Anda di halaman 1dari 17

GANGGUAN OBSESIF-KOMPULSIF

Gangguan obsesif-kompulsif adalah suatu keadaan medis yang biasanya muncul pada masa akhir kanak-kanak atau dewasa muda, dan jika tidak diobati dapat menjadi kronis. Masih diperdebatkan apakah gangguan ini lebih tepat diklasifikasikan ke dalam gangguan kecemasan atau gangguan putative terkait obsesif-kompulsif. Gambaran biologis yang di dapat pada gangguan obsesifkompulsif ini adalah adanya anomali/kelainan pada jaras serotonin dan sirkuit yang terganggu pada area orbito-striatal dan dorsolateral prefrontal cortex. Pendekatan kognitif-behavior dari gangguan obsesif-kompulsif mendukung secara empiris dalam beberapa hal, namun tidak menjelaskan mengenai gangguan ini secara lengkap. Pendekatan ini menekankan pada adanya kepercayaan yang menyimpang pada penderita. Baik pendekatan secara biologis dan kognitif telah menuntun pada pengobatan empiris untuk gangguan ini, contohnya serotoninreuptake inhibitors dan berbagai bentuk terapi kognitif-perilaku. Perkembangan baru dalam pengobatan gangguan obsesif-kompulsif melibatkan obat-obatan yang bekerja dalam konjungsi dengan terapi kognitif-behavior, dimana yang terapi paling menjanjikan adalah D-cycloserine.

PENDAHULUAN Gangguan obsesif-kompulsif memiliki ciri adanya obsesi, kompulsif, atau yang lebih umum terjadi, didapatkan keduanya. Obsesi memiliki 4 komponen esensial: merupakan pikiran, impuls, atau gambaran yang berulang dan menetap; yang mengacaukan/mengganggu dan menyebabkan kecemasan yang besar, bukan hanya kekhawatiran berlebihan terhadap masalah di kehidupan nyata; individu yang terganggu berusaha untuk mengacuhkan, menekan, atau menetralkan kecemasan/kekhawatiran berlebihan tersebut dengan berbagai pikiran atau tindakan; dan individu tersebut menyadari bahwa pikiran-pikiran tersebut merupakan buah pikirannya sendiri. Termasuk contoh obsesi adalah pikiranpikiran mengenai terjadi nya hal-hal yang tidak diinginkan atau bayangan bahwa dirinya telah menyakiti orang yang dicintai, pikiran bahwa dirinya telah lupa

mengunci

pintu

atau

mematikan

listrik,

pikiran

bahwa

dirinya

telah

terkontaminasi sesuatu, dan pikiran-pikiran yang menjijikkan secara moral atau seksual (contoh: pikiran bahwa dirinya telah bersikap tidak sesuai akhlaknya). Kompulsi adalah perilaku yang repetitif/berulang (contoh: mencuci tangan berulang kali, memerintah/memesan, atau mengecek sesuatu) atau tindakan mental (contoh: berdoa berulang kali, menghitung, atau memikirkan hal-hal yang baik untuk membatalkan/menggantikan pikiran-pikiran yang buruk) dimana penderita merasa terpanggil untuk melakukannya sebagai respon terhadap adanya obsesi, atau peraturan-peraturan yang dipegangnya dengan teguh (contoh: mengecek bahwa tombol lampu benar-benar sudah dimatikan dengan

menyalakannya kemudian mematikannya lagi dan mengulang tindakan itu sebanyak tepat 10 kali). Kompulsi ditujukan untuk mencegah atau mengurangi stres, atau mencegah terjadinya hal yang ditakutkan. Namun bagaimanapun juga kompulsi merupakan sesuatu yang berlebihan yang tidak ada kaitannya secara realistis dengan apa yang mereka usahakan untuk dicegah. Obsesif-kompulsif merupakan kondisi yang heterogen secara simptomatis, dimana terdapat berbagai macam obsesi dan kompulsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa obsesi dan kompulsi tertentu dapat terjadi secara bersamaan untuk membentuk 5 dimensi yang berbeda : 1. Obsesi bahwa dirinya bertanggung jawab karena telah menyebabkan (atau gagal mencegah) sesuatu yang buruk dan ritual/kompulsi untuk mengecek dan meyakinkan diri. 2. Obsesi terhadap hal-hal yang simetris dan ritual menghitung atau memerintah. 3. Obsesi terhadap kontaminasi dan ritual mencuci dan bersih-bersih. 4. Obsesi terhadap hal-hal yang menjijikkan terkait seks, kekerasan, dan agama/kepercayaan. 5. Hoarding/penimbunan, yakni obsesi untuk memperoleh dan

mempertahankan sesuatu/kepemilikan dan ritual mengumpulkan sesuatu.

Penemuan-penemuan terkini mendukung 5 dimensi tersebut melintasi masa ke masa dari masa kanan-kanak hingga dewasa. Walaupun selama ini secara tradisional hoarding dianggap sebagai salah satu gangguan obsesif-kompulsif, adanya perbedaan gejala antara hoarding dengan dimensi gangguan obsesifkompulsif lainnya telah mengubah pikiran para peneliti untuk mengelompokkan hoarding sebagai gangguan yang terpisah dari gangguan obsesif-kompulsif. Tidak ada uji laboratorium yang khusus untuk gangguan obsesifkompulsif, karena diagnosis ditegakkan dengan wawancara klinis (anamnesis). Kriteria diagnosisnya menurut DSM IV : penderita harus mengalami baik obsesi dan kompulsi yang menyebabkan stress yang besar, menghabiskan waktu (lebih dari 1 jam dalam sehari) dan secara substansial mengganggu fungsi normalnya. Dalam beberapa hal, penderita juga harus menyadari bahwa obsesi dan kompulsinya berlebihan dan tidak beralasan. Kriteria ini tidak berlaku bagi anakanak karena mereka mungkin belum memiliki kesadaran kognitif yang cukup untuk membuat penilaian ini. Selain itu, beberapa hal yang dilakukan anak-anak (contoh: menghindari retakan-retakan di jalanan atau trotoar) bukan merupakan kompulsi, karena tidak menyebabkan stress atau melemahkan, dan cenderung bersifat sementara. Seseorang tidak boleh didiagnosa dengan gangguan obsesif-kompulsif apabila baik obsesi dan kompulsi yang terdapat disebabkan karena penyakit lainnya seperti skizofrenia. Dalam kasus seperti itu, konvensi diagnosis terkini (ICD dan DSM) menegaskan bahwa gejala-gejala obsesif-kompulsif tersebut disebabkan karena penyakit lainnya (contoh: skizofrenia). Yang akan kita bahas secara fokus di sini adalah gangguan obsesif-kompulsif yang sebenar-benarnya. Penderita gangguan ini memiliki tilikan yang bevariasi, namun kebanyakan menyadari bahwa obsesi dan kompulsinya tidak realistis dan berlebihan. Tilikan dapat diperiksa dengan bertanya pada pasien seberapa kuat mereka mempercayai bahwa obsesi-obsesi tersebut realistis dan bahwa ritualritual tersebut benar-benar dapat mengurangi/mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan.

PREVALENSI, GAMBARAN DEMOGRAFIS DAN KOMORBIDITAS Dibandingkan dengan penderita gangguan kecemasan lainnya atau gangguan mood unipolar, penderita gangguan obsesif-kompulsif jarang yang menikah, kebanyakan adalah pengangguran, dan memiliki fungsi sosial dan pekerjaan yang terganggu. Dalam populasi umum, gangguan ini memiliki lifetime rate sebesar 2-3% tanpa perbedaan gender dalam distribusinya, dengan pengecualian bahwa pada anak-anak gangguan tersebut lebih banyak diderita anak laki-laki daripada perempuan. Onsetnya biasanya bertahap dan jika tidak diobati dapat menjadi kronis dengan gejala yang berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu, yang seringkali merupakan respon terhadap stress kehidupan. Gangguan ini jarang dibatasi terhadap satu episode atau episode yang berulang. Biasanya muncul pada akhir masa kanak-kanak atau dewasa muda, walaupun dapat juga terjadi pada masa kanak-kanak dan dewasa lanjut. Gambaran klinis gangguan ini pada anak-anak dan dewasa secara umum sama. Gangguan obsesif-kompulsif ditemukan pada berbagai kelompok etnis. Perbedaan dalam prevalensinya sulit untuk ditentukan karena bisa saja disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pengaruh budaya seperti tidak mau mengakui bahwa dirinya menderita gangguan mental. Gambaran utama dari gejala ini tampak konsisten dari waktu ke waktu, sebagai contoh : obsesi terhadap kekerasan atau hal-hal yang tabu secara social terkait dengan perilaku seksual dan agresi. Bagaimanapun juga, perilaku budaya dapat mempengaruhi isi dari obsesi dan kompulsi. Contohnya, obsesi dan kompulsi yang bersifat religius (pikiran-pikiran tentang adanya fitnah, berulang kali berdoa dan ritual pembersihan) bisa jadi lebih umum terdapat pada kelompok-kelompok etnis yang religius dibandingkan pada kelompok dimana religi tidak begitu memegang peranan penting. Survei epidemiologis menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya 50% dari penderita gangguan obsesif-kompulsif memiliki setidaknya satu gangguan psikologis lainnyaumumnya gangguan kecemasan yang komorbid (contoh: fobia sosial) atau gangguan mood unipolar (contoh: gangguan depresi berat). Penyalahgunaan/ketergantungan alcohol juga lebih banyak terdapat pada penderita gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan dengan populasi umum.

Sebanyak 20-30% dari penderita gangguan obsesif-kompulsif juga menderita tics pada riwayat penyakit sekarang/dulu-nya.

PATOFISIOLOGI

NEUROKIMIA DAN NEUROANATOMI Gangguan obsesif kompulsif dihubungkan dengan gangguan sistem serotonin otak. Disregulasi serotonin, meskipun telah mencakup banyak gangguan psikologis, dan apakah gangguan ini lebih dari satu daripada lainnya pada tipe abnormalitas yang tidak jelas. Gangguan obsesif kompulsif dihubungkan dengan hipersensitivitas dari post sinap reseptor serotonin. Individu yang mempunyai gangguan dapat memiliki disfungsi spesifik pada gen yang mengkode serotonin transporter (5-HTT) dan serotonin reseptor (5HT2A), tapi tidak secara konsisten ditemukan. Sitem glutamate dapat juga terganggu pada gangguan obsesif kompulsif. Penelitian awal mencakup gen glutamate transporter seperti Sapap3 dan SLC1A1 pada gangguan ini. lagipula sistem dopamine dapat menjadi abnormal pada gangguan obsesif kompulsif, meskipun hasil yang tidak konsisten dipercaya dengan gen dopamine yang dihubungkan dengan kelainan ini. Dua gambaran umum tentang gangguan obsesif kompulsifkeraguan yang berlebihan dan berulangdipercaya bahwa terdapat area otak spesifik yang dilibatkan pada kondisi ini. Pada area orbito-fronto striatal (termasuk nucleus caudatus) dan pada dorsolateral korteks prefrontal dicakup pada

penghambatan/inhibisi respon dari rencana, organisasi, dan verifikasi dari aksi yang sebelumnya. Hal ini berdasarkan meta-analisis dari gambaran otak pada dewasa yang mempunyai gejala obsesif kompulsif yang terlihat pada korteks orbita dan nucleus caudatus. Penemuan serupa dilaporkkan juga pada anak-anak. Penelitian awal yang yang menunjukkan perihal anomali putih pada region frontal orang dengan obsesif kompulsif, yang secara konsisten dengan hipotesa disregulasi pada bagian otak ini dan lainnya. Gambar 1 menunjukkan sirkuit orbito-subcortical yang menghubungkan area dari otak yang berhubungan dengan gejala obsesif kompulsif. Jalur langsung dari dari kortek serebral ke ventromedial

caudatus, ke segmen internal dari globus palidus dan substantia nigra, dan kemudian ke thalamus dan kembali ke korteks. Jalur tidak langsung yang sama tapi dari ventromedial caudatus mempunyai struktur bervariasi dari ganglia basalis sebelum memasuki kembali ke jalur langsung. Overaktivitas dari jalur langsung dapat dihubungkan dengan gangguan obsesif kompulsif.

FAKTOR GENETIK Probandus dengan gangguan obsesif kompulsif menjadi lebih mungkin terkena hal serupa pada anggota keluarga tingkat pertama daripada kelompok kontrol yang tidak mempunyai gangguan ini. Studi serupa pada dewasa menyatakan bahwa gejala obsesif kompulsif yang heriditer dengan faktor genetic, 27-47% dari score varian dari pengukuran gejala obsesif kompulsif. 53-73% dari varian dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pada studi gangguan obsesif kompulsif pada anak-anak, faktor genetic terhitung 45-65% dari varian. Tidak ada perbedaan jenis kelamin pada faktor herediter. Meskipun begitu hubungan keluarga dapat menjadi faktor yang kuat pada onset anak-anak dengan gangguan obsesif kompulsif daripada kasus dengan gangguan yang berkembang dikemudian hari. Genom pertama yang luas dihubungkan dari gangguan obsesif kompulsif yang sekarang diteliti oleh Internasional Obsesif Compulsif Foundation genetic Collaborative. Studi ini mengembangkan lebih lanjut informasi mengenai kelainan genetic pada gangguan ini.

AUTOIMUN Beberapa kasus dari anak-anak yang mengalami gangguan obsesif kompulsif onsetnya dapat oleh karena infeksi streptococcus, yang menyebabkan inflamasi dari ganglia basalis. Beberapa kasus yang tergolongkan dengan kondisi klinis yang disebut gangguan autoimun neuropsikiatri dihubungkan dengan infeksi streptococcus (PANDAS). Pada beberapa kasus, gejala obsesif kompulsif kadang secara sukses tertangani dengan pemberian antibiotic, jika intervensi terjadi awal pada gangguan ini. Infeksi yang dihubungkan dengan gangguan

obsesif kompulsif dapat terjadi tidak lebih dari 10% dari onset awal gangguan, hal ini dapat menjadi berat karena gangguan dapatan ini.

MODEL BIOLOGIS Isu dari berbagai model gangguan obsesif kompulsif adalah heterogenitas gejala dari gangguan, muncul pertanyaan dimana gangguan ini memperlihatkan etiologi yang heterogen pula. Sebagai tambahan, perbedaan model dapat digunakan untuk mengklasifikasikan gejala obsesif kompulsif. Model biologis dari gangguan ini mempunyai beberapa dukungan dari penelitian empiris, meskipun model ini sangat jauh untuk bisa menerangkan kenapa seseorang berkembang pada gangguan ini, contohnya adanya kontaminasi dari obsesi dan menghilangkan kompulsi, sedangkan yang lain perkembangannya simetris dan memberikan obsesi dan kompulsi, dan perkembangan lainnya lagi bergejala dari kedua klasifikasi tersebut. Pelajaran dari pengalaman yang penting untuk menentukan gejala seseorang dengan abnormalitas biologis. Pada kasus ini, model biologis dibutuhkan untuk menjelaskan peran faktor lingkungan dan system biologis.

MODEL KOGNITIF DAN BEHAVIOR Model psikologi kontemporer dari gangguan obsesif kompulsif, satu dengan dukungan penelitian empiris adalah pendekan kognitif-behavior yang bertujuan bahwa kemuculan obsesif-kompulsif dari tipe disfungsi, kekuatan dari resiko yang mempengaruhi seseorang berkembang menjadi obsesif dan kompulsif. Dasar dari model ini adalah penemuan kuat mengenai intrusi kognitif yang tidak dikehendaki (pikiran yang tidak menyenangkan, image, dan impuls yang mengganggu kesadaran) yang diterangkan oleh orang banyak dan populasi umum. Gangguan ini tipikalnya mempunyai isi yang sama dengan obsesi klinisya. Contohnya, mereka dapat mempunyai gangguan pikiran dari salah satu keluarga yang meracuni atau pikiran yang tidak diinginkan dari ucapan yang tidak disadari oleh orang. Penelitian mempelajari perkembangan gangguan menjadi obsesi dimana mereka menilai penting dirinya, ketidak penerimaan yang tinggi

dan immoral atau menjadi bersikap individual sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Contohnya, pertimbangan yang tidak dikehendaki, gambaran gangguan dari menikam anaknya dengan pisau. Pengalaman banyak orang seperti gangguan tentang rasa hormat sebagai ketidaksenangan tetapi merupakan suatu peristiwa yang tidak berarti dengan tidak adanya hubungan yang cukup. Sesuai dengan model pendekatan kognitif dan behavior, seperti gangguan perkembangan ke dalam model obsesi jika seseorang menilainya menjadi lebih penting dan kuat mempunyai pikiran menikam anaknya berarti saya kehilangan control dan membunuhnnya. Sebagai penilaian yang menimbulkan distress dan motivasi dari individu yang terpengaruh untuk mencoba mensupresi atau memindahkan gangguan yang tidak diinginkan (contoh, mencoba untuk mengganti gambaran yang tidak diinginkan dengan yang disukai), dan menerima untuk mencegah kejadian berbahaya yang dihubungkan dengan gangguan (contohnya, membuang pisau, dan melanjutkan pembicaraan dengan orang untuk mengecek keamanan anaknya). Dari persepsi ini, ritual kompulsi berkembang dari usaha untuk memindahkan gangguan dan mencegah bahaya yang dirasa secara sadar. Model pendekatan kognitif-behavior bertujuan bahwa kompulsi menjadi persisten dan berlebihan karena mereka menguatkan dengan segera pengurangan distress dan secara temporer memindahkan pikiran yang tidak diinginkan (pengurangan negatif) dan karena mereka mencegah individu belajar dari penilaian yang tidak realistis (contohnya, individu yang gagal belajar bahwa gambaran bahaya yang tidak diinginkan tidak menunjukkan bahaya). Frekuensi afek kompulsif diinrusikan oleh pengingatan sebagian besar intrusi, meskipun demikian dapat pula dicetuskan oleh kekambuhan. Sebagai contoh, kompulsif dalam hal mencuci tangan dapat mengingatkan afek dari individu bahwa dia dapat mungkin dikontaminasi. Usaha dalam mendistraksi seseorang dari keadaan yang tidak diinginkan dari pengacau dapat secara paradoks meningkatkan frekuensi dari pengacauan, kemungkinan diakibatkan faktor pengganggu menjadi pengingat (isyarat pengulangan) dari pengacauan. Kompulsif dapat diperkuat dengan adanya penghargaan, ketiadaan ketakutan akan

konsekuensi setelah mendapatkan kekambuhan kompulsif dan keyakinan seseorang pada penghargaan untuk menghilangkan kesenangannya. Figur 2 menunjukkan kognitif-behavioural model dari obsesif-kompulsif. Hal ini difokuskan langsung pikiran yang mengacau penderitanya, kepercayaan,dan behavior diantara dengan pengalaman belajar model kognitif behavioristik digunakan utnuk heterogenitas dan ideosikrasi yang alami dari obsesif-kompulsif. Contoh, seorang dengan agama yang kaku dapt menjadi disstress tinggi dengan terjadinya pikiran yang tidak diinginkan dan adanya resiko terjadinya perkembangan agama. Meskipun begitu, seperti pembawaan dapat menjadi resiko gejala lainnya seperti obsesi simetris dan timbulnya kompulsi. Pencapaian hasil dari pengalan belajar kognitif-behavioristik diterima dengan dukungan empiris pada penelitian cross sectional, eksperimental, dan prespektif. Meskipun begitu, bukti-bukti yang ditemukan belum cukup untuk dipercaya

bahwa disfungsi dan kesalahan dari gangguan pikiran tidak diterangkan pada semua kasus obsesif-kompulsif karena beberapa orang dengan gangguan yang mempunyai skor normal penting dalam pengukuran. Karena model belajar kognitif-behaviour dan model biologis mempunyai dukungan empiris sebagai model komprehensi dari obsesif kompulsif dapat terjadi dari integrasi teori ini.

KONTROVERSI KLASIFIKASI Beberapa peneliti mempunyai tujuan bahwa gangguan obsesif kompulsif dapat digolongkan dari gangguan kecemasan. Mereka berargumen bahwa revisi yang datang berdasarkan manual diagnostik, DSM-V, dan ICD-11. Gangguan ini dapat dipindahkan dari kategori ini dan digabungkan dalam kategori baru disebut gangguan obsesif-kompulsif. Proposal ini tidak digunakan pada seseorang dengan gangguan obsesif-kompulsif yang tidak cemas, tapi gangguan ini menjadi lebih penting menjadi gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan gangguan kecemasan. Meskipun konsep dari gangguan obsesif-kompulsif yang awalnya berkembang dari dasar gejala penting dari gangguan (contoh pikiran dan kebiasaan yang berulang), gangguan ini juga tumpang tindih dengan gangguan neurobiologi, faktor komorbiditas, faktor herediter, dan terapi yang efektif.

Ada ketidaksepakatan dari background empiris penghargaan dari kreasi kategori yang terpisah untuk gangguan obsesif-kompulsif dan jalan ini menjadi kategori yang terdefinisikan. Pada ketegori ini dipercaya bahwa gangguan obsesif kompulsif dan gangguan putatif mempunyai tipe-tipe dari gejalanya. Contoh gangguan obsesif kompulsif, gangguan Chorea Sidenhaim itu karakteristiknya dengan kebiasaan yang diulang. Meskipun begitu karakteristik kebiasaan dari gejala yang diulang ini sangat meyakinkan untuk melewati gangguan obsesif kompulsif yang bertujan. Pada Chorea Sidenheim yang terkait dengan obsesifkompulsif kebiasaan yang berulang sering terjadi tidak terarah pergerakan cepat yang tidak bertujuan. Kebalikannya adalah gangguan obsesif-kompulsif yang kebiasaan yang berulang digunakan untuk mengurangi kecemasannya. Faktor komorbiditas juga tidak mendukung dari gangguan obsesif-kompulsif. Faktanya gangguan obsesif-kompulsif lebih dihubungkan pada gangguan obsesif-kompulsif yang putatif. Pada kontroversi, gangguan obsesif-kompulsif dengan kebiasaan yang diulang terjadi gangguan kecemasan. Kebiasaan yang diulang ini merupakan gangguan dari kontrol impulsif (trikotilomania). Kebiasaan yang diulang ini ada beberapa dalam gangguan neurologis (Tourette Syndrome) yang lebih dikenal dengan involunter reflek dari otot dari pada kompulsif yang intensional. Hubungan ini diantara hubungan obsesif-kompulsif dan gangguan putatif tidak didukung oleh hubungan neourobiologis, agregasi familial, dan farmokologis respon, serta terapi kognitif behavior. Terapi yang efektis dari gangguan obsesifkompulsif (penghambat SSRI dan terapi kognitif behaviour dan diikuti pencegahan paparan dan responnya) yang cukup berbeda dari beberapa gangguan obsesif-kompulsif. Contoh gangguan trikotilomania yang tidak menunjukkan efek positif dari SSRI.

PENGOBATAN Randomised control trial mempunyai indikasi bahwa penggunaan fakrmakoterapi untuk pasien obsesif-kompulsif termasuk dalam serotonin reuptake inhibitor seperti clomipramin dan beberapa serotonin reuptake inhibitor.

Bagaimanapun, medikasi ini akan sangat efektif untuk satu pasien saja. Hasil dari publikasi meta-analisis farmakoterapi untuk pasien obsesif-kompulsif

diketemukan ukuran efek yang bermakna untuk gejala obsesif-kompulsif melalui 18 randomised control trial dari serotonin reuptake inhibitor mempunyai 0-91 yang berefek besar. Meskipun begitu paling banyak responden yang diobati menunjukkan gejala residual setelah pengobatan uji coba yang adekuat. Relaps setelah pengobatan yang tidak teratur adalah masalah yang lain. Relaps rata-rata bervariasi dari 24% setelah putus dari sertralin sampai 31-89% setelah putus dari klomipramin yang bernilai lebih tinggi dari pada 12% relaps setelah paparan komplit dan terapi pencegahan respon. Banyak pasien dengan gangguan obsesifkompulsif mempunyai respon medikasi yang baik, tapi ini biasanya hanya respon parsial. Meta-analisis dari penelitian 9 penelitan double blind random (total sample 278 pasien dewasa) menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan obsesifkompulsif yang gagal berespon penuh sedikitnya 3 bulan setelah pengobatan dengan seroronin reuptake inhibitor dan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, hasilnya dapat secara signifikan ditingkatkan dengan penambahan pengobatan anti psikotik. Risperidon dan Haloperidol dapat memberikan efek yang

menguntungkan untuk orang-orang yang mempunyai tics komorbiditas. Meskipun begitu penemuan ini sudah cukup, hanya tiga dari pengobatan dengan pasien refrakter obsesif kompulsif menunjukkan respon klinis yang berarti dengan pengobatan anti psikotik. Farkmakoterapi dari obsesif kompulsif pada anak-anak juga ditunjukkan dari penelitian meta-analisis dimana 4 serotonin reuptake inhibitor (paroxetin, fluoxetin, flufoxamin, dan sertralin) bersama-sama dengan klomipramin telah diiteliti. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa, meskipun pengobatan telah efektif dibandingkan plasebo ukuran efek yang umum digunakan (rata-rata efek = 0,46) dipercaya bahwa pengobatan ini hanya memiliki efek yang parsial. Kasus yang ditemukan dari kerja sistem glutamat menunjukkan adanya disgranulasi pada gangguan obsesif kompulsif. Berdasarkan efikasi dari agen anti glutamat, telah diteliti bersamaan dengan penelitian reluzol. Penemuan awal dipercaya bahwa berhubungan dengan reduksi dari gejala obsesif kompulsif.

TERAPI FARMAKOLOGIS Pada uji coba random terkontrol, mengindikasikan bahwa manfaat dari farmakoterapi untuk gangguan obsesif kompulasif meliputi penghambatan reuptake serotonin, seperti clomipramine dan beberapa penghambat reuptake serotonin. Namun demikian, medikasi ini hanya efektif pada beberapa pasien. Suatu meta-analisa komprehensif dalam publikasi farmakoterapi untuk gangguan obsesif kompulsif menemukan bahwa ukuran efek rata-rata penghambat reuptake serotonin bagi gejala obsesif kompulsif adalah 0,91, di mana ini merupakan efek yang besar. Ukuran efek rata-rata penghambat reuptake serotonin ini diperoleh melalui 18 uji coba random terkontrol. Akan tetapi, sebagian besar responder terapi menunjukkan gejala residual setelah setelah uji coba terapi yang adekuat. Topik lainnya adalah tentang terjadinya relaps pada medikasi yang tidak berkelanjutan. Rata-rata relaps bervariasi, mulai dari 24% setelah diskontinuitas sertralin hingga 31-89% setelah diskontinuitas clomipramine. Nilai ini jauh lebih tinggi daripada relaps setelah terapi paparan dan pencegahan respon, yaitu setinggi 12%. Banyak pasien dengan gangguan obsesif kompulsif memiliki respon yang baik terhadap medikasi, tetapi hal ini biasanya hanya merupakan respon parsial. Sebuah meta-analisa dari penelitian random terkontrol double-blind (total 278 pasien dewasa), menunjukkan bahwa untuk pasien dengan gangguan obsesifkompulsif yang gagal merespon penuh terhadap setidaknya 3 bulan terapi penghambat reuptake serotonin pada dosis maksimal yang dapat ditoleransi, ternyata hasilnya dapat ditingkatkan secara signifikan dengan menambahkan medikasi antipsikotik. Risperidone dan haloperidol memiliki efek aditif yang khususnya bagi penderita dengan komorbid tics. Walaupun penemuan ini menjanjikan, hanya sepertiga dari pasien gangguan obsesif-kompulsif yang susah sembuh dengan terapi yang menunjukkan respon klinis bermakna terhadap medikasi antipsikotik. Farmakoterapi terhadap gangguan obsesif-kompulsif pediatri juga telah diukur dengan meta-analisis, yaitu pada empat penghambat reuptake serotonin (paroxetine, fluoxettine, fluvoxamine, dan sertraline), bersama dengan

clomipramine. Penelitian ini menunjukkan walaupun terapi menunjukkan efektivitas dibandingkan dengan plasebo, ukuran rata-rata efeknya umumnya sedang (milai tengan ukuran efek=0.46), menunjukkan bahwa terapi ini hanya efektif sebagian. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa sistem glutamat juga mengalami disregulasi pada gangguan obsesif-kompulsif. Berdasarkan hal tersebut, manfaat agen antiglutamatergik telah diteliti, sejauh ini telah dilakukan uji coba tak terkontrol kecil pada riluzole. Penemuan sebelumnya menunjukkan bahwa riluzole berkaitan dengan reduksi sedang terhadap gejala obsesif-kompulsif.

TERAPI PSIKOLOGIS Satu-satunya terapi psikologis yang terdukung secara empiris dalam menangani gangguan obsesif-kompulsif adalah cognitive behaviorual therapy, termasuk terapi paparan dan pencegahan respon. Terapi paparan memberikan konfrontasi yang sistemik, berulang-ulang, dan diperpanjang yang memprovokasi kecemasan dan dorongan untuk memunculkan ritual kompulsif. Pada paparan situasional, pasien menghadapi beberapa rangsang ketakutan sebenarnya, semisal toilet, makam, dan pisau. Pada paparan imajinatif, pasien diminta menghadapi bayangan yang memicu terjadinya kecemasan dan obsesif (semisal menganiaya seorang anak), menghadapi pikiran (semisal kehilangan seseorang yang dicintai), dan menghadapi keraguan (semisal:mungkin aku telah menyakiti orang tak bersalah gara-gara kesalahan yang kuperbuat). Pencegahan respon berarti menahan diri dari ritual kompulsif. Sebagai contoh, seorang pasien yang takut terhadap angka 13 karena menganggap angka ini akan membawa sial dilatih untuk menulis angka ini dan membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi. Pasien juga menahan diri dari ritual kompulsif dengan beberapa cara guna mengurangi kecemasan dan kemungkinan sial (semisal berdoa, memberikan jaminan keamanan). Tujuan dari terapi paparan dan pencegahan respon ini adalah untuk mengajarkan pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif bahwa kecemasan obsesifnya tidaklah berlangsung lama, serta perilaku menghindari dan kompulsif tidaklah diperlukan untuk menghindari penderitaannya tersebut. Walaupun

paparan dan pencegahan respon hanyalah terapi psikologis yang ditunjang secara empiris bagi gangguan obsesif kompulsif, intervensi motivasi tambahan terkadang dibutuhkan bagi pasien dengan gejala yang sangat berat atau pasien dengan keterbatasan kemampuan untuk merasakan bahwa perilaku yang muncul dari obsesifnya tidaklah berguna. Yale-Brown Obsessive Compulsive Scale (Y-BOCS) dianggap sebagai baku emas dalam mengukur keparahan gejala obsesif-kompulsif dan digunakan pada sebagian besar ujicoba terapi. Gambar 3 menujukkan hasil uji coba random terkontrol dengan menggunakan pengukuran ini. Penelitian ini secara konsisten menunjukkan bahwa terapi paparan dan pencegahan respon lebih baik dibandingkan bentuk psikoterapi lainnya maupun plasebo. Dengan meta-analisis menunjukkan bahwa terapi ini memiliki ukuran efek yang besar, berkisar antara 1,16 hingga 1,72 pada uji coba paparan dan pencegahan respon pasien dewasa dan anak-anak. Walaupun sering efektif, paparan dan pencegahan respon ini sering memacu kecemasan pada pasien, dan lagipula sekitar 25% pasien drop out terapi. Bagi pasien yang dalam terapi paparan dan pencegahan respon, efek dari terapi ini sering bertahan hingga 2 tahun.

FARMAKOTERAPI LAWAN PAPARAN DAN PENCEGAHAN RESPON Para peneliti telah menginvestigasi efektivitas dari medikasi dibandingkan paparan dan pencegahan respon. Foa dan kawan-kawan membandingkan terapi paparan dan pencegahan respon dengan clomipramine, dan plasebo. Terapi paparan dan pencegahan respon mampu menurunkan skor Y-BOC hingga 55%, dan terapi tunggal clomipramine mampu menurunkan skor ini hingga 31%. Kombinasi antara terapi paparan dan pencegahan respon dan clomipramine mampu menurunkan skor Y-BOC hingga 58%, di mana secara signifikan lebih besar dibandingkan terapi tunggal clomipramine, tetapi tidak bila dibandingkan dengan terapi paparan dan pencegahan respon. Semua terapi aktif hasilnya di atas plasebo (menurunkan skor Y-BOC 11%). Secara keseluruhan, temuan dari uji coba random terkontrol ini bahwa paparan dan pencegahan respon secara substansial memperbaiki gejala obsesif-

kompulsif, dan memiliki efek yang lebih dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh farmakoterapi. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pengurangan gejala dikarenakan teknik spesifik yang digunakan pada paparan dan pencegahan respon (semisal paparan yang memacu stimuli ketakutan sambil menahan ritual obsesif kompulsif) melebihi faktor non-spesifik (misal harapan, perhatian) yang umum digunakan pada terapi psikologis.

PSIKOTERAPI DAN FARMAKOTERAPI: D- CYCLOSERINE Walaupun harapan bahwa kombinasi penghambat reuptake serotonin dan paparan dan pencegahan respon akan lebih menurunkan gejala dibandingkan bila monoterapi, hasil ini belumlah ditentukan. Suatu meta-analisa uji coba random terkontrol membandingkan terapi kombinasi dengan monoterapi penghambat reuptake serotonin ataupun paparan dan pencegahan respon menunjukkan tidak adanya manfaat yang jelas dari terapi kombinasi dibandingkan monoterapi. Suatu pendekatan yang mengkombinasikan terapi berbasis paparan dengan medikasi berbagai agen farmakologis yang diteliti dapat menghilangkan rasa takut. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa reseptor N-melhyl-Daspartate (NMDA) glutamat penting bagi ekspresi respon takut terkondisi pada amigdala basolateral dan hilangnya takut terkondisi pada amigdala. Penemuan ini konsisten dengan pandangan bahwa proses hilangnya takut, sama dengan proses penyisipan takut, sama-sama merupakan bentuk pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, agonis NMDA yang diberikan sebelum paparan mungkin dapat memfasilitasi proses hilangnya respon takut. Salah satu komponen tersebut adalah D-cycloserine yang telah digunakan bertahun-tahun oleh manusia untuk terapi tuberkulosis dan tidak berkaitan dengan efek samping yang signifikan. Penelitian pada binatang telah menunjukkan bahwa komponen ini dapat memfasilitasi hilangnya takut setelah pemberiannya secara sistemik maupun infus intra-amigdala. Penelitian sebelumnya pada penderitaan manusia akan fobia binatang ataupun gangguan kecemasan sosial, telah terbukti bahwa D-cycloserine yang diberikan beberapa saat sebelum pemberian paparan dapat memfasilitasi hilangnya rasa takut. Dalam kaitannya dengan gangguan

obsesif-kompulsif, 3 penelitian telah membandingkan antara terapi kombinasi paparan dan pencegahan respon (10-12 sesi) ditambah D-cycloserine (100250mg) dengan paparan dan pencegahan respon ditambah plasebo. D-cycloserin tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo dalam menurunkan gejala obsesifkompulsif baik secara segera maupun setelah pemantauan 1 hingga 3 bulan. Namun demikian, pada dua penelitian yang diukur hasilnya pada titik tengan paparan, D-cycloserine berada di atas plasebo dalam hal kemampuannya memperbaiki gejala dengan lebih cepat. Keterbatasan dari ketiga uji coba ini adalah sedikitnya partisipan pada tiap kelompok terapi (10-14 per kelompok), di mana hal ini akan mengurangi kekuatan statistik dari penelitian ini. Secara keseluruhan, hasil sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan D-cycloserine merupakan suatu metode untuk meningkatkan efek terapi paparan dan pencegahan respon, terutama pada tahap awal terapi. Penelitian lebih lanjut pada sampel yang lebih besar diperlukan untuk mengulang penemuan ini dan untuk menentukan dosis optimal dari D-cycloserine. Penelitian pada pasien dengan akrofobia (misal fobia terhadap ketinggian) menunjukkan bahwa dosis kecil D-cycloserine 50 mg dinilai efektif. Lagipula, penelitian pada binatang menunjukkan bahwa D-cycloserine dosis tinggi dapat menyebabkan desensitisasi reseptor NMDA yang justru akan mnurunkan efek obat ini. Berdasarkan hal tersebut, suatu terapi jangkauan sempit mungkin diberlakukan pada D-cycloserine apabila akan ditambahkan pada terapi paparan dan pencegahan respon.

STIMULASI OTAK DAN INTERVENSI BEDAH Intervensi bedah bagi gangguan obsesif kompulsif meliputi pemotongan traktus (sirkuit) di antara struktur yang mungkin penting dalam gangguan ini (misal traktus penghubung sekresi antara korteks frontal orbita dan cinguli anterior). Prosedur ini meliputi kapsulotomi anterior, cingulotomi anterior, traktotomi subcaudatus, dan leukotomi limbik. Terapi bedah biasanya dilakukan pada pasien gangguan obsesif-kompulsif yang gagal merespon terapi

farmakologis maupun psikologis. Namun demikian, keamanan dan efikasi intervensi bedah bagi pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif masihlah

kontroversial. Kini berkembang minat akan adanya terapi alternatif, suatu prosedur bedah non-ablatif. Salah satu bentuk intervensi alternatif ini adalah stimulasi otak dalam pada ganglia basalis, melalui implantasi elektroda secara bedah. Walaupun hasil awalnya menjanjikan, intervensi ini harus dinilai secara adekuat tentang keamanan dan efikasinya sebagai terapi gangguan obsesif kompulsif. Sebuah metode stimulasi otak non-bedah diubah dengan menempatkan elektromagnet eksternal di atas regio otak tertentu. Walaupun stimulasi ini belum dinilai secara ekstensif sebagai terapi gangguan obsesif-kompulsif, data yang tersedia belum mendukung efikasi terapeutiknya bagi kondisi ini

KESIMPULAN Model biologis gangguan obsesif-kompulsif mengusulkan adanya

abnormalitas beberapa sistem neurotransmitter, seperti sistem serotonin dan disfungsional sirkuit pada area orbito-striatal. Model ini masih gagal untuk mengukur heterogenitas gejala. Model cognitive-behavioural dari gangguan obsesif-kompulsif menekankan akan pentingnya penilaian dan keyakinan disfungsional. Model ini memiliki beberapa pendukung empiris, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan gangguan secara menyeluruh. Oleh karena itu, walaupun terdapat beberapa model yang menjanjikan, mengenai apa yang menyebabkan gangguan obsesif-kompulsif masih belum diketahui. Kombinasi antara faktor kognitif dan neurobiologis mungkin diperlukan untuk menjelaskan gangguan secara menyeluruh. Karena adanya heterogenitas gejala gangguan obsesif-kompulsif, pola gejala utama mungkin memiliki sumber yang berbeda. Sebagai bagian dari persiapan DSM-V dan ICD-11, apakah gangguan obsesif kompulsif merupakan gangguan kecemasan masih menjadi perdebatan. Beberapa mengusulkan bahwa obsesif-kompulsif harus dijadikan suatu gangguan terkait obsesif-kompulsif yang baru. Namun demikian, proposal ini masihlah kontroversial. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk menentukan apakah reklasifikasi gangguan akan memperbaiki pemahaman akan penyebab dan terapi gangguan ini, baik yang ringan, berat, maupun kronis.

Anda mungkin juga menyukai