1 Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin 2 SMF Anak RSUD Ulin Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin 3 Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRAK: Kejang demam adalah peristiwa kejang yang terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun yang murni berhubungan dengan demam. Demam dapat berkembang menjadi kejang dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah pengetahuan ibu. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan antara ibu dengan anak menderita demam dan kejang demam melalui pendekatan case control. Sampel sebanyak 65 orang adalah ibu dengan anak menderita demam sebagai kelompok kontrol dan ibu dengan anak menderita kejang demam sebagai kelompok kasus. Pada kelompok kontrol, 93,75% berpengetahuan baik dan 6,25% buruk. Pada kelompok kasus, 72,7% berpengetahuan baik dan 27,3% buruk. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan tentang kejang demam yang bermakna antara ibu dengan anak menderita demam dan kejang demam (p=0,024). Ibu dengan pengetahuan yang buruk memiliki risiko 5,6 kali lebih tinggi untuk terjadi bangkitan kejang demam pada anaknya.
Kata kunci: pengetahuan, ibu, kejang demam
ABSTRACT: Febrile seizures are seizures event that occurred in children aged 3 months to 5 years purely caused by fever. Fever can progress to seizures is influenced by several risk factors , one of which is the mothers knowledge. This study aimed to determine differences in the knowledge level among mothers with fevers children and febrile seizures through a case-control approach. Sixty five samples were mothers with fever child as a control group and mothers with febrile seizures child as the case group. In the control group, 93.75 % had good knowledge and 6.25 % were bad. In the case group, 72.7 % had good knowledge and 27.3 % were bad. Data analysis was performed using chi-square test with confidence level about 95 % and it can be concluded that there were signficant differences in the knowledge level about febrile seizures between mothers with children suffering from fever and febrile seizures (p=0.024). Mothers with poor knowledge had a 5.6 times higher risk for febrile seizures occur in their children.
Keywords: knowledge, mother, febrile seizures 2
PENDAHULUAN:
Kejang demam adalah peristiwa kejang yang terjadi pada anak usia tiga bulan sampai lima tahun, berhubungan dengan demam tetapi tanpa bukti infeksi intrakranial, riwayat kejang non demam, dan gangguan elektrolik akut. Kejang merupakan gangguan saraf yang sering dijumpai pada anak (1,2). Insidensi kejang demam di dunia, Asia, dan Indonesia masih sangat tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya angka kunjungan kejang demam pada setiap tahunnya Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mariatul, jumlah pasien kejang demam di Rumah sakit umum daerah (RSUD) Ulin lebih banyak dari RSUP Kariadi yaitu 93 anak dengan 50,54% kejang demam terjadi pada anak usia enam bulan hingga satu tahun (2,3). Demam merupakan kenaikan suhu minimal 1C dari suhu rata-rata di titik tempat pengukuran yaitu jika 38,0C pada temperatur rektal, 37,6C pada temperatur oral, 37,4C pada temperature aksila, dan 37,6C pada temperatur membran timpani. Demam adalah alasan yang paling sering orangtua membawa anaknya berobat ke dokter. Diperkirakan 30% demam sebagai alasan utama membawa anak ke spesialis (4,5). Demam dapat menyebabkan kejang bila mencapai suhu 38,4C atau lebih dengan perkembangan yang cepat berdasarkan teori pengaruh suhu terhadap kanal ion dan teori perubahan metabolisme basal. Namun, demam hanya dapat menyebabkan kejang pada anak usia dibawah lima tahun karena otak yang kurang berkembang lebih rentan terhadap kejang spesifik daripada anak yang lebih tua atau orang dewasa (1,6,7). Luisa Vinadiya. Dkk. Perbandingan Tingkat Pengetahuan
3
Pengetahuan tentang kejang demam adalah pengetahuan mengenai definisi, etiologi, faktor risiko, prognosis, tata laksana awal serta komplikasi kejang demam. Sajadi dan Shamsi melaporkan hambatan tersering dalam mencegah kejang demam oleh ibu adalah kurangnya pengetahuan tentang kejang demam Pendapat Sajadi diperkuat oleh penelitian Huang dan Liu dalam penelitian Sajadi bahwa hanya 40% orang tua yang memiliki pengetahuan baik tentang kejang demam. Banyak ibu yang tidak bisa memperkirakan risiko kejang pada demam anaknya karena pengetahuannya yang kurang tentang kejang demam. Pengetahuan tentang komplikasi kejang demam juga bisa menjadi motivasi internal positif dalam memperbaiki aksi pencegahan kejang demam oleh ibu. Padahal menurut Tanja et. al. dalam Sajadi, kejadian kejang demam lebih tinggi pada orang tua yang belum pernah mendapat edukasi dibanding yang sudah pernah mendapatkan edukasi tentang kejang demam. Sedangkan menurut Stuijvenbergs et al dalam Sajadi, 45% orang tua cemas terhadap demam yang dialami anaknya dan mengira demam ini akan mengakibatkan komplikasi yang serius (8,9). Penelitian mengenai tingkat pengetahuan tentang kejang demam antara ibu dengan anak menderita demam dan kejang demam di RSUD Kota Banjarmasin belum pernah dilakukan. RSUD Ulin dan RSUD Dr.H.M. Anshari Saleh merupakan rumah sakit rujukan oleh puskesmas seluruh Banjarmasin sehingga penelitian ini dapat menggambarkan keseluruhan populasi penelitian di Banjarmasin. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk membandingkan tingkat 4
pengetahuan tentang kejang demam antara ibu dengan anak menderita demam dan kejang demam di RSUD Kota Banjarmasin periode Mei- November 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan tentang kejang demam pada ibu dengan anak menderita demam, mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan tentang kejang demam pada ibu dengan anak menderita kejang demam, dan membandingkan perbedaan tingkat pengetahuan tentang kejang demam antara ibu dengan anak menderita demam dan kejang demam. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan teori untuk sosialisasi lebih lanjut mengenai kejang demam agar pengetahuan orangtua khususnya ibu tentang kejang demam dapat membantu pencegahan kejang demam pada anak. Bagi institusi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber pustaka yang dapat menambah wawasan mengenai kejang demam di RSUD Kota Banjarmasin.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan case control. Populasi dan sampel kasus pada penelitian adalah ibu dengan anak menderita kejang demam yang datang ke RSUD Ulin dan RSUD Dr.H.M.Anshari Saleh. Populasi dan sampel kontrol pada penelitian ini adalah ibu dengan anak menderita demam yang datang ke RSUD Ulin dan RSUD Dr.H.M.Anshari Saleh. Teknik pengambilan sampel menggunakan totally sampling methode dengan jumlah sampel minimal 30 untuk tiap kelompok berdasarkan kriteria Gay dan Diehl dalam Silalahi (10). Instrumen penelitian meliputi kuesioner pengetahuan Luisa Vinadiya. Dkk. Perbandingan Tingkat Pengetahuan
5
tentang kejang demam oleh Pohan (8), serta buku registrasi poli anak, bangsal perawatan anak serta IGD RSUD Ulin Banjarmasin dan RSUD Dr.H.M. Anshari Saleh. Penelitian dilaksanakan di Bangsal Perawatan Anak, Instalasi Gawat Darurat dan Poli Anak di RSUD Ulin dan RSUD Dr.H.M. Anshari Saleh Banjarmasin Kalimantan Selatan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - November 2013.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, didapatkan sampel sebanyak 65 orang dengan berbagai karakteristik usia. Data sampel berdasarkan usia dapat dilihat pada lampiran 1. Kelompok usia sampel kontrol dengan frekuensi terbesar didapatkan pada usia 26- 30 tahun yaitu sebanyak 9 orang (28%) dan kelompok usia dengan frekuensi terkecil didapatkan pada usia lebih dari 40 tahun yaitu 1 orang (3,1%). Sedangkan, kelompok usia sampel kasus dengan frekuensi terbesar didapatkan pada usia 26- 30 tahun yaitu sebanyak 12 orang (36,4%) dan kelompok usia dengan frekuensi terkecil didapatkan pada usia kurang dari 20 tahun yaitu 1 orang (3,0%). Data sampel berdasarkan pendidikan terakhir yang ditempuh dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan lampiran 1, dapat diketahui bahwa pendidikan sampel kontrol dengan frekuensi terbesar adalah lulus SMA/sederajat yaitu 11 orang (34,4%) dan frekuensi terkecil adalah tidak lulus SD yaitu 1 orang (3,1%). Di sisi lain, pendidikan sampel kasus dengan frekuensi terbesar adalah lulus SMP/sederajat yaitu 9 orang (27,3%) dan frekuensi terkecil adalah tidak lulus SD yaitu 3 orang (9,1%). 6
Distribusi frekuensi sampel berdasarkan penghasilan keluarga dapat dilihat pada lampiran 1. Distribusi penghasilan sampel kontrol terbanyak adalah diatas Upah Minimum Regional (UMR) Banjarmasin atau setara dengan Rp1.225.000,00 yaitu 28 orang (87,5%). Hal yang sama juga terjadi pada sampel kasus yaitu 20 orang (60,6%) berasal dari keluarga dengan penghasilan lebih dari UMR Banjarmasin. Distribusi frekuensi pekerjaan ibu dapat dilihat pada lampiran 1. Pekerjaan sampel kontrol dengan frekuensi terbesar adalah tidak bekerja sebanyak 14 orang (43,8%) dan pekerjaan dengan frekuensi terkecil adalah wiraswasta sebanyak 2 orang (6,3%). Pada sampel kasus, pekerjaan dengan frekuensi terbesar adalah tidak bekerja yaitu sebanyak 23 orang (69,7%) dan pekerjaan dengan frekuensi terkecil adalah PNS, wiraswasta, dan karyawan swasta yaitu masing-masing 2 orang (6,06%). Tabel 1. Gambaran Tingkat Pengetahuan tentang Kejang Demam pada Ibu dengan Anak Menderita Demam
Tingkat Pengetahuan Frekuensi (orang) Persentase Baik 30 93.75% Buruk 2 6.25% TOTAL 32 100%
Luisa Vinadiya. Dkk. Perbandingan Tingkat Pengetahuan
7
Tabel 2. Gambaran Tingkat Pengetahuan tentang Kejang Demam pada Ibu dengan Anak Menderita Kejang Demam
Tingkat Pengetahuan Frekuensi (orang) Persentase Baik 24 72.7% Buruk 9 27.3% TOTAL 33 100%
Tabel 1 dan tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu dengan kategori baik memiliki frekuensi dominan pada ibu dengan anak menderita demam ataupun kejang demam. Al-Ayed menyatakan bahwa informasi kesehatan bisa diakses ibu melalui beberapa sumber. Delapan puluh persen sumber informasi kesehatan berasal dari keluarga, 17,2% dari radio, 16% dari jurnal/majalah kesehatan, 14,2% dari jurnal, dan 3,2% dari sekolah. Adanya keluarga, teman ataupun tetangga yang memiliki anak dengan riwayat kejang demam dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang kejang demam. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Gunawan et. al. yang menyatakan hanya pada 29% orang tua dengan anak kejang demam pertama mendapat informasi tentang kejang demam dari dokter, dan 26% informasi berasal dari keluarga atau tetangga, sisanya tidak pernah mendapat informasi. Penelitian Oche dan Onankpa juga mendukung pernyataan ini dimana sumber informasi sampel mengenai kejang demam 40% berasal dari nenek anak dengan kejang demam, 26% dari tetangga, 16% dari petugas rumah sakit, 11% dari teman, dan 8% dari sumber yang lain (11,12,13).
8
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Variabel Pengetahuan Ibu dengan Anak Menderita Demam
No Pengetahuan Benar (%) Salah (%) 1 Apakah demam tinggi dapat menyebabkan kejang pada anak? 84,8 15,2 2 Apakah kejang demam hanya terjadi pada bayi dan balita? 63,6 36,4 3 Apakah anak yang pernah kejang tanpa demam termasuk penderita kejang demam? 51,5 48,5 4 Apakah kejang demam sering disebabkan oleh radang telinga, radang tenggorokan? 72,7 27,3 5 Apakah kejang demam merupakan penyakit keturunan? 75,8 24,2 6 Apakah serangan kejang dapat timbul lebih dari satu kali selama anak demam? 81,8 18,2 7 Apakah penderita kejang demam berulang dapat menjadi epilepsi (ayan) di kemudian hari? 45,5 54,5 8 Apakah penderita kejang demam dapat menjadi bodoh dan mempunyai tingkah laku yang tidak wajar? 24,2 75,8 9 Apakah anak yang mengalami kejang akibat demam harus segera dibawa ke rumah sakit? 75,8 24,2 10 Apakah kejang demam bisa dicegah agar tidak kambuh kembali? 81,8 18,2
Tabel 3 di atas memperlihatkan persentase kesalahan sampel kontrol dalam mengisi kuesioner yang diberikan. Pada tabel tersebut dapat dilihat sampel banyak mengalami kesalahan pada pertanyaan nomor 8 yaitu sebesar 75,8%. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pengetahuan ibu untuk prognosis kejang demam masih sangat kurang. Hal ini berkebalikan dengan penelitian Pohan (8) bahwa 82,2% sampelnya mengetahui prognosis kejang demam dan penelitian Anigilaje et. al. bahwa 83,6% sampelnya menyatakan bahwa anak dengan kejang tetap mempunyai intelegensia dan perilaku yang normal (14). Perbedaan pengetahuan ini disebabkan beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan ibu, agama, etnis, dan media (15). Namun, yang paling berhubungan adalah 3 faktor. Faktor pertama adalah perbedaan lokasi penelitian yang Luisa Vinadiya. Dkk. Perbandingan Tingkat Pengetahuan
9
memunculkan perbedaan etnis. Penelitian Anigilaje et. al. dilaksanakan pada daerah terpencil di Nigeria dimana 49%-51% sampelnya berpikir bahwa kejang merupakan murka Tuhan atau gangguan roh jahat, sehingga tidak memiliki hubungan dengan kesehatan bahkan intelegensia. Faktor kedua yang berpengaruh adalah minat ibu terhadap info kesehatan anaknya. Faktor ketiga adalah kemudahan mengakses informasi. Faktor kedua sangat berbeda antara penelitian ini dengan penelitian Pohan, dimana sampelnya memang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kejang demam sehingga hasil penelitian Pohan tidak menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian kejang demam. Pada faktor ketiga, sampel penelitian Pohan memiliki kemudahan akses informasi kejang demam yang lebih mudah karena keseluruhan sampelnya berasal dari 1 kelurahan yang mayoritas berpenghasilan menengah ke atas (8,14). 10
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Variabel Pengetahuan Ibu dengan Anak Menderita Kejang Demam
No Pengetahuan Benar (%) Salah (%) 1 Apakah demam tinggi dapat menyebabkan kejang pada anak? 88,2 11.8 2 Apakah kejang demam hanya terjadi pada bayi dan balita? 38,2 61.8 3 Apakah anak yang pernah kejang tanpa demam termasuk penderita kejang demam? 8,8 91.2 4 Apakah kejang demam sering disebabkan oleh radang telinga, radang tenggorokan? 61,8 38.2 5 Apakah kejang demam merupakan penyakit keturunan? 50,0 50,0 6 Apakah serangan kejang dapat timbul lebih dari satu kali selama anak demam? 64,7 35.3 7 Apakah penderita kejang demam berulang dapat menjadi epilepsi (ayan) di kemudian hari? 41,2 58.8 8 Apakah penderita kejang demam dapat menjadi bodoh dan mempunyai tingkah laku yang tidak wajar? 35,3 64.7 9 Apakah anak yang mengalami kejang akibat demam harus segera dibawa ke rumah sakit? 79,4 20.6 10 Apakah kejang demam bisa dicegah agar tidak kambuh kembali? 73,5 26.5
Sedangkan pada kelompok sampel kasus, dapat dilihat sampel banyak mengalami kesalahan pada pertanyaan nomor 3 yaitu sebesar 91,2%. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pengetahuan ibu dengan anak menderita kejang demam untuk mengetahui bahwa kejang yang tanpa didahului demam bukan suatu kejang demam masih sangat kurang. Hal ini berkebalikan dengan penelitian Pohan (8) dimana 71,1% sampelnya mengetahui bahwa kejang yang tanpa didahului demam bukan suatu kejang demam.Perbedaan ini disebabkan dua faktor yaitu minat, dan kemudahan akses informasi yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Secara umum, analisis jawaban sampel memiliki beberapa persamaan dengan penelitian Anigilaje et. al. Tabel 3 dan tabel 4 pada pertanyaan nomor tujuh Luisa Vinadiya. Dkk. Perbandingan Tingkat Pengetahuan
11
menunjukkan bahwa 45,5% dan 41,2% ibu menjawab benar bahwa kejang berulang bisa meningkatkan risiko epilepsi. Anigilaje et. al. menyatakan bahwa 47% sampelnya juga mengetahui bahwa kejang berulang bisa meningkatkan risiko epilepsi. Hal yang senada juga ditemukan pada komponen pengetahuan nomor 5 mengenai kejang demam bukan penyakit keturunan melainkan meningkatkan risiko kejang demam. Lima puluh persen sampai tujuh puluh lima persen ibu memiliki pengetahuan yang benar tentang hal ini, seperti yang dilaporkan Anigilaje et. al. bahwa 67,6% sampelnya menyatakan kejang demam memiliki kecenderungan herediter (14). Hasil ini juga ditunjang oleh penelitian Kayserili et. al. dimana 12% sampelnya menjawab keturunan merupakan salah satu penyebab dari kejang demam. Kayserili et. al. membedakan etiologi kejang demam menjadi lima kategori lainnya, yaitu 9,52% sampelnya memilih abnormalitas kelistrikan otak, 53% memilih akibat episode demam itu sendiri dan usia anak, 14% memilih akibat predisposisi pada anak, 4,7% memilih akibat kekuatan supernatural dan 4,7% memilih akibat kurangnya pengetahuan (12). Tabel 5. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Tentang Kejang Demam Antara Ibu dengan Anak Menderita Demam dan Kejang Demam di RSUD Kota Banjarmasin
Kejadian Kejang Demam Tingkat Pengetahuan Nilai p* Odds Ratio Baik Buruk Frekuensi (orang) Persentase (%) Frekuensi (orang) Persentase (%) Demam 30 55,6 2 18,2 0,024 5,625 Kejang Demam 24 44,4 9 81,8 Total 54 100 11 100 * Uji Statistik Chi-Square 12
Berdasarkan tabel 5 di atas, tingkat pengetahuan yang baik lebih banyak dimiliki oleh ibu dengan anak menderita demam yaitu 55,6%. Sedangkan tingkat pengetahuan yang buruk lebih banyak dimiliki oleh ibu dengan anak menderita kejang demam yaitu 81,8%. Sehingga dapat terlihat bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang kejang demam mempengaruhi angka kejadian kejang demam. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square menunjukkan terdapat perbedaan tingkat pengetahuan tentang kejang demam yang bermakna antara ibu dengan anak menderita demam dan kejang demam karena besar nilai p=0,024 (p<0,05). Odds ratio yang didapat berdasarkan analisis statistik menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan kejang demam yang buruk memiliki risiko 5,6 kali lebih tinggi untuk anaknya kejang demam dibanding ibu dengan tingkat pengetahuan yang baik. Hasil ini senada dengan penelitian Najimi et. al. tahun 2013. Najimi et. al. melakukan intervensi edukasi untuk mengontrol demam agar tidak berubah menjadi kejang demam dengan memperbaiki pengetahuan dan sikap ibu mengenai kejang demam. Intervensi edukasi ini terbukti memperbaiki pengetahuan ibu dengan p<0,001. Pengetahuan ibu tentang kejang demam mampu menurunkan kepanikan dan meningkatkan percaya diri dari ibu untuk melakukan tindakan pencegahan kejang demam yang tepat (16). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Sajadi et. al. tahun 2004 yang menunjukkan bahwa kebanyakan ibu tidak memiliki pengetahuan bahwa demam bisa menyebabkan kejang sehingga tidak bisa memperkirakan kejadian kejang pada anaknya yang demam. Sajadi juga mengungkapkan pengetahuan ibu tentang Luisa Vinadiya. Dkk. Perbandingan Tingkat Pengetahuan
13
risiko kejang demam yang baik dapat mendorong ibu untuk melakukan aksi yang tepat dalam waktu yang cepat sehingga menurunkan risiko komplikasi demam. Tanja dalam Sajadi et. al. juga mengungkapkan bahwa kejadian kejang demam lebih tinggi pada ibu dengan pengetahuan buruk dibanding ibu dengan pengetahuan baik pada studi intervensi (9). Zeglam et. al. juga mendukung hasil penelitian ini melalui jurnalnya yang menyatakan bahwa kebanyakan orang tua merasa cemas dan ketakutan saat anaknya mengalami kejang akibat demam. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan tentang kejang demam dan kurangnya edukasi mengenai penanganan demam dan basic life support sehingga orang tua tidak bisa memberikan pencegahan kejang demam yang adekuat (17). Fetveit juga melengkapi penelitan ini melalui jurnalnya yang menyatakan bahwa tingkat kecemasan yang tinggi lebih sering ditemukan pada orang tua yang memiliki pengetahuan yang buruk atau sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai kejang demam ditunjang dengan rendahnya tingkat pendidikan. Stuijvenbergs dalam Fetveit melakukan penelitian yang sama yaitu menilai persepsi dan pengetahuan orang tua mengenai kejang demam pada kelompok demam dan kelompok kejang demam. Kesimpulan penelitian Stuijvenbergs adalah ketakutan orang tua terhadap demam dan kejang merupakan permasalahan utama yang menghasilkan dampak-dampak negatif pada pencegahan kejang demam (18).
14
PENUTUP Kesimpulan penelitian ini adalah pengetahuan tentang kejang demam pada ibu dengan anak menderita demam, 93,75% (30 orang) baik dan 6,25% (2 orang) yang buruk dan pengetahuan tentang kejang demam pada ibu dengan anak menderita kejang demam, 72,75% (24 orang) baik dan 27,3% (9 orang) yang buruk. Berdasarkan analisis data, terdapat perbedaan (p=0,024) tingkat pengetahuan tentang kejang demam yang bermakna antara ibu dengan anak menderita demam dan kejang demam di RSUD Kota Banjarmasin periode Mei- November 2013. Ibu yang memiliki tingkat pengetahuan tentang kejang demam buruk memiliki risiko 5,6 kali lebih tinggi daripada ibu dengan pengetahuan yang baik untuk terjadinya bangkitan kejang demam bagi anaknya. Penelitian ini tentu tidak luput dari kesalahan. Beberapa kekurangan dari penelitian ini adalah banyaknya variabel pengganggu yang tidak bisa dikendalikan, dan lokasi penelitian yang bertempat di dua rumah sakit sehingga meningkatkan varietas sampel. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengontrol variabel-variabel pengganggu seperti usia ibu, tingkat pendidikan ibu, tingkat ekonomi keluarga, riwayat merokok saat hamil, riwayat kehamilan, dan riwayat persalinan. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan juga dapat menggali identitas lain pada ibu yang secara konsisten bermakna meningkatkan kejadian kejang demam seperti riwayat merokok, riwayat persalinan, dan riwayat kelahiran. Perluasan variabel pengetahuan juga bisa dilakukan oleh peneliti selanjutnya yaitu Luisa Vinadiya. Dkk. Perbandingan Tingkat Pengetahuan
15
menambahkan pertanyaan tentang pengetahuan bahaya kejang fokal dan sumber informasi tentang kejang demam pada ibu.
16
Lampiran 1. Karakteristik Responden
No Karakteristik Individu Sampel Kontrol Sampel Kasus Frekuensi (Orang) Persentase (%) Frekuensi (Orang) Persentase (%) 1 Kelompok Umur < 20 Tahun 0 0.0 1 3.0 20 25 8 25.0 8 24.2 26 30 9 28.1 12 36.4 31 35 8 25.0 7 21.2 36 40 6 18.8 5 15.2 > 40 Tahun 1 3.1 0 0.0 2 Pendidikan Tidak Sekolah 0 0.0 0 0.0 Tidak Lulus SD 1 3.1 3 9.1 Lulus SD 5 15.6 8 24.2 Lulus SMP/Sederajat 8 25.0 9 27.3 Lulus SMA/Sederajat 11 34.4 6 18.2 Lulus Perguruan Tinggi 7 21.9 7 21.2 3 Penghasilan Rp1.225.000,00 28 87.5 20 60.6 < Rp1.225.000,00 4 12.5 13 39.4 4 Pekerjaan PNS 4 12.5 2 6.06 Wiraswasta 2 6.3 2 6.06 Karyawan Swasta 4 12.5 2 6.06 Tidak Bekerja 14 43.8 4 12.12 Lainnya 8 25.0 23 69.70
Luisa Vinadiya. Dkk. Perbandingan Tingkat Pengetahuan
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Kundu GK, Rabin F, Nandi ER, et. al. Etiology and risk factor of febrile seizure- an update. Bangladesh J Child Health 2010; 34 (3): 103-112.
2. Rani S, Sarumpaet SM, dan Jemadi. Karakteristik penderita kejang demam pada balita rawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2010-2011. Universitas Sumatera Utara; (online), (http://jurnal.usu.ac.id/index.php/gkre/718), diakses 9 April 2013.
3. Mariatul K. Profil penderita kejang demam pada anak yang dirawat di UPF anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2003-2003. Banjarmasin: FK Unlam, 2003.
4. El-Radhi AS and Klein JCN. Clinical manual of fever in children. Berlin: Springer-Verlag, 2009.
5. Tarigan T, Harahap CA, dan Lubis S. Pengetahuan, sikap dan perilaku orangtua tentang demam dan pentingnya edukasi oleh dokter. Sari Pediatri 2007; 8 (3): 27-31.
6. Baram TZ and Shinnar S. Febrile seizures. United States of America: Academic Press, 2002.
7. Berman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Ilmu kesehatan anak. Ed.15. Jakarta: EGC, 2000.
8. Pohan ITS. Gambaran pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu mengenai kejang demam pada anak di kelurahan tembung tahun 2010. Karya Tulis Ilmiah. Repository universitas sumatera utara: 2010.
9. Sajadi H, Shamsi M. Assesment of mothers behavior in preventing febrile convulsion in their children in Arak City: an application of Health Belief Model. Journal of Jahrom University of Medical Science 2011; 9 (2): 33-39.
10. Silalahi GA. Metodologi penelitian dan studi kasus. Jakarta: Citramedia, 2000
11. Al-Ayed I. Mothers' knowledge of child health matters: are we doing enough? Journal of Family and Community Medicine 2010; 17 (1): 22-28.
12. Kayserili E, Unalp A, Apa H, et. al. Parental knowledge and practices regarding febrile convulsions in Turkish Children. Turk J Med Sci 2008; 38 (4): 343-350 18
13. Oche MO and Onankpa OB. Using women advocacy groups to enhance knowledge and home management of febrile convulsion amongs mother in a rural community of Sokoto State Nigeria. Pan African Medical Journal 2013; 14 (49): 1-5
14. Anigilaje EA and Anigilaje OO. Perception of childhood convulsion among women in a peri-urban community in Ilorin, Nigeria. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS) 2013; 4 (5): 32-38 15. Gunawan W, Kari K, dan Soetjiningsih. Knowledge, attitude, and practices of parents with children of first time and recurrent febrile seizures. Paediatrica Indonesiana 2008; 48 (4): 193-197
16. Najimi A, Dolatabadi NK, Esmaeili AA, et. al. The effect of educational program on knowledge, attitude and practice of mothers regarding prevention of febrile seizure in children. Journal of Education and Health Promotion 2013; 2: 1-5
17. Zeglam A, Al Hamadi S, and Beshish A. Auditing the attitude and knowledge of parents of children with febrile seizures. African Journal of Neurologi Science 2010; 29: 1-8.
18. Fetveit A. Assesment of febrile seizures in children. Eur J Pediatri 2008; 167: 17-27
Gambaran Penanganan Ibu Pada Balita Dengan Riwayat Demam Berdasarkan Aspek Budaya Baurut Di Wilayah Kerja Puskesmas Guntung Manggis Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan