Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH GEOTEKNIK

1. PERBEDAAN LAND SUBSIDENCE JAKARTA DAN SEMARANG 2. CONE PENETRATION TEST (CPT)

INDRA NUR SIDIQ 270110100061 KELAS B

FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2013

TUGAS 1 PERBEDAAN LAND SUBSIDENCE JAKARTA DAN SEMARANG

Land Subsidence Subsidence adalah pengertian dari penurunan permukaan tanah secara sederhananya, dan subsidence salah satu dari istilah-istilah penting di dalam kelimuan geologi. Bagaimana dulu Indonesia ini adalah laut dan mengalami pengangkatan (uplift) dan beberapa wilayah jutaan tahun yang lalu secara berkala mengalami subsidence yang hingga sekarang sedang istirahat di bawah permukaan tanah.

Cekungan Jakarta tersusun oleh deposit kuarter dan basement rock tersier. Ketebalan deposit kuarter sekitar 200-300m (Kazuyo Hirose, 2001). Batuan kuarter ini terbagi lagi menjadi: 1. Sedimen plistosen marine dan nonmarine 2. Kipas vulkanik plistosen akhir 3. Endapan holosen marine dan limpah banjir.

Secara umum Jakarta berada di atas litologi endapan aluvial, dimana sedimennya belum terkompaksi dan terlitifikasi, seperti pasir di pantai. Keadaan seperti ini memberikan informasi kalau litologi tersebut tidak terlalu kuat untuk menahan beban banyak karena belum terkompaksi, sehingga bisa mengalami perubahan geometri secara cepat.

PENYEBAB SUBSIDENCE

Menurut Murdharno dan Sudarsono (1998), ada beberapa penyebab subsidence Jakarta: 1. Groundwater extraction 2. Settlement of compressibility 3. Natural consolidation of alluvial soil 4. Geological settings

A. Kota Jakarta Pemantauan penurunan muka tanah di Wilayah Jakarta telah dilakukan dengan metode survey GPS dan Sipat datar dari tahun 2000 sampai 2011 di beberapa daerah yang diduga mengalami penurunan muka tanah. Survey lapangan juga dilakukan di Wilayah Jakarta untuk mengidentifikasi kerugian ekonomi yang mungkin timbul akibat penurunan muka tanah. Hasil pengolahan data GPS dan Sipat datar menunjukkan pada periode tahun 2000 sampai 2011 beberapa daerah di Wilayah Jakarta telah mengalami penurunan muka tanah sebesar 1 cm sampai 1,7 m yang bervariasi baik secara spasial maupun temporal. Hal ini disebabkan oleh proses kompaksi alamiah dan beban bangunan. Penurunan muka tanah yang paling besar dialami oleh daerah - daerah yang mengalami penurunan muka airtanah yang besar pula seperti Penjaringan, Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan Cakung, Jakarta Timur. Dampak penurunan tanah telah teridentifikasi seperti retakan pada dinding bangunan, atap rumah yang turun, terjadi indudansi air laut atau rob, kerusakan infrastruktur, dan memperparah genangan banjir. Daerah yang mengalami beberapa kerusakan akibat penurunan muka tanah ini seperti Penjaringan, Tanjung Priok, Cengkareng, Cakung, Kelapa Gading, Pademangan, dan Taman Sari. Pemantauan terhadap penurunan muka tanah ini berguna untuk pengaturan pengambilan airtanah, pengendalian banjir, konservasi lingkungan, serta pengambilan keputusan dalam pembangunan infrastruktur.

Tanah didaerah Jakarta didominasi tanah lunak yang terbentuk dari bekas rawa, bekas aliran sungai atau berbatasan dengan bekas aliran sungai, serta timbunan sampah organik yang lama kelamaan membentuk lapisan tanah. Jika dibiarkan, tanah di atas lapisan lunak tersebut akan mengalami penurunan jangka panjang dengan kecepatan bervariasi, sekitar empat hingga sepuluh sentimeter per tahun. Efek bagi membangun di atas lapisan lunak adalah bangunan terancam turun, yang lama kelamaan akan menimbulkan keretakan pada tembok dan akhirnya merobohkan bangunan. Untuk mengantisipasi, tanah tersebut harus dipadatkan. Untuk bangunan tinggi, mutlak harus menggunakan tiang pondasi yang mencapai lapisan tanah keras. Bagi bangunan yang sudah terlanjur berdiri di atas tanah lunak, beban pondasi harus dialihkan ke lapisan tanah keras dengan teknik under pinning.

B. Kota Semarang Semarang merupakan kota yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah yang kurang lebih 30 tahun terakhir ini telah mengalami banjir rob. Banjir ini menggenangi beberapa tempat di peisisir kota Semarang yang terjadi saat air laut pasang. Pada bulan Mei 2005 tercatat bahwa sedikitnya ada 14 kelurahan yang tergenang rob dengan luas daerah genangan mencapai 2.418 Ha. Salah satu penyebab timbulnya banjir rob ini adalah naiknya muka air laut, dimana laju kenaikan muka air laut yang tercatat di Stasiun Pengamatan Pasang Surut Pelabuhan Tanjung Emas Semarang adalah sebesar 5,43 cm/ tahun (Wirasatriya, 2005). Selain itu faktor dari tingginya pasang surut dan penurunan muka tanah adalah ancaman utama di Kota Semarang (Marfai, et al, 2005). Kondisi eksisiting dari elevasi tanah yang lebih rendah dari muka air laut menyebabkan semakin besarnya laju penurunan muka tanah. Banjir Rob di Semarang menyebabkan kerusakan infrasturuktur dan kawasan pemukiman selain itu juga berdampak pada kehidupan masayarakat, rumah tangga dan individual secara simultan (Marfai et al, 2007) Berdasarkan penelitian Wirasatriya (2005) diketahui bahwa penurunan tanah (land subsidence) merupakan faktor yang paling dominan yang menjadi penyebab kenaikan relatif muka laut di Semarang selain adanya faktor pemanasan global yang menyebabkan

naiknya permukaan air laut di seluruh belahan dunia dan faktor lain yang sifatnya memperparah banjir rob yang terjadi yaitu perubahan tata guna lahan dan buruknya sistem drainase. Faktor global ini hanya menyebabkan kenaikan muka laut di Semarang sebesar 2,65 mm/tahun. Laju penurunan tanah yang terjadi di Semarang besarnya bervariasi antara satu tempat dengan lainnya. Secara umum semakin mendekati pantai laju penurunan tanah akan semakin besar dimana laju penurunan terbesar adalah di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas yaitu bisa mencapai 14,2 cm/tahun. Sutanta & Hobma (2002) berpendapat bahwa sangat sulit untuk menentukan laju penurunan tanah di Semarang mengingat beda tempat, beda tahun maka beda pula laju penurunannya. Kompleksnya permasalahan ini ditimbulkan oleh dinamisnya faktor alam dan intervensi manusia, sehingga sangat sulit untuk menentukan skenario penurunan tanah yang paling akurat di Semarang oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan secara berkala mengenai penurunan tanah di wilayah pesisir Semarang. Berkaitan dengan hal tersebut maka penelitian ini akan dibatasi pada permasalahan penurunan tanah yang terjadi di pesisir kota Semarang. Berikut adalah sebagian kecil daerah yang mengalami penurunan tanah di Kota Semarang (pertahun) berdasarkan penelitian pakar hidrologi Universitas Diponegoro, Dr. Ir. Robert Y Kodoatie Meng (Suara Merdeka, 5 Februari 2012) : Bandara Ahmad Yani dan kawasan PRPP turun 3,4 cm sampai 7,6 cm Tanah Mas turun 5 cm Kawasan Pelabuhan Tanjung Emas turun 7,7 cm Tambaklorok turun 11 cm dan Pengapron 8,5 cm Kawasan Tugumuda turun 1,54 cm

Diperkirakan untuk beberapa tahun kedepan tingkat penurunan tanah di berbagai kawasan di Kota Semarang terutama bagian utara dan tengah akan semakin parah. Penurunan tanah juga menimbulkan permasalahan lingkungan dan menambah parah permasalahan yang sudah ada di Kota Semarang. Dampak yang dapat ditimbulkan adalah : Memparah banjir dan rob di Kota Semarang bagian utara dan tengah Merusak gedung atau bangunan yang berada diatas permukaan tanah

Kerusakan lingkungan di Kota Semarang terutama di Semarang Bawah.

Penurunan tanah di Kota Semarang menyebar di daerah pesisir yaitu pada Kecamatan Genuk (8.1-15 cm/th) dan Semarang Utara serta sebagian Semarang Barat (4.1-12 cm/th). Kecamatan Tugu memiliki tingkat penuruan tanah yang relatif rendah, yaitu kurang dari 1 cm/th. Kota Semarang dengan elevasi lebih dari 100 meter di atas permukaan laut relatif stabil dan tidak mengalami penurunan tanah. Dari hasil pengolahan spasial terlihat bahwa semakin mendekati pantai laju penurunan tanah di Kota Semarang semakin besar karena lapisan tanah di daerah pantai kota semarang merupakan lapisan tanah lunak sehingga terus mengalami konsolidasi/pemampatan. Dari hasil perhitungan juga diketahui bahwa persentase laju penurunan tanah tertinggi adalah pada kelas penggunaan lahan untuk pemukiman dengan persentase 50,53%.

Perbedaan Land Subsidence Kota Jakarta dan Semarang Dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara Land Subsidence Kota Jakarta dan Semarang antara lain terdapat perbedaan litologi masing masing daerah yang dapat kita lihat bahwa pada daerah Jakarta didominasi oleh tanah lunak hasil dari pelapukan batulempung.Tanah lunak ini hamper tersebar pada sebagian daerah utara yang keterbentukkannya hasil dari endapan rawa dan bekas aliran sungai.Sedangkan pada daerah Semarang didominasi oleh litologi tanah alluvim yang masih muda sehingga tingkat kestabilannya kecil .Selain itu aspek aspek sekunder yang mempengaruhi antara lain julah pembebanan dari bangunan bertingkat disertai penggunaan air tanah yang tidak terkontrol, Akan tetapi secara presentase daerah Semarang masih dikategorikan normal subsidence dibandingkan Jakarta,yang berkaitan pada jumlah penduduk dan bangunan bertingkat.

TUGAS 2 CONE PENETRATION TEST (CPT) / SONDERING TEST

Sondering Test / Cone Penetration Test (CPT) Pengujian CPT atau sondir adalah pengujian dengan menggunakan alat sondir yang ujungnya berbentuk kerucut dengan sudut 60 dan dengan luasan ujung 1,54 in2 (10 cm2). Alat ini digunakan dengan cara ditekan ke dalam tanah terus menerus dengan kecepatan tetap 20 mm/detik, sementara itu besarnya perlawanan tanah terhadap kerucut penetrasi (qc) juga terus diukur. Dilihat dari kapasitasnya, alat sondir dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sondir ringan (2 ton) dan sondir berat (10 ton). Sondir ringan digunakan untuk mengukur tekanan konus sampai 150 kg/cm2, atau kedalam maksimal 30 m, dipakai untuk penyelidikan tanah yang terdiri dari lapisan lempung, lanau dan pasir halus. Sondir berat dapat mengukur tekanan konus 500 kg/cm2 atau kedalaman maksimal 50 m, dipakai untuk penyelidikan tanah di daerah yang terdiri dari lempung padat, lanau padat dan pasir kasar. Keuntungan utama dari penggunaan alat ini adalah tidak perlu diadakan pemboran tanah untuk penyelidikan. Tetapi tidak seperti pada pengujian SPT, dengan alat sondir sampel tanah tidak dapat diperoleh untuk penyelidikan langsung ataupun untuk uji laboratorium. Tujuan dari pengujian sondir ini adalah untuk mengetahui perlawanan penetrasi konus dan hambatan lekat tanah yang merupakan indikator dari kekuatan tanahnya dan juga dapat menentukan dalamnya berbagai lapisan tanah yang berbeda. Dari alat penetrometer yang lazim dipakai, sebagian besar mempunyai selubung geser (bikonus) yang dapat bergerak mengikuti kerucut penetrasi tersebut. Jadi pembacaan harga perlawanan ujung konus dan harga hambatan geser dari tanah dapat dibaca secara terpisah. Ada 2 (dua) tipe ujung konus pada sondir mekanis yaitu : 1. Konus biasa, yang diukur adalah perlawanan ujung konus dan biasanya digunakan pada tanah yang berbutir kasar, dimana besar perlawanan lekatnya kecil;

2. Bikonus, yang diukur adalah perlawanan ujung konus dan hambatan lekatnya dan biasanya digunakan pada tanah yang berbutir halus.

Hasil penyelidikan dengan alat sondir ini pada umumnya digambarkan dalam bentuk grafik yang menyatakan hubungan antara kedalaman setiap lapisan tanah dengan besarnya nilai sondir yaitu perlawanan penetrasi konus atau perlawanan tanah terhadap ujung konus yang dinyatakan dalam gaya per satuan luas. Hambatan lekat adalah perlawanan geser tanah terhadap selubung bikonus yang dinyatakan dalam gaya per satuan panjang. Dari hasil sondir diperoleh nilai jumlah perlawanan (JP) dan nilai perlawanan konus (PK), sehingga hambatan lekat (HL) dapat dihitung sebagai berikut : 1. Hambatan Lekat (HL)

2. Jumlah Hambatan Lekat (JHL)

Dimana : JP PK A B i = Jumlah perlawanan, perlawanan ujung konus + selimut (kg/cm2) = Perlawanan penetrasi konus, qc (kg/cm2) = Interval pembacaan (setiap kedalaman 20 cm) = Faktor alat = luas konus / luas torak = 10 cm = Kedalaman lapisan tanah yang ditinjau (m).

Data sondir tersebut digunakan untuk mengidentifikasikan dari profil tanah terhadap kedalaman. Hasil akhir dari pengujian sondir ini dibuat dengan menggambarkan variasi tahanan ujung (qc) dengan gesekan selimut (fs) terhadap kedalamannya. Bila hasil sondir diperlukan untuk mendapatkan daya dukung tiang, maka diperlukan harga kumulatif gesekan (jumlah hambatan lekat), yaitu dengan menjumlahkan harga gesekan selimut terhadap kedalaman, sehingga pada kedalaman yang ditinjau dapat diperoleh gesekan total yang dapat digunakan untuk menghitung gesekan pada kulit tiang.

Besaran gesekan kumulatif (total friction) diadaptasikan dengan sebutan jumlah hambatan lekat (JHL). Bila hasil sondir digunakan untuk klasifikasi tanah, maka cara pelaporan hasil sondir yang diperlukan adalah menggambarkan tahanan ujung (qc), gesekan selimut (fs) dan ratio gesekan (FR) terhadap kedalaman tanah.

DAFTAR PUSTAKA Wirasatriya, A. 2007. Kajian Penurunan Tanah PT Sriboga Ratu Raya Semarang. PT Sriboga Ratu Raya. Semarang Ismanto,A,2009.Model Sebaran Penurunan Tanah di Wilayag Pesisir Semarang.Pusat Kajian dan Pengembangan Laut Tropis,Universitas Dipenogoro.Semarang

Anda mungkin juga menyukai