Anda di halaman 1dari 70

1 |Jurnal Teknik Hidro

PENGARUH PANJ ANG DATA CURAH HUJ AN


PADA HI TUNGAN HUJ AN RENCANA
Abd. Rakhim Nanda
BARTSBA
Analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis awal dalam perancangan
bangunan-bangunan hidraulik masih merupakan bagian analisis yang sangat dominan, dan
memerlukan penanganan yang cermat. Ukuran dan karakter bangunan irigasi sangat
tergantung dari tujuan pembangunan dan informasi yang diperoleh dari analisis hidrologi.
kualitas data sangat menentukan hasil analisa yang dibutuhkan. Panjang data yang tersedia
juga mempunyai peranan yang cukup besar. Perbedaan panjang data yang dipergunakan
dalam analisis memberikan penyimpangan yang cukup berarti terhadap perkiraan hujan
dengan kala-ulang tertentu. Makin pendek data yang tersedia, makin besar penyimpangan
yang terjadi. Penyimpangan sejenis terjadi pula sebagai akibat kerapatan jaringan
pengukuran hujan. Makin kecil kerapatan setasiun hujan, makin besar penyimpangannya (Sri
Harto, 1986).
Penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penyimpangan data
terhadap panjang data yang digunakan pada hitungan hujan rencana pada kasus sungai
Jeneberang. Tahapan Analisis data : Analisa Peta DAS(luas areal DAS/cathment area)
dengan metode Aljabar, Thiessen dan Isohyet, analisis data curah hujan pada stasiun curah
hujan dalam DAS Jeneberang yang nantinya menghasilkan Distribusi curah hujan wilayah
dan curah hujan rencana, uji kesesuaian distribusi serta perhitungan curah hujan rencana
dengan berbagai seri data.
Hasil perhitungan curah hujan rencana pada kala ulang R
2
, R
5
, R
10
, R
25
, R
50
, R
100

persentase penyimpangan relative semakin mendekati titik 0 pada jumlah data 31 tahun hal
ini menunjukkan bahwa semakin panjang data yang digunakan untuk menghitung curah
hujan rencana maka akan semakin baik hasil perhitungan yang diperoleh. Adapun
penyimpangan relative yang dihasilkan pada tiap kala ulang (R
2
, R
5
, R
10
, R
25
, R
50
, R
100
)
dengan menggunakan serial data 31 tahun adalah : R
2
= 4.422, R
5
= 8.041, R
10
= 8.375, R
25
=
8.612, R
50
= 8.619, R
100
= 4.162.

Kata Kunci : Data Hidrologi, Penyimpangan, Serial Data, Curah hujan Wilayah, Curah hujan
Rencana, Kala Ulang.

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam pelaksanaan pekerjaan
teknik sipil, khususnya dalam perancangan
dan perancangan bangunan-bangunan air
(hydraulic structures) analisis hidrologi
masih merupakan bagian analisis yang
sangat doininan, dan memerlukan
penanganan yang cermat.
Secara umum analisis hidrologi
merupakan satu bagian analisis awal
dalam perancangan bangunan-bangunan
hidraulik. Ukuran dan karakter bangunan-
bangunan tersebut sangat tergantung dan
tujuan pembangunan dan informasi yang
diperoleh dari analisis hidrologi. Faktor
yang menjadi kelemahan umum dalam
hidrologi di Indonesia antara lain:

2 |Jurnal Teknik Hidro

1. Kualitas data yang tidak sebaik yang
diharapkan, baik agihan waktu maupun
ruangnya (temporal and spatial
distribution),
2. Kesulitan memperoleh data yang
dibutuhkan, yang di antaranya
disebabkan karena pengelolaan yang
kurang terkoordinasi antara beberapa
instansi, dan
3. Rencana pengembangan daerah yang
tidak selalu dapat diketahui
sebelumnya, sehingga menyulitkan
rencana pengembangan jaringan
hidrologi, sehingga data tersebut tidak
tersedia pada saat dibutuhkan.
Dengan melihat faktor-faktor
tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas
data sangat menentukan hasil analisa yang
dibutuhkan. Panjang data yang tersedia
juga mempunyai peranan yang cukup
besar. Sri Harto (1986) mendapatkan
bahwa perbedaan panjang data yang
dipergunakan dalam analisis memberikan
penyimpangan yang cukup berarti
terhadap perkiraan hujan dengan kala-
ulang tertentu. Makin pendek data yang
tersedia, makin besar penyimpangan yang
terjadi. Penyimpangan sejenis terjadi pula
sebagai akibat kerapatan janingan
pengukuran hujan. Makin kecil kerapatan
setasiun hujan, makin besar
penyimpangannya (Sri Harto, 1986).
Dalam kaitan ini tidak dijumpai patokan
yang jelas tentang berapa tinggi kerapatan
setasiun hujan yang diperlukan serta
berapa panjang data yang dipandang
memadai.

1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari Penelitian ini adalah
untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh panjang data yang digunakan
pada hitungan hujan rencana. Adapun
tujuannya adalah menampilkan hasil dari
pengaruh panjang data terhadap
perhitungan curah hujan rencana tersebut
1.3. Pokok Bahasan Dan Batasan
Masalah
Pokok bahasan dari tugas ini
yaitu menganalisa pengaruh
penyimpangan data terhadap panjang data
dengan studi kasus Sungai Jeneberang.
Untuk menghindari uraian yang terlalu
luas ruang lingkupya, maka penulis
memberikan batasan masalah pada
penelitian terhadap pengaruh yang
diakibatkan oleh panjang data curah hujan.

2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian DAS
DAS atau catchment, basin,
watershed merupakan daerah dimana
semua airnya mengalir kedalam suatu
sungai yang dimaksud, daerah ini
umumnya dibatasi oleh daerah topografi
yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran
air permukaan, batas ini tidak ditetapkan
berdasarkan air bawah tanah karena
permukaan air tanah selalu berubah sesuai
dengan musim dan tingkat kegiatan
pemakaian.

2.2 Peta Topografi
Peta topografi merupakan peta
yang memuat semua keterangan tentang
sesuatu wilayah tertentu, dari peta yang
dimiliki ditetapkan titik-titik tertinggi
disekeliling sungai utama (mainstream)
yang dimaksudkan. Dan masing-masing
titik tersebut dihubungkan satu dengan
yang lainnya sehingga membetuk garis
utuh yang bertemu ujung pangkalnya,
garis tersebut merupakan batas DAS dititk
control tertentu.

2.3. Siklus Hidrologi
Ilmu hidrologi, yakni ilmu yang
mempelajari sirkulasi air itu. Jadi dapat
dikatakan, hidrologi adalah ilmu untuk
mempelajari:
1. Presipitasi (precipitation)

3 |Jurnal Teknik Hidro

2. Evaporasi dan transpirasi
(evaporation)
3. Aliran permukaan (surface stream
flow) dan
4. `Air Tanah (ground water)
7/hal.1















Gambar 2.1 Sirkulasi Hidrologi

2.3.1. Jaringan Pengukuran Hujan
Masalah yang bersangkutan
dalam penetapan jaringan stasiun hujan
pada dasarnya adalah bahwa kedalam
hujan (rainfall depth) pada suatu titik
tertentu dengan mudah dapat diperoleh,
namun luasan berlakunya kedalaman
hujan itu tidak dapat diketahui secara
pasti, demikian pula perubahan sesuai
dengan waktu dan ruang (temporial and
spatial variability) karena hal ini sangat
penting dalam menganalisis, mengingat
pada umumnya perubahan akan menjadi
kecil untuk besaran yang tinggi, dan
perubahan itu makin keci pula untuk
jangka waktu pengamatan yang lebih
besar
Jaringan stasiun hujan (rainfall
network) harus mencakup kerapatan
jaringan serta kemungkinan perputaran
data, salah satu cara untuk mengatasinya
adalah dengan penetapan jaringan
pengamatan hujan primer dan jaringan
pengamatan hujan sekunder. Jaringan
primer dimaksudkan untuk dipasangan
dalam jangka waktu lama dan diamati
secara teratur dan ditempat yang dipilih
dengan saksama sedangkan jaringan
sekunder dimaksudkan untuk lebih
mendapatkan variasi ruang hujan. Jaringan
ini dapat ditentukan pada beberapa tempat
yang dipilih, dan yang selanjutnya apabila
telah dapat ditetapkan hubungannya
dengan jaringan primer satasiun ini dapat
dipindahkan ke lokasi lain.
5/hal.27

2.3.2. Pengukuran Hujan

Hujan merupakan masukan
komponen penting dalam proses hidrologi
karena jumlah kedalaman hujan (rainfall
depth) ini yang dialih ragamkan menjadi
aliran sungai, baik melalui limpasan
permukaan (surface run off), aliran antara
(interflow, sub surface flow) maupun
sebagai aliran tanah.
Untuk memperoleh besaran hujan
maka diperlukan sejumlah stasiun hujan
yang dipasang sedemikian rupa sehingga
dapat mewakili besaran hujan di DAS
tersebut.
Untuk kepentingan praktis
pengukuran kedalam hujan banyak
dilakukan selama 24 jam, dengan cara ini
berarti kedalam hujan yang diketahui
adalah kedalam hujan total yang terjadi
selama satu hari, berapa lama dan kapan
terjadinya hujan tidak diketahui.
5/hal 47

2. 4. Penyiapan Data dan
Pengolahannya
2.4.1.Penyiapan Data
Untuk mengetahui pengaruh
panjang data curah hujan pada hitungan
hujan rencana, maka terlebih dahulu
penyiapan data harus dilakukan, adapun
data yang perlu dipersiapkan adalah Peta
DAS.
Pengolahan data berupa Peta DAS
dimaksudkan untuk menghitung luasan
areal DAS (catchman area) lokasi obyek
studi, untuk menghitung besaran DAS

4 |Jurnal Teknik Hidro

dapat ditempuh beberapa cara yang
sampai saat ini sangat lazim digunakan,
yaitu :
1. Rata-rata Aljabar
2. Poligon Thiessen
3. Isoyet.
Lepas dari kelebihan dan kelemahan
ketiga metode yang dari tiap metode mana
yang cocok dipakai pada suatu DAS dapat
dengan mempertimbangkan tiga faktor
berikut :Jaring-jaring pos penakar hujan
dalam DAS, Luas DAS dan Topografi
DAS1.

Jaringan- jaringan pos penakar hujan
Jumlah pos
penakar hujan
cukup
Metode isoyet,
Thiessen atau rata-rata
aljabar dapat dipakai
Jumlah pos
penakar hujan
terbatas
Thiessen atau rata-rata
aljabar dapat dipakai
Pos penakar
hujan tunggal
Metode Hujan titik
Sumber: Sistem Darainase Perkotaan
yang bekelanjutan hal. 31

2. Luas DAS
DAS Besar ( > 5000 km
2
) Metode isoyet
DAS Sedang (500 s/d
5000 km
2
)
Metode Thiessen
DAS Kecil ( < 500 km
2
) Metode rata-rata
aljabar
Sumber: Sistem Darainase Perkotaan
yang bekelanjutan hal. 31

3. Topografi DAS
Pegunungan Metode rata-rata aljabar
Dataran Metode Thiessen
Bukit dan tidak
beraturan
Metode isoyet
Sumber: Sistem Darainase Perkotaan
yang bekelanjutan hal. 32



2.6.1. Pengolahan Data
Menurut Sri Harto (1993) Dalam
praktek analisis frekuensi dijumpai lima
cara penyiapan data, dua di antaranya
dianggap kurang dapat
dipertanggungjawabkan (Gambar 2.2).
1. Data hujan DAS diperoleh dengan
menghitung hujan rata-rata (dengan
cara terbaik yang diketahui) setiap hari
sepanjang data yang tersedia. Bila
tersedia data 20 tahun, berarti hitungan
rata-rata diulang sebanyak 20 x 365 =
7300 kali. Cara ini yang terbaik, akan
tetapi waktu penyiapan data yang
cukup panjang (Garis I).
2. Pendekatan yang dapat dilakukan
untuk menggantikan cara pertama
dilakukan seperti berikut ini :
a. Dalam satu tahun tertentu, untuk
stasiun I dicari hujan maksimum
tahunannya. Selanjutnya, dicari hujan
harian pada stasiun-stasiun lain pada
hari kejadian yang sama dalam tahun
yang sama, dan kemudian dihitung
hujan rata-rata DAS. Masih dalam
tahun yang sama, dicari hujan
maksimum tahunan untuk setasiun II.
Untuk hari kejadian yang sama, hujan
harian untuk setasiun-setasiun lain
dicari dan dirata-ratakan. Demikian
selanjutnya sehingga dalam tahun itu
akan terdapat N buah data hujan rata-
rata DAS.
b. Untuk tahun berikutnya cara yang
sama dilakukan sampai seluruh data
yang tersedia.
Dengan cara ini, bila tersedia T
tahun data dan dalam DAS terdapat N
buah setasiun hujan, maka setiap tahun
akan terdapat N data hujan rata-rata
DAS, dan seluruhnya terdapat T x N
data. Hujan rata-rata yang diperoleh
dengan cara ini dianggap sama
(mendekati) hujan-hujan terbesar yang
terjadi. Oleh sebab itu, hujan
maksimum tahunan DAS tersebut

5 |Jurnal Teknik Hidro

sama dengan hujan maksimum yang
diperoleh dengan hitungan di atas
setiap tahun. Cara ini ternyata
memberikan hasil yang sangat dekat
dengan cara yang dianjurkan dalam
butir 1 (Garis II).
3. Cara kedua dengan menggunakan data
pada salah satu setasiun (data
maksimum) dan mengalikan data
tersebut dengan koefisien reduksi.
Hitungan ini berarti juga harus
dilakukan dan diulang seperti cara
yang disebutkan dalam butir I di atas
(Garis III).
4. Cara penyiapan data lain adalah
dengan mencari hujan-hujan
maksimum harian setiap setasiun
dalam satu tahun, kemudian dirata-
ratakan untuk mendapatkan hujan
DAS. Cara ini tidak dapat dijelaskan
arti fisiknya, karena perata-rataan
hujan dilakukan atas hujan masing-
masing setasiun yang terjadi pada hari-
hari yang berbeda. Hasilnya
menyimpang sangat besar
dibandingkan dengan cara pada butir 1,
seperti terlihat dalam garis IV. (Cara
ini sebaiknya tidak digunakan.)
5. Cara lain juga dijumpai, yaitu dengan
analisis frekuensi data hujan setiap
setasiun sepanjang data yang tersedia.
Hasil analisis frekuensi tersebut
selanjutnya dirata-ratakan sebagai
hujan rata-rata DAS. Cara ini pun tidak
dapat dijelaskan arti fisiknya,
(sebaiknya tidak digunakan).
Dalam kaitan penyiapan data diatas
hanya cara yang dibutukan dalam butir 1
dan 2 saja yang dianjurkan untuk
digunakan. Apabila terpaksa, cara ketiga
dapat digunakan dengan menggunakan
faktor reduksi yang berlaku. Cara keempat
dan kelima tidak dapat dianjurkan dalam
pemakaian.
5/hal 241















Gambar 2.2.Analisa Frekuensi dengan
berbagai cara penyiapan data.

2. 5. Analisa Hidrologi
2.5.1. Analisa Distribusi Curah Hujan
Wilayah
Curah hujan ini harus diperkirakan
dari beberapa titik pengamatan curah
hujan. Untuk mengetahui luas areal hujan
setiap stasiun curah hujan digunakan
metode Poligon Thiessen dengan rumus:
3 2 1
3 3 2 2 1 1
. ...... ..........
A A A
Rn An xR A xR A xR A
Rt
+ +
+ + +
=
...................(2.1)
Dimana:
- R
1
, R
2
, Rn. adalah curah hujan yang
tercatat di pos penakar hujan 1, 2,.., n
- A1, A2, ......... An adalah luas areal
poligon 1, 2 .n.
- n adalah banyaknya pos penakar hujan











Gambar 2.3. Met, Poligon Thiessen


6 |Jurnal Teknik Hidro

2.5.2. .Analisa Frekwensi Curah Hujan
Rencana
Analisa frekwensi adalah analisa
berulangnya suatu peristiwa baik jumlah
frekwensi persatuan waktu maupun
periode ulangnya (return periode). Teori-
teori yang mengemukakan persamaan
distribusi curah hujan rencana dalam
perencanaan teknis diantaranya distribusi
normal, Log normal, Gumbel, Log
Pearson III dan lain lain.
Untuk mencari nilai ektrim yang
mendekati kebenaran pada kesimpulan
yang dibuat dari analisa hidrologi dari
beberapa teori yang tersebut di atas, maka
akan dipilih jenis distribusi dengan cara
analisis parameter statistik, setelah
diperoleh kemudian diuji kesesuaian
distribusinya.
2.5.3. Analisis Parameter Statistik
Prosedur Perhitungan Parameter
statistik sebagai berikut:
- Urutkan data dari besar ke kecil
- Tentukan semua nilai variat X
- Hitung harga rata-rata curah hujan
Maksimum (X)

Pemilihan distribusi tergantung pada
kriteria yang ditunjukan pada table 2.1.
Tabel 2.1. Kesimpulan memilih jenis
distribusi.

Jenis Sebaran Syarat
Normal
Cs = 0.00
Ck = 3.00
Log Normal
Cs = 3 x Cv
Ck > 0
Gumbel
Cs = 1.1396
Ck = 4.4002
Log Pearson III
Tidak memenuhi sifat-
sifat seperti pada ketiga
distribusi

Bila tidak memenuhi yang
dijelaskan pada tabel 2.1 diatas maka
dapat digunakan distribusi Log Pearson III
2.5.4. Uji Chi Kuadrat untuk data
berpasangan
Uji Chi Kuadrat untuk data
berpasangan adalah menguji kecocokan
antara data pengukuran dan hipotesis, uji
ini penting untuk menentukan apakah
distribusi frekuensi hasil pengukuran
berbeda secara nyata dengan frekuensi
yang diharapkan menurut hipotesis.
2.6.Analisa Log Pearson Type III
Distribusi Log Pearson Type III
banyak digunakan dalam analisis
hidrologi, terutama dalam analisis data
maksimum (banjir) dan minimum (debit
minimum) dengan nilai ekstrim. Bentuk
distribusi Log Pearson Type III
merupakan hasil transformasi dari
distribusi Pearson Type III dengan
menggantikan variat menjadi nilai
logaritmik.
2.7.Distribusi Gumbel
Distribusi Tipe I Gumbel atau
disebut juga dengan distribusi ekstrem tipe
I (extreme type I distribution) umumnya
digunakan untuk analisis data maksimum,
misal untuk analisis frekuensi banjir.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Studi
Lokasi studi adalah daerah
pengaliran sungai (DPS) Jeneberang
terletak di kabupaten Gowa Sulawesi-
Selatan yang berhulu di gunung
Bawakaraeng dan bermuara di Selat
Makassar di kelurahan Tanjung Merdeka.
3.2. Topografi Daerah Aliran Sungai
(DAS)
3.2.1.Kondisi Daerah Pengaliran Sungai
Keadaan daerah pengaliran
dibagian hulu sebagian masih tertutup oleh
hutan dan areal persawahan, kondisi
tebing-tebing pada alur yang dalam sering
longsor terutama Daerah Lengkese,
Majannang, Parigi dan kearah hulu Sungai
Jeneberang.
Bentuk sungai pada umumnya
berbentuk V (didaerah pegunungan) dan

7 |Jurnal Teknik Hidro

cenderung melebar pada aliran sungai di
daerah yang relatif datar dan umumnya
keadaan topografi DAS Jeneberang sangat
bervariasi dimulai dari topografi datar,
berbukit-bukit hingga bergunung-gunung
pembagian daerah dan elevasi 0 s/d 2871
M dpl

3.2.1. DAS (Daerah Aliran Sungai)
Keadaan profil Sungai Jeneberang
yang tidak seragam di sepanjang ruas
sungai hal ini menyebabkan kapasitas
pengaliran yang tidak sama di beberapa
tempat, namun berdasarkan laporan study
kelayakan tahun 1980, kapasitas aliran
sungai sekitar 1500 m
3
/ detik.

3.3. Curah Hujan
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Jeneberang dan sekitarnya terdapat banyak
stasiun penakar curah hujan, dalam
pengumpulan data dari beberapa stasiun
penakar curah hujan yang ada dalam DAS
terdapat 10 stasiun yang memiliki data
pencatatan curah hujan yang berfariasi
tahun pencatatannya, diantaranya stasiun
Malino, Mangempang, Senre,
Tamalayang, Bunga Baji, Tanralili, Tete
Batu, Maccini Baji, Barembeng, dan
Kampili. Batas data yang ada dan tercatat
secara terus menerus berfariasi hingga
tahun 2007 dan letak pos-pos curah curah
hujan dilihat pada tabel 3.2
Untuk melakukan pengujian ini
dipilih 3 stasiun yang memiliki standar
tahun pencatatan, masing-masing adalah :
1. Sta pengamat curah hujan Malino
2. Sta pengamat curah hujan Senre
3. Sta pengamat crh hujan Tanralili

Tabel 3.2. Data Stasiun Curah Hujan pada DPS
Jeneberang.
No Nama
Stasiun
THN.
Pengamatan
Ket
1 MALINO 1977 - 2006 Manual
2 SENRE 1975 - 2007 Manual
3 TANRALILI 1997 - 2007 Manual
3.4. Metode Analisis
Dalam penelitian ini, analisa yang
digunakan untuk menghitung curah hujan
rata-rata maksimum adalah rumus polygon
thiessen, dan untuk mengitung curah hujan
rencana digunakan rumus Log Pearson III,
dan uji kesesuaian distribusi digunakan uji
statistik, dengan pengelompokan
pembahasan dibagi beberapa kelompok,
sebagai berikut:
1. Kelompok pertama, pengumpulan data
berupa data curah hujan dan data peta
topografi.
2. Kelompok kedua, perhitungan curah
hujan rata-rata areal dengan
menggunakan rumus rata-rata polygon
thiessen.
3. Kelompok ketiga, perhitungan curah
hujan rencana dengan menggunakan
metode terpilih.
4. Kelompok keempat Menguji
kesesuaian distribusi dengan
menggunakan Uji Statistik.
5. Kelompok kelima, Menghitung curah
hujan rencana untuk berbagai serial
(panjang data) dengan metode terpilih.
6. Kelompok keenam, membuat grafik
hubungan antara jumlah data dengan
Curah hujan rencana dilanjutkan
dengan analisis trend grafik.
7. Menyusun kesimpulan untuk hasil
akhir.

4. PEMBAHASAN MASALAH
4.1. Curah Hujan
4.1.1. Distribusi Curah Hujan
Wilayah
1. Metode Poligon Thiessen
3 2 1
3 3 2 2 1 1
...... ..........
A A A
AnRn R A R A R x A
Rt
+ + +
+ + +
=

Diketahui :
Luas Total Das= 569 KM
2

Luas Pengaruh sta. Malino= 382 KM
2

Luas Pengaruh Sta. Senre = 15 KM
2

Luas pengaruh Sta. Kampili=172 KM
2


8 |Jurnal Teknik Hidro

172 15 382
) 70 172 ( ) 80 15 ( ) 181 382 (
+ +
+ +
=
x x x
Rt
172 15 382
) 70 172 ( ) 80 15 ( ) 181 382 (
+ +
+ +
=
x x x

569
1204 1200 69142 + +
=
804 . 144 = mm

Tabel 4 - 1. Curah Hujan Maksimum yang Terjadi Pada
Kisaran Hari yang Sama





























Sumber : Hasil Perhitungan

4.1.2. Curah Hujan Rencana
Untuk perhitungan curah hujan
rencana dengan frekuensi periode
perulangan (return period) R
2
, R
5
, R
10
, R
25
,
R
50
, R
100
, R
200
, R
100
tahun digunakan
metode metode yang lazim digunakan
yaitu Metode Gumbel, Log Pearson Tipe
III dan Log Normal namun sebelum
menggunakan metode-metode tersebut
sebelumnya harus dilakukan uji
kesesuaian distribusi. Dalam perhitungan
curah hujan maksimum rencana digunakan
3 (tiga) stasiun pencatat curah hujan
harian, dengan periode pencatatan 31
tahun. Di mana datadata pada
perhitungan curah hujan maksimum
rencana berikut ini, sudah dianggap cukup
dan memberikan angka-angka probabilitas
yang diandalkan.

4.2. Uji Kesesuaian Distribusi
Data Hidrologi yang dipakai untuk
mengestimasi curah hujan rancangan
ataupun debit andalan dengan
menggunakan analisa frekuensi belum
tentu sesuai dengan distribusi yang dipilih,
untuk itu perlu dilakukan uji kesesuaian.

a. Uji Parameter Statistik
Dari table 4.1 curah hujan rata-rata
maksimum DPS Jeneberang yang
diurutkan dari yang terbesar sampai yang
terkecil kemudian dihitung dengan
menggunakan parameter statistic sebagai
berikut (Tabel 4-2) :
Dari rangkaian data yang sudah
diurut dari urutan yang terbesar sampai
yang terkecil, maka rumus yang digunakan
dalam perhitungan selanjutnya adalah
sebagai berikut:

Harga rata-rata (X)
= 482 . 105 974 . 3269
31
1 1
1
= =

=
x X
n
n
i
i

Standar Deviasi (S)
= =

1 - 31
46740.174
1
) (
1
2 n
i
n
X Xi
39.472
.Koef. Fariasi ( Cv)
= = =
105.482
39.472
__
X
S
0.374

9 |Jurnal Teknik Hidro

Tabel: 4 - 2 Analisa Parameter
Statistik Curah Hujan Rata-rata
Maksimum DaerahAliran Sungai
(DAS) Jeneberang
N
o
Tahu
n
Xi
Data Observasi
(mm) Xi - X (Xi - X)
2
(Xi - X)
3
(Xi - X)
4

1 2 3 4 5 6 7
1 1976 242.964
137.48
2
18901.32
6
2598593.91
0
357260132.63
7
2 1977 163.745 58.263 3394.540 197775.042 11522905.001
3 1978 154.022 48.539 2356.081 114362.964 5551119.007
4 1979 148.460 42.978 1847.123 79385.956 3411862.920
5 1980 144.804 39.322 1546.224 60800.718 2390809.317
6 1981 128.028 22.546 508.312 11460.305 258381.589
7 1982 127.918 22.436 503.352 11292.951 253363.030
8 1983 125.293 19.811 392.463 7774.949 154026.957
9 1984 124.985 19.503 380.379 7418.638 144687.901
10 1985 121.535 16.053 257.693 4136.698 66405.652
11 1986 113.378 7.896 62.349 492.322 3887.457
12 1987 111.955 6.472 41.892 271.141 1754.935
13 1988 103.547 -1.935 3.743 -7.243 14.013
14 1989 103.173 -2.309 5.333 -12.315 28.439
15 1990 100.559 -4.924 24.241 -119.350 587.619
16 1991 98.732 -6.750 45.564 -307.557 2076.035
17 1992 94.728 -10.754 115.659 -1243.858 13377.065
18 1993 93.336 -12.146 147.529 -1791.907 21764.770
19 1994 93.002 -12.481 155.766 -1944.054 24263.000
20 1995 92.625 -12.857 165.304 -2125.315 27325.262
21 1996 92.597 -12.885 166.028 -2139.292 27565.139
22 1997 89.794 -15.688 246.117 -3861.122 60573.791
23 1998 88.939 -16.543 273.678 -4527.511 74899.574
24 1999 84.300 -21.182 448.679 -9503.930 201312.594
25 2000 78.662 -26.820 719.318 -19292.180 517418.239
26 2001 70.504 -34.978 1223.491 -42795.808 1496930.514
27 2002 67.818 -37.664 1418.599 -53430.529 2012423.121
28 2003 60.754 -44.728 2000.569 -89480.862 4002274.536
29 2004 58.946 -46.537 2165.658 -100782.404 4690073.153
30 2005 47.523 -57.959 3359.254 -194699.236 11284586.821
31 2006 43.322 -62.160 3863.911 -240182.102 14929806.801
Jumlah
3269.94
7
46740.17
4
2325519.02
0
420406636.89
1
X Rata-rata 105.482
Sumber : Hasil Perhitungan

Koefesien Kemencengan (Cs)
=
( ) ( )



n
i
X X x
S n n
n
1
3
3
) 3 1 (
2 1


=
( ) ( )
0 2325519.02
472 . 39 2 31 1 31
31
3
x



= 1.347
4.Koef, Kurtosis (Ck)
= =

4
1
4
) 3 1 (
1
S
X X x
n
n
i

=
4
39.472
891 420406636.
31
1
x
= 5.587
Berdasarkan perhitungan analis
parameter statistik maka diperoleh data-
data sebagai berikut:
Rata-rata (X) = 105. 4829
Jumlah Data (n) = 31.000
Standar Deviasi (S) = 39.472
Koef. Kepencengan(Cs) = 1.347
Koef. Kortusis (Ck) = 5.587
Koef. Variasi (Cv) = 0.374
Dengan melihat data tersebut
maka dapat disimpulkan metode yang
akan dilakukan untuk perhitungan curah
hujan rencana selanjutnya.

Tabel 4 3. Kesimpulan pemilihan jenis
Distribusi
Jenis
Sebaran Syarat Hasil Perhitungan Kesimpulan
Normal Cs = 0.00 Cs = 1.347
Tidak
dipilih
Ck = 3.00 Ck = 5.587
Log Normal Cs = 3 x Cv Cs = 1.223
Tidak
dipilih
Ck > 0 Ck > 5.587
Gumbel Cs = 1.1396 Cs = 1.347
Tidak
dipilih
Ck = 4.4002 Ck = 5.587
Log
Pearson III Tidak memenuhi sifat-sifat seperti pada Dipilih
ketiga distribusi
Sumber : Hasil perhitungan

b. Uji Smirnov Kolmogorof.
Pengujian ini dilakukan dengan
membandingkan probabilitas tiap data,
antara sebaran empitis dan sebaran teoritis

10 |Jurnal Teknik Hidro

yang dinyatakan dalam delta. Harga delta
terbesar (Delta Maks) dibandingkan
dengan delta kritis (dari table lampiran 2)
dengan tingkat keyakinan tertentu.
Distribusi dianggap sesuai jika delta max
< delta kritis.

Hasil perhitungan diatas dari table
lampiran 3 Maka diperoleh nilai sebagai
berikut:
o Dengan derajat kepercayaan 5 % atau
0.05 maka didapat A cr = 0.354 atau
35.4 %
o Harga Delta hitung = 1.72 % atau
1.725. Dengan delta hitung (Ahit) Cr =
0.017 dan Delta Cr (A Cr) = 0.354
berarti A hit < A Cr, jadi Metode Log
Pearson dapat digunakan.

C. Uji Chi Kuadrat
Uji ini didasakan pada perbedaan
nilai ordinat teoritis dan empiris dari
masing-masing data. Uji ini dilakukan
untuk mengetahui apakah hipotesa
tersebut benar sesuai dengan distribusi
teoritis yang dipilih, sehingga dapat
digunakan digunakan untuk proses
perhitungan selanjutnya.
Harga Delta hitung = 1.72 % atau
0.0172. Dengan delta hitung (Ahit) Cr =
0.017 dan Delta Cr (A Cr) = 0.354 berarti
A hit < A Cr, jadi Metode Log Pearson
dapat digunakan.

4.3. Perhitungan Curah Hujan Rencana
Dengan Berbagai Serial Data
Berdasarkan hasil pengujian
distribusi maka distribusi yang terpilih
adalah distribusi Log Pearson Type I I I
dan akan digunakan dalam menghitung
curah hujan rencana dengan berbagai
serial data. Dalam perhitungan selanjutnya
serial data yang digunakan adalah 31
tahun, data tersebut akan dipenggal
menjadi 6 bagian yaitu serial data 5
tahunan, serial data 10 tahunan, serial data
15 tahunan, serial data 20 tahunan, serial
data 25 tahunan dan serial data 31
tahunan.

Penyelesaian :
1. Standar deviasi
S=
( )
1
log log
2

E
n
X Xi
=
1 5
0.0167

= 0.0647
2. Koefesien Kemencengan
Cs =
( )
( ) ( )
3
3
2 1
log log
S n n
X Xi

E
=

( ) ( )
3
123 , 0 2 31 1 31
0.00003520

= 0.0542
Dari tabel Distribusi Log Pearson
III (lampiran 1) didapat nilai Cs negatif :
2 Tahun = -0.017
5 tahun = 0.8360
10 tahun = 1.2920
25 tahun = 1.6730
10 tahun = 1.2920
25 tahun = 1.6730
50 tahun = 2.0170
100 tahun = 2.4000
Untuk hasil perhitungan curah hujan
rencana selanjutnya dapat dilihat pada
pada table 4 7a sampai table 49 berikut:
log Xt = Xi log + G x S
logX
t
=2.07772+ -0.0170 x 0.0647
X
t
= 2.0766
Anti log X
t
= 119.2945
Misalnya untuk R
2
dengan panjang
data curah hujan 5 tahun , maka:
An = 100
31
31
x
H
Hx H

Dimana :
H
31
= 2491.24
Hx = 768.297
= 100
768.297
768.297 2491.24
x


= 30.840

11 |Jurnal Teknik Hidro

Tabel 46 Contoh Perhitungan Curah Hujan Rencana dengan menggunakan 5
tahun Serial Data. Untuk perhitungan metode Log Pearson Type III
No Kala P Xi Log Xi (log Xi -
Log X)
2

(log Xi - Log
X)
3
Ulang ( % ) ( mm)
1 6.00 16.67

102.44

2.0105

0.0045 -0.0003044
2 3.00 33.33

103.17

2.0136

0.0041 -0.0002640
3 2.00 50.00

125.29

2.0979

0.0004 0.0000082
4 1.50 66.67

127.61

2.1059

0.0008 0.0000223
5 1.20 83.33

144.80

2.1608

0.0069 0.0005730
Jumlah 603.31 10.3886

0.0167 0.00003520
Rata - rata ( log X) = 2.07772
Jumlah data ( n ) = 5

Standar
Deviasi ( S ) = 0.0647
Koef. Kepencengan ( Cs ) = 0.0542
No. Kala Ulang G log Xt Xt
(tahun) (mm)
1 2 -0.0170

2.0766

119.2945
2 5 0.8360

2.1318

135.4576
3 10 1.2920

2.1613

144.9785
4 25 1.6730

2.1860

153.4446
5 50 2.0170

2.2082

161.5124
6 100 2.4000

2.2330

170.9949
Sumber : Kasil Perhitungan
Gambar 3 4 . Grafik penyimpangan kedalaman hujan akibat panjang data

0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30 35
Jumlah Data (Tahun)
D
e
l
t
a

/

P
e
n
y
i
m
p
a
n
g
a
n

(
%
)
R2
R5
R10
R25
R50
R100
Power (R2)
Power (R5)
Power (R10)
Power (R25)
Power (R50)
Power (R100)
R2
R5
R10
R25
R50
R100

Jurnal Teknik Hidro 12

4.4. Perhitungan Penyimpangan Relatif
Setelah dilakukan perhitungan curah
hujan rencana dengan menggunakan berbagai
serial data curah hujan maka dilakukan
perhitungan penyimpangan relative dengan
cara sebagai berikut
Untuk menghitung curah hujan
rencana ( Xt ), dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
Dengan rumus yang sama maka
perhitungan untuk masing-masing penyimpangan
relative dapat di tentukan. Hasil perhitungan dapat
dilihat pada table 4 13.

Tabel 4 13 Persentase besarnya penyimpangan relatif yang
diakibatkan pengaruh panjang data
N
o Panja
ng
Data
Kala Ulang
R2 R5 R10 R25 R50 R100
1 5 30.840

52.66
4

53.83
8

55.299

56.60
0

27.90
3
2 10 25.797

6.014

5.415

4.802

4.400

28.78
0
3 15 17.547

5.669

5.104

4.527

4.148

16.93
6
4 20 12.746

11.66
9

10.50
6

9.318

8.537

13.91
0
5 25 8.649

15.94
2

16.76
1

17.442

17.66
7

8.308
6 31 4.422

8.041

8.375

8.612

8.649

4.162
Sumber : Hasil Perhitungan

Setelah dilakukan perhitungan
penyimpangan relative maka dilakukan
pengujian dengan menggunakan trend grafik
sehingga hasil yang didapatkan adalah
sebagaimana ditunjukan pada gambar 4-3.
Dari hasil perhitungan diatas maka dapat
dilakukan analisa sebagai berikut:
1. Semakin panjang serial data curah hujan
yang digunakan untuk mengitung curah
hujan rencana maka akan semakin kecil
penyimpangan yang terjadi tiap kala ulang
R
2
, R
5
, R
10
, R
25
, R
50
, R
100
.
2. Penyimpangan relative paling besar terjadi
saat perhitungan curah hujan dengan kala
ulang R
50
dengan menggunakan panjang
data 5 tahun.
3. Penggunaan serial data 31 tahun
menunjukkan penyimpangan yang relative
kecil pata tiap kala ulang R
2
, R
5
, R
10
, R
25
,
R
50
, R
100.
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa semakin panjang data yang
digunakan maka akan semakin kecil
penyimpangan relative yang terjadi.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil perhitungan diatas
ditemukan penyimpangan relative pada tiap
kala ulang sebagai berikut:
1. Untuk kala ulang R2 penyimpangan
relative terjadi paling besar adalah pada
saat menghitung curah hujan rencana
dengan menggunakan data sebanyak 5
tahun, yaitu sebesar 30.840 %, sedangkan
ketika menghitung curah hujan rencana
dengan menggunakan yang lebih panjang,
penyimpangan terlihat relative bertabah
kecil sehingga ketika menggunakan serial
data yang lebih panjang (31 tahun) maka
penyimpangan terjadi sebesar 4.422 %
2. Fenomena seperti yang terjadi pada
perhitungan curah hujan rencana pada
kala ulang R2 diatas terjadi juga pada
perhitungan curarah hujan rencara pada
kala ulang yang lain R
5
penyimpangan
tertinggi adalah 52.644% dan
penyimpangan terendah adalah 8.041% ,
R
10
penyimpangan tertinggi adalah
53.838% dan penyimpangan terendah
adalah 8.375%, R
25
penyimpangan
tertinggi adalah 55.299% dan
penyimpangan terendah adalah 8.612%,
R
50
penyimpangan tertinggi adalah
56.600% dan penyimpangan terendah
adalah 8.649%, R
100
penyimpangan
tertinggi adalah 27.903% dan
penyimpangan terendah adalah 4.162%
3. Pada semua perhitungan curah hujan
rencana pada kala ulang R
2
, R
5
, R
10
, R
25
,
R
50
, R
100
persentase penyimpangan
relative semakin mendekati titik 0 pada
jumlah data 31 tahun hal ini menunjukkan
bahwa semakin panjang data yang
digunakan untuk menghitung curah hujan
rencana maka akan semakin baik hasil
perhitungan yang diperoleh. Adapun
penyimpangan relative yang dihasilkan
pada tiap kala ulang (R
2
, R
5
, R
10
, R
25
, R
50
,
R
100
) dengan menggunakan serial data 31
tahun adalah : R
2
= 4.422, R
5
= 8.041, R
10

= 8.375, R
25
= 8.612, R
50
= 8.619, R
100
=
4.162.



Jurnal Teknik Hidro 13

5.2. Saran
1. Diharapkan untuk menghasilkan
perhitungan curah hujan yang
memberikan suatu perbedaan
penyimpangan yang kecil antara
beberapa periode kala ulang maka
sebaiknya menggunakan serial data
curah hujan yang panjang.
2. Diharapkan dalam menghitung curah
hujan rencana dianjurkan untuk tidak
menggunakan data kurang dari 10
tahun untuk periode ulang R
5
, R
10
, R
25
,
R
50
, R
100

























DAFTAR PUSTAKA

E.M. Wilson 1993, Hidrolika Teknik, ITB
Bandung
Iman Sunarkah, 1980, Hidrologi untuk
Bangunan Air, Idea Dharma,
Bandung
Joyce Marta W. Ir, Wanny Adidarma, Ir
Dipl.H. 1982, Mengenal Dasar-
dasar Hidrologi, Nova, Bandung.
Ray K. Linsley, JR., Max A. Kohler, Joseph
L. H. Paulhus, Yandi Hermawan
1996, Hisdrologi untuk I nsinyur,
Erlangga Jakarta
Soewarno 1995, Hidrologi Aplikasi Metode
Statistik untuk Analisa Data J ilid I ,
Nova Bandung.
Soewarno 1995, Hidrologi Aplikasi Metode
Statistik untuk Analisa Data J ilid
2, Nova Bandung.
Sriharto. BR, 1993, Analisa hidrologi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Suyono Sudarsono,1976, Hidrologi Untuk
Pengairan, PT. Pradya Paramitha,
Jakarta
Suripin 2003, Sistim Drainase Perkotaan
yang Berkelanjutan, ANDI
Yokyakarta
























Jurnal Teknik Hidro 14

Pengaruh Bentuk Pilar Jembatan Terhadap Potensi Gerusan
Oleh : Muhammad Yunus Ali

ABSTRAK

Sebagai sarana transportasi yang sangat penting, faktor keamanan jembatan harus diperhatikan.
Salah satu penyebab runtuhnya jembatan adalah berkurangnya daya dukung pondasi pada pilar jembatan yang
mengalami penggerusan.
Pembangunan jembatan dengan adanya pilar-pilar dan tembok pangkal jembatan yang dipasang
melintasi sungai pada kenyataannya mempengaruhi karakteristik aliran disekitar pilar dan pangkal jembatan
sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya penggerusan disekitar pilar jembatan maupun pada tembok
pangkal jembatan. Gerusan yang terjadi merupakan akibat dari adanya sistem pusaran disekitar pilar
jembatan.Sistem pusaran yang terjadi berbeda-beda tergantung dari bentuk pilar jembatan, sehingga
kedalaman gerusan dan pola gerusan yang terjadi akan berbeda.
Dalam penelitian ini parameter yang diukur adalah debit, kecepatan aliran, kedalaman aliran dan
kedalaman gerusan. Penelitian inii menggunakan debit Q
1
dan Q
2
dengan lama pengaliran masing-masing T
1

dan T
2
. Pengukuran kecepatan aliran dan kedalaman aliran dilakukan setelah debit pada pintu segitiga
konstant. Setelah pengaliran berlangsung dalam selang waktu yang telah ditentukan, pengaliran dihentikan
lalu dlakukan pengukuran topografi dasar saluran untuk mengetahui kedalaman gerusan yang terjadi disekitar
pilar jembatan.
Dari persamaan Breusers, Elliot dan Lacey dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa persamaan
Elliot dkk, lebih mendekati dengan menggunakan pilar ujung segi empat, pilar ujung bulat dan pilar ujung
segitiga. Hasil percobaan dan hasil hitungan dengan menggunakan rumus empiris memperlihatkan hasil yang
tidak berbeda jauh dengan percobaan ini menggunakan saluran tanah.

Influence of Bridges Pillars Shape To Scouring Potency
By : Muhammad Yunus Ali

ABSTRACT
Bridge as one of the transportation facility, should be ensured to have sufficient safety
factor.Collapse of bridges may be caused by foundation strength degradationdue to scouring at pillars.
Construction of pillars and abutments croos a river would influence flow characteristics a round the
pillars ang abutments.This would cause scouring as the consequence of whirl poll system a round the pillars
and abutments. The type, of whirl pool system depends on the pillars shapes, so the depth and pattern of
scoring would be different.
In this research following parameters were measured namely discharge,flow velocity, depth of
flow and the depht scouring. The research used discharge Q
1
and Q
2
with length of the flow are T
1
and T
2

each. The flow velocity and the depth of flow were measured after the discharge at the triangle gate was
constant. After the prescribed flow duration, the flow was stopped and the depth of scoring was measured.
From equation of Breusers, Elliot and Lacey with the result of research hidicated that the equation of
Elliot and friends, was more approach by using ends of square pillar, round and triangle end of pillars. The
results of experiment and the results calculation by busing the empirical formula showed the results not so far
differ with this experiment by busing land ground channel.


1.PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan peradaban
manusia, transportasi sungai tidak saja melalui
arus sungai hilir mudik, tetapi juga melintas sungai
dari tebing satu ke tebing yang lainnya. Kalau
pada jaman dahulu penyeberangan sungai itu
menggunakan rakit, perahu atau kapal, tetapii
dengan perkembangan ilmu dan teknologi dapat
menggunakan jembatan sebagai salah satu
fasilitas transportasi.
Sekarang ini, transportasi persilangan
sungai menggunakan fasilitas jembatan yang
merupakan suatu standar yang berfungsi
memberikan fasilitas lalu lintas bagi pejalan kaki,
kendaraan bermotor dan kereta api. Sebagai
sarana transportasi yang sangat penting, maka
keamanan jembatan harus diperhatikan. Salah satu

Jurnal Teknik Hidro 15

penyebab runtuhnya jembatan adalah akibat
berkurangnya daya dukung fondasi pada pilar
jembatan yang mengalamii penggerusan.
Sungai-sungai di Indonesia terutama
di daerah hulu, sangat sensitif terhadap terjadinya
degradasi. Selain itu akibat kehadiran pilar-pilar
jembatan di dalam tubuh sungai akan
mempengaruhi pola aliran, sehingga terjadi
kontraksi aliran pada bagian penampang dan
peningkatan turbulensi aliran di sekitar pilar.
Dalam bidang Teknik Sipil digunakan
metode eksperimental untuk mengkaji berbagai
macam fenomena, baik fenomena fisik saluran,
fenomena pengaliran maupun fenomena akibat
adanya bangunan pilar di saluran. Dengan metode
eksperimental tersebut beberapa akibat yang akan
terjadi dapat dianalisa dengan baik, yang ditunjang
dengan hasil pengamatan dan kajian secara fisik
yang akan di kembangkan berdasarkan metode
analsis.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu
diadakan penelitian terhadap saluran terbuka dari
tanah yang diatasnya dibangun pilar, melalui
kajian tes model fisik di laboratorium.
Dalam teknik sungai yang penting adalah
pengaruh pengaliran yang dapat berakibat buruk
karena dibangunnya suatu bangunan silangan pada
sungai berupa jembatan dan cara
menanggulanginya. Akibat buruk tersebut
terutama terjadinya penggerusan (scouring) di
sekeliling tiang jembatan dan tembok pangkal
jembatan.
Penggerusan (Scouring) adalah adanya
sistem pusaran (Vortex system) yang terjadi di
sekitar jembatan atau pada pangkal jembatan.
Pengaruh penggerusan itu akan membawa
butiran-butiran tanah ke arah hilir. Apabila
penggerusan mencapai pondasi, daya dukung
tanah pondasi semakin berkurang, tiang jembatan
maupun pangkal jembatan akan turun dan akan
mengakibatkan jembatan ambruk. Oleh karena itu
bahaya penggerusan bagi terancamnya tiang dan
pangkal jembatan harus diperhitungkan.
Gerusan yang terjadi disekitar pilar
jembatan merupakan akibat dari adanya sistem
pusaran (vortex system) yang terjadi disekitar pilar.
Sistem-sistem pusaran ini merupakan mekanisme
dasar dari penggerusan setempat. Ada beberapa
pendapat yang dikemukan oleh para ahli antara
lain :
Roper, Schneider dan Shen (1967)
mengemukakan bahwa sistem ini tergantung pada
bentuk pilar dan aliran bebas. Struktur-struktur
pusaran air terdiri dari sebagian atau seluruhnya
dari tiga sistem dasar, yaitu :
a. Sistem pusaran sepatu kuda (Horseshoe-Vortex
Sistem).
b. Sistem pusaran baling-baling (Wake-Vortex
sistem).
c. Sistem pusaran menggulung (Trailin-Vortex
Sistem).
Posey (1949), Moore dan Masch (1963)
menyelidiki sistem pusaran baling-baling. Dimana
lubang-lubang penggerusan yang besar mungkin
dihasilkan dihilir pilar waktu sistem pusaran
sepatu kuda tidak terbentuk atau pada percobaan
yang tidak terkontrol secara memadai. Sistem
pusaran baling-baling berlaku seolah-olah seperti
sebuah Vacuum cleaner dalam memindahkan
material-material pada lapisan dasar yang
kemudian dibawa ke hilir oleh pusaran-pusaran air
yang mengalir dari pilar.
Shen Schneider dan Karaki (1966) setelah
percobaannya menyimpulkan bahwa untuk pilar
berujung tajam tidak terjadi sistem pusaran sepatu
kuda yang kuat melainkan terjadi sistem baling-
baling yang menghasilkan lubang-lubang
penggerusan yang luas dan berkembang ke arah
hilir.
Melville (1975) berpendapat bahwa pusaran
sepatu kuda mulanya kecil dan lemah kemudian
pusaran itu bertambah besar baik ukuran maupun
kekuatannya sewaktu aliran ekstra mencapai
komponen kecepatan aliran vertical ke bawah.
Sehingga kekuatan aliran ke bawah akan
meningkat dan terbentuklah lubang penggerusan.
Aliran ke bawah itu berlaku seperti pancaran air
vertikal yang menggerus dasar saluran. Setelah
lubang penggerusan terbentuk diagram tegangan
geser dan intesitas turbulensinya pada lapisan
dasar dari lubang penggerusan tetap sama selama
perkembangan selanjutnya membentuk ruang
penggerusan. Besarnya berkurang sewaktu
kedalaman lubang bertambah, jadi tingkat
penggerusan berkurang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penggerusan
a. Sifat-sifat fluida : percepatan gravitasi (g),
kerapatan fluida (), kekentalan kinematik (v).
b. Sifat-sifat aliran: kecepatan rata-rata (),
kedalaman aliran mula-mula (d
o
), kekasaran
saluran (k).
c. Sifat-sifat dasar saluran: kerapatan sedimen (
s
),
kohesitas bahan,distribusi butir. bentuk butir.
d. Sifat-sifat pilar jembatan: bentuk pilar, dimensi
pilar, kondisi permukaan pilar.
Jumlah parameter-parameter ini sangat
banyak dan sulit untuk disatukan misalnya :
distribusi butir, bentuk butir, dan kohesivitas

Jurnal Teknik Hidro 16

bahan-bahan dasar saluran. Sehingga dalamnya
penggerusan (d
s
) bergantung pada.
d
s
= f ( , v, g, D,
s
, d
o
, , b, sf, ). (1)

2.METODOLOGI PENELITIAN
2.1.Definisi Operasional
Sesuai dengan ruang lingkup permasalahan,
bentuk pilar jembatan terhadap potensi terjadinya
gerusan, maka parameter-parameter yang diukur
adalah: Kecepatan (V), Debit (Q) dan Kedalaman
aliran (d)
Sedangkan variabel lain yang dipakai
sebagai variabel terikat yakni lebar saluran 0,50
meter, viskositas kinematis berdasarkan dengan
suhu ruangan, nilai n Manning untuk saluran tanah
0.025, serta kemiringan saluran diasumsikan
adalah konstan.
Spesifikasi model pilar-pilar jembatan
pada prototype dengan lebar sampai rata-rata
100.00 meter adalah:
a. Pilar persegi panjang :
- Lebar : 2.00 meter
- Panjang : 12.00 meter
- Tinggi : 20.00 meter
b. Pilar persegi yang ujungnya setengah bulat. :
- Lebar : 2.00 meter
- Panjang : 12.00 meter
- Panjang sblm ujungnya bulat : 8.00 meter
- Tinggi : 20.00 meter
c. Pilar persegi yang ujungnya segitiga
- Lebar : 2.00 meter
- Panjang : 12.00 meter
- Panjang sblm ujung segitiga : 8.00 meter
- Tinggi : 20.00 meter
Bentuk sesungguhnya dari bangunan yang
diselidiki di sebut prototype, dengan model biasa
lebih besar, sama besar atau yang biasa dilakukan
adalah lebih kecil dari prototype.
Hubungan antara model dan prototype
dipengaruhi oleh hukum-hukum sifat sebangun
hidrolis. Sifat sebangun ini memperhatikan
beberapa aspek, yaitu sebangun geometric,
sebangun kinematik, dan sebangun dinamik.
Perbandingan antara prototype dan model disebut
skala model.
- Skala panjang ( n )
n =
Lm
Lp
=
Panjang
Panjang
pada
pada
el
prototype
mod

- Skala luas (n
A
)
n
A
=
m
p
A
A
=
m
p
bar Panjangxle
bar Panjangxle
) (
) (
= n
L
2
- Skala tinggi (n
h
)
n
h
=
m
p
h
h
=
Tinggi
Tinggi
pada
pada
el
propotype
mod

-Skala volume (n
V
)
n
V
=
m
P
V
V
=
Volume
Volume
el
propotype
mod
= n
L
3

Tabel 1. Skala Besaran-Besaran
No. Besaran Notasi Rumus
Skala
Untuk n =
100, nL=100,
Nh = nh = 50
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kecepatan Aliran
Debit
Waktu Aliran
Volume
Kekasaran
Diameter Pasir
Gaya
Energi
Percepatan
V
Cs
t
V
k
d
G
E
g
nV = nh
1/2

nQ = nL
2
.
nh: nt
nt = nh
nV = nL .
nh
nk = 1
nd = 1
nG = nh
3

nE = 1
ng = 1
nV = 7. 071
nQ = 10.000
nt = 7. 071
nV = 10. 000
nk = 1
nd = 1
nG = 125. 000

nE = 1

ng = 1


2.2.Material
Bahan material yang digunakan adalah
pasir yang berasal dari sungai, yang telah di saring
dengan porsentase gradasi butiran d
50
= 0.42 mm,
d
90
= 0.84mm. Adapun jumlah pasir yang di
gunakan 1.5 m
3

2.3.Prosedur Penelitian
Aliran pada suatu saluran yang diberi
halangan pilar akan mengalami perubahan aliran,
sehingga menyebabkan pusaran-pusaran air dalam
skala besar atau sistem pusaran yang terjadi di
sekitar pilar jembatan. Sistem-sistem pusaran
ini merupakan mekanisme dasar dari penggerusan
setempat.
Keseimbangan penggerusan terjadi bila
kedalaman penggerusan di depan pilar besarnya

Jurnal Teknik Hidro 17

tetap, karena aliran vertikal ke bawah tidak mampu
lagi mengangkut butir-butir material dasar saluran.

3.ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1.Debit Aliran
Pengukuran besarnya debit dalam
penelitian ini di lakukan dengan menggunakan
pintu Thomson (peluap segitiga). Hasil
pengukuran tinggi muka air (H) di atas mercu
segitiga ditransformasikan pada perhitungan
debit Q dengan menggunakan persamaan :
Q = 1.42 H
5/2

Tabel 2.Debit aliran
No.
Tinggi air diatas
Puncak Segi Tiga
H (m)
Debit Aliran (Q)
M
3
/dt m
3
/dt
1.
2.
0.165
0.170
0.0157
0.0169
15.7 x 10
-3

16.9 x 10
-3


3.2.Perhitungan Bilangan Froude
Jenis aliran yang terjadi dalam proses
pengaliran dalam flume dapat dijabarkan
berdasarkan bilangan froude sebagai berikut :
F =
gH
V


3.3.Perhitungan Koefisien Tahanan Aliran
Koefisien tahanan aliran di refleksikan
dengan koefisien Chezy. Koefisien ini
menggambarkan tingkat kekasaran dari saluuran.
Perhitungan koefisien Chezy ini di lakukan dengan
menggunakn formula Van Rjn dan Strickler.
Perhitungan dengan formula Van Rijn
C
1
= 18 log |
.
|

\
|
ks
h 12

Di mana ks : 3 . d
90
(untuk dasar saluran pasir)
Perhitungan dengan formula Strickler
C
2
= 25
6 / 1
|
.
|

\
|
ks
R

Di gunakan Chezy rata-rata dari formula di atas
3.4.Perhitungan Tegangan Geser Dasar dan
Tegangan Geser kritis
Perhitungan geser dasar (t
b
) dan
tegangan geser kritis (t
c
) dengan menggunakan
formula Van Rijn di peroleh seperti yang di
sajikan pada beberapa tahapan perhitungan di
urutkan seperti di bawah ini :

b
t = g .
2

u /C
2


c
t = u
cr
(
s
-) . g .d
50

di mana :

cr
= 0,14 (D
*
)
-0,64

D
*
=
50
2 / 1
2
) 1 5 (
d
V
g
(



Pengukuran suhu air pada percobaan
menunjukkan suhu 28.5
0
C dengan viskasitas
kinematik 0.995 x 10
6
m
2
/dt. Perhitungan
tegangan geser dasar (
b
t ) dan tegangan geser
kritis (
c
t ) berdasarkan data pada saluran
menunjukkan hasil bahwa tegangan geser dasar
saluran lebih besar dari pada tegangan geser
kritisnya (
b
t >
c
t ), hal ini menunjukkan bahwa
terjadi angkutan sedimen. Perhitungan tegangan
geser dasar dan tegangan geser kritis dapat di lihat
pada tabel 9, 10 dan 11.

























Jurnal Teknik Hidro 18

Dalam penelitian ini kondisi aliran dalam keadaan subkritis yaitu
bilangan froude Fr < 1untuk Debit Q
1
dan Q
2
dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 3 Hasil Perhitungan Bilangan Froude Untuk Pilar Segi Empat Tunggal
No
Debit
(Q)
Kecepatan (V)
(m/dt)
Kedalaman (H)
(m)
Lebar
Sal (b)
Luas (A)
(m
2
)
Fr
m
3
/dt V
1
V
2
H
1
H
2
m A
1
A
2
-
1.
2.
15.7x10-3
16.9x10-3
0.3488
0.3085
0.3045
0.3252
9x10-2
11x10-2
8.6x10-2
10.4x10-2
0.5
0.5
0.045
0.055
0.043
0.052
0.3516
0.3093

Tabel 4 Hasil Perhitungan Bilangan Froude untuk Pilar Ujung Bulat Tunggal
No
Debit
(Q)
Kecepatan (V)
(m/dt)
Kedalaman (H)
(m)
Lebar
Sal (b)
Luas (A)
(m
2
)
Fr
m
3
/dt V
1
V
2
H
1
H
2
m A
1
A
2
-
1.
2.
15.7x1
0
-3
16.9x1
0
-3
0.2749
0.2818
0.29
94
0.29
40
11.5x1
0
-2
12x10
-2

10.8x10
-2
11.5x10
-2
0.5
0.5
0.0575
0.06
0.054
0.0575
0.
27
46
0.
26
82



Tabel 5 Hasil Perhitungan Bilangan Froude untuk Pilar Ujung Segitiga Tunggal
No
Debit
(Q)
Kecepatan (V)
(m/dt)
Kedalaman (H)
(m)
Lebar
Sal
(b)
Luas (A)
(m
2
)
Fr
m
3
/dt V
1
V
2
H
1
H
2
M A
1
A
2
-
1.
2.
15.7x10
-3
16.9x10
-3
0.2619
0.2705
0.2809
0.2889
12,0x10
-2
12.5x10
-6

11.2x10
-2
11.7x10
-2
0.5
0.5
0.06
0.0625
0.056
0.0585
0.2544
0.2567

Tabel 6 Hasil Perhitungan Koefisien Chezy Pilar Segi Empat Tanggul
No.
Q
m
3
/dt
h
m
D
90

M
R
m
C
1

m
1/2
/dt
C
2

m
1/2
/dt
C
m
1/2
/dt
1.
2.
15.7x10
-3

16.9x10
-3

8.8x10
-2
10.7x10
-2
0.84x10
-3
0.84x10
-3
0.0649
0.0749
47.20
48.73
42.96
44.00
45.08
46.37
Tabel 7 Hasil Perhitungan Koefisien Chezy Pilar Ujung Bulat Tanggul
No.
Q
m
3
/dt
h
m
D
90

M
R
m
C
1

m
1/2
/dt
C
2

m
1/2
/dt
C
m
1/2
/dt
1.
2.
15.7x10
-3

16.9x10
-3

11.15x10
-2
11.75x10
-2
0.84x10
-3
0.84x10
-3
0.0771
0.0799
49.29
49.46
44.21
44.48
46.75
46.97

Tabel 8 Hasl Perhitungan Koefisien Chezy Pilar Ujung Segi Tiga Tanggul
No.
Q
m
3
/dt
h
m
D
90

M
R
m
C
1

m
1/2
/dt
C
2

m
1/2
/dt
C
m
1/2
/dt
1.
2.
15.7x10
-3

16.9x10
-3

11.6x10
-2
12.1x10
-2
0.84x10
-3
0.84x10
-3
0.0792
0.0815
49.36
49.69
44.21
44.62
46.79
47.16






Jurnal Teknik Hidro 19


Tabel 9 Perhitungan Tegangan geser dasar
b
dan Tegangan geser kritis
c
untuk Pilar Persegi empat Tunggal
T
(jam)

(m/s)
h (m)

R
(m)

C
(m
1/2
/s)
U
*
(m/s) D
*

cr

U
*c
(m/s)

c

(N/m
2
)

b

(N/m
2
)
Ket
1.
5.
0.3571
0.3168
8.8x10
-2
10.7x10
-2

0.0649
0.0749
45.08
46.37
0.00062
0.00046
10.33
10.33
0.0314
0.0314
0.4406
0.4406
0.1941
0.1941
0.6156
0.4579
b > c
b > c

Tabel .10 Perhitungan Tegangan Geser dasar
b
t dan Tegangan Geser Kritis
c
t untuk Pilar Ujung Bulat Tunggal
T (jam)
(m/s) h (m)

R (m)

C (m
1/2
/s)
U
*
(m/s) D
*

cr
U
*c
(m/s)
c
(N/m
2
)
b
(N/m
2
) Ket
1.
5.
0.2871
0.2879
11.15x10
-
2
10.7x10
-2

0.0771
0.0799
46.75
46.97
0.00037
0.00037
10.33
10.33
0.0314
0.0314
0.4406
0.4406
0.1941
0.1941
0.3700
0.3686

b
>
c

b
>
c


Tabel 11 Perhitungan tegangan geser dasar
b
dan tegangan geser kritis
c
untuk Pilar Ujung segitiga Tunggal
T (jam) (m/s) h (m)

R
(m)

C (m
1/2
/s)
U
*
(m/s) D
*

cr
U
*c
(m/s)
c
(N/m
2
)
b
(N/m
2
) Ket
1.
5.
0.2714
0.2797
11.6x10
-2
12.1x10
-2

0.0792
0.0815
46.79
47.16
0.00033
0.00035
10.33
10.33
0.0314
0.0314
0.4406
0.4406
0.1941
0.1941
0.3301
0.3600

b
>
c

b
>
c


Jurnal Teknik Hidro 20

0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
K
e
d
a
l
a
m
a
n

G
e
r
u
s
a
n

(
d
s
)

Hasil Rumus Pendekatan
segi
empat
bulat
segitiga
B. Kajian Fisik
1. Analisis Data dan Hasil perhitungan
Analisis pada penelitian ini menggunakan persamaan para peneliti terdahulu
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 12 Hasil Perhitungan dan Hasil Percobaan Pada Pilar Tunggal Dengan Q
1

Bentuk
Pilar
D
0

M
Q
m/dt
U
m/dt
Hasil Percobaan dan Hasil Hitungan
Kedelaman Gerusan (D
s
) m
Percobaan Breusers Elliot Lacey
Ujung
segiempat
8.8x10
-2
5.687x10
-3
0.1294 0.059 0.1090 0.1309 0.2272
Ujung
bulat
11.55x10
-2
5.687x10
-3
0.1021
0.052
0.0673 0.0673 0.2272
Ujung
segi tiga
11.6x10
-2
5.687x10
-3
0.0982 0.048 0.0536 0.0022 0.2272

Tabel 13 Hasil Perhitungan dan Hasil Percobaan Pada Pilar Tunggal dengan Q
2

Bentuk
Pilar
D0
m
Q
m/dt
U
m/dt
Hasil Percobaan dan Hasil Hitungan Kedalaman
Gerusan (Ds) m
Percobaan Breusers Elliott
Lacey

Ujung
segiempat
10.7x10
-2
8.634x10
-3
0.3230 0.079 0.0934 0.1121 0.2319
Ujung
bulat
11.75x10
-2
5.687x10
-3
0.1471
0.062
0.0654 0.0654 0.2319
Ujung segi
tiga
12.1x10
-2
8.634x10
-3
0.2857 0.056 0.0649 0.0027 0.2319
D
0
=

h = Kedalaman aliran







Gambar 1 Perbandingan Hasil Percobaan Dengan Pendekatan Beberapa Rumus
Empiris Dengan Q1

21 Jurnal Teknik Hidro

0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
Percobaan Breusers Elliott Lacey
K
e
d
a
l
a
m
a
n

G
e
r
u
s
a
n

(
d
s
)

Rumus Pendekatan
segi
empat
bulat
segitiga
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa
dengan debit 15.7 x 10
-3
m
3
/dt dengan waktu 60
menit hasil percobaan dan pendekatan rumus
empiris hasilnya 0.059 m (pecobaan), 0.1090 m
(Breusers), 0.1309 m (Elliot) dan 0.2272
m (Lacey) untuk pilar persegi empat. Pilar ujung
bulat 0.052 m (percobaan), 0.0673 m (Breusers),
0.0673 m (Elliot) dan 0.2272 m (Lacey). Pilar
ujung segi tiga 0.048 m (percobaan), 0.0536 m
(Breusers), 0.0022 m (Elliot) dan 0.2272 m
(Lacey).Sedangkan dari gambar grafik
menunjukkan bahwa kedalaman penggerusan tidak
berbeda jauh dengan hasil percobaan dengan
rumus empiris.













Gambar 2 Perbandingan Hasil Percobaan Dengan
Pendekatan Beberapa Rumus Empiris Dengan Q2
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa
dengan debit 16.9 x 10
-3
m
3
/dt dengan waktu 300
menit hasil percobaan dan pendekatan rumus
empiris hasilnya 0.079 m (pecobaan), 0.0934 m
(Breusers), 0.1121 m (Elliot) dan 0.2319 m
(Lacey) untuk pilar persegi empat. Pilar ujung
bulat 0.062 m (percobaan), 0.0654 m (Breusers),
0.0654 m (Elliot) dan 0.2319 m (Lacey). Pilar
ujung segi tiga 0.056 m (percobaan), 0.0649 m
(Breusers), 0.0027 m (Elliot) dan 0.2319 m
(Lacey).Sedangkan dari gambar grafik
menunjukkan bahwa kedalaman penggerusan tidak
berbeda jauh dengan hasil percobaan dengan
rumus empiris.Hasil yang paling mendekati
dengan menggunakan rumus Elliot dan kedalaman
gerusan yang lebih dalam menggunakan pilar
ujung segi empat dibandingkan dengan pilar ujung
bulat dan pilar ujung segi tiga.Hasil rumus empiris
yang lain tidak berbeda jauh dengan hasil
percobaan dan ini diakibatkan dalam percobaan
menggunakan saluran tanah.


2. Pembahasan
Pada umumnya bentuk gerusan yang
terjadi disekitar pilar menyebar mengelilingi pilar.
Untuk pilar ujung bulat gerusannya kurang
menyesuaikan keadaan aliran sedangkan pilar
ujung segi empat gerusan lebih dalam
dibandingkan pilar-pilar yang lain.
Kedalaman gerusan yang terjadi
berdasarkan hasil percobaan memperlihatkan
bahwa pilar segi empat = 0.0590 m, pilar ujung
bulat = 0.0420 m dan pilar ujung segi tiga =
0.0500 m dengan debit = 15.7 x 10
3
m
3
/dt .
Debit = 16.9 x 10
3
m
3
/dt dengan kedalaman
gerusan untuk pilar ujung segi empat = 0.0790 m,
pilar ujung bulat = 0.0620 dan pilar ujung segi tiga
= 0.0700 m.
Kehadiran suatu pilar ditengah saluran
merupakan suatu penghalang bagi aliran air
sehingga menimbulkan perubahan arus dan
perubahan gerakan permukaan gelombang serta
olakan disekitar pilar dan juga mempesempit
penampang saluran. Dengan makin besarnya
diameter pilar semakin besar pula gerakan
permukaan gelombnag maupun olakan yang
menimbulkan terganggunya kestabilan material
dasar.
Hasil percobaan memper-lihatkan hasil
yang tidak berbeda jauh dengan perhitungan
teoritis berdasarkan rumus empiris. Perbedaan
hasill yang terjadi diakibatkan karena dalam
percobaan ini menggunakan saluran tanah.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1.Simpulan
Dari pembahasan hasil penelitian yang
diuraikan maka dapat dikemukakan kesimpulan
sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil perhitungan bilangan Froude
terlihat bahwa pada saat sebelum dan sesudah
ada bangunan pilar menunjukkan kondisi
aliran berada dalam keadaan subkritis ( Fr <
1).
2. Perhitungan tegangan geser dasar (
b
t ) dan
tegangan geser kritis (
c
t ) menunjukkan hasil
bahwa tegangan geser dasar saluran (
b
) lebih
besar dari tegangan geser kritisnya (
c
), hal ini
menunjukkan bahwa terjadi angkutan
sedimen.
3. Kedalaman gerusan yang terjadi berdasarkan
hasil percobaan memperlihatkan bahwa pilar
segi empat = 0.0590 m, pilar ujung bulat =
0.0420 m dan pilar ujung segi tiga = 0.0500 m
dengan debit = 15.70 x 10
3
m
3
/dt . Debit =
16.90 x 10
3
m
3
/dt dengan kedalaman

22 Jurnal Teknik Hidro

gerusan untuk pilar ujung segi empat =
0.0790 m, pilar ujung bulat = 0.0620 dan pilar
ujung segi tiga = 0.0700 m.
Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa
persamaan Elliott dkk, lebih mendekati
dengan menggunakan pilar ujung segi empat,
pilar ujung bulat dan pilar ujung segitiga. Hasil
percobaan dan hasil hitungan dengan
menggunakan rumus empiris memperlihatkan
hasil yang tidak berbeda jauh dengan
percobaan ini menggunakan saluran tanah.
4.2. Saran
1. Dalam penelitian ini pengukuran tidak dapat
berlangsung sampai pada pengamatan kondisi
aliran yang seimbang (eqilibrium) karena
keterbarasan laboratorium. Baik dari segi alat
(pompa) dan sumber air. Penelitian ini
maksimum hanya berlangsung 12 jam. Olehnya
itu kamii menyarankan agar penelitian
selanjutnya lebih sempurna maka fasilitas
laboratorium yang ada perlu dilengkapi dan
ddibenahi lebih baik.
2. Angkutan sedimen dan kecepatan rata-rata
dalam penelitian ini belum mencapai kondisi
keseimbangan karena perubahan kecepatan
masih cukup besra untuk selang waktu yang
terjadi, hal ini berarti bahwa angkutan sedimen
masih akan terjadi.
3. Peneltian model saluran dan muara perlu di
kembangkan untuk mendapatkan pola
sedimentasi dan topografi dasar pada muara
yang menyebabkan pendangkalan.
4. Jika pada penelitian model saluran diinginkan
variasi debit untuk memperoleh variasi
kecepatan, maka sebaiknya model saluran
dibuatbeberapa yang sama. Karena kalau di
gunakan satu saluran saja untuk pemberian
debit yang berbeda maka akan sulit
mengembalikan keadaan saluran pada kondisi
awal.

DAFTAR PUSTAKA
Angraeni, (1997), Hidrolika Saluran Terbuka,
Citra Media, Surabaya.
Breusers H.N.C.,Nicollet.G. and Shen .H.W, 1977,
Local Scour Around Cylindrical Piers,
Journal of Hidroulics Research, IAHR
Vol.15 No.3.
Baker C.J, 1981, New Design Equation for Scour
Arcund Brigde Piers, Journal of Hydraulics
Division, ASCE Vol.107 No.HY 4 April.
Chow, Ven Te, E.V. Nensi Rosalina, (1997),
Hidrolika saluran terbuka, Erlangga,
Jakarta.
Gregory, K.J, (1977), River Channel Changes,
John Wileys and Son.
Jansen, P. Ph, Bendegon L. Van, (1979),
Principles of River Engineering, Pitman
Publiahing Ltd.
Oehadijono, (1993), Dasar-Dasar Teknik Sungai,
Universitas Hasanuddin.
Raju. R, Pangaribuan Y.P, (1986), Aliran Melalui
Saluran Terbuka (Terjemahan ), Erlangga,
Jakarta.
Soekarno Indratmo, Legowo, Sri, dkk, (1996),
Penggerusan Lokal di Sekitar Pilar
Jembatan dan Sistem Proteksinya, PIT XIII
HATHI, Medan.
Suprijanto, Heri, Priyantoro, Dwi, dkk, (2001), Uji
Model Fisik Dasar Bergerak Dengan Skala
Distorsi pada Bangunan Pilar dan Pangkal
Jembatan di Belokan Sungai, PIT XIII
HATHI, Malang.
Shen.H.W.V.R,Schneider and Karaki.S, 1966a,
Mechanies of Local Scour, Colarado State
University.
Triatmodjo, Bambang, (1996), Hidrolika I dan II,
Beta Offset, Yogyakarta.
Triatmodjo, Bambang, (1993), Mekanika
Fluida,Pusat Antar Universitas Ilmu
Teknik,UGM, Yogyakarta.
Yahi, M. Selin, (971), Theory of Hidraulic Models,
Mc. Millan Press Ltd.
Yuwono, Nur, (1994), Perencanaan Model
Hidraulik, Pusat Antar Universitas Ilmu
Teknik, UGM, Yogyakarta.










23 Jurnal Teknik Hidro

Analisa Angkutan Sedimen Sungai Bulu Timoreng
Kabupaten Sidrap

N e n n y

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah sedimen rate yang terangkut akibat
perilaku aliran sungai pada sungai Bulu Timoreng Kabupaten Sidrap.
Untuk menentukan besarnya angkutan sedimen pada periode tertentu digunakan beberapa
pendekatan. Untuk sedimen melayang (suspended load) digunakan pendekatan Lengkung Debit,
yakni hubungan antara debit air (Qw) dengan debit sediment melayang (Qs). Untuk Sedimen Dasar (
Bed Load), pendekatan yang digunakan adalah Meyer Peter & Muller dan Einstein .
Dari beberapa pendekatan yang digunakan untuk menghitung Suspended Load dan Bed Load yang
paling mendekati perhitungan yang berdasarkan data lapangan adalah Einstein.
Besarnya total angkutan sedimen selama 25 tahun adalah 2.643,96 ton, untuk susoended load
adalah 331,06 ton dan bed load adalah 2.312,9 ton. Besarnya angkutan sedimen yang terjadi tiap
tahun rata-rata 105,76 ton.


1. PENDAHULUAN
Sungai Bulu Timoreng terletak 36 meter
diatas permukaan laut tepatnya berada di
Desa Bulu Timoreng kecamatan Pancarijang
kabupaten Sidenreng Rappang atau lebih
dikenal dengan kota Sidrap, berjarak 45 km.
dari kota kabupaten, dan 160 km. kearah
utara dari kota makassar.
Secara garis besar tekstur dan kondisi
topografi daerah disekitar sungai Bulu
Timoreng bisa dikategorikan sebagai daerah
datar. Di daerah hulu dari pada sungai ini
memiliki kemiringan lereng 0.001 s/d 0.004.
Ketinggian topografi disekitar daerah ini
adalah 56 m
Secara fisiografi sungai Bulu Timoreng ini
masuk pada daerah pengaliran sungai (DPS)
Rappang. Sungai ini berhulu di kabupaten
Enrekang dengan nama sungai Salo karaja.
Sungai Karaja ini mengalir dari utara ke
selatan sampai melewati desa Bulu Timoreng,
kemudian bermuara pada sungai Rappang.
Panjang sungai utama dari desa Bulu
Timoreng sampai ke ujung hilir adalah 30
km. dengan lebar 10 m. Berdasarkan
klasifikasi sungai, maka sungai Bulu Timoreng
termasuk jenis sungai pegunungan,
mengingat sumber air atau daerah hulunya
mengalir dari celah-celah gunung. Karena
bentuk dari pada sungai tersebut bisa
dikatakan sejajar, maka sungai Bulu Timoreng
adalah sungai yang bertipe cabang pohon.
Sungai Bulu Timoreng merupakan salah
satu sungai yang memiliki potensi yang
sangat besar terhadap kebutuhan mahluk
hidup disekitarnya. Namun berdasarkan data
yang ada, sungai Bulu Timoreng termasuk
salah satu sungai yang membutuhkan
perawatan intensif. Dengan adanya beberapa
gejala yang muncul seperti pendangkalan di
bagian hilir serta terhambatnya pengaliran.
Dibagian hulu pada sungai Bulu Timoreng
akan terlihat kandungan sedimen yang cukup
tinggi, sehingga pada saat musim hujan tiba,
air yang mengalir menampakkan kekeruhan
dan terjadi endapan pada daerah hilirnya. Ini
mengakibatkan adanya tingkat produksi
volume sedimen yang cukup besar. Endapan
yang terbentuk tersebut menjadi lebih banyak
tertampung dan melebihi tinggi dataran
sekitarnya, sehingga mengakibatkan
pengaliran air pada suatu alur sungai
berpindah mencari dataran yang elevasinya
lebih rendah. Dengan demikian bentuk dari
dasar sungai, senantiasa berubah-ubah oleh
adanya proses sedimentasi sehingga
mengakibatkan sungai tidak berfungsi sesuai
dengan eksistensinya.
Dalam penulisan ini yang menjadi pokok
permasalah adalah membahas jumlah
sediment total yang terjadi pada setiap tahun
selama periode tertentu, yaitu untuk 25 tahun
ditinjau dari penampang sungai. Pendekatan
secara empiris yang digunakan adalah

24 Jurnal Teknik Hidro


dengan menggunakan beberapa metode
pendekatan, antara lain :
Untuk menghitung sediment melayang
menggunakan pendekatan lengkung debit,
yakni hubungan debit air (Qw) dengan debit
sediment melayang (Qs), harga Qs diperoleh
dari konsentrasi sediment (Cs) dari hasil
pengambilan contoh air di lapangan yang
telah dianalisa di laboratorium.
Untuk menghitung besarnya
sediment dasar pada sungai Bulu Timoreng
menngunakan dua pendekatan, yakni
pendekatan Meyer Peter Muller dan Einstein

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Erosi dan Sedimen
Tanah dapat tererosi, terlepas dari
lokasinya oleh aksi angina, air, gaya grafitasi
(tanah longsor) dan aktifitas manusia. Erosi
oleh air dapat dianggap dimulai oleh
pelepasan partikel-partikel tanah oleh
hempasan percikan air hujan. Energi kinetic
dari butiran air hujan yang jatuh dapat
memercikan partikel tanah ke udara. Pada
tanah yang datar, partikel-partikel tersebut
disebabkan lebih kurang secara merata
kesegala jurusan, tetapi pada tanah yang
miring terjadi suatu pengangkutan ke bawah
searah lereng. Apabila terjadi aliran
permukaan , sebahagian partikel-partikel
yang jatuh akan terbawa dalam air yang
mengalir dan bahkan bergerak lebih jauh ke
bawah sebelum berhenti di atas permukaan
tanah. Aliran permukaan bersifat laminar dan
tidak mampu untuk melepaskan partikel-
partikel tanah dari kesatuannya, tetapi dapat
menggerakkan partikel-partikel tanah yang
sudah terlepas di permukaan .
Sedimentasi adalah proses
pengendapan bahan-bahan yang terangkut
oleh air di alur sungai, waduk atau
bendungan, danau dan muara sungai sebagai
akibat terjadinya erosi yang berasal dari
berbagai pola penggunaan lahan dibagian
hulu DAS/sub DAS. Selain diakibatkan oleh
erosi, sedimentasi juga dipengaruhi oleh
kemiringan lereng, luas daerah tangkapan air,
jaringan sungai, dan ukuran bahan yang
terangkut. Sedimen dapat pula berasal dari
erosi yang terjadi pada luar sungai. Sedimen
terangkut oleh aliran sungai pada saat
debitnya meningkat dari bagian hulu dan
kemudian diendapkan pada alur sungai yang
landai atau pada alur sungai yang melebar,
ketika debitnya mengecildan kandungan
beban dalam aliran mengecil, maka sediment
yang mengendap tersebut secara berangsur-
angsur terbawa hanyut lagi dan dasar sungai
akan berangsur turun kembali.

2.2.Perhitungan Sedimen Melayang
Perhitungan sediment melayang
dengan metode lengkung debit, yaitu
pengambilan contoh air di lapangan kemudian
dianalisa di laboratorium untuk mengetahui
besarnya konsentrasi sediment yang
terangkut. Dari hasil analisa contoh air di
laboratorium , maka besarnya debit sediment
setiap hari dapat dihitung sebagai berikut :
Qs = Qw x C x k
Dimana : Qs = debit sediment (ton/hr.)
Qw = Debit air (m
3
/dt.)
C = Konsentrasi sediment (mg./ltr.)
k = Faktor konversi
Jika data air dalam m
3
/dt., berat 1 m
3

adalah 1 ton dan waktu yang diperlukan
adalah 24 jam, maka koefisien k dapat
ditentukan dengan persamaan sebagai
berikut :
0864 . 0
000 . 000 . 1
/ 1 det/ 000 . 86
3
= =
m ton hrx
k
Sedangkan kadar konsentrasi (C)
dapat diperoleh dengan mengendapkan
material yang terkandung dalam air atau
dengan cara menyaring, sehingga dengan
jalan ini konsentrasi dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
.) / ( 000 . 1 ) (
000 . 1
ltr ml a b
V
C =
Dimana : V = Volume sample sediment (gr)
a = Berat cawan berisi sediment (gr)
b = Berat cawan kosong (gr)
Sedangkan debit sungai rata-rata
dapat diketahui dengan membuat lengkung
debit yang merupakan grafik yang
menunjukkan hubungan antara debit sungai
(Qw) dengan tinggi muka air (H) pada lokasi
penampang sungai. Dalam grafik debit (Qw)
ditempatkan pada skala mendatar sedangkan
tinggi muka air (H) pada skala tegak.
Persamaan lengkung debit yang digunakan
adalah:
Qw = m . H
n

Dimana : Qw = debit air (m
3
/dt.)
H = Tinggi muka air (m)
m,n = Konstanta
Untuk menentukan besarnya
konstanta m dan n, maka persamaan tersebut
merupakan persamaan eksponensial diubah

25 Jurnal Teknik Hidro


menjadi persamaan linear dengan
transformasi logaritma sebagai berikut :
Log Qw = Log m + n Log H, jika dimisalkan
log Qw = Y ; log m = a ; N log H = bX
Maka persamaan menjadi Y = a + b X
Dimana konstanta a dan b dapat dihitung
dengan persamaan :

( )( ) { }
( )

=
n Xi Xi
n Yi Xi Yi Xi
b
/
/ .
2
2

X b Y a =
Dimana :
Xi = data X yang ke I ( Data Tinggi muka
air, H)
Yi = data Y yang ke I (Data Debit sungai,
Qw)
i = 1,2,3,.n
X =
n
Yi

, n = banyaknya data
Y =
n
Yi


Sedangkan tingkat hubungan antara
debit sediment dan debit (Qw) dapat
dinyatakan dengan koefisien korelasi yang
secara matematis menggambarkan
penyebaran titik-titik disekitar persamaan
tersebut, Koefisien korelasi dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut :

( ) ( )( ) { }
( ) { } | | ( ) { } | |


=
n Yi Yi n Xi Xi
n Yi Xi Yi Xi
r
/ /
/ .
2
2
2
2

Hubungan antara debit sediment dan
debit (Qw) mempunyai nilai korelasi
maksimum 1,0, semakin tinggi tingkat
hubungan itu maka koefisien korelasinya
mendekati 1.
Selanjutnya dibuat lengkung sediment
yang merupakan kurva hubungan antara debit
air (Qw) dengan debit sediment (Qs), secara
umum persamaan lengkung sediment sebagai
berikut :
Qs = m . Qw
n

Untuk menentukan besarnya
konstanta m dan n maka persamaan
eksponensial diubah menjadi persamaan
linear dengan transformasi logaritma dari
persamaan tersebut, sehingga :
Log Qs = Log m + n log Qw
Dimisalkan : log Qs = Y ;
Log m = a ; n log Qw = b X
Maka persamaan diubah menjadi Y = a + b
X
Persamaan tersebut merupakan persamaan
garis lurus sehingga konstanta a dan b dapat
dihitung dengan persamaan :

( )( ) { }
( )

=
n Xi Xi
n Yi Xi Yi Xi
b
/
/ .
2
2

X b Y a =
Dimana : Xi = data X yang ke I (data debit ,
Qw)
Yi = data Y yang ke I (data debit
sediment, Qs )
i = 1,2,3,.n
X =
n
Yi

, n = banyaknya data

Y =
n
Yi


Sedangkan tingkat hubungan antara debit
sediment dan debit sungai dapat dinyatakan
dengan koefisien korelasi yang secara
matematis menggambarkan penyebaran titik-
titik disekitar persamaan tersebut. Koefisien
korelasi dapat dihitung dengan persamaan
berikut :
( ) ( )( ) { }
( ) { } | | ( ) { } | |




=
n Yi Yi n Xi Xi
n Yi Xi Yi Xi
r
/ /
/ .
2
2
2
2

Hubungan antara debit sediment dengan
debit sungai ini mempunyai nilai korelasi
maksimum 1 dan semakin tinggi tingkat
hubungan itu maka koefisien korelasinya 1.

2.3.Perhitungan Sedimen Dasar
Perhitungan sediment dasar dengan menggunakan
Pendekatan MPM (Meyer Peter Muller)
( ) ( )
50
3 / 2
3 / 2
50
2 / 3
1
25 . 0 047 . 0
) / ' (
d
w s
qb
g
w
d w s
s n n wR

|
|
.
|

\
|
+ =



Dimana :
qb = Debit muatan sediment dasar (Kg/dt./m)
s w , = Berat jenis air dan partikel (kg/m
3
)
d
50
= Ukuran diameter butiran (mm)
g = Gaya grafitasi, 9.81 m/dt.
2

R = Jari-jari hidrolis (m)
n = Koef. Kekasaran untuk dasar rata
n = Koef. Kekasaran aktual


26 Jurnal Teknik Hidro


Intensitas aliran dihitung dengan rumus :

S
n
n
R
d
x
w
w s
2 / 3
50
'
|
.
|

\
|



Intesitas angkutan muatan sediment dasar

2 / 1
3
50
1
|
|
.
|

\
|

=
gd
x
w s
w
s
qb

|
Muatan sediment dasar per unit lebar :

2 / 1
3
50
1
|
|
.
|

\
|

=
gd
x
w s
w
s
qb

|
Debit muatan sediment dasar untuk seluruh
lebar dasar aliran :
Qb = qb x B
Dimana :
Qb = Debit muatan sediment dasar (kg/dt.)
B = Lebar dasar (m)

Perhitungan Sedimen Dasar dengan
pendekatan Einstein
Intesitas muatan sediment dasar :

2 / 1
3
1
|
|
.
|

\
|

=
gd
x
w s
w
s
qb

|


'
) (
SR
d
x
w s
w
f

=
R adalah jari-jari hidrolis yang menampung
muatan sediment dasar
S adalah kemiringan dasar sungai.

2 / 3
'
'
|
.
|

\
|
=
n
n
R R
Dari pendekatan Einstein

S
n
n
R
d
x
w
w s
2 / 3
'
35
|
.
|

\
|




3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1.Menentukan Hubungan Tinggi Muka Air
dengan Debit Air
Sebelum membuat lengkung debit, terlebih
dahulu ditarik garis lurus yang menunjukkan
hubungan antara tinggi muka air (H) dengan debit
air (Qw) yang digambarkan pada grafik logaritma.
Dalam membuat lengkung debit digunakan
persamaan Qw = a(H)
b
yang kemudian diubah
menjadi persamaan linear dengan transformasi
logaritma sebagai berikut : Log Qw = Log a + b
Log H ; Log Qw = Y, Log a = a, b Log H = bX
Dari persamaan diatas dapat diubah menjadi
persamaan garis lurus, yaitu :
X b a Y + = ;
n
Xi
X

= ;
n
Yi
Y

=
076 . 0
156
997 . 11
=

= =

n
Yi
Y

Konstanta a dan b dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :

( )( ) { }
( )

=
n Xi Xi
n Yi Xi Yi Xi
b
/
/ .
2
2
=
( )( ) { }
( )
208 . 1
156 / 900 . 30 815 . 9
156 / 997 . 11 900 . 30 839 . 6
2
=



Jadi
a = ( ) 162 . 0 198 . 0 208 . 1 076 . 0 = = X b Y
Maka konstanta a dan b dimasukkan dalam
persamaan berikut :
Log Qw = 0.162 + 1.208.H
Qw = 1.453 (H)
1.208

Untuk mengetahui rumus empiris diatas apakah
mendekati kebenaran, maka dicari nilai korelasi (r)
, sebagai berikut :
( ) ( )( ) { }
( ) { } | | ( ) { } | |




=
n Yi Yi n Xi Xi
n Yi Xi Yi Xi
r
/ /
/ .
2
2
2
2

( )( ) { }
( ) { } | | ( ) { } | |
925 . 0
156 / 997 . 11 866 . 27 156 / 900 . 30 815 . 9
156 / 997 . 11 900 . 30 839 . 6
2 2
=


= r

Dari hasil perhitungan lengkung debit
dengan analisa regresi linear dibuatkan grafik
hubungan debit sungai (Qw) dgn tinggi muka air
(H)
3.2.Perhitungan Debit Rata-Rata Bulanan
Untuk menghitung debit rata-rata
bulanan sungai Bulu Timoreng digunakan data
tinggi muka air yang tercatat dari tahun 1980
2004, dan besarnya debit rata-rata bulanan
dihitung dengan persamaan : Qw = 1.453(H)
1.208

Hasil perhitungan debit rata-rata bulanan
dapat dilihat pada table dibawah ini.
3.3.Menentukan Hubungan Debit Sungai
dengan Debit Sedimen
Dari hasil analisa contoh air di
laboratorium, maka besarnya debit sediment
melayang dapat diketahui dengan menggunakan
persamaan : Qs = Qw x C x K

27 Jurnal Teknik Hidro


Perhitungan debit sediment : Qw = 0.34 m
3
/dt. ;
C = 41 mg/lt.
Qs = 0.34 x 41 x 0.0864 = 1,204 ton/hr.
Dari hasil perhitungan dibuat hubungan antara
debit sungai (Qw) dengan debit sediment
melayang (Qs) dengan menggunakan persamaan
lengkung sediment yang merupakan persamaan
eksponensial : Qs = m . Qw
n

Diubah menjadi persamaan linear :
Log Qs = Log m + n Log Qw
Dari persamaan diatas diubah menjadi persamaan
garis lurus, yaitu :
022 . 0
61
364 . 1
=

= =

n
Xi
X ;
479 . 0
61
234 . 29
= = =

n
Yi
Y
Konstanta a dan b dapat dihitung dengan
persamaan :

( )( ) { }
( )

=
n Xi Xi
n Yi Xi Yi Xi
b
/
/ .
2
2

=
( )( ) { }
( ) 61 / 364 . 1 166 . 16
61 / 542 . 28 364 . 1 316 . 21
2


= 1.361
Jadi
a = 509 . 0 ) 022 . 0 ( 361 . 1 479 . 0 . = = = X b Y
Maka konstanta a dan b dimasukkan dalam
persamaan :
Log Qs = 0.51124 + 1.361 Qw
---Qs = 3.231 (Qw)
1.361

Untuk mengetahui rumus empiris apakah
mendekati kebenaran, maka terlebih dahulu dicari
nilai korelasi (r) dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
( ) ( )( ) { }
( ) { } | | ( ) { } | |




=
n Yi Yi n Xi Xi
n Yi Xi Yi Xi
r
/ /
/ .
2
2
2
2
= 954 . 0
180 . 24
080 . 23
=
Perhitungan lengkung sediment dengan analisa
regresi linear dapat dilihat pada table 1.dibawah ini
Grafik Hub. Sedimen Melayang (Qs) dengan debit
sungai (Qw) Hasil Analisa Regresi Tahun 1980-2004.

3.5.Perhitungan sediment dasar (bed Load)
dengan Pendekatan Meyer Peter dan Muller
2 / 1 3 / 2
1
S R
n
V = ;
2 / 1 3 / 2
) 0000346 . 0 ( ) 233 . 0 (
1
220 . 0
n
= ; n =
0.0197
Kekasaran dasar alur sungai (n) :
26
) (
'
6 / 1
90
D
n = ; 0157 . 0
26
) 7 . 4 (
'
6 / 1
= = n
= -556.27 ; = 0.086
Tabel 1. Perhitungan Debit Sedimen Melayang
(Qs) Tahunan
No Tahun Sedimen Melayang (Qs)
(ton.Thn.)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
24.76
24.66
16.10
29.34
24.42
14.58
20.79
14.06
17.01
13.72
9.14
12.31
2.58
5.47
3.60
10.17
5.13
5.21
23.01
4.58
4.13
7.97
10.86
8.76
18.69
Total 331.06
Rata2 13.24

Untuk menghitung muatan sediment dasar
persatuan lebar adalah :
2 / 1
9
10 0032 . 0 81 . 9
1
1000 2650
1000
65 . 2
086 . 0
|
.
|

\
|

=
x x
x
qb
; qb = 0.000166 kg/dt./m
Laju sediment dasar pada penampang sungai tahun
1980
Qb = qb x B = 0.000166 x 14.00 = 0.002 kg/dt./m
= 23.10-6 ton/dt.
Untuk perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada
table di bawah ini.



28 Jurnal Teknik Hidro


Perhitungan Sedimen Dasar dengan
Pendekatan Einstein

0 . 5
10 3 ) 983 . 0 ( 233 . 0
10 90 . 2
1000
1000 2650
4 2 / 3
3
=

x
x
x

Dari grafik Einstein, hubungan antara dan
adalah = 0.0900, dengan demikian debit muatan
sediment dasar per unit lebar adalah : qb =
0.000135.
Debit sediment dasar seluruh penampang adalah :
Qb = qb x B = 0.000135 x 14.00 = 189 x
10
-6
t/dt.
Untuk tahun selanjutnya dapat dilihat pada table 2
hasil perhitungan sediment dasar dengan
pendekatan Einstein.
Tabel2. Hasil perhitungan Angkutan Sedimen
Total
No Metode Total Sedimen
Melayang
(ton)
1 Lengkung Debit
(data pengukuran
Langsung)

331.06

Pendekatan Total Sedimen
Dasar (ton)
1 Mayer-Peter dan
Muller
1621.9
2 Einstein 2312.9

Besarnya angkutan sediment total sungai Bulu
Timoreng Kabupaten Sidrap selama 25 tahun
adalah : Qs + Qd = 331.06 ton + 2312.9 ton =
2643.96 ton, sedangkan pertahunnya adalah
105.76 ton.

4. Kesimpulan
Berdasarkan uraian permasalahan dan hasil
perhitungan yang telah dilakukan, maka untuk
analisa angkutan sediment di daerah pengaliran
sungai Bulu Timoreng dapat disimpulkan beberapa
hal, antara lain :
1. Dari beberapa metode yang digunakan dalam
perhitungan sediment pada sungai Bulu
Timoreng kabupaten Sidrap, metode yang
mendekati dengan data lapangan adalah
metode Einstein.
2. Jumlah angkutan sediment total yang terjadi
pada sungai Bulu Timoreng selama 25 tahun
adalah sebesar 2643.96 ton, yang terdiri dari
jumlah angkutan sediment melayang sebesar
331.06 ton dan angkutan sediment dasar
sebesar 2312.9 ton. Besarnya angkutan
sediment yang terjadi tiap tahun adalah
105.76 ton.
3. Terjadinya erosi secara bertahap merupakan
factor utama penyebab adanya adanya proses
sedimentasi, sehingga tanah yang labil akan
menimbulkan gejala longsoran secara
berangsur-angsur pula.

5. DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengolahan
Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Kartasapoetra, G.Ir. dan Mulmulyani Sutedjo,Ir.
1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air,
Edisi ke-2. Bina Aksara. Jakarta.
Marthe, Joyce W,Ir.1982 Mengenal Dasar-Dasar
Hidrologi, Nova. Bandung.
Mardjikoem,Pragnjono, Ir.Prof. 1987. Angkutan
Sedimen. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Soewarno, 1991. Hidrologi Pengukuran dan
Pengolahan Data Aliran Sungai.
Nova,Bandung.
Sosrodarsono,Suyono,Ir.Dr.1984. Perbaikan dan
Pengaturan Sungai, PT.Pradya Masateru
Tominaga Paramita. Jakarta.
Sosrodarsono,Suyono,Ir.Dr.1984. Hidrologi untuk
Pengairan, PT. Prandya Kensaku Takeda
Paramita. Jakarta.
Soemarto,C.D.Ir. 1989. Hidrologi Teknik, Usaha
Nasional. Jakarta.
Soemarto,C.D.Ir.1995.Hidrologi Teknik, Edisi ke-
2, Erlangga,Jakarta.
Yang,Chid Ted,1996. Sediment Transport
(Theory and Practice), International
Edition.








29 Jurnal Teknik Hidro


Analisis Kualitas Air Baku IPA V Somba Opu
Pasca Longsor

ABSTRAK

Arsyuni Ali Mustary : Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan air
pada prasarana pengolahan air, khususnya pengolahan air baku yang dibatasi pada tingkat kualitas air baku,
faktor-faktor yang mempengaruhi sedimentasi dan dampaknya terhadap kualitas air baku.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian explanatori yang membandingkan data-data
sebelum longsor dan sesudah longsor. Analisis laboratorium (Balai Laboratorium Kesehatan, BLK) Prop. Sul-
Sel.
Hasilnya menunjukkan bahwa penurunan kualitas air baku pasca longsor diakibatkan oleh volume
sediment yang tertahan pada bendungan dan distribusi sedimen layang (suspended solid) yang masuk ke
intake IPA. Volume sediment yang tertampung pada waduk sebelum longsor (1997-2004) 21,580,000 m
3

dengan tingkat kekeruhan rata-rata 21,103 NTU, sedangkan pasca longsor (2004-2005) volumenya mencapai
23,770,000 m
3
dengan tingkat kekeruhan rata-rata, 1213,9 NTU, Penanganan yang dilakukan oleh pihak-pihak
terkait baik yang bersifat teknis maupun non teknis sehingga dapat mengurangi laju sedimentasi masuk ke
bendungan, dengan harapan dari penanganan ini bisa mengembalikan laju sedimentasi seperti sebelum longsor
pada kisaran 3,082,857 m
3
/tahun, dengan demikian pengolahan air bakupun dapat dilakukan dengan metode
yang lebih murah.
Kata Kunci : Air Baku, Sedimen, Kualitas Air


I. Latar Belakang

Bencana longsor yang terjadi di Gunung
Bawakaraeng yang merupakan peristiwa longsor
yang berskala besar dan dikategorikan sebagai
bencana Nasional dan dunia, menyisakan berbagai
permasalahan pelik yang tak mudah dipecahkan.
Visualisasi udara menunjukkan bahwa kondisi
hulu Jeneberang pasca longsor menunjukkan
kisaran material longsor yang menutupi salah satu
hulu Jeneberang sepanjang 8 km. Diperkirakan
endapan lumpur pada lembah tersebut mencapai
ketebalan 100 200 m dengan lebar 400 m dan
volume longsor diperkirakan 230 300 juta m
3

(Induk Pelaksana Keg. Praswil S. Jeneberang
Dep. PU).
Peristiwa longsor Bawakaraeng ini
banyak menimbulkan kerusakan pada sejumlah
infrastruktur bahkan implikasi longsoran tersebut
berpotensi menimbulkan masalah serius
berkelanjutan yang antara lain ; yang langsung
dirasakan oleh masyarakat adalah menurunnya
kualitas dan kuantitas air baku yang sangat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air bersih
yang di konsumsi masyarakat pengguna air.
Pengaruh kualitas dan kuantitas air baku
pada sebuah Waduk sangat terkait dengan
keadaan di daerah hulu sungai sebagai sumber air
baku. Kejadian longsor Bawakaraeng pada hulu
sungai Jeneberang juga sudah memperlihatkan
pengaruhnya yang semakin serius, bahkan sudah
sangat mempengaruhi kinerja dan fungsi-fungsi
utama Bendungan Bili-bili itu sendiri. Bendungan
Bili-bili yang fungsi utamanya adalah
menampung air sebagai pasokan air baku untuk
berbagai tujuan, tentunya sudah semakin menurun
kualitas dan kuantitasnya akibat terbawanya dan
terendapnya sediment pada tubuh bendungan
yang sudah tidak terkendali lagi pasca longsor
Bawakaraeng, diperkirakan volume sedimen
sampai tahun 2004 sudah mencapai 21 juta m
3


30 Jurnal Teknik Hidro

dari volume tampungan mati (Dead Storage) yang
direncanakan 29 Juta m
3
dengan alokasi air baku
rencana sebesar 35 juta m
3
(Induk Pelaksana
Kegiatan Praswil Sungai Jeneberang Dep. PU).
IPA V Somba Opu yang merupakan
Instalasi Pengolahan Air Minum yang dimiliki
Kota Makassar adalah instalasi pengolahan air
minum yang mengambil air baku (intake) dari
bendungan Bili-bili, IPA ini dibangun pada tahun
2000 berlokasi di Batangkaluku Kabupaten Gowa
untuk memenuhi kebutuhan air bersih Kota
Makassar yang meningkat dari tahun ketahun.
Pada tulisan ini di kemukakan analisis
kualitas air baku yang diolah oleh IPA V Somba
Opu dari Bendungan Bili-bili pasca longsor,
dengan membandingkan kualitas dan kuantitas air
baku sebelum longsor dan pasca longsor,
selanjutnya dianalisis lagi sejauh mana tingkat
kerusakan kualitas air baku pasca longsor. Untuk
itu beberapa penelitian dilakukan, dengan
mengumpulkan dan mengadakan percobaan-
percobaan hasil pengujian air baku pasca longsor
untuk mengetahui tingkat kualitas air baku air
baku IPA V SombaOpu.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka
rumusan masalahnya adalah:
1. Seberapa rendah kualitas air baku
Bendungan Bilibili sebagai sumber air baku
IPA V SombaOpu pasca longsor?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi
kualitas air baku pasca longsor?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis tingkat kualitas air baku
Bendungan Bilibili sebagai sumber air
baku IPA V SombaOpu pasca longsor.
2. Mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas air baku pasca
longsor.

4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari
hasil penelitian ini antara lain adalah :
1. Sebagai suatu upaya mengetahui kualitas
air baku PDAM IPA V Somba Opu.
2. Sebagai bahan informasi bagi PDAM
dalam pengelolaan air baku.
3. Sebagai bahan informasi bagi
stakeholder dalam upaya penanganan
dampak longsor terhadap kualitas air
baku.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Peranan Air
Air merupakan komponen lingkungan
yang sangat penting bagi kehidupan manusia,
maupun mahluk hidup lainnya, tanpa air manusia
tidak bisa hidup bahkan kehidupan di dunia tidak
dapat berlangsung. Namun demikian air dapat
menjadi malapetaka bilamana tidak tersedia dalam
kondisi yang benar baik dalam segi kuantitas
maupun kualitas (Achmadi, 2001).
Air memiliki berbagai fungsi yang
berkaitan dengan kebutuhan manusia, baik untuk

31 Jurnal Teknik Hidro

keperluan sehari-hari maupun untuk proses
produksi. Dalam lingkup kehidupan manusia
peranan air mencakup tiga hal yang berkaitan
dengan kesehatan manusia, yaitu konsumsi
minimal untuk kelangsungan hidup secara fisik,
kesehatan dan kenyamanan. Bila kepentingan
untuk fisik dan kesehatan terpenuhi, maka fungsi
untuk peningkatan kenyamanan tumbuh sejalan
dengan cara hidup.

1. Sumber Air Baku
Air baku adalah air yang dapat berasal
dari sumber air permukaan, cekungan air tanah
atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu
sebagai air baku untuk air minum (P.P RI.No.16
Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum).
Sumber-sumber air baku dapat beasal dari
mata air, sumber air permukaan (yang antara lain
dari sungai, danau, bendungan/ waduk dan lain-
lain), atau air dalam tanah (Departemen
Pekerjaan Umum, 1998).
Sumber Air Permukaan yang merupakan sumber
air terbanyak digunakan di Indonesia, yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain sungai,
danau, waduk dan lain-lain. Air permukaan ini
pada umumnya mengandung benda-benda
melayang (suspended) dan larutan-larutan yang
pada umumnya sudah tercemar. Dengan demikian
maka air baku yang berasal dari permukaan,
sebelum dipergunakan sebagai air minum terlebih
dahulu harus melalui tahap pengolahan secara
lengkap.
Air permukaan yang berasal dari sungai
dapat mengalir terus sepanjang tahun atau
ditampung pada musim hujan kemudian
digunakan pada musim kering. Air yang berasal
dari kolam atau danau mempunyai kualitas yang
lebih baik dibandingkan dengan air yang berasal
dari sungai. Hal ini disebabkan karena secara
alamiah kotoran didalam air tersebut sudah
mengendap. Tergantung pada keadaannya, air
dapat diambil pada bagian yang lebih dalam,
dimana suhu air rata-rata rendah dan plankton
yang hidup lebih jarang.
Berdasarkan Persyaratan Teknis
Perencanaan Air Minum Perkotaan, (NSPM
Kimpraswil 2002),potensi jenis sumber air yang
dapat dimanfaatkan ditinjau dari segi kemudahan
mendapatkannya atas dasar pertimbangan
terhadap :
a. Pengolahan yang ekonomis
b. Kontinuitas yang tidak ekstrim
sehingga kebutuhan air baku tetap
dapat dipenuhi pada musim kemarau
(surut)
c. Jarak yang ekonomis, sumber air
berada pada jarak yang tidak
menyulitkan untuk dijangkau.
d. Urutan prioritas alternative sumber air
adalah :1) mata air, 2) air tanah, 3) air
danau, 4) air sungai dan 5) air hujan.

2. Pemeriksaan Air
Benda-benda yang terdapat dan larut di
dalam air dapat diketahui dengan melakukan

32 Jurnal Teknik Hidro

pemeriksaan terhadap air tersebut. Pemeriksaan
air ini bukan saja dilakukan pada air baku tetapi
juga untuk air yang sudah dijernihkan. Dengan
pemeriksaan pada air baku maka dapatlah
ditentukan proses apa saja yang diperlukan untuk
menjernihkan air tersebut. Sebaliknya pada air
yang sudah dijernihkan, dengan adanya
pemeriksaan tersebut dapat diyakini apakah
proses yang dikehendaki sudah berlangsung
dengan sempurna atau belum. Secara garis besar,
pemeriksaan air dimaksudkan untuk :
a. Memeriksa besarnya kandungan mineral
didalam air
b. Menetapkan tingkat kejernihan air dan
dengan demikian dapatlah diketahui sumber
atau penyebab kekeruhan
c. Menetapkan tingkat pencemaran baik
kimiawi maupun bakteriologi
d. Menetapkan zat-zat yang mengakibatkan rasa
air tidak normal
e. Menetapkan kotoran-kotoran berbentuk zat
organik
Pemeriksaan air dibagi dalam tiga kategori,
masing-masing :
a. Pemeriksaan Fisika, meliputi; pemeriksaan
suhu, warna, bau dan kekeruhan
b. pemeriksaan Kimia, meliputi; jumlah zat
padat (total Solid), klorida, kesadahan,
derajat keasaman (pH) logam dan subtansi
kimia, nitrogen dan bagian-bagiannya.
c. Pemeriksaan Mikrobiologi, meliputi ;
pemeriksaan bakteriologi dan biologik.

3. Sistem Produksi Instalasi Pengolahan Air
(IPA)
Sistem produksi adalah suatu bagian
sistem air bersih yang berfungsi untuk
pengambilan air baku dan memproduksi air bersih
melalui suatu sistem pengolahan sehingga
memenuhi kriteria yang ditetapkan (kualitas dan
kuantitasnya). Adapun komponen-komponen dari
unit produksi terdiri dari bangunan pengambilan
air baku, transmisi air baku, bangunan
pengolahan, bangunan mekanikal dan elektrikal,
transmisi air bersih dan reservoir.
Instalasi pengolahan air khususnya untuk
perpipaan sangat tergantung dari sumber air
tersedia yang akan diolah sebagai air minum
namun secara umum instalasi pengolahan air
perpipaan dapat dibagi dua yaitu :
a. Pengolahan lengkap (full treatment)
Untuk unit pengolahan lengkap dapat
diuraikan menjadi beberapa komponen sebagai
berikut :
a. Komponen pengambilan/ pengumpul ; Pada
tahap ini termasuk di dalamnya bangunan
intake, saluran dan sistem pemompaan
intake.
b. Komponen penjernihan air ;Proses
penjernihan air antaranya adalah pre-
sedimentasi, koagulasi dan flokulasi,
sedimentasi dan filtrasi.
c. Komponen pengangkut; Pada tahap ini
termasuk diantaranya pipa transmisi dengan
saluran terbuka atau tertutup.

33 Jurnal Teknik Hidro

d. Kompopnen distribusi; Yang termasuk di
dalam komponen ini adalah sistem
pencabangan sambungan rumah, valve,
meter.
e. Komponen pelayanan, diantaranya adalah
sistem percabangan sambungan rumah, gate
valve dan meter air.
Secara rinci bangunan unit pengolahan ini
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Bangunan Pengambilan Air Baku; Bangunan
ini dibangun untuk menyadap air baku, yang
berasal dari sumber air sebagai bahan baku
untuk keperluan air bersih. Bentuk dan jenis
pengambilan air baku bervariasi, tergantung
dari jenis air baku yang diserap.
b. Pipa transmisi Air Baku; Pipa transmisi air
baku dalah pipa yang dipergunakan untuk
mengalirkan air baku dari bangunan
pengambilan ke unit pengolahan. Sistem
pengaliran air pada pipa ini dapat dilakukan
secara gravitasi jika kondisi topografi
memungkinkan, tetapi biasa juga dengan
sistem pemompaan bila tinggi pada lokasi
unit pengolahan lebih tinggi dari pada elevasi
lokasi bangunan pengambilan air baku.
c. Bak Pengendap; Bak pengendap dibutuhkan
jika tingkat kekeruhan air sangat tinggi,
banyak mengandung lumpur dan pasir dan
kandungan partikelnya lebih besar dari 30
gram/ lt. Penempatannya sebelum proses
koagulan.
d. Bangunan Pengolahan; Bangunan
pengolahan air adalah bangunan yang
mengolah air baku menjadi air minum atau
air bersih. Bentuk dan jenis bangunan
pengolahan ini juga bervariasi tergantung
pada kapasitas air serta sistem
pengolahannya.
e. Koagulasi dan Flukator; Koagulasi dan
flukator dibutuhkan apabila air baku tidak
lunak (sadah), banyak mengandung besi dab
mangan, kekeruhan yang tinggi (koloid),
alkali tinggi dan kandungan organik tinggi.
Umumnya pembubuhan koagulan dilakukan
pada aliran turbulensi.
f. Bak Sedimentasi; Merupakan bangunan
untuk menghilangkan partikel-partikel
pengeruh dengan cara pengendapan. Untuk
dimensi dan jumlah bak sedimentasi
diperhitungkan berdasarkan hasil tes
laboratorium terhadap kemampuan dan
kecepatan mengendap dari flok-flok yang
terbentuk. Penempatannya antara flokulator
dan filter.
g. Filter; Adalah bangunan atau sarana untuk
menghilangkan partikel-partikel pengeruh
dalam air dengan cara penyaringan.
Merupakan system pengolahan yang lengkap
dan paket dimana jenis filternya tergantung
pada jenis dan pengolahan serta kandungan
partikelnya.
h. Reservoir Air Bersih; Reservoir yaitu
bangunan penampung air yang telah diolah di
instalasi pengolahan air yang berfungsi untuk
menyeimbangkan antara debit produksi dan
debit pemakaian air yang berfluktuasi selama

34 Jurnal Teknik Hidro

24 jam. Reservoir terdiri dari dua bentuk
yaitu reservoir bahan tanah (ground
reservoir) dan menara air (elevated tank).
b. Pengolahan tidak lengkap (partial treatment)
Pengolahan tidak lengkap adalah
pengolahan air dengan fungsi tertentu saja,
misalnya;
a. Pengolahan air untuk menghilangkan kadar
besi dan mangan
b. Pengolahan air untuk menurunkan kesadahan
c. Pengolahan air untuk menghilangkan warna
Metode-metode yang digunakan untuk
pengolahan air berkaitan dengan pencemaran-
pencemaran yang ada dalam persediaan air
tertentu. Pencemaran-pencemaran utama yang
paling diperhatikan yang ada hubungannya
dengan faktor estetika dan kesehatan (Lindley,
1979) adalah :
1) bakteri patogen,
2) kekeruhan dan bahan-bahan terapung,
3) warna,
4) rasa dan bau,
5) senyawa-senyawa organik,
6) kesadahan

B. Parameter Kualitas Air Baku
Parameter kualitas Air Baku merujuk
pada Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
hidup, Pencemaran Lingkungan yang diartikan
sebagai masuknya atau dimasukkannya mahluk
hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan dan/atau berubahnya tatanan
lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh
proses alam sehingga kualitas lingkungan turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan menjadi kurang/ tidak berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukannya.
Baku Mutu lingkungan diartikan sebagai
batas atau kadar makhluk hidup, zat energi atau
komponen lain yang ada atau harus ada dan /atau
unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam
lingkungan tertentu sesuai dengan
peruntukkannya. Berdasarkan pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa Baku Mutu Lingkungan
merupakan tolok ukur acuan penilaian kesesuaian
lingkungan dengan peruntukkannya serta sebagai
acuan pengawasan masuknya bahan pencemar ke
dalam lingkungan.
Didalam pengolahan lingkungan keairan telah
ditetapkan Baku Mutu Sumber Air ditetapkan oleh
Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001
tentang Standar Kualitas Air Nasional untuk
Manajemen Kualitas Air (National water Quality
Standard for Water Quality Management).
Baku Mutu Sumber Air merupakan karakteristik
kualitas air yang disyaratkan bagi sumber air
(sungai, saluran dan danau/waduk) yang disusun
dengan mempertimbangkan pemanfaatan sumber
air tersebut, kemampuan mengencerkan dan
membersihkan diri terhadap beban pencemar (self
purification) dan faktor ekonomis.
Baku Mutu Sumber Air dituangkan pada
Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian
Pencemaran Air secara nasional ditetapkan pada
Tahun 1990 melalui Peraturan Pemerintah No. 20
tentang Pengendalian Pencemaran Air. Pada pasal

35 Jurnal Teknik Hidro

7 PP 20 Tahun 1990 tersebut penggolongan air
menurut peruntukannya ditetapkan sebagi berikut:
a. Gol A : Air yang dapat digunakan sebagai air
minum secara langsung tanpa
pengolahan terlebih dahulu.
b. Gol B : Air yang dapat digunakan sebagai air
baku air minum melalui suatu
pengolahan.
c. Gol C : Air yang dapat digunakan untuk
keperluan perikanan dan peternakan.
d. GolD : Air yang dapat dipergunakan untuk
keperluan pertanian, dan dapat
dimanfaatkan untuk perkotaan,
industri, pembangkit listrik tenaga
air.
Penerapan Baku Mutu Air di daerah
dilaksanakan berdasarkan Keputusan Gubernur
Kepala Daerah setempat dengan mengacu kepada
peraturan yang ada di tingkat nasional dan
sektoral. Beberapa Baku Mutu Sumber Air
diterapkan di daerah. Selanjutnya Pemerintah
Daerah menetapkan peruntukan sumber air di
wilayah masing-masing sesuai dengan
pemanfaatannya. Baku Mutu Sumber Air yang
telah ditetapkan peruntukannya pada dasarnya
mengikuti kriteria kualitas air pada PP 20 Tahun
1990, yang dibagi menjadi 4 (empat) golongan A,
B, C dan D menurut pemanfaatannya seperti telah
dijelaskan diatas.

2. METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
yang bersifat deskriptif kualitatif didasarkan
pada data kualitatif dan kuantitatif. Penelitian
dilakukan melalui survei dan observasi yang
dilanjutkan dengan analisis dan interpretasi.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi pertama penelitian ini
dilaksanakan di Bendungan BiliBili
Kabupaten Gowa, dan Lokasi PDAM, IPA V
Somba Opu, tepatnya di , Kelurahan
ParangLoe Kecamatan Bontomarannu
Kabupaten Gowa dan lokasi kedua Kelurahan
Batangkaluku, Kecamatan Somba Opu,
Kabupaten Gowa provensi Sulawesi Selatan,
waktu penelitian akan dilaksanakan selama
dua bulan.

3.3. Jenis dan Sumber Data
Data primer diperoleh dari observasi
dan eksperimen. Data diperoleh melalui
pencatatan dan pengamatan fenomena yang
diselidiki baik pada variabel murni maupun
variabel dengan perlakuan tertentu.
Data sekunder merupakan data tentang
kualitas air di intake bendungan maupun
pengolahan air baku diolah dari historical data
sebelum Longsor sejak tahun 2002 sampai
dengan sesudah longsor Mei 2006 dari Unit
PWS Jeneberang PU Wilayah dan dari
perusahaan pengolahan air minum (PDAM
Kota Makassar).
Data pendukung lainnya adalah data
distribusi sedimen layang pada Bendungan
Bili-bili pasca longsor dan dari bahan pustaka,
informan (key person), maupun instansi
terkait untuk melengkapi data yang tersedia.

3.4. Teknik Pengumpulan
Data
Ditinjau dari cara pengumpulan data,
teknik pengumpulan data bervariasi sesuai
sifat data yang dikehendaki sehingga dalam
pelaksanaannya dapat dilakukan satu atau dua
metode sekaligus (Arikunto, 1998: dan
marzuki, 2000). Teknik pengumpulan data
yang dipergunakan pada penelitian ini terdiri
atas:

36 Jurnal Teknik Hidro

1. Metode observasi, pengamatan,
pengetesan, dan pengukuran dilakukan
baik dilapangan maupun laboratorium
terhadap obyek penelitian untuk
memperoleh data kualitas air baku.
2. Metode dokumentasi digunakan untuk
memperoleh data tertulis atau data gambar
menyangkut keadaan bendungan Bili-bili
dan IPA V SombaOpu. Instrumen yang
digunakan adalah daftar periksa (check
list) berupa variabel yang akan
dikumpulkan datanya.
3. Metode wawancara dilakukan dengan
informan penelitian (key persons) untuk
melengkapi data dan keterangan data yang
dibutuhkan instrumen yang digunakan
adalah pedoman wawancara (interview
guide) yang telah disusun dalam
pertanyaan penelitian (reseach questions).

3.5. Populasi dan Sampel
Berdasarkan wilayah sumber data
sebagai subjek penelitian maka penelitian
yang dilakukan merupakan kombinasi antara
penelitian populasi dan penelitian sampel
(Marzuki, 1998).
Untuk rumusan masalah pertama
populasi penelitian adalah air baku yang akan
masuk ke intake IPA V Somba Opu (data
kualitas) dan sampelnya adalah air yang
diambil secara sengaja (purposing sampling)
untuk mengetahui kualitas air baku sebelum
masuk ke pengolahan, selain itu populasi
penelitian juga diperoleh dari data-data
kualitas air yang diolah pada laboratorium
IPA V Somba Opu antara tahun 2001 sampai
tahun 2006. Untuk data penunjang adalah
data-data hasil produksi dan data distribusi
sedimen layang pasca longsor, populasi
penelitian dari hasil produksi adalah data-data
produksi air baku PDAM Kota Makassar dari
tahun 2001 sampai 2006 dan sampelnya
adalah data produksi air baku sebelum
longsor yaitu data tahun 2003 dan sesudah
longsor yaitu data tahun 2004 sampai 2006
pada IPA V Somba Opu.
Populasi penelitian untuk rumusan
masalah kedua adalah data kekeruhan air baku
setelah kejadian longsor tahun 2004 sampai
2006, sampel diambil dari data kekeruhan
maksimum setelah longsor dan data
kekeruhan air baku setelah diadakan
penanganan Wilayah Sungai jeneberang
antara tahun 2005-2006.

3.6. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh yang terdiri dari
time series data atau historical data dan cross
section data dari analisis laboratorium
dianalisis sesuai dengan jenis/ kelompok data
yang diperoleh.
Analisis dari rumusan masalah yang
pertama dan kedua dimana data yang
diperoleh merupakan hasil observasi,
interview dan data sekunder, pendekatan
analisis dilakukan dengan metode induktif
yang bertitik tolak dari data tersebut diadakan
analisis optimasi berdasarkan opsi
penanganan sedimen pasca longsor dan
pengaruhnya terhadap kualitas air baku,
sehingga diperoleh kesimpulan metode
penanganan yang efektif untuk meningkatkan
kualitas air baku IPA V Somba Opu.

3.7. Defenisi Operasional
Defenisi operasional disusun sebagai
pengarahan penelitian sehingga dapat
dilaksanakan secara sistematik dan terarah
sekaligus sebagai batasan aspek penelitian
berdasarkan rumusan masalah, maka disusun
penjelasan konsep defenisi operasional
sebagai berikut:
1. Kapasitas waduk adalah daya tampung
waduk/ bendungan yang diukur
berdasarkan volume total waduk
dikurangi volume total sedimen pada
ukuran rasio m
3
/tahun.
2. Endapan sedimen merupakan tampungan
sedimen yang terdapat pada

37 Jurnal Teknik Hidro

waduk/bendungan pada ukuran rasio
m
3
/tahun.
3. Kualitas Air Baku adalah kondisi air
baku sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No. 20 tentang Pengendalian Pencemaran
Air. Pada pasal 7 PP 20 Tahun 1990
tersebut penggolongan air menurut
peruntukannya
4. Pemeriksaan Fisika, meliputi;
pemeriksaan suhu, warna, bau, jumlah zat
terlarut dan kekeruhan pada ukuran rasio
o
C, TCU (True Colour Units), tidak
berbau/ berbau, mg/l dan NTU
(Nephelometrik Turbidity Units).
5. Pemeriksaan Kimia, meliputi 3 bagian
yaitu; kimia anorganik, organik,
Mikrobiologik dan radio aktivitas pada
ukuran rasio mg/l, ml dan Bq/l (Bq :
Bequerel).
4. Pembahasan Hasil Analisis

4.1. Sedimentasi
Sedimentasi berlebihan yang
diakibatkan oleh kejadian longsor
Bawakaraeng bukan hanya terjadi pada tubuh
bendungan akan tetapi juga terjadi pada hasil
pengolahan (by Product) air baku yang diolah
oleh IPA V Somba Opu yang diakibatkan
oleh banyaknya sediment yang terikut dari
pengambilan air baku dan pemakaian
koagulan yang lebih banyak sehingga untuk
jangka waktu yang lama akan merusak
lingkungan di sekitar IPA.
Untuk kualitas air yang terdapat pada
bendungan sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga)
hal, yaitu :
a. Temperatur
b. Kekeruhan
c. Distribusi sedimen layang (Suspended
Solid)
Ketiga unsur tersebut ditengarai merupakan
zat dasar yang membawa berbagai zat masuk
ke intake IPA Somba Opu.
Hasil pengukuran perbandingan antara
kedua lokasi dapat dilihat pada tabel 4.11,
dimana jumlah sediment yang keluar dari
bendungan pada tahun 2004 sebesar
500,000,00 m
3
dan pada tahun 2005
meningkat menjadi 1,300,000,00 m
3
, air baku
yang dihasilkan keluar adalah 34,668,211 m
3

dan 32,318,377 m
3
pada tahun 2004 dan
2005.
Sedangkan hasil pengukuran Air baku
yang masuk pada IPA Somba Opu pada tahun
2004 adalah 29,220,403 m
3
dan tahun 2005
sebesar 21,202,900 m
3
. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kehilangan air sepanjang
perjalanan pada tahun 2004 sebesar 5,447,808
m
3
dan pada tahun 2005 sebesar 11,115,477
m
3
.




Tabel 4.7a. Perbandingan hasil Pengukuran sedimen
dan air Baku pada Outflow (Bendungan) dan Inflow
(IPA Somba Opu) 2004-2005
Hasil
Pengu
kuran
Out Flow (Bendungan)
Inflow (IPA Somba
Opu)
2004 2005 2004 2005
Sedimen
(m3)
500,000.00 1,300,000.00 - -
Air Baku
(m3)
34,668,211 32,318,377 29,220,403 21,202,900
( Sumber Data : Hasil perhitungan data Primer dan
Sekunder, PDAM dan JICA 2006)

Hasil dari semua estimasi maupun
observasi data menggambarkan bahwa
penanganan untuk tingkat kualitas air baku
yang paling diprioritaskan adalah
menghambat laju sediment masuk reservoir
bendungan, karena dengan cara inilah maka
reduksi dampak longsor terhadap kualitas air
baku IPA V Somba Opu dapat efektif
dilakukan.




38 Jurnal Teknik Hidro

4.2. Kualitas Air Baku
Tingkat Kualitas Air baku dapat di
gambarkan dari hasil percobaan laboratorium
terhadap sampel yang diambil pada Tanggal
21 Agustus 2006, pukul 15.02 dengan
kedalaman sampel 10 meter dari Muka Air,
dengan jumlah 2 (dua) sampel dalam 2 (dua)
jarak yang berbeda, pertama adalah sampel (I)
dengan jarak 5 meter dari intake, sampel (II)
dengan jarak 20 meter dari intake IPA Somba
Opu. Adapun hasil dari test tersebut dapat
dilihat pada Tabel berikut ini .
Hasil pengamatan dan pengambilan
sample pada air bendungan menunjukkan
bahwa, dari hasil uji Kimia memiliki nilai
rata-rata jauh di bawah batas maksimum
yang dibolehkan, misalnya pada kandungan
Mangan (MN), Nitrat dan Nitrit yang
memiliki hasil dibawah batas deteksi, ini
menunjukkan bahwa kandungan ketiga unsur
tersebut hampir tidak ditemukan pada sampel.
Sedangkan pada percobaan untuk mengetahui
kandungan Besi (Fe), Kesadahan (CaCO3),
Clorida (Cl), Sulfat (SO4), COD dan Zat
Organik hasilnya menunjukkan nilai dibawah
batas maksimum syarat air kualitas B, begitu
juga untuk uji pH nilai dari kedua sampel
masih berada dalam nilai pH yang disyaratkan
yakni 6 9, dengan hasil uji sampel (I)
dengan pH 7,48 dan sampel (II) dengan pH
7,5.
Sedangkan untuk hasil uji kandungan BOD
untuk sampel (I) dan (II) adalah 7,1 mg/L,
melewati batas maksimum untuk air kualitas
A dan B, yang hanya mensyaratkan nilai
kandungan BOD maksimum 2 sampai 3
mg/L.
Pada hasil uji Mikrobiologi
menunjukkan bahwa kandungan coli tinja
tidak ditemukan dalam sampel, sedangkan
total koliform yang terdapat pada kedua
sampel, sampel (I) 120 MPN/ 100 ml dan
sampel (II) 9 MPN/ 100 ml hasil ini jauh
dibawah batas maksimum yang disyaratkan
untuk kualitas air kelas A dengan batas
maksimum 1000 MPN/ 100 ml dan kelas B
dengan batas maksimum 2000 MPN/ 100 ml.
Dari hasil uji air baku pada reservoir
ini menunjukkan bahwa air baku tersebut
masih dalam tingkat kualitas yang layak
untuk bisa diolah ditinjau dari sifat Kimia dan
Mikrobiologi, akan tetapi jika ditinjau dari
sifat Fisik yakni pada tingkat kekeruhan
menunjukkan situasi yang sebaliknya,
hasilnya melampaui batas maksimum untuk
jenis air golongan A dan B yang
mensyaratkan batas maksimum kekeruhan
pada nilai 25 NTU sedangkan hasil pengujian
tingkat kekeruhan untuk sampel (I). 80,6
NTU dan sampel (II) sebesar 74,5 NTU.
Dari hasil ini menunjukkan bawa
tingkat kualitas air baku yang ada pada
reservoir bendungan memiliki kadar
Kekeruhan (Turbidity) yang sangat tinggi
dan kandungan BOD (Biochemical Oxygen
Demand) yang cukup besar dan melampaui
batas maksimum yang disyaratkan untuk air
kualitas B.
Meskipun demikian, dari hasil
pemeriksaan ini belum bisa disimpulkan
bahwa tingkat pencemaran Waduk Bili-bili
sudah berkurang mengingat pada hasil
percobaan-percobaan sebelumnya
menunjukkan bahwa waktu pengambilan
sampel (Bulan Agustus) masuk pada musim
kemarau (antara Bulan Juli s/d Bulan
Nopember) sehingga hasil dari percobaan
kualitas air (parameter kekeruhan) masuk
pada nilai terendah. Akan tetapi jika
dibandingkan dengan bulan yang sama pada
tahun 2000 - 2005 maka terdapat perbedaan
mencolok seperti yang terlihat pada Tabel 4.8,
perbandingan nilai kualitas air baku pada
bendungan pada bulan Agustus 2000 2006
dibawah ini.






39 Jurnal Teknik Hidro

Tabel 4.8 . Perbandingan Nilai Kualitas Air
Baku pada bulan
Agustus 2000-2006
No Parameter
Nilai rata-rata Hasil percobaan pada bulan Agustus pertahun
Nilai hasil
pemeriksaan
Lab. tgl. 21
Agustus
2006
2000 2001 2002 2003
2004
(terjadi
Longsor
)
2005
1
Kekeruhan
(NTU)
2.17 2.4 7.36 3.05 629 135 80,6
2
Temperatur
Air (
o
C)
_ _ _ _ 30,5 30,7 _
3
Suspended
Solid (mg/l)
7,7 _ _ _ 1,340 232.4 _
( Sumber Data : Hasil perhitungan data Primer dan
Sekunder JICA 2006)

Dari perbandingan tersebut
menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan
menurun dari bulan Agustus tahun
sebelumnya yakni dari 627 NTU tahun 2004,
135 NTU tahun 2005 dan menurun lagi
sampai pada level 80,6 NTU pada tahun 2006
sekarang ini.
Dari data hasil pengukuran kualitas air
pada kedua lokasi penelitian yakni pada
reservoir bendungan dan reservoir IPA Somba
Opu pada tahun-tahun sebelum longsor (2000
2003) dan tahun tahun sesudah longsor
(2004 2006) bisa dilihat pada tabel 4. 9,
menunjukkan tingkat kualitas yang sangat
berbeda misalnya, tingkat kekeruhan pada
reservoir bendungan sebelum longsor
memiliki tingkat kekeruhan antara 2,17 NTU
sampai dengan 63,31 NTU atau rata-rata 3,75
NTU / tahun setelah longsor tingkat
kekeruhan meningkat dari 629 NTU sampai
1399 NTU atau rata-rata 281.533 NTU /
tahun,
Tingkat kekeruhan pada IPA Somba
Opu juga memiliki kecendrungan yang sama
yakni, sebelum longsor rata-rata tingkat
kekeruhan 35.089 NTU / tahun tapi setelah
longsor meningkat menjadi rata-rata 1085.722
NTU / tahun, dengan kisaran sebelum longsor
antara 9.746 NTU sampai dengan 63.309
NTU setelah longsor berada pada kisaran
829.33 NTU sampai 1398.5 NTU. Tabel
perbandingan hasil pengukuran kualitas air ini
dapat dilihat pada tabel 4. 10.
Dari Tabel 4.10 tersebut juga
mengindikasikan bahwa tingkat Kekeruhan di
Reservoir Waduk Bili-bili lebih rendah dari
kekeruhan yang terjadi pada Reservoir IPA V
Somba Opu, fenomena ini mungkin perlu
penelitian lebih lanjut karena sangat berkaitan
dengan letak lubang intake IPA V Somba Opu
di Bendungan Bili-bili.


5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Hasil estimasi Sediment dan pada
Bendungan Bili-bili dan IPA V
Somba Opu
a. Perkiraan volume total Sediment yang
tertampung pada bendungan sebelum
longsor (1997-2004) 21,580,000 m3 atau
13,470,000 m3 /tahun, sedangkan sesudah
longsor (2004-2005) mencapai total
volume sediment 45,350,000 m3/tahun
atau 23,770,000 m3/ tahun, ini berarti
terjadi percepatan laju sediment sebesar
hampir 90 % dari periode sebelumnya.
b. Perkiraan volume sediment yang keluar
(outflow) dari bendungan tahun 2004
adalah 500,000 m3, tahun 2005 sebesar
1,300,000 m3 sedangkan perkiraan volume
sediment yang masuk pada IPA (Inflow)
pada tahun 2004 sebesar 421,429 m3
dan pada tahun 2005 sebesar 452,882 m3.
Sedangkan hasil pengukuran Air baku
yang masuk pada IPA Somba Opu pada
tahun 2004 adalah 29,220,403 m
3
dan
tahun 2005 sebesar 21,202,900 m
3
. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kehilangan air
sepanjang perjalanan pada tahun 2004
sebesar 5,447,808 m
3
dan pada tahun 2005
sebesar 11,115,477 m
3
.




40 Jurnal Teknik Hidro

5.1.2. Hasil estimasi penurunan Kualitas
air baku pasca longso
a. Penurunan kualitas air baku yang masuk
pada IPA V Somba Opu bergerak seiring
dengan tingginya tingkat kekeruhan yang
terjadi, hasil data sebelum longsor tahun
(2002-2003) memiliki kekeruhan rata-rata
45 NTU pertahun, namun pasca longsor
(2004-2005) angka ini meningkat drastis
lebih dari 25 kalilipat dari sebelumnya
pada angka 2579,04 NTU, begitupun
produksi air bersih IPA turun hingga 7,58
% pasca longsor.
b. Penurunan kualitas air pada bendungan
sampai pengambilan sampel bulan
Agustus 2006 dari dua jenis pemeriksaan
(total 3 pemeriksaan) yakni, KIMIA dan
MIKROBIOLOGI menunjukkan bahwa
rata-rata masih dibawah ambang batas
maksimum yang diizinkan untuk mutu air
Kualitas B, kecuali pada pemeriksaan
FISIKA untuk tingkat Kekeruhan jauh
diatas ambang batas maksimum yang
diizinkan untuk kedua sampel yakni 80,6
NTU dan 74,5 NTU, padahal batas
maksimum adalah 25 NTU untuk Kualitas
A dan B.

5.2. Saran - Saran
5.2.1. Reduksi Dampak penurunan
Kualitas air baku pasca longsor
a. Untuk mengurangi dampak penurunan
kualitas air yang masuk pada IPA V
Somba Opu sebaiknya mempertimbangkan
pengembangan yang telah direncanakan
sebelumnya yaitu pembangunan IPA VI
hal ini berkaitan dengan makin terbatasnya
kapasitas IPA V Somba Opu dan
meningkatnya biaya operasional pada
pemakaian Koagulan.
b. Pengambilan air baku di Bendungan
(intake) sebaiknya bisa menggunakan
pompa Pontoon agar dapat mengambil air
permukaan yang lebih bagus kualitasnya,
atau membuat reservoir pengendapan
sebelum air baku masuk ke IPA .
5.2.2. Reduksi hasil Sediment dan pada
Bendungan Bili-bili dan IPA V Somba
Opu
Penurunan hasil sediment pada bendungan
hendaknya dimulai dari hulu ke
hilir Sungai Jeneberang dengan
metode struktural dan non
struktural, secara struktural di
lakukan dengan

41 Jurnal Teknik Hidro

STUDI ANALISIS HIDROLIKA PENGENDALIAN BANJIR
SUNGAI WALANAE (30 KM) KABUPATEN SOPPENG
Amrullah Mansida
1


ABSTRAK
Tulisan ini mencermati Studi Analisis Hidraulika Pengendalian Banjir Sungai
WalanaE (30 km) Kab. Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Permasalahan yang
muncul adalah terjadinya gerusan tebing, limpahan, genangan air, longsoran pada
area bantaran dan perkampungan disekitarnya. Kapasitas Saluran Sungai di wilayah
yang lebih datar dari dataran sering kali tidak cukup untuk mengalirkan aliran
banjir yang umumnya mempunyai periode ulang 2 tahunan. Ketika aliran sungai
mencapai tingkatan banjir maka aliran akan meluas ke sisi kiri atau ke sisi kanan
sungai, dan menggenangi lahan sekitarnya yang lebih rendah dari tanggul tebing
sungai. Metode digunakan dalam pengumpulan data dengan survey dan
investigasi, interview dengan masyarakat setempat, kemudian data-data tersebut
diidentifikasi sebagai data primer dan data sekunder untuk kemudian memudahkan
dalam pengolahan dan menganalisis. Dari hasil perhitungan diperoleh hujan
rencana periode 10 tahun = 131.69 mm, sedangkan banjir rencana periode 10
tahunan = 1075 m
3
/dt, 25 tahunan. Sementara untuk Kecepatan arus sungai
WalananaE pada hulu 2.173 m/t dan pada bagian hilir 1.593 m/dt dan debit sungai
pada bagian hulu 1867.585 m
3
/dt, dan pada bagian hilir 725.989 m
3
/dt. Dari hasil
analisis hidraulika, diketahui bahwa kapasitas alur sungai yang ada masih belum
mencukupi untuk mengalirkan banjir dengan kala ulang 10 tahun. Disamping
kapasitas alur yang tidak mencukupi, banjir juga disebabkan oleh karena adanya
alur sungai yang berkelok-kelok (meander).. Faktor penyebab banjir antara lain
Iklim, pengaruh fisiografi, sedimen, Kapasitas alur sungai, drainase genangan tidak
memadai, pasang surut, sedangkan faktor banjir kerena tindakan manusia antara
lain, perubahan kondisi DAS, Pemanfaatan bantaran sungai, kawasan kumuh,
drainase lahan dll. Alternatif Pola Pengendalian banjir antara lain metode struktur
dan metode non struktur.

1 .PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Banjir merupakan permasalahan
umum yang terjadi di sebagian wilayah
Indonesia, terutama di daerah padat
penduduk misalnya di kawasan
perkotaan. Oleh karena itu kerugian yang
ditimbulkannya besar, baik dari segi
materi maupun kerugian jiwa, maka
sudah selayaknya permasalahan banjir
perlu mendapatkan perhatian yang serius
dan merupakan permasalahan kita semua.
Dengan anggapan bahwa, permasalahan
banjir merupakan masalah umum, sudah
semestinya dari berbagai pihak perlu
memperhatikan hal-hal yang dapat
mengakibatkan banjir dan sedini mungkin
diantisipasi, untuk memperkecil kerugian
yang ditimbulkan.
Sungai Walanae merupakan salah
satu sungai lintas kabupaten antara
Kabupaten Bone, Soppeng, dan Kabupten
Wajo yang berhilir pada Sungai Cenranae
selanjutnya bermuara ke Teluk Bone.
Sungai Walanae merupakan sungai
bermeander dengan lebar sungai
bervariasi antara 70 hingga 120 m.
Sungai tersebut mempunyai panjang 69
km dengan luas DAS 7380 Km
2
. DAS
Walanae berada pada posisi antara 3 20'
5 10' LS dan 119 15' 120 20' BT.
Banjir besar yang terjadi setiap
tahun mengakibatkan kerusakan sarana
fasilitas umum, kebun dan daerah

42 Jurnal Teknik Hidro

pemukiman. Hal ini lebih diperburuk lagi
dengan adanya gerusan aliran sungai
yang menimbulkan kerusakan tebing
sungai yang mengancam fasilitas-fasilitas
penting yang ada di sekitarnya dan
merupakan salah satu daerah yang
membutuhkan perhatian khusus
pemerintah pusat, utamanya untuk Sungai
Walanae yang setiap tahunnya
mengancam kehidupan masyarakat di
sekitarnya.
Program pengendalian banjir
membutuhkan dana yang besar untuk
pembiayaan pekerjaan-pekerjaan yang
berkaitan dengan pengamanan maupun
pengendalian banjir. Disamping itu,
masyarakat yang berada pada daerah
rawan banjir setiap saat memerlukan rasa
aman dari pengaruh akibat banjir. Dengan
dana yang terbatas pengendalian banjir
harus dilakukan seoptimal mungkin dan
dilaksanakan menurut rencana dan
prioritas yang baik.

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
PERENCANAAN
Maksud pekerjaan adalah untuk
mendapatkan data dan informasi yang
tepat serta gambaran mengenai kondisi
banjir pada sungai tersebut diatas.
Tujuan dari pelaksanaan
pekerjaan ini adalah mengedalikan banjir
yang terjadi di ruas sungai Walanae
berdasarkan data-data yang diperoleh
yang dijadikan dasar dalam perencanaan
maupun pada saat pelaksanaan fisik serta
membuat detail desain pada ruas sungai
yang mempunyai prioritas tinggi,
termasuk pentahapan pelaksanaan
konstruksi sesuai urutan prioritas.

1.3. LOKASI DAN KEADAAN UMUM
DAERAH PROYEK
Letak geografis Kabupaten
Soppeng terletak pada koordinat 119
o
42'
18'' 120
o
06' 13'' BT dan 4
o
06' 0
0
'' 4
o

32' 0
0
'' LS. Sungai Walanae termasuk
dalam SWS 05 06 Walanae Cenranae
yang terletak 220 km dari Kota
Makassar Provinsi Sulawesi Selatan dan
20 Km dari Kota Soppeng menuju ke
arah Kabupaten Wajo.
Lokasi pekerjaan dimulai dari
bagian hilir di perbatasan Kabupaten
Soppeng dan Kabupaten Wajo pada
koordinat 119
o
58' 10" BT dan 4
o
16' 13"
LS sepanjang 30 km ke arah hulu di Desa
Barang pada koordinat 120
o
0' 48" BT
dan 4
o
23' 29" LS.
Kabupaten Soppeng terdiri dari
daerah dataran dan daerah perbukitan.
Dataran luasnya 700 km2 berada pada
ketinggian rata-rata 60 m diatas
permukaan laut sedangkan daerah
perbukitan luasnya 800 km
2
berada
pada ketinggian rata-rata 200 m diatas
permukaan laut. Temperatur udara di
Kabupaten Soppeng berkisar antara 24
sampai dengan 30. Curah hujan rata-rata
pada tahun 2003 adalah 146 mm.















Gambar 1.1. Lokasi Sungai Walanae (30 km)

1.4. LINGKUP PEKERJAAN
Pengendalian Banjir Sungai
Walanae Kabupaten Soppeng
dimaksudkan untuk mendapatkan data
dan informasi yang tepat serta gambaran
mengenai kondisi banjir pada sungai
tersebut yang selanjutnya dijadikan dasar
di dalam perencanaan maupun pada saat
pelaksanaan fisik serta membuat detail

43 Jurnal Teknik Hidro

desain pada ruas sungai yang mempunyai
prioritas tinggi termasuk pentahapan
pelaksanaan konstruksi sesuai urutan
prioritas. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka lingkup pekerjaan terdiri
dari :
1.4.1. Survey dan Investigasi
1. Melakukan pengukuran rencana
trase tanggul banjir dan lokasi
perbaikan sungai.
2. Referensi tinggi titik pengukuran
didasarkan pada tinggi muka air
laut rata-rata berdasarkan titik
referensi BAKOSURTANAL.
3. Melakukan pengumpulan data
hidroklimatologi berupa data :
- Iklim
- Curah hujan
- Probabilitas tinggi muka air
sungai
- Elevasi muka air (minimum,
maksimum atau normal)
4. Identifikasi lokasi bahan timbunan
(borrow area) dan lokasi
pengambilan material lainnya (batu,
pasir).
5. Pengambilan sampel butiran dasar
(sedimen) dan analisa.

1.4.2. Studi dan Analisa
1. Analisis debit dominan yang akan
mempengaruhi bentuk morfologi
sungai dan digambarkan dalam
bentuk kurva / trend.
2. Analisis terhadap sebab-sebab
terjadinya banjir di daerah studi.
3. Analisis hidrologi, alur sungai
(morfologi sungai) guna penentuan
rencana / desain bangunan
pengendali banjir.
4. Menyusun alternatif metode
pengendalian banjir dengan
memperhitungkan faktor teknis
(ekonomi, kestabilan dan metode
pelaksanaan serta estetika).

1.4.3. Inventarisasi dan Identifikasi
1. Daerah-daerah kritis yang rawan
terhadap banjir.
2. Mengidentifikasi lokasi
penempatan bangunan
pengendali banjir, bangunan
pelindung tebing yang tepat,
rencana tanggul banjir dan
normalisasi sungai serta
gambaran awal keadaan fisik
sungai maupun bangunan yang
akan dibuat.
3. Bangunan-bangunan yang telah
ada termasuk tanggul banjir
pelindung tebing yang kritis, dan
bangunan pengendali banjir
yang masih perlu penanganan.
4. Studi maupun perencanaan
yang sudah ada.
5. Menginventarisasi kerugian
akibat banjir maupun prediksi
banjir sesuai dengan debit
rencana.

2. PENDEKATAN MASALAH
2.1. UMUM
Kondisi pertama adalah apabila
terjadinya luapan sungai dan genangan
banjir tidak atau belum menimbulkan
kerugian terhadap kehidupan manusia,
sehingga tidak perlu diadakan
penanganan apapun. Adakalanya
peristiwa tersebut malah menguntungkan
bagi umat manusia, karena luapan air
sungai yang mengandung sedimen /
humus tersebut dapat mengisi rawa-rawa
sehingga terjadi kolminasi dan
sedimentasi yang tinggi justru dapat
meningkatkan kesuburan tanah.
Kondisi kedua adalah apabila
terjadinya luapan sungai dan genangan
banjir menimbulkan gangguan dan
kerugian bagi umat manusia. Dalam hal
ini diperlukan upaya untuk mengurangi
besarnya kerugian dan bencana yang
ditimbulkan. Terjadinya gangguan dan
kerugian adalah berkaitan dengan tumbuh
dan berkembangnya segala aktivitas
manusia di daerah dataran rendah yang
pada umumnya merupakan dataran banjir
suatu sungai. Daerah ini ditinjau dari

44 Jurnal Teknik Hidro

letak geografisnya memang merupakan
daerah yang rawan banjir dan genangan.
Daerah dataran ini pada umumnya
mempunyai tanah yang subur dan
mempunyai daya tarik tinggi untuk
berbagai kegiatan manusia, sehingga
cepat berkembang menjadi kawasan
perkotaan, permukiman, industri,
pertanian, pertambakan dan kawasan
budidaya lainnya.
Kedua permasalahan tersebut dapat
diatasi dengan perencanaan penataan
ruang yang baik, yang memperhatikan
aspek-aspek pelestarian lingkungan.
Upaya lain yang kiranya dapat
dilaksanakan adalah melakukan
pengaturan agar pembangunan bangunan
di sungai oleh masyarakat, baik yang
dilakukan di daerah hulu maupun di
dataran rendah bersahabat dengan
lingkungan.
Sungai berdasarkan fungsinya, perIu
dilindungi dan dijaga kelestariannya,
ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya,
dan dikendalikan daya rusak terhadap
lingkungan. Pengendalian daya rusak
sungai ini berupa penanggulangan banjir
yang merupakan salah satu usaha dalam
rangka pengendalian banjir, sedangkan
pengendalian banjir merupakan salah satu
manfaat dari pengaturan sungai.
Penanganan masalah banjir di suatu
daerah adalah kegiatan pengendalian
pada satu sistem sungai secara
menyeluruh. Hal tersebut mengingat
bahwa masalah yang terjadi di suatu
daerah bisa merupakan akibat dari
peristiwa dan kondisi di daerah lain.
Demikian pula upaya penanganannya
bisa dilakukan di luar daerah tersebut.
Penanganan masalah banjir di suatu
daerah biasanya merupakan perpaduan
antara penanganan sistem drainasi dan
penanganan banjir akibat limpasan atau
luapan air sungai. Penanganan masalah
banjir bisa dilakukan secara teknis dan
non teknis, dari kedua cara penanganan
ini pelaksanaannya haruslah dilakukan
secara terpadu dan menyeluruh guna
mendapatkan hasil yang maksimal.
Penanganan masalah banjir secara teknis
dan non teknis akan diuraikan secara
ringkas pada pembahasan di bawah ini.
Pelaksanaan penanggulangan banjir
meliputi tiga aspek yaitu :
1. Aspek mencegah dan mengurangi
kemungkinan terjadinya bencana
banjir dalam rangka usaha
pemeliharaan dan pelestarian fungsi
sungai serta bangunan-bangunan
pengendali banjir (saat sebelum
terjadinya banjir)
2. Aspek menanggulangi banjir (flood
fighting) dalam rangka usaha
mencegah dan mengurangi akibat-
akibat yang mungkin timbul karena
terjadinya banjir (saat terjadinya
banjir)
3. Aspek memperbaiki kerusakan-
kerusakan akibat banjir yang telah
terjadi dalam rangka usaha untuk
mengembalikan fungsi bangunan-
bangunan pengendali seperti semula
(setelah terjadinya banjir).

2.2.DESKRIPSI MASALAH
Deskripsi masalah berdasarkan
Master Plan Study on Integrated
Development and Management of
Walanae Cendranae River Basin
adalah sebagai berikut :
Kapasitas Saluran Sungai di wilayah yang
lebih datar dari dataran sering kali tidak
cukup untuk mengalirkan aliran banjir
yang umumnya mempunyai periode
ulang 2 tahunan. Ketika aliran sungai
mencapai tingkatan banjir maka aliran
akan meluas ke sisi kiri atau ke sisi kanan
sungai, an menggenangi lahan sekitarnya
yang lebih rendah dari tanggul tebing
sungai. Salah satu penggalan Sungai
Walanae yang tidak cukup kapasitas
alirannya adalah dimulai sekitar 6 km
arah hilir dari jembatan Cabenge sampai
ke pertemuan Sungai Cendranae.
Terdapat banyak rumah yang
berdekatan dengan tebing sungai, karena

45 Jurnal Teknik Hidro

masyarakat lebih suka untuk membangun
rumah di tebing sungai, dimana akses ke
transportasi sungai lebih mudah.
Permukiman manusia yang dekat dengan
tebing sungai ini sering kali menghalangi
atau menjadi kendala bagi pelaksanaan
pekerjaan perbaikan sungai.










Gambar 2.1. Jembatan Cabenge.
Gerusan pada tebing akibat arus
sungai mengakibatkan sarana dan prasarana
yang berada disekitarnya telah mengalami
kerusakan. Kondisi yang terparah yaitu
putusnya jalan di Desa Cabenge sebelah hulu
Jembatan Cabenge dan jalan di Desa Rebo
sebelah Hilir Jembatan Cabenge.









Gambar 2.2. Jalan putus di Desa Cabenge (a) dan
Desa Rebo (b).
2.3 PENGENDALIAN BANJIR
2.3.1. Penyebab Banjir
Banyak faktor yang dapat menjadi
penyebab terjadinya banjir. Secara umum
penyebab terjadinya banjir dapat dibedakan
menjadi 2 kelompok, yaitu banjir yang
disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir
yang diakibatkan oleh tindakan manusia.

a. Penyebab Banjir Alami
Faktor-faktor yang merupakan
penyebab terjadinya banjir alami adalah:
Iklim
Iklim tropis di Indonesia ditandai oelh 2
musim, yaitu musim penghujan, yang
terjadi antara bulan Oktober sampai
dnegan bulan Maret, dan musim kemarau,
terjadi antara bulan April sampai dengan
bulan September.
Pengaruh Fisiografi
Di daerah hulu, sungai-sungai biasanya
mempunyai kemiringan yang terjal. Hujan
yang lebat dan tingkat erosi yang besar
biasanya terjadi di daerah ini. Kemiringan
yang terjal dan curah hujan yang tinggi ini
akan mengeakibatkan terjadinya aliran
puncak yang besar.
Di daerah transisi antara pegunungan
dan daerah pantai, kemiringan dasar sungai
menjadi agak landai kerena adanya endapan
sedimen; dan akibat pengendapan ini, aliran
sungai terganggu sehingga menyebabkan
banjir. Di daerah hilir sungai biasanya
menunjukkan pola yang berbentuk
meandering dan landai sehinggga akan
menghambat aliran banjir dan memperlama
terjadinya banjir.
Sedimen Sungai
Sedimen sungai dalam bentuk suspens
atau angkutan dasar (bed load) yang
mengakibatkan terjadinya peninggian dasar
sungai dan berkurangnya kapasitas alur.
Kapasitas Alur
Pengurangan kapasitas alur pada sungai dapat
sisebabkan oleh pengendapan yang berasal
dari erosi DAS yang berlebihan.
Drainase di daerah genangan banjir yang
tidak memadai
Drainase yang tidak baik dan memadai akan
menghambat masuknya air gengan ke alur-
alur sungai.
Pengaruh air pasang
Air pasang laut juga mempunyai efek yang
berarti pada permasalahan banjir, terutama
(a) (b
)

46 Jurnal Teknik Hidro

jika puncak banjir bersamaan dengan air
pasang tinggi.
b. Penyebab Banjir karena Tindakan
Manusia
Yang termasuk penyebab terjadinya
banjir akibat tindakan manusia adalah:
Perubahan kondisi DAS
Perubahan DAS seperti penggundulan hutan,
usaha pertanian yang kurang tepat, perluasan
kota, dll, dapat memperburuk permasalahan
banjir karena dapat memperbesar aliran
banjir (limpasan).
Pemanfaatan Daerah Genangan Banjir
Pemanfaatan daerah perkotaan dan pedesaan
pada daerah bekas rawa alam sepanjang
sungai dapat menjadi penyebab terjadinya
bajir,karena mengurangi daerah untuk
tampungan banjir.
Kawasan kumuh
Perumahan kumuh sepanjang sungai dapat
merupakan penghambat aliran.
Sampah
Pembuangan sampah dan kotoran lainnya
yang ditimbun sembarangan di sungai
menyebabkan terhambatnya lairan dan
menaikkan elevasi muka air banjir.
Drainase lahan
Drainase perkotaan dan pengembangan
pertanian pada daerah bantaran banjir akan
mengurangi kemampuan bantaran dala
menampung debit air yang tinggi.
Jembatan dan bangunan sungai lainnya
Bangunan-bangunan persungaian dapat
meningkatkan elevasi muka air banjir karena
efek aliran balik dan hambatan
aliran.Kerusakan bangunan pengendali
banjir.
Kurangnya pemeliharaan bangunan akan
mempercepat umur bangunan.
Perencanaan sistem pengendali banjir yang
tidak sesuaiBeberapa tipe sistem pengendali
banjir memang dapat mengurangi kerusakan
akibat banjir-banjir kecil sampai sedang,
tetapi sebaliknya mungkin akan dapat
menambah kerusakan selama banjir-banjir
besar.

2.3.2. Alternatif Pengendalian Banjir
Upaya mengatasi masalah banjir
bertujuan untuk mengurangi besarnya
kerugian atau bencana yang disebabkan oleh
terjadinya banjir dan tidak untuk
menghilangkan masalah banjir secara mutlak.
Sampai saat ini upaya menangani masalah
banjir yang telah diketahui luas oleh
masyarakat adalah upaya yang bersifat
struktur atau fisik dengan bangunan-
bangunan pengendali banjir.
Pada dasarnya kegiatan pengendalian
banjir adalah suatu kegiatan yang meliputi
aktifitas-aktifitas sebagai berikut ini, yaitu :
Mengenali besarnya debit banjir.
Mengisolasi daerah genangan.
Mengurangi tinggi elevasi muka
air banjir.
Adapun pola pengendalian banjir dapat
digambarkan berikut ini.














Gambar 2.4. Pengendalian Banjir dengan
Struktur dan Non Struktur.



Pengendalian Banjir
Metode Struktur Metode Non
Struktur
Perbaikan dan
Pengaturan Sistem
Sungai
Sist jaringan sungai
Normalisasi sungai
Perlindungan
Tanggul
Tanggul banjir
Sudetan (by pass)
Floodway
Bangunan
Pengendali
Banjir
Bendungan
(dam)
Kolam retensi
Pembuatan
check dam
(penangkap
sedimen)
Bangunan
pengurang
kemiringan
sungai
Groundsill
Retarding Basin
Pembuatan
polder
Pengelolaan DAS
Pengaturan tata
Guna Lahan
Pengendalian
Erosi
Pengembangan
kondisi Derah
Banjir
Penanganan
darurat
Peramalan Banjir
Peringatan Bahaya
banjir
Asuransi
Law Enforcement

47 Jurnal Teknik Hidro

3. PENGUMPULAN DATA
3.1. UMUM
Salah satu aspek yang sangat penting
dalam melakukan analisis adalah
ketersediaan data. Secara umum,
pengumpulan data dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu data sekunder dan data
primer.Yang dimaksud data sekunder adalah
segala informasi yang diperoleh secara tidak
langsung atau diperoleh dari pihak lain. Data
sekunder dapat berupa catatan, hasil
pengukuran, hasil analisis yang diperoleh dari
suatu tim studi atau instansi, juga buku-buku
laporan proyek dan peraturan kebjaksanaan
daerah. Sedangkan data primer adalah data
yangdikumpulkan secara langsung pada suatu
tahap pekerjaan, yang meliputi hasil
pengamatan, pencatatan, pengukuran, dan
wawancara langsung pada sumber-sumber
yang relevan. Realisasi untuk mendapatkan
data tersebut adalah melalui
survei/pengukuran lapangan.

3.2. DATA SEKUNDER
3.2.1 Data Jaringan Stasiun Hidrologi
Stasiun hidrologi yang dimaksudkan
disini mencakup dua jenis stasiun, yaitu
stasiun penakar hujan dan stasiun pencatat
debit atau elevasi muka air sungai. Data
jaringan ini digunakan untuk mengetahui
letak titik data terhadap keseluruhan jaringan
sehingga dapat diketahui daerah yang
diwakili oleh data tersebut.
3.2.2 Data Hujan
Data curah hujan yang tersedia di sini
adalah data curah hujan harian, bulanan dan
harian maksimum tahunan. Data curah hujan
tersebut diperoleh dari pos-pos penakar hujan
yaitu :
- Pos Penakar Hujan Palatae ( 40 OP)
- Pos Penakar Hujan Camba(101 OP)
- Pos Penakar Hujan Bengo (410 e)
- Pos Penakar Hujan Lalange Lajoa (29 OP)
Data ini digunakan untuk
menganalisa high flow (debit banjir) dengan
beberapa periode ulang. Dari analisa ini
didapat besar debit banjir perencanaan
(design flood) yang berguna sebagai
keamanan konstruksi. Hasil akhir akan
didapat muka air banjir maksimum. Adapun
pada keempat pos penakar hujan tersebut
tersedia data yang cukup lengkap dari tahun
1980 - 2004.
3.2.3 Data Debit Sungai

Data debit sungai dapat diketahui
dari catatan elevasi muka air sungai, dengan
menggunakan garis liku debit atau rumus
debit (aliran) yang sesuai dengan kondisi
setempat. Pada Sungai Walanae terdapat alat
penakar muka air otomatis (AWLR) Cabenge
dengan data yang tercatat dari tahun 1974 -
2004 dan Stasiun Ujung Lamuru dengan
data yang tercatat dari tahun 1979 -
2004. Kemudian data debit yang
digunakan pada perencanaan ini adalah
data debit Stasiun Cabenge.
3.3. DATA PRIMER
Survei untuk mendapatkan data primer
dimaksudkan untuk mencari/melengkapi
data/informasi yang belum cukup diperoleh
dari data sekunder dengan melakukan
pengukuran/penyelidikan guna mendukung
pekerjaan ini, sesuai dengan TOR, dengan
ruang dan lingkup pekerjaan sebagaimana
diuraikan pada Bab I. Adapun jenis kegiatan
yang dilakukan dalam pengumpulan data
primer ini adalah :
Inventasisasi permasalahan banjir
Survei Topografi
Survei Geologi/Mekanika tanah
3.3.1. Inventarisasi Permasalahan Banjir
Inventasisasi permasalahan banjir
dimaksudkan untuk mengetahui karakterisitik
banjir dan penyebab terjadinya banjir. Hasil
kegiatan inventarisasi permasalahan banjir ini
nantinya akan dipergunakan sebagai masukan
dalam penyusunan sistem pengendalian
banjir, penetapan jenis pekerjaan, dan
perencanaan teknis pengendalian banjir.
4. ANALI SI S HI DRAULI K
4.1 Umum
Untuk keperluan setiap pekerjaan
perencanaan, andalan utama untuk analisis
adalah ketersediaan data. Dalam hal ini data
dapat dipisahkan menjadi 2 (dua) kelompok,
yaitu data sekunder dan data primer. Kualitas
hasil perencanaan tidak terlepas dari kualitas
data yang berhasil dikumpulkan selama masa
perencanaan. Disamping tuntutan akan

48 Jurnal Teknik Hidro

kualitas data yang prima, dari segi kuantitas
harus pula dipenuhi.
4.1.1 Sistem Sungai
Berdasarkan ukuran dari sub-basin,
ada 5 sub-basin yang mempengaruhi debit
aliran Sungai Walanae, yaitu :
- Sub-basin Sanrego (W-3 = 229 km
2
)
- Sub-basin Minraleng(W-15=510 km
2
)
- Sub-basin Batupute (W-16 = 212 km
2
)
- Sub-basin Mario (W-20 = 509 km
2
)
- Sub- basin Malanroe (W-30 = 224 km
2
)
Curah hujan tahunan dari 2 sub-basin
yang pertama berkisar antara 2000-3500 mm
dan menurun menjadi 1400-2000 mm/thn di
sub-basin Malanroe. Di curah hujan
maksimum, debit Sungai Walanae di stasiun
AWLR Cabenge tercatat 440-500 m
3
/dtk.
Sungai Sanrego di bagian hulu dari Sungai
Walanae menunjukkan pola aliran sungai
yang relatif rata sepanjang tahun, dengan
musim hujan dari bulan April-Juni. Musim
kemarau dimulai dari bulan September-
November. Menurut informasi dari penduduk
setempat, debit sungai Sanrego sangat rendah
dimusim kemarau sangat rendah sejak 3
tahun terakhir. Hasil ini menunjukkan bahwa
hanya 20 % dari total areal irigasi sekitar
6000 ha dapat diairi.
Di daerah tengah dari sistem Sungai
Walanae, musim hujan dimulai dari bulan
Januari, Februari dan dari Mei-Juli, dan
musim kemarau dimulai daribulan Agustus-
November. Jaringan irigasi Langkeme
terletak di tengah daerah ini. Aliran air
terendah di bangunan Bendung Sungai
Langkeme terjadi di bulan oktober 2002
sekitar 600 liter/detik dari debit observasi.
Di bagian hilir dari Sungai Walanae,
musim hujan muncul di bulan Januari,
Februari dan dari April-Juni, dengan debit
maksimum dari bulan terakhir Januari sampai
minggu pertama Februari. Nilai rerata
minimum debit setengah bulanan di musim
kemarau dimulai Agustus-Oktober dan
menurun. Areal tangkap hujan sekitar 8000
ha terletak di bagian hilir pada kedua sisi
tebing Sungai Walanae dimulai dari desa
Cabenge di Soppeng sampai desa
Sabbangparu di Wajo.
Areal tangkap hujan ini disarankan
untuk dikembangkan menjadi sistem irigasi
teknis, dan diairi dari Dam Walimpong. Saat
ini, sekitar 400 ha dari areal tangkap hujan
telah dikembangkan menjadi sistem irigasi
pompa oleh masyarakat setempat dengan
Sungai Walanae sebagai sumber airnya.
4.2 ANALISIS HIDRAULIKA
4.2.1. Umum
Banjir dengan kala ulang 20 tahun
digunakan sebagai debit rencana, dimana
banjir tersebut diperoleh dari hasil analisis
hidrologi. Analisis hidraulika dilakukan
untuk dua keadaan yaitu kondisi eksisting
dan kondisi setelah dilakukan perencanaan
4.2.2. Muka Air Maksimum Existing
Analisis hidraulika dilakukan untuk
mengetahui elevasi muka air banjir pada
kondisi existing bilamana terjadi banjir
dengan suatu kala ulang tertentu. Analisis
hidraulika ini dilakukan untuk banjir kala
ulang 10 tahun, dengan pertimbangan bahwa
perencanaan (di Sungai Walanae) didasarkan
pada banjir dengan kala ulang banjir yang
tidak lebih dari 10 tahun.
4.2.3. Kapasitas Alur
Yang dimaksud dengan kapasitas alur
disini adalah kapasitas maksimum sungai
untuk dapat mengalirkan debit air, tanpa air
melimpas ke kanan atau ke kiri sungai.
Rumus yang digunakan dalam
menghitung kapasitas alur adalah rumus
Manning dengan nilai koefisien kekasaran =
0.3. Hasil perhitungan kapasitas alur kedua
sungai tersebut dapat dilihat pada Tabel di
bawah ini.
Tabel 4.2. Hasil Perhitungan Kapasitas Alur

Sungai
Kec
(m/ dt)
Debit
(m
3
/dt)
Ket
Lokasi

S. Walanae hulu
S. Walanae hilir

2.173
1.593

1867.585
725.989

P 490
P 2

Sumber : Hasil Perhitungan
4.2.2 Analisis Sediment Transport
Total sedimen (Qs) adalah besarnya
muatan sedimen melayang ditambah sedimen
dasar (Qb). Pada pekerjaan ini besarnya
sedimen dasar bulanan Qb (bed load)
diperkirakan sebesar 20 % dari besarnya
muatan sedimen melayang.Data tersebut
diatas terdiri dari beberapa sampel dengan
tahun pengambilan yang berbeda. Oleh
karena itu pada tinggi muka air yang sama
kemungkinan mempunyai debit yang

49 Jurnal Teknik Hidro

berbeda. Ini bisa terjadi karena adanya
perubahan kondisi tampang sungai atau
perubahan catchment area setelah beberapa
tahun lamanya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Upaya penanganan banjir Sungai
Walanae sepanjang 30 km dirumuskan
setelah melakukan beberapa tahapan
pekerjaan, yang meliputi kajian terhadap
studi terdahulu, pengumpulan data, analisis,
serta diskusi dan konsultasi dengan pihak-
pihak terkait.
Dari hasil pengamatan lapangan,
pengkajian dan analisis terhadap data dan
laporan yang ada, serta masukan dari
berbagai pihak, dapat disimpulkan hasil-hasil
sebagai berikut:
- Dari hasil analisis hidraulika, diketahui
bahwa kapasitas alur sungai yang ada
masih belum mencukupi untuk
mengalirkan banjir dengan kala ulang 10
tahun.
- Disamping kapasitas alur yang tidak
mencukupi, banjir juga disebabkan oleh
karena adanya alur sungai yang
berkelok-kelok (meander).
- Genangan banjir akibat curah hujan
dimungkinkan masih tetap terjadi, namun
dengan sistem pengendalian banjir yang
direncanakan diharapkan luasan genangan
banjir akan dapat jauh berkurang, dan
tebing yang mengalami gerusan juga
dapat terlindungi.
- Untuk melaksanakan kegiatan
pengendalian banjir tersebut, perlu adanya
perencanaan yang matang, terbentuk
dalam suatu pola pengendalian yang
berlaku menyeluruh dari hulu sampai
muara sungai.
- Sementara untuk Kecepatan arus sungai
WalananaE pada hulu 2.173 m/t dan pada
bagian hilir 1.593 m/dt dan debit sungai
pada bagian hulu 1867.585 m3/dt, dan
pada bagian hilir 725.989 m3/dt.
5.2 SARAN
Untuk mengantisipasi kejadian banjir
pada waktu-waktu mendatang perlu adanya
implementasi rencana-rencana yang telah
dan/atau akan dirumuskan. Implementasi
rencana-rencana pengendalian banjir di
Sungai Walanae, memerlukan adanya
monitoring sekaligus updating data untuk
menyesuaikan pelaksanaan dengan
perkembangan pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2003. Kabupaten Soppeng
Dalam, Badan Statistik Kabupaten
Soppeng, 2003.
C.D Soemarto. 1995. Hidrologi Teknik.
Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hermawan, 2001. Rekayasa Hidrologi (Teori
dan Contoh Penyelesaian Soal). Bahan
Kuliah Fakultas Teknik Universitas
Kristen Indonesia Paulus. Makassar.
Kusdaryono, dkk. 1977. Design Flood,
Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta
Maryono. A, 2003, Pembangunan Sungai
Dampak dan Restorasi Sungai, Magister
Sistem Teknik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia.
NIPPON KOEI Co., ltd. in association with
PT. Pusat Pengembangan Agribisnis, PT.
Tata Guna Patria, PT. Virama Karya, PT.
Wiratman & Associates, and PT. Widya
Graha Asana. Master Plan Study on
Integrated Development and Management
of Walanae River Basin, 2003.
Ning Chien, Zhaohui Wan, John S. McNown,
1999. Mechanics of Sediment Transport,
American Society of Civil Engeneers,
1999.
Oehadijono, 1993. Dasar-dasar Teknik
Sungai, Universitas Hasanuddin, 1993.
Robert J Kodoatie, Sugiyanto, 2002. Banjir,
beberapa penyebab dan metode
pengendaliannya dalam perspektif
lingkungan, Pustaka Pelajar, Agustus
2002, Yogyakarta, Indonesia.
Suyono Sosrodarsono dan Masateru
Tominaga, 1994. Perbaikan dan
Pengaturan Sungai, 1976. Hidrologi untuk
Pengairan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Siswoko. 1990. Pengendalian Banjir, Kursus
Singkat Pengelolaan Sungai. PAU Ilmu
Teknik UGM. Yogyakarta.
Soewarno. 1995. Aplikasi Metode Statistik
untuk Analisi Data. Nova.
Sri Harto, Br. 1993. Analisis Hidrologi. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Triatmodjo Bambang, 1996, Hidraulika II,
Beta Offset, Yogyakarta.
Waluyo Hatmoko. 1994. Pengantar
Pengembangan Sumber Daya Air.


50 Jurnal Teknik Hidro

METODE PENANGGULANGAN SEDIMEN PADA
JARINGAN IRIGASI
(STUDI KASUS D.I. SALOMEKKO)

Nurnawaty


Abstrak
Bila air mengalir dalam suatu alur sungai atau saluran, maka aliran air tersebut
mengakibatkan pengikisan pada lapisan permukaan, angkutan sedimen tersebut terbawa
aliran masuk ke dalam saluran pengairan dan selanjutnya masuk ke dalam sawah

Akibat masuknya sedimen ke dalam saluran irigasi dapat menimbulkan beberapa
pengaruh yang sangat merugikan antara lain : pengaruh terhadap kestabilan dan
menurunnya air serta pengaruh terhadap eksploitasi dan pemeliharaan dari sarana
jaringan irigasi.

Metode pengendalian sedimen pada jaringan irigasi digunakan : (1) Pemeliharaan Letak
dan Posisi dan Bangunan Pengambilan, (2) Bangunan Pencegah sedimen (3) Bangunan
Penangkap sedimen, (4) Bangunan Pembuang sedimen. Pemilihan metode analisis
mengacu kepada Standar Nasional Indonesia yang berlaku dengan tetap
mempertimbangkan ketersediaan data dari daerah studi

Bangunan pengambilan sedimen : (a) pembilas bendung konvensional, (b) Ambang
penahan sedimen (Skimming wall), (c) pembilas bawah (under slice)

Angkutan sedimen total pada sungai Salomekko dihitung dengan metode Ackers dan
White diperoleh Qs = 525918,265 m
3
/tahun. Perubahan bangunan penguras konvensional
menjadi bangunan pembilas bawah dengan kecepatan Vx = 2,23 m/det

Kata Kunci : Sedimen, angkutan sedimen, bangunan pengendali, pembilas bendung
konvensional, skimming wall, under slice

1.PENDAHULUAN
Bila air mengalir dalam suatu alur sungai
atau saluran, maka aliran air tersebut
mengakibatkan pengikisan pada lapisan
permukaan lumpur, kerikil atau pasir bahkan
bahan yang lebih besarpun dapat terangkut,
bahan angkutan sedimen tersebut terbawa
aliran masuk ke dalam saluran pengairan dan
selanjutnya masuk ke dalam sawah.
Akibat masuknya sedimen ke dalam saluran
irigasi dapat menimbulkan beberapa pengaruh
yang sangat merugikan antara lain : pengaruh
terhadap kestabilan dan menurunnya air serta
pengaruh terhadap eksploitasi dan
pemeliharaan dari sarana jaringan irigasi.

TUJUAN PENELITIAN :
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui
sejauh mana Pengaruh yang ditimbulkan
sedimen terhadap jaringan Irigasi dan
bagaimana cara penanggulangannya

LANDASAN TEORI
Sedimen diartikan sebagai suatu material
yang terpisah-pisah yang terangkut,
melayang-layang atau mengendap oleh air.
Secara umum sedimen digolongkan menurut

Jurnal Teknik Hidro | 51

ukuran, berat jenis, bentuk, komposisi dan
hal-hal lain, sedangkan pergerakan sedimen
dalam air tergantung dari faktor-faktor, antara
lain : kecepatan dan arah aliran, turbulensi
aliran gradasi bahan sedimen dan beberapa
hal yang menjadikan penggolongan sedimen.
Pengaruh Sedimen Terhadap Jaringan antara
lain :

1. Kestabilan dan Kapasitas Pengaliran
Sedimen
Pada umumnya kecepatan aliran air
yang terdapat pada saluran saluran irigasi
lebih kecil dari pada kecepatan aliran air
sungai yang menjadi tempat pengambilannya.
Akibatnya sedimen yang masuk terbawa
aliran air sungai, lama kelamaan akan
mengendap di saluran-saluran irigasi yang
dapat menimbulkan gangguan pada dasar alur
saluran dan kapasitas pengaliran air dari
saluran tersebut.
Akibat berubahnya kestabilan
saluran sering terjadi kelongsoran atau
pengrusakan pada tebing-tebing saluran yang
menyebabkan terjadinya pengendapan di
tengah saluran, keadaan ini dapat
menimbulkan : berhentinya penyampaian air
untuk irigasi karena dipakai untuk
membersihkan endapan, berkurangnya areal
lahan yang diairi karena naiknya permukaan
dasar saluran, kerusakan pada bangunan-
bangunan di tepi saluran dan lain-lain.

2. Menurunnya Mutu Air
Dengan banyaknya beban angkutan sedimen
berupa lumpur dan lempung maupun pasir,
sebenarnya akan menambah kesuburan pada
lahan pertanian, tetapi dalam hal ini
pemasukan beban angkutan bahan sedimen
harus dalam jumlah relatif kecil, karena jika
terlalu besar akan menimbulkan penumpukan
bahan sedimen yang dapat menyebabkan
naiknya permukaan tanah.



3.Eksploitasi dan Pemeliharaan

Penggolongan Sedimen Berdasarkan :
a. Mekanisme Pengangkutan
1. Sedimen dasar alur (bed load), Gerakan
dari butiran yang bersentuhan dengan dasar
alur secara menggelinding, meluncur dan
meloncat-loncat.
2. Sedimen layang (suspendeed load).
Batas yang jelas untuk membedakan
keduanya ini sangat sukar sekali, tetapi
Einstein memberikan perkiraan bahwa
lapisan dasar alur(bed load) setebal 2 kali
diameter butirannya


h 2d
h garis batas
2d


Keterangan :
2d : Tebal lapisan sedimen dasar
h 2d: tebal lapisan sedimen layang
(untuk sedimen layang (suspended
load) terletak di atas garis batas yaitu
di atas lapisan sediment dasar alur)
Gambar 1. Pembagian lapisan pengangkutan

Penggolongan berdasar asal material
Sesuai dengan asal dari material yang
terangkut, angkutan sedimen dapat dibedakan
sebagai berikut :
1. Angkutan material dasar alur (bed load
transport)
Asal angkutan material ini dari dasar alur,
yang mana bahwa angkutannya ditentukan
oleh keadaan material dasar alur dan kondisi-
kondisialiran airnya, Angkutan material dasar
alur dapat berupa sedimen dasar alur ataupun
sedimen melayang
2. Wash Load
Angkutan dari butiran-butiran ini hampir
atau tidak sama sekali mengandung butiran
dari dasar alur, material angkutannya
didatangkan dari sumber-sumber luar (erosi)

Jurnal Teknik Hidro | 52

atau tidak mempunyai hubungan langsung
dengan keadaan setempat.
Wash load tidak penting untuk perubahan
dasar sungai tetapi hanya berpengaruh
terhadap sedimen pada waduk.
Dari dua sifat angkutan sedimen
yang berbeda menimbulkan bentuk-bentuk
aliran angkutan sedimen dan di dalam
pendekatan hitungan debit, jumlah angkutan
sedimen memberikan karakteristik angkutan
sedimen yang berbeda.
Gaya yang menghambat gerak butiran
adalah hanya sudut geser dari dalam material
itu sendiri, dari sebenarnya kemiringan dasar
sungai dapat dibedakan tipe aliran debris
sebagai berikut :
Tabel 1. Tipe aliran berdasarkan kemiringan

No
Kemiringan
Dasar
Bentuk Aliran yang
terjadi
1
2

3
20 %
50 %

80 %
Terjadi aliran debris
Terjadi kelongsoran
tebing dan aliran debris
Terjadi gerak jatuh batu


Rumus Tentang Pengangkutan Sedimen
Metode ACKERS dan WHITE

6 , 0
.
.
)
`

=
I
Q n
H
|
; untuk B > 10 H
U = Q / A
I H g
A
. .
= u
( )
3 / 1
1
(


=
v
s
g D Dgr
( )
( ) 1 .
.
1
*
'
*

=

s D g
U U
Fgr
n n

|
.
|

\
|
=
D
H
U
U
10
log 64 , 5
'
*

Ggr = C(Fgr/A 1)
n

S = Ggr . U. D. (U/U*)
n


Dimana :
U = kecepatan rata-rat (m/det)
U* = kecepatan (m/det)
H = kedalaman air (meter)
B = Lebar saluran (meter)
A = luas penampang (m
2
)
g = kecepatan grafitasi (m/det
2
=
9,81)
n = koefisien Manning (n = 0,035)
s = spesifik gravity = 2,65
V = kekentalan kinematik = T =
20
O
C
= 1,01 . 10
-6
m
2
/det
D = D
50
= diameter butir
Dgr = ukuran butir
Fgr = sedimen mobility number
Ggr = parameter angkutan
S = volume sedimen per satuan waktu
per satuan lebar
C, A, n, m = parameter yang berhubungan
dengan harga Dgr
Untuk menentukan besarnya harga
koefisien kekerasan tidak ada metode yang
dapat akan tetapi tergantung kepada beberapa
faktor antara lain : gesekan permukaan,
perubahan bentuk dan ukuran dari potongan
melintang, lekuk saluran dan lain-lain.
Kesemuanya ini tetap berdasarkan untuk
mendapatkan saluran yang stabil.
Lacey, mengatakan bahwa suatu
saluran untuk dapat mencapai suatu keadaan
yang stabil apabila terdapat suatu
keseimbangan antara pengendapan dan
pengrusakan dan keseimbangan dinamis dan
gaya yang dihasilkan serta pemeliharaan
bentuk dan kemiringan dasar saluran
Suatu saluran yang mana semua
veriabel-variabelnya sama-sama bebas untuk
menyimpang mempunyai kecenderungan
untuk membentuk bagian semi eliptis.
Dengan makin kasarnya sedimen
yang terangkut dalam air makin rata bentuk
kelebarannya demikian sebaliknya jika makin
halus sedimen yang terbawa makin sempit
kelebarannya .


Jurnal Teknik Hidro | 53

METODOLOGI PENELITIAN
Metode Analisa

1. Analisa Hidrologi, curah hujan daerah
studi dengan menggunakan metode :
a. Log Pearson Type III
b. Gumbel
c. Haspers
2. Menghitung debit banjir rencana, juga
berpedoman pada data yang diperoleh di
lokasi studi
3. Analisa sedimen, karena data yang ada
kurang akurat, maka analisa sedimentasi
di lokasi studi menggunakan rumus
Ackers dan white.
4. Desain dan Hidrolis bangunan pembilas.
Perhitungan hidrolis bangunan pembilas
terutama pada perhitungan kehilangan
tinggi muka air di bagian bangunan
sebagai berikut :
- kehilangan tinggi muka air akibat
saringan
- kehilangan tinggi muka air akibat
banjir.
Kedua bagian tersebut di atas menggu-
nakan rumus D. Kirsmer
hs = C. Sin u (t/d)
4/3

sedangkan rumus Leviavsky :

Fx
a zq g
Hp
.. . 2
u =

HASIL DAN PEMBAHASAN
METODE PENGENDALIAN SEDIMEN
Pengurangan sedimen yang akan
masuk ke dalam saluran sejauh mungkin
harus dimulai dari bangunan pengambilan
yang biasanya berada di sungai atau
sebelumnya. Pengurangan sedimen ke dalam
saluran dapat dilakukan bertahap tidak
sekaligus sehubungan dengan sifat
pergerakan dan besar diameter bahan
angkutan sedimen yang harus dihindarkan.
Pada dasarnya usaha pengendalian
sedimen pada bangunan pembilas dapat
dibagi dua cara, yaitu :
1. Usaha pencegahan yaitu dengan
melewatkan bahan angkutan sedimen
melalui bangunan pencegah sedimen
sehingga tidak dapat masuk terbawa
ke pintu pengambilan.
2. Usaha membuang atau mengeluarkan
bahan angkutan sedimen yang telah
masuk ke dalam saluran.
Berbagai cara pengendalian sedimen dan
usaha-usaha berkaitan diuraikan sebagai
berikut :
1. Pemeliharaan Letak dan Posisi Bangunan
Pengambilan
Lokasi bendung dan bangunan
pengambilan terhadap sungai sangat
berpengaruh terhadap pemasukan
sedimen. Bangunan pengambilan
sebaiknya diletakkan sedemikian
sehingga mulus atau di sisi sungai
dimana aliran sungai lurus. Penempatan
bangunan pengambil terutama diperlukan
bilamana bangunan pengambil merupakan
bangunan pengambil beban tanpa
bendung. Maksudnya ialah agar bangunan
pengambil selalu berada di dekat jalur
terdalam air akan lancar masuk ke
bangunan pengambil. Pada tikungan
sungai, jalur terdalam pada umumnya
berada diluar tikungan luar aliran.
Selain daripada itu ditikungan selalu
terjadi aliran spiral atau aliran helicoidal
yang mempunyai sifat mengerus dasar
sungai ditikungan luar dan membawa
hasil gerusan tikungan dalam. Jadi dalam
hal ini ditempatkan bangunan pengambil
di tikungan luar, angkutan sedimen dasar
diarahkan keseberang tikungan. Dalam
dan sedikit yang masuk bangunan
pengambil. Tembok sayap di hulu
bangunan pengambil bentuk dan
ukurannya harus sedemikian rupa
sehingga turbulensi air tinggi dan
terjadinya pusaran-pusaran air
dihindarkan. Turbulensi dan pusaran-
pusaran akan menyebabkan konsentrasi
sedimen dalam air lebih tinggi.

Jurnal Teknik Hidro | 54

2. Bangunan Pencegah Sedimen
Prinsip kerja bangunan pencegah
sedimen adalah memisahkan dan
menyadap air dari lapisan aliran sebelah
atas yang kurang mengandung sedimen
dengan gradasi kasar, sedangkan untuk
lapisan sebelah bawah yang mengandung
sedimen lebih banyak langsung dialihkan
ke hilir bendung sehingga sedimen dapat
dicegah untuk masuk ke dalam bangunan
pengambil.
Berbagai jenis bangunan sedimen
yang telah dibangun dan di bawah ini
akan diberikan macam-macam bangunan
pengambil sedimen.
a. Pembilas Bendung Konvensional
Yang dimaksud adalah bagian-bagian
pada bendung dimana hulunya dapat
dihanyutkan ke hilir melalui pembilas
tersebut. Fungsi dari pembilas bendung
adalah mengurangi jumlah bahan angkutan
sedimen yang masuk ke bangunan
pengambil.















Gambar 2. Pembilas Bendung
Konvensional
b. Ambang Penahan Sedimen (Skiming
Wall)
Untuk mencegah masuknya angkutan
sedimen dasar ke bangunan pengambil maka
biaanya diusahakan bangunan mercu ambang
bangunan pengambil ditempatkan berada jauh
lebih tinggi dari dasar alur.
Tinggi mercu ambang sebaiknya
ditempatkan di sekitar sepertiga dari tinggi air
dihitung dari dasar dengan alasan bahwa
konsentrasi pasir makin dekat ke permukaan
makin kecil dan meloncat kurang lebih
sepertiga tinggi air dari dasar.
Dengan mengambil tinggi ambang
penahan sedimen kira-kira sepertiga tinggi air
yang diharapkan angkutan sedimen layang
juga yang berupa fraksi pasir tidak ikut
masuk.



h

1/3 h


c. Pembilas Bawah (Under slice)
Sebagai tujuan utama, kontruksi ini
dipakai untuk mencegah sedimen dasar alur
masuk ke bangunan pengambil, tetapi
pembilas bawah ini dapat pula mengurangi
jumlah sedimen terutama fraksi pasir dalam
suspensi.





Sekat penguras


Lantai atas


Air yang mengalir sebelum masuk
bangunan pengambil dibagi dua, lapisan air
bagian bawah dan lapisan air bagian atas
mengalir masuk kedalam bangunan
pengambil. Kedua lapisan ini dipisahkan
dengan konstruksi plat sebagai penutup atas
pembilas. Dengan demikian angkutan
sedimen dasar alur yang bergerak pada

Jurnal Teknik Hidro | 55

lapisan bawah aliran sebelum masuk
kedalam bangunan pengambil terlebih
dahulu tersedot kedalam pembilas bawah
dan terbuang melalui pintu hilir pembilas
bawah.
3. Bangunan Penangkap Sedimen (sedimen
Trap)
Tujuan dari bangunan ini ialah untuk
menghindari fraksi pasir yang berupa
angkutan sedimen melayang yang berasal
dari sungai dan masuk melalui bangunan
pengambil mengalir ke saluran induk.
Penangkap sedimen harus mempunyai
ukuran dan bentuk tertentu sehingga dapat
mengendapkan angkutan sedimen layang
dengan baik dan hasil endapan ini nantinya
dapat dibuang melalui pintu pembilas.

Sal. Bilas


GuideWall
rendah


Intake
Gambar 5. Penangkap Sedimen

4. Bangunan Pembuang Sedimen
Bangunan ini dikenal dengan nama
Ejektor (sedimen ejektor) dengan tujuan
menarik sedimen yang terkumpul dalam
kolam pengendap dengan menggunakan
sistem daya kuras.
Air Bersih

dibuang





Gambar 6. Pembuang Sedimen
Selain hal-hal yang telah diuraikan diatas,
masih banyak jenis-jenis bangunan untuk
mengendalikan sedimen. Dan juga untuk
mengurangi jumlah angkutan sedimen
pengaruh cara eksploitasi pintu-pintu
bendung, bangunan pengambil dan pengelak
sedimen harus diperhatikan.

ANALISIS
1. Perhitungan Debit Rencana (Design
Flood) dan Debit Pembilas
Perhitungan debit rencana di daerah studi
dari penelitian sebelumnya yang
menggunakan metode Rasional Jepang

6 , 3
. . A r
Q
o
=
Dengan :
Q = Debit banjir maksimum (m
3
/det)
A = Koefisien limpasan
r = Intensitas hujan selamawaktu
konsentrasi (mm/jam)
A = Luas daerah aliran sungai /DAS
(km
2
)

Diperoleh : Q
100
= 444,85 m
3
/det
Sehingga debit rencana = 1,2 x Q
100
= 112 x
444,85 = 533.82 m3/det
Untuk bangunan pembilas debit yang
ideal adalah berkisar 15% hingga 20 % dari
debit perencanaan untuk bendung. Maka dari
itu debit rencana untuk pembilas bawah
adalah :
Qb = 0,15 x 533,82 = 80,07 m
3
/det
2.Perhitungan Sedimen
Pada perhitungan angkutan sedimen total
parameternya adalah sebagai berikut :
g = 9,81 m/det
n = 0,035
s = 2,65
V = 1,01 x 10
-6
m
2
/det
D50= 7,5 x 10
-3
m
Dengan menggunakan metode Ackers and
White diperoleh hasil pada Tabel 1.

3. Desain dan Hidrolis Bangunan Pembilas
Data dimensi bangunan sebagai pembilas lama :
Q = 25,757 m3/det, n = 0,015, b = 1,5 m

Jurnal Teknik Hidro | 56

maka :
m
b g
Q
hc 399 , 1
5 , 1 ... 81 , 9
07 , 1 ... 25 , 1
...
...
3 / 1
2
2
3 / 1
2
2
=
(
(

=
(
(

=
o


488 , 0
) 399 , 1 2 5 , 1 (
5 , 1 399 , 1
2
.
=
+
=
+
=
x
x
hc h
h hc
Rc

00786 , 0
393 , 0
399 , 1 81 , 9 015 , 0 . .
2
3 / 4
2
= = =
x x
Rc
hc g n
Sc
Maka kemiringan dasar saluran pembilas
bawah diambil i/iii dan tinggi air rencana
diambil 1,770 m. Perhitungan kecepatan kritis
yang menggerakkan butiran sedimen di
pembilas bawah
Rumus Distribusi Kecepatan :
6 . 75 , 5
*
+
|
.
|

\
|
=
Ks
R
Log
c U
Uc

Dimana :
Uc = kecepatan kritis
U*c = Kecepatan geser kritis
Untuk :
d = 0,303 (cm) ------ U*c = 8,99 d
1/2

R = Jari-jari hidrolis
Ks = d
65
= 16,8179 mm = 1,682 cm
d = Diameter butir sedimen
Maka :
Uc = 8,99 x 3
0,5
x 5,75 log (R/Ks) + 6
Hasil pehitungan hubungan antara kedalaman
air h dengan Uc.
h (cm) R (cm) Uc
(cm/det)
35 23,86 196,56
70 36,21 212,78
105 43,75 220,13
140 48,84 224,41
170 52,04 226,88

Dari hasil perhitungan di atas
diambil perkiraan kecepatan kritis, 2,0 m/det
untuk d= 30 mm,bila kecepatan lebih dari 2,0
m/det endapan akan terbawa aliran.
Pengaliran kecepatan kritis 2,0 m/det
sesuai pula dengan grafik Hjulstrom.
Kontrol kecepatan.

Pintu pembilas bawah dibuka keseluruhan

+ 144,50

+142,0
zq g Vu . 2 =
Zq = beda tinggi muka air di depan bendung
dan akhir dan pembilas bawah.
Kec. Vu = 2. 9,81 . 1,9 = 6,11 m/det
Pintu pembilas bawah dibuka setinggi 1 m



Y = 1 m
Fx
a zq g
Vx
. . 2 . u
=
Dimana,Vx = kecepatan pembilas bawah
= Koefisien kontraksi
a = Luas bukaan pintu
Fx = Luas basah pada pembilas bawah
Vx =
7 , 1 . 5 , 1
) 5 , 1 . 1 ( . 9 , 1 . 81 , 9 . 2 62 , 0
= 2,23 m
4.Perhitungan Hidrolis
Perhitungan hidrolis terutama akan
mencakup perhitungan kehilangan tinggi
muka air bagan-bagian bangunan.
Kehilangan atau beda tinggi muka
air meliputi:
1. kehilangan tinggi muk air akibat saringan
2. kehilangan tinggi muka air akibat pijar
Besaran-besaran yang ditetapkan adalah:

Jurnal Teknik Hidro | 57

1. Debit air Q maksimum = 80, 07 m
3
/det
2. Elevasi muka air di hulu bendung : El .44, 35
3. Tinggi air pada hulu bendung 3,50 m

Kehilangan tinggi muka air akibat saringan.
Menurut : D. Kirsmer
h
s
= C . Sin u (t/d)
4/3


+44,35
hs 42,99



h
s
= Kehilangan tinggi air karena saringan
C = Koefisien yang tergantung pada bentuk
penampang batang saringan = 2,42
u = Sudut mirng prmasangan = 9 mm
d = jarak antara batang saringan = 30 mm
V1 = Kecepatan di hulu
V1 = det / 44 , 0
6 , 3 . 50
07 , 80
m =
Sin 75
0
= 0,966
hs = 2,42* 0,966*
62 , 19
) 44 , 0 (
. )
30
9
(
2
3
4

= 0,0048 m
Maka; El. Muka air menjadi :
El . 43,00 0,0048 = 42,99 m
Dan ketinggian muka air :
43,99 39,50 = 3,49 mm
Kehilangan tinggi mukaair akibat adanya
pilar
Menurut Leliavsky
hp =
(
(

|
.
|

\
|
1
2
2
2
2
A
a
gK
Va
................. (5-2)
dimana :
hp = kehilangan tinggi
Va = kecepatan air di muka pilar
a = luas bruto = h x B=3,49*50 =17,5 m
2

K = untuk pilar bulat = 0,92
A = luas lubang netto
Va = det / 458 , 0
49 , 3 . 50
07 , 80
m =
Hp = ] 1 )
9 , 213 . 49 , 3
5 , 174
[(
92 , 0 . 62 , 19
458 , 0
2
2
2

= 0,014 m
Maka elevasi air menjadi
Elevasi 42,99 0,014 = 42,97 m
Dan tinggi air = 3,49 0,14 = 3,476 m

KESIMPULAN

1. Total angkutan sedimen diperoleh :
525.918.265 m3/th
2. Untuk mendapatkan keseimbangan dalam
angkutan sedimen sepanjang sungai perlu
pengaturan pada daerah pengendapan
3. Perubahan bangunan penguras dari
penguras konvensional menjadi bangunan
pembilas bawah dapat mengurangi
angkutan sedimen yang menumpuk di
muka intake

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1986, Pedoman dan Kriteria
Perencanaan Irigasi, DPU Direktorat
Jenderal Pengairan, Bandung
Eruce Wither and Stanley wipond, 1974,
Irrigation Design and Practice,
London
Oehadijono Prof, 1993, Dasar-dasar Teknik
Sungai (Principles River
Engineering), Buku Pelajaran
Universitas Hasanuddin
Soemarto CD, Ir, 1986, Hidrologi Teknik,
Usaha Nasional, Surabaya Indonesia,
Jakarta
Soewarno, 1991, Hidrologi Pengukuran dan
Pengelolaan Data Aliran Sungai
(Hidrometri), Penerbit Nova,
Bandung.
Soenarno KSC, Ir, 1976, Perhitungan
Bendung Tetap, Bandung
Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda,
1984, Pengaturan dan Perbaikan
Sungai, PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Ven Te Cho, PhD, 1989, Open Channel
Hydrailics (Hidrolika Saluran
Terbuka), Penerbit Erlangga.

Jurnal Teknik Hidro | 58

PENERAPAN BEBERAPA METODE IRIGASI LOKAL PADA
PERTANAMAN PALAWIJA

Marupah

ABSTRAK
Penerapan Beberapa Metode Irigasi Lokal dan Penggunaan Pupuk Kandang pada
Pertanaman Kedelai (Glycine max (L) Merrill).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari efektifitas metode irigasi drip
dan penggunaan pupuk kandang dalam menunjang pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max
(L) Merrill).
Percobaan pot dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin yang
berlangsung mulai Juli sampai September 2005, sedangkan analisis beberapa sifat fisik dilaksanakan
di laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia.
Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan Pola Rancangan Petak
Terpisah (RPT), pupuk kandang sebagai petak utama dan metode pemberian air sebagai anak petak,
masing-masing terdiri dari tiga taraf sebagai berikut : Petak Utama, pupuk kandang sapi dengan
dosis 0 ton/ha, 25 ton/ha dan 50 ton/Ha. Anak petak, metode pemberian air secara manual, flow dan
drip. Jadi diperoleh 9 kombinasi perlakuan, diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 27 pot
percobaan. Parameter yang diamati yaitu jumlah daun, jumlah cabang, berat kering bagian atas dan
bagian bawah, jumlah polong, berat kering biji per pot dan kadar air tanah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Metode irigasi Drip sangat efektif dalam
mempertahankan kadar air tanah, (2) penerapan sistem irigasi drip pada tanah Alfisol tidak
memerlukan penambahan pupuk kandang untuk meningkatkan produksi (berat biji kering), (3)
pengaruh interaksi terbaik pada sistem irigasi drip dengan tanpa pemberian pupuk.


1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Permasalahan yang menyangkut
pengelolaan sumber daya air sangat beragam
dan semakin rumit, padahal air merupakan
penunjang kehidupan yang sangat esensial.
Dewasa ini Indonesia mulai menghadapi
maswalah yang serius berkaitan dengan neraca
penggunaan air tanah yang seimbang. Di
Indonesia terdapat kurang lebih 214 cekungan
air tanah potensial , dengan kapasitas total
diperkirakan 474.791 juta meter kubik per
tahunnya . Sementara proyeksi kebutuhan air
tanah untuk berbagai keperluan sampai tahun
2000 nantimencapai sekitar 97.916 juta meter
kubik per tahunnya (Deny dalam Probo-
Hadiwidjoyo, 1993).
Air sangat penting , maka dari pada itu
dalam pemanfaatanya perlu digunakan
seefisien mungkin. Terutama air irigasi yang
dapat mengairi tanaman yang kapasitas airnya
dapat dikontrol atau disesuaikan dengan
tingkat kebutuhan tanaman.
Metode yang efektif untuk menghemat
air irigasi yaitu metode irigasi lokal, dimana
pembasahan lansung didaerah perakaran
tanaman sehingga air irigasi dapat
dipergunakan seefisien mungkin. Metode
irigasi drip merupakan salah satu bagian dari
irigasi lokal , di mana metode irigasi drip
merupakan teknik pengairan dengan
meneteskan air setetes demi setetes.Tujuannya
untuk memenuhi kebutuhan tanaman agar tetap
optimal saat persediaan air terbatas .Prinsip
pengairan ini sangat sederhana, dari sumber air
(dapat berupa sungai, sumur artesis, danau atau
kolam) yang letaknya di ketinggian tertentu, air
di salurkan melalui sistem susunan selangt
plastic ke setiap tanaman (Alwi dalam
Norsasongko , 1993). Meskipun prinsipnya,
penerapannya memerlukan sejumlah peralatan
serta penelitian yang seksama mengenai
jumlah air yang di distribusikan.
Masalah utama dalam sistem
penerapan ini yaitu masih kurangnya sarana
peralatan yang mampu mengontrol keluarnya
sejumlah air yang di butuhkan tanaman secara
kontinyu dan tidak berlebih.

Jurnal Teknik Hidro | 59

Melihat pentingnya peranan air maka
ketersediannya dalam tanah perlu di tingkatkan
dan dilestarikan sesuai dengan kebutuhan
tanaman. Salah satu usaha untuk meningkatkan
ketersediaan air dalam tanah adalah pemberian
pupuk kandang. Menurut Saleh (1983 ) dalam
Ahmad (1991 ), pupuk kandang mengandung
bahan organic maka pemberiannya pada tanah
berat dapat merubah struktur liat menjadi
longsor dan porous sehingga tanah menjadi
gembur. Dengan demikian ketersediaan air
dalam tanah juga meningkat.
Kedelai termasuk tanaman yang tidak
tahan kekeringan namun juga tidak tahan
terhadap gangguan air. Yang baik untuk
tanaman kedelai adalah air tanah dalam
keadaan kapasitas lapang sejak tanaman
tumbuh hingga polonh mengisi penuh,
kemudian kering menjelang panen. Kekeringan
pada saat pertumbuhan vegetatif
mengakibatkan tanaman kedelai kerdil,
kekeringan pada saat berbunga atau pengisian
polong dapat menggagalkan panen (Sumarno,
1991).
Tanaman kedelai dapat tumbuh baik
pada berbagai jenis tanah, asalkan drainase air
tanah baik dan ketersediaan air tanah cukup
selama pertumbuhan .Pertumbuhan tanaman
kedelai dapat optimal, bila tanah dapat
mengandung banyak unsur hara, berstruktur
gembur , bebas dari gulma serta dapat
mengandung cukup air (Sumarno ,1991).
Berdasarkan uraian singkat di atas
dirasa perlu melakukan penelitian tentang
beberapa metode irigasi yang di kombinasikan
dengan penggunaan pupuk kandang dan
tanaman kedelai obyeknya.
1.2. Hipotesis
1. Metode irigasi drip lebih efektif dalam
mempertahankan kadar air tanah di banding
metode irigasi flow dan manual.
2. Pupuk kandang dapat meningkatkan
kemampuan tanah menahan air.
3. Perpaduan antara metode irigasi drip dan
penggunaan pupuk kandang akan lebih
meningkatkan produksi tanaman kedelai.
1.3. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan mempelajari efektifitas metode irigasi drip
dan penggunaan pupuk kandang dalam
menunjang pertumbuhan dan produksi tanaman
kedelai.
Diharapkan penelitian ini dapat
memberikan informasi mengenai efeksitas
metode irigasi drip dalam mempertahankan
kadar air tanah dan diharapkan pula penelitian
ini menjadi dasar atau itik tolak untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.3. Irigasi Lokal
Irigasi lokal adalah pembasahan
sebagian dari tanah dalam sebidang lahan,
tetapi dapat di artikan lebih khusus lagi yaitu
sebagai sistem pembasahan sebahagian dari
tanah pada dasar tanaman (daerah perakaran
tanaman) .
Hal yang terpenting dari irigasi lokal
ini dan merupakan karakteristiknya yaitu
lambat dan sedikitnya volume air yang di
berikan pada daerah perakaran tanaman. Alat
penyambung yang digunakan dalam sistem ini
sebagai alat pendistribusi seperti :lubang-
lubanh kecil/mulut, pipa, pipa semprot, micro
tube, pipa-pipa penyerap, dst, apakah diatur
diatas permukaan atau dibawah permukaan
tanah (Varmeiren, 1980).
2.4. Metode Pemberian Air Irigasi
2.2.1.Irigasi Curah (Manual )
Irigasi curah sangat sesuai bagi daerah
yang tanahnya mempunyai laju infiltrasi yang
tinggi dan topografi daerahnya tidak mungkin
diratakan, sehingga tidak menguntungkan bila
diterapkan irigasi permukaan. Dengan irigasi
curah memungkinkan perubahan total
lingkungan pertumbuhan melalui pembasahan
tanah dan tajuk tanaman . Hal ini
menyebabkan turunnya tempratur dan naiknya
kelembaban nisbi disekitar tanaman sehingga
tegangan air (Water stress )di dalam jaringan
tanaman turun (Hakim, dkk, 1986).

2.2.2. Irigasi Drip
Irigasi drip disebut juga irigasi tetes atau
irigasicucuran yang terdiri dari jalur pipa yang
ekstensif biasanya dengan diameter kecil yang
memberikan air lansung tersaring ke tanah
dekat tanaman. Selang pendistribusian utama,
disambung dengan selang cabang yang
dihubuingkan dengan beberapa pi[a penetes.
Supaya air dapat menetes, di bagian pipa
penetes yang yang berada di tempat dekat

Jurnal Teknik Hidro | 60

tanaman di pasang alat berlubang kecil /emitter
(Alwi dalam Nursasonhgko, 1993 ).
Air irigasi dapat diberikan secara sangat
efisien kepada pohon kecil dan ditanam dengan
jarak yang lebar dimana air ditempatkan pada
daerah akar tanpa membasahi tanah dimana
tidak ada akar.Efisiensi pemakaiam air
mendekati 100 % dan penghematan air dari 30
sanpai 50% dihasilkan bila dibandingkan
dengan metode pemberian yang lain untuk
tanaman dan kondisi y6ang sesuai untuk
metode irigasi drip. Masalah serangan han=ma
dan penyakit dapat dikurangi dan mengurangi
pembasahanpermukaan ctelah sampai
minimum. Lebih sedikit semak-semak dan
lebih sedikit pengersan tanah , menurunnya
pengolahan tanah .dengan demikian sedikit
pemadatan tanah dan lebih sedikit gangguan
pada waktu panan adalah keuntungan metode
irigasi drip (Hansen, 1979 ) .

2.2.3. Irigasi Flow
Irigasi flow merupakan cara pemberian
air dengan mengalirkan air lansung ke daerah
perakaran tanaman dengan menggunakan pipa-
pipa pendistribusi, metode irigasi ini hampir
sama dengan metode irigasi drip tetapi cara
pemberian airnya berbeda yaitu dengan
mengalirkan dan metode irigasi drip diteteskan.
2.3. Peran Pupuk Kandang
Peningkatan produksi tanaman
palawija khususnya kedelai, pengolahan
terhadap tanah sebagai media bagi
pertumbuhan perlu diperhatikan.Menurut
Soepardi (1983 ) , untuk mendapatkan
pertumbuhan tanaman perlu diperhatikan sifat
fisik, kimia dan biologi dari tanah tersebut,
karena sifat tanah ini sangat berpengaruh
terhadap produksivitas dan penyediaan harga
bagi tanaman.
Menurut Bennet (1939 ) dalam Sarief
(1989 ), fungsi bahan organic antara lain dapat
memperbaiki aerasi tanah dan mempertinggi
kapasitas air tanah serta memperbaiki daerah
perakaran. Selanjutnya Syarief menyatakan
bahwa peranan bahan organic terhadap sifat
fisik tanah adalah menaikkan kemampuan
agregat tanah, memperbaiki struktur tanah, dan
menaikkan daya tahan air tanah.


2.4. Kebutuhan Air Tanaman Kedelai
Produksi nasional berfluktuasi dari
tahaun ke tahun sejalan dengan fluktuasi luas
pertanaman. Merosotnya luas pertanaman dan
panen antara lain adanya ketersediaan air yang
tidak terjamin serta drainase tanah yang jelek,
karena tanaman kedelai merupakan tanaman
yang yang tidak tahan terhadap genangan air
(Lamina, 1989). Kandungan air yang
dikehendaki dan yang baik untuk tanaman
kedelai adalah pada tingkat kadar air kapasitas
lapang. Dijelaskan oleh Ahmad dalam Lamina
(1989 ) bahwa akibat kekeringan selama
pertumbuhan tanaman kedelai adalah :
1. Kekeringan pada saat biji kedelai ditanam
dapat menghambat perkecambahan.
2. Periode pertumbuhan aktif dapat
menghambat pertumbuhan dan muluruhnya
daun- daun pada cabang bawah
3. Periode pembungaan akan mempertinggi
derajat kerontokan bunga.
4. Periode pembentukan polong dapat
menghambat pembentukan polong dan
meluruhnya polong polong yang baru
terbentuk.
5. Periode pengisian polong akan
mengurangi jumlah biji dan kepadatan
ukuran biji.
Selama pertumbuhan tanaman kedelai
membutuhkan sejumlah air. Kebutuhan air ini
bervariasi menurut kondisi iklim, pengolahan
tanah, jenis tanaman, lama musim tanam dan
fase pertumbuhan tanaman (Faisal dalam
Ahmad, 1991).
Jumlah dan waktu tersedianya air tanah
sangat mempengaruhi keberhasilan
pengusahaan tanaman kedelai. Kebutuhan air
tanaman kedelai yang umur sedang (85 hari)
ditetapkan oleh Abdulhay dan Sulaiman
(1983) di Jawa Barat, dan oleh Doorenbos
dan Pruit (1971) di Filipina seperti yang
tercantum pada Tabel 1.

2.5. Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai
Tanaman kedelai merupakan tanaman
semusim yang dapat tumbuh baik pada jenis
tanah Alluvial, Regosol, Latopsol atau
Andosol. Menurut Morris (1983) dalam
Ahmad (1991), pertumbuhan tanamn kedelai
kurang baik pada tanah pasir, ph tanah yang
baik untuk pertumbuhan kedelai adalah 6 - 6,5

Jurnal Teknik Hidro | 61

untuk Indonesia dianggap baik jika ph tanah
5,5 - 6 . Di samping ph, ketersediaan air
selama pertumbuhan tanamn kedelai sangat
menentukan hasil kedelai (Lamina, 1989 ).

Tabel.1 Kebutuhan Air pada Tanaman
Kedelai Umur Sedang (85 hari ) pada
Setiap Periode Tumbuh.
Stadium Tumbuh Periode Kebutuhan air
(mm / periode)
Pertumbuhan Awal
Vegetatif Aktif
Pembungaan
pengisian polong
Pematangan biji
20
10
35
20
53 62
53 62
124 143
70 - 83
Sumber :Doorenbos dan Pruit (1971 ) dalam Ahmad
(1991)

2.6.Tanah Alfisol
Tanah Alfisol adalah tanah tanah dengan
penimbunan liat di horizon bawah dan
mempunyai kejunuhan basa tinggi yaitu lebih
dari 35 % pada kedalaman 180 cm dari
permukaan laut. Liat yang tertimbun di horizon
B ini berasal dari horizon di atasnya yang
tercuci kebawah bersamaan dengan gerakan air
(Hardjowigeno, 1989 ).

3. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di rumah
kaca Universitas Hasanuddin Tamalanrea
Makassar pada Juli sampai September 2005.

3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang di gunakan dalam penelitian ini :
benih kedelai, rhizogin, pupuk urea, TSP,
KCL, pupuk kandang, sampel tanah Alfisol.
Alat alat yang di gunakan : skop,
ayakan, timbangan, selang plastic, pipa
paralon, pot / ember, lem pipa, botol infuse,
balaok kayu, penampang air, label dan alat
tulis menulis.

3.3. Metode
Percobaan ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok dengan pola
Rancangan Petak Terpisah (RPT), sedang
petak utama adalah pupuk kandang dimana
perlakuannya meliputi : BO
0
= tanpa pupuk
kandang, BO
1
= 87,5 g / pot (25ton /ha), BO
2

=175 g / pot (50 ton/ ha).Sebagai anak petak
adalah metode pemberian air yang terdiri dari :
M = Manual , F = Flow , D = Drip.
Perlakuan disusun berdasarkan
Rancangan Petak Terpisah , dimana petak
utama terdiri dari 3 perlakuan (BO
0,
BO
1,
BO
2
)
dan petak terdiri dari 3 perlakuan ( M, F, D )
sehingga didapatkan 9 kombinasi perlakuan
(Tabel 2 ), kombinasi perlakuan ini diulang 3
kali sehingga didapatkan 27 pot percobaan .

Tabel 2. Kombinasi Perlakuan
Dosis
Pupuk
Metode Pemberian Air
Drip Flow Manual
0 ton/ha
25 ton/ha
50 ton/ha
DBO
DBO
DBO
FBO
FBO
FBO
MBO
MBO
MBO

3.4. Pelaksanaan
3.4.1. Perakitan Alat
Disiapkan alat penampung yang
berkapasitas 42 liter swebagai sumber air.
Melalui pipa paralon yang panjangnya 2 m
berdiameter 2,5 cm air dialirkan dari sumber
utama (penampung). Pipapipa paralon
(pendistribusi utama) disambungkan dengan
selang plastic 0,5 mm ke botol pendistribusi ini
nantinya mengalirkan air ke pipa penetes. Pipa
penetes ini dilengkapi alat khusus yang dapat
mengatur besar besar kecil tetesan air,
kemudian pipa pipa penetes ini dipasans di
tempattempat dekat tanaman sehingga sumua
tanaman mendapatkan jatah air yang sama
sesuai perlakuannya.
3.4.2. Analisis Tanah
Analisis tanah yang utama dilakukan hanya
sifat fisik yang meliputi: kapilaritas, TPL,
kapasitas lapang, kadar air permukaan tanah,
kadar air tanah pada kedalaman 5 7 cm dari
permukaan tanah dan tekstur tanah.

3.4.3. Persiapan Media
Tanah Alfisol diambil dari lahan
secara komposit pada kedalaman 0 -30 cm
dari permukaan tanah. Tanah kemudian
diayak dan dicampur hingga homogen . Tiap-
tiap pot diisi 7 kg tanah, kemudian pupuk
kandang dicampur secara merata seminggu
sebelum penanaman. Media siap ditanami.


Jurnal Teknik Hidro | 62


3.4.4. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan cara
tugal, setiap pot diisi 4 biji, setelah tanaman
tumbuh merata kemudian disisakan 2
tanaman tiap pot.

3.4.5. Penyiraman
Penyiraman dilakukan sesuai dengan
perlakukan masing masing. Jumlah air yang
diberikan untuk semua perlakuan adalah 200
ml / pot / hari.

3.4.6. Pemupukan
Disamping pemberian pupuk kandang
juga diberikan pupuk buatan dengan dosis : 23
kg urea/ha, 69 kg TSP/Ha , 60 KCL/ha. Pupuk
diberikan bersamaan dengan waktu penanaman
yang dilakukan denagn cara tugal sedalam 5
cm dari permukaam tanah.

3.4.7. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman meliputi
penyiangan gulma dan pengendalian hama dan
penyakit. Penyiangan gulma dilakukan setiap
hari sedangkan pemberantasan hama dan
penyakit dilakukan setiap ada tanda tanda
awal tanaman terserang hama dan penyakit
dengan menggunakan sevin 85 S.
3.4.7.Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap minggu,
parameter yang diamati meliputi : jumlah daun,
jumlah cabang, berat kering batang dan daun,
berat kering akar, jumlah polong dan berat
kering biji per pot.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1.Kadar Air Media
Kadar air awal media setelah diberi
perlakuan (Tabel 3) memperlihatkan pada
perlakuan DBO 2 (Drip dengan 50 ton / ha
pupuk kandang ) mempunyai kadar air
tertinggi yaitu 58, 25 % dan kadar air terendah
pada perlakuan MBO o (Manual dengan tanpa
pemberian pupuk kandang )yaitu 32,69 %.


Tabel 3. Kadar Air Awal Media Setelah Diberi
Perlakuan
Perlakuan KA Perlakuan KA Perlakuan KA
M BO
0
M BO
1
M BO
2
32,69
36,98
44,71
FBO
0
FBO
1
FBO
2

33,28
39,86
47,62
DBO
0
DBO
1
DBO
2

35,21
45,50
58,25
Keterangan : Kadar Air diambil pada kedalaman 5 7 cm
dari permukaan tanah
Grafik kadar air bagian atas
(permukaan media) memperlihatkan bahwa
kadar air tertinggi dicapai pada DBO 2 (drip
dengan pemberian pupuk kandang 50 ton/ha
(Gambar 1).
Gambar 2 , yaitu grafik kadar air pada
perlakuan drip dengan pemberian pupuk
kandang 50 ton / ha dan pemberian 25 ton / ha
dapat mempertahankan kadar air tanah (media)
lebih stabil sepanjang pertumbuhan tanaman
bila dibanding dengan metode pemberian air
secara manual dan flow, dari grafik ini pula
secara umum terlihat bahwa kadar air tertinggi
di dapatkan pada metode pemberian air secara
drip dan kadar air terendah terjadi pada metode
pemberian air manual.

4.1.2.Jumlah Cabang
Sidik ragam jumlah cabang
memperlihatkan bahwa pada berbagai tingkat
pemberian pupuk kandang dan pada berbagai
metode irigasi memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap jumlah cabang tanaman
kedelai (Tabel L ampiran 2).

Tabel 4. Pengaruh Tingkat Pemberian Pupuk
Kandang pada Beberapa Metode
Irigasi Terhadap Jumlah Cabang
Anak
Petak
Petak Utama
Rata-rata
Bo
o
Bo
1
Bo
2

M
F
D
2
3
2,67
3,33
3
5,33
5,33
6,33
7,67
3,56
b

4,11
a

5,22
a

Rata-rata 2,56
y
3,89
y
6,44
x

NP BNT
0,01
pada Petak Utama = 2,024
NP BNT
0,01
pada Anak Utama = 1,35

Jurnal Teknik Hidro | 63

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada taraf 0,01 menurut uji BNT.

Jumlah cabang tertinggi dicapai
pada perlakuan pemberian pupuk
kandang 50 ton / ha yang sangat nyata
meningkatkan rata rata jumlah cabang
per pot yaitu dari 2,56 tanpa pemberian
pupuk kandang menjadi 6,44 dengan
pemberian pupuk kandang 50 ton / ha .

4.1.3. Jumlah Daun
Sidik ragam jumlah daun
memperlihatkan bahwa pada berbagai
tingkat pemberian pupuk kandang
memberikan pengaruh yang nyata terhadap
rata - rata jumlah daun tanaman kedelai
(Tabel Lampiran 4 )
Tabel 5 . Pengaruh Tingkat Pemberian Pupuk
Kandang Terhadap Jumlah
Daun
Perlakuan
(ton / Ha)
Rata-rata NP BNT
Pupuk kandang
(BO
0
)
Pupuk kandang
25 (BO
1
)
Pupuk kandang
50 (BO
2
)
15,6
b


22,4
a


24,2
a

6,01
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 menurut uji BNT

Hasil uji BTN pada taraf 0,05 ( Tabel
5) memperlihatkan tanpa pemberian pupuk
kandang (BO o ) berbeda nyata dengan
pemberian pupuk kandang 50 ton / ha dan
25 ton / ha , tetapi pemberian pupuk
kandang 50 ton / ha . Tabel 5
memperlihatkan pula bahwa dengan
meningkatnya jumlah pemberian pupuk
kandang dari 0 50 ton / ha diikuti pula
oleh peningkan jumlah daun pada tanaman
kedelai, yaitu dari ratarata jumlah daun
15,6 menjadi 24,2.

4.1.4. Berat kering Batang dan
Daun
Sidik ragam berat kering batang dan
daun memperlihatkan bahwa berbagai
tingkat pemberian pupuk kandang
memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap berat kering batang dan daun per
pot dan pada berbagai metode irigasi
berpengaruh nyata terhadap berat kering
batang dan daun tertinggi dicapai pada
perlakuan metode irigasi drip yang
dikombinasikan dengan pemberian pupuk
kandang 50 ton/ha (Tabel 6) dan berat
kering batang dan daun terendah didapati
pada perlakuan metode irigasi manual
dengan tanpa pemberian pupuk kandang,
yaitu : 9,693 g/pot (tertinggi) dan 3,8
g/pot (terendah).
Hasil Uji BNT pada taraf 0,05 (Tabel 6
), memperlihatkan bahwa tanpa pemberian
pupuk kandang berbeda nyata dengan
pemberian pupuk kandang 25 ton/ha dan

Jurnal Teknik Hidro | 64

pemberian pupuk kandang 50 ton/ha
terhadap berat kering batang dan daun.
Begitu pula dengan metode irigasi manual
berbeda nyata dengan metode irigasi flow
dan metode irigasi drip, tetapi metode
irigasi flow tidak berbeda dengan metode
irigasi drip (tabel 6)

Tabel 6 . Pengaruh Tingkat Pemberian
Pupuk Kandang pada Beberapa
Metode Irigasi Terhadap Berat
Kering Batang dan Daun .
Anak
Petak
Petak Utama
Rata-rata
Bo
o
Bo
1
Bo
2

M
F
D
3,8
5,436
5,183
6,133
7,7
6,87
5,29
6,427
9,693
5,074
b

6,52
a

7,248
a

Rata-rata 4,8
b
6,9
a
7,13
a

NP BNT
0,05
pada Petak Utama = 0,32
NP BNT
0,05
pada Anak Utama = 1,459
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 menurut uji BNT

4.1.5. Berat Kering Akar
Sidik ragam berat kering akar
memperlihatkan bahwa pada berbagai
tingkat pemberian pupuk kandang dan
metode irigasi memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap berat kering akar
(Tabel Lampiran B).
Tabel 8 memperlihatkan pula bahwa
dengan metode irigasi yang berbeda
memberikan jumlah polong yang berbeda
pula, dimana rata rata terbanyak
didapatkan pada metode irigasi drip yaitu
43,7 per pot dan jumlah polong terendah di
jumpai pada metode irigasi manual yaitu
26, 8 per pot.


4.1.6. Berat Kering Biji
Sidik ragam berat kering biji
(Tabel Lampiran 12), memperlihatkan
bahwa pada berbagai metode irigasi
memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap berat kering biji per pot.
Interaksi pengakuan antara metode
pemberian air dan tingkat pemberian
pupuk kandang memberikan pengaruh
yang nyata terhadap berat kering biji
kedelai per pot (Tabel Lampiran 12 ).

Tabel 8. Pengaruh Berbagai Tingkat
Pemberian Pupuk Kandang
Pada Beberapa Metode Irigasi
terhadap Jumlah Polong Per
Pot
Perlakuan Rata-rata NP BNT
0
,
0
1
Manual
Flow
Drip
26,8
b

37
a

43,7
a

7,95
Keterangan : Angka yang diikuti oleh
huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 0,01
menurut uji BTN

Hasil uji BTN Pada taraf 0,05
(Tabel 9), memperlihatkan bahwa pada
metode irigasi manual perlakuan petek

Jurnal Teknik Hidro | 65

utama tidak berbeda nyata terhadap berat
kering biji, kumudian pada metode irigasi
flow pemberian pupuk kandang 50 ton / ha
berbeda nyata dengan pemberian pupuk
kandang 25 ton / ha yang berbeda nyata
pula dengan perlakuan tanpa pemberian
pupuk kandang, terhadap berat kering biji
per pot. Pada metode irigasi drip
pemberian pupuk kandang 50 ton / ha
berbeda nyata dengan pemberian pupuk
kandang 25 ton / ha dan berbeda nyata pula
dengan perlakuan tanpa pemberian pupuk
kandang terhadap berat kering biji per pot,
tetapi pemberian pupuk kandang 25 ton /
ha tidak berbeda nyata dengan tanpa
pemberian pupuk kandang terhadap berat
kering biji per pot.
Tabel 9, juga memperlihatkan rata
rata berat kering biji tertinggi yaitu 6,92
g / pot pada perlakuan pemberian pupuk
kandang 50 ton / ha dengan metode irigasi
drip dan tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanpa pemberian pupuk kandand
dengan metode irigasi flow yaitu 6,9 g / pot
dan tidak berbeda nyata pula dengan
perlakuan tanpa pemberian pupuk kandang
dengan metode irigasi drip yaitu 5,91 g /
pot. Rata rata berat kering biji terendah
terjadi perlakuan tanpa pemberian pupuk
kandang dengan metode irigasi manual
yaitu 3,26 g / pot , di mana tidak berbeda
nyata dengan pemberian pupuk kandang 25
ton / ha dan 50 ton / ha pada metode irigasi
manual.
Tabel 9 Pengaruh Tingkat Pemberian Pupuk
Kandang pada Beberapa Metode
IrigasI Terhadap Berat Biji Per Pot
Anak
Petak
Petak Utama
Rata-rata
Bo
o
Bo
1
Bo
2

M
F
D
3,26
6,90
5,91
4,27
5,50
5,59
3,84
4,36
6,92
3,79
5,58
6,14
Rata-rata 5,39 5,12 5,04
NP BNT
0,05
Terhadap satu taraf PU = 1,44
NP BNT
0,05
terhadap semua taraf AP = 1,38
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada pada taraf 0,05 menurut uji
BTN

4.2.Pembahasan
4.2.1. Pengaruh Berbagai Metode Irigasi
dan Pengunaan Pupuk Kandang
Terhadap Ketersediaan Air Tanah.
Hasil analisis kadar air awal setelah
diberi perlakuan memperlihatkan bahwa
kadar air tertinggi terdapat metode irigasi
drip yaitu 58, 25 % dan kadar air terendah
pada metode irigasi manual yaitu 32,69 %
. Ini terjadi karena pada metode irigasi
drip air lansung diberikan pada daerah
perakaran sehingga kemungkinan untuk
teruapkan sangat kecil. Pada metodse
irigasi drip air diberikan setetes demi
setetes dalam jangka waktu tertentu,
tetapi mampu menunjang pertumbuhan
tanaman. Karena air ini tidak teruaokan
dan tidak terdrainase. Sehingga dapat kita
katakan bahwa setiap tetes air yang kita

Jurnal Teknik Hidro | 66

teteskan akan berubah menjadi lengas
tanah yang yang tersimpan dalam pori
mikro dan dapat lansung dapat diserap
tanaman.Dan pada metode irigasi manual
air dicurah klansung ke pot sehingga
kemungkinan untuk teruapkan besar,
karena pada saat air mencapai permukaan
tanah tidak semuanya lansung terinfiltrasi
ke bawah tetapi sebahagian akan
menggenamg di permukaan.Karena air
yang tiba di permukaan tanah akan
memasuki tanah dengan lambat , yaitu
mula mula air mendesak udara yang
terdapat dalam pori makro kemudian
masuk ke pori mikro setelah pori
makrotelah terisi penuh. Air yang
terdapat dalam pori mikro inilah yang
kemudian menjadi lengas tanah yang siap
diserap oleh akar akar tanaman
(Soepardi, 1983) . Pada saat air di
permukaan air inilah proses penguapan
ini terjadi sehingga kadar air pada metode
irigasi manual menjadi rendah (Tabel 3)
Gambar 1 , menunjukkan kadar
airtertinggi dicapai pada perlakuan
metode irigasi manual dengan pemberian
pupuk kandang 50 ton / ha. Pada metode
irigasi manual dengan pemberian pupuk
kandang 50 ton / ha (KA tertinggi),
karena air di curah kepermukaan tanah
setiap harinya.Kemudian dengan adanya
pupuk kandang yang di campur secara
merata akan meningkatkan daya serap
dan daya pegan air oleh tanah. Dimana
kita ketahui bahwa sifat tahan Alfisol
yang mempinyai tekstur lengpung berliat
yang mempunyai kemampuan (kapasitas)
menahan air tinggi dan bila dicampur
dengan pupuk kandang maka humus
tanah menjadi bertambah , humus ini
nantinya akan berfungsi sebagai penahan
air sehingga tanah tidak cepat kering
karena humus memiliki daya memegang
air yang tinggi (Sahiban dalam Ahmad ,
1991). Pada metode pemberian air drip
dengan pupuk kandang 50 ton / ha (KA
terendah), karena air lansung diberikan
pada daerah perakaran sehingga
permukaan tanah menjadi kering akibat
terjadinya penguapan yang diistilahkan
dengan evavorasi. Keadaan ini
diperburuk dengan penambahan pupuk
kandang, dimana tanah menjadi gembur
dan total ruangan pori menjadi
bertambah. Hal ini mempercepat
terjadinya penguapan dipermukaan tanah.
Soepardi (1983) memperkuat hasil
percobaan ini dimana ia mengatakan
bahwa di dalam banyak
hal,mungkinbanyak air yang
terdapatdalam lapisan olah mengalami
pengurangan air melalui serapan akar.

Jurnal Teknik Hidro | 67

Hasil analisa kapilaritas (Gambar
Lampiran 2) juga mendukung pernyataan
diatas dimana kapilaritas pada perlakuan
pemberian pupuk kandang kenaikan tidak
telalu tinggi (berjalan lambat), sehingga
tidak dapat menggantikan degan cepat air
yang hilang dipermukaan tanah akibat
penguapan.
Berbeda halnya dengan kadar air
bagian bawah (Gambar 2), dimana
metode pemberian air drip dengan
pemberian pupuk kandang 50 ton/ha
memperlihatkan (secara umum) KA
tertinggi dan kadar air terendah terjadi
pada metode pemberian air manual
dengan dengan tanpa pemberian pupuk
kandang. Kadar air tertinggi yaitu 48,6 %,
ini tercapai pada metode irigasi drip
dengan pemberian pupuk kandand 50
ton/ha . Dan ini terjadi karena pada
metode irigasi drip kehilangan air hanya
disebabkan oleh serepan akar, kehilangan
melalui penguapan dari lapisan bawah
dapat dikatakan tidak terjadi. Karena
hasil analisis kapilaritas (Gambar
Lampiran 2 ) memperlihatkan bahwa
dengan pemberian pupuk kandang daya
kapilaritas tanah menjadi lambat.
Kemudian Kang Biauw Tjawan dalam
Sarief (1989),

4.2.2. Perubahan Berbagai Metode
Irigasi Terhadap Pertumbuhan
dan Produksi Tanaman Kedelai
Metode irigasi drip berbeda nyata
dengan metode irigasi manual terhadap
jumlah cabang, berat kering batang dan
daun, berat kering akar, jumlah polong
danberat kering biji (Tabel 4, 6, 7, 8, dan
9), dan berbeda nyata dengan metodeirigasi
flow terhdap berat kering batang dan daun
dan berat kering akar (Tabel 6 dan 7).
Disini kita melihat bahwa metode irigasi
drip mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman kedelai baik pada
fase vegetatif maupun pada fase generatif .
Kekurangan air pada media tumbuh
tanaman kedelai secara lansung atau tidak
lansung akan mempengaruhi semua proses
metabolisme dalam tanaman yang
berakibat berkurangnya pertumbuhan
(Faisal dalam Ahmad, 1991). Sebagaimana
telah dijelaskan padasub bab terdahulu
bahwa metode irigasi drip mampu
menyediakan kadar air tanah yang lebih
stabil sepanjang pertumbuhan tanaman,
sehingga lebih mampu mendukung semua
proses proses metabpolisme yang terjadi
di dalam tanaman.
Metode irigasi manual berbeda nyata
dengan metode irighasi drip hampir dari
semua parameter yang diamati. Ini
menunjukkan bahwa tanaman kedelai

Jurnal Teknik Hidro | 68

adalah tanaman yang sangat sensitive
terhadap kekurangan air. Karena
kekurangan air dapat mempengaruhi setiap
pertumbuhan tanaman termasuk anatomi,
morfologi, fisiologi dan biokimia.Menurut
Ritchie (1980 ) dalam Ahmad ( 1991 ) ,
proses proses yang sensitive terhadap
kekurangan air adalah pembelahan sel,
kelayuan daun, percabangan, keguguran
daun, penyisian biji dan translokasi unsur
hara. Perkembangan akar dan daun lebih
sensitive terhadap kekurangan air
disbandingkan dengan fotosintesis.
Kekurangan air selama pertumbuhan
vegetatif akan mengurangi daun, dengan
demikian akan mengurangi basarnya tajuk,
sehingga akumulasi bahan kering kurang
(Ahmad, 1991). Selanjutnya Ahmad M.
Fagi dan Freddy (1985) dalam Lamina,
(1989) mengatakan bahwa akibat
kekeringan selama pertumbuhan tanaman
kedelai adalah : kekeringan pada saat
pembentukan polong dan meluruhnya
polong polong yang baru terbentuk, dan
pada periode pengisian polong akan
mengurangi jumlah biji dan kepadatan
ukuran biji.

4.2.3. Pengaruh Pemberian Pupuk
Kandang Terhadap Pertumbuhan
dan Produksi Tanaman Kedelai
Tingkat pemberian pupuk kandang
50 ton / ha berbeda nyata dengan tanpa
pemberian pupuk kandang (BO o )
terhadap jumlah cabang, jumlah daun,
berat kering batang dan daun, dan berat
kering akar (Tabel 4, 5, 6, 7). Hal ini
diduga karena pernambahan pupuk
kandang ke dalam tanah tidak hanya
menambah unsur hara tanaman tetapi yang
terpenting adalah peran pupuk kandang
dalam memperbaiki sifat fisik tanah.
Dimana aerasi dan drinase tanah menjadi
baik sehingga dapat meningkatkan proses
pernapasan akar tanaman, pengisapan
unsur hara yang cukup di dalam tanah
kemudian di barengi dengan penyerapan
unsur hara oleh akar yang aktif maka
pertumbuhan dan perkembangan tanaman
kedelai dapat dijamin. Hal ini sejalan
dengan teori yang dikemukakan oleh
Soejanto dan Hadmadi (1980), yang
menyatakan bahwa pupuk kandang
dipergunakan terutama untuk memperbaiki
sifat fisik tanah seperti memudahkan
penyerapan air, memperbaiki daya
mengikat air dan memberikan lingkungan
tumbuh yang baik bagi tanaman dan
perkembangan akar.

4.2.4. Pengaruh Interaksi Antara
Metode Irigasi dan Tingkat

Jurnal Teknik Hidro | 69

Pemberian Pupuk Kandang
Terhadap Produksi Tanaman
Kedelai
Hasil sidik ragam (Tabel Laporan
12) memperlihatkan bahwa interaksi antara
metode irigasi dan tingkat pemberian
pupuk kandang hanya berpengaruh nyata
berat kering biji per pot.
Rata rata berat biji tertinggi
dicapai pada kombinasi perlakuan antara
metode irigasi drip dan pemberian pupuk
kandang 50 ton / ha yaitu 6,92 g / pot,
tetapi tidak berbeda nyata dengan rata
rata berat kering biji dari kombinasi
perlakuan antara metode irigasi drip dan
tanpa penambahan pupuk kandang yaitu
sebesar 5,51 g / pot. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan menerarkan metode irigasi
drip pada tanah Alfisol tidak dibutuhkan
penambahan pupuk kandang dalam
meningkatkan produksi kedelai. Ini terjadi
karena tanah Alfisol telah memiliki
kemampuan memegang air tanah cukup
baik, selai itui struktur tanahnya yang
primatik sudah cukup gembur untuk
menunjang perkembangan dan pernapasan
akar tanaman serta pengisapan unsur hara
dan air dari tanah.. Adanya daya
memegang air yang cukup baik pada tanah
Alfisol ini sangat menunjang pertumbuhan
tanaman kedelai mulai dari perkecambahan
hingga proses pengisian polong. Dimana
kita tahu bahwa tanaman kedelai adalah
tanaman yang tidak tahan kekeringan, bila
kekeringan terjadi pada periode pengisian
polong dapat mengurangi jumlah biji dan
kepadatan ukuran biji (lamina, 1989). Hal
inilah yang menyebabkan tidak terjadi
perbedaan yang nyata antara perlakuan
yang diberi pupuk kandang dan perlakuan
yang tidak diberi pupuk kandang, karena
faktor penentu dalam pertumbuhan dan
produksi tanaman kedelai adalah
ketersediaan air tanah yang cukup stabil
selama pertumbuhannya dan ini dapat
dipenuhi oleh metode irigasi drip walau
tanpa penambahan pupuk kandang.


5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan :
1. Metode irigasi drip sangat efektif dalam
mempertahankan kadar air tanah.
2. Penerapan metode irigasi drip pada
tanah Alvisol tidak memerlukan
penambahan pupuk kandang untuk
meningkatkan produksi (berat biji
kering).

Jurnal Teknik Hidro | 70

3. Pengaruh interaksi terbaik pada metode
irigasi drip dan tanpa pemberian pupuk
kandang.

5.2.Saran-Saran
1. Diharapkan agar penelitian tentang
irigasi drip lebih intensif dilakukan
sehingga dapat diciptakan suatu alat
yang mampu meneteskan air secara
kontinyu dan tidak berlebih,
konstruksinya sederhana serta mudah
dioperasikan di lapangan.
2. Mengingat penelitian ini
menggunakan dosis pupuk kandang
cukup banyak, kami mengharapkan
media penelitian ini digunakan
kembali untuk penelitian selanjutnya
agar diperoleh manfaat tambahan dari
pupuk kandang.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, f. 1991. Permasalahan dan
pengelolaan Air tanah Di Lahan
Kering. Pusat Penelitian Universitas
Andalas, Padang.
Buckman, H.O. and N.C. Brady, 1974. The
Nature and Properties of Soil,
Diterjemahkan oleh Soegiman, 1992.
Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara,
Jakarta.
Franklin P. Gardner, R. Brent Pearce, Roger
L. Mitchell, 1985. Physiology of
Crok Plantas, Diterjemahkan oleh
Herawati Susilo, 1991. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Hakim, N, M.Y. Nykpa, A.M. Lubis, S.G.
Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, Go
Ban Hong, H.H. Bailey, 1986. Dasar-
dasar Ilmu Tanah. Universitas
lampung.
Hansen, V.E, dkk, 1979. Dasar-dasar dan
Praktek Irigasi Universitas Erlangga,
Jakarta.
Hardjowigeno, S. 1989. Ilmu Tanah. PT.
Mediyatma Sarana Perkasa, Jakarta.
_____________, 1985. Genesa dan
Klasifikasi Tanah. Fakultas Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Lamina, 1989. Kedelai dan
Pengembangannya. CV. Simplex
Jakarta.
Nursasongko, A. 1993. Drip Irigation Efektif
Menghemat Air dan Pupuk. Trubus
edisi April 1993 No. 281 Tahun
XXIV.
Probo-Hadiwidjoyo, M.M. 1993. Perlu
Dibuat Informasi Rinci Tentang
Potensi Air Tanah. Kompas edisi
Selasa Januari 1993.
Sarisf, S, 1989. Fisika Kimia Tanah
Pertanian. Pustaka Buana, Bandung.
Soedijanto dan Hadmadi, 1980. Pupuk
Kandang dan Pupuk Hijau Kompos.
Bumirestu, Jakarta
Soepardi, G, 1983. Sifat dan Ciri Tanah.
Departemen Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Sosrosoedirdjo, S, 1981. Ilmu Pemupukan.
CV. Yasaguna, Jakarta.
Sumarno, 1991. Kedelai dan Cara
Budidayanya. CV Yasaguna, Jakarta.
Vermeiren, I, 1980. Localized Irrigation-
desing, installation, operation,
evaluation. Food and Agriculture
Organization Of The United Nations,
Rome.

Anda mungkin juga menyukai