Anda di halaman 1dari 3

Penggunaan Dimetil Sulfoksida

Majalah Farmasi Airlangga, Vol.6 No.1, April 2008

23

Penggunaan Dimetil Sulfoksida (DMSO) Sebagai Pelarut Untuk Analisis Uji Batas Cemaran Organik Mudah Menguap Menggunakan Kromatografi Gas Asri Darmawati, Ahmad Syafii Afandi, Achmad Inoni Departemen Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Airlanggga, Surabaya (E-mail: asridarmawati@yahoo.com) Organic volatile impurities (OVIs) can be retained in pharmaceutical product when organic solvent was used in their manufacturing process. It is necessary to assure that pharmaceutical product contain OVIs level below recommended acceptable levels, because OVIs do not have advantageous therapeutic effect, and can cause unwanted toxic effect. The aim of this study was to determine whether some class II solvent i.e. methanol, n-hexane, chloroform, and 1,4 dioxan, and class III solvent i.e aceton, can be detected by modified method I of USP for OVIs using DMSO as solvent. Validity parameter of the method was specificity and detection limit. Good resolutions between these solvents obtained were 3.49 (methanol-acetone), 10.5 (acetone n-hexane), 3.13 (n-hexane-chloroform), 1.57 (chloroform- n-hexanes impurities), 17.5 (n-hexanes impurities - 1,4 dioxan), and 5.3 (1,4 dioxan dimethyl sulfoxide). While detection limit (in ppm unit) of methanol, acetone, n-hexane, chloroform, and 1,4 dioxan were (0.184), (1.331), (0.715), (35.05), and (6.277) respectively.
Keyword: Organic Volatile Impurities (OVIs), Gas Chromatography, Dimethyl sulfoxide (DMSO)

PENDAHULUAN Pelarut organik biasa dipakai dalam proses manufaktur bahan baku farmasetika, dengan tujuan antara lain untuk memperbanyak hasil produk, memperbaiki proses kristalisasi, meningkatkan kelarutan, homogenisasi dan lain-lain (Roger, 2004). Karena dampak toksikologi, maka diperlukan kontrol yang ketat terhadap residunya (Anonim, 2006). Hal ini karena setelah melalui proses pembuatan menjadi sebuah produk, residu pelarut yang digunakan akan berpotensi menjadi cemaran organik mudah menguap (organic volatile impurities/OVIs) bagi produk tersebut. Banyak produk farmasetika yang diberi batas adanya cemaran organik mudah menguap pada setiap tahap manufakturnya, mulai dari bahan baku, produk antara sampai produk jadi (Marotta, 2006). Ada 57 macam pelarut yang umum digunakan dalam proses manufaktur. Berdasarkan potensial terhadap bahaya/toksisitas yang akan ditimbulkan, 57 macam pelarut tersebut digolongkan menjadi 3 kelas, yaitu pelarut yang toksisitasnya tinggi (non acceptable toxicity) misalnya benzena (pelarut kelas I), pelarut yang toksisitasnya lebih rendah namun masih sangat berbahaya bagi tubuh (metanol dan lain-lain/ pelarut kelas II), dan pelarut yang toksisitasnya lebih rendah lagi (etanol dan lain-lain/ pelarut kelas III) (Anonim, 2007). Untuk residu pelarut kelas III (yang paling sedikit toksisitasnya) uji susut pengeringan cukup untuk memastikan bahwa residu pelarut yang ada tidak melebihi spesifikasi yang ada dalam pustaka (Anonim, 2007). Farmakope Indonesia IV memberikan batasan tentang jenis cemaran organik mudah menguap dan jumlah yang masih diperbolehkan dalam suatu bahan, antara lain benzena (100 ppm), kloroform (50 ppm), 1,4 dioksan (100 ppm), metilen klorida (100 ppm), dan trikloroetilen (100 ppm). Penentuan kadar cemaran organik mudah menguap dapat dilakukan dengan 6 metode menggunakan Kromatografi Gas (KG). Pada prosedur ini, metode I, V, dan VI didasarkan pada

penyuntikan sampel dalam pelarut air secara langsung. Sementara metode II, III, dan IV digunakan untuk sampling headspace (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995) Revisi monograf pada USP 29-NF 24, akan menambahkan suatu persyaratan residu pelarut (Anonim, 2007). Persyaratan ini ditujukan khususnya terhadap pelarut-pelarut kelas I dan II yang digunakan dalam proses manufaktur produk yang bersangkutan. Ekstraksi residu pelarut dari bahan obat umumnya menggunakan air. Masalah dapat terjadi saat sampel yang mengandung air dianalisis dengan penyuntikan langsung pada KG, khususnya yang menggunakan kolom kapiler. Hal ini terjadi karena air bersifat lebih polar dari kebanyakan fase diam. Saat air dimasukkan dalam suatu injektor bersuhu tinggi, uap air akan menyebar dengan cepat dalam kolom sehingga bentuk puncak dari analit organik menjadi sangat terdistorsi (Anonim, 2006). Tekanan balik yang disebabkan oleh penguapan air dalam injektor (back flush) juga akan lebih meningkatkan resiko kerusakan kolom dan terbentuknya peak palsu pada kromatogram yang dihasilkan. Jadi, jenis pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi cemaran organik mudah menguap maupun jenis kolom dari KG yang digunakan sangat berperan dalam analisis cemaran organik mudah menguap. Sehingga pemilihan jenis kolom kromatografi dan pelarut non air menjadi sangat penting. Penelitian terdahulu telah menggunakan DMSO sebagai pengekstraksi beberapa residu pelarut organik (a.l. metanol, aseton, asetonitril) menggunakan KG dengan kolom fused silica 60m 0,32mm (Anonim, 2006). Dalam penelitian ini, akan diteliti kemampuan DMSO sebagai pelarut untuk analisis uji batas cemaran dari beberapa pelarut organik. Sebagai sampel dalam penelitian ini adalah metanol, aseton, kloroform, n-heksana, dan 1,4 dioksan. Senyawa-senyawa ini dipilih, karena umum dipakai dalam proses farmasetika. Selain itu aseton merupakan

24

Majalah Farmasi Airlangga, Vol 6 No.1, April 2008

Darmawati A., et.al.

salah satu pelarut kelas III, sedangkan metanol, kloroform, n-heksana, dan 1,4 dioksan merupakan pelarut-pelarut kelas II, sehingga adanya residu pelarut tersebut dalam suatu sediaan/bahan obat, jumlahnya dibatasi. Menurut USP, validasi yang perlu dilakukan untuk analisis uji batas antara lain Batas Deteksi (BD) dan Spesifitas (The USP Convention, 2002). BAHAN DAN METODE Bahan. Pelarut yang digunakan DMSO 99,9% (bobot jenis 1,10). Analit yang diteliti adalah metanol 99,8% (bobot jenis 0,79), aseton 99,5% (bobot jenis 0,79), kloroform 99,0%-99,4% (bobot jenis 1,49), 1,4 dioksan 99,5 % (bobot jenis 1,03), dan heksana 99,0% (bobot jenis 0,66). (Semua dari E-merck) Instrumen. Kromatograf gas (Agilent 6890 series), kolom kapiler HP 5 ( panjang 30 m, diameter dalam 0,32 mm, tebal film 0,25 m). Optimasi Kondisi Kromatografi Gas. Dibuat larutan baku induk dan larutan baku kerja dari masingmasing analit. Konsentrasi larutan analit yang dibuat 5000 ppm. Kemudian dilakukan optimasi kondisi KG menggunakan larutan analit yang telah dibuat.. Sebagai pembawa adalah helium dengan kecepatan alir 35 cm/detik, FID (260C), oven diatur suhu terprogram (awal 35C selama 5 menit, kemudian dinaikkan 8C/menit sampai 175C, kemudian dinaikkan lagi 35C/menit sampai 260C dan pertahankan suhu ini sampai 16 menit). Suhu gerbang suntik 175C, Split ratio 1:10, dan volume penyuntikan 1 L. Uji batas deteksi (BD). Disuntikkan DMSO ke dalam KG, kemudian ditentukan noise dari masingmasing analit dengan melihat area pada daerah waktu retensi masing-masing analit pada kromatogram DMSO yang didapatkan. Selanjutnya disuntikkan larutan baku analit dengan kadar seperti tercantum pada tabel I . Tabel 1. Konsentrasi larutan baku analit untuk penentuan batas deteksi Larutan Larutan Larutan Larutan Larutan I II III IV V (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 0,75 1,00 1,25 1,50 1,75 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 3,50 4,00 4,50 5,00 5,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00

Dari persamaan regresi (konsentrasi vs area) larutan sampel tersebut di atas, dapat ditentukan harga slope (Sl) masing-masing. analit. Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus BD = 3 Sb/Sl (Carr and Wahlich, 1990). HASIL DAN PEMBAHASAN Kromatogram campuran analit dalam DMSO dan kromatogram analit-analit yang diteliti dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Kromatogram metanol, aseton, heksana, k1oroform,4 dioksan (5000 ppm dalam DMSO)

Gambar2. Kromatogram metanol (2,00 ppm), aseton (1,25 ppm), heksana (0,35 ppm), kloroform (4,50 ppm) dan 1.4 dioksan (3,00 ppm) dalam DMSO Selektivitas. Waktu retensi, harga resolusi dan selektifitas dari masing-masing analit, dari puncak analit lain di dekatnya, dapat dilihat pada tabel 2. Dari tabel 2. tersebut dapat disimpulkan bahwa derajat pemisahan masing-masing analit telah memenuhi persyaratan (R 1,5) (Skoog et. al., 1998). Batas Deteksi. Persamaan regresi linier dari masingmasing larutan analit pada rentang kadar 0,25 5,5 ppm dapat dilihat di bawah ini : Metanol : y = 1,0030 x 0,8263, r = 0,9759 Aseton : y = 0,1391 x 0,0828, r = 0,9798 Heksana : y = 0,1653 x 0,0374, r = 0,8746 Kloroform : y = 0,006248 x 0,01385, r = 0,9723 Dioksan : y = 0,06358 x 0,1006, r = 0,9843 Diketahui bahwa nilai r tabel ( = 0,05, n = 5) adalah 0,7545. Harga Vxo dari persamaan garis regresi tersebut di atas, berturut-turut adalah 10,1%, 7,44%, 14,4%, 4,87% dan 5,45%.

Analit Metanol Aseton n-Heksana Kloroform Dioksan

Penggunaan Dimetil Sulfoksida

Majalah Farmasi Airlangga, Vol.6 No.1, April 2008

25

Dari persamaan diatas diketahui bahwa nilai r hitung lebih besar daripada r tabel . Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan linier antara konsentrasi dan area analit. Noise (Sb) dari masing-masing analit ditentukan berdasarkan area terbesar pada daerah waktu retensi dari masing-masing analit pada kromatogram DMSO yang didapatkan (Carr and Wahlich, 1990). Dengan rumus BD=3Sb/Sl. nilai batas deteksi masing-masing analit dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 2. Waktu retensi, nilai resolusi dan selektifitas masing-masing analit Waktu retensi Resolusi Selektifivitas Analit (menit) Metanol 3,32 Aseton 3,66 3,49 1,59 n-heksana 4,58 10,50 2,00 Kloroform 4,90 3,13 1,17 Pengotor 5,07 1,57 1,08 n-heksana 1,4 6,84 17,50 1,76 dioksan DMSO 14,20 5,30 2,82 Tabel 3. Harga batas deteksi analit Noise =Sb Batas Deteksi Analit (pA) (ppm) Metanol 0,061 0,184 Aseton 0,061 1,331 n-Heksana 0,039 0,715 Kloroform 0,073 35,050 1,4-dioksan 0,133 6,277 Permitted Daily Exposure (PDE) menurut ICH (Anonim, 2007) untuk metanol (3000 ppm), kloroform (60 ppm), heksana (290 ppm), dan 1,4 dioksan (380 ppm). Untuk aseton, karena merupakan pelarut kelas III yang memiliki efek toksik paling rendah, kriteria batas yang diijinkan adalah kurang dari 0,5%. Melalui perhitungan (Anonim, 2007) diketahui bahwa jumlah maksimal cemaran organik mudah menguap yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan tubuh dalam 20 mg per mL zat uji (yaitu berat zat yang akan dianalisis menurut prosedur standar) masing-masing adalah 60 g (metanol), 100 g (aseton), 5,8 g (heksana), 1,2 g (kloroform), dan 7,6 g (1,4-dioksan).

Kesimpulan. Dengan melihat batas deteksi dari masing-masing analit dalam pelarut DMSO dan jumlah maksimal cemaran organik mudah menguap dalam 20 mg per mL zat yang akan dianalisis, dapat disimpulkan bahwa prosedur analisis yang diteliti dapat digunakan untuk uji batas metanol, aseton, heksana, dan 1,4dioksan. Untuk uji batas kloroform sebagai cemaran organik mudah menguap, prosedur analisis yang diteliti ini belum sesuai, karena perlu dilakukan peningkatan kadar zat/bahan yang akan dianalisis sampai 30 kali kadar awal ( 30 x 20 mg/mL) agar kloroform sebagai cemaran dalam zat tersebut dapat dianalisis dengan baik/valid. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004. GC Analysis of Organic Volatile Impurities According to USP <467> Suplement Two of USP 52-NF 20. http://www.restekcorp.com diakses 01/2006. Anonim, 2006. The Simplest Solution for Fast Screening of Organic Impurities In Pharmaceutical Product. http://www.thermo.com. (diakses tanggal 11/11/2006). Anonim, 2007. h467i Residual Solvent. http://www.usp.org. (diakses tanggal 26/07/2007) Carr, G.P. and Wahlich, J.C.,1990. A Practical Approach to Method Validation in Pharmaceutical Analysis. Journal pharmaceutical dan biomedical Analysis, pp: 613-618. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. hal 943946, 998-999. Marotta L., 2006. Organic Volatile Impurities by Headspace Gas chromatography.http://www. Perkin elmer.com 2006. Roger L. F., 2004. The Determination of Residual Solvent in Pharmaceutical Using the Agilent G1888 Network Headspace Sampler. http://www.agilent.com/chem library/ 21/06/2004. Skoog, D.A., Holler, F.J., and Nieman, T.A., 1998. Principles of Instrumental Analysis, Fifth edition, United States of America: Harcourt Brace and Company, pp 701-724. The United States Pharmacopeial Convention, 2002. The United States of Pharmacopeia, 25th Ed., Vol 3, Rockville: The United States Pharmacopeial Convention, Inc., pp.2256-2261.

Anda mungkin juga menyukai