Anda di halaman 1dari 7

MEDAN PELAYANAN GMKI

Keadaan Tri Matra (Dimensi) Gumul GMKI Bila dicermati lebih lanjut, perubahan pada gereja, perguruan tinggi dan masyarakat sebagai medan gumul GMKI berlangsung seiring dengan perubahan sosial secara luas. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan cara berpikir (paradigma) dan cara perilaku (habits) yang mau tidak mau harus diakui sangat dipengaruhi oleh budaya globalisasi. Melihat realitas ini, kiranya dapat menjadi kajian serius dalam rangka mengantisipasi segala perubahan yang tidak menguntungkan GMKI secara umum. a. Matra Gereja Gereja (terutama dari kalangan mainstream) masih terbelenggu pemikiran teologi konservatif dan hidup dalam tataran dogmatis yang dipengaruhi gereja-gereja eropa abad 19. Sehingga sulit menjangkau masyarakat baru dengan teologi kontekstual yang khas sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah Indonesia . Sementara itu semangat pekabaran injil yang memudar di kalangan gereja, yang ada justru kompetisi untuk menambah jemaat, meskipun berasal dari jemaat gereja lain. Sikap ini berdampak langsung pada kaum muda dan mahasiswa yang kemudian terpolarisasi menurut aliran dan denominasi gereja. Pelayanan gereja masih bersifat karitatif dan masih di sekitar tradisi pelayanan mimbar yang belum menyentuh kebutuhan dasar jemaat sebagai warga masyarakat dalam pemenuhan aspek kesejahteraan dalam arti yang luas. Dipihak lain, gereja seolah berlomba untuk membangun gedung peribadatan yang megah sedangkan kemiskinan jemaat dan masyarakat sekitar luput dari perhatian. Padahal gereja memiliki sumber dana yang cukup untuk membangun ekonomi warga jemaatnya. Gereja belum sepenuhnya mau mengembangkan bentuk-bentuk usaha kemandirian yang berorientasi pada kemandirian dana untuk mendukung pembangunan ekonomi jemaat. Ini dimaksudkan selain menjadi sumber keuangan yang dapat menopang pelayanan gereja, dapat pula menyerap tenaga kerja dari kalangan warga jemaat. Kongkritnya, gereja dituntut peran sosialnya dalam membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah tingkat kelayakan hidup yang seharusnya. Kondisi ini merupakan kebutuhan pelayanan gereja yang mendesak. Gereja seharusnya mengambil jarak dengan menjadi mitra kritis pemerintah/negara yang banyak melakukan kooptasi terhadap kehidupan gereja. Kecendrungan saat ini, gereja tidak mandiri mengkritisi kehidupan kenegaraan tetapi justru menjadi alat kepentingan negara untuk mengendalikan umat. Gereja terjebak dalam orientasi struktur dan figur kekuasaan negara yang pada akhirnya seolah gereja menjadi subordinasi dan dipolitisasi oleh negara. Ini jugalah yang membuat suara kenabian gereja terdengar sumbang; gereja telah kehilangan wibawa profetisnya.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sebagai wadah berhimpun bersama dengan tujuh aras gereja nasional (PGLII, PGPI, GOI, dst) mestinya secara aktif mendorong kesatuan secara struktural gereja-gereja anggotanya yang memiliki kesamaan kultural maupun dogma. Ini dimaksudkan supaya menyehatkan hubungan antar gereja, selain mengecilkan resiko gereja menjadi beban sosial, karena kesulitan mendirikan gedung, kekurangan jemaat dan lain-lain. b. Matra Perguruan Tinggi Orientasi perguruan tinggi masih menyesuaikan kebutuhan lapangan kerja yang membuat semakin singkatnya masa studi. Akibat mahalnya biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa, pendidikan murah dan berkualitas yang berorientasi kerakyatan menjadi harapan. Penyusunan kurikulum bersifat top-down dan mengabaikan prinsip dan nilai-nilai kearifan lokal yang memanusiakan manusia melalui pendidikan yang membebaskan; pendidikan yang memanusiakan. Kurikulum perguruan tinggi tidak dirancang untuk mendorong lulusan memiliki kreatifitas dan jiwa mandiri serta semangat untuk terus belajar (research). Sehingga wawasan kewirausahaan, kesadaran hukum, kepekaan sosial merupakan barang langka dikalangan lulusan perguruan tinggi. Paradigma pendidikan harus diarahkan untuk mencetak kemampuan kreatif dan inovatif yang bertumpu kondisi geografis dan budaya lokal masing-masing daerah dengan melakukan desentralisasi pendidikan. Komersialisasi pendidikan mendorong perguruan tinggi menjadikan mahasiswa sebagai objek ekonomi dan mengabaikannya sebagai warga negara yang perlu dilatih dan dibekali dengan pengetahuan, sementara itu jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi tiap tahun semakin bertambah. Ini seharusnya menjadi refleksi dan tanggung jawab perguruan tinggi. Konsolidasi lembaga yang bergerak dalam pelayanan mahasiswa (GMKI, LPMI, PERKANTAS, NAVIGATOR, Persekutuan Mahasiswa Kristen, dll) tidak berjalan dengan baik dan justru berkembang sikap saling curiga. Sikap ini terkait upaya mempertahankan eksistensi dan merebut simpati mahasiswa sebagai konstituen gerakan mahasiswa atau lembaga pelayanan itu sendiri. Hal ini tentu saja melemahkan tujuan bersama untuk menghadirkan injil Kristus dalam wilayah perguruan tinggi. c. Matra Masyarakat Ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, kemiskinan dan disparitas pembangunan menjadi hal yang biasa akibat keberpihakan kepada pemilik modal. Kehidupan yang sejahtera dan kelimpahan materi hanya dinikmati oleh sekelompok kecil manusia, yang kemudian berakibat pada kesenjangan sosial yang semakin lebar dan pada akhirnya menggerus semangat nasionalisme. Berpuluh tahun berada dibawah pemerintahan orde baru yang korup, mengakibatkan praktek korupsi semakin meluas dan sistematis. Korupsi juga melibatkan aparat maupun pejabat negara semakin menegaskan bahwa elit negara baik eksekutif maupun

legislatif rentan terhadap perilaku yang korup. Korupsi sistemik yang berjamaah di semua lembaga tersebut mengakibatkan penegakan supremasi hukum yang tebang pilih dan tunduk pada kepentingan politik. Masyarakat Indonesia secara umum buta hukum, sehingga dengan mudah aparat negara melakukan praktek manipulasi berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut. Hukum dimanfaatkan sebagai alat pemukul bagi orang lain, namun menjadi pelindung bagi aparat hukum itu sendiri. Penegakan hukum tak bisa lepas dari dari tunggangan berbagai kepentingan yang bernuansa politik. Intervensi kekuasaan terhadap hukum telah mengakibatkan hukum di Indonesia menjadi tidak independen, kehilangan legitimasi dan kehilangan wibawa di depan masyarakat bahkan dimata dunia internasional. Otonomi daerah ternyata belum dapat menjadi alat untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, namun otonomi daerah semakin melegalkan eksploitasi sumber daya alam selain mendorong praktek penyimpangan hukum melalui perda-perda untuk kepentingan golongan dan ideologi politik tertentu. Dipihak lain, pemerintah cenderung menggeneralisir sistem pemerintahan mengabaikan kekhasan tiap wilayah. Partai politik yang diharapkan sebagai aktor perubahan budaya poilitik, ternyata terjebak dalam budaya feodalistik yang antidemokrasi. Dimana setiap keputusan partai (yang tidak transparan) selalu menjadi prioritas utama, partai menjadi alat manipulasi oleh sekelompok elit terhadap kepentingan rakyat. Sejatinya partai politik menjadi saluran aspirasi masyarakat berlandaskan aliran dan ideologi yang dianut, namun kenyataanya partai hanya untuk mengawal kepentingan kelompok. Mencermati partai politik peserta pemilu tahun 2009 yang terlalu banyak, pemerintah selaku regulator melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) semestinya dapat dengan tegas membatasi jumlah partai-partai peserta pemilu tanpa harus membatasi hak untuk membentuk partai politik baru sebagai bagian dari demokrasi. Fenomena demokrasi saat ini telah membuai seluruh masyarakat dalam sebuah siklus lima-tahunan lewat pemilihan umum yang seyogyanya adalah pesta demokrasi, telah menjadi sekedar ritual untuk mendapatkan kekuasaan melalui legitimasi rakyat. Hiruk pikuk dan antusiasme pada hajatan politik, telah membuat orang lupa akan makna politik itu sendiri. Pernyataan J.Leimena bahwa politik bukan alat untuk kekuasaan, tetapi etika untuk melayani, tampaknya harus semakin nyaring diserukan. Demokrasi menjadi candu ditengah ketidakmampuan pemerintah mensejahteraan rakyat, sementara sistim ketatanegaraan hanya menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan. Keadaan ini diperparah lagi dengan kepemimpinan nasional yang lemah dan tak berwibawa. Transisi demokrasi menjadi jargon untuk membenarkan segala bentuk kelemahan dan penyimpangan praktek penyelenggaraan negara. Capaian demokrasi substansial masih berupa wacana yang pada kenyataanya masih sebatas prosedur demokrasi.

Pokok-pokok Pikiran GMKI di 3 Medan Pelayanan Pendahuluan Realitas kehidupan tiga medan pelayanan GMKI yaitu gereja, perguruan tinggi dan masyarakat terus mengalami beragam masalah-masalah yang mengkhawatirkan, seiring dengan perubahan sosial dan politik dalam konteks global, nasional dan lokal yang complicated. Bagi GMKI, perubahan sosial dan politik dalam konteks global, nasional dan lokal yang complicated tersebut disebabkan oleh faktor neoliberalisme atau globalisasi. GMKI melihat sekarang ini neoliberalisme dan globalisasi sudah memasuki transformasi modus tindakan dan praktek. Transformasi modus tindakan dan praktek menunjuk pada proses kaitan makin erat hampir semua aspek kehidupan pada skala mundial, gejala yang muncul dari interaksi kian intensif dalam perdagangan, transaksi finansial, media, budaya, transportasi, teknologi, informasi, dan sebagainya. Kondisi ini, apabila tidak dilakukan proteksi, maka neoliberalisme dan globalisasi dapat mendorong kehidupan persekutuan gereja dan solidaritas masyarakat bangsa dan negara menjadi tersegregasi sehingga memunculkan dengan apa yang kami sebut dengan semangat parokial yang ekstrim. Pada konteks yang lain, kenyataan Indonesia yang kompleks sering membuat kita sulit melukiskan anatomi bangsa ini secara persis. Negeri ini bukan saja multi etnis seperti Jawa, Sunda Batak, Bugis, Aceh, Dayak, Timor, Maluku, Papua, Minahasa dan sebagainya, tetapi dipengaruhi multimental seperti Cina, India, Belanda, Portugis, Islam, Kristen, Kapitalis, Hindhuisme, Budhisme, Konfusianisme, dan seterusnya. GMKI berasumsi bahwa kemunculan semangat parokial yang ekstrim dan kesulitan melukiskan anatomi bangsa ini secara persis akan membuat demokrasi di Indonesia tidak akan terkonsolidasi secara efektif dan efisien sehingga dapat menjadikan bangsa ini terjebak secara potensial dalam spiral kekerasan. Bidang Gereja 1. Dalam beberapa tahun belakangan gereja berhadapan dengan pengrusakan sejumlah gedung gereja di berbagai tempat. Ini menggambarkan potret buram ke-Indonesiaan yang majemuk, di mana hubungan negara dan agama tidak terdefinisi secara baik. Struktur sosial kemasyarakatan yang menempatkan agama pada dimensi moral dan etika direduksi oleh regulasi Pemerintah yang menutup mata terhadap realitas kemajemukan. Hadirnya Surat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 tertanggal 21 Maret Tahun 2006, secara substansial telah menempatkan agama (gereja) sebagai subordinasi negara untuk mengintervensi kebebasan dan kemerdekaan beragama yang pada akhirnya mereduksi substansi semangat dan hakekat agama/keyakinan itu sendiri. 2. Perkembangan global telah menempatkan posisi gereja menjadi dilematis terhadap perkembangan lingkungan pelayanannya. Pada satu sisi, gereja berhadapan dengan tantangan penguatan spiritualitas umum yang apabila ditafsir ulang telah mengalami degradasi yang serius, karena spiritualitas gereja kemudian terpasung dalam tatanan dogma dan tradisi gereja, padahal spiritualitas harus bertitik tumpu dan berkembang pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal, antara lain keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Pada

sisi ini gereja terjebak dengan pendekatan spiritualitas yang pragmatis tanpa melakukan promosi dan upaya pemaknaan ulang spiritualitas sebagai pendekatan yang lebih strategis dalam penyelesaian persoalan-persoalan kebangsaan. Sedangkan pada sisi lain, gereja berhadapan dengan fakta globalisasi. Globalisasi telah menyebabkan musnahnya lingkungan hidup; rusaknya tatanan dan proses-proses politik dan perubahan yang begitu cepat serta tidak memberikan kesempatan untuk melakukan penyesuaian. Globalisasi pun telah menyebabkan lahirnya fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar, disamping semakin meningkatnya angka kemiskinan, tingkat pengangguran, dan rusaknya pola pendekatan pembangunan. Keseluruhan fakta ini telah menempatkan gereja dalam posisi dilematis. Bidang Perguruan Tinggi 1. Perkembangan globalisasi telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam pengelolahan dunia perguruan tinggi (PT). Secara dinamis aktivitas PT brgerak ke arah pusat-pusat industri kapital yang dikelola oleh globalisasi. Konteks ini telah menyebabkan pendidikan kemudian dipandang sebagai bisnis yang menjanjikan di masa mendatang, suatu gambaran yang menegaskan hakekat pendidikan itu sendiri. Kondisi ini sangat mengkuatirkan di masa mendatang, sebab kepentingan global akan memaksa dunia pendidikan termasuk PT menciptakan sebuah penjajahan baru bagi manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Di mana PT akan semakin birokratis dan meninggalkan etika ilmu dan etika profesi karena terkooptasi kekuasaan, sehingga akhirnya PT laksana menara gading yang menjauhi realitas fungsi kediriannya dan kesejarahannya. 2. Komersialisasi pendidikan di PT semakin nyata dengan perubahan status hukum berbagai PTN di tanah air menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Berbagai rasionalisasi dibeberkan oleh pihak pengelola perguruan tinggi dan pemerintah tentang urgensi BHMN ini, bahwa dengan status tersebut keadaan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi akan semakin baik. Rasionalisasi itu ternyata berbanding terbalik dengan yang sebenarnya. Pendidikan tinggi justru semakin birokratis, membelenggu kebebasan mimbar akademik yang berorientasi rakyat dan kreatifitas yang semakin terkungkung. Sementara yang paling nyata dirasakan rakyat adalah biaya pendidikan yang semakin tinggi. 3. Meminta pemerintah memberi perhatian yang lebih terhadap perguruan tinggiperguruan tinggi, secara khusus yang berada di Wilayah Indonesia Timur dalam kaitannya dengan proses perijinan dan dinamika PT-PT dimaksud. 4. GMKI harus mengupayakan pemberian beasiswa bagi kader-kader berprestasi. Bidang Masyarakat 1. UU Pornografi. Lahirnya UU Pornografi memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa ada upaya sistematik untuk menarik kebabasan sipil menjadi kebebasan komunitas atas komunitas lain atau individu kepada individu lain. Parahnya, pemerintah dan DPR yang seharusnya menjadi pengawal kebebasan sipil ternyata sama sekali tidak memiliki memiliki sensitifitas dan keberpihakannya. Padahal dalam konstitusi yang kemudian dipertegas dalam ratifikasi kovenan internasional tentang hak sipil politik, dan ekonomi, sosial budaya, negara

2. 3. 4.

harusnya mempromosikan, memenuhi, dan melindungi hak-hak warga negara termasuk budaya lokal dan kaum perempuan. Bagi GMKI proses pembahasan lahirnya UU Pornografi menunjukan pemerintah dan DPR secara semena-mena bersikap, atau memproduksi aturan public yang mendelegitimasi hak sipil public. Kami menduga, apabila perilaku dan kebijakan public seperti itu terus dilakukan, maka bangunan nation state Indonesia akan semakin terfragmentasi. Berdasarkan itu kami mendesak untuk dibatalkannya UU Pornografi karena itu hanya akan memperlemah kesetiaan sebagian besar masyarakat pada identitas nasional yang egaliter dan inklusif. Pembangunan berwawasan Lingkungan Korban Lumpur Lapindo Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden Tahun 2009

REKOMENDASI GEREJA 1. Gereja harus lebih aktif dalam pembahasan kasus-kasus sosial, dan masalah kekristenan 2. Spirit oikumene di lingkungan gereja, sudah mulai luntur, hal ini memicu situasi pertentangan antar gereja dan pepecahan gereja. Maka gereja perlu kembali menyamakan visi dan konsep dalam aktivitasnya. 3. Semboyan bahwa GMKI adalah anak kandung gereja harus tetap dikumandangkan. 4. Kecenderuangan gereja saat ini, adalah gereja lebih mengutamankan fasilitas2 bangunan, daripada kondisi yang berkembang dilingkungan jemaatnya. 5. Gereja2 di indonesia, cenderung memiliki kredibilitas yang kurang, dihadapan jemaat, dikarenakan oleh fungsionaris yang pernah aktif didalamnya. 6. Orang kristen, saat ini, kurang diperhitungkan di Indonesia. (ada kecenderungan, bahwa, Indonesia dapat maju tanpa orang kristen). 7. GMKI meminta pada gereja untuk memaksimalkan panggilan gereja secara kolektif 8. Gereja DIHARAPKAN untuk tidak menonjolkan perbedaan2 denominasi, namun harus melakukan peningkatan pemahaman Oikumene. 9. Hal gereja-politik SDM pendeta yang ada sekarang, dinilai kurang memiliki pandangan baru tentang konsep sosial. Perlu ada sistem pembelajaran politik moral dan bukan politik kekuasaan. Pembelajaran ditujukan untuk para jemaat, sehingga tidak tabu terhadap politik, yang pada akhirnya, tidak mudah terombang-ambing dalam wacana politik. Semua pihak boleh terlibat dalam politik. KHUSUS untuk para pendeta, boleh terlibat dalam politik, selama pendeta tersebut sudah melepaskan statusnya sebagai pendeta. GMKI diharapkan mendorong dan lembaga2 kristen untuk melakukan pendidikan dan penyadaran2 politik. Kecenderungan PARPOL untuk masuk kelingkungan gereja (PEMILU 2009). Perlu disikapi oleh GMKI. GMKI mendorong nilai2 spiritualitas nasionalisme pada gereja.

Kasus - Kasus Daerah: Tana toraja: GMKI diharapkan untuk menyatakan sikap terhadap kasus skorsing 60 mahasiswa STAKN Toraja, sehubungan dengan perlawanan terhadap adanya kasus korupsi dan berbagai penyelewengan kebijakan, terlebih khusus ancaman menteri agama untuk menutup Sekolah Tinggi Agama Kristen Negri Toraja apabila mahasiswa masih melakukan aksi demonstrasi. PERGURUAN TINGGI (PT) 1. GMKI diharapkan untuk melakukan mediasi untuk pendirian perguruan tinggi di indonesia timur (infrasturktur). 2. GMKI diharapakan untuk lebih proaktif thd kebijakan PT dan ikut melakukan pengawasan ketat terhadap implementasi UU sisdiknas. 3. GMKI berperan aktif untuk mewaspadai PT yang membuka kesempatan masuknya paham2 neoliberalisme. 4. GMKI menolak sistem PT BHMN, dan UU Sisdiknas tentang penyamarataan rasionalisasi berpikir, misal: tentang standard kelulusan. MASYARAKAT 1. GMKI mengajukan judicial review terhadap UU pornografi & pornoaksi, dan membangun aliansi2 untuk menolak UU tersebut. 2. GMKI melakukan advokasi terhadap korban2 lumpur Lapindo. 3. GMKI mendesak pemerintah mencabut dan meninjau kembali: UU no. 40 th 2007, tentang penanaman modal asing. UU no.13 th 2003, tentang ketenagakerjaan. SKB 4 menteri tentang UMR. meninjau kontrak karya antara perusahaan asing-pemerintah, misall Freeport, agar dikelola oleh negara. 4. GMKI lebih proaktif dalam menjaga supremasi hukum, dan penegakan HAM. 5. GMKI membentuk LBH. 6. GMKI melakukan penyikapan terhadap penolakan hukuman mati. 7. GMKI menolak Perda tentang syariah. 8. GMKI melakukan penyikapan terhadap pendirian 1000 pesantren di Papua.

Anda mungkin juga menyukai