Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 2 Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
ABSTRACT The aims of this study were to determine the best concentration of porang flour as emulsifier to texture, color, meltability and organoleptic characteristics of processed cheese. There were five treatments of different percentages of porang flour in processed cheese. The treatments were P0 (no porang flour in processed cheese), P1 (0.1 % of fresh cheese), P2 (0.2 % of fresh cheese), P3 (0.3 % of fresh cheese), and P4 (0.4 % of fresh cheese). Data were analyzed by Analysis of Variance and if significant continued by Least Significant Difference (LSD). Highly significant different effects (P<0.01) were observed on meltability, color intensity L (lightness), color intensity b (yellowness), and color, but the treatment didnt gave significant effect on texture, color intensity a (redness), and aroma. The average of texture was 51.18-52.52 mm/g/second, lightness 77.50-91.57 %, redness 1.83-2.30 %, yellowness 20.83-25.03 %, meltability 5.43-4.21 %, aroma 4.07-4.67, color 1.67-4.67. Keywords: processed cheese, porang flour, physical characteristic, organoleptic.
PENDAHULUAN Keju merupakan bahan pangan alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan protein hewani, namun produksi keju di Indonesia masih rendah, dan sebagian besar keju di Indonesia masih impor, sehingga perlu pengembangan agar produk keju yang dihasilkan dapat diterima makananan olahan. Bahan utama pada pembuatan keju olahan adalah keju natural dan pengemulsi sebagai pengikat semua komponen bahan dan memperbaiki tekstur (Fox et al., 2000). Menurut McSweeney (2007), fungsi penambahan pengemulsi pada keju olahan adalah mencegah
konsumen (Ardhana dan Radiati, 2003). Sorensen (2001) menyatakan, keju olahan merupakan salah satu produk terkenal di dunia sebagai hasil
pemisahan protein dan lemak dengan mengubah globula lemak menjadi lebih kecil, melarutkan protein keju dan
mengikat air. Pengemulsi yang biasa digunakan pada pembuatan keju olahan adalah NaH2PO4, Na2HPO4, Na3PO4,
pengembangan keju yang dapat digunakan sebagai bahan dalam berbagai jenis
NaPO3, Na4P2O7, Na2H2P2O7, kalium, kalsium atau natrium sitrat (Na3C6H5O7), natrium tartrat, atau natrium kalium tartrat (Fox et al., 2003). Perkembangan pengetahuan dan teknologi dibidang pangan menghasilkan berbagai macam pengemulsi dari bahan alami, salah satunya adalah tepung porang yang berasal dari umbi porang. Porang (Amorphopallus onchophillus) merupakan tanaman umbi yang mudah didapatkan, menghasilkan karbohidrat, memiliki
pembuatan pengemulsi
keju yang
olahan. tepat
Penggunaan meningkatkan
kualitas fisik serta organoleptik keju olahan yang dihasilkan. Masalah yang diharapkan dapat dipecahkan dalam
terhadap kualitas fisik dan organoleptik keju olahan yang ditinjau dari tekstur, intensitas warna, daya leleh, aroma,dan warna.
produktivitas tinngi, cita rasanya netral, kandungan glukomanan tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengental, pengisi, pengemulsi, dan penstabil pada berbagai produk makanan seperti mie dan jelly (Saha and Bhattacharya, 2010). Dave and McCarthy (1997) menjelaskan bahwa kandungan glukomanan dalam tepung porang memiliki karakteristik unik yaitu berbentuk gel yang sangat kental, memiliki kemampuan tinggi mengikat air, dan dapat membentuk gel tahan panas. Menurut Yang et al. (2009), kelebihan tepung porang sebagai pengemulsi adalah tidak mengubah aroma serta rasa asli produk apabila ditambahkan dalam komposisi yang tepat. Pemanfaatan tepung porang dalam pengolahan produk olahan susu masih belum optimal. Alternatif yang bisa Materi
MATERI DAN METODE Penelitian dimulai bulan April 2013 sampai dengan Mei 2013 dan dilaksanakan di Rumah Yoghurt,
Kecamatan Junrejo, Kota Batu untuk pembuatan keju, Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya untuk pengujian tekstur dan intensitas warna, MIPA Laboratorium Universitas daya Kimia Brawijaya Fakultas untuk
pengujian
leleh, Fakultas
Laboratorium Peternakan
Organoleptik
Bahan yang digunakan yaitu susu segar, enzim rennin, dan asam sitrat, keju Gouda, tepung porang, tepung tapioka, dan garam. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan keju olahan adalah kompor
gas, penangas air, baskom, thermometer, pipet volum (Iwaki Pyrex, Japan), gelas ukur (Brand, Jerman), pengaduk,
Prosedur penelitian Prosedur pembuatan keju olahan mengikuti prosedur Fox et al. (2000), sebagai berikut: 1. Keju segar ditimbang, kemudian
timbangan analitik (Ohaus BC Series, Swiss), timbangan digital (Camry, China), dan blender (National). Peralatan yang digunakan untuk analisi meliputi: tanur untuk uji daya leleh, penetrometer PNR 6 untuk uji tekstur, colour reader CR 10 (Minolta, Osaka Japan) untuk uji intensitas warna.
diapanaskan dan diaduk. 2. Ditambahkan tepung tapioka 10 %, keju gouda 10 %, garam 0,5 % dari bobot keju segar. 3. Ditambahkan tepung porang sesuai perlakuan dan diaduk sampai homogen 4. Dikemas dalam pencetak dan direndam
Metode Medode penelitian yang digunakan adalah percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 kali ulangan. Perlakuan didasarkan pada persentase penambahan tepung porang pada
dalam air es, kemudian disimpan dalam suhu 4 0C selama 24 jam dan dilakukan pengujian.
pembuatan keju olahan yang bervariasi, meliputi: P0 = Tanpa penambahan tepung porang. PI = Penambahan tepung porang sebesar 0,1 % dari berat keju segar. P2 = Penambahan tepung porang sebesar 0,2 % dari berat keju segar. P3 = Penambahan tepung porang sebesar 0,3 % dari berat keju segar.
tekstur, intensitas warna (L, a, b), daya leleh, organoleptik aroma, organoleptik warna. Pengukuran Variabel: 1. Pengujian tekstur, menurut prosedur (Kartika dkk., 1992). 2. Pengujian intensitas warna, menurut prosedur (Yuwono dan Susanto, 1998) 3. Pengujian daya leleh, menurut
prosedur (Watt et al., 1989). Penentuan perlakuan terbaik, menurut prosedur (Susrini, 2003).
Analisis Data Data yang diperoleh dari pengujian tekstur, daya leleh, intensitas warna, dan organoleptik (aroma, warna) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata
Keterangan:
Rata-rata hasil uji tekstur menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang tidak memberikan perbedaan pengaruh yang nyata pada analisis ragam.
Berdasarkan
Tabel
1,
dapat
Terkecil (BNT) (Yitnosumarto, 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian penambahan
perbedaan pengaruh yang nyata karena tepung porang pada konsentrasi yang berbeda memiliki kemampuan yang sama untuk olahan. meningkatkan Nilai tekstur kekerasan keju keju olahan
tepung porang sebagai pengemulsi pada keju olahan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tekstur, intensitas
mengalami penurunan dari P0 ke P4 yang artinya daya tembus penetrometer semakin kecil (tekstur keju semakin keras). tepung
kemerahan (a), dan organoleptik aroma, namun terdapat perbedaan pengaruh pada intensitas kekuningan kecerahan (b), (L), intensitas leleh, dan
Perlakuan
tanpa
penambahan
daya
porang (P0) menghasilkan tekstur yang paling tinggi diantara perlakuan lainnya (52,52 mm/g/detik). Hal ini diduga karena tidak adanya pengemulsi pada pembuatan keju olahan sehingga bahan-bahan tidak bisa tercampur rata dan menghasilkan keju yang lembek. Menurut Fox et al. (2003), pengolahan keju olahan tanpa penambahan pengemulsi akan menyebabkan tekstur tidak merata, lembek, dan keluar getah minyak pada saat pasteurisasi. Perlakuan penambahan tepung
organoleptik warna. Tekstur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang pada pembuatan keju olahan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai tekstur. Rata-rata nilai tekstur keju olahan dengan penambahan tepung porang pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata nilai tekstur keju olahan dengan penambahan tepung porang. Perlakuan Rata-rata (mm/g/detik) P0 52,52 1,31 P1 52,29 0,97 P2 52,24 1,99 P3 51,31 1,69 P4 51,18 1,93
porang terbanyak (P4) menghasilkan keju dengan nilai tekstur terendah diantara perlakuan yang lainnya (51,18
mm/g/detik). Hal ini diduga terjadi karena kandungan glukomanan dalam tepung porang dapat mengikat air dan mencegah
pemisahan gel lemak dengan protein sehingga menciptakan tekstur keju yang lebih padat. Tepung porang mempunyai kemampuan sangat besar dalam mengikat air hingga 50 kali beratnya (Keithley and Swanson, 2005). Gunasekaran and Ak (2003) menjelaskan bahwa penambahan bahan pengikat air akan meningkatkan tekstur menjadi lebih padat pada jenis keju rendah lemak. Chairunnisa (2007)
Tabel
2. Rata-rata nilai intensitas kecerahan (L) keju olahan dengan penambahan tepung porang.
Rata-rata intensitas kecerahan (%) 77,50a 0,40 78,57 b 0,81 80,63 c 0,15 81,23 c 0,55 81,57 c 0,65 superskrip berbeda menunjukkan perbedaan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap intensitas kecerahan pada uji BNT.
Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Keterangan:
menambahkan bahwa bahan pengikat air berfungsi untuk menurunkan kadar air dan mengakibatkan kenaikan kekerasan pada produk. Tekstur dengan nilai terbaik
Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa hasil uji lanjutan BNT 5 % terhadap rata-rata nilai intensitas kecerahan
menghasilkan notasi yang berbeda, hal ini berarti perlakuan penambahan tepung porang memberikan pengaruh terhadap intensitas kecerahan keju olahan yang dihasilkan. konsentrasi kemampuan Tepung yang yang porang berbeda berbeda pada
adalah pada perlakuan P3 dengan nilai 51,31 mm/g/detik, menghasilkan tekstur keju yang tidak lembek dan tidak terlalu keras. Menurut Gunasekaran and Ak (2003), keju olahan yang berasal dari keju segar dan keju tua dalam perbandingan yang sama memiliki tekstur yang lembut namun padat. Keju olahan yang bagus dapat diparut tanpa merusak tekstur. Intensitas Kecerahan (L) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang pada pembuatan keju olahan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap intensitas kecerahan. Rata-rata nilai intensitas kecerahan keju olahan dengan penambahan tepung porang pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.
memiliki untuk
meningkatkan intensitas kecerahan keju olahan. Intensitas kecerahan keju olahan mengalami peningkatan dari P0 ke P4, yang artinya putih. warna keju cenderung McSweeney
berwana
Menurut
(2007), warna keju berkisar antara putih dan kuning, salah satu faktor yang mempengaruhi intensitas warna adalah kualitas susu, jenis keju matang, jenis dan jumlah pengemulsi yang digunakan. Peningkatan nilai kecerahan dari P0 ke P4 diduga karena tepung porang
berwarna putih kecoklatan dan apabila tercampur dengan bahan lain membentuk gel berwarna putih sehingga menyebabkan keju cenderung berwarna putih. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Tamime (2011) yang menyatakan bahwa penambahan pengemulsi dapat memberi efek negatif terhadap warna keju olahan, penambahan pengemulsi yang berlebihan menyebabkan warna keju memudar. Rata-rata terbaik nilai intensitas kecerahan adalah pada perlakuan P2 yaitu sebesar 80,63 %. Menurut Fischer (2011), keju natural yang berwarna putih memiliki intensitas kecerahan antara 79-80 %. Bahan utama pembuatan keju olahan pada penelitian adalah 90 % keju segar yang berwarna putih sehingga keju olahan yang dihasilkan berwarna kuning muda sampai putih. Intensitas Kemerahan (a) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang pada pembuatan keju olahan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap intensitas kemerahan. Rata-rata nilai
perbedaan pengaruh yang nyata karena tepung porang pada konsentrasi yang berbeda memiliki kemampuan yang sama untuk meningkatkan intensitas kemerahan. Tabel 3. Rata-rata nilai (a) intensitas olahan tepung
keju
penambahan
Rata-rata intensitas kemerahan (%) P0 1,83 0,15 P1 2,10 0,36 P2 2,10 0,10 P3 2,17 0,15 P4 2,30 0,10 Keterangan: Rata-rata hasil uji intensitas kemerahan menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang tidak memberikan perbedaan pengaruh yang nyata pada analisis ragam.
Perlakuan
Rata-rata
intensitas
kemerahan
mengalami peningkatan dari P0 ke P4. Hal ini diduga tepung porang yang digunakan sebagai pengemulsi dapat menjaga
kestabilan pigmen merah susu selama proses pembuatan keju olahan dan
memiliki komponen yang dapat diekstrak untuk menimbulkan intensitas kemerahan. Menurut Jaya dan Hadikusuma (2009), peningkatan intensitas kemerahan (a)
intensitas kemerahan keju olahan dengan penambahan tepung porang pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, dapat
disebabkan oleh kondisi keju walaupun sudah mengalami kehilangan kadar air dan bahan kering selama proses pengoahan, tetapi jumlah komponen yang dapat
kemerahan dapat lebih banyak, pigmen di dalam susu adalah salah satu yang dapat mempengaruhi intensitas kemerahan pada keju. Nilai rata-rata terbaik intensitas kemerahan adalah pada perlakuan P3 yaitu sebesar 2,17 %. Keju rendah lemak cenderung memiliki intensitas kemerahan dan kekuningan yang rendah, keju rendah lemak yang disukai konsumen memiliki intensitas kemerahan 2,2 % (Wadhawani and McMahon, 2012). Fox et al. (2000) menjelaskan bahwa warna merah yang berlebihan disebabkan pencemaran pada keju olahan faktor karena dapat seperti mastitis,
berbeda untuk meningkatkan intensitas kekuningan keju olahan. Tabel 4. Rata-rata nilai intensitas kekuningan (b) keju olahan dengan penambahan tepung porang.
Rata-rata intensitas kekuningan (%) 25,03c 0,95 24,87 b 0,93 23,90 b 0,46 23,10 b 1,61 20,83 a 0,49 superskrip berbeda menunjukkan perbedaan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap intensitas kekuningan pada uji BNT.
Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Keterangan:
berbagai susu
Rata-rata
intensitas
kekuningan
penambahan pengemulsi yang berlebihan, dan kerusakan warna selama pemanasan. Intensitas Kekuningan (b) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang pada pembuatan keju olahan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap intensitas kekuningan. Rata-rata nilai intensitas kekuningan keju olahan dengan penambahan tepung porang pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa hasil uji lanjutan BNT 5 % terhadap rata-rata nilai intensitas notasi yang kekuningan berbeda.
menurun dari P0 ke P4, yang artinya keju cenderung kekuningan kehilangan dengan intensitas tinggi
semakin
kosentrasi tepung porang yang diberikan pada perlakuan. Rata-rata tertinggi intensitas
kekuningan adalah pada perlakuan tanpa penambahan tepung porang (P0) yaitu sebesar 25,03. Hal ini diduga karena tidak adanya tepung porang sebagai pengemulsi menyebabkan globula lemak keju lebih besar dan tidak terikat dengan komponen lain. Globula lemak menyebabkan keju cenderung berwarna kuning (Fox et al., 2003).
menghasilkan
Rata-rata kekuningan
terendah pada
intensitas perlakuan
adalah
penambahan tepung porang terbanyak (P4) yaitu sebesar 20,83. Jaya dan Hadikusuma (2009) menjelaskan bahwa warna kuning yang ditimbulkan pada produk keju
porang memberikan perbedaan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap daya leleh keju olahan pada uji BNT.
Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa hasil uji lanjutan BNT 5 % terhadap rata-rata nilai daya leleh menghasilkan notasi yang berbeda. Hasil ini
menandakan penurunan jumlah pigmen karoten akibat penambahan tepung porang yang berwarna putih kecokelatan. Menurut Tamime (2011), penambahan pengemulsi dapat memberi efek negatif terhadap warna keju olahan. Daya Leleh Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang pada pembuatan keju olahan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap daya leleh. Hasil Ratarata nilai daya leleh keju olahan dengan penambahan tepung porang pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata nilai daya leleh keju olahan porang.
Perlakuan Rata-rata P0 5,43c 0,32 P1 5,09c 0,11 P2 5,02b 0,40 P3 4,43a 0,40 P4 4,21a 0,26 Keterangan: superskrip berbeda menunjukkan perlakuan penambahan tepung
perlakuan penambahan tepung porang, menyebabkan daya leleh semakin kecil yang ditandai dengan semakin pendeknya panjang lelehan pada saat pengujian. Hasil ini mengindikasikan tepung porang yang ditambahkan sebagai pengemulsi dapat menstabilkan ikatan antar komponen
penyusun keju olahan. Shirashoji, Jaeggi, and Lucey (2010) menjelaskan bahwa semakin tinggi penambahan pengemulsi pada keju, menyebabkan semakin
kokohnya ikatan lemak dengan komponen lain dan menyebabkan tekstur semakin padat dan daya leleh semakin rendah. Rata-rata daya leleh tertinggi
dengan
penambahan
tepung
adalah pada perlakuan tanpa penambahan tepung porang (P0). Hal ini diduga karena tidak adanya pengemulsi yang berfungsi mengubah globula lemak menjadi lebih kecil, melarutkan protein, dan mengikat air dan menyebabkan ikatan antar molekul tidak stabil. McMahon et al. (1999)
menjelaskan
bahwa
daya
leleh
keju
dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kadar lemak dan keseimbangan interaksi antar molekul protein dan interaksi antar molekul protein dengan air. Globulaglobula kecil lemak pada matriks kasein mencegah lemak mencair lebih mudah (Gunasekaran and Ak, 2003). Rata-rata daya leleh terendah
penambahan
tepung
adalah pada perlakuan penabahan tepung porang terbanyak (P4). Hal ini diduga karena kandungan glukomanan pada
tepung porang sebagai pengemulsi dapat mengubah globula lemak menjadi lebih kecil, menstabilkan ikatan antar molekul dan mengikat air. Menurut Cais-sokolinska and Pikul (2009), semakin stabil ikatan antar molekul karena penambahan jumlah pengemulsi atau jenis pengemulsi Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa perlakuan penambahan tepung porang tidak memberikan pengaruh yang nyata karena tepung porang pada berbagai konsentrasi yang berbeda tidak mengubah aroma keju olahan yang
menyebabkan daya simpan lebih lama, daya potong dan daya leleh lebih rendah. Aroma Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang pada pembuatan keju olahan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap aroma. Rata-rata nilai aroma olahan
dihasilkan. Yang et al. (2009) menjelaskan bahwa kandungan glukomanan dalam tepung porang dapat dijadikan pengemulsi yang baik karena tidak mengubah aroma serta rasa asli produk apabila ditambahkan dalam komposisi yang tepat. Penambahan tepung porang tidak mempengaruhi nilai aroma keju olahan yang dihasilkan karena kandungan
dengan penambahan tepung porang pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.
glukomanan yang terkandung pada tepung porang memiliki sifat organoleptik netral. Pernyataan yang mendukung hasil
penelitian ini adalah menurut Dave and McCarthy (1997), tepung porang banyak
Nilai warna keju olahan semakin menurun dari P0 ke P4, yang artinya warna keju semakin putih. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa warna berkisar antara kuning muda sampai agak pucat. Hal ini diduga karena tepung porang yang digunakan berwana putih kecokelatan sehingga menurunkan nilai intensitas
mengubah sifat organoleptik bahan baku apabila ditambahkan pada konsentrasi yang tepat. Warna . Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang pada pembuatan keju olahan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap warna. Rata-rata nilai warna keju olahan dengan penambahan tepung porang pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa hasil uji lanjutan BNT 5 % terhadap rata-rata nilai warna menunjukkan notasi yang berbeda. Tepung porang pada
kekuningan. Dave and McCarthy (1997) menjelaskan bahwa penggunaan tepung porang sebagai bahan tambahan dalam idustri makanan perlu diperhatikan
konsentrasinya karena penambahan yang berlebihan menyebabkan warna produk berubah. Nilai warna tertinggi adalah sebesar 4,67 (kuning muda) adalah pada perlakuan tanpa penambahan tepung porang (P0). Hal ini diduga karena tidak adanya pengemulsi pada keju olahan sehingga globula lemak lebih besar dibandingkan dengan penambahan pengemulsi. Globula lemak menyebabkan keju cenderung
konsentrasi kemampuan
yang yang
berbeda berbeda
memiliki untuk
menurunkan nilai warna keju olahan. Tabel 7. Rata-rata nilai warna keju olahan dengan penambahan tepung porang.
Rata-rata nilai Perlakuan warna P0 4,67c 0,36 P1 3,60 b 0,51 P2 3,13 b 0,53 P3 2,20 a 0,98 P4 1,67 a 0,51 Keterangan: superskrip berbeda menunjukkan perlakuan penambahan tepung porang memberikan perbedaan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap nilai warna pada uji BNT.
berwarna kuning (Fox et al., 2003). Nilai warna terendah adalah sebesar 1,67 (agak pucat) dengan perlakuan penambahan tepung terbanyak (P4). Hal ini diduga karena tepung porang yang digunakan sebagai pengemulsi dapat
memecah globula lemak menjadi partikel lebih kecil dan menstabilkan ikatan lemak dengan molekul lain sehingga keju yang
menghasilkan
penampakan
cenderung berwarna putih. Pendapat yang mendukung hasil penelitian ini adalah menurut Tamime (2011), penambahan pengemulsi dapat memberi efek negatif terhadap warna keju olahan, penambahan pengemulsi yang berlebihan menyebabkan warna asli keju memudar. KESIMPULAN Perlakuan terbaik berdasarkan
Pemeraman. J. Ilmu Ternak Vol. 7 (1): 16-21. Dave, V. and S. P. McCarthy. 1997. Review of Konjac Glucomannan. J. of Environmental Polymer Degradation 5 (4): 237-243. Fischer, J. W. 2011. Cheese: Identification, Classification, Utilization. Delmar Cengage Learning. New York. Fox, P. F., T. P. Guinee, T. M. Logan and P. L. H. McSweeney. 2000. Fundamentals of Cheese Science. An Aspen Publication. Gaithersburg. Fox, P. F., P. L. H. McSweeney, T. M. Cogan and T. P. Guinee. 2003. Cheese: Chemistry, Physics and Microbiology Vol. 2. Chapman & Hall. London Gunasekaran, S. and M. M. Ak. 2003. Cheese Rheology and Texture. CRC Press. New York. Jaya, F. dan D. Hadikusuma. 2009. Pengaruh Substitusi Susu Sapi dengan Susu Kedelai serta Besarnya Konsentrasi Penambahan Ekstrak Nenas (Ananas comosus) terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Keju Cottage. J. Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak Vol. 4 (1): 4654. Kartika, B., Guritno, Purwadi, dan Ismoyowati. 1992. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil Pertanian. Penerbit Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama antar Universitas. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
penelitian adalah pada penambahan tepung porang sebanyak menghasilkan mm/g/detik, 0,3 % (P3) yang 51,31 (L)
nilai intensitas
tekstur kecerahan
81,23%, intensitas kemerahan (a) 2,17%, intensitas kekuningan (b) 23,1%, daya leleh 4,43, aroma 4,2 (aroma keju kuat), warna 2,2 (agak putih), menghasilkan keju olahan berkualitas ditinjau dari sifat fisik dan organoleptik yang disukai konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, M. M. dan L. E. Radiati. 2003. Pengaruh Pengunaan Starter Yakult Komersial dan Enzim rennin Mucor meihei terhadap mutu keju Cottage. J. Ilmu-ilmu Peternakan Vol. 10: 2428. Cais-Sokolinska, D. and J. Pikul. 2009. Cheese Meltability as Assessed by the Tube Test and Schreiber Test Depending on Fat Contest and Storage Time, Base on Curd-Ripened Fried Cheese. J. Food Sci. 27 (5): 301-308. Chairunnisa, H. 2007. Aspek Nutrisi dan Karakteristik Organoleptik Keju Semi Keras Gouda pada Berbagai Lama
Keithley, J. and B. Swanson. 2005. Glucomannan and Obesity: A Critical Review. Alternative Therapes Magazine 11 (6): 30-34. Madhawani, R. and D. J. McMahon. 2012. Color of Low-fat Cheese Influences Flavor Perception and Consumer Liking. J. Dairy Sci. 95: 2336-2346. McMahon, D. J., R. L. Fife and C. J. Oberg. 1999. Water Partitoning in Mozarella Cheese and Its Relationship to
Cheese Meltability. J. Dairy Sci. 82: 1361-1369. McSweeney, P. L. H. 2007. Cheese Problem Solved. CRC Press. NewYork. Saha, D. and S. Bhattacharya. 2010. Hydrocolloids as Thickening and Gelling Agent in Food: A Critical Review. J. Food Sci Technol. 47 (6): 587-597.
Yuwono, S. S. dan T. Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Shirashoji, N., J. J. Jaeggi and J. A. Lucey. 2010. Effect of Sodium Hexametaphosphate Concentration and Cooking Time on the Physicochemical Properties of Pasteurized Process Cheese. J. Dairy Sci. 93: 2827-2837. Sorensen, H. H. 2001. The World Market for Cheese. IDF Bulletin 395: 4-62. Susrini. 2003. Pengantar Teknologi Pengolahan Susu. Fakultas Peternakan UB. Malang.
Tamime, A. Y. 2011. Processed Cheese and Analogues. Blackwell Publishing L.td. London. Tunick, M. H., E. L. Malin, P. W. Smith, J. J. Shieh, B. C. Sullivan and K. L. Mackey. 1993. Proteolysis and rheology of low fat and full fat Mozzarella cheeses prepared from homogenized milk. J. Dairy Sci. 76 (12): 36213628. Watt, B. M, G. L. Ylimaki, L. E. Jeffery and L. G. Elias. 1989. Basic Sensory Methods for Food Evaluation. International Development Research Center. Ottawa. Yang, J., J. X. Xiao and L. Z. Ding. 2009. An Investigation into the Application of Konjac Glucomannan as a Flavour Encapsulant. Europan Food Research Tech. 229: 467-474. Yitnosumarto, S. Perancangan, Interpretasinya. Utama. Jakarta. 1993. Percobaan, Analisis, dan Gramedia Pustaka