Anda di halaman 1dari 15

-Draft Tema-subtema GMKI

Tema : Pergunakanlah Waktu dan Tetap Berpengharapan! (bdk. Pengkhotbah 3:1-15


dan Efesus 5:16)
Sub Tema : Meneguhkan Iman, Harapan dan Kasih Persaudaraan Serta Mendayagunakan
Potensi dalam Mempersiapkan Masa Depan yang Beradab dan Mandiri
Menjelang Bonus Demograf
A. Pengantar
Dalam kehidupan berorganisasi, tema dan subtema telah menjadi pemberi energi bagi
seluruh aktifitas organisasi, karena tema dan subtema menjadi basis teologis dan spiritual
dalam upaya-upaya penataan dan pengembangan organisasi sekaligus memberikan tuntunan
atau pedoman arah dalam perjuangan GMKI untuk ikut serta dalam proses membangun
kehidupan bergereja, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Demikianlah posisi tema dan subtema ibarat pelita penuntun langkah organisasi memahami
keadaan internal organisasi sekaligus menghadapi konteks sekitar yang terus berubah. Itu
berarti bahwa dengan tema dan subtema, maka seluruh curahan pergumulan organisasi mesti
digeluti dengan persepektif yang tentunya tidak keluar dari semangat teologis dan spiritual
tema dan subtema sebagai kompas sekaligus cerminan identitas organisasi.
Tentunya tema dan subtema yang merupakan tuntunan perjalanan organisasi juga hadir
dalam sebuah proses atau kajian dengan beragam pendekatan. Karena itu mesti dijiwai oleh
seluruh elemen organisasi semacam weltanschauung/worldview organisasi selama periode
berjalan sebagai wujud iman dalam perayaan ibadah kehidupan.
Dalam perayaan ibadah kehidupan itu, lewat mekanisme organisasi secara khusus melalui
perhelatan akbar pada Kongres di Jakarta kali ini, kita diajak untuk bersama-sama menghayati
dan mewujudnyatakan tema dan subtema:
Tema : Pergunakanlah Waktu dan Tetap Berpengharapan! (bdk. Pengkotbah 3:1-15
& Efesus 5:16)
Subtema : Meneguhkan Iman, Harapan dan Kasih Persaudaraan Serta Mendayagunakan
Potensi dalam Mempersiapkan Masa Depan yang Beradab dan Mandiri
Menjelang Bonus Demograf

B. Latar Belakang Tema


Tema ini hadir dari konteks di mana GMKI berada sekaligus pergumulan berkelanjutan
dari tema pada masa bakti sebelumnya. Tema dan sub tema masa bakti sebelumnya adalah
Berdamailah Dengan Semua Ciptaan dan subtema Membangun budaya damai dan adil dalam
relasi dengan semua ciptaan sebagai wujud persaudaraan di Negara Pancasila. Sama halnya
dengan tema dan subtema masa bakti yang lalu, tema dan subtema masa bakti ini hadir melalui
dua pendekatan, yakni pendekatan atas yang merupakan upaya melihat keberadaan dan
panggilan kita sebagai organisasi kader yang berakar dalam tradisi dan nilai-nilai kristiani. Itu
berarti kita diajak untuk melihat jatidiri kita secara teologis, apa yang menjadi dasar dan alasan
keberadaan kita sebagai sebuah organisasi mahasiswa Kristen dari sudut pandang teologis, serta
pendekatan bawah adalah upaya melihat diri dalam konteks keberadaan kita di tengah-tengah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Indonesia sebagai lokus hidup GMKI
tentunya tidak terlepas dengan persoalan dunia.
Pendekatan bawah didapati dari pergumulan nasional yang diserap dari hasil Konsultasi
Nasional (KONAS) 2018 di Bitung. Kajian atas hasil KONAS Bitung menunjukan bahwa begitu
banyak persoalan dan pergumulan dari aras global, nasional hingga tingkat cabang yang
menuntut keseriusan dan juga konsistensi untuk memecahkannya. Dengan cepatnya persoalan-
persoalan itu menggelinding dan menghasilkan efek domino yang menghadirkan persoalan
lainnya dalam waktu yang yang tidak jauh berbeda.
Sebutkan saja dalam kancah internasional kita sementara bergumul dengan persoalan
imigran yang diakibatkan oleh perang saudara yang sejatinya memperebutkan Sumber Daya
Alam yang tentunya memperlebar jurang kesenjangan antar Negara dan juga antar sesama
manusia. Keadaan ini juga terjadi di tingkat nasional dalam beberapa masalah seperti masalah
agrarian yang juga memakan korban anak bangsa saat berjuang mempertahankan tanah
mereka.
Dalam Term of Reference KONAS 2018 dicatat ada 450 konflik agraria pada tahun 2016.
Konsorsium Pembaruan Agraria ( KPA) mencatat terjadi 659 konflik agraria sepanjang 2017,
dengan luasan mencapai 520.491,87 hektar (ha). Jumlah konflik agraria meningkat 50 persen
dibandingkan 2016. Dari seluruh sektor yang dimonitor, perkebunan masih menempati posisi
pertama, sebanyak 208 konflik, atau 32 persen dari seluruh jumlah konflik. Berturut-turut
setelahnya yaitu properti 199 konflik (30 persen), infrastruktur 94 konflik (14 persen), pertanian
78 konflik (12 persen), kehutanan 30 konflik (5 persen), pesisir/kelautan 28 konflik (4 persen),
serta pertambangan 22 konflik (3 persen). Dengan begitu, selama tiga tahun pemerintahan
Jokowi-JK dari 2015-2017, telah terjadi sebanyak 1.361 konflik agraria. Berturut-turut setelahnya
yaitu kehutanan (137.204,47 ha), infrastruktur (52.607,9 ha), pertambangan (45.792,8 ha),
pesisir/kelautan (41.109,47 ha), pertanian (38.986,24 ha), dan properti (10.337,72 ha). Jika
dirata-rata hampir dua konflik agraria terjadi dalam satu hari di Indonesia. 1
Tidak jarang kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mengikuti konflik
agraria, bahkan cenderung negara abai terhadap kriminalisasi aktivis agraria serta kematian
ibarat kasus Salim Kancil, warga Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kota Lumajang yang
dikeroyok hingga meninggal di balai desa karena mempertahankan tanahnya yang akan
dijadikan tambang pasir ilegal.
Kisah pilu di tanah kita menjalar dan mengalir jauh hingga ke laut. Persoalan perikanan
dan kelautan yang sementara dihadapi tidak jauh berbeda dengan persoalan agraria. Kebijakan
yang diambil pemerintah dalam penertiban illegal fishing ternyata di sisi yang lain berdampak
pada perekonomian petani laut Indonesia atau nelayan. Akibatnya stigma ketidakmampuan
dalam keterampilan melaut menempel pada nelayan yang mau tidak mau terus memaksa
mereka menangkap ikan dengan cara konvensional yang ternyata salah dalam kebijakan
pemerintah. Penanganan kapal asing dalam wilayah Indonesia juga tetap mesti dilakukan
namun dengan cara yang lebih humanis demi hubungan berkelanjutan antar manusia, antar
negara dalam merajut masa depan bersama. Namun dalam kasus apapun bila pemerintah terus
menerus mengambil langkah represif, maka warga negara akan merasa menjadi musuh dari
negara. Karena itulah, untuk beberapa waktu, ekonomi dan pendidikan selalu menjadi tolak
ukur perbuatan dari warga negara termasuk alasan yang lahir dari perbuatan teror. 2

1
. Lihat Term of Reference Koonsultasi Nasional GMKI, 2018 hal. 1.
2
. Lihat Term of Reference Koonsultasi Nasional GMKI, 2018 hal. 1.
Kemudian persoalan kekerasan masih saja mewarnai dinamika kehidupan bangsa dalam
setiap persoalan yang akhirnya mempengaruhi sikap hidup anak bangsa. Harapan untuk hidup
bersama dalam rumah yang disebut Indonesia dengan Pancasila sebagai perekat menjadi
perhatian serius menjelang pemilihan umum presiden tahun 2019 sebagai waktu yang telah
direncanakan dan ditetapkan berdasarkan regulasi.
Kecanggihan teknologi dan informasi menandakan perjalanan Reolusi Industri 4.0. bahkan
sebentar lagi akan beranjak pada revolusi industri 5.0. Segala hal tersaji dengan begitu cepat
dan dengan mudah diakses. Manusia terbantukan dengan kemudahan tersebut. Namun di sisi
yang lain, wajah teknologi juga menyimpan kemisteriusan yang serius yang dapat menghadirkan
masalah bagi manusia. Dari sisi organisasi misalnya, setiap organisasi konvensional akan berpikir
kembali meramu wujud organisasinya saat masa depan datang. Karena itu, perlu dikaji
bagaimana model dan wujud GMKI di masa depan yang lebih modern dan mampu
memanfaatkan teknologi-informasi sebagai bagian pelayanan organisasi serta peluang
pelayanan yang lebih luas dari GMKI secara internasional dan kompetensi yang dibutuhkan
kader GMKI dalam mempersiapkan diri menyambut Revolusi Industri. 3 Namun juga perlu diingat
kehadiran GMKI dalam waktu mendatang dalam kemajuan teknologi dan masa poststruk,
sehingga anggota GMKI generasi milenial tetap mampu menjaga semangat dan nilai cultural
GMKI, serta kebudayaan lokal dan nilai Pancasilais sebagai pandangan hidup bangsa dalam
segala jaman.
Hal-hal yang disebutkan di atas hadir dalam bentangan waktu hidup. Tentunya kita memiliki
harapan untuk menyelesaikannya dalam kurun waktu yang cepat biar segalanya teratasi, namun
perlu juga ditekankan sikap realistis dan antisipatif atas segala yang bisa terjadi nantinya. Karena
itu kita perlu pandangan berperspektif (teologi) untuk membantu kita memahami konteks,
menemukan akar masalah dan jalan keluar atas setiap pergumulan hidup berorganisasi dalam
pergumulan kontiunitas dan perjuangan kita untuk Berdamailah dengan Semua Ciptaan, maka
dipilihlah tema; Pergunakanlah Waktu dan Tetap Berpengharapan!! Tema ini didasari pada dua
teks, Pengkhotbah 3:1-15 dan Efesus 5:16, serta, subtemanya: Meneguhkan Iman, Harapan dan
Kasih Persaudaraan Serta Mendayagunakan Potensi Dalam Mempersiapkan Masa Depan Yang
Beradab Dan Mandiri Menjelang Bonus Demografi.

C. Pergunakanlah Waktu dan Tetap Berpengharapan! (bdk. Pengkhotbah 3:1-15 & Efesus
5:16)
C.1. Kajian Teologis Pengkhotbah 3:1-15
C.1.1. latar Belakang Teks Pengkhotbah 3:1-15
Dalam tradisi Ibrani, Pengkhotbah adalah qoheleth (dari kata Ibr. qahal, berkumpul);
sesuai dengan informasi dalam Pengkhotbah 1:1. Istilah ini diturunkan dari istilah qahal
(jemaat) dan merujuk pada pemimpin jemaat. Istilah Pengkhotbah terunut balik pada
terjemahan Yunani atas qoheleth sebagai ecclesiastes.4
3
. Lihat Term of Reference Koonsultasi Nasional GMKI, 2018, hal. 13.
4
. Jan Chistian Gertz (dkk), Purwa Pustaka, Eksplorasi ke Dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama dan
Deuteronika, Jakarta: BPK-GM, 2017, hal. 704.
Bandingkan,http://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=pengkotbah+3%3A+1-15, diakses 30 Agustus 2018,
yang menuliskan bahwa, Secara harfiah artinya "orang yang mengadakan dan berbicara kepada suatu
perkumpulan." Kata ini dipakai 7 kali dalam kitab ini (Pengkh 1:1,2,12; Pengkh 7:27; Pengkh 12:8-10) dan
Pada umumnya dipercayai bahwa penulisnya adalah Salomo, sekalipun namanya tidak
muncul di dalam kitab ini, seperti dalam kitab Amsal (mis. Ams 1:1; Ams 10:1; Ams 25:1) dan
Kidung Agung (bd. Kid 1:1). Dalam keterangan Alkitab Sabda5, beberapa bagian dalam
Pengkhotbah menjelaskan Salomo selaku penulis seperti;
1. Penulis menyebutkan dirinya sebagai anak Daud, raja di Yerusalem (Pkh. 1:1,12).
2. Ia menyebut dirinya pemimpin yang paling bijaksana dari umat Allah (Pkh. 1:16) dan
penggubah banyak amsal (Pkh. 12:9).
3. Kerajaannya dikenal karena kekayaan dan kemuliaan yang berlimpah-limpah (Pengkh 2:4-9).
Semua unsur ini cocok dengan gambaran alkitabiah mengenai Raja Salomo (bd. 1Raj
2:9; 1Raj 3:12; 1Raj 4:29-34; 1Raj 5:12; 1Raj 10:1-8). Lagi pula, kita tahu bahwa Salomo kadang-
kadang mengumpulkan sejumlah orang Israel dan berceramah kepada mereka (mis. 1Raj 8:1).
Tradisi Yahudi menyebut Salomo sebagai penulis kitab ini. Pada pihak lain, kenyataan bahwa
namanya tidak tercantum dalam kitab ini (seperti halnya dalam kedua kitab lainnya, Amsal dan
Kidung Agung) bisa memberi kesan bahwa orang lain terlibat dalam menyusun kitab ini.
Sebaiknya kita memandang kitab ini sebagai ditulis oleh Salomo, tetapi mungkin dikumpulkan
dan disusun dalam bentuknya yang sekarang oleh seorang lain, serupa dengan cara beberapa
bagian kitab Amsal disusun (bd. Ams 25:1).6 Namun menurut Eka Darmaputera, terlepas dari
siapa yang menulis, umat Kristen perlu bersyukur, kitab ini masuk dalam kanon Alkitab dan
menjadi berkat bagi umat beriman.7
Martin Luther menerjemahkan Ecclesiastes dalam edisi bahasa Jerman dan menamakan
kitab ini Der Prediger, yang dalam bahasa Inggris, sepadan dengan istilah The Preacher: LAI
(Lembaga Alkitab Indonesia) mengadopsi terjemahan Martin Luther sehingga terumuskanlah
nama Pengkhotbah sebagai nama kitab ini. Dalam tradisi kebijaksanaan formal bangsa Yahudi
saat itu, qoheleth adalah nama julukan pada guru kebijaksanaan atau cendekiawaan Israel yang
mengumpulkan dan mengajar para muridnya atau umat di sekolah kebijaksanaan. 8
Secara ketat bisa diduga bahwa tulisan ini disampaikan secara khusus untuk
mengembangkan sikap kritis orang muda Yahudi dengan harapan mereka mampu menilai apa
yang baik/berfaedah/berguna dan apa yang buruk saat masa muda mereka. Ini bisa dipastikan
karena konteks di mana persebaran kebudayaan di luar dari budaya Yahudi sudah mulai
memasuki kehidupan kaum muda Yahudi. Jadi dalam sudut pandang kultural, kitab ini hadir
sebagai penangkal dan antisipasi dominasi budaya luar atas budaya Yahudi lewat berbagai cara,
dan yang paling umum yang dikisahkan dalam Alkitab adalah saat Yahudi jatuh ke dalam tangan
kerajaan-kerajaan sekitarnya. Kemungkinan besar dominasi budaya luar yang dimaksudkan

diterjemahkan sebagai "Pengkhotbah". Di dalam Septuaginta padanan katanya ialah _ekklesiastes_ yang
menghasilkan judul _Ecclesiastes_ dalam Alkitab Inggris. Karena itu seluruh kitab ini merupakan serangkaian ajaran
oleh seorang pengkhotbah yang terkenal. Bandingkan R.B.Y. Scott, Proverbs-Ecclesiates: Introduction, Translation,
and Notes, New York, Garden City: Doubleday & Company, Inc., 1965, hal. 192.
5
. http://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=pengkotbah+3%3A+1-15, diakses 30 Agustus 2018.
6
. http://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=pengkotbah+3%3A+1-15, diakses 30 Agustus 2018.
7
. Eka Darmaputera, Merayakan Hidup, Pemahaman Kitab Pengkhotbah Tentang Kesia-siaan Segala
Sesuatu, Jakarta-BPK:GM, 2013, hal.3. Selain itu sebagai informasi, biasanya diterima bahwa seorang ahli Belanda,
Hugo Grotius adalah orang pertama yang mengenali bahwa bahasa yang dipakai oleh Kitab Pengkhotbah tidak
mungkin ditulis oleh Salomo.
8
. R.B.Y. Scott, Proverbs-Ecclesiates:…. hal. 209.
adalah Yunani (helenis) sebagai kekuatan baru (akhir abad ke-4 SM dan juga budaya Persia yang
juga diduga sebagai masa hadirnya tulisan ini. 9
Walau sebagai benteng antisipatif bagi budaya “asing”, ternyata pengkhotbah yang
berisikan petuah/nasehat/kebijakan dan atau hikmat ini juga merupakan tulisan kontras dengan
ucapan-ucapan hikmat tradisional. Jan Christian Gertz (dkk) menuliskan bahwa pengkhotbah
terdiri empat langkah: (1). Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat manusia, (2). Asosiasi-
asosiasi dengan beberapa pengamatan atas alam dan kebudayaan, (3). Suatu kontras dengan
ucapan-ucapan hikat tradisional, dan (4). Kesimpulan-kesimpulan yang bersifat wejangan,
seringkali diformulasikan secara negatif, untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. 10
Sejalan dengan itu, dalam tulisan Nursantosa 11, kita bisa bagikan kekhasan kitab
Pengkhotbah menjadi beberapa bagian yakni, pertama; qohelet menggunakan metode filosofis
yang cukup unik. Dalam hal ini metode filosofis yang digunakan tidak dimulai dari argument
logis yang berkembang selangkah demi selangkah menuju kesimpulan tapi dari sebuah tesis
awal, kesia-siaan belaka. Dari tesis ini, muncul kekhasan yang kedua, yakni qohelet membagikan
refleksinya tentang ketidakmampuan manusia untuk mengetahui Allah. Ketiga, qohelet
membuat afirmasi positif dalam filsafatnya bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia selain
menikmati “keadaan tetap hidup” (being alive)(Pkh. 2:24). Keempat, gagasan yang ditampilkan
qohelet tetap berakar mendalam pada prinsip dasar pemikiran Yahudi, tetapi dipengeruhi juga
sikap skeptic dan pesimistik sastra kebijaksanaan Mesopotamia. Kelima, kisah penciptaan
bermakna sederhana, yaitu terbentuknya pada awal mula hal-hal fisis (alam semesta) yang tidak
dapat diubah lagi dan penempatan sementara kehidupan generasi manusia yang terus berlanjut
(All the world’s a stage,/ And all the men and women merely players- seluruh dunia adalah
sebuah panggung/ dan semua laki-laki dan perempuan sekadar pemain-pemain). Dengan
demikian bagi qohelet doktrin divine providence (pemeliharaan Allah yang baik dan ’tak
terbatas) bersifat ‘sewenang-wenang’, terserah Allah. Dalam hal ini, apa yang Allah sedang
kerjakan adalah dalam rahasia-Nya. Dia mengatur dengan baik atau buruk, dan manusia tidak
dapat mengetahuinya. Bagi qohelet fakta ‘pewahyuan’, bahwa Allah telah menyatakan
kehendak-Nya melalui perantaraan Musa dan para nabi, secara khusus kepada bangsa Israel,
dikesdampingkan karena tidak ada kemungkinan komunikasi manusia dengan Allah. Keenam,
qohelet menegaskan bahwa situasi manusia setelah mati adalah tidak pasti, keberadaan
manusia hampir tidak ada (almost nonexistence) (Pkh. 9:10).
Sementara Alkitab Sabda12 mengemukakan lima ciri utama yang menandai kitab ini, yakni:

9
. R.B.Y. Scott, Proverbs-Ecclesiates:…. hal. 201, bandingkan C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian
lama, Jogjakarta: Kanisius, 1980, hal. 17. Dijelaskan oleh Groenen bahwa budaya kaum penjajah sangatlah
berpengaruh dalam kehidupan Yahudi sehingga tidak heran jika bahasa Aram juga menjadi bahasa sehari-hari
orang yahudi pada masa tertentu bahkan sampai pada jaman Yesus. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks
penulisan teks Penciptaan (Kejadian). Yunani sebagai sebuah bangsa juga selalu membawa kebudayaan mereka di
daerah jajahan, bahkan helenisme menjadi budaya popular dalam dunia Perjanjian baru, kendati kerajaannya
sudah ditaklukan Romawi.
10
. Jan Chistian Gertz (dkk), Purwa Pustaka,… hal. 706.
11
. Andre Purwanto Nursantosa, Kapan Allah membuat Segalanya Indah: Misteri Waktu Dalam Kitab
Pengkhotbah 3:11, dalam Jurnal Melintas volume 33 nomor 2, Bandung: Universitas Parahyangan, Agustus 2017,
hal. 165-170.
12
. http://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=pengkotbah+3%3A+1-15, diakses 30 Agustus 2018.
1. Kitab ini sifatnya sangat pribadi, penulis sering kali memakai kata ganti "aku" sepanjang
sepuluh pasal pertama.
2. Melalui sikap pesimisme penulis, kitab ini menyatakan bahwa hidup yang terpisah dari Allah
itu tidak menentu dan penuh dengan kesia-siaan (istilah "sia-sia" terdapat 37 kali dalam
kitab ini). Dengan sinis Salomo mengamati pelbagai paradoks dan kebingungan dalam hidup
ini (lih. mis. Pkh. 2:23 dan Pkh. 2:24; Pkh. 8:12 dan Pkh. 8:13; Pkh. 7:3 dan Pkh. 8:15).
3. Inti nasihat Salomo di dalam kitab ini terdapat di dalam dua ayat terakhir, "Takutlah akan
Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap
orang" (Pkh. 12:13-14).
4. Gaya penulisan kitab ini terputus-putus; kosakata dan susunan kalimatnya termasuk bahasa
Ibrani yang paling sulit dalam PL dan tidak mudah untuk menggolongkannya dalam masa
sastra Ibrani tertentu.
5. Kitab ini berisi alegori yang paling indah dalam Alkitab mengenai seorang yang makin tua
(Pkh. 12:2-7).
Sekalipun hanya satu bagian Pengkhotbah yang kelihatan dikutip dalam PB (Pkh.
7:20 dalam Rom 3:10, mengenai universalitas dosa), namun tampaknya ada beberapa rujukan
yang tak langsung: Pkh. 3:17; Pkh. 11:9; Pkh. 12:14, dalam Mat 16:27; Rom 2:6-8; 2Kor
5:10; 2Tes 1:6-7; dan Pkh. 5:14 dalam 1Tim 6:7. Kesimpulan penulis tentang kesia-siaan mencari
harta duniawi diulang oleh Yesus ketika Ia mengatakan
1. Bahwa kita hendaknya jangan mengumpulkan harta di dunia ini (Mat 6:19-21,24), dan
2. Bahwa tidak ada gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya
(Mat 16:26).
Tema kitab ini, yaitu hidup tanpa Allah adalah sia-sia dan tanpa arti, mempersiapkan
panggung untuk berita kasih karunia PB: sukacita, keselamatan, dan hidup kekal hanya diterima
sebagai karunia dari Allah (bd. Yoh 10:10; Rom 6:23).

C.1.2. Tafsiran Teks Pengkhotbah 3:1-15


Bagian ini akan menjadi bahan elaborasi pemikiran dari tafsiran beberapa ahli seperti
Emanuel Gerrit Singgih, Eka Darmaputera dan Jan Christian Gertz. Sementara itu, perasan yang
hendak ditekankan dalam teks ini berhubungan dengan tema dan subtema adalah waktu.
Dalam terjemahan berbahasa Inggris versi The Anchor Bible, frasa “segala sesuatu”
diterjemahkan every happening. Kata happening atau phenomenon, berasal dari kata hepes
(Ibrani) yang bermakna desire, desirable thing (hal yang diinginkan, diperlukan). Dengan
demikian, …”there is a proper time for every happening under the sun” (3:1) dapat dimaknai
“ada waktu yang pas untuk segala hal yang diinginkan atau diperlukan” (bdk. Pkh. 3:17; 8:6).
Dari sinilah qohelet menghadirkan empat belas (14) antitesis, yang terumuskan dalam ayat dua
sampai delapan, yang adalah skema Allah atas segala sesuatu. 13
Dalam empat belas antitesis itu qohelet tidak hanya berbicara tentang hal-hal yang
memang terjadi begitu saja tanpa bisa kita kendalikan, tetapi ia juga berbicara mengenai hal-hal
yang memang dapat kita pilih. Misalnya, pada ayat 7 yang mengatakan “Ada waktu untuk
merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk

13
. Andre Purwanto Nursantosa, Kapan Allah … hal. 177.
berbicara.” Ini adalah hal-hal yang sepenuhnya berada di tangan kita. Mau menjahit atau tidak,
semuanya ada dalam pilihan kita.14
Demikianlah bahwa ayat 1 merupakan penegasan atau tesis dari apa yang hendak
disampaikan oleh qohelet bahwa segala sesuatu ada masanya, ada waktunya. Sementara ayat 2-
8 adalah paradoksal atau antitesis yang dihadapi dalam masa atau waktu. Hal-hal demikiian bisa
terjadi dalam hidup. Walaupun ayat 7 membuka opsi yang bisa dilakukan manusia sebagai
pilihan hidup, namun intinya bisa diketahui bahwa manusia tidak dapat menghindar dari
paradoksal hidup yang terjadi dalam waktu hidup.
Kata “masa” diterjemahkan dari zeman yang mulai banyak dipakai sesudah
pembuangan, dan menjadi istilah umum pada zaman pasca PL. Sementara kata “waktu”
diterjemahkan dari kata et. Istilah ini umumnya digunakan dalam PL. LXX (septuaginta 15)
menerjemahkan zeman sebagai kairos dan et sebagai khronos.16
Istilah waktu (et) menghadirkan waktu yang ditempatkan pada sia-sianya umat manusia,
saat mengajak untuk bertindak, saat sekarang ini kairos. Kontras dengan itu, istilah abadi (olam)
menunjuk pada waktu yang dijauhkan dari manusia dan diperuntukan bagi Allah. Olam adalah
waktu yang tersembunyi, et waktu yang tampak jelas. Kedua istilah itu menggambarkan
terutama bukan lamanya waktu, melainkan suatu kualitas dan sebuah dimensi: et adalah waktu
manusia dan olam adalah waktu ilahi, namun kedua istilah itu saling terkait. 17
Karena olam bisa dimaknai dengan ketersembunyian, maka olam juga bisa diartikan
dengan kemisteriusan, oleh karena konteks kitab yang berbicara mengenai Allah yang misterius
dan tersembunyi. Singgih mengartikan olam sebagai keseluruan atau gabungan dari zeman dan
et. Jadi dapat ditempatkan dalam konteks waktu seperti dalam ayat 1-8. Artinya adalah
“keberlangsungan masa”.18 Jadi posisi olam sebagai waktu yang tersembunyi dan misterius itu
tidak sekadar menunjukan pada masa depan saat manusia sadar akan temporalitasnya,
melainkan juga tidak terbatas dari masa lalu ke masa depan.
Bagi qohelet segala sesuatu yang terjadi mempunyai makna. Allah memberikan makna
itu pada saat suatu hal terjadi. Waktu berada dalam hubungan langsung dengan Allah. Manusia
mempunyai suatu pandangan tentang “keabadian/kekekalan” yang melingkupi momen yang
diberikan pada mereka. Kesatuan dari waktu terdapat dalam hubungannya dengan Allah. Setiap
saat, seorang manusia dapat menemukan sesuatu yang menopang kehidupan jika Allah
menginjinkannya untuk melihat hal itu. Adalah hal yang mungkin untuk terlibat dengan waktu
yang diberikan jika memang Allah mengijinkannya.

C.2. Kajian Teologis Efesus 5:16


C.2.1. Latar Belakang Teks Surat Efesus 5:16
Efesus merupakan sebuah kota terpenting di Propinsi Romawi pada masa surat ini
ditujukan bagi jemaat di sana. Di Kota ini banyak orang Yahudi, yang menikmati kedudukan khas
pada zaman kerajaan Romawi mula-mula. Mungkin Akwila dan Priskila melayankan Injil di sana

14
. Eka Darmaputera, Merayakan Hidup….hal.37.
15
. Terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani Koine.
16
. Emanuel Gerrit Singgih, Hidup Di bawah Bayang-Bayang Maut; Sebuah Tafsiran Kitab Pengkhotbah,
Jakarta: BPK-GM, cet.6, 2015, hal. 59.
17
. Jan Chistian Gertz (dkk), Purwa Pustaka,… hal. 712.
18
. Emanuel Gerrit Singgih, Hidup Di bawah …hal. 67.
pada tahun 52 M, waktu paulus berkunjung sebentar di sana pada perjalanan penginjilan
kedua.19 Umumnya surat Efesus dikenal sebagai surat yang ditulis oleh Paulus dan
“dikelompokan” dalam surat-surat Am serta ditujukan ke jemaat Efesus (Ef. 1:1 dan 3:1). Konten
surat ini berisikan berbagai nasehat sesuai dengan konteks yang dialami dan dirasakan orang
percaya di jemaat Efesus.
Surat Efesus merupakan salah satu puncak dalam penyataan alkitabiah dan menduduki
tempat yang unik di antara surat-surat Paulus. Surat ini tidak ditulis sebagai jawaban terhadap
suatu kontroversi doktrinal atau persoalan pastoral seperti banyak surat lain, sebaliknya Efesus
memberikan kesan akan luapan penyataan yang melimpah sebagai hasil dari kehidupan doa
pribadi Paulus.
Paulus menulis surat ini ketika dipenjara karena Kristus (Ef 3:1; Ef 4:1; Ef 6:20),
kemungkinan besar di Roma. Ada banyak persamaan di antara surat ini dengan surat Kolose dan
mungkin ditulis tidak lama sesudah surat Kolose. Kedua surat ini mungkin dibawa secara
serentak ke tujuannya oleh seorang kawan sekerja Paulus yang bernama Tikhikus (Ef 6:21;
bd. Kol 4:7). Kepercayaan umum ialah bahwa Paulus menulis surat ini dengan maksud agar
sidang pembaca akan lebih luas daripada jemaat di Efesus saja -- mungkin surat ini ditulisnya
sebagai surat edaran untuk gereja-gereja di seluruh propinsi Asia. Pada mulanya mungkin setiap
jemaat di Asia Kecil menyisipkan namanya sendiri di Ef 1:1, sebagai bukti relevansi amanatnya
yang mendalam bagi semua gereja Yesus Kristus yang sejati. Banyak orang mengira surat Efesus
ini adalah surat kepada jemaat di Laodikea yang disebut Paulus dalam Kol 4:16.20
Tujuan Paulus dalam menulis surat ini tersirat dalam Ef 1:15-17. Dengan tekun ia berdoa
sambil merindukan agar para pembacanya bertumbuh dalam iman, kasih, hikmat, dan
penyataan Bapa yang mulia. Dia sungguh-sungguh menginginkan agar hidup mereka layak di
hadapan Tuhan Yesus Kristus (mis. Ef 4:1-3; Ef 5:1-2). Oleh karena itu, Paulus berusaha untuk
menguatkan iman dan dasar rohani mereka dengan menyatakan kepenuhan maksud kekal Allah
dari penebusan "dalam Kristus"(Ef 1:3-14; Ef 3:10-12) untuk gereja (Ef 1:22-23; Ef 2:11-22; Ef
3:21; Ef 4:11-16; Ef 5:25-27) dan untuk setiap orang (Ef 1:15-21; Ef 2:1-10; Ef 3:16-20; Ef 4:1-
3,17-32; Ef 5:1--6:20).
Dikutip langsung dari Alkitab Sabda21 Lima ciri utama menandai surat ini adalah:
(1) Penyingkapan kebenaran teologis akbar dalam pasal 1-3 (Ef 1:1--3:21)
dihentikan sejenak oleh dua doa rasuli yang paling berkuasa dalam PB: yang
pertama memohon hikmat dan wahyu dalam pengenalan akan Allah (Ef
1:15-23); yang kedua berfokus pada mengenali kasih, kuasa, dan kemuliaan
Allah (Ef 3:14-21).
(2) "Di dalam Kristus", sebuah istilah Paulus yang sangat berbobot (dipakai
160 kali dalam surat-surat Paulus) secara khusus menonjol dalam surat ini
(sekitar 36 kali). "Setiap berkat rohani" dan setiap persoalan praktis dalam
hidup ini berhubungan dengan perihal berada "di dalam Kristus".

19
. Lihat Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I A-L, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, cet.6, 2005,
hal. 207-208.
20
. http://alkitab.sabda.org/commentary.php?book=efesus&chapter=5&verse=16 , diakses 1 September
2018.
21
. http://alkitab.sabda.org/commentary.php?book=efesus&chapter=5&verse=16 , diakses 1 September
2018.
(3) Maksud dan tujuan abadi Allah bagi gereja ditekankan dalam surat
Efesus.
(4) Beraneka segi dari peranan Roh Kudus di dalam kehidupan Kristen
ditekankan (Ef 1:13-14,17; Ef 2:18; Ef 3:5,16,20; Ef 4:3-4,30; Ef 5:18; Ef 6:17-
18).
(5) Surat Efesus kadang-kadang dianggap sebagai "surat kembar" dengan
Kolose, karena persamaan dalam isi dan ditulis kira-kira pada waktu yang
sama (bd. Garis Besar kedua surat itu).

Ayat 16 pada Efesus 5, bukanlah ayat yang berdiri sendiri karena merupakan kesatuan
dari pasal yang oleh Abineno diberi judul tafsir atas teks Efesus 5:1-20 dengan Tentang Hidup
Jemaat. Sementara Ensiklopedi Alkitab22 menempatkan teks ini dalam bagian b saat membagi
dua bagian (a dan b) untuk garis besar isi surat dengan menjelaskan bahwa teks ini merupakan
lanjutan panggilan supaya hidup dalam kasih dan kesucvian, seperti anak-anak terang, penuh
dengan pujian dan berguna bagi sesama. Walau demikian, pasal ini tidak terlepas seluruhnya
dari bagian sebelumnya.23

C.2.2. Tafsiran Teks Efesus 5:16


Terjemahan Baru Lembaga Alkitab Indonesia (TB-LAI) memberi judul hidup sebagai
anak-anak terang pada Efesus 5:1-21. Sementara ayat 16 diterjemahkan dan pergunakanlah
waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Terkait dengan tema dan subtema, maka
penyelidikan kita berfokus p-ada kata waktu dalam teks ini.
Ayat ini merupakan kesatuan dari kalimat ayat sebelumnya yakni ayat 15, sehingga
menjadi “karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti
orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini
adalah jahat.” Menurut Joas, paulus menasehati jemaat efesus agar memerhatikan hidup
mereka. Apa yang membedakan “orang arif” dan “orang bebal” salah satunya adalah bagaimana
orang arif mampu mempergunakan waktu yang ada.24 Hal ini sama persis dengan apa yang
dituliskan (walau sedikit keras) Paulus untuk orang Galatia dengan menyebutkan mereka bodoh
karena mudah terpengaruh dengan ajaran di luar apa yang diajarkan paulus.
Kata waktu di sini memakai kata Yunani kairos, bukan chromos. Yang menarik, kata
pergunakanlah dalam bahasa aslinya lebih berarti ‘menebus’ (redeeming), seolah-olah kairos
tersebut sudah terampas oleh hari-hari yang jahat. 25 Banyak ahli tafsir yang berpendapat bahwa
kronos adalah waktu yang dapat diukur dengan jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan sebagainya;
baik sebagai waktu jangka pendek seperti sekejap mata (Lukas 4: 5) maupun jangka panjang
seperti puluhan tahun (Kisah 13:18). Kronos dapat menunjuk pada urutan waktu, detik dan
menit, yang dapat diukur. Oleh sebab itulah kita sering mendengar kata kronologi.

22
. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I A-L, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, cet.6, 2005, hal.
207-208.
23
. Lihat J.L.CH. Abineno, Surat Efesus, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis, Jakarta: BPK-GM, cet.12,
2017, hal. 168.
24
. Joas Adiprasetya, Labirin Kehidupan, Spiritualitas Sehari-hari bagi Peziarah Iman, Jakarta: BPK-GM,
2016, hal. 173.
25
. Joas Adiprasetya, Labirin Kehidupan… hal. 173.
Ho Kairos(=waktu yang ada) mempunyai rupa-rupa arti. Pertama, waktu akhir
sebagai waktu Allah (bdk. 1 Kor. 4:5; Gal. 6:9; 2 Tes. 2:6; 1 Tim. 6:15; 1 Ptr. 5:6),
yang telah ada pada waktu ini (1 Kor. 7:29; bdl. 1 Tim. 2:6; 2 Tim. 4:3; Tit. 1:3).
Kedua, waktu di mana kita diberikan kesempatan yang akhir untuk mengambil
keputusan (Rm. 13:11). Ketiga, waktu kerelaan (=kairos euprosdektos) Allah,
waktu keselamatan, yaitu keselamatan yang Ia kerjakan dalam Kristus dan yang
diberitakan oleh Injil (bdk. 2 Kor. 6:2).26

Jadi, Paulus menghendaki kearifan jemaat Efesus mesti ditunjukan lewat kemampuan
menemukan kehendak Allah di tengah beragam kehendak si jahat. Kearifan semacam ini
melampaui kemampuan mengolah waktiu (kronologi), namun juga mengolah momen atau
kesempatan yang Allah berikan (kairologi). Dengan kata lain, Paulus menghendaki jemaat Efesus
menjadikan kearifan hidup sebagai seni menemukan kairos di dalam tumpukan chronos.27
Abineno merumuskan penggunaan waktu yang terdapat dalam ayat ini seperti berikut;
perhatikanlah dengan seksama, supaya hari-hari yang jahat 28 yang di dalamnya kamu hidup
sekarang dan yang diberikan Tuhan kepada kamu untuk keselamatan kamu, kamu pahami dan
pergunakan sebagai waktu anugerah, waktu harapan, dan karena itu kamu jalani dengan
bijaksana.29

D. Kajian Tema: Pergunakanlah Waktu dan Tetap Berpengharapan!


Baik qohelet maupun Paulus menggunakan kata waktu untuk menggambarkan
kehidupan manusia dalam menjalani hidup di bumi, dan waktu yang dimaksudkan di sini tidak
sekadar menjangkau secara visioner-eskatologis tetapi bentangan waktu dari masa yang telah
lewat, saat ini dan ke depan. Terkait dengan waktu yang bersifat visioner-eskatologis, Qohelet
juga berbicara tentang kekekalan. Dalam bahasa Ibrani, kekekalan adalah olam, yang berarti
ketersembunyian. Selain itu kata olam yang bisa juga dimaknai sebagai waktu itu dapat
dimengerti sebagai waktu yang tidak terbatas dari masa lalu ke masa depan. Jadi kekekalan itu
sebetulnya berarti ketersembunyian atau misteri.30 Karena kekekalan (juga) dalam bentangan
waktu visioner-eskatologis, maka dapat dikatakan dia selalu berada di depan hidup manusia
atau berada di masa depan. Bila demikian, maka masa depan adalah sesuatu yang masih misteri
dan tersembunyi.
Dari bagian ini, qohelet mengajak manusia untuk melihat bahwa kehidupan itu sangat
menarik. Bukan saja karena hidup ini selalu berubah dan bervariasi, melainkan juga karena
sebagai manusia, kita diberikan kemampuan untuk melihat, baik ke belakang maupun ke depan.
Namun dibalik semua itu tetap selalu ada misteri. Kita tidak tahu persis apa yang sesungguhnya
terjadi.31

26
. J.L.CH. Abineno, Surat Efesus, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis, Jakarta: BPK-GM, cet.12, 2017, hal.
168.
27
. Bdk. Joas Adiprasetya, Labirin Kehidupan… hal. 173.
28
. Bisa juga dipahami dengan kuasa-kuasa yang jahat. Kuasa jahat bisa berasal dari kehidupan yang
sementara dijalani jemaat Efesus lewat pemerintah dan apapun.
29
. J.L.CH. Abineno, Surat Efesus, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis, Jakarta: BPK-GM, cet.12, 2017, hal.
192.
30
. Eka Darmaputera, Merayakan Hidup….hal.39.
31
. Eka Darmaputera, Merayakan Hidup….hal.39.
Keseluruan waktu, baik yang dimaksudkan oleh qohelet maupun Paulus, sebenarnya
tidak secara signifikansi membedakan antara waktu-waktu yang digunakan oleh manusia dan
saat kehendak Allah hadir dalam waktu-waktu manusia, yang dalam teologi konvensional sering
disebut sebagai waktu Tuhan. Dalam konteks waktu sebagai waktu Tuhan atas manusia, Yohanes
Calvin menggambarkannya sebagai predistinasi.
Secara umum, predistinasi bisa dimaknai sebagai ketetapan yang dibuat Tuhan atas
hidup manusia, baik secara pribadi maupun komunal. Ketetapan Tuhan yang dimaksudkan
Calvin ini oleh kebanyakan orang sering disejajarkan dengan pemikiran qohelet soal waktu.
Namun dalam kenyataan hidup manusia, menurut Joas, pemikiran Paulus tentang kronos dan
kairos tidak dapat dipisahkan karena sesungguhnya tidak bermanfaat.
Menemukan momen kairos yang penting di tengah rutinitas kronos memang perlu,
namun pada saat bersamaan harus dikatakan bahwa kairos tidak akan ditemukan di luar kronos.
Kairos selalu membutuhkan kronos untuk hadir dan mewujud. Momen-momen penting yang
Allah kerjakan selalu mengambil tempat dan melekat pada, dan bukan di luar, keseharian
hidup.32
Yesus Kristus sebagai Kepala Gerakan merupakan manifestasi kehadiran Allah dalam
waktu kehidupan manusia. Kehadiran-Nya dalam waktu kehidupan manusia memancarkan dan
menunjukan keberpihakan Allah kepada kehidupan. Yesus adalah kairos Allah dalam kronos
manusia, namun juga menjadi kesempatan manusia untuk menggunakan waktu yang diberikan
saat bersama-Nya. Dalam catatan beberapa ahli teologi dikisahkan waktu pelayanan Yesus
untuk mengabarkan kasih Allah adalah tiga tahun. Tentunya waktu ini sangatlah singkat
dibandingkan dengan masa periode pemerintahan di Indonesia saat ini.
Kisah pelayanan Yesus yang singkat itu mesti melewati beragam persoalan, baik secara
internal dalam komunitas bersama para Murid-Nya dan juga komunitas dalam lingkup sosial
kemasyarakatan yang cukup kuat dipengaruhi oleh tradisi keagamaan, yakni Yahudi. Dalam
perspektif sosiologis-politis konteks itu, tentu saja akan hadir anggapan bahwa gerakan Yesus
mengalami kegagalan. Namun secara sosiologis-historis sebagai pendukung kajian teologis,
maka pelayanan dari gerakan Yesus justru berbuah lebat pada masa-masa mendatang setelah
masa Yesus di bumi. Hal ini menandakan bahwa, pekerjaan dari gerakan Yesus, tidak mesti
dihitung pada saat hal itu dilakukan. Atau dengan kata lain, paradoksal yang disebutkan qohelet
yang membuat manusia bersukacita, bisa langsung ditangkap maknanya dalam hidup, tetapi
bagian paradoks lainnya yang membuat manusia berdukacita, kadang membutuhkan waktu
untuk dimengerti. Artinya kekristenan itu sebuah proses yang hadir dalam waktu yang terus
menerus berubah.
Yesus berhasil menggunakan waktu yang ada untuk memberitakan kesukacitaan yang
kita kenal dengan kekristenan. Dan dalam waktu-waktu yang terus bergulir dari masa ke masa,
selalu ada harapan nilai-nilai kekristenan itu diaplikasikan sebagai wujud nyata menghadirkan
syalom Allah di bumi. Tanpa bermaksud menciptakan agama baru dalam sosio-kultur konteks
saat itu, Yesus menggunakan waktu mengabarkan nilai kebaikan yang pada masa kini sejajar
dengan nilai universal untuk hidup bersama dalam bumi ini yakni persaudaraan.
Dari yang dipaparkan di atas maka bisa ditarik benang biru dan digarisbawahi soal
teologi waktu dalam tema kita adalah:

32
. Joas Adiprasetya, Labirin Kehidupan… hal. 174.
1. Dalam konteks GMKI, waktu dengan artian jam pada angka-angka, menurut qohelet,
hadir sebagai sebuah pengulangan masa. Walau demikian, tidak bisa dipahami bahwa
yang terjadi dalam waktu yang seolah berulang dalam angka-angka itu adalah kejadian
yang sama persis. Karena konten hidup dalam waktu selalu berubah, dan dalam
perubahan itu bisa terjadi paradoksal hidup yang bisa dimengerti namun kadang belum
bisa dimengerti. Ada peristiwa atau kejadian yang melibatkan GMKI atau dihadapi GMKI
pada masa lalu, bisa saja terulang kembali dalam masa kini, namun pada dasarnya
situasi atau konteksnya pasti berbeda. Karena itu, dibutuhkan kajian baru meski
peristiwa masa lalu itu tetap dijadikan referensi.
2. Waktu hadir dalam kehidupan GMKI sebagai organisasi agar GMKI menghargai
kehidupan. Dalam paradoks kehidupan, GMKI akan menghadapi kenyataan bahwa GMKI
tidak dapat mengendalikan waktu yang terus berjalan tanpa menunggu arahan dan
petunjuk. Karena kehidupan itu hanya bisa terjadi dalam waktu. Karena itulah, manusia
akan memiliki pengalaman-pengalaman hidup yang ”memaksa” GMKI untuk menghargai
waktu. Usaha menghargai waktu secara arif inilah yang ditekankan oleh Paulus sebagai
usaha menata hidup untuk lebih baik lewat penataan organisasi. Dengan kata lain,
menghargai waktu sama halnya dengan menghargai kehidupan.
3. Waktu hadir sebagai sebuah kritik atas kehidupan. Kritik yang dimaksudkan di sini ialah
pengalaman kehidupan masa lalu yang tidak humanis dan ekologis yang akhirnya
mewariskan masalah bagi kehidupan di waktu kini. Kehadiran waktu kini yang
memperlihatkan hasil dari perbuatan manusia entah individu ataupun kelompok pada
waktu lampau mestinya menjadi pelajaran bagi GMKI saat ini. Namun kenyataannya
masih ada individu atau kelompok dalam konteks eksternal GMKI yang mewarisi mental
kolonialisme sehingga masalah-masalah sebagai warisan masa lalu itu makin menguat
dalam hidup karena gaya gaya kehidupan manusia kini. Karena itu kehadiran waktu mesti
dipergunakan GMKI sebagai sarana mengkritik laku manusia yang tidak menghargai
kehidupan. Karena bila tidak, maka GMKI sama persis dengan manusia yang tidak
menghargai kehidupan.
4. Terkait dengan poin di atas, maka selanjutnya waktu hadir dalam kehidupan sebagai
sebuah pilihan dan kesempatan bagi GMKI. Waktu membuka pintu kepada GMKI untuk
menentukan pilihan hidup sebagai kesempatan dalam setiap usaha mengambil
keputusan.
5. Waktu juga hadir sebagai penanda dan pengingat. Kehadirannya menandakan sebuah
momen yang bisa saja telah terjadi di masa lalu sebagai penanda dan pengingat akan
peristiwa atau kejadian penting yang mesti terus diingat dalam konteks tertentu. Momen
yang dimaksudkan dalam poin ini biasanya disebut sebagai peringatan. Ia tidak sekadar
hadir dalam wujud kesukacitaan tetapi juga penanda reflektif atas hidup yang kadang
dianggap singkat ini. Agar dalam bentangan waktu selanjutnya, manusia, terkhususnya
GMKI, bisa mengisi hidup yang bersinergi dengan waktu ini dengan hal-hal yang
bermanfaat.
E. Sub Tema:
Meneguhkan Iman, Harapan dan Kasih Persaudaraan Serta Mendayagunakan Potensi
dalam Mempersiapkan Masa Depan yang Beradab dan Mandiri Menjelang Bonus
Demograf
Meneguhkan Iman, Harapan dan Kasih Persaudaraan
Kasih persaudaraan merupakan bahasa lain dari usaha-usaha hidup bersama antar
sesama ciptaan. Refleksi atas kasih persaudaraan tertuang jelas dalam dua tema dan subtema
terakhir dari GMKI yakni Persaudaraan Yang Menghidupkan serta Berdamailah Dengan Semua
Ciptaan. Selain bersifat kontiunitas sebagai sebuah kewajaran dalam penyusunan tema- sub
tema, kasih persdaudaraan juga masih dalam pergumulan eskatologis. Usaha visioner ini kadang
masih dimaknai secara sempit oleh beberapa kalangan dalam pengertian terbatas dan tertutup
atau karena adanya kesamaan, entah ideologi, agama, ras dan lain sebagainya.
Kasih persaudaraan telah banyak disinggung dalam Alkitab. Mazmur 133 secara tegas
membicarakan soal kasih persaudaraan. Persaudaraan yang dimaksudkan dalam Mazmur 133 ini
memperlihatkan ekspresi indah solidaritas kekeluargaan. Keluarga adalah organisasi sederhana
dan terkecil dalam lingkup sosial kemasyarakatan. Jadi konsep kasih persaudaraan bila dimaknai
penggunaannya dalam skala GMKI, maka organisasi GMKI merupakan keluarga. Keluarga dapat
menjadi pusat pembelajaran dari pengembangan karakter anggota keluarga. Karena itu sangat
diperlukan metode tetap dalam membangun sebuah keluarga. 33
Pemaknaan keluarga dalam konteks GMKI sebagai rumah bersama memungkinkan sikap
keterbukaan atau inklusif dan humanis terhadap segala ciptaan. Sikap ini merupakan sikap yang
melebihi solidaritas yakni hopitalitas, karena dalam Hospitalitas sejati, tamu berkali-kali menjadi
tuan rumah.34 Dalam kehidupan bersama di Indonesia semangat ini sejalan dengan warna GMKI
tentang oikumenisme-nasionalisme. Gaung kasih persaudaraan adalah kekuatan merawat
Indonesia seutuhnya tanpa menghilangkan spirit lokal atau tanpa berusaha memaksa setiap
warga Negara untuk menjadi sama. Justru kepelbagaian sebagai khas Indonesia adalah alasan
tepat mendaratkan kasih persaudaraan yang akan menjadi kekuatan untuk menjaga Indonesia.
Hal inilah yang perlu terus menerus disampaikan kepada seluruh kader GMKI bahkan
dijadikan gaya hidup. Karena cara ini adalah bentuk usaha meneguhkan Iman dan harapan
kader untuk hidup dalam kasih persaudaraan yang menjunjung tinggi keramahtamahan atau
hospitalitas. Yang terpenting adalah bahwa keramahtamahan atau hospitalitas dari kasih
persaudaraan yang dilandasi dengan Iman kepada Yesus Kristus itu, mesti berlangsung dalam
ruang yang konrit dalam setiap waktu. Bahkan hal ini merupakan seni “mencipta
waktu/momen” (an art of making time) untuk kebaikan.35 Karena itulah mesti selalu ada
33
. Lihat penjelasan penjelasan sub tema hasil Kongres XXXV Tarutung 2016. Disitu tertulis, Jika kita
dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kemarahan dan rasa benci tentu akan membentuk habitus yang
membenci dan penuh kemarahan juga. Berbeda jika kita hidup dan dibesarkan dalam lingkungan yang memegang
nilai-nilai perdamaian, mampu menerima perbedaan, mencintai alam, maka habitus yang terbentuk adalah sikap-
sikap yang menjadikan damai sebagai the way of life. Karena nilai-nilai itu dihayati terus menerus melalui orang-
orang yang ada di lingkungan setiap individu. Yesus adalah juru damai. Perdamaian yang sudah dilakukan oleh
Yesus adalah perdamaian yang holistik. Segala kekerasan yang dilakukan oleh manusia yang menyakiti manusia
lainnya, menyakiti ciptaan lainnya bisa merusak karya perdamaian yang dilakukan oleh Yesus. Damai itu harus
menjadi the way of life kita sebagai bentuk keteladanan yang kita ikuti dari Yesus
34
. Joas Adiprasetya, Labirin Kehidupan… hal. 160.
35
. Joas Adiprasetya, Labirin Kehidupan… hal. 161.
keteguhan iman dan harapan dari kader GMKI untuk terus menciptakan kesempatan terus-
menerus hidup dalam kasih persaudaraan.

Mendayagunakan Potensi
Kata mendayagunakan dipilih secara sengaja. Kata ini berasal dari dua suku kata yakni
daya dan guna. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mendayagunakan adalah , (1)
mengusahakan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat, (2) mengusahakan agar mampu
menjalankan tugas dengan baik. Bila kata memberdayakan dimengerti sebagai usaha membuat
berdaya, yang konotasinya masih mengandung usaha mengeluarkan kekuatan tersembunyi dari
yang hendak diberdayakan, maka kata mendayagunakan mesti dimengerti sebagai usaha
mendorong berfungsinya kekuatan yang sudah terlihat atau ada.
Sementara kata potensi menurut KBBI adalah (1) kemampuan yang mempunyai
kemungkinan untuk dikembangkan, (2) kekuatan, (3) kesanggupan. Potensi bisa dimiliki oleh
apapun seperti manusia dan juga ciptaan lainnya yang tentunya berkonotasi positif. Contohnya
perwilayahan tertentu yang memiliki potensi di bidang pertanian. Itu berate potensi tidak akan
menjadi sebuah kekuatan atau berkat bila tidak ada usaha untuk mendayagunakannya.
Secara teologis, Kepala Gerakan telah memberikan contoh dalam pelayanan-Nya. Yesus
melihat segala potensi yang dimiliki oleh orang-orang yang dipanggil-Nya. Dengan pendekatan
Guru dan murid, Yesus melatih, mengajarkan dan menasehati bahkan memberikan semangat
dalam pengharapan kepada para murid untuk setia dalam pelayanan dan juga mendayagunakan
potensi yang mereka miliki sebagai “modal” memberitakan Syalom Allah.
Potensi yang dimaksudkan di dalam sub tema adalah segala kemampuan yang dimiliki
oleh GMKI, baik itu anggotanya maupun aset lainnya. Dari sisi keanggotaan, GMKI memiliki
potensi beragam yang bisa menjadi kekuatan penyanggah internal dan juga eksternal. Dalam
sejarah telah dicatat potensi-potensi kader yang dimiliki GMKI turut serta merawat organisasi
GMKI, gereja bahkan Negara Indonesia lewat kontribusi pikir dan tenaga. Catatan sejarah itu
tidak mesti menjadikan GMKI larut dalam romansa memorial, melainkan pelecut semangat
untuk melejit melanjutkan warisan pengabdian.
Melanjutkan warisan pengabdian adalah keharusan. Dalam konteks yang berbeda
(waktu dan situasi), tentunya milennium ini diperhadapkan dengan segala kemungkinan.
Persaingan semakin ketat dengan terbukanya kesempatan yang sama dengan standar
kompetensi yang disesuaikan dengan kebutuhan konteks, mestinya memacu GMKI untuk
mendayagunakan seluruh potensinya agar dapat memproduksi kader yang siap menghadapi
tantangan di dunia kerja dan profesional. Itu berarti potensi lainnya seperti kurikulum PDSPK
dan lembaga bentukan harus sinergi dalam membangun GMKI.

Mempersiapkan Masa Depan yang Beradab dan Mandiri Menjelang Bonus Demograf
Dalam kajian tema, masa depan disebutkan oleh qohelet (olam) sebagai kekekalan yang
tersembunyi atau misteri. Manusia tidak dapat melihatnya secara langsung bahkan tidak dapat
menguasainya dan menaklukannya secara langsung. Namun demikian tetap ada pengharapan
untuk memprediksikannya. Segala prediksi itu bisa dilakukan dengan cara analisa sosial
kemasyarakatan dengan berbagai pendekatan.
Hasil analisa Badan Pusat Statistik tentang loncatan pertumbuhan penduduk dalam skala
internasional dan nasional menghadirkan apa yang disebut dengan bonus demografi yang
merupakan bonus terhadap sebuah Negara sebagai akibat dari bbesarnya proporsi penduduk
produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Hal ini
berdasarkan analisa para ahli akan dimulai pada tahun 2020. Laporan Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang menyatakan bahwa di bandingkan dengan Negara Asia lainnya, angka
ketergantungan penduduk Indonesia akan terus menerus menurun sampai tahun 2020.
Waktu seperti ini sudah seharusnya menjadi peluang bagi Indonesia, secara khusus bagi
Indonesia. Prasyarat utama yang harus dimiliki oleh kader GMKI memanfaatkan bonus
demografi adalah Sumber daya kader yang berkualitas. Karena dengan adanya SDM yang
berkualitas dapat meningkatkan pendapatan perkapita Indonesia apabila ada kesempatan kerja
produktif.36 Dengan demikian maka kader GMKI bisa mandiri.
Namun perlu juga dianalisa faktor yang bisa menghambat bonus demografi sebagai
peluang dan kesempatan seperti isu yang dapat memecahbelah Negara Indonesia seperti
paham radikalisme dan terorisme. Karena itulah kalimat yang digunakan dalam sub tema adalah
mempersiapkan masa depan dengan cara mengimbangi atau bahkan “melawan” faktor yang
menghambat itu, sehingga bonus demografi menjadi masa atau waktu di mana kader GMKI bisa
mandiri dalam bumi yang beradab.

36
. Andhini Rosari, Bonus Demografi dan Dampak Terhadap Indonesia, Kompasiana, 11 Desember 2017.

Anda mungkin juga menyukai