Anda di halaman 1dari 5

Wedung adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Kecamatan Wedung merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Demak yang terletak di pesisir pantai laut jawa dengan luas wilayah seluas 93.876 ha merupakan 11 persen dari seluruh wilayah di Kebupaten Demak. Oleh karena itu Kecamatan Wedung merupakan Kecamatan yang memiliki luas wilayah paling lebar di Kabupaten Demak. Tanah di Kecamatan Wedung terdiri dari 5.457 ha tanah sawah dan 4.419 ha tanah kering. Dengan jumlah penduduk sebesar 80.827 jiwa (berdasar data dari Badan Pusat Statistik) yang terdiri dari 39.305 laki-laki dan 41.522 perempuan. Disektor pertanian, Kecamatan Wedung menempati urutan kedua jumlah produksi bersih untuk tanaman padi dengan jumlah sebasar 56.631 ton padi.Selain padi, tanaman pangan lain yang banyak terdapat di Kecamatan Wedung antara lain jagung, ketela rambat, sedangkan untuk tanaman kacang tanah, kacang hijau, kedelai hanya sedikit yang ditanam di Kecamatan Wedung. Sedangkan untuk tanaman perkebunan yang ditanam di Kecamatan Wedung antara lain tebu rakyat, kapuk randu, dan kelapa hibrida. Untuk tanaman bawang merah banyak ditanam di desa kenduren, tempel, jetak, dan jungsemi. Binatang ternak yang biasa di pelihara masyarakat di Kecamatan Wedung antara lain kerbau, kuda, kambing, unggas dll. Karena letaknya yang dipesisir pantai, di Kecamatan Wedung terdapat tempat pelelangan ikan yang masih aktif yaitu tempat pelelangan ikan wedung. Selain ikan hasil tangkapan dari laut, di Kecamatan Wedung banyak dipelihara ikan darat antara lain tawes, mujair, karper, lele, udang dan benur. Produk dan barang yang dihasilkan dari industri besar/sedang, kecil, dan rumah tangga antara lain garam, pengeringan/presto/pengasapan ikan, pembuatan krupuk udang/tengir, terasi, permainan anak-anak dan konveksi. Daerah industri rumah tangga banyak terdapat mutih kulon, kendalasem, tedunan, kedung karang, babalan, berahan wetan, kedung mutih, bungo dan jungsemi.

Asal nama Desa Wedung


Pada akhir abad ke-15, masa pembangunan Masjid Agung Demak, kepulauan tersebut dinamakan kepulauan Wadung. Dalam masa pambangunan Masjid Agung membutuhkan 4 buah tiang jati (Soko) yang awalnya semua adalah dari Muria Kudus yang dibawa dari Kudus melalui jalur laut mengunakan getek , getek pambawa kayu jati dari hutan Muria terdampar di Kepulauan Gajah-Oyo karena ombak besar. Setelah diteliti, ternyata hanya tersisa 3 dari 4 gelondong tiang jati (soko). Saat para pekerja ingin memperbaiki geteknya, wadungnya tidak ada, diperkirakan jatuh tercebur di perairan Kepulauan Gajah-Oyo. Kemudian mereka berinisiatif membuat jaring untuk ngrikit (dari tali-temali yang ada, yang berbentuk jaringseret yang ditarik bersama menelusuri (ngrikiti) gugusan-gugusan tepi pulau) guna menjaring satu gelondong dan wadung yang hilang. Namun, apa yang dicari tak kunjung ditemukan meski sudah digribig (dijaring secara merata). Akhirnya, gethek berhenti di desa ujung-timur bagian selatan yang kemuduan dinamakan Desa Gribigan.

Dan rakyatnya, kaum nelayan, menggunakan jaring krikit, yang ditarik bersama menyusuri pantai sampai dengan lahirnya jaring trol atau jaring pukat harimau. Kemudian tempat ini disebut Kepulauan Wadung. Seiring perkembangan masyarakat dan masing-masing pulau menjadi pedesaan, Kepulauan Wadung menjadi Pedesaan Wedung, dan akhirnya menjadi Desa Wedung. Kemudian getek pembawa kayu jati untuk tiang Masjid Agung Demak tersebut melanjutkan perjalanannya dengan hanya membawa 3 tiang. Saat pembangunan dimulai, dengan terpaksa Sunan Kalijaga menyusun satu soko dari beberapa potongan kayu yang dirakit dengan tali yang disebut soko tatal.

Kepulauan Gayah-Oyo (Wedung) Dalam Legenda

Sejak abad ketujuh di kepulaun muria , di ujung baratnya telah berdiri suatu kerajaan dengan penguasanya Ratu shima di keling kerajaan kalinga. Dan daerah perbatasannya adalah kepulauan Gajah-oyo. Dan pada waktu itu telah hadir berkunjung rombongan musafir dari arab yang kemudian berhasil menarik ratu shima dan dengan keluarga untuk memeluk islam. Setelah rakyat dan para pemimpin hindu mengetahui bahwa ratu shima telah memeluk islam, maka mereka memberontak dan kerajaan kalingan dihancurkan. Kemudian kerajaan kalinga dipindahkan ke jawa barat dan berganti nama menjadi kerajaan medang kamulan dengan rajanya putera ratu shima bernama shinna. Dan demikian juga tidak lama setelah rakyat Medang kamulan mengetahui bahwa raja dan punggowonya adalah muslim maka mereka juga memberontak dan menghancurkan kerajaan medang kamulan. Selanjutnya dinasti shima dengan rajanya shinna mendirikan kerajaan medang kamulan kedua yang didirikan di purwodadi. Dan kepulauan gajah-oyo merupakan suatu selat perbatasan antara jepara (kerajaan kalingga) , Demak, Pati, juana, Rembang, lasem, dan Purwodadi. Kepulaun Muria selain memiliki gunung muria juga memiliki gunung pati ayam yang hutannya banyak dihuni gajah-gajah besar dan pada zaman itu kebanyakan penduduk kepulauan muria adalah beragama hindu. Sehingga pada zaman itu mereka sangat bangga dengan lambang gajah dan ingin menamakan daerah yang yang baru yang menjadi kebanggaam mereka denagn nama gajah. Dari sinilah nama gajah-oyo terbentuk yaitu daerah yang berpencar antara demak, kudus, dan jepara. Mereka menyebut kepulauan itu sebagai Kepulauan Gajah Oyo. Pada awal abad Masehi (sekitar abad keempat Masehi) Hinduisme sudah masuk ke Kepulauan Nusantara Indonesia di sebuah kerajaan di Kalimantan Timur dengan rajanya yaitu Mulawarman. Berlanjut dengan Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yaitu Purnawarman yang tertuang dalam Prasasti Batu Tulis.Pada masa tersebut terdapat Pertapa Begawan Abiyoso yang bertapa di Puncak Songolikur di bukit Gunung Muria dan memiliki seorang puteri yang memiliki kelainan. Puteri tersebut sangat cantik namun keriangatnya berbau amis. Akibatnya puteri tersebut selalu saja gagal dilamar oleh ksatria. Akhirnya puteri tersebut diasingkan di suatu pulau kecil, yaitu di sebelah utara Kepulauan Gajah-Oyo yang akhirnya dinamakan Berahan. Pada awal abad ketiga belas (1230 M), suatu bangunan unik dibangun di Wedung, yaitu suatu bangunan Balai Romo dengan luas 1020 m3 tanpa dinding dan pagar. Bangunan tersebut adalah bangunan terbuka dengan empat pintu penjuru di timur, barat, selatan, dan utara. Dalam legenda cerita lisan dinyatakan bahwa bangunan itu dibangun oleh Raja

Kediri yang mengharapkan bangunan itu sebagai tempat persinggahan, rekreasi, dan tempat musyawarah khusus. Pada akhir abad ketiga belas Masehi, hadir serombongan mubaligh yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim Almaghriby (berarti Al-Syaik dari Maroko, yang bermadzhab maliki).Pada awal abad kelima belas Masehi (tahun 1414 M), armada Laksamana Haji Muhammad Cheng Ho (Sam Poo Tai Jin) mengadakan kunjungan muhibbah kepada Raja Brawijaya, Kerajaan Majapahit. Armadanya berjumlah kurang lebih 80 Kapal Jung yang mayoritas angkatannya adalah muslimin yang bermadzhah Hanafiyah. Sebelum sampai di pelabuhan Semarang (Semongan), armada tersebut singgah di kepulauan Gajah Oyo dan berlabuh di Pantai Selatan Kepulauan Muria, tepatnya di Welahan. Tahun 1414 M itu juga, Armada Laksamana H. Muhammad Ceng Hoo singgah di Palembang, Laut BangkaBagan Siapi-api sebelum menuju Semarang (Semongan). Armadanya menemukan kapalkapal perompak Cina atau bajak laut dari Cina yang mengganggu keamanan di Lautan Jawa dan kemudian dikejar oleh Armada H. M. Cheng Ho, terus dikejar hingga armada tersebut masuk ke perairan Gajah Oyo. Begitu singgah di pantai jepara arah timur, yaitu Welahan, kapal perompak tersebut dapat dihancurkan dan tenggelam di perairan Kepulauan Gajah-Oyo; ternyata tahun 1947, ditemukan bangkai kapal Jung di arah timur tambak Gojoyo, dan banyak barang-barang keramik ala Dinasti Ming.. Di zaman Kesultanan Demak, tepatnya saat Kyai Poncowati diangkat menjadi panglima perang, keris pusakanya ditanam di Wedung, tanah Pekodan, dan di atasnya ditanam pohon beringin. Di awal abad ke-16 (1505-1515) diceritakan: datang Dewa Srani dengan armada lautnya di perairan Kepulauan Gajahoyo, dari Atasangin, dan kejar-kejaran dengan Raja Kalimantoro. Beberapa kapal Dewa Srani tenggelam di perairan sekitar kepulauan tersebut. Sisanya meneruskan pelayaran ke Timur.

Catatan : Dewa Srani adalah armada kapal-kapal yang berbendera salib (palang-pantekmerah), armada Portugis dan Spanyol yang memburu kaum Moro (kaum Muslim Spanyol) sampai di Kepulauan Mindanao, Philipina Selatan. Akhirnya kaum Moro mendarat di Mindanao dan masuk hutan-hutan, dan kemudian akhirnya menjadi warga negara Philipina sampai sekarang.

Desa/kelurahan
1. Babalan 2. Berahan Kulon 3. Berahan Wetan 4. Buko 5. Bungo 6. Jetak 7. Jungpasir 8. Jungsemi 9. Kedungkarang 10. Kedungmutih 11. Kendalasem 12. Kenduren

13. Mandung 14. Mutih Kulon 15. Mutih Wetan 16. Ngawen 17. Ruwit 18. Tedunan 19. Tempel 20. Wedung
21. sejarahnya desa berahan wetan

22. LEGENDA DESA BERAHAN Miturut carita, menawa Desa Berahan kuwi nduweni legenda. Nalika ing zaman ndhisik ing tlatah Kecamatan Wedung iseh sepi wargane amarga isih rupa alas. Ing sawijining dina teka ana wong kang asma Kanjeng Raden Burhan, dheweke kuwi sawijining pemuka agama Islam. Nalika wis tekan ing tlatah Wedung, Kanjeng Raden Burhan mlaku terus nganti tekan Desa Berahan. Ing wektu kuwi Desa Berahan uga iseh rupa alas, mula Kanjeng Raden Burhan nduwe tekad arep mbabati tanduran ing Desa Berahan nganti enthek. Kanjeng Raden Burhan kersa mbabati amarga dheweke wis krasa krasan urip ing tlatah kana lan dheweke uga wis nduwe pepinginan arep urip utawa omah-omah ing kana. Kanjeng Raden Burhan urip karo bojone ing Desa Berahan. Ndhisike Desa Berahan kuwi durung dhuwe jeneng, sakbubare tanduran wis padha dibabati karo Kanjeng Raden Burhan, dheweke terus ngendika yen tanduran kang ana kene kok akehe ngene yo, ambrah-ambrah ora karuan, mula desa kuwi diarani Berahan. Ndhisike wong kang urip ing Desa Berahan namung Kanjeng Raden Burhan karo bojone, nanging saya suwe saya akeh amarga saka anake dhewe Kanjeng Raden Burhan karo para warga saka desa liya. Amarga Desa Berahan gedhe, mula dipisah dadi loro yaiku kang sisih wetan diarani Berahan Wetan lan kang sisih kulon diarani Berahan Kulon. Berahan Kulon kang dadi panggonane Kanjeng Raden Burhan sakulawarga. Bedhane Berahan Kulon karo Berahan Wetan ora namung panggonane, gedhene desa uga dadi bedane. Menawa Desa Berahan Kulon kuwi desane cilik, wargane sithik nanging bandha desane akeh. Menawa Berahan Wetan desane gedhe, wargane uga akeh, desane kapisah-pisah maneh dadi akeh dusun, lan bandha desane akeh. Kang dadi wates antarane Desa Berahan Kulon karo Desa Berahan Wetan yaiku kali. Sakiki Kanjeng Raden Burhan kang dadi perintis Desa Berahan wis suwe seda. Kanggo ngormati jasane dheweke, Kanjeng Raden Burhan dimakamake ing mburine Mejid Jami` Al Burhan, yaiku masjid Desa Berahan Kulon. Nanging makame bojone Kanjeng Raden Burhan ing Desa Wedung ora sesandingan karo makame Kanjeng Raden Burhan. Ndhisike makame Kanjeng Raden Burhan ora dirumati karo warga, nanging sakwise ana kadadeyan-kadadeyan kang dianggep aneh mula para warga gotong royong mbangun makame Kanjeng Raden Burhan. Makam Kanjeng Raden Burhan nganti sakiki isih dirumati kanthi gemati mula isek apik. Menawa ana apa-apa kang rusak cepet-cepet didandani. Kanggo ngeling-eling jasane Kanjeng Raden Burhan nalika tanggal 1 Sura dianakake khoul. Neng Desa Berahan Kulon kuwi ana Mejid Jami` Al Burhan kang sejatine kuwi gaweyane Kanjeng Raden Burhan. Mejide kuwi ndhisike bangunane kaya Masjid Agung Demak. Ing Masjid Agung Demak ana lawang bledege, ing Berahan Kulon masjide uga ana lawang bledege. Nanging sakiki mejide wis akeh kang diowah-owahi amarga wis tuwa. Nalika Kanjeng Raden Burhan taksih gesang, dheweke nduwe kawibawan lan sekti mandraguna lan diajeni karo warga. Anggone nyebarake agama Islam nganti ngrembaka. Ing carita yen putri Dewi Amiswati putrane Prabu Brawijaya, raja Majapahit kang pungkasan, kepingin

sowan ing daleme kanjeng Raden Burhan amarga dheweke kepingin namba penyakit kulite. Dewi Amiswati gandhane amis, gudhigen mula dheweke kepingin namba supaya waras. Dewi Amiswati sakwise tekan ing Desa Berahan Kulon kepanggih kaliyan Kanjeng Raden Burhan kang kaya disaranake, dheweke banjur diutus Kanjeng Raden Burhan supaya adus ing Sendhang Kencana. Ing carita Sendhang Kencana kuwi panggonane adus bidadari saka kahyangan, lan Sendhang Kencana kuwi dalan kang tumuju kuburan ing Desa Berahan Wetan karo Dukuh Ketapang. Ing kuburan kuwi ana sumure kang ajaib, banyune bisa kanggo tamba warga liya-liyane, menawa ana bayi kang lair driji tangane utawa driji sikile kumpul, lan menawa ana bayi kang lair embonembonane wis thukul rambut putih yaiku namung ana embon-embon. Kebeneran ana bayi loro lair kang diajab mau ana. Mula banyu saka sumur mau bisa kanggo tamba warga kana lan liya-liyane. Amarga ana kadadeyan kaya mau, ndadekake dukane Pemerintahane Landa, amarga bisa nggawe cuwane dokter. Terus sumur mau diurug lan ditutup karo Landa nganti sakiki. Dewi Amiswati saklebare adus ing Sendhang Kencana mau mbasuh pasuryane lan kulite dadi waras lan gandane malih dadi wangi, ora amis maneh. Kanggo mbales budine Kanjeng Raden Burhan, Dewi Amiswati ora gelem bali menyang Majapahit nanging ngabdi karo Kanjeng Raden Burhan lan gelem didadekake bojo. Saklebare Dewi Amiswati seda, dheweke dimakamake ing mburine mejid Berahan Wetan, Kanjeng Raden Burhan dimakamake ing mburine Mejid Jami` Al Burhan Berahan Kulon lan bojo kang tuwa dimakamake ing mburine Mejid Al Falah Wedung. Asal usul tembung Wedung kuwi amarga Kanjeng Raden Burhan mbabat alas ing kana, alate kang jenenge Wadhung ilang, lan ilange kuwi ing kali mburine Balai Rama Wedung. Nganti sakniki Wedung dadi jeneng Kecamatan. Ndhisike carita wong-wong tuwa cedhak karo ilange Wadung ing kreteg, menawa ana wong kang liwat atawa nyebrang ngambet gandha banger, banjur ngidu teras kemawon tutuke wong mau perot. Mula carita asal usul Desa Berahan Kulon mau ditulis ing buku gedhe nganti kertase mangkak lan tulisane nganggo tulisan arab gundul. Berahan saka tembung ambrahambrah ora karuan maksude akeh bandha desane, wong Jawa pakulinane ngucapake Berahan. Ing Desa Berhan Kulon sisih kidul ana mejid tiban amarga ujug-ujug ana mejid lan menawa wis mlebu wektu sholat, bedhuge muni dhewe. Kadadeyan kaya mau ana terus naganti suwe. Amarga ing wektu kuwi kampung mejid kana ana seni budaya barongan utawa jaran kepang utawa jathilan lan wargane lali marang Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, kang dielingi namung jathilan. Lan anehe masjid tiban mau sirna utawa ilang lan bedhuge sakniki ana ing Mejid Terboyo Semarang lan ana tulisane Bedhug Berahan. Bebarengan karo ilange mejid tiban mau, malah ana tiban maneh yaiku Balai Rama ana ing sisih wetane lan madhepe adhep-adhepan karo mejid tiban mau. Balai Rama sakiki isih ana lan menawa wulan apit ana Sedekah Desa yaiku ringgit kanggo ngresiki desa. Papan kang dhisike ana mejid tibane sakniki dibangun Mushola Al Falah.

Anda mungkin juga menyukai