Anda di halaman 1dari 8

SURAT EX TAPOL 1965 BAKRI ILYAS KEPADA

KOMNAS HAM
Kepada Yth.Jakarta,

KOMNAS HAM Indonesia

Jalan Latuharhari

Jakarta

Jakarta, 31 Juli 1998


Perihal: Mohon bantuan mendapatkan penyelesaian hukum (pengadilan) atas
perkara/masalah Tapol G30S/PKI yang berada di luar rumah-rumah tahanan.

Dengan hormat,

Kasus G30S/PKI mungkin sudah melewati masa kadaluwarsa 30 tahun


sehingga permohonan seperti disebut dalam perihal di atas tidak relevan lagi.
Tetapi oleh karena Pemerintah, melalui ketentuan-ketentuan yang sudah
dibakukan, masih mempertahankan keberadaan Tapol G30S/PKI di dalam
masyarakat maka tidak ada pilihan lain kecuali menyampaikan permohonan
seperti dimaksud dalam perihal tersebut.

Ganjil kedengarannya karena "Tapol yang berada dalam masyarakat" tidak


dikenal. Teta-pi demikianlah kenyataannya khususnya bagi ex Tapol
G30S/PKI sedangkan bagi ex Tapol lainnya seperti Dr. Bintang Pamungkas
dan Dr. Muchtar Pakpahan ungkapan tersebut tidak berlaku. Dalam hal Tapol
G30S/PKI Pemerintah ketika itu mentrapkan pola penyelesaian sebagai
berikut:

Itu -----------> Bukan itu -----------> Tetapi itu.

(Tapol ------> Bukan Tapol ------> Tetapi Tapol)

Pelaksanaannya seperti berikut:

a. Seorang Tapol (dengan jaminan keluarga dan sebuah pernyataan bahwa ia


tidak akan menuntut Pemerintah sehubungan dengan penahanannya)
"dilepas" [secara bertahap: tahanan rumah dan tahanan kota] dari tahanan
militer [Teperda] dengan kwalifikasi "Bebas Penuh" [menjadi ex Tapol] karena
berdasar hukum "tidak terbukti terlibat G30S/PKI".

b. Tetapi di seberang "Bebas Penuh" tersebut telah disediakan ketentuan-


ketentuan [dilaksanakan oleh pihak sipil] yang mendegradasi hak-hak sipil
dan politik, hak-hak ekonomi, so-sial dan budaya seorang ex Tapol sebagai
warganegara [ia kembali seperti Tapol tetapi sekarang berada di luar rumah-
rumah tahanan].
Jadi :

1. Ex Tapol G30S/PKI adalah Tapol yang berada dalam masyarakat di luar


rumah-rumah penjara

Masalah Tapol jenis inilah yang diangkat da-lam surat ini, bukan Tapol/Napol
G30S/PKI yang mendiami rumah-rumah tahanan/Lembaga Pemasyarakatan;
dan memohon bantuan KOMNAS HAM untuk mendapatkan penyelesaian
hukum sehingga mereka dapat menik-mati dan melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai UUD 1945, dan sekaligus mengangkat citra Indonesia
sebagai satu Negara berdasar-kan hukum.

Tapol jenis ini berjumlah:

Menurut keterangan Pangab dalam Raker dengan Komisi I DPR Februari 1990

Ex Golongan A 814 orang

Ex Golongan B 37.670 orang

Ex Golongan C 860.338 orang

Wajib lapor diri 972.784 orang

Jumlah 1.871.606 orang

Menurut dossier Departemen Dalam Negeri per November 1998

Ex Golongan A 426 orang

Ex Golongan B 34.587 orang

Ex Golongan C 1.375.320 orang

Jumlah 1.410.333 orang

2. Berbagai ketentuan Pemerintah yang mendegradasi hak-hak


kewarganegaraan ex Tapol G30S/PKI
Sepanjang diketahui ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ketentuan "Wajib Lapor Diri" setelah "Bebas Penuh" dari tahanan militer
(Teperda). Lurah dan Camat dengan didampingi oleh komponen Tripida
masing-masing yang mengawasi pelaksanaan lapor diri tersebut tidak pernah
memberikan alasan/dasar hukum pelaksanaan lapor diri tersebut kecuali
"Perintah dari Atasan". Frekwensi lapor diri: 1 x per bulan ke Kelurahan; dan 1
x per triwulan ke Kecamatan.

b. Instruksi-instruksi Menteri Dalam Negeri:

• No. 32/1981 tanggal 22-08-1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan


terhadap Be-kas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S /PKI [terlampir];

• No. 730.351/4211 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan.

Berdasar instruksi-instruksi tersebut seorang ex Tapol G30S/PKI:

• Dilarang melakukan pekerjaan sebagai Guru/Dosen, Pendeta, Dalang,


Lembaga Bantuan Hukum, Wartawan, dan sebagainya.

• Diharuskan Izin Khusus bila bepergian lebih dari 7 hari;

• Diharuskan adanya jaminan tertulis dari instansi bilamana akan


melakukan ibadah haji;

• Diharuskan mencantumkan code "ET" pada KTP-nya; dan lain-lain.

c. Radiogram Menteri Dalam Negeri kepada Pemda-pemda: No. Tr. 351/1437


dan Tr. 351/ 3277 tahun 1988. Isinya: untuk melakukan penertiban
organisasi, mengikuti mobilitas dan melakukan pelacakan para ex Tapol
G30S/PKI yang tidak ada di tempat untuk ditemukan kembali. Mungkin
karena dorongan radiogram tersebut seorang petugas Kamtib di Kecamatan
Koja Utara dalam satu pidato di depan para ex Tapol pernah menyatakan:
"Bilamana kalian tidak datang lapor diri kalian akan kami lacak dan kami
buru di mana saja kalian berada."

d. Larangan menjadi Pengurus, Badan Pemeriksa, Manager dan Bagian


Keuangan Koperasi. Dasar: Surat Dirjen Koperasi No. 622/Kop/ III/1983
tanggal 10-03-1983 (terlampir);

e. Larangan untuk menjadi Manager Koperasi. Dasar: Instruksi Dirjen Bina


Lembaga Koperasi (BLK), Depkop No. 821/BLK/V/1986, terlampir;

f. Litsus tentang keterpengaruhan. Dasar: Keppres No. 16/1990 tanggal 17-04-


1990.

g. Surat Keterangan Tidak Terlibat G30S/PKI dari Kepolisian yang disyaratkan


berbagai ins-tansi sebagai lampiran dari berkas permohonan-permohonan:
• Lamaran pekerjaan;

• DRM (Daftar Rekanan Mampu);

• Pembaruan SK Veteran; SKBT;

• dan sebagainya.

Ketentuan-ketentuan tersebut sebagai sistem yang sudah baku masih


dilaksanakan seutuhnya sampai kini meski 20 tahun sudah berlalu sejak
diterimanya SK "Bebas Penuh" dari pihak militer oleh para ex Tapol tersebut;
dan banyak rekan senasibnya sudah berpulang menghadap khaliknya,
sedangkan sebagian lainnya mengidap berbagai penyakit tua.

3. Sistem "Pengawasan" yang tidak manusiawi membawa malapetaka


kemiskinan bagi 1.871.606 ex Tapol G30S/PKI

a. Sebagai akibat dari sistem "Pembinaan dan Pengawasan" yang dipersiapkan


sesudah seorang Tapol menjadi ex Tapol maka lebih dari 1 juta tenaga-tenaga
muda yang terampil dan terpelajar, sebagian jebolan dari universitas terbaik
dari beberapa negara maju kehilangan kesempatan mempergunakan usia
ekonomisnya yang paling produktif. Setiap ex Tapol G30S/PKI kehilangan usia
ekonomisnya selama masa 32 tahun: 10 tahun sebagai Tapol penuh;
mendiami rumah-rumah tahanan; 22 tahun sebagai ex Tapol [Tapol yang
berada di luar rumah-rumah tahanan] tanpa hak ekonomi dan pekerjaan yang
layak.

Akibatnya: jobless, tanpa pendapatan dan hidup di dalam batas kemiskinan.

b. Gerakan koperasi sebagai usaha bersama dari golongan ekonomi


lemah/mereka yang berada dalam batas kemiskinan untuk mendapatkan
perbaikan hidup juga tertutup bagi partisipasi aktif ex Tapol G30S/PKI.

Berbeda dengan Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mengizinkan peran


aktif dari para ex Napol mereka untuk mendirikan dan memimpin koperasi
yang marak berkembang pada bagian kedua tahun tiga puluhan atas
dorongan seorang Tapol di Banda Neira, Drs. Moh. Hatta, Pemerintah RI [orde
baru] melarang peran aktif tersebut.

c. Penulis mengalami langsung penekanan/pencekalan yang dilakukan oleh


Kepala Kanwil Depkop Pemda DKI Jakarta, sedemikian supaya penulis tidak
merealisasi jabatan Wakil Ke-tua Koperasi Taksi Indonesia (KTI) yang disusun
oleh Team Formatur yang diketuai oleh Bapak Marzuki Darusman SH, Wakil
Ketua II KOMNAS HAM.

Hal ini dilaporkan penulis kepada KOMNAS HAM dengan surat tanggal 13-08-
1994 tetapi sesuai dengan sistem "Pembinaan dan Pengawasan" yang berlaku
bagi ex Tapol G30S/PKI penunjukkan Team Formatur tersebut pada akhirnya
memang batal.
Penulis kemudian meminta kepada bapak Marzuki Darusman SH untuk
mendeponeer saja laporan tersebut sampai ke waktu dan iklim yang lebih
baik; penulis ketika itu sangat memahami kebekuan Pemerintah Presiden
Soeharto yang merupakan replika dari kekuasaan kegelapan yang dikenal
dalam sejarah peradaban dunia sebagai periode "dark ages".

4. Era Reformasi : Harapan akan mencairnya kebekuan kekuasaan

Waktu dan iklim baru pun datang. Mengikuti irama jalannya sejarah
diharapkan gerakan reformasi yang kini sedang marak di tanah air dapat pula
mencairkan kebekuan kekuasaan yang memerintah; semoga seperti
mencairnya kebekuan di musim winter berganti dengan kecerahan di musim
spring.

Ex Tapol G30S/PKI sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang paling


terhimpit oleh kebekuan kekuasaan tersebut, seperti dikemukakan di atas,
sangat mengelukan datangnya era baru penuh harapan itu dan menyambut
baik terbentuknya suatu Pemerintahan yang menyatakan dirinya sebagai
"Kabinet Reformasi Pembangunan" yang dipimpin oleh seorang Presiden,
seorang Prof. Dr. Dipl. Ing., jebolan terbaik dari sebuah Universitas ternama
dari tempat lahirnya gerakan reformasi yang pertama dalam sejarah
peradaban dunia pada awal abad ke XVI.

Penulis dan para ex Tapol G30S/PKI tersebut tidak berkecil hati atas
pernyataan Pemerintah Reformasi Pembangunan yang menyatakan bahwa
"Tapol G30S/PKI tidak termasuk mereka yang mendapat amnesti dari
Presiden".

Mereka itu, khususnya Tapol G30S/PKI yang berada di luar rumah-rumah


tahanan tidak memerlukan amnesti dan abolisi atau rehabilitasi itu. Apa yang
sangat mereka perlukan ialah hak untuk mendapatkan Pengadilan yang jujur
dan tidak berpihak.

5. Kiranya KOMNAS HAM dapat memberikan bantuan penyelesaian hukum


(Pengadilan) atas perkara/masalah Tapol G30S/PKI yang berada di luar
rumah-rumah tahanan

a. Para Tapol G30S/PKI khususnya mereka yang masalahnya diangkat dalam


surat ini sangat menghargai pengertian Tapol menurut KOMNAS HAM, yaitu,
"semua tahanan politik sejak tahun 1965" (Kompas, 9 Juni 1998). Dengan
pengertian tersebut Tapol G30S/PKI su-dah merasa masuk dalam agenda.

Tetapi berdasar pemberitaan Kompas tanggal 24 Juni 1998 Tapol yang


dihitung, seluruhnya hanya berjumlah sebanyak 200 orang. Jadi Tapol
G30S/PKI sebagaimana yang dimaksud dalam surat ini yang berjumlah
sebanyak 1.871.606 orang tidak termasuk dalam agenda KOMNAS HAM. Oleh
karena itu penulis melayangkan surat ini dengan harapan KOMNAS HAM
dapat membantu terlaksananya harapan yang disebut dalam perihal surat ini,
yaitu penyelesaian hukum.

b. Penyelesaian hukum melalui Pengadilan adalah penting tidak hanya bagi


1.871.606 Tapol G30S/PKI yang sekarang sedang "dipasung" dengan belenggu
ketentuan-ketentuan administratif warisan Pemerintah "orde baru", tetapi juga
bagi citra R.I. sebagai satu Negara berdasarkan atas hukum. Sesungguhnya
Pemerintah dan kekuasaan judicial sekarang berada dalam posisi untuk
menuntaskan penyelesaian hukum kasus G30S/PKI secara keseluruhan
karena mereka bukan protagonists dalam kasus masa lalu tersebut,
ketimbang membiarkan terjadi dan berkembangnya semacam "trial by the
public" atau "character assasination" terhadap mantan Pimpinan Negara
sebagai akibat dari TAP MPRS No. XXXIII/1967, dan Pembelaan ex Kolonel
Latief pada Sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat/1978 (vide Soebadio
Sastrosatomo, "Manifes Kedaulatan Rakyat" 9 Juni 1998; Deliar Noer,
"Pelajaran Tiga Peristiwa" Kompas, 8Juli 1998).

c. Pemerintah lama (Orde Baru) mengklasifikasi Tapol G30S/PKI atas 3


golongan: A, B dan C; dan menetapkan jatah hukuman bagi masing-masing
golongan. Pemerintah Reformasi Pembangunan mengklasifikasi kembali para
Tapol dalam 3 kategori juga, yaitu, 1. Tidak berniat mengubah ideologi negara,
2. Tidak terlibat kriminal dan 3. Tidak G30S/PKI.

Mengapa Pemerintah Reformasi Pembangunan tidak langsung saja


mengajukan Tapol G30S/PKI ke Pengadilan ketimbang membuat kategori-
kategori. Bukankah Pemerintah berkewajiban memberikan hak Pengadilan
yang jujur dan tidak berpihak kepada warganegaranya, karena Indonesia:

1. Menyatakan diri sebagai "Negara berdasar atas hukum" (Penjelasan UUD


1945);

2. Sebagai anggota PBB committed pada "Pernyataan Sedunia tentang Hak-


hak Asasi Manusia";

3. Sedang dalam proses meratifikasi Instru-men Internasional tentang


HAM, yaitu:

• Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya;

• Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik;

• Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlaku-an atau Hukuman yang kejam,


tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia lainnya; dan

• Konvensi Anti Diskriminasi Rasial.

d. Tapol G30S/PKI yakin bahwa KOMNAS HAM akan dapat membantu mereka
karena sekarang KOMNAS HAM sudah menjadi tumpuan harapan manusia
Indonesia untuk pembelaan dan perlindungan hak-hak azasinya. Di samping
itu KOMNAS HAM telah mendapat kepercayaan pula dari Pemerintah Presiden
Habibie untuk membentuk POKJA Reformasi Nasional.

Tetapi bilamana karena satu dan lain hal KOMNAS HAM tidak dalam posisi
untuk memberikan bantuannya terhadap masalah dan harapan yang kami
sampaikan haraplah suka memberikan acknowledgement betapapun pahitnya.

6. Penulis adalah satu dari rekan-rekan senasib, Tapol G30S/PKI yang berada
di luar rumah-rumah tahanan. Penulis surat ini adalah seorang dari rekan-
rekan senasibnya yang permasalahan dan harapan-harapannya telah
dituangkan dan disampaikan melalui surat ini. Penulisan dilakukan secara
perseorangan dengan resiko dan tanggung jawab perseorangan pula karena
penulis memang tidak mewakili siapapun.

Sebelumnya, pada tanggal 13-08-1994 penulis pernah menyampaikan kepada


KOMNAS HAM sebuah surat perihal "Mohon bantuan untuk pemulihan hak
kewarganegaraan yang hilang" (Foto copy tanda terima terlampir, vide butir 3c
surat ini).

Sebagai tercatat dalam dossier Depdagri yang disebut dalam butir 1 penulis
adalah:

Nama : A. Bakri Ilyas

Umur/tanggal : 69 tahun/16 Maret 1929


lahir

Alamat : Jalan Mangga no. 17 -


Pasar Lontar, Jakarta 14260

Alamat Pos : c/o Mega Lestari P.O. Box


39 - Cibinong 16901

Penulis menjadi warganegara Republik Indonesia Merdeka melalui partisipasi


aktif dalam Perang Kemerdekaan (1945-1950) sebagai anggota TNI Divisi IX
Banteng Sumatera yang bertugas di Front Sektor Padang Selatan yang beroleh
kenangan berupa 3 medali RI: Bintang Gerilya, Satyalancana PK I dan
Satyalancana PK II.

Pada waktu "ditangkap" (Surat Penahanan di-susulkan sesudah 10 bulan


dalam tahanan titipan di Markas RPKAD, Cijantung) penulis baru kembali dari
tugas belajar dengan Bea Siswa Departemen P & K pada University of the
Philippines di mana penulis menyelesaikan Under Graduate Study (degree
B.Sc.), dan Graduate Study (degree MBA) pada 30 Mei 1965.

Demikianlah disampaikan atas perhatian dan bantuan bapak-bapak


sebelumnya diucapkan banyak terima kasih.

Salam dan hormat,

A. Bakri Ilyas

Anda mungkin juga menyukai