Anda di halaman 1dari 29

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

BAB I

LATAR BELAKANG

ata budaya secara etimological, yang dalam bahasa Jawa disebut nengeri tembung, berasal dari dua kata dasar yaitu kata budi dan kata daya. Penyatuan dua atau tiga kata menjadi satu kata baru, membentuk kata majemuk yang memiliki satu pengertian baru. Dalam perbendaharaan bahasa Jawa hal itu dinamakan jarwodhosok, pengertian yang disorong atau lebih tepat dipadatkan. Kata jarwo dhosok sendiri berasal dari bahasa Jawa Kawi. Pemadatan dua atau tiga kata menjadi satu kata baru, mengandung maksud untuk mempersatukan arti kata tersebut ke dalam satu arti kata baru sehingga mudah diingat dan agar kata bentukan baru tersebut selaras dan nyata dalam perwujudannya. Cara yang ditempuh ialah dengan mengambil salah satu bagian kata/suku kata dari kata yang pertama digabungkan dengan salah satu bagian kata/suku kata dari kata yang kedua, sehingga terbentuk suku kata baru dengan arti yang baru pula, namun tidak terlepas dari pengertian kata-kata yang semula. Contoh lain misalnya kata keluarga, adalah hasil jarwo dhosok dari kata kawula dan warga. Kata kawula berarti abdi yang berkewajiban mengabdikan diri dan mencurahkan tenaga kepada yang diikutinya. Dan kata warga berarti anggota yang berwenang ikut mengurus, ikut memimpin dan ikut menetapkan segala apa yang dilakukan oleh warga tersebut: sehingga arti kata keluarga ialah kelompok dimana anggotanya disamping sebagai kawula/abdi sekaligus juga menjadi tuan bagi masing-masing anggota warganya (Ki Sarino Mangunpranoto, 1961:48; Budiono, 2008:7-8). Perkembangan sejarah kebudayaan Jawa sampai sekarang masih dilacak terus, dan diteliti mendalam dengan ditemukannya berbagai benda atas lokasilokasi baru peninggalan zaman purba. Pelacakan dan penelitian diperlukan guna lebih melengkapi lagi data sejarah kebudayaan Jawa yang telah ada. Dari buku-buku sejarah kebudayaan baik yang disusun oleh para akhli sejarah barat maupun akhli sejarah Indonesia dapat dibuktikan bahwa sejarah simbolisme dan kebudayaan Jawa telah dimulai dari zaman pra-sejarah. Bentuk simbolisme yang tertua, berupa aula atau patung nenek moyang yang terbuat dari batu atau kayu. Priyohutomo dalam bukunya, Kebudayaan Hindu di Indonesia, menyatakan bahwa biasanya batu-batu yang berdiri di pekuburan

Bab I. Pendahuluan

menunjukkan nenek moyang laki-laki, dan yang rebah menjadi alamat nenek moyang perempuan yang terkubur didalamnya. Yang dimaksud dengan kata alamat dalam tulisan tersebut tentunya sama dengan pengertian simbol atau lambang. Bentuk simbolisme yang lain adalah upacara-upacara religius. Priyohutomo berpendapat, sebagian dari upacara kuna, berupa wayangan, yang pada waktu itu masih berujud lukisan (wayang beber) atau boneka yang amat sederhana buatannya seperti gambaran panakawan sekarang ini. Upacara yang berupa pertunjukan itu baru kelak kemudian mendapat pengaruh dari kesenian Hindu sehingga bentuknya seperti yang kita kenal sekarang. Pertunjukan wayang kulit itu antara lain untuk melepaskan ( ngruwat) orang dari malapetaka, karena lukisan atau boneka tadi merupakan tempat untuk arwah nenek moyang yang dipanggil supaya turun dari surga atau kayangan. Adanya lukisan atau boneka itu sudah dapat menjauhkan malapetaka (Priyohutomo, 1953:15; Budiono, 2000:186187). Pada awal zaman Hindu yang ditandai dengan dimulainya tarikh Saka, yang dimulai tahun 78 Masehi, pemberian hadiah dari raja kepada daerah-daerah yang berjasa berupa tanah perdikan, artinya daerah yang dibebaskan (merdeka-merdika) dari pajak dan kerja paksa bagi penduduknya, selalu ditandai dengan meletakkan batu besar yang bentuknya seperti daun tunjung yang memuat piagam. Pada penghabisan piagam itu selalu ada kalimat-kalimat yang maksudnya minta pertolongan dewa-dewa dan roh-roh akan membinasakan setiap orang yang tidak sudi menghormati pemberian hadiah itu di kelak kemudian hari. Batu lingga dan batu yoni adalah bentuk sejarah lain yang banyak ditinggalkan oleh kerajaan-kerajaan Jawa dari masa Hindu, selain bentuk patung-patung pemakaman raja-raja Jawa, yang sekarang banyak disimpan di museum-museum Negeri Belanda maupun di Indonesia. Simbol candi-candi Hindu maupun candi-candi Buddha. Kata candi berarti monumen pemakaman (Priyohutomo, 1953:15). Suku-suku bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa, sejak sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan bersandar kepada ajaran animisme-dinamisme sebagai akar religiusitasnya, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka. Adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli telah hidup teratur dibawah pemerintahan kepala adat, walaupun masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Religi animismedinamisme yang menjadi akar budaya asli Indonesia khususnya masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

Keadaan ini memancing teori kekenyalan dan ketegaran kebudayaan asli pribumi Indonesia. Sutjipto Wiryosuparto menyebutkan bahwa sungguhpun kebudayaan Indonesia (asli) menjalin hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang kebanyakannya dipandang telah mengalami perkembangan yang lebih tinggi misalnya kebudayaan Hindu, Islam dan Barat yang mengakibatkan termodifikasinya kebudayaan Indonesia, namun proses pemertahanan karakter keindonesiaan dalam hubungan dengan kebudayaan asing tetap sama. Sebab, unsur-unsur kebudayaan asing itu terserap dalam pola keindonesiaan. Berkaitan dengan hal ini kalau Lodewijk W. Cornelis van den Berg mengutarakan teori Receptio in Complexu, kemudian diikuti oleh van Vollenhoven dengan teori Receptio a Contrario, maka para penentangnya mengajukan teori Receptie. Hakekatnya adalah bahwa elastisitas kebudayaan Indonesia-lah yang mampu mempertahankan ciri keindonesiaannya. Sementara JWM Bakker dalam kajiannya yang bertajuk Agama Asli Indonesia mengemukakan bahwa walaupun sebagian terbesar orang Indonesia mengaku beragama Islam, namun sikap keagamaan sehari-hari yang mereka hayati, dijiwai dalam batinnya oleh agama asli Indonesia yang kaya raya isinya yang dipelihara dengan khusyuk, yang tidak mau dirombak oleh agama asing.

Gambar I: Candhi Sukuh, Wijiling Adadi

Bab I. Pendahuluan

Gambar II: Candhi Sukuh, Sangkaning Dumadi

Ciri khas religi animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan ruh dan daya gaib yang bersifat aktif. Prinsip ruh aktif menurut kepercayaan animisme adalah bahwa ruh orang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa mencelakakan atau mensejahterakan masyarakat manusia. Dunia ini juga dihuni oleh berbagai macam ruh gaib yang bisa membantu atau mengganggu kehidupan manusia. Seluruh ritus atau meditasi religi animismedinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib tersebut di atas, bahkan melalui meditasi atau dengan perantaraan dukun, prewangan, guru sibaso, atau entah apa istilah lainnya, dijalin hubungan langsung untuk minta bantuan kepada ruh dan kekuatan gaib itu. Dalam hal ini Sutjipto Wirjosuparto menegaskan bahwa bagaimanapun, suatu hal yang pasti: orang Indonesia telah mengenal bentuk upacara keagamaan, yang menunjukkan hubungan dengan ruh nenek moyang mereka. Upacara keagamaan ini dipandang sebagai jalan untuk mempertahankan hubungan dengan ruh nenek moyang mereka. Dengan mengerjakan upacara keagamaan ini kemakmuran masyarakat mereka bisa dipelihara. Lantaran ruh nenek moyang dianggap mengambil bentuk bayang-bayang, maka dari upacara keagamaan inilah munculnya pertunjukan wayang. Religi animisme-

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

dinamisme tentu menumbuhkan kelompok pawang yang berfungsi sebagai pendeta, perantara, dukun atau orang tua yang bisa berhubungan langsung dengan segala ruh yang menguasai kekuatan gaib. Religi animisme-dinamisme memuncak melalui perkembangan ilmu pedukunan, ilmu klenik dengan rumusan lafal yang dipercayai berdaya magis. Warisan ilmu klenik, ilmu magis dan pedukunan ini masih tampak jelas pada primbon-primbon, misalnya primbon Betaldjemur, Mujarabat dan sebagainya. Demikian pula ilmu santet dan ilmu tenung, merupakan warisan ilmu hitam nenek moyang yang berkaitan dengan kepercayaan animisme-dinamisme. Anehnya dalam masa transisi menuju modern ini ilmu pedukunan dan jampi-jampi justru kian semarak, dan bahkan sering dikaitkan dengan ilmu pijat urat dan sebagainya. Bahwa sebagian dari pada kalangan terpelajar-pun masih mempercayai ihwal tersebut dapat ditampilkan contoh berikut. Manakala seorang pejabat hendak menerima jabatannya dengan bersumpah dibawah Kitab Al-Quran, untuk tidak menyelewengkan jabatannya, namun ternyata ia korupsi juga, menunjukkan bahwa sesungguhnya ia sama sekali tidak percaya kepada Al-Quran ataupun Islam yang dinyatakan (diikrarkan melalui kalimat Syahadat) sebagai agamanya. Demikian pula dengan kenyataan bahwa seseorang yang dikenal sebagai tokoh masyarakat, cendekiawan, intelektual dan orang terpelajar bahkan wali dan telah masuk kepada salah satu agama modern, namun ia tetap akan meminta sesuatu, misalnya jabatan walikota, bupati, menteri atau sekedar lurah, meminta kenaikan pangkat, meminta jodoh, meminta harta kekayaan justru kepada arwah para leluhur melalui dukun, pendeta bahkan kepada orang gila (!), jelas menunjukkan kenaifan yang mendasar. Jadi religi animisme-dinamisme dalam berbagai tampilannya telah mendominasi keseluruhan hidup manusia sejak taraf kehidupan masyarakat yang masih bersahaja sampai yang ultra modern sekalipun. Modal batin inilah yang melatar belakangi dan kemudian mendorong penyusunan buku ini, baik dalam kandungan yang kualitatif maupun kuantitaif, baik dalam kandungan keyakinan maupun sekedar hiasan atau ilustratif yang lebih bersifat artistik. Tanpa bobot magic apapun. Berikut proyeksi arsitekturnya dalam bangunan masa kini dan masa datang. Tentu berikut kandungan filosofinya.

A. ZAMAN PRA SEJARAH Menulis zaman pra sejarah, mengaitkan dengan budaya dan manusia, layak dikutip terlebih dahulu buku Hembing Wijayakusuma

Bab I. Pendahuluan

(2005) yang antara lain menuliskan sebagai berikut. Mengenai kemunculan manusia primitif, masih terdapat kontroversi di kalangan para sarjana. Ada yang mengatakan bahwa Manusia Mojokerto muncul sekitar 2 juta tahun yang lalu, ada yang mengatakan munculnya 350 ribu-450 ribu tahun yang lalu, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa munculnya pada 600 ribu tahun yang lalu. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa manusia tertua di kepulauan Nusantara mulai ada tak kurang dari 500 ribu sampai 1 juta tahun yang lalu. Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari penemuan manusia purba di luar wilayah Indonesia, misalnya penemuan fosil Manusia Peking (Sinanthropus Pekinensis) dan Manusia Yuanmou. Manusia Peking (Sinanthropus Pekinensis) termasuk golongan manusia yang hidup 500 ribu tahun yang lalu di daerah Choukoutien, sebelah barat kota Peking (kini, Beijing). Fosil Manusia Peking ini dapat dikatakan sama dengan Pithecanthropus Erectus, karena bersamaan dengan penemuan bekas-bekas hominid ini banyak pula ditemukan alat-alat batu yang berasal dari Pacitan. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Manusia Peking berkebudayaan sama dengan kebudayaan Pacitan, atau dengan kata lain, hidup dalam zaman yang sama. Fosil Manusia Yuanmou ditemukan di Kabupaten Yuanmou, Yunnan yang hidup 1,7 juta tahun yang lalu. Hal tersebut menunjukan bahwa Provinsi Yunnan merupakan provinsi yang bersejarah penting (Hembing, 2005:3). Mengenai asal-usul bangsa Indonesia, terdapat tiga pendapat yang berbeda dari kalangan sarjana. Pertama, berasal dari Campa, kedua, dari Teluk Tonkin, dan ketiga, dari Yunnan. Penelitian yang dilakukan oleh H. Kern dan Heine Geldern, lebih menguatkan anggapan bahwa pada mulanya nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunnan (Tiongkok Barat Daya), kemudian mereka pindah ke selatan, yaitu daerah Vietnam. Perpindahan mereka disebabkan oleh beberapa faktor, pertama keadaan alam seperti gempa bumi, banjir dan musim panas yang berkepanjangan, dan kedua, adanya serangan dari suku bangsa lain, sehingga mereka terdesak dan terpaksa meninggalkan daerahnya. Perpindahan tersebut berlangsung secara bergelombang dan gerak tujuan perpindahan mereka adalah dari daratan Asia ke pulaupulau di daerah selatan. Pulau-pulau yang berada di sebelah selatan daratan Asia bisaa disebut Austronesia (Austro=selatan dan Nesos=pulau), dan bangsa yang mendiami daerah tersebut disebut bangsa Austronesia. Bangsa Austronesia yang memasuki wilayah Nusantara disebut dengan bangsa Melayu. Mereka inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia. Beberapa sungai besar dan panjang yang ada di Indocina, Siam maupun Birma (Myanmar) diperkirakan

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

telah menjadi jalur perpindahan manusia pada zaman batu atau sesudahnya dari hulu sungai yang paling pangkal. Penyebaran orang Melayu prasejarah ke selatan, dimulai dari daratan Asia melalui dua jalur. Jalur pertama, bertolak dari sekitar Yunnan menuju Siam, Semenanjung Indocina, Semenanjung Melayu, kemudian menyeberangi Selat Malaka hingga sampai di Sumatera dan beberapa pulau lainnya. Pada jalur ini, Tiongkok Barat Daya (khususnya Yunnan) terletak di persambungan antara daratan Asia dengan Semenanjung Indocina. Jalur kedua melalui daerah sekitar Hokkian, Kwangtung, di daerah daratan Tiongkok Tenggara, menuju Taiwan dan kepulauan Philipina hingga ke Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau lainnya. Gelombang pertama penyebaran orang Melayu disebut Melayu Tua atau Proto Melayu dimana penyebaran tersebut terjadi sekitar 1.500 tahun sebelum Masehi. Bangsa Proto Melayu memiliki kebudayaan yang setingkat lebih tinggi dari pada Homo Sapiens Indonesia. Kebudayaan mereka adalah kebudayaan batu muda (neolitikum), seperti kapak persegi dan kapak lonjong. Bangsa Proto Melayu ini akhirnya terdesak oleh kedatangan bangsa Deutro Melayu. Pada saat ini, keturunan bangsa Proto Melayu masih dapat ditemukan, seperti suku bangsa Dayak, Toraja dan Batak. Penyebaran gelombang kedua disebut melayu Muda atau Deutro Melayu yang terjadi sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Tanah asal mereka adalah Tiongkok Selatan di Yunnan. Keturunan bangsa Deutro Melayu ini misalnya suku Jawa, Melayu, Bugis dan Minang. Hasil kebudayaan mereka lebih tinggi dari Proto Melayu, yaitu terbuat dari logam yakni perunggu, seperti kapak corong, nekara dan bejana perunggu. Pada masa selanjutnya, kebudayaan mereka disebut dengan kebudayaan Dongson, yang disesuaikan dengan nama daerah dimana banyak ditemukan benda-benda dari logam di Teluk Tonkin, dan diperkirakan menjadi tempat tinggal mereka sebelum memasuki wilayah Indonesia. Melayu Muda kemudian membaur dengan Melayu Tua yang sebahagian dari mereka terdesak ke daerah pinggiran (Hembing, 2005:5, Subanindyo, 2008). Kedua golongan yang membaur ini kemudian menghasilkan keturunan yang menjadi bagian utama bangsa Indonesia. Kong Yuanzhi dari Universitas Beijing berkesimpulan bahwa kemungkinan besar bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia dan tidak mustahil berasal dari daerah sekitar Yunnan yang terletak di Tiongkok Barat Daya. Yunnan merupakan daerah asal perpindahan orang Melayu prasejarah yang menyebar dalam jumlah besar ke selatan sampai di kepulauan Nusantara, sehingga terjalinlah hubungan darah antara bangsa Tionghoa dan bangsa Indonesia. Selain itu, berbagai hasil penelitian dan studi dari beberapa disiplin ilmu seperti antropologi,

Bab I. Pendahuluan

arkeologi, folklor dan linguistik menunjukkan bahwa Melayu Tua dan Melayu Muda berasal dari bagian selatan daratan Asia, Yunnan. Barang tentu banyak ilmuwan yang tidak sependapat dengan hasil analisis sedemikian. Banyak diantaranya juga sudah ditulis. Bagaimanapun alternatif ini layak pula menjadi referensi yang patut.

B. ZAMAN CANDI-CANDI Pada era ini tercatat periodisasi perjalanan peradaban budaya etnik Jawa di bidang arsitektualitasnya sebagai berikut. Pertama, era pra-peradaban zaman Pithecantropus Erectus, Homo Sapiens, Homo Soloensis, yang fosil-fosilnya ditemukan di sepanjang kali Bengawan Solo, yakni di Trinil, Sragen dan kemudian era Mojokertensis. Kedua, era peradaban Masterpiece Arsitektural Zaman Syailendra Mahayana, Hinayana Candi Borobudur. Ketiga, pergeseran peradaban zaman Buddha ke Hindu di sekitar kawasan Klaten-Prambanan dengan adanya candi Prambanan, candi Mendut, candi Sewu, candi dan istana Prabu Boko di sekitar Piyungan, Jogyakarta. Keempat, awal Singosari ke zaman Majapahit sampai runtuhnya kerajaan Hindu tersebut ke zaman kerajaan-kerajaan Islam, yang di mulai dari Demak, dibawah pemerintahan Raden Patah atau Syech Alam Akbar alias Koh Jim Boen. Zaman Majapahit juga meninggalkan karya-karya Arsitektural Masterpiece yang diakui dunia, antara lain candi Cetho, candi Sukuh dan lain sebagainya, di sekitar puncak Gunung Lawu, Surakarta. Berikutnya, perjalanan rezim monarchisme etnik Jawa sejak zaman kerajaan Demak Pajang Mataram Kutha Gedhe Plered Kartosura ke Surakarta, berjalan sekitar 4 (empat) abad. Dari perkembangannya tentunya kita bakal bisa menemukan nilai akulturasi karya-karya arsitekturalitas etnik Jawa yang semakin lebih sophisticated dan penuh makna filosofis, sehingga bakuan nilai-nilai akulturatif yang terbit menjadi angger-angger serta paugeran-paugeran nilai permanensi adab ancang bangun tersebut, nyaris sulit di-agresi begitu saja oleh derasnya arus-arus kultur baru tertentu dari luar, tanpa lebih dulu difilter oleh acuan-acuan kompetitif nilai-nilai kristalisasi budaya Etnik Jawa secara substansial. Diharapkan para pembaca, arsitek, pemerhati dan penentu kebijakan memperluas wawasan apresiasi tentang spiritsuasana batin, dan makna tradisionalitas rancang bangun berbagai daerah, sehingga sifat istimewa dari berbagai suku bangsa di segenap wilayah Nusantara ini tidak semakin punah.

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

Raja Sanjaya di zaman Mataram lama pada abad ke-8 Masehi mendirikan candi Syiwa di Dieng, yaitu bangunan besar pertama di Jawa Tengah bagian selatan. Kemudian dinasti Syailendra yang beragama Buddha pada akhir abad ke-8 Masehi mendirikan candi Borobudur dan Mendut. Kemudian muncul kerajaan yang memisahkan diri dan mendirikan candi Prambanan (Roro Jonggrang). Dari warisan bangunan candi-candi monumental dengan arsitektur yang cukup mengagumkan itu bisa dibayangkan bahwa pengaruh Hindu-Buddha yang semula masih merupakan komunitas pedesaan mampu berkembang menjadi kerajaan-kerajaan yang cukup besar dan berwibawa. Ternyata, tak semua sependapat bahwa candi merupakan monumen pemakaman. Tentu saja pengertian ini hanya khusus bagi candi-candi peninggalan zaman Hindu. Candi-candi Buddha adalah tempat pemujaan atau disebut kuil. Dalam disertasinya dengan judul Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Soekmono membuktikan bahwa candi tidak pernah berfungsi sebagai pemakaman, tetapi semata-mata hanya berfungsi sebagai kuil atau tempat pemujaan (Priyohutomo, 1953:163; Budiono, 2000: 187-188). Candi-candi Hindu kalau diperhatikan mempunyai bentuk dan pola yang sama, yang terdiri dari tiga bagian yaitu kaki candi, badan candi dan kepala candi. Keseluruhan bentuk candi adalah merupakan lambang dari sebuah gunung, yaitu gunung Mahameru, gunung tempat tinggal para dewa. Gambaran gunung ini wujudnya menurut paham bangsa Hindu. Oleh karena para dewa tinggal di Meru, nyawa raja yang dianggap dewa itu bertempat tinggal di candi. Kiraya hal ini dipahami manakala makam Sunan dan Sultan sejak zamn Mataram menggunakan gunung seperti pemakaman Astana Imogiri, pemakaman KGPAA Mangkunagoro, Makam Astana Mangadeg, bahkan belakangan, pemakaman mantan presiden Soeharto. Simbolisme yang masih menganut paham India seperti diuraikan diatas, kemudian banyak berubah dan bercampur dengan simbolisme yang khas Jawa, terutama pada perhiasan-perhiasan yang berbentuk ukiran atau relief dan patung-patung yang terdapat pada lekuk-lekuk candi. Bentuk keseluruhan candi sendiri tak banyak berbeda. Perubahan yang terlihat hanyalah bentuk candi yang lebih ramping dan tinggi. Hal ini dapat dilihat dan diperbandingkan antara bentuk candi Prambanan, yang dalam sejarah disebut candi Roro Jonggrang, dengan bentuk candi Kalasan yang kelihatan lebih gemuk dan pendek. Perhiasan yang khas di Jawa ialah yang dikenal dengan nama Kalamakara. Perhiasan ini terdiri atas kepala kala (kepala singa) yang dipasang di atas lekuk dan dihubungkan dengan dua kepala makara di bawah lekuk dengan dua pengikat sepanjang dinding lekuk (Priyohutomo, 1953: 165; Budiono, 2000;188-189).

Bab I. Pendahuluan

Gambar III: Candhi Sukuh

Gambar IV: Kalpataru, Gunungan atau Kayon

10

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

Hiasan dinding berupa ukiran atau relief pohon hayat atau pohon kehidupan dengan berbagai binatang atau satwa di dalamnya. Pohon hayat yang disebut juga kalpataru adalah lambang dari alam dengan isinya yang merupakan sumber kehidupan manusia. Relief simbol kalpataru ada pada candi Mendut. Simbol kalpataru ini sekarang dipakai sebagai simbol pelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Lihat pula simbol tersebut pada pertunjukan wayang kulit yang disebut sebagai gunungan atau kayon. Simbol dari pada pembuka dan penutup alam, sepanjang masa pertunjukan wayang berlangsung (Subanindyo, 1999:7). Kerajaan-kerajaan Jawa-Hindu ini merupakan pendukung bagi kemunculan dan perkembangan lapis cendekiawan dan kebudayaan Jawa. Koentjaraningrat mencatat, pada awal abad ke-10, raja Mpu Sendok secara resmi memindahkan ibukota Jawa Tengah ke lembah sungai Brantas. Dibawah raja Airlangga, kerajaan di Jawa Timur itu berkembang dengan pesat selama bagian pertama abad ke-11. Istana kerajaannya ada di Kahuripan, sebelah utara kota Kediri sekarang. Agama yang dianut di istana kerajaan Kediri adalah agama Syiwa-Buddha, yang merupakan sinkretisme agama Syiwa dan agama Buddha-Tantra. Selama pemerintahan kerajaan Kediri itu muncul kesusasteraan Jawa Kuna kakawin yang berbentuk puisi. Kesusasteraan kakawin ini mengambil tema-tema dari cerita-cerita (lakon) pahlawan India (epos) Ramayana dan Mahabharata, yang banyak dipetik untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit. Relief-relief pada dinding candi Prambanan di Jawa Tengah menunjukkan adanya versi lain dari cerita Epos Ramayana dari India, atau suatu cerita di pulau Jawa yang mengalami penyesuaian dalam abad ke-9. Selanjutnya diterangkan bahwa sebelum meninggalnya Airlangga pada tahun 1094 Masehi, kerajaannya dibagi dua untuk ke dua puteranya, yakni kerajaan Panjalu dan Jenggala. Dibawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), Jenggala memperluas kekuasaannya ke kepulauan Asia Tenggara dan berhadapan dengan kekuasaan orang-orang Mongol yang makin besar dari daratan Asia. Raja Kertanegara memperkuat diri dengan simbolsimbol persatuan mistik (kemanunggalan dengan Bhairawa) dan tenaga gaib, bukan mengandalkan kekuatan prajurit. Bahkan di masa sekarangpun sementara orang menganggap adanya sifat kewalian dari pada Gus Dur yang dikawal oleh ribuan jin. Kemudian sepeninggal Kertanegara timbul kekacauan dan perebutan kekuasaan di Jenggala. Raden Wijaya, menantu Kertanegara, berhasil merebut kekuasaan dengan bantuan pasukan Mongol dan kemudian membangun kerajaan Majapahit yang letaknya sekarang di kota Mojokerto. Dalam kitab Negarakertagama diterangkan keberhasilan kerajaan Majapahit menguasai daerah yang cukup luas dari daratan Asia Tenggara sebelah barat hingga pemukiman di Irian Jaya di sebelah timur. Barang tentu tak boleh dilupakan peran dari pada sang Mahapatih Gadjah Mada dengan sumpah Palapa-nya masa itu dibawah kekuasaan raja Hayam Wuruk. Dalam kerajaan Majapahit agama Syiwa maupun Buddha Mahayana (?) 11

Bab I. Pendahuluan

menjadi agama resmi. Candi-candi ke dua agama itu berdampingan. Dalam kerajaan ini telah berkembang gaya hidup priyayi di lingkungan istana yang serba mewah sedangkan kehidupan rakyat pedesaan dan para petani serba sederhana dan miskin. Perdagangan dengan luar negeri dikuasai oleh orang-orang asing seperti para saudagar muslim dari Persia, Gujarat (India Selatan), dan juga orang-orang Cina. Perkembangan kebudayaan intelektual Jawa ini bisa dipahami dari kitab-kitab sastra yang ditulis oleh para empu (pujangga) yang merupakan elite masyarakat Jawa masa itu. Di antara karya-karya itu antara lain, adalah epos Ramayana yang berbentuk kakawin (puisi), epos Mahabharata. Kitab Arjunawiwaha yang mengisahkan perkawinan Arjuna dengan bidadari Kahyangan Wara Supraba, Kitab Pararaton, Negarakertagama, Smaradahana, kakawin Bhoma Kawya, Hariwamsya, Gatotkacasyraya, Subhadra-Wiwaha, dan masih banyak lagi. Pada sekitar 1520 Masehi kekuasaan Majapahit runtuh dan beralih ke Kesultanan Demak (Islam) di daerah pantai utara Jawa Tengah. Lihat catatan tentang Panembahan Senopati yang termuat dalam serat Wedhatama berikut ini: Nulada laku utama / Tumraping wong Tanah Jawa / Wong Agung ing Ngeksiganda / Panembahan Senopati / Kapati Amarsudi/ Sudaning Hawa lan Nepsu / Pinesu Tapa brata / Tanapi ing siyang ratri / Amamangun karyenek tyasing sasama// Saben mendra saking wisma / Lalana laladan sepi / Ngisep sepuhing sopana / Mrih pana pranaweng kapti / Tis-tising tyas marsudi / Mardawaning budaya tulus / Mesu roh kasudarman / Neng tepining jalanidi / Sruning brta kataman wahyu dyatmika// Bagi para priyayi Jawa sebagai penegak sistem dinasti kedudukan, kekuasaan politiklah yang terpenting. Sedangkan agama menempati urutan ke dua. Hal ini jelas tercermin melalui bangunan candi semacam candi Borobudur, candi Prambanan, juga melalui sikap raja Airlangga hingga raja-raja Majapahit yang menganut agama rangkap, yaitu Syiwa-Buddha, padahal, di negeri asalnya ke dua agama ini saling berseteru. Telah dikemukakan bahwa yang tampak aktif menyerap budaya intelektual Hindu dan terutama sastra keagamaan Mahabharata dan Ramayana adalah para priyayi Jawa. Sikap dan wawasan budaya priyayi inilah yang mempermudah para priyayi itu beralih kepada agama Islam sesudah berdirinya Kesultanan Demak. Kembali kepada masalah interaksi sastra dan budaya Islam (pesantren) serta budaya kejawen yang mulai berkembang sesudah berdirinya kerajaan Demak (abad ke-16 Masehi). Interaksi bidang sastra ini melahirkan dua jenis sastra Jawa yang disebut Sastra Jawa Pesantren dan Sastra Islam-Kejawen. Dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra Jawa dijadikan wadah untuk memperkenalkan ajaran Islam. 12

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

Sebaliknya dalam sastra Islam-Kejawen unsur-unsur sufisme dan ajaran budi luhurnya diserap oleh para sastrawan Jawa untuk meng-Islamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu. Bila ditinjau dari sudut agama Islam, para santri tentu menyebutnya sebagai sinkretisme, tetapi dari sudut budaya dan sastra Jawa, integrasi dengan unsur-unsur Islam itu merupakan penyempurnaan sastra dan budaya Jawa. Jadi bukan sinkretisme: karena sastra, bahasa, dan budaya tidak mengenal istilah itu. Adapun keistimewaan para priyayi Jawa, adalah wawasan yang terbuka, dinamis dan mampu menyerap unsur-unsur budaya yang datang dari manapun. Mereka sangat terbuka dalam menghadapi budaya intelektual Hindu dan budaya Islam. Perhatikan bahwa tepuk gendang dalam pola musik/tari Zappin, bisa disesuaikan dalam bentuk gending pada instrumen gamelan. Demikian pula dalam menghadapi kebudayaan modern Barat. Di antara sastra Jawa yang bergaya pesantren antara lain Het Boek van Bonang, terjemahan Tuhfah Mursalah Ila Ruh AlNabi yang menjadi Serat Tuhfah bersekar Macapat, terjemah kitab Fathurrahman, terjemah kitab Hikam menjadi kitab Marifat, kemudian nadhoman yang memuat ajaran Ahmad Rifai, syiiran Tambaati dan sebagainya. Perhatikan pula garapan Tambaati oleh Emha Ainun Nadjib dengan gamelan Kyai Kangjeng. Berikut dua pupuh kitab Fathurrahman: Lawan malih pangandika Nabi / kang sinung rahmat kalawan salam / ikilah pangandikane / utawi wong atuduh / kabecikan kadya kang kardi / ganjaraning Pangeran / ing wong kang atuduh / iyeku amal jariyah / kang lumaku atuduh kalawan ilmi / kang sepi saking riya // Angandika Syaikh kang luwih arif / Eseh Juned kang abangsa Bahdad / ikilah pangandikane / wa kulluka sirkiyyun / tegesipun sireku sirik / dening angrasa sira / ndarbeni panebut / pamuji lawan panembah / cipta rasa makripat kang angalingi / iku dereng sampurna //

13

Bab I. Pendahuluan

Gambar V: Candi Borobudur

C. ALMANAK, SERAT KALANG Setelah Mataram berhasil mematahkan perlawanan para penguasa lokal pesisiran yang mendapat dukungan masyarakat pesantren, akhirnya timbul masalah baru bagaimana menciptakan stabilitas bagi pemerintahan Mataram. Yakni bagaimana menciptakan bentuk kebudayaan intelektual yang bisa mengurangi ketegangan antara lingkungan budaya pesantren dan kejawen. Usaha ini dimulai dengan mengubah perhitungan tahun kabisat Saka, menjadi tahun Jawa Sultan Agung-an agar sesuai dengan tahun Hijriyah yang didasarkan pada peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan kalender Hijriyah; sedang hari mingguan Islam dipertemukan dengan nama-nama hari Kejawen, misalnya Senen Wage, Selasa Kliwon, Sabtu Pahing dan sebagainya. Dengan demikian, perhitungan tahun Jawa ini bisa diterima dengan perasaan lega oleh masyarakat pesantren. Hanya untuk kepentingan berlangsungnya upacara-upacara kerajaan, tahun Jawa ini melestarikan tahun Saka sebagai awal pertamanya, yaitu tahun 78 Masehi. Ruang dan waktu sebagai wadah asali keberadaan tidaklah dipahami dengan cara yang sama secara universal. Pemahaman ruang dan waktu terbentuk pada sisi publik pemikiran masyarakat yang memungkinkan mereka saling mengkomunikasikan keberadaannya. Secara bersama masyarakat mewujudkan konstruk pemahaman ini melalui institusi sosial dan simbol publik, seperti, sistem kalender, peristiwa perayaan, ritus kehidupan, penciptaan permukiman dan administrasi teritorial. Tradisi Jawa memiliki sejumlah perbedaan jika 14

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

waktu dikonstruksikan sebagai progress linear tunggal yang terakumulasikan sepanjang alur perkembangannya yang mengalir secara konstan dan tak dapat balik. Awal tidak selalu mendahului akhir, sebagaimana larik-larik tembang mistik menuturkan (pentas wayang) telah usai meskipun dia (sang dalang) belum lagi memulai (wus wisan durung mucuki). (Zoetmulder, 1991:288). Dalam beberapa hal, terdapat karakteristik-karakteristik yang sama dengan orang Bali dalam memahami waktu sebagai daur yang berulang. Dalam memaparkan konstruk waktu, Clifford Geertz (1973:393) menyatakan bahwa sistem kalender orang Bali yang memiliki banyak siklus pada dasarnya adalah alat untuk mengkonstruksikan waktu sebagai fenomena yang muncul (punctual phenomena) yang terjadi berulang secara regular dari pada sebagai sekuens yang bergerak terus. Dari pada untuk mengukur kemajuan alur waktu, sistem kalender ini adalah perangkat untuk menentukan keberuntungan dan kesialan yang terkait dengan waktu tertentu yang muncul pada kecocokan antara berbagai siklus. Kalender ini tidak menceritakan kapan suatu waktu, tapi menceritakan waktu macam apa. (Revianto, 2000:7-8). Sementara dalam bukunya Djoko Mulyono yang berjudul Melihat Saat Tahu Waktu, menulis tentang Tarikh-tarikh (Saka, Hijriyah, Jawa, Masehi dan Imlak); Musim dan Pranatamangsa; Perbintangan; Wewaran dan Pawukon; Petangan dan Candrasengkala. Atas tulisan pada bukunya tersebut, Djoko Mulyono sebagai orang yang njawani pula merasa dapat memetik pelajaran sebagai berikut: Pertama: Tidak ada hal yang pasti atau tepat benar tentang waktu. Selalu harus ada koreksi atau penyesuaian setiap saat untuk memperoleh ketepatan. Artinya, untuk memperoleh keserasian perlu adanya usaha penyesuaian dan tenggang rasa serta pengorbanan. Kedua, untuk memperoleh sesuatu yang baru tidak harus secara mutlak membuang (waktu) yang lama, karena nilai-nilai lama banyak yang masih bermanfaat dan diperlukan oleh lingkungan yang sama. Hal ini dilakukan oleh Sultan Agung di Mataram pada waktu beliau mengganti tarikh Saka menjadi tarikh Jawa Baru, yaitu tarikh gabungan unsur Arab dan unsur Jawa. Demikian juga waktu Sunan Pakubuwana VII di Surakarta mencanangkan pranatamangsa. Beliau tidak mengganti tetapi memberi pendamping tarikh Jawa (Djoko Mulyono, 1992).

15

16
Gambar VI: Mesjid Agung

Bab I. Pendahuluan

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

Dibandingkan dengan Bali, Jawa lebih terbuka terhadap konstruk waktu linear sebagaimana dikenalkan oleh Islam dan Barat (Lombard, 1996, jilid 2). Ada arah tertentu pada perulangan alur waktu, namun kadang arah ini tidak ditampilkan secara jelas. Meluasnya penggunaan sengkalan/kronogram yang merupakan serangkaian kata atau sebentuk sosok (misalnya Semar atau Togog) yang dapat diinterpretasikan secara numeric sehingga menunjukkan angka tahun merupakan salah satu penanda keinginan untuk menandai sesuatu dalam kerangka waktu yang bergerak maju tapi sekaligus keengganan menampilkan tahun tersebut secara eksplisit sehingga dengan mudah dapat diurutkan sesamanya dan dihitung lintasan yang telah ditempuh. Secara sosial, penerapan kalender dengan kerangka waktu siklikal terbatas penggunaannya terutama pada lingkungan keluarga dan lokalitas tertentu (Anderson, 1990:35n45) sedangkan pada lingkup yang lebih luas dan lebih terbuka terhadap pengaruh luar diatur oleh kalender dengan kerangka waktu linear. Dengan menyangsikan peran kerangka pemahaman waktu linear pada budaya Jawa, Alton Becker (1995:23-70) dengan tegas menyatakan bahwa dalam sistem pemikiran Jawa tatanan ruang (spatial order) lebih diutamakan dalam mengorganisasikan fenomena dibandingkan tatanan waktu (temporal order). Lebih lanjut dia membandingkan antara perkembangan dramaturgi dalam pertunjukan wayang, dan runtutan plot dalam drama ideal menurut Aristoteles yang banyak mempengaruhi teater Barat. Pada ke dua pertunjukan tersebut terdapat rumusan kelengkapan suatu satuan pementasan haruslah lengkap namun terdapat perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah tradisi drama Barat menyandarkan rumusan tentang drama yang lengkap pada kausalitas yang dikerangkakan oleh runtun waktu, sementara tradisi drama Jawa berdasarkan pada kebetulan yang dikerangkakan oleh konstelasi ruang. Rumusan karakterisik Jawa tersebut dia paparkan sebagai berikut: Suatu lakon wayang, bagaimanapun juga, harus diawali dan diakhiri pada tempat tertentu; dia tidak dapat di awali di sembarang tempat meskipun dapat di sembarang waktu. Dia juga harus melintasi tempat tertentu ditengahnya. Dengan demikian lakon wayang awal, tengah dan akhir yang didasarkan pada ruang ketimbang waktu (Becker, 1995:41).

17

Bab I. Pendahuluan

Gambar VII: Wayang Kulit Kala Bendana

Dalam konstruk spasial ini, konflik pada lakon wayang terbentuk terutama melalui serangkaian kebetulan untuk menjelaskan mengapa suatu hal terjadi dan pihak-pihak yang berbeda bertemu; suatu landasan yang dijauhi pada plot drama Barat. Sang pahlawan tidak harus memiliki konflik kepentingan dengan lawan-lawannya. Arjuna dan Cakil bertempur semata karena keduanya kebetulan bertemu di jalan tanpa harus terdapat permusuhan karena konflik kepentingan. Kiranya dalam hal ini harus pula diingat bahwa peperangan Arjuna Cakil tidak bisa dipahami dalam konteks yang amat sederhana, karena sesungguhnya ia mempunyai banyak keterkaitan masalah, termasuk ruang dan waktu. Ia merupakan bagian dari pada yang disebut perang kembang (kusumayudha) pada episode tengah, Pathet Sanga. Oleh karenanya ia terjadi semasa Gara-gara. Selain tampilan fisik juga mempunyai makna simbolik, bahwa senantiasa ada gara-gara (godaan, pangrencana) setiap kali tujuan suci diikrarkan dan

18

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

diusahakan. Secara teknis ia juga merupakan batu ujian bagi para dalang untuk menampilkan kepiawaiannya dalam memainkan wayang. Rumusan spasial ini hadir dalam satu set yang lengkap. Becker mendefinisikan rumusan spasial berbasis tiga dalam pentas wayang: adegan pertemuan di balai persidangan agung di awal, adegan di alam pada pertengahan dan perang di akhir. Meskipun persisten struktur dramaturgi ini sangat fleksibel untuk membagi dan mengembangkan lakon. Rumusan kelengkapan serupa kita dapati pada petungan, cara penghitungan yang dipergunakan orang Jawa untuk merumuskan aspek numeric suatu ruang, khususnya ruang domestik. Cara yang juga dipergunakan untuk merumuskan waktu ini didasarkan pada kelengkapan elemen-elemen suatu set yang berulang. Meskipun hasilnya berupa dimensi elemen bangunan, petungan tidak menghasilkan proporsi maupun skala ruang yang tertentu yang dapat dirasakan. Sebagaima na sistem kalender siklikal, petungan menunjukkan ruang macam apa (dan bukan ruang sebesar apa) yang tepat. Yang menjadi perhatian sistem penghitungan ini adalah kesejahteraan yang dipancarkan suatu ruang dan kecocokannya bagi peruntukan tertentu. Dalam menentukan ukuran elemen bangunan, petungan menggunakan suatu ukuran ragawi dari pemilik bangunan seperti kaki, jengkal, hasta maupun depa. Penggunaan satuan ragawi ini menunjukkan bahwa ruang pada dasarnya adalah ekstensi keberadaan pemiliknya. Karakter suatu bilangan ukuran dapat dirumuskan secara matematis menjadi 5x + n dengan x adalah bilangan pengali manapun dan n adalah konstanta penentu karakter. Karakteristik ruang yang terbentuk sebagaimana dirumuskan dalam konstanta n lebih mementingkan kecocokan guna suatu ruang dengan karakternya dari pada memberikan penilaian positif/negatif. Tidak ada bilangan n yang begitu bagusnya sehingga cocok untuk semua tujuan maupun sebaliknya yang harus selalu dihindari. Bilangan n = 1 yang disimbolkan sebagai Sri yang paling mensejahterakan-pun hanya diperuntukkan bagi rumah belakang tempat penghuni tinggal meskipun bilangan ini memiliki semua karakteristik unggulan. Dengan menggunakan unit-unit pengukuran antropometrik yang didasarkan pada tubuh pemilik rumah, metode petungan di atas mengindikasikan bahwa ruang yang dihuni pada dasarnya adalah ekstensi tubuh pemiliknya, yang dalam hal ini berhubungan dengan peran dia sebagai penghuni dan penguasa ruang. Petungan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan pada suatu ruang, yang dengan demikian

19

Bab I. Pendahuluan

akan tercapai bila terbentuk hubungan yang semestinya antara ruang dan kekuasaan yang mengontrolnya. Untuk mengelola suatu teritori, rajaraja Jawa menggunakan cacah satuan luasan lahan dengan orang yang mengerjakan yang akan memberi hasil tertentu sebagai unit penghitungan. Suatu ruang akan diperhitungkan jika ada yang mengontrol dan hasil yang diharapkan. Karena dianggap tidak memiliki nilai, lahan yang belum terjamah tidak diperhitungkan. Penguasa Jawa sebenarnya menguasai cacah dalam jumlah tertentu dari pada suatu wilayah utuh dengan batas yang jelas. Pada pembagian kerajaan Mataram menjadi dua di pertengahan abad ke-18, yang dibagi kepada ke dua raja adalah cacah dalam jumlah tertentu yang terserak di berbagai tempat sehingga tidak membentuk satuan luasan wilayah yang utuh yang berbatas jelas. Kewenangan lelaki dalam membentuk ruang dan mengontrol teritori direpresentasikan dalam sejumlah simbolisme phallus (alat kelamin lelaki) yang menunjukkan hubungan yang erat antara kekuasaan dan kesuburan. Di antara pusaka yang disimpan di keraton Surakarta adalah Kyai Cengkal Baladewa yang berupa tongkat pengukur tanah yang dianugerahkan oleh Baginda. Pemberian lahan adalah sepenggal kewenangan kerajaan yang dilimpahkan kepada seseorang yang berjasa. Lahan itu hadiah tapi sekaligus pengikat bagi orang tersebut untuk tetap setia dan patuh sehingga harus mengekspresikan kekuasaan sang pemberi (tanah lungguh atau apanase seorang pejabat bisaanya tidak dapat diwariskan sehingga tetap berada di bawah kewenangan raja). Untuk menunjukkan secara simbolis kekuasaan Baginda atas wilayahnya yang berarti kemampuannya untuk mengontrol dan menyejahterakan tongkat Kyai Cengkal Baladewa tersebut berukuran sejauh jarak antara ujung alat kelamin raja dengan jatuhnya air seninya (Pemberton, 1994: 32; Revianto, 2000: 1314). Berikut adalah perhitungan Almanak atau Serat Kalang. Sebelum kita membahas masalah tersebut, akan dikutip artikel Rudy Subanindra yang bertajuk Anakronisme dan Filosofi Kalender Jawa (2000) antara lain tertulis sebagai berikut. Aspek realitas kejadian dengan aspek inter-kontaminasi dimensi falakiah atau getaran sinergi astronomik pada zaman sekarang sering dianggap tidak modern dan rasional. Kasarnya, realitas kejadian sering dianggap tidak ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Ghoib, tetapi lebih ditentukan oleh upaya semata-mata rasional nyata manusia atau bangsa itu sendiri. Analisis ini bukan berarti berkonotasi menafikan otonomisasi penentu nasib oleh umat atau bangsa itu sendiri. Sebab umat manusia yang lebih mempanglima-kan rasio dan teknologi cenderung mengesampingkan Maha Sistem yang selalu secara ingrated circuit berada latent dibalik

20

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

sistem yang diciptakan manusia. Maka ketika orang Barat mulai jenuh dengan modernitas super teknologi hingga pada gilirannya sebagian pemikirnya menjadi kurang puas dengan batas-atas paradigma realitas dan rasionalitas, kemudian mereka meloncat kembali pada rambahan apresiasi dan analisasi terhadap obyek-obyek fenomenal alam semesta, baik makrokosmik maupun mikrokosmik. Mereka kembali menyadari bahwa sehat dan waras raga saja tidak cukup untuk memberikan preagregasi anatomis manusia untuk bisa hidup, sadar, gerak, merasa dan berpikir. Jelas bahwa pre-agresasi jagad cilik saja masih sedemikian misterius. Belum lagi otomatisasi tata surya dan angkasa. Maka orang Barat kini mulai kembali menyadari tentang masih membahananya jurang anakronisme kebudayaan Barat terhadap komprehensi filosofi Mamayu Hayuning Bawana. Anakronisme disini dimaknai sebagai wahana cipta, rasa, akal, dan wacana perilaku yang keconthalan (terbirit-birit) atau sebaliknya kebat kliwat (terlalu cepat, hingga kelewatan) dalam menyikapi irama keseimbangan alam semesta dan kultur global dalam masing-masing konteksnya. Namun anehnya dalam lingkup budaya kita sendiri, holisme komprehensi yang sebetulnya justru telah diawali oleh Sultan Agung dengan penciptaan Kalender Jawa dengan berbagai penetapan valensi variable waktu (neptu, titi dan mongso), ternyata justru banyak ditinggalkan oleh orang Jawa yang sebagian masih kemaruk dan gandrung (tergila-gila) modernitas. Super interaksi alami dalam mekanisme. Segala zat dalam aransemen alam semesta sesungguhnya sudah sedemikian rupa diciptakan sejak awal oleh Yang Maha Khalik. Segala ciptaan teknologi Barat, sesungguhnya merupakan pengejawantahan realitas dari sifat-sifat kesemestaan yang telah ada. Hal ini bisa kita saksikan dalam karyakarya teknologi dan elektronika sampai masa kini, misalnya: energy listrik, energy nuklir, sistem radio, televisi, pesawat terbang, sistem komputer dan sebagainya. Maka, meskipun segala segi rahasia alam seolah sudah ter-ejawantah dalam teori ilmu teknologi dan ilmu-ilmu lain, tetapi sejuta medan variable yang menantang dalam misteri alam semesta tentu dirasakan sungguh masih sangat luas, bahkan tetap tak terhingga. Inilah kemahaan kehidupan sekaligus misterinya. Itulah pula sebabnya dunia gambling, baik di bidang politik, keuangan, ekonomi, perdagangan ataupun kemajuan-kemajuan umat manusia sampai ke teknologi perang bintang, berbagai rekayasa bio-teknologi, cloning, senjata nuklir, penerbangan ke luar angkasa, penelitian ke planit lain dan sebagainya, masih terus dikembang-citakan. Sebaliknya, berbagai kejadian meta-rasional agaknya juga kembali mulai actual, diperhatikan dan diteliti secara lebih bersemangat oleh dunia Barat. Berbagai contoh gejala itu bisa kita saksikan lewat televisi. Peluang penelitian yang agaknya belum mampu diperhatikan sampai sekarang

21

Bab I. Pendahuluan

secara adequate deskriptif epistemologis (ilmiah metodologis) & ontologis (jabaran rasional dengan rujukan tata astronomi semesta) adalah: Bahwa dimensi falakiah dan astronomik dalam lingkup makrokosmos kesemestaan, pasti memiliki daya dampak terhadap seluruh supra, mid dan subsistem gerak-gerik unsur-unsur mikrokosmos alam semesta seisinya. Termasuk terhadap gejolak temperasi sensitivitas kita, peaking, konjungsi psikologis, passing intelegensia, momentum hadirnya screen indera keenam dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi lantaran kita adalah umat ciptaan-Nya yang paling sempurna dan dimuliakan-Nya sekaligus penuh misteri, disbanding flora, fauna dan makhluk lainnya. Ilham Sultan Agung, Raja Mataram ke-III sebagai pencipta Tarikh Jawi, ilham Raja Numa Pompilus dan Kaisar Yulius selaku Pontifex Maximus sebagai pencipta Tarikh Romawi Kuno, ilham Paus Gregorius VIII sebagai pendekrit koreksi Tarikh Masehi 1582, ilham Kanjeng Sinuhun Paku Buwana VII dalam mencipta Pranotomongso Jawi, ilham filsuf Kong Hu Cu (Confusius) dalam menciptakan Tarikh Imlek dan sebagainya, tentu bukan ilham wantahan (vulgar). Tarikh sebagai suatu sistem pegangan waktu bagi berbagai umat, tentulah diciptakan/didekritkan setelah proses ilham yang sudah transcendental ke alam dimensi ke-4, serta melalui kecanggihan akurasi ataupun sofistikasi pemikiran dan perhitungan-perhitungan astronomic dan sangat makrokosmis, serta didorong oleh radiasi para energi doyo linuwih (RPEDL) tertentu. Sebab, seperti diketahui pada setiap model ciptaan tarikh atau pada sistem Penanggalan, selalu saja diikuti oleh berbagai suplemen rincian berdimensi astrofalakiah. Sebagai misal, pada lingkup sistem tarikh Masehi, akan kita dapati Astrologi, Palmistry dan lain-lain. Pada Tarikh Imlek, maka hitungan falakiah ramalpenujuman PATKWA ciptaan Raja Hok Hi (Fu Hsi) ternyata sudah dipergunakan sejak 59 abad yang lalu. Maka suplemen Tarikh Jawi, juga bukan main komplitnya. Mungkin bahkan yang paling komplit. Hal ini bisa kita simak dalam berbagai Primbon Jawi. Berbeda dengan tingkat epistemology dan ontology pada dimensi penciptaan sistem Tarikh, maka dimensi penciptaan suplemen-suplemen ini justru tampak lebih misterius, dis-epistemologik dan bahkan dis-ontologik. Kita ambil contoh misalnya dalam suplemen Tarikh Jawi. Unsur daur HARI dan PASARAN di dalam Primbon Jawi itu telah diberi index atau valensi yang biasa disebut NEPTU. Dengan demikian setiap masing-masing HARI dan masing-masing PASARAN telah diberi valensi-valensi tertentu oleh legenda. Meskipun sudah ada rujukan rasionalisasi tentang perhitungan ketemunya formulasi legenda NEPTU, tetapi agaknya belum legitimatif secara keilmiahan karena belum pernah

22

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

terjadi apresiasi antar para pakar Tarikh Jawi untuk menjumbuhkan (menyesuaikan) epistemoloi dan ontology deskripsinya secara legitimate. Valensi-valensi pada kelompok daur SAPTOWORO, yakni hari Dite = Ahad, neptu = 5; Soma=Senin, neptu 4; Anggoro=Selasa, neptu 3; Buda=Rabu, neptu 7; Respati=Kamis, neptu 8; Sukra=Jumat, neptu 6 dan Tumpak=Sabtu, neptu 9. Pada PASARAN, yang termasuk ke dalam Kelompok daur PONCOWORO, maka valensinya masingmasing adaah: Kliwon=8; Legi=5; Pahing=9, Pon=7 dan Wage=4. Kontemplasi atau gabungan daur antara SAPTOWORO dengan PONCOWORO tersebut bertemu (ber-tumbuk) dalam daur Selapaan = 35 hari, yang berarti berulangnya kembali seperti semula HARI dan PASARAN-nya, seperti 35 hari yang lalu. Kecanggihan lain dari pada sistem Tarikh Jawi ciptaan Sultan Agug Hanyokrokusumo tersebut antara lain adalah dengan dilengkapinya berbagai unsur parameter dari daur tersebut. Mungkin hal ini disebabkan oleh ilham-perhitungan tertentu, sehingga berbagai tingkat dauran ini saling berkait dengan siklusitas daur lainnya (misalnya pada saat Tumbuk Windon). Seperti kita ketahui, pada setiap satu windu atau 8 tahun Jawi, maka seluruh siklusitas daur, yakni Daur WINDU, TAHUN, BULAN, HARI da PASARAN, bakal kembali sama seperti semula. Hanya daur Khurufan saja yang tidak berulang, sebab jarak daurnya mencapai 120 tahun. Bukan tidak mungkin, bahwa dibalik system daur yang memiliki siklusitas tertentu tersebut, maka sebelumnya terproses deteksi tentang adanya siklusitas reaksi Radiasi Alam Makrokosmik (RAM) tertentu oleh para wiku pada zamannya Sultan Agung. Sebab dengan terskenario-nya sistem Tumbuk ini, maka tampak adanya modul-modul matrikulatif yang sangat teratur siklusitasnya serta harmonismenya. Meminjam istilah komputer untuk sekedar mengibaratkannya, maka disamping chip dan cardkit yang terpasang dalam CPU-manusia sebagai insan otomatik dan yang di-kepareng-ke bergerak sendiri, wira-wiri bahkan terkadang neko-neko, dengan tanpa battery, maka kita umat manusia masih dianugerahi pula oleh Al-Khalik, suatu instalasi kepekaan receiving/transmitting (transceiving) untuk mampu menerima dan memancarkan daya dampak multi dimensional paraenergy. PARA-ENERGY adalah energi super-global yang melingkupi kita secara latent atau terus menerus, serta selalu berkontaminasi terhadap diri kita sebagai penghuni alam-dunia tersebut. Untuk perihal ini sementara kita sebut saja dengan istilah Radiasi Alam Makros (RAM). Sedangkan kawasan lalu-lintasnya berada di luar gelombang frekuensi radio Kawasan ini untuk mudahnya sementara kita sebut saja sebagai Radius Metafisik Para-Energi (RMPE). Adapun jangkauan radiasinya mencapai radius tanpa batas. Sedangkan nuansa perwujudannya ke dalam alam pikir dan bathin kita pada tingkatan

23

Bab I. Pendahuluan

indera tertentu, bias saja berbentuk ILHAM, WANGSIT, WISK, INTUISI, KENAASAN, KEMUJURAN daya-KEWASKITAAN bahkan WAHYU dan lain sebagainya. Nuansa-dimensi ini secara epistemology mungkin tidak terdaftar. Artinya penjabaran teroriti dan keilmiahannya, tidak terjangkau oleh rational sciences Namun bilamana diungkap suatu kawasan mominasi keilmuan baru yang ntuk sementara kita sebut saja META-SCIENCES, maka dimungkinkan bahwa pelebaran daftar registrasi keilmiahan umat alam-dunia ini akan menjadi lebih meta makrokosmik-multi dimensional. Bahkan transcendental-imanen. Ataupun inamental transenden. Satu referensi penting untuk menerima dimensi baru dalam meta-sciences ini adalah yang sebagaimana termaktub dalam Rukun Iman. Sebab, jikalau kita sempat menghargai kehadirn eksistensi diri kita sendiri dalam dunia ini, maka tak pelak lagi bahwa pada akhirnya kita akan mengakui betapa misteriusnya keberadaan diri kita dsendiri tersebut. Sengkalan atau sangkala untuk menunjukkan waktu. Sang atau Si kata sandang yang dipakai untuk personifikasi sesuatu hal, yaitu kala atau waktu. Jadi untuk menunjukkan Sang Waktu atau tahun kejadian. Misalnya Tangan Yakso Satataning Jalmo, yang merupakan sengkalan untuk Buto Cakil, yang artinya bahwa Buto Cakil mempunyai dua buah tangan seperti manusia. Sengkalan ini menunjukkan tahun dibuatnya wayang Buto Cakil, yaitu tahun 1552 Saka atau 1630 Masehi. Sanga Kuda Cudda Candrama, yang menunjukkan tahun ditulisnya Kitab Bharata Yudha oleh Empu Panuluh pada tahun 1079 Saka atau 1641 Masehi. Panggung Sangga Buwana juga merupakan sengkalan yang berasal dari huruf pa-murda = 8; song, kosong, suwung = 0; huruf gamurda = 7; buwana = 1, berarti Panggung Sangga Buwana dibangun pada tahun 1708 Saka, atau 1782 Masehi. Sengkalan ini juga didapati pada punck Panggung Sangga Buwana yang disebut Naga Muluk Tinitihan Janma. Artinya, naga = 8; muluk = 0; titihan = 7; janma = 1. Berarti juga 1708 yang merupakan peringatan didirikannya panggung tersebut oleh Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwana III. Persatuan dua kata menjadi satu kata baru, bentuk baru, misalnya garwa dan kata-kata sigaraning nyawa atau belahan jiwa, cangkir dan katakata nancang-pikir, atau mengikat pikiran, dongeng dari kata-kata dipaido ora mengeng, atau dipersalahkan dibantah pun tidak akan menggerutu. (Budiono, 2008;138-139, Tiknopranoto, :76). Dalam tradisi atau tindakannya orang Jawa selalu berpegang kepada dua hal . Pertama, kepada pandangan hidupnya atau filsafat hidupnya yang religius dan mistis. Kedua, pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya. Pandangan hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba

24

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

rohaniah atau mistis dan magis, dengan menghormati arwah nenek moyang atau leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia, dipakailah simbol-simbol kesatuan, kekuatan dan keluhuran seperti; 1. Simbol yang berhubungan dengan kesatuan roh leluhurnya, seperti sesaji, menyediakan bunga, membakar kemenyan, menyediakan air putih, selamatan dan ziarah. 2. Simbol yang berhubungan dengan dengan kekuatan, seperti nenepi, memakai keris, tombak, jimat atau sipat kandel. 3. Simbol yang berhubungan dengan keluhuran, seperti pedomanpedoman laku utama daam Hasta-Sila, Asta-Brata dan Panca Kreti. Menurut Siswaatmaja Sosiawan (1950) yang dimaksud dengan Asta-Brata adalah Delapan macam Tindakan. Pedoman ini diambil dari wasiat Cupu Manik Asta Gina, buku yang sebenarnya merupakan pegangan hukum yang diperuntukkan bagi para Dewa, dalam dunia pewayangan. Asta-Brata diwujudkan dalam simbol-simbol seperti wanita, garwa, wisma, turangga, curiga, kukila, waranggana dan pradangga. Makna harfiahnya adalah, perempuan, isteri, rumah, kuda, keris, burung, pesinden dan gamelan (Siswaatmaja, 1950:4; Subanindyo, 2008:5). Kiranya perlu disadari bahwa antara perempuan dan isteri, yang keduanya adalah wanita, mempunyai perbedaan makna, terutama dalam statusnya. Demikian juga dengan wanita berikutnya, yaitu waranggana dalam sudut pandang Asta-Brata. Tarikh Jawa mulai berlaku sejak tahun 1633 Masehi, tepatnya pada suatu hari Jumat Legi, bertepatan dengan hari tahun baru Saka 1555. Pada saat itu hari tahun baru tarikh Saka bertepatan dengan hari tahun baru tarikh Hijriyah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sultan Agung di Mataram untuk mengganti system kalender yang dipakai waktu itu. Semula tarikh yang dipakai di Mataram adalah tarikh Saka, yang berdasarkan perhitungan matahari (solar system). Mungkin, sesuai dengan agama resmi yang dianut pihak kraton adalah agama Islam, Sultan Agung ingin menyesuaikan kalender dengan tarikh Hijriyah. Tarikh Jawa dianggap kelanjutan dari tarikh Saka yang dipakai sebelumnya. Maka angka tarikh Jawa tidak berawal dari angka satu, tetapi meneruskan angka tarikh Saka. Jadi angka tarikh Jawa Baru di mulai dengan angka 1555. Tentu saja tarikh Saka di luar Mataram masih berlangsung terus hingga sekarang, dan tetap memakai system matahari. Pemasukan unsur Jawa dalam tarikh Jawa Baru ini terlihat dalam pengaturan kurup (dari quruf tarikh Hijriyah). Dalam hal ini hari pancawara, Pahing, Pon, Wage Kliwon dan Legi sebagaimana telah diutarakan terdahulu.

25

Bab I. Pendahuluan

Wejangan semacam ini kemudian juga diberikan oleh Sri Kresna kepada Arjuna dalam lakon Makutarama. Karena tingginya falsafah yang terkandung dalam pesan tersebut dan jika dilaksanakan seseorang akan dapat menjadi pemimpin yang seakan mendapat wahyu, seseorang akan disegani oleh setiap yang ditemui, dan orang itu dicintai oleh Tuhan Yang maha Kuasa, maka ceritera tersebut dikenal dengan Wahyu Makutarama. Isi ajaran tersebut menggariskan 8 (delapan) asas kepemimpinan yang digambarkan melalui 8 (delapan) tokoh dewa atau juga dilambangkan oleh 8 (delapan) unsur alam, yaitu: 1. Hyang Surya atau watak Matahari: Matahari mempunyai sifat panas dan berfungsi sebagai pemberi sarana kehidupan. Seorang pemimpin harus berperilaku seperti matahari yang dapat memberikan semangat dan kehidupan bagi rakyatnya. 2. Hyang Candra atau watak Bulan: Bulan berwujud indah serta menerangi kegelapan. Seorang pemimpin harus berperilaku seperti bulan yaitu memberi penerangan dan membimbing rakyatnya yang berada dalam kegelapan. 3. Hyang Kartika atau watak Bintang: Bintang mempunyai bentuk yang manis serta dapat menjadi pedoman bagi mereka yang kehilangan arah. Dalam hal ini pemimpin harus dapat menjadi teladan serta panutan bagi masyarakat. 4. Hyang Bayu atau watak Angin: Angin bersifat mengisi ruangan kosong. Angin bertiup ke semua arah sampai ke lubang-lubang sekecil apapun. Seorang pemimpin harus dapat bertindak secara teliti dan bijaksana di samping harus dapat menyelami kehidupan seluruh masyarakat. 5. Hyang Himando atau watakAwan/Mendung: Mendung tampak menakutkan dan angker, akan tetapi bila telah turun menjadi hujan dapat bermanfaat bagi masyarakat, dapat menyuburkan tanah-tanah yang gersang. Seorang pemimpin harus berwibawa, namun juga sekaligus memberikan pengayoman, kesejukan dan kemanfaatan. 6. Hyang Brama atau watak Api: Api mempunyai sifat teguh serta dapat membakar apa saja. Seorang pemimpin harus dapat bertindak adil, mempunyai prinsip, disiplin, tegas dalam bertindak tanpa pandang bulu. 7. Hyang Baruna atau watak Samudera: Samudera bersifat luas dan mampu menampung segala jenis isi. Seorang pemimpin harus memiliki wawasan yang luas bagaikan samudera tanpa batas serta sanggup menerima segala macam persoalan. Sanggup menerima saran, kritik, bahkan kecaman.

26

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

8. Hyang Pratala atau watak Bumi: Bumi memiliki sifat suci, sentosa serta menjadi pijakan hidup. Meskipun terus digali dan dikuras isinya, bumi senantiasa rela, tanpa menuntut balik. Bumi senantiasa mengabdi kepada umat manusia. Dalam hal ini seorang pemimpin harus mempunyai sifat jujur, berbudi luhur serta mau memberi anugerah kepada siapa saja yang telah berjasa kepada Negara (Manteb Sudarsono, Tjok Rai Sudharta, Suwadji, Bram, 2001:48-49). Konsep kepemimpinan pada masa Dinasti Mataram II, secara jelas dapat kita jumpai pada kitab Wulangreh karya Paku Buwana IV dan kitab Wedhatama karya Mangkunegoro IV. Ke dua kitab ini, lebihlebih Wulangreh, secara tegas dan jelas melandasi falsafah kehidupan yang dikemukakannya, berdasarkan dalil (Quran), kadis (hadis) dan ijemak (ijma atau kesesuaian pendapat dari para ulama), serta menekankan agar kita mengikuti Rukun Islam dan menjalankan syariat agama dengan antara lain menegakkan sholat. Membaca Wulangreh yang berbahasa Jawa itu, terasakan seperti menemukan mutiara dan gubahan bebas dari telaga pemikiran Al Ghazali. Demikian pula Serat Centhini (cantik) karya Paku Buwana V yang justru lebih terkenal dan penuh aneka ragam persoalan, landasan pemikirannya adalah ajaran Islam. Tarikh Jawa mulai berlaku sejak tahun 1633 Masehi, tepatnya pada suatu hari Jumat Legi, bertepatan dengan hari tahun baru Saka 1555. Pada saat itu hari tahun baru tarikh Saka bertepatan dengan hari tahun baru tarikh Hijriyah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sultan Agung di Mataram untuk mengganti system kalender yang dipakai saat itu. Semula tarikh yang dipakai di Mataram adalah tarikh Saka, yang berdasarkan perhitungan matahari (sonar system). Mungkin sesuai dengan agama resmi yang dianut pihak kraton adalah agama Islam, Sultan Agung ingin menyesuaikan kalender dengn tarikh Hijriyah. Maka ditetapkanlah tarikh Jawa yang menggunakan system rembulan (lunar system). Namun tarikh Jawa baru ini tidak tepat sama dengan tarikh Hijriyah. Tarikh Jawa dianggap kelanjutan dari tarikh Saka yang dipakai sebelumnya. Maka angka tarikh Jawa tidak berawal dari angka satu, tetapi meneruskan angka tarikh Saka. Jadi angka tarikh Jawa baru dimulai dengan angka 1555. Tentu saja tarikh Saka di luar Mataram masih berlangsung terus hingga sekarang, dan tetap memakai system matahari. Pemasukan unsur Jawa dalam tarikh Jawa baru ini terlihat dalam pengaturan kurup (dari quruf tarikh Hijriyah). Dalam hal ini hari

27

Bab I. Pendahuluan

pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi) ikut berperan. Di dalam tarikh Jawa, terdapat pembedaan tahun dengan nama masing-masing, yaitu: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir. Siklus atau daur dari tahun Alip ke tahun Alip berikutnya selama delapan tahun disebut sewindu. Semula pengertian sewindu adalah sepuluh tahun, karena windu artinya sepuluh. Dikaitkan dengan kurupyang menampung masuknya hari pancawara sebagai rangkapan dari saptawara yang dipakai dalam tarikh Jawa, dapat diterangkan sebagai berikut: Dengan memperhitungkan adanya tahun kabisat (tahun Wuntu), sewindu umurnya 2.835 hari. Jumlah itu habis dibagi 35. Angka 35 ini adalah perkalian 7 (jumlah hari saptawara) dan 5 (jumlah hari pancawara). Oleh karena itu, tiap tanggal 1 bulan pertama tahun Alip, jatuh pada hari saptawara dan hari pancawara yang sama. Terlebih dahulu telah disebutkan bahwa permulaan tahun Jawa jatuh pada hari Jumat Legi. Tentu saja sebagai tarikh baru, tahun pertama adalah tahun Alip. Maka kurupnya disebut kurup Awahgi, sebagai singkatan dari Alip-JumuwahLegi. Dalam quruf Hijriyah tentu saja namanya quruf Jamiyah. Pada kenyataannya tarikh Jawa sudah berganti kurup sebelum mencapai 128 tahun. Kurup Awahgi hanya berumur 120 tahun, kemudian berganti dengan kurup Amiswon, singkatan dari Alip-Kemis-Kliwon, yang lamanya hanya 72 tahun. Kemudian diganti lagi dengan kurup Aboge, singkatan dari Alip-Rebo-Wage, berlangsung selama 120 tahun. Yang terakhir adalah kurup Asapon, singkatan dari Alip-Selasa-Pon. Penambahan satu hari pada tahun Wuntu (kabisat) pada bulan Besar, yaitu bulan ke dua belas, sama dengan tarikh Hijriyah. Tahun biasa (bukan kabisat) disebut tahun Wastu. Yang berbedaialah penempatan tahun kabisat (wuntu). Dalam tarikh Jawa tahun kabisat (wuntu) terletak pada tahun ke 2 (Ehe), tahun ke 5 (Je) dan tahun ke 8 (Jimakir). Dengan adanya tahun kabisat yang terletak pada tahun ke 8 (Jimakir), maka siklus atau daur tahun kabisat, yang di dalam tarikh Hijriyah berlangsung selama 30 tahun, di dalam tarikh Jawa menjadi 32 tahun, atau 4 windu. Keempat windu dalam32 tahun itu mempunyai nama sendiri: 1. Windu pertama disebut windu Adi; 2. Windu ke dua disebut windu Kuntara; 3. Windu ke tiga disebut windu Sangara, 4. Windu keempat disebut windu Sancaya.

28

Aspek Budaya Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik

Jadi bisa disimpulkan, perbedaan tarikh Hijriyah dan tarikh Jawa terletak pada: 1. Nama-nama bulan, meskipun dapat terlihat sebagian nama bulan tarikh Jawa berasal dari nama bulan tarikh Hijriyah. 2. Perbedaan jumlah quruf/kurup. Tarikh Hijriyah mempunyai 7 quruf, tarikh Jawa (akan) mempunyai 35 kurup. 3. Letak tahun kabisat/wuntu 4. Adanya siklus/daur kecil (dari tahun Alip ke tahun Alip), dan siklus daur besar (dari windu Adi ke windu Adi berikutnya) pada tarikh Jawa, sedang pada tarikh Hijriyah hanya ada satu siklus/daur yang lamanya 30 tahun. 5. Adanya nama tahun dan nama windu pada tarikh Jawa, yang pada tarikh Hijriyah tidak dikenal. Pemberian nama tahun dan nama windu itu erat kaitannya dengan petangan, yang masih berlaku dan dipakai oleh masyarakat Jawa. Petangan adalah perhitungan berdasarkan sifat atau baikburuknya hari, bulan, tahun atau windu, dikaitkan dengan tujuan atau rencana kerja tertentu, untuk memperoleh keyakinan bahwa rencana itu akan terlaksana dengan baik, bila sifat saatnya baik. Di Jawa juga ada kebiasaan dalam memperingati sesuatu, misalnya hari kelahiran, berdasarkan tumbuk. Ada tumbuk kecil dan tumbuk besar. Tumbuk kecil terjadi setiap windu (8 tahun), tumbuk besar terjadi setiap 4 windu (32 tahun). Pada tumbuk kecil hari pancawara, hari saptawara, tanggal, bulan dan tahun sama dengan saat peristiwa yang diperingati terjadi. Pada tumbuk besar, kecuali hari, tanggal dan bulan dan tahun, windunyapun sama. Dapat diperkirakan bahwa jarang orang yang dapat memperingati tumbuk besarhari kelahirannya sampai tiga kali.

29

Anda mungkin juga menyukai