ABSTRAK
Pasteurisasi adalah sebuah proses pemanasan makanan dengan tujuan
membunuh organisme merugikan seperti bakteri, virus, protozoa, kapang, dan
khamir Pengaruh suhu dan waktu pasteurisasi terhadap mutu susu selama
penyimpanan telah dilakukan dengan menggunakan susu sapi segar. Susu yang
dipasteurisasi menggunakan dua alat yang berbeda selama penyimpanan pada
suhu refrigerator susu yang dipasteurisasi menggunakan dua alat yang berbeda
selama penyimpanan pada suhu refrigerator. Kualitas susu dapat kita ketahui dari
tingkat keasaman susu. Susu yang dipasteurisasi memiliki Tingkat keasaman
tertentu. Tingkat keasaman susu menurun karena fermentasi laktose menjadi asam
laktat oleh mikroba. Hasil penelitian ini menunjukkan kualitas susu sapi kemasan
secara organoleptik yaitu warna putih kekuningan, bau khas susu sapi, rasa sedikit
manis dan sedikit asin serta kekentalan yang encer.
Kata kunci:Pasteurisasi,kualitas fisik,tingkat keasaman,refrigerator.
PENDAHULUAN
Susu merupakan salah satu sumber protein hewani yang dibutuhkan untuk
kesehatan dan pertumbuhan manusia, karena susu mengandung nilai gizi
berkualitas tinggi (Diastari, dkk, 2013). Hampir semua zat yang dibutuhkan
manusia ada di dalamnya yaitu protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin.
Semua zat-zat tersebut dapat dicerna dan diabsorbsi secara sempurna oleh tubuh
(Ressang dan Nasution, 1982).
Susu berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan
diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1994). Dihasilkan dari sekresi
kelenjar ambing hewan, digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak yang
dilahirkan oleh hewan tersebut, namun demikian manusia melihat adanya
kemungkinan untuk memanfaatkan susu sebagai bahan pangan yang dapat
dikonsumsi oleh manusia berbagai usia (Idris, 1992).
Susu perlu diberi perlakuan tertentu agar tidak cepat rusak, seperti
penyimpanan dalam refrigerator, pasteurisasi, sterilisasi, fermentasi, pengolahan
menjadi susu bubuk dan keju . Susu dari segi kimia yaitu mengandung zat kimia
organis ataupun anorganis berupa zat padat dan air. Lebih jauh, zat padat tersebut
adalah protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan enzim . Ditambahkan
olehnya kualitas fisik susu ditentukan berdasarkan berat jenis (BJ), pH, titrasi
keasaman dan organoleptik (bau, warna dan rasa). Organoleptik terdiri dari warna,
bau dan rasa. Susu segar normal mempunyai aroma (flavor) yang tidak mudah
didefinisikan dengan terminologi yang tepat, dicirikan melewati bau, rasa dan
tekstur yang lembut yang merupakan hasil kombinasi komposisi yang terkandung
dalam susu (lemak, protein, laktosa dan mineral) (Kim et al., 1982 dan. Murti,
2002). Manusia memiliki kemampuan mendeteksi empat cita rasa dasar yaitu asin,
asam, manis dan pahit. Rasa manis dirasakan pada ujung lidah, rasa asin diujung
dan dipinggir lidah, rasa asam dipinggir lidah, dan pahit dibelakang lidah . Berikut
ini adalah gambar permukaan lidah dan distribusi sensor terhadap rasa:
(Murti, 2012)
PASTEURISASI
kandungan nutrisi diantaranya protein, laktosa, lipida, garam mineral, dan vitamin
dengan pH sekitar 6,70 sehingga menjadi media pertumbuhan yang sangat baik
bagi bakteri pembusuk dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran
bakteri patogen. Pengujian pH dilakukan dengan pH meter (Sakinah, dkk, 2010)
Hasil uji tingkat keasaman (pH) susu yang diperiksa seluruhnya memiliki pH
7. Semua tingkat keasaman (pH) susu sapi kemasan adalah tujuh. Berdasarkan
SNI 01-3141-1998, rataan pH susu adalah sekitar 6-7. Ini juga menggambarkan
bahwa rataan pH susu cenderung normal. Dalam skala pH 1 sampai 14, asam
mempunyai skala yang lebih rendah antara 0 sampai 7 sedangkan basa
mempunyai skala yang lebih tinggi antara 7 sampai 14, maka dari itu pH 7
dianggap netral. Normalnya pH pada susu dapat disebabkan karena adanya kasein,
buffer, fosfat, dan sitrat. Selain itu, kenaikan dan penurunan pH ditimbulkan dari
hasil konversi laktosa menjadi asam laktat oleh mikroorganisme aktivitas
enzimatik (Manik, 2006).
Hasil dari uji organoleptik yang meliputi warna, bau, rasa dan kekentalan
serta uji tingkat keasaman (pH) susu dengan perlakuan dan merk yang sama
menunjukkan kualitas susu sapi kemasan dalam keadaan baik, karena kemasan
susu yang masih utuh sehingga tidak ada bakteri dalam susu kemasan yang dapat
menyebabkan warna, bau, rasa dan kekentalan menjadi menyimpang atau tidak
normal (Diastari, dkk, 2014)
HASIL PASTERURISASI
Hasil Penerapan WPC (Wave Pasteurized Control)
Didapatkan hasil bahwa WPC (Wave Pasteurized Control) uji SCC 10 5/ml,
uji TPC dihasilkan bakteri terkandung 104 cfu/ml, hasil uji Salmonella dan E.coli
yaitu negatif. Metode konvensional yang biasa digunakan oleh mitra UMKM
Natural Probiotic dengan menggunakan nyala api kompor didapkan keuntungan
Rp 5.598.450, 00/bulan dengan menggunakan alat (Najmina, dkk, 2011)
WPC (Wave Pasteurized Control) mampu meningkatkan keuntungan mitra
mencapai Rp 8.676.450,00/bulan. WPC (Wave Pasteurized Control) merupakan
alat yang hemat energi, mudah dalam pengoperasian, efektif dalam proses
pasteurisasi dan mampu menjaga nutrisi yang terkandung dalam susu (Najmina,
dkk, 2011)
KADAR AIR
Tabel 1. Rataan kadar air susu pasteurisasi metode LTLT dan HTST selama
penyimpanan, %
Kadar air rata-rata susu pasteurisasi dengan suhu 65C berkisar antara
86,08-87,19% dan pada suhu 71c berkisar antara 86,09-87,56%. Hal ini sesuai
dengan pendapat Anonimous (1982) dan Hadiwiyoto (1994) dalam Abubakar
(2000) bahwa kadar air susu berkisar antara 85,5-89,5%. Rataan kadar air hasil
penelitian terlihat pada Tabel 1
Pada Tabel 1 tampak bahwa pada metode LTLT (65C selama 30 menit)
dengan lama simpan antara 6 jam dan 12 jam berbeda nyata, sedangkan pada
metode HTST (71C selama 15 detik) berbeda sangat nyata antara penyimpanan 3
jam dan penyimpanan 21 jam Hal ini mungkin disebabkan oleh penguapan dan
suhu lingkungan penyimpanan (Abubakar, dkk, 2000)
Pada Tabel 2, kadar protein menunjukkan hasil berbeda sangat nyata antara
lama penyimpanan 0 jam -15 jam dan penyimpanan 18 dan 21 jam pada susu
6
pasteurisasi dengan metode LTLT. Pada metode HTST tidak berbeda nyata, hal ini
disebabkan oleh adanya penggumpalan, factor penyimpanan, suhu, dan penguapan
air. Gambar 3 memperlihatkan rataan kadar protein susu pasteurisasi dengan lama
penyimpanan 0 jam sampai 21 jam (Abubakar, dkk, 2000)
KADAR LEMAK
Tabel 3. Rataan kadar lemak susu pasteurisasi metode LTLT dan HTST selama
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar lemak pada metode HTST
menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata pada penyimpanan 21 jam. Dapat
7
menjadi asam sehingga pH nya semakin rendah dan susu pun akan pecah artinya
emulsi antara air dan komponen lainya memisah karena emulgator alami yaitu
kasein terdenaturasi .
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa susu pasteurisasi baik dengan metode HTST
maupun LTLT masih baik dikonsumsi sampai umur penyimpanan 15-21 jam pada
suhu penyimpanan 27,5C (suhu kamar). Kadar air susu pasteurisasi tidak
dipengaruhi oleh metode pasteurisasi, tapi dipengaruhi oleh lama waktu
penyimpanan. Kadar lemak susu tidak dipengaruhi oleh lama penyimpanan pada
metode pasteurisasi LTLT, tetapi dipengaruhi pada metode HTST. Masa simpan
susu lebih lama pada pasteurisasi dengan HTST, namun kadar protein lebih tinggi
pada pasteurisasi dengan LTLT (suhu 65C). Kualitas fisik, kimia dan sensoris
susu pasteurisasi yang dibuat dengan menggunakan alat Padira lebih baik
dibanding dengan Pasteurizer komersial, khususnya dilihat setelah hari ke 12. Ini
berarti perbaikka alat dapat memperpannjang masa kadaluarsa susu yang
dipasteurisasi itu. Dengan semakin panjangnya lama waktu kadaluarsa, maka
dimungkinkan pemasaran susu pasteurisasi dengan alat Padira yang semakin jauh
dari tempat produksi dan memaksimalkan waktu pemasaran yang ada. Sehingga
diharapkan potensi lokal dapat dipasarkan dalam waktu lebih lama dan atau lebih
jauh.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Triyantini, R. Sunarlim, H. Setiyanto, dan Nurjannah. 2000. Pengaruh
Suhu dan Waktu Pasteurisasi terhadap Mutu Susu Selama Penyimpanan.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(1):45-50.
Diastari, I. G. A. F., dan Kadek K. A. 2013. Uji Organoleptik dan Tingkat
Keasaman Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota
Denpasar. Indonesia Medicus Veterinus 2013 2(4) : 453 460.
Kim, H., J. Novak, J. P. Ramet, and F. Weber. 1982. Les gouts anormaux du Lait
Frais et Reconstitue. FAO- Rome.
Manik, E. (2006). Olahan Susu. Jakarta : Pusat Unit Pangan dan Gizi. IPB.
Bogor.
Murti, T. W., Rihastuti, dan Yan Adi Purnomo. 2012. Kajian Kualitas Fisik, Kimia
dan Sensoris Susu Pasteurisasi pada Pasteurizer Berbeda. Food Technol. 45
(6): 88-95.
Najmina, R. L., Sidiq Darmawan, Muh. Husni Rifai, M. Iqbal B. Fauzy, Imam
Suwandi. 2011. Pasteurisasi Susu menggunakan Gelombang Mikro untuk
Meningkatkan Mutu Produk UMKM Natural Probiotik. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner 6 (1) : 45-50.
Punc, I.D. and J.C. Olson. 1984. Comparison Between Standard Methods
Procedure and Surface Plate Method for Estimating Psychrophylic Bacteria
In Milk. J. Milk Food Tech. 37(2):101-103
Purnomo, H. dan Adiono. 1987. Ilmu Pangan. Cetakan Pertama. UI Press, Jakarta.
Ressang, A. A, dan A. M. Nasution. (1982). Ilmu Kesehatan Susu (Milk Hygiene).
Edisi ke-2. Institut Pertanian Bogor.
Sakinah, N. E., Gebi, D., dan Siti, D. 2010. Pengaruh Penambahan
Dioksaheksaenoat (DH4) terhadap Ketahanan Susu Pasteurisasi. Jurnal
Sains dan Teknologi Kimia. Vol. 1 No. 2 : 170-176.
Singh, J., A. Khanna, and H. Chander. 1980. Effect of Incubation Temperature and
Heat Treatment of Milk From Cow and Buffalo on Acid and Flavor
Production by S. Thermophillus And L. Bulgaricus. J. Food Protection 43
(12):399-400.
10