataan datar, bahwa untuk memperbaiki agar UU ini lebih sempurna menjadi kewenangan pembentuk undang-undang (pen. DPR) melalui proses legislasi yang normal.4 Dalam tulisan ini, meskipun dimaksudkan untuk melakukan eksaminasi, penulis tidak ingin terjebak dengan perdebatan hukum dan pasal-pasal perundang-undangan yang memang bukan kapasitas penulis. Penulis juga tidak memberi penilaian apakah argumen konstitusional MK tepat atau tidak, namun eksaminasi atas putusan MK ini akan diletakkan dalam konteks yang lebih luas terkait dengan regulasi agama dan kehidupan beragama. Dari sini diharapkan akan tampak bahwa UU Penodaan Agama tidak bisa dilepaskan dari persoalan hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Karena itu, jika dikatakan bahwa UU Penodaan Agama tidak ada kaitan dengan kebebasan agama sebagaimana dikatakan saksi ahli, KH. Hasyim Muzadi, tidaklah tepat. Sehingga, meskipun UU yang di-judicial review adalah UU Penodaaan Agama, namun perbincangan persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan kebebasan beragama. Dalam kaitan ini, konstruksi tulisan ini akan mengikuti mengikuti logika yang dibangun MK dalam amar putusannya.

4) Memang benar bahwa MK hanya memiliki kewenangan sebagai negative legislator, dan MK tidak bisa membuat norma hukum baru dalam melakukan uji material sebuah UU. Apa yang dilakukan MK terkait dengan uji materiil UU Penodaan Agama merupakan tafsir konservatif terhadap negative legislator. Dalam kasus yang UU Pemilu dimana MK bisa membuat norma hukum baru dengan memperbolehkan KTP sebagai bukti kebolehan melakukan pencoblosan dalam pemilu 2009 lalu merupakan tafsir progresif atas negative legislator. Kasus lain yang menarik untuk diperbandingkan adalah deadline MK kepada DPR agar badan legislatif itu segera membuat UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sampai batas waktu tertentu. Dari sini bisa dilihat, kadang-kadang MK bisa secara progresif menafsirkan hak negative legislator dan itu dilakukan beberapa kali dalam putusan hukumnya. Sayangnya, dalam UU Penodaan Agama MK memilih langkah konservatif.

Lam p iran

165

PENODAAN AGAMA SEBAGAI PROYEK JALAN TENGAH


Salah satu poin penting yang layak untuk mendapat perhatian adalah keinginan MK untuk membangun proyek jalan tengan. Hal ini tercermin dalam beberapa bagian amar putusan MK:
Adapun pendapat Mahkamah atas pandangan Jalaluddin Rahmat yang menyarankan agar Mahkamah membuat jalan tengah dengan memberi penafsiran resmi atas UU Pencegahan Penodaan Agama tanpa membatalkannya, Mahkamah sependapat dengan pandangan tersebut. Hal itu telah dilakukan oleh Mahkamah. Penafsiran Mahkamah tentang segi-segi tertentu atas UU Pencegahan Penodaan Agama telah dituangkan secara rinci dalam paragraf-paragraf di bagian Pendapat Mahkamah di atas yang kesemuanya dapat dipandang sebagai jalan tengah sebagaimana diusulkan oleh Ahli Jalaluddin Rahmat. 5

Pertanyaannya, apa yang dimaskud proyek jalan tengah dalam keputusan mengenai UU Pencegahan Penodaan Agama? Dalam kaitan ini kita bisa menelusuri fakta pengadilan bagaimana yang mendorong MK mengambil posisi tersebut. Setidaknya ada dua saksi yang menyebut istilah jalan tengah, yaitu Jalaluddin Rahmat dan Yusril Ihza Mahendra. Jalaluddin mengusulkan jalan tengah, yaitu Mahkamah mempertahankan UU Pencegahan Penodaan Agama sekaligus mengakomodasi kepentingan pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan Yusril meletakkan konsep jalan tengah dalam konteks pertarungan ideologis Negara Islam versus Negara Sekuler. Menurut Yusril, Negara Indonesia tidak merdeka sebagai sebuah negara Islam dan Negara sekuler, akan tetapi mengambil jalan tengah yaitu negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Walaupun kalimat kompromi ini dihapus, namun semangat konteks keagamaan dalam penyelengga5) Amar Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009, h. 263.

166 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

raan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak pernah lenyap untuk selama-lamanya. Berdasar paparan di atas, proyek jalan tengah yang dimaksud di sini menyangkut dua hal, yaitu menengahi tuntutan para pihak untuk mencabut UU Pencegahan Penodaan Agama di satu sisi, dan tuntutan untuk mempertahankan sepenuhnya di sisi yang lain. Sedang jalan tengah yang ke dua adalah menengahi pertarungan ideologis Negara Islam versus Negara sekuler. Dengan demikian, proyek jalan tengah MK melalui penegasan kembali delik penodaan agama harus diletakkan dalam kerangka tersebut, dimana MK menegaskan seluruh pendapat Mahkamah dalam putusan judicial review ini merupakan jalan tengah itu sendiri. Pertanyaannya, benarkah seluruh pendapat Mahkamah dalam konteks UU Pencegahan Penodaan Agama merupakan jalan tengah? Inilah pertanyaan kunci yang ingin diuji dalam bagian ini.

JALAN TENGAH: ANTARA DICABUT ATAU DIPERTAHANKAN


Penulis tidak sepenuhnya bisa melihat bahwa keputusan MK ini merupakan jalan tengah sebagaimana diuraikan di atas. Marilah kita lihat hal ini secara hati-hati. Sebelum membuat putusan, MK memetakan adanya tiga kelompok pandangan menyikapi UU Pencegahan Penodaan Agama yang terekam dalam proses persidangan. Pertama, kelompok yang menyatakan UU Penodaan Agama konstitusional dan menghendaki dipertahankan eksistensinya secara apa adanya, tanpa perubahan dan revisi. Kedua, kelompok yang menyatakan UU Penodaan Agama konstitusional tetapi menghendaki dilakukan revisi karena beberapa bagiannya dipandang bermasalah. Ketiga, kelompok yang menyatakan UU Penodaan Agama inkonstitusional dan kerenanya harus dibatalkan dan dicabut. Melihat tiga kelompok tersebut, secara jelas bisa dilihat bahwa jalan tengah itu adalah kelompok kedua. Kalau memang MK melakukan jalan tengah

Lam p iran

167

seharusnya putusannya lebih condong ke kelompok kedua. Sayangnya, putusan MK lebih mengafirmasi cara pandang kelompok pertama daripada kelompok kedua, apalagi kelompok ketiga.6 Sebenarnya, ada upaya MK untuk masuk ke posisi kedua, namun hal itu tidak tampak tegas dilakukan, misalnya dengan menunjukkan aspek-aspek problematik dalam UU Pencegahan Penodaan Agama sebagaimana disampaikan sejumlah ahli dan mendorong DPR melakukan langkah-langkah untuk merevisi UU tersebut. Namun, sekali lagi, tidak ada isyarat yang jelas dari MK mengenai hal ini. Dalam kaitan ini, dalam bagian menimbang, MK hanya menyatakan persetujuannya dengan pendapat para ahli seperti Andi Hamzah, Azyumardi Azra, Edy OS Hiariej, Emha Ainun Nadjib, Siti Zuhro, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Fedyani Saefuddin, Taufik Ismail dan Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan perlunya revisi terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama, baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materiil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik. Setelah menyatakan sikap yang tidak secara tegas mendorong adanya revisi tersebut, MK kemudian berlindung dibalik kewenangan yang dimiliki, dengan menyatakan bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbaikan redaksional dan cakupan isi, melainkan hanya boleh menyatakan apakah sebuah UU yang diujimaterikan itu konstitusional atau tidak konstitusional. Karena seluruh isi UU Pencegahan Penodaan Agama dianggap konstitusional, maka MK tidak dapat mengubah atau membatalkannya. Untuk memperbaiki agar lebih sepurna menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk melakukannya melalui proses legislasi yang normal.7
6) Bandingkan dengan paper yang ditulis Zainal Abidin Bagir, Dimanakah Jalan Tengah? Beberapa Catatan atas Putusan MK mengenai UU Penodaan Agama, tulisan dipresentsikan dalam pertemuan aktivis NGO yang difasilitasi HIVOS di Hotel Grand Kemang Jakarta, 16 Juni 2010. 7) Amar Putusan, h. 304-305.

168 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Argumen normatif MK tersebut memang tidak keliru, tetapi MK sebenarnya bisa lebih progresif sebagaimana dilakukan ketika memutuskan sejumlah judicial review (lihat catatan kaki no. 4). Dengan tetap berada dalam posisi sebagai negative legislator MK sebenarnya bisa sedikit beranjak dengan memberikan guidance dan memberi pernyataan yang kuat bahwa UU Pencegahan Penodaan Agama mengandung sejumlah masalah dan harus direvisi dalam bagian-bagian tertentu. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan MK, sehingga sulit dikatakan MK mendorong adanya revisi UU yang disusun zaman orde lama ini. Bahkan hal yang tampak jelas dari amar putusan adalah penegasan bahwa UU Pencegahan Penodaan Agama adalah konstitusional, tidak ada masalah baik secara formil maupun materiil, masih relevan, bisa melindungi ketentraman beragama, sehingga harus dipertahankan.8 Kalau toh ada kelompok yang merasa terdiskriminasi atau diperlakukan tidak adil melalui UU tersebut, hal itu bukan persoalan norma hukum yang ada dalam UU Pencegahan Penodaan Agama yang bertentangan dengan konstitusi, tapi lebih karena kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi.9 Di sini MK telah mengabaikan berbagai fakta bahwa UU ini telah digunakan bukan saja untuk membatasi ekspresi keberagamaan (forum eksternum) tapi juga untuk membatasi hak privat yang masuk dalam kategori forum internum. MK dengan ringan akan mengatakan, hal itu bukan persoalan norma hukum, tapi problem implementasi. MK memang member argumentasi yang kuat bahwa praktik diskriminasi merupakan kekeliruan, tapi pada saat yang sama MK menolak jika UU Pencegahan Penodaan Agama dikaitkan atau dituduh diskriminatif. Jika ada yang menjadikan UU
8) Amar Putusan, h. 312 9) Lihat Amar Putusan h. 305-306. Terkait dengan penganut aliran kepercayaan yang merasa terdiskriminasi akibat UU Pencegahan Penodaan Agama, MK menyatakan, masyarakat penganut kepercayaan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan dalam konstitusi. Adapun diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan bukan merupakan permasalahan pertentangan UU Pencegahan Penodaan Agama dengan UUD 1945, tapi lebih kesalahan penerapan norma hukum administrasi.

Lam p iran

169

a quo sebagai landasan kebijakan diskriminatif, hal itu merupakan kesalahan implementasi, bukan persoalan UU-nya itu sendiri. Jika cara berpikir ini diikuti, maka kita bisa bertanya: bagaimana kita bisa memastikan bahwa sebuah UU itu benar jika dalam praktiknya justru menimbulkan banyak masalah? Bagaimana sebuah UU dikatakan tidak diskriminatif tapi dijadikan landasan melakukan diskriminasi? Pada titik inilah sebenarnya MK bisa lebih progresif sebagaimana dilakukan dalam kasus-kasus lain, tidak hanya berhenti pada argumen normatif. Mengapa MK lebih memilih untuk mendukung argumentasi kelompok pertama, yang ingin mempertahankan UU Pencegahan Penodaan Agama dan tidak memberi dorongan kuat untuk melakukan revisi? Pertanyaan tersebut agaknya bisa dipahami dengan melihat kutipan sebagai berikut:
.Jika hal tersebut (penodaan agama, pen.) tidak diatur, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan benturan serta konflik horizontal, dapat menimbulkan keresahan, perpecahan, dan permusuhan dalam masyarakat. 10

Ketakutan (ancaman?) akan terjadi anarkhisme sosial senantiasa dikemukakan berbagai kalangan yang menolak pencabutan UU a quo. Mereka selalu mengatakan, jika UU ini dicabut, maka orang akan dengan seenaknya melakukan penodaan agama, akan terjadi kekosongan hukum dan sebagainya. Di pihak lain, pendapat kalangan yang menghendaki UU a quo dicabut justru karena UU inilah yang secara nyata telah melahirkan ketegangan sosial. Dua cara pandang tersebut jelas bertolak belakang. Di sini, MK lagi-lagi tidak mencari jalan tengah tapi justru mengamini ketakutan-ketakutan (bahkan ancaman) akan adanya konflik horizontal. Karena itu, tidak salah jika putusan MK terkait UU Pencegahan Penodaan Agama berada dalam bayang-bayang ketakutan ancaman konflik horizontal.
10) Amar Putusan, h. 287.

170 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Upaya melakukan jalan tengah yang lebih masuk akal justru lebih tampak dari pendapat Hakim Konstitusi Harjono yang memberi alasan berbeda (concurring opinion), meskipun pendapat ini tidak menjadi keputusan final MK. Kalau saja MK mengambil pendapat Hakim Harjono, maka MK bisa dikatakan berhasil menempuh jalan tengah sebagaimana yang Mahkamah inginkan. Dalam kaitan ini, penulis merasa perlu untuk mengemukakan secara agak komprehensif pendapat Hakim Harjono. Menurut Hakim Harjono, rumusan pasal 111 UU Pencegahan Penodaan Agama yang diajukan judicial review memang mengandung sejumlah kelemahan sehingga perlu dilakukan revisi pasal 1 UU a quo oleh lembaga pembuat undang-undang. Memang Hakim Harjono masih menyimpan kekhawatiran, jika UU a quo dicabut maka akan terdapat kevakum-an hukum yang hal itu dapat menimbulkan akibat sosial yg luas. Namun di sisi lain, Hakim Harjono juga mengakui bahwa akibat itu bisa diatasi dengan aturan hukum yang ada, meski hal itu memerlukan social cost yang tinggi. Argumen Hakim Harjono bertolak dari pandangan bahwa dalam kaitan dengan UU Pencegahan Penodaan Agama dan UUD 1945 yang telah mengalami perubahan, ada dua hal yang harus diperhatikan dengan seksama, yaitu perlindungan agama di satu pihak, dan hak kebebasan meyakini sebuah kepercayaan di pihak lain. Hubungan antara dua unsur tersebut harus disatukan dalam formula yang tidak menegasikan satu unsur dengan unsur lainnya. Dalam pandangan Hakim Harjono, penerapan UU a quo secara harfiyah dapat menimbulkan ketidakseimbangan, sehingga merusak keinginan untuk mencari keseimbangan dua unsur tersebut. Untuk menjelaskan kerancuan punyi pasal 1, Hakim Harjono membuat peragaan kasus. Ada seseorang yang dengan keyakinannya
11) Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama berbunyi: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu.

Lam p iran

171

sengaja membuat penafsiran tentang agama lain berdasar dalil-dalil agama yang dia yakini, namun penafsiran tersebut berbeda dengan pokok-pokok ajaran agama lain tersebut. Secara harfiyah, orang tersebut telah memenuhi unsur untuk disebut melakukan penodaan agama, karena ia telah melakukan penafsiran agama yang dianut di Indonesia yang penafsirannya menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama tersebut. Untuk memenuhi unsur delik penodaan agama secara lengkap, maka hal itu harus dinyatakan di muka umum. Apa yang dimaksud di muka umum? Dalam penjelasan pasal 1 UU a qua, di muka umum dimaksudkan apa yang lazim diartikan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian, yang dimaksud di muka umum adalah tempat dimana terdapat lebih dari satu orang, yang artinya terdapat orang lain. Masalahnya, apakah pasal ini memang pasal ini dimaksudkan untuk melarang orang bicara tentang agama lain di depan umatnya sendiri untuk menafsirkan agama lain yang berbeda dengan pokok-pokok ajaran agama lain yang ditafsirkan? Jika ada yang menjawab bukan, dari rumusan mana jawaban itu didasarkan? Dari ilustrasi tersebut, Hakim Harjono menyakini bahwa pasal 1 UU a quo dari sudut redaksional mengandung ketidakjelasan sehingga tidak memenuhi syarat bahwa perumusan undang-undang tindak pidana haruslah jelas (lex certa). Apabila rumusan Pasal 1 UU a quo tidak dimaksudkan untuk melarang ceramah agama yang mengandung tafsir terhadap agama lain yang berbeda dengan pokok-pokok ajaran agama lain tersebut yang ceramah dilakukan hanya hadapan penganut agama dari penceramah, Hakim Harjono berpendapat, maksud tersebut dapat dilakukan dengan cara memberi batasan tentang unsur di muka umum. Hal itu bisa dilakukan dengan tidak memasukkan pengertian di muka umum apabila perbuatan menceritakan tersebut meskipun di hadapan banyak orang namun di tempat yang hanya dimaksudkan untuk dihadiri oleh penganut agama yang sama dengan agama penceramah atau di tempat yang dimaksudkan demikian. Hal ini menunjukkan bahwa ada kelemahan yang harus diakui

172 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

dalam pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama. Karena itu, Hakim Harjono, menyarankan perlunya melakukan revisi oleh lembaga pembuat UU. Hakim Harjono memang tidak menyarankan untuk mencabut atau membatalkan UU a quo karena kekhawatiran adanya ke-vakum-an hukum dan kekacauan sosial. Ia berpendapat, dengan dasar asas kemanfaatan sambil menunggu penyempurnaan yang dilakukan oleh pembuat UU, untuk sementara waktu UU a quo perlu dipertahankan. Dalam beberapa putusannya Mahkamah dapat menetapkan status suatu bagian UU sebagai conditionally constitutional dengan cara memberikan syarat keberlakukannya. Namun, menurutnya, terhadap pasal 1 UU a quo hal demikian tidak dapat dilakukan karena syarat tersebut akan sangat umum sifatnya, padahal penerapan pasal tersebut berlaku untuk semua agama yang masing-masing mempunyai karakteristik berbeda antara satu dengan yang lain. Untuk mengatasi hal demikian, sebenarnya dapat dilakukan oleh hakim yang memutus perkara konkret dengan mempertimbangkan perubahan yang ada untuk menyelaraskan dua unsur tersebut di atas. Pendapat Hakim Konstitusi Harjono ini, dalam pandangan penulis lebih dapat disebut sebagai jalan tengah. Di samping secara eksplisit dia menyebut adanya kelemahan dalam UU Pencegahan Penodaan Agama, dia juga lebih tegas untuk mendorong DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang melakukan revisi. Hal ini berbeda dengan keputusan yang diambil Mahkamah, yang cenderung menafikan problem yang ada dalam UU a quo. Pendapat sejumlah ahli, termasuk ahli yang secara khusus diundang MK, yang memandang perlunya melakukan revisi terhadap UU a quo sebenarnya cukup kuat terlontar sebagai bagian dari fakta persidangan. Yusril Ihza Mahendra, misalnya, setelah menyatakan bahwa secara formil maupun materiil UU itu tidak berlawanan dengan konstitusi, ia menyatakan juga bahwa dari segi bentuk pengaturan, rumusan, kaidah-kaidah hukumnya perlu disempurnakan (h. 222). Dia juga menunjukkan adanya kekacauan (berdasarkan UU No.

Lam p iran

173

10/2004) dalam penjelasan Pasal 1 dan Pasal 2, karena penjelasan itu mengandung norma, yang tidak ada dalam pasal. Persoalan lain adalah penerapan UU itu yang tidak ideal, meskipun hal itu terjadi hampir pada semua ketentuan pidana di Indonesia. Meskipun penerapan yang tidak ideal tersebut tidak menggugurkan norma dalam teks, namun hal itu penting untuk mendapat perhatian, karena pasti ada sesuatu yang keliru. Karena itu Yusril pada akhirnya menyarankan DPR, Presiden dan Kementrian terkait untuk menyempurnakan UU itu, dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan, sehingga hal-hal yang dirasakan kurang sempurna dapat disempurnakan bersama. Ahli-ahli lain juga menyatakan adanya problem serupa. Ahli EOS Hiariej menyebutkan bahwa UU a quo sering digunakan untuk menghakimi pemikiran dan keyakinan seseorang, tidak semata-mata soal ekspresi atas pikiran dan keyakinan. Meski hal ini tidak bisa dijadikan argumen untuk membatalkan norma dalam UU a quo, namun hal ini menunjukkan bahwa UU ini problematis. Azyumardi Azra juga menegaskan hal yang sama, dimana perlu adanya revisi untuk menghindari ambiguitas dan ekses-ekses negatif yang ditimbulkan dari UU a quo. Sejumlah ahli lain juga menyatakan hal yang kurang lebih sama untuk mendorong perlunya penyempurnaan karena UU ini telah menciptakan kecemasan terus menerus.12

JALAN TENGAH: ANTARA NEGARA ISLAM DAN NEGARA SEKULER?


Aspek jalan tengah kedua yang ingin ditunjukkan dalam putusan MK ini adalah persoalan pertarungan lama dalam sejarah pendirian Negara Indonesia sejak masa-masa awal kemerdekaan, yaitu pertarungan ideologi Negara Islam dan Negara sekuler.13 Dalam kaitan ini, putusan MK ini tidak
12) Lihat Amar Putusan MK, h. 210-224. 13) Perdebatan lebih jauh mengenai pergumulan ini, baca Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina,

174 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

semata-mata bicara soal hukum dan konstitusi, tapi sudah merambat ke persoalan politik, bukan politik kekuasaan, tapi politik kenegaraan. Persoalan ini sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan UU Pencegahan Penodaan Agama, tapi MK tampaknya mempunyai kepentingan untuk mengangkat tema ini hanya untuk menunjukkan bahwa Negara mempunyai legitimasi untuk mengintervensi keyakinan keagamaan warganya. Sebagaimana dimaklumi, dalam sejarah pendirian Negara Indonesia, para founding fathers kita pernah berdebat sengit mengenai bentuk Negara. Menurut para ahli sejarah, mereka terbagi dalam dua kelompok besar: nasionalis Islam, yang menghendaki agar Islam menjadi dasar Negara; dan nasionalis sekuler yang menghendaki Indonesia sebagai Negara nasional dengan Pancasila sebagai dasar Negara. Dua arus tersebut ditengahi dengan adanya gagasan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, yang menambahkan tujuh kata setelah Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu: dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata Piagam Jakarta ini pun akhirnya dihilangkan karena adanya penolakan dari tokoh Indonesia timur. Meskipun penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta termasuk bagian dari sejarah yang agak gelap, namun tujuh kata tersebut memang telah menempatkan Islam dalam posisi yang lebih istimewa dibanding agama-agama lain. Hal ini bisa menjadi bumerang dalam menapaki kehidupan ke depan. Karena itu, demi menjaga integrasi bangsa, tokoh-tokoh Islam kala itu merelakan penghapusan tujuh kata tersebut. Dari sejarah itulah, muncul adagium untuk menggambarkan Negara Indonesia: bukan Negara sekuler dan bukan Negara agama. Dikatakan bukan Negara sekuler karena Negara Indonesia tidak menafikan peran agama dalam kehidupan berbangsa; dan tidak dikatakan Negara agama karena Negara Indonesia tidak didasarkan pada keyakinan agama tertentu, yang lazim disebut sebagai Negara teokrasi. Bagi kalangan
1999).

Lam p iran

175

yang tidak memahami pergumulan pembentukan Negara Indonesia pasti sulit memahami adagium tersebut. Dalam amar putusannya, MK tampak sekali berupaya untuk meniti jalan tengah tersebut yang diawali dengan membangun argumen mengenai relasi agama dan Negara. Titik tolak argumentasi MK mengenai relasi agama dan Negara adalah Pancasila. Pancasila sebagai dasar Negara harus diterima seluruh warga Negara, baik secara individu maupun kolektif. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila memberikan landasan yang kuat bahwa Indonesia Negara ber-Tuhan. Hal ini kemudian dituangkan dalam konstitusi, UUD 1945 Pasal (29): Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, sejak awal Negara Indonesia adalah Negara ber-Tuhan, bukan saja warganya, tapi negaranya pun harus ber-Tuhan. Karena itu, orang yang mengaku tidak ber-Tuhan tidak punya hak hidup di Indonesia. Domain keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah domain forum internum yang merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pandangan MK, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurunkan Undang-Undang yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan mengajarkan agama sebagai suatu mata pelajaran, sesuai dengan agama masing-masing. Mengajarkan agama berarti mengajarkan kebenaran keyakinan agama kepada peserta didik, yaitu siswa dan mahasiswa. Dengan demikian, pengajaran pendidikan agama di sekolah (negeri) bukan dilihat sebagai intervensi, sebaliknya sebagai fasilitasi Negara terhadap kebutuhan masyarakat untuk mempelajari ajaran agama. Namun, pada bagian berikutnya, ada kutipan yang agak aneh, karena MK mengutip dari Majalah Media Dakwah dan Suara Hidayatullah dua majalah yang lebih berhalauan Piagam Jakarta. Pada bagian itu disebutkan:
Di Amerika mengajarkan agama di sekolah-sekolah negeri adalah inkonstitusional, hal ini karena adanya kebebasan beragama dan kebebasan untuk tidak beragama.

176 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Keyakinan beragama atau tidak beragama merupakan forum internum bagi setiap warga negara yang tidak boleh diintervensi oleh Negara 14

Kutipan tersebut, bukan saja menunjukkan cara pandang yang layak dipertanyakan, tapi juga mengandung simplifikasi yang berlebihan. Mengatakan bahwa di AS dilarang mengajarkan agama di sekolah-sekolah negeri karena adanya kebebasan beragama jelas merupakan pernyataan yang serampangan. Kutipan tersebut bisa ditafsirkan, karena di Indonesia tidak ada kebebasan beragama dan tidak ada kebebasan untuk tidak ber-Tuhan, maka agama harus diajarkan di sekolah. Cara pandang demikian tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Argumen MK sebenarnya masih bisa diterima, sejauh hal tersebut sebagai bentuk pelayanan Negara, bukan pemaksaan atas sebuah keyakinan kepada anak didik. Inilah yang dimaksud MK sebagai perspektif ke-Indonesiaan mengenai posisi agama yang membedakan dengan demokrasi Barat. Di Indonesia, agama bukan hanya dipeluk, tapi nilai-nilainya menjadi salah satu pembatas kebebasan asasi seseorang semata-mata untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain. Sampai di sini ada argumen yang tidak runtut dari MK, kalau tidak dikatakan melompat. Setelah menjelaskan bahwa nilai-nilai agama bisa digunakan untuk membatasi kebebasan seseorang, MK tidak memberi elaborasi apapun. MK justru menjelaskan hal yang sebaliknya, yaitu adanya semacam state favoritism, meskipun hal tersebut tidak selalu bisa disebut sebagai diskriminasi. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan MK bahwa, dalam tingkat politik kenegaraan, Negara membentuk satu kementerian khusus yang membidangi urusan agama yaitu Kementerian Agama. Hari-hari besar keagamaan dihormati dalam praktik bernegara. Demikian pula hukum agama dalam hal ini syariat Islam yang terkait dengan nikah, talak, rujuk, waris, hibah,
14) Amar Putusan MK, h. 273

Lam p iran

177

wasiat, wakaf, ekonomi syariah, dan lain-lain telah menjadi hukum negara khususnya yang berlaku bagi pemeluk agama Islam.15 Kutipan tersebut jelas bukan merupakan penjelasan adanya pembatasan kebebasan seseorang untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain. Tapi justru menjelaskan bagaimana Negara mengakomodasi tradisi dan hukum agama (Islam) menjadi bagian dari hukum Negara. Barangkali MK mengangkat hal ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah Negara yang secara tegas memisahkan antara urusan agama dan urusan politik, dan inilah tipikal Indonesia yang berbeda dari Negara-negara demokrasi Barat. Secara tidak disadari, akomodasi seperti inilah yang sebenarnya dikehendaki Piagam Jakarta dimana umat Islam mempunyai hukum sendiri yang diberlakukan melalui Negara. Melalui Amar Putusan ini secara tidak disadari sebenarnya MK sedang melegitimasi ideologi politik Piagam Jakarta. Sebagai realitas politik, akomodasi tradisi dan syariah Islam dalam politik Indonesia merupakan konsekuensi dari politik Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ditekankan MK. Pertanyaannya, sejauh mana akomodasi tradisi dan syariah Islam bisa diakomodasi dalam struktur kenegaraan Indonesia? Apakah hanya hukum keluarga, peradilan agama, zakat, wakaf, haji, dan hukum ekonomi (perbankan) Islam saja yang bisa diformalisasikan dalam hukum nasional yang hanya berlaku bagi umat Islam? Batas akomodasi inilah yang lepas dari perhatian MK. Apakah, misalnya, kalau ada orang memperjuangkan hukum pidana Islam menjadi hukum nasional yang diimplementasikan melalui peradilan agama dan hanya berlaku bagi umat Islam, masih bisa dianggap sebagai bentuk akomodasi untuk menegaskan politik Ketuhanan Yang Esa. Inilah problem krusial hubungan agama dan Negara yang tidak tuntas diulas MK. MK mengulas persoalan posisi agama dalam Negara justru hanya untuk menegaskan bahwa
15) Lebih jauh lihat Amar Putusan MK, h. 275.

178 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Negara mempunyai kewenangan untuk mengintervensi beberapa segi kehidupan Beragama, termasuk dengan mengkriminalisasi perbutan-perbuatan yang dikategorikan sebagai penodaan agama. Inilah yang dimaksud MK dalam kutipan berikut:
Pasal-pasal penodaan agama tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridis saja melainkan juga aspek filosofisnya yang menempatkan kebebasan beragama dalam perspektif keindonesiaan, sehingga praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia. Terlebih lagi, aspek preventif dari suatu negara menjadi pertimbangan utama dalam suatu masyarakat yang heterogen.16

Legitimasi delik penodaan agama tersebut berdiri diatas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi poros dari seluruh sistem hukum di Indonesia. Dalam pandangan MK, prinsip hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama, serta nilainilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme.

ANTARA KEBEBASAN BERAGAMA DAN PENODAAN AGAMA


Salah satu argumen MK dalam merumuskan keputusan dalam judicial review ini adalah, UU No.1/PNPS/1965 tidak ada hubungan dengan kebebasan beragama, tapi hanya terkait dengan penodaan agama. Berikut ini penulis akan mengutip sejumlah pernyataan yang menjadi pertimbangan16) Amar Putusan MK, h. 274.

Lam p iran

179

nya MK dalam mengambil keputusan. Sejumlah pernyataan tersebut antara lain:


Menimbang bahwa menurut Mahkamah, UU Pencegahan Penodaan Agama tidak menentukan pembatasan kebebasan beragama, akan tetapi pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama serta pembatasan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. 17

Pada bagian lain, amar putusan MK juga menyatakan:


Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat UU Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan dan sama sekali tidak bertentangan dengan perlindungan HAM ebagaimana diatur di dalam UUD 1945. Dalam kaitan ini, Mahkamah sependapat dengan Ahli Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang menyatakan; pertama, UU Pencegahan Penodaan Agama bukan Undang-Undang tentang kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia melainkan Undang-Undang tentang larangan penodaan terhadap agama. Kedua, UU Pencegahan Penodaan Agama lebih memberi wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya tindakan anarkis apabila ada penganut suatu agama yang merasa agamanya dinodai. Dengan adanya UU Pencegahan Penodaan Agama, jika masalah seperti itu timbul maka dapat diselesaikan melalui hukum yang sudah ada (UU Pencegahan Penodaan Agama). Di samping itu, substansi Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan beragama, melainkan untuk memberikan rambu-rambu tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Penodaan agama atau penghinaan terhadap agama (blasphemy atau defamation of religion) juga merupakan bentuk kejahatan yang dilarang oleh banyak negara di dunia. Secara substantif
17) Amar Putusan MK, h. 287.

180 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak dapat serta merta diartikan sebagai bentuk dari pengekangan forum externum terhadap forum internum seseorang atas kebebasan beragama.18

Hal tersebut ditegaskan ulang pada bagian berikutnya:


Bahwa permohonan pemohon telah keliru memahami pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama sebagai sebuah pembatasan atas kebebasan beragama. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama adalah bagian tidak terpisahkan dari maksud perlindungan terhadap hak beragama warga masyarakat Indonesia sebagaimana yang terkandung dalam inti UU Pencegahan Penodaan Agama yakni untuk mencegah penyalahgunaan dan penodaan agama demi kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama sejalan dengan amanat UUD 1945 yakni untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik (the best life possible) dan karenanya dalil-dalil Pemohon harus dikesampingkan.19

Dari kutipan tersebut, ada catatan penting untuk mendapat perhatian. Pertama, Dengan mengamini pendapat ahli, KH. Hasyim Muzadi, Mahkamah yakin betul bahwa UU Pencegahan Penodaan Agama tidak ada hubungan dengan kebebasan beragama. Alih-alih membatasi kebebasan beragama, UU Pencegahan Penodaan Agama justru untuk melindungi kebebasan beragama. Benarkah demikian? Penulis tidak sepenuhnya setuju dengan cara pandang demikian. Baik langsung maupun tidak langsung, baik secara teoritikkonseptual maupun dari segi praktek dalam pengadilan, delik penodaan agama tidak dapat dilepaskan dari kebebasan beragama.
18) Amar Putusan MK, h. 294. 19) Amar Putusan MK, h. 295.

Lam p iran

181

Dalam kaitan ini ada semacam kontradiksi dalam logika Mahkamah. Di satu sisi, Mahkamah menolak mengkaitkan UU Pencegahan Penodaan Agama dengan kebebasan beragama, namun di sisi lain Mahkamah mengajukan argumen bahwa kebebasan beragama tidaklah mutlak, dan UU ini merupakan bentuk pembatasan terhadap kebebasan beragama. Demikian juga dalam berbagai bagian, Mahkamah senantiasa menyebut berbagai teori kebebasan beragama. Kedua, Salah satu aspek dari argumen MK dalam persoalan penodaan agama adalah persoalan individualisme dan komunalisme. Kebebasan beragama merupakan konsep yang lebih dekat dengan hak individu, sedang konsep penodaan agama diarahkan untuk melindungi hak komunal. Dengan demikian, tidak mengkaitkan persoalan penodaan agama dengan kebebasan beragama merupakan cara mengelak dari perbincangan yang lebih serius. UU Pencegahan Penodaan Agama merupakan UU yang memang dibuat untuk membatasi kebebasan seseorang, bukan saja dalam menyangkut cara mengekspresikan keyakinan (forum eksternum), tapi juga terkait dengan keyakinan dan penafsiran seseorang atas agama (forum intenum). Karena itu, yang tidak mutlak bukan forum eksternum, tapi hal-hal yang masuk kategori forum internum, seperti soal penafsiran agama, pun tidak mutlak. Simaklah kutipan berikut:
Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, namun penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut. Tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi yang umum diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum. Dalam

182 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

hal demikianlah menurut Mahkamah pembatasan dapat dilakukan.20

MK secara eksplisit mangakui bahwa penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan kebebasan yang berada dalam wilayah forum internum. Namun, demi kepentingan komunal dan politik Ketuhanan Yang Maha Esa maka forum internum pun bisa dibatasi. Hal ini berbeda dengan doktrin HAM dan kebebasan beragama internasional yang melarang intervensi terhadap forum internum. Pada wilayah ini, yang perlu dilakukan Negara adalah memberi perlindungan agar hak-hak tersebut tidak diganggu orang lain. Konsep inilah yang disebut negative rights, yaitu kebebasan dalam bentuknya yang negatif, yang terdiri dari unsur bebas untuk melakukan berbagai hal yang bisa membuat manusia menjadi manusia yang bebas. Hukum moralitas atau nilai-nilai sosial yang mengatur tentang larangan melakukan intervensi mengandung unsur kebebasan negatif. Aturan tersebut untuk melindungi hak seseorang dari semua bentuk intervensi yang dapat mengganggu kebebasannya.21 Nah, larangan melakukan prosiletisme (penyebaran agama secara tidak patut) dan penghujatan agama sebenarnya dalam konteks ini. Kadang-kadang dalam penyebaran agama dilakukan dengan mengganggu kebebasan orang lain, sehingga Negara perlu melakukan intervensi dalam bentuk perlindungan kepada pemeluk agama. Demikian juga larangan penghujatan agama dimaksudkan untuk melindungi perasaan keagamaan individu dari kemungkinan dilukai orang lain. Dengan menghukum proselitisme, sebenarnya Negara melakukan intervensi terhadap kebebasan individu dalam
20) Amar Putusan MK, h. 288-289. 21) Berbeda dengan konsep negative rights adalah positive rights, atau kebebasan positif. Kebebasan dalam bentuknya yang positif menekankan pada perlunya intervensi Negara untuk memastikan terwujudnya sebuah bentuk kebebasan yang menentukan seseorang untuk bisa mengatur bentuk-bentuk kehidupan manusia yang diinginkan. Jika tidak dilakukan intervensi, justru kebebasan itu akan terancam. Lebih jauh lihat Al-Hanif, SH, MA, LL.M, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, (Yogyakarta: Leksbang Grafika, 2010), h. 90-91.

Lam p iran

183

memanifestasikan agamanya demi melindungi kebebasan keagamaan orang lain untuk tidak berpindah agama. Demikian juga, pemberian hukuman pada pelaku penghujatan agama, merupakan bentuk intervensi Negara terhadap kebebasan berekspresi demi melindungi perasaan keagamaan orang lain.22 Ketiga, konsep penodaan agama dikacaukan dengan penyataan kebencian (hatred speech). Untuk menghindari kesalahpahaman, perlu dirumuskan bahwa penodaan agama hanya terkait dengan hujatan dan pernyataan kebencian, sehingga aspek penafsiran keyakinan agama dikeluarkan dari perbincangan persoalan penodaan agama. Artinya, seseorang tidak bisa dituduh melakukan penodaan agama hanya karena persoalan penafsiran keagamaan, meskipun penafsiran tersebut berbeda, bahkan menyimpang dari pemahaman kebanyakan orang. Sayangnya, hal ini tidak ditegaskan MK, bahkan MK meligitimasi adanya delik penodaan agama yang terkait dengan tafsir keagamaan. Hal inilah yang seharusnya menjadi sasaran revisi UU Pencegahan Penodaan Agama. Pembatasan kebebasan beragama hanya terkait dengan pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, pelecehan dan terhadap simbol-simbol suatu agama.

22) David Llewellyn and H. Victor Conde, Freedom of Religion or Belief Under International Humanitarian Law, dalam Tore Lindolm, W. Cole Durham (editor), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, (Oslo: The Norwegian Centre for Human Rights, 2004), h. 160-163.

Lampiran 4 MENGAPA DITOLAK SERUAN MEMBAWA BANGSA INDONESIA YANG BERKEADILAN HUKUM DAN BERKEADILAN SOSIAL?1 Oleh : Sulistyowati Irianto2
PENGANTAR
Bagaimanakah hukum memproyeksikan kelompok rentan, utamanya orang miskin, perempuan dan kelompok minoritas termasuk agama minoritas? Apakah hukum memperhitungkan pengalaman dan realitas mereka? Apakah hukum memberi keadilan kepada mereka? Benarkah keadilan hukum identik dengan keadilan sosial? Bagaimanakah hukum yang netral dan obyektif justru berdampak merugikan kelompok rentan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar bagaimana kita dapat mengkritisi hukum dan relasinya dengan masyarakat. Khususnya dalam masyarakat yang berlapis, ada jurang yang sangat tajam antara kelompok kaya dan miskin, antara kelompok yang memiliki kuasa dan yang tidak, kita masih belum bisa mengatakan justice for all, melainkan justice for the poor and disadvantaged group. Dalam kondisi seperti ini prioritas akses keadilan harus diberikan terlebih dahulu kepada kelompok yang tidak diuntungkan, sebagai langkah awal menuju akses keadilan bagi semua pada akhirnya. Pertanyaan serupa ini pula yang akan saya gunakan untuk dapat mengkaji perdebatan soal UU No 1/1965 tentang
1) Disampaikan dalam Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Penolakan terhadap judicial review UU no 1/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama, diadakan oleh the Indonesian Legal Resource Center, 9 Agustus 2010. 2) Guru Besar Antropologi Hukum di Fakultas Hukum, Ketua Program Pascasarjana Antropologi, FISIP UI

186 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini. Di hadapan saya telah terbentang berbagai dokumen berisi pemikiran dari para pihak yang terkait dengan permohonan judicial review terhadap UU No.1/1965, perdebatan terhadap UU ini sangat luas, mencakup perdebatan akademik yang sangat mendasar dan cerdas yang bertujuan pemulihan nilai kemanusiaan dan kebangsaan atas pencabutan atau revisinya, tetapi juga ada pandangan yang bermuatan politik ideologis praktis yang sempit yang menginginkan keberadaannya dipertahankan. Para pemohon adalah masyarakat sipil baik secara kelembagaan maupun individu,3 yang peduli terhadap hakhak dasar warganegara dalam suatu negara yang berlandaskan the Rule of Law dan menjadikan sumber hukum tertinggi Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dalam hal ini tidak dipertanyakan lagi, latar belakang agama, golongan, kelas apapun dari para pemohon, karena yang diperjuangkan adalah tujuan yang lebih besar untuk kepentingan keberlangsungan bangsa saat ini dan masa depan. Mereka adalah masyarakat pro demokrasi. Di antara para pihak, utamanya saksi ahli, yang menyampaikan pandangan dan pikirannya4 terdapatlah banyak
3) Pihak pemohon judicial review adalah tujuh organisasi masyarakat yaitu Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, YLBHI, dan perorangan: KH Abdurahman Wahid, Prof Dr. Musdah Mulia, Prof M Dawam Raharjo dan KH Maman Imanul Haq 4) Para pihak yang menginginkan agar UU PNPS no 1/1965 dicabut atau setidaknya direvisi: Tokoh-tokoh cendekiawan, termasuk cendekia lintas agama antara lain :Prof Dr Ahmad Syafii Maarif (Mantan ketua PP Muhammadiyah, Guru Besar IKIP Yogyakarta), Lutfhi Assaukani, PhD (Dosen Universitas Paramadina), Prof Dr Franz Magnis Suseno, SJ (Guru Besar Filsafat, STF Driyarkara), Prof Dr Sutandyo Wighnosubroto (Guru Besar Univ Airlangga), Prof Dr J.E. Sahetapy, SH MA (GB UNAIR, ahli pidana), MM Billah (mantan Anggota Komisi HAM), W Cole Durham, Jr (Prof of Law & director of the International Center for Law & Religion Studies), Siti Zuhro PhD (APU, LIPI), Dr Tamrin Amal Tomagola (ilmuwan, pengajar UI), Azyumardi Azra (Guru Besar Sejarah & Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jkt), Soritua Nababan (Saksi ahli gereja Kristen), Ulil Abshar Abdalla (Saksi ahi filsfat, teologi dan Islam), Prof Dr Andi Hamzah, Dr Mudji Sutrisno, Emha Ainun Najib, Prof Dr jalaludin, Dr Moeslim Abdurahman, Taufik Ismail, Prof Dr. Komaruddin Hidayat, Prof Dr A Fedyani, Prof Dr Yusril Ihza Mehendra, Djohan Effendi, Garin Nugroho. Masyarakat Adat: Suaka Adat Ka-

Lam p iran

187

pakar dari berbagai disiplin ilmu, di antaranya adalah juga para tokoh cendekiawan besar yang dihormati karena ilmunya dan berasal dari lintas agama, para ilmuwan dari kampus dan lembaga penelitian, figur-figur yang dikenal dalam Komisi Nasional HAM. Di samping itu juga terdapat hasil-hasil kajian lembaga dari lembaga kajian akademik universitas ternama, dan Komnas Perempuan, bahkan beberapa lembaga kajian internasional. Isu ini juga mendapat perhatian dari PBB dengan munculnya pandangan dari the UN Special Rapporteur on Freedom of Religion or Belief. Dari tingkat lokal beberapa perkumpulan dan himpunan masyarakat adat menyampaikan pula pandangannya. Nampaklah bahwa persoalan ini memasuki ranah perdebatan akademik. Berbagai argumen yang mendasar, detail, dan cerdas telah diketengahkan dari berbagai latar belakang ilmu sepert filsafat, teologi, sejarah, hukum, sosiologi, antropologi, sosio-legal, dan studi perempuan. Saya merasa tidak perlu mengulangi lagi pandangan-pandangan tersebut. Keragaman pandangan dan pemikiran interdisipliner ini telah memaparkan betapa keberadaan UU No.1/1965 telah gagal menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat. Bahkan UU ini ketika diturunkan dalam putusan politik berupa SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri, dalam praktiknya justru terbukti menjadi acuan bagi suatu kelompok untuk meniadakan bahkan dengan kekerasan- kelompok lain, atas dasar klaim penodaan agama.5 Padahal secara prosedural

sunyatan Jawi, Adat Musi BKOK dan Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa (HPK), Lembaga: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Univ Gadjah Mada. KOMNAS PEREMPUAN, dan KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA. Lembaga Internasional: The Becket Fund for Religious Liberty, Global Campaign for Free Expression, Amnesty International, Cairo Institute for Human Rights Studies, Egyption Initiative for Personal Rights Para pihak yang menginginkan UU PNPS dipertahankan: Front Pembela Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Majelis Ulama Indonesia Pimpinan Pusat Al_Irsyad AlIslamiyyah, Hisbut Tahir Indonesia, Ittihadul Muballighin dan individu Abujamin Roham, Pemerintah dan DPR 5) Kasus penyerangan dan penyerbuan terhadap kelompok Ahmadiyah yang terus menerus terjadi sampai saat ini

188 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

dan sistematika dalam law making process6 menjadikan SKB Tiga Menteri sebagai acuan hukum itu tidak berdasar, karena SKB itu lebih merupakan kebijakan politik (Wignyosubroto, 2010). Dari hasil kajiannya Komnas Perempuan menemukan terdapat sekitar 21 produk kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara dan pemerintaan, baik di tingkat nasional maupun lokal mengenai Peringatan dan Perintah terhadap Kelompok Ahmadiyah, yang mencantumkan UU no 1/PNPS/1965 sebagai dasar hukumnya (Komnas Perempuan, 2010: 6). Berdasarkan pandangan dan kajiannya itu para ahli dan lembaga kajian sampai pada kesimpulan bahwa UU ini tidak dibutuhkan atau setidaknya perlu direvisi. Beberapa lembaga seperti Komnas Perempuan bahkan berpendapat bahwa UU ini adalah inkonstitusional. Hasil pemikiran banyak pihak ini telah menggugurkan suatu hipotesis, bahwa bila UU ini dicabut maka agama tidak terlindungi. Dalam konteks Indonesia, agama yang mana yang tidak terlindungi? Tidak terlindungi dari siapa? Bagaimana dengan realitas keberadaan agama di luar enam agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu sekitar 244-an aliran kepercayaan asli nusantara dalam bentuk aliran, sekte, tarekat, kredo yang dianut oleh kelompok masyarakat (adat ) yang tersebar di berbagai wilayah tanah air. Apakah mereka terlindungi? jumlah mereka yaitu sekitar 12 juta, dalam hitungan kuantitas cukup banyak. Namun keberadaan mereka tidak diakui secara formal, yang padahal sudah menyejarah bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir.

SPIRITUALITAS DAN IDENTITAS KEAGAMAAN


Dalam setiap diri manusia yang berpikir dan berakal budi terdapat esensi spiritual, yang keberadaannya sangat melekat dalam kodrati kehidupan. Hal ini adalah takdir alam,
6) Berdasarkan tatacara penyusunan peraturan perundang-undangan yang termuat dalam UU No 10/2004

Lam p iran

189

yang sangat bisa bersifat ilahi. Tidak seorangpun bisa menolaknya, bahkan negarapun tidak. Selanjutnya berdasarkan pengetahuan, pengalaman, kondisi geografis, sejarah, lokalitas dan budaya, manusia baik secara individu maupun kelompok, menciptakan identitasnya. Identitas adalah suatu konstruksi tentang diri atau kelompok, oleh siapa dan untuk tujuan apa. Menjadi penting dalam hal ini adalah seseorang ingin disebut apa dan sebagai siapa oleh dirinya sendiri atau orang lain. Tidak ada manusia tanpa nama, bahasa dan budaya, yang membedakan dia dari manusia atau kelompok lain. Identitas adalah sumber makna dan pengalaman (Castells, 2010: 6-7). Identitas terkait dengan budaya dan atribut budaya. Identitas etnik dan keagamaan adalah contoh identitas yang paling kuat, meskipun seseorang bisa memiliki banyak identitas lain sebanyak jaring sosial yang dia masuki. Dia juga bisa mengaktifkan salah satu identitasnya untuk tujuan misalnya, agar bisa lebih diterima dalam suatu kelompok dimana dia berada. Namun dalam hal ini kita sedang berbicara tentang identitas keagamaan. Dalam hal ini spiritualitas dalam diri seseorang bisa diwujudkan, diekspresikan dalam identitas agama apapun yang dirasa paling dapat memenuhi esensi spiritualitasnya. Dengan demikian orang per-orang yang secara kodrati memilki spiritualitas dalam dirinya, bisa mengidentikkan dirinya itu ke dalam salah satu identitas agama manapun. Dalam hal ini lebih dikuatkan bahwa pilihan orang terhadap identitas keagamaannya adalah urusan yang sangat privat, yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya orang bersangkutan, dan sudah barang tentu tidak bisa dicampuri oleh orang lain bahkan negara. Sangat tidak realistis dan tidak logis apabila negara menciptakan hukum untuk menentukan klaim kebenaran atas pengakuan terhadap agama-agama resmi dan tidak resmi, atau menentukan suatu tindakan sebagai penodaan agama atau bukan. Di samping tidak memiliki otoritas untuk memasuki ranah privat esensial dalam diri warganegara, intervensi semacam itu justru mengacaukan tata kehidupan masyarakat yang bermartabat. Namun hal ini sudah ter-

190 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

jadi, dan beginilah kata mereka, kelompok yang merasakan dampak dari pengaturan negara di ranah privat. Masyarakat adat (penghayat kepercayaan) menjadi bagian yang paling terdiskriminasi oleh berbagai macam perundang-undangan, sebagai pemilik Negeri asli tidak mampu dan tidak berdaya untuk berupaya mendapakan hak-haknya kembali, padahal masyarakat penghayat telah berbuat banyak (Suaka Adat Kasunyatan Jawi, 2010: 9). Bagaimana dampak dari implementasi hukum negara dalam ranah privat menyangkut keagamaan? Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bagaimana UU No.1 /1965 ini menjadi payung untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah termasuk perempuan dan anakanak. Perempuan Ahmadiyah mengalami kekerasan seksual dan ancaman kekerasan pada saat penyerangan terhadap komunitasnya di berbagai wilayah tanah air. Tidak hanya itu mereka juga terkendala mendapatkan akses keadilan karena perkawinan perempuan Ahmadiyah dengan seorang Muslim lain tidak diakui oleh negara dan anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak haram, sebagaimana yang terjadi di Lombok. Para perempuan itu juga tertutup akses ekonominya, karena harus menyerahkan gudang pisang dan kelapanya kepada orang lain. Atau seorang perempuan lain berhenti berjualan di pasar karena mendapat ejekan Haram, orang Ahamdiyah itu! Perempuan juga mengalami keguguran dalam pengungsian dalam upayanya menyelamatkan diri dari penyerangan. Perempuan lain mengalami kesulitan dalam proses kelahiran di hutan setelah mendapat ancaman perkosaan dari massa penyerang. Anak-anak Ahmadiyah mengalami diskriminasi di sekolah baik dilakukan oleh sesama murid, guru, maupun institusi sekolahnya (Komnas Perempuan 2010: 8-10).

WAJAH LAIN DARI HUKUM


Dalam perspektif sosio-legal hukum itu berwajah banyak, ia dapat didekati dengan berbagai pendekatan di luar

Lam p iran

191

ilmu hukum. Para antropolog hukum melihat hukum tidak sekedar sebagai suatu konsepsi normatif yang berisi hal-hal yang dilarang dan dibolehkan. Namun hukum juga berisi konsepsi kognitif tentang apa yang diatur tersebut. Oleh karena itu, semua hukum dan norma-norma sosial dalam masyarakat sepakat melarang dan tidak membolehkan penodaan dan penistaan agama. Namun kognisi tentang penodaan dan penistaan menjadi bermasalah, karena hal itu sangat terkait dengan bagaimana hukum itu diinterpretasi. Sebagai sebuah teks, hukum bersifat multitafsir. Hukum bisa ditafsirkan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa. Dalam konteks ini kelompok Ahmadiyah dikatakan bermasalah karena mencantumkan identitasnya sebagai Islam. Sementara itu di Sulawesi Utara misalnya ada banyak sekali sekte dengan gerejanya masing-masing, yang menggunakan beragam nama, tetapi tetap menggunakan identitas Kristen, dan tidak ada satu kelompok Kristen pun yang berkeberatan dengan hal itu. Menjadi pertanyaan, apakah benar hukum merupakan formalisasi dari kehendak rakyat untuk mewujudkan keadilan bersama? Dengan demikian tanpa dipertanyakan lagi hukum diasumsikan sudah pasti mengandung nilai-nilai kebenaran, moral, keadilan, sehingga jaminan netralitas dan obyektifitas hukum dapat diandalkan. Namun secara kritis kita melihat bahwa hukum sebenarnya adalah produk dari tawar menawar politik, dan pemerhati studi hukum kritis percaya bahwa hukum diciptakan untuk mendefinisikan kepentingan. Dalam hal ini kita juga melihat bahwa UU no 1/1965 --dan berbagai turunannya, termasuk SKB Tiga Menteri-- Putusan Mahkamah Konstitusi yang berisi penolakan terhadap permohonan (judicial review) digunakan untuk mendefinisi kepentingan politik kelompok yang berkuasa (baik secara otoritatif, maupun karena uang atau kekuatan massa)

REALITAS PLURALISME HUKUM


Para antropolog hukum melihat bahwa hukum negara

192 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

bukan satu-satunya acuan normatif dalam bertindak. Pandangan legal centralism yang percaya bahwa satu-satunya hukum adalah hukum negara, berlaku seragam untuk semua orang, adalah pandangan yang tidak realistis dan merupakan mitos belaka. Masyarakat memiliki kearifan dan kapasitas untuk menciptakan aturan dan normanya sendiri, berdasarkan rasa keadilannya sendiri. Masyarakat bahkan memiliki pranata penyelesaian sengketa sendiri berupa forum dan prosedur penyelesaian sengketa adatyang bahkan prinsip-prinsipnya diduplikasi dalam model penyelesaian bisnis modern yang dikenal sebagai alternative dispute resolution. Mereka bisa memodifikasi, melakukan penyesuaian atau bahkan penolakan terhadap hukum negara yang dirasa tidak cocok dan tidak adil dalam perspektif keadilan mereka. Pluralisme hukum adalah fakta. Dalam suatu arena sosial apapun selalu dapat dijumpainya ko-eksistensi antara berbagai sistem hukum, yang saling bersaing atau bekerjasama. Hukum negara, hukum adat, hukum agama, kebiasaan dan konvensi sosial, tumbuh bersama-sama dalam setiap relasi sosial dalam masyarakat. Persentuhan budaya (hukum) menyebabkan terjadinya saling adopsi dan adaptasi di antara berbagai sistem hukum. Dalam hal terjadinya kerjasama (saling adopsi) dapatlah diambil contoh kasus perkara waris di Sumatera Barat. Tidak seperti di Jawa, lebih banyak orang Minang pergi ke Pengadilan Negeri. Banyak sengketa waris diselesaikan dengan hukum adat oleh hakim setempat (Benda-Beckmann, 2009). Mereka berendapat Pengadilan Negeri adalah penjaga adat kami. Apa artinya? Dalam hal keberadaan UU No.1/1965 itu, bila mengikuti paradigma pluralisme hukum, dapat dinyatakan bahwa pertama, hukum negara, apabila dirasakan tidak mengindahkan pengalaman dan realitas masyarakat, tidak akan dipilih sebagai acuan bertindak. Masyarakat bisa memberi pemaknaan berbeda terhadap hukum negara, sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, rasa dan nurani keadilan mereka sendiri. Kedua, tidak semua persoalan bangsa harus diselesaikan dengan cara membuat hukum, mengingat

Lam p iran

193

kapasitas masyarakat dalam berhukum menurut pengetahuan dan sejarah pengalamannya sendiri. Masyarakat yang sudah merdeka selama 66 tahun adalah masyarakat dewasa yang sudah melalui sejarah perjalanan bangsa yang cukup matang, sehingga tidak perlu otoritas kekuasaan membuat kerangkeng dalam ranah privat. Seiring dengan fenomena globalisasi, persentuhan antar budaya, sistem politik dan ekonomi semakin tinggi. Hal ini sangat ditunjang oleh penemuan teknologi komunikasi dan transportasi, yang semakin mempermudah lalu lintas perjumpaan antar orang dari berbagai penjuru dunia. Migrasi antar orang semakin tinggi karena berbagai alasan budaya, politik dan ekonomi. Fenomena ini menyebabkan perubahan yang sangat cepat, juga dalam bidang hukum, sehingga melahirkan borderless state dan juga borderless law Konfigurasi pluralisme hukum juga bertambah kompleks karena hadirnya hukum internasional, terutama dalam bidang humanitarian. Ko-eksistensi berbagai sistem hukum bertambah luas dengan kehadiran hukum internasional. Bagaimanakah hukum internasional mempengaruhi hukum nasional? Sejak memasuki era reformasi ini banyak instrumen hukum baru dalam bidang humanitarian dilahirkan. Dalam hal ini banyak konsep, pengertian dalam instrumen hukum internasional diadopsi ke dalam hukum nasional, seperti hak asasi manusia, diskriminasi, kekerasan, korupsi, dan trafficking. Bentuk adopsi juga dapat dilihat dari ratifikasi terhadap berbagai instrumen hukum internasional melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Pertimbangan dalam meratifikasi suatu instrumen hukum internasional tentulah apabila tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundangan lain yang ada, dan tujuan mengukuhkan nilai dan martabat kemanusiaan Ratifikasi memiliki makna bahwa hukum yang sudah diratifikasi langsung menjadi sumber hukum. Hal ini berarti negara peserta wajib menyesuaikan peraturan perundangundangan di negaranya sendiri dengan prinsip-prinsip instrumen hukum internasional dengan cara merevisi hukum yang

194 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

sudah tidak sesuai lagi maupun membuat hukum baru. Apa artinya? Dalam hal semakin terhubungnya warga bangsa di dunia ini, semakin besar ikatan di antara mereka, berupa standar dan kesepahaman, tentang nilai-nilai yang menjadi kesepakatan dan acuan bersama dalam tata pergaulan internasional. Mengikuti kerangka ini, maka dapat dikatakan bahwa apabila terdapat produk peraturan perundangan yang bertentangan dengan instrumen hukum internasional (dan tentu saja Konstitusi dan peraturan perundangan nasional lain), maka kredibilitas pemerintahan dan bangsa dipertaruhkan.

MAKNA PENOLAKAN MAHKAMAH KONSTITUSI: PERSPEKTIF SOSIOLEGAL7


Penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan judicial review, yang padahal merupakan putusan final dan menjadi acuan hukum, berdasarkan kerangka analisis di atas, dapat dibaca dalam beberapa hal . Pertama, hukum telah mengabaikan pengalaman dan realitas masyarakat, dan justru menimbulkan dampak yang merugikan dan diskriminatif, khususnya bagi kelompok agama minoritas (minority religious group), yang dalam hal ini sering identik dengan dengan masyarakat adat, yang seharusnya justru dilindungi dalam negara rule of law dan demokrasi, yang menjadikan Pancasila sebagai sumber hukum, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan. Perumus hukum dan penegak hukum benteng terakhir keadilan tidak belajar dari pengalaman dan sejarah. Negara dan bangsa Indonesia tidak hanya berupa Negara Kesatuan Republik, tetapi terdiri dari nasion-nasion kecil dan tua, berdasarkan kesukubangsaan. Nasion-nasion kecil ini diabaikan. Padahal sentimen kebangsaan adalah elemen paling penting yang menjiwai berdiri dan berlangsungnya sebuah negara
7) Dengan catatan terdapat seorang hakim Mahkamah konstitusi yang menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda), dan seorang hakim lain yang menyatakan concurring opinion (alasan berbeda)

Lam p iran

195

dan merekatkan masyarakat plural dalam kesatuan wilayah, kedaulatan, yang mendapat pengakuan dari negara lain. Kedua, telah terbukti bahwa Mahkamah Konstitusi sedikitpun tidak memperhitungkan kenyataan sosiologis dan antropologis, bahwa dalam praktiknya UU No 1/1965 telah dijadikan acuan oleh kelompok tertentu untuk melancarkan klaim tunggal terhadap kebenaran dan legitimasi terhadap penyebutan penodaan agama terhadap kelompok lain. Klaim kebenaran bahkan diwujudkan dalam tindak kekerasan yang memunculkan rasa takut dan bahkan terputusnya akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan dari kelompok korban. Padahal seseorang tidak boleh mengalami kekerasan atas dasar apapun termasuk alasan agama dan budaya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum telah menodai rasa keadilan masyarakat dan merugikannya baik secara moril maupun materil. Ketiga, pemerintah dan lembaga parlemen adalah pihak yang mempertahankan keberadaan UU ini dan Mahkamah Konstitusi mensahkannya, hal itu menunjukkan bahwa negara membiarkan konflik, kekerasan, berbasis agama yang terus menerus berlangsung, sebagaimana yang kita saksikan hari-hari terakhir ini. Tidak dipikirkan bahwa situasi ini justru menodai martabat bangsa, yang sesungguhnya menginginkan hidup rukun dalam semangat penghormatan terhadap kebhinekaan (multikulturalisme). Hal ini juga terkait dengan tanggungjawab negara yang tidak dapat dipenuhi dalam rangka mematuhi berbagai instrumen hukum internasional (bahkan Konstitusinya sendiri) untuk menjamin hak yang paling esensial dalam diri warga negara. Padahal pemenuhan tanggung jawab ini sangat dibutuhkan agar kita dapat berdiri sejajar dengan bangsabangsa lain. Keempat, mengukuhkan Undang-Undang ini juga berarti bahwa negara tidak memandang masyarakatnya sendiri mampu berpikir, memiliki nurani dan dalam menjaga tata tertib demi keberlangsungannya sebagai masyarakat beradab dan patut diperhitungkan dalam pergaulan dunia. Negara berlin-

196 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

dung dibalik slogan hukum yang netral, obyektif, padahal yang dibutuhkan adalah perlindungan khusus, bagi kelompok rentan dalam masyarakat (kelompok agama minoritas). Pengukuhan terhadap keberadaan UU ini mengindikasikan bahwa negara take it for granted bahwa keadilan hukum sama dan sebangun dengan keadilan sosial. Padahal keadilan hukum belum tentu membuahkan keadilan sosial, bahkan dua konteks itu seringkali bertentangan satu sama lain dalam pengalaman keseharian masyarakat Kelima, sangat mengherankan bagaimana argumentasi, pemikiran, pandangan dari begitu banyak saksi ahli, yang mendasar, detail, dan mencerdaskan, dan bertujuan mulia demi keutuhan bangsa dan terpeliharanya martabat kemanusiaan, yang memohon agar UU ini dicabut atau direvisi, telah diabaikan begitu saja. Buah pemikiran bernas yang dilandaskan pada pengetahuan, pengalaman dan otoritas akademik dari individu tokoh-tokoh yang dihormati dalam bidangnya, dan sebagiannya dihormati karena ketokohannya dalam kelompok agama masing-masing. Di samping itu argumentasi, pemikiran dan pandangan juga berasal dari hasil kajian dari berbagai institusi ilmiah dalam dan luar negeri, dan komisi nasional, beberapa himpunan dan forum masyarakat adat juga menyampaikan suaranya. Terlebih lagi, para pemohon judicial review adalah tujuh organisasi yang kredibel dalam masyarakat, yang dua diantaranya adalah lembaga bantuan hukum yang menjadi bumper terdepan dalam memberikan bantuan dan layanan hukum bagi masyarakat miskin ketika negara absen memenuhi tanggung jawabnya dalam bidang ini. Lebih dari itu, terdapat tokoh besar bangsa, mantan Presiden, yang sangat dihormati karena visi kebangsaannya jauh ke depan. Fakta ini menunjukkan bahwa Lembaga Penegakan Hukum yang sangat diharapkan oleh masyarakat sebagai benteng terakhir keadilan, telah gagal dalam memberikan keadilan yang mendasar, karena telah mengabaikan seruan memohon keadilan dari warga masyarakat yang sering tidak terdengar karena keberadaannya sebagai silent majority.

Lam p iran

197

ACUAN TERBATAS
Benda-Beckmann, Franz & Keebet (2009), Contested Space of Authority in Indonesia, dalam Benda-Beckmann, Franz, Keebet von Benda-Beckmann, dan Anne Griffiths (eds), Spatializing Law: an Anthropological Geography of Law in Society. UK: Ashagate Castells, Manuel (2010), The Power of Identity. The information Age: Economy, Society and Culture, volume II. United Kingdom: Willey-Blackwell. Komnas Perempuan (2010), Pendapat Hukum Komnas Perempuan dalam pengujian UU no 1/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Suaka Adat-Kasunyatan Jawi, Hapuskan Segala Bentuk Peraturan Perundangan yang Diskiminatif demi Terwujudnya Perikemanusiaan dan Perikeadilan di negara Republik Indonesia: Kami ingin kesetaraan dalam menjalankan kepercayaan Tuhan yang Maha Esa, disampaikan dalam permohonan pengujian UU no 1/PNPS/1965 Wignyosuboro, Sutandyo (2010), Keterangan Saksi Ahli dalam permohonan pengujian materiiil UU no 1/ PNPS/1965

198 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

PROFIL MAJELIS EKSAMINASI


Margiyono adalah Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI), Editor di Voice of Human Rights (VHR) dan menjadi koresponden Reportase Without Border. Laki-laki kelahiran Klaten, 14 September 1976 ini aktif dalam mempromosikan hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, diantaranya melalui advokasi terhadap kriminalisasi dan kekerasan yang dialami wartawan dan melakukan judicial review undang-undang yang menghambat kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di Indonesia Muktiono adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang dengan kekhusan pada Hak Asasi Manusia, Hukum Lingkuangan dan Teori Hukum. Laki-laki kelahiran Bojonegroro, 8 November 1976 ini menyelesaikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Pascasarjana di University of Oslo. Filsafat, Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Minoritas menjadi kajiannya. Rumadi adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior dan Koordinator Program The Wahid Institute. Issue Pluralisme, kemajemukan, dan keberagaman, menjadi subyek kajiannya. Ia banyak menulis di berbagai jurnal, makalah, kolom dan buku. Seperti Ketika Civil Society Dipelintir, Jejak-jejak Liberalisme NU, Kritik Nalar: Arah Baru Studi Islam, dan Menerima Pluralisme sebagai Realitas. Sejak bergabung dengan The Wahid Institute, Rumadi dan kawan-kawannya bertekad mengoperasikan visi Gus Dur yang paling mendasar, yakni tentang humanisme. Soelistyowati Irianto adalah Guru Besar Antropologi Hukum di Fakultas Hukum UI dan Ketua Program Pascasarjana Antropologi, FISIP UI. Selain itu, ia aktif dalam berbagai organisasi seperti Kelompok Kerja Convention Watch dan Pusat Kajian Wanita dan Jender UI. Ia telah menuliskan berbagai karya ilmiah, diantaranya Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris Melalui Proses Penyelesaian Sengketa, Perempuan di persidangan Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan, Runtuhnya sekat perdata dan pidana: studi peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan, dan Hukum Yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum.

Lam p iran

199

PROFIL THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC)


The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) adalah organisasi non pemerintah yang konsen pada reformasi pendidikan hukum. Pada masa transisi menuju demokrasi, Indonesia menghadapi masalah korupsi, minimnya jaminan hak azasi manusia (HAM) di tingkat legislasi, dan lemahnya penegakan hukum. Masalah penegakan hukum membutuhkan juga budaya hukum yang kuat di masyarakat. Faktanya kesadaran di tingkat masyarakat sipil masih lemah begitu juga kapasitas untuk mengakses hak tersebut. Ketika instrumen untuk mengakses hak di tingkat masyarakat tersedia, tetapi tidak dilindungi oleh negara seperti hukum adat tidak dilindungi, negara mengabaikan untuk menyediakan bantuan hukum. Peran Perguruan Tinggi khususnya fakultas hukum sebagai bagian dari masyarakat sipil menjadi penting untuk menyediakan lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan mengambil bagian di berbagai profesi yang ada, seperti birokrasi, institusi-institusi negara, peradilan, akademisi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Mereka juga mempunyai posisi yang legitimate untuk memimpin pembaharuan hukum. Di dalam hal ini, kami memandang pendidikan hukum mempunyai peranan penting untuk membangun budaya hukum dan kesadaran hak masyarakat sipil. Pendirian ILRC merupakan bagian keprihatinan kami atas pendidikan hukum yang tidak responsif terhadap permasalahan keadilan sosial. Pendidikan hukum di Perguruan Tinggi cenderung membuat lulusan fakultas hukum menjadi profit oriented lawyer dan mengabaikan pemasalahan keadilan sosial. Walaupun Perguruan Tinggi mempunyai instrumen/ institusi untuk menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk masyarakat miskin, tetapi mereka melakukannya untuk maksud-maksud yang berbeda.

200 B u kan Jal an Tengah: Ha sil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965

Masalah-masalah yang terjadi diantaranya: (1) Lemahnya paradigma yang berpihak kepada masyarakat miskin, keadilan sosial dan HAM; (2) Komersialisasi Perguruan Tinggi dan lemahnya pendanaan maupun sumber daya manusia di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) dan Pusat Hak Azasi Manusia (HAM); (3) Pendidikan Hukum tidak mampu berperan, ketika terjadi konflik hukum oleh karena perbedaan norma antara hukum yang hidup di masyarakat dan hukum negara. Karena masalah tersebut, maka ILRC bermaksud untuk mengambil bagian di dalam reformasi pendidikan hukum. Visi dan Misi Misi ILRC adalah Memajukan HAM dan keadilan sosial di dalam pendidikan hukum. Sedangkan misi ILRC adalah ; (1) Menjembatani jarak antara Perguruan Tinggi dengan dinamika sosial; (2) Mereformasi pendidikan hukum untuk memperkuat perspektif keadilan sosial; (3) Mendorong Perguruan Tinggi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk terlibat di dalam reformasi hukum dan keadilan sosial. Struktur Organisasi Pendiri/Badan Pengurus: Dadang Trisasongko (Ketua), Renata Arianingtyas (Sekretaris), Sony Setyana (Bendahara), Prof. Dr. Muhamad Zaidun, SH (Anggota), Prof. Soetandyo Wignjosoebroto (Anggota), Uli Parulian Sihombing (Anggota) Badan Eksekutif: Uli Parulian Sihombing (Direktur), Fulthoni (Program Manajer), Siti Aminah (Programe Officer), Evi Yuliawati (Keuangan), Herman Susilo (Administrasi).

Anda mungkin juga menyukai