Anda di halaman 1dari 32

1

PENGANTAR

Puji dan syukur patut penulis panjatkan kehadirat Tuhan, atas rahmat dan karunianya
makalah yang berjudul Citra Kekerasan Perempuan dalam Poster Film Pulp Fiction: Sebuah
Kajian Semiotika dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan sebuah analisa terhadap citra
kekerasan perempuan yang ditampilkan dalam poster film Pulp Fiction dan disusun sebagai
persyaratan dalam memenuhi tugas akhir mata kuliah Sosiologi Komunikasi di Universitas
Multimedia Nusantara.
Dalam pelaksanaan proses penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa tidak
mungkin makalah ini selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan
hambatan. Oleh karena itu penulis ingin berterima kasih kepada Bapak Iding Rosyidin, S.Ag.,
M.Sc., selaku pembimbing sekaligus dosen mata kuliah sosiologi komunikasi di UMN,
kepada Agnes Theodora, dan kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Akhir kata, penulis ingin menyampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat, baik
sebagai sumber informasi maupun inspirasi bagi para pembaca.

Tangerang, Januari 2013

Hana Krisviana
Penulis





2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Poster sering dikategorikan sebagai media luar ruang yang bertujuan untuk mencuri perhatian
sebesar mungkin, oleh karena itu seringkali poster dibuat dengan warna-warna yang kontras
dan desain yang seatraktif mungkin. Poster tidak dimaksudkan untuk sekedar menyapa
pejalan kaki yang lewat, namun mencegat mereka agar berhenti dan mau melihat pesan yang
terkandung di dalamnya. Dengan sihirnya, poster dipakai untuk mengiklankan dan menjual
sesuatu yang tidak hanya produk, namun juga ideologi, pemikiran, citra, dan lain sebagainya.
Apapun yang ingin dijual lewat poster, efek dan dampak visualitas yang ditimbulkannya
itulah yang barangkali menjadikan poster sebagai medium penting di era periklanan massal
dan komunikasi massa pada masyarakat.
Jika ditilik, sejarah poster memang setua sejarah iklan jaman Mesir kuno yang ditulis
di atas papirus untuk mempromosikan barang dagangan, berita kehilangan, dan lain-lain. Di
reruntuhan kota Pompeii, negara-negara Arab kuno, Romawi dan Yunani kuno, poster dapat
ditemukan dalam bentuk iklan dan kampanye politik
1
. Barulah pada tahun 1440 ketika mesin
cetak pertama kali ditemukan oleh Johannes Gutenberg, poster mulai mengalami
perkembangan dalam bentuk cetak. Berangkat dari papirus dan mesin cetak, kini poster dapat
kita temui dalam bentuk digital atau kertas raksasa yang tertempel di dinding untuk
memberitahu tentang adanya event tertentu. Sekilas, memang poster lebih menonjolkan
dimensi visual daripada tekstual. Namun yang lebih penting dari itu adalah informasi atau
pesan yang terkandung di dalamnya.
Poster yang baik bak telegram visual
2
, begitu menurut seniman poster asal Perancis,
A. M. Cassandre. Senada dengan itu, Abram Games menyatakan bahwa poster semestinya
tidak mengatakan sebuah kisah melainkan membuat pernyataan. Dengan kata lain, sebuah
poster harus lebih fokus untuk menyampaikan gagasan ketimbang bercerita dengan bertele-
tele. Ibarat telegram, poster harus mampu menyampaikan sesuatu dengan kalimat terbatas

1
http://en.wikipedia.org/wiki/Advertising#History
2
http://www.giga-usa.com/quotes/authors/a_m_cassandre_a001.htm
3

tapi mudah untuk dipahami. Oleh karena itu tidak aneh jika dalam pembuatan poster,
desainer lebih mempunyai peran ketimbang penulis.
Poster mengandung makna-makna terselubung yang mampu membujuk dan
mempersuasi sasarannya untuk melakukan sesuatu. Hal yang paling nyata tentu terlihat pada
masa Perang Dunia I II. Peran poster sebagai media propaganda ampun mampu
memobilisasi dukungan, meningkatkan moralitas tentara yang sedang berperang, merekrut
prajurit, menggalang dana dengan menggalakkan pembelian saham perang dan mendorong
masyarakat untuk turut bekerja dalam industri alat perang, menurunkan moril prajurit lawan,
serta meningkatkan patriotisme.
Adapun makna tersebut didapat dari simbol yang dibuat sedemikian rupa sehingga
dapat menyihir orang untuk melakukan sesuatu. Menurut Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart
dalam bukunya Communications and Human Behavior, simbol merupakan karakter, huruf,
angka, kumpulan kata, obyek, manusia, atau tindakan yang mewakili atau mencerminkan
sesuatu yang terlihat sebagaimana adanya. Simbol merepresentasikan suatu hal atau ide
mengenai hal yang lain. Sehingga dengan kata lain, poster dapat dibilang merupakan
kumpulan simbol kuat yang mempunyai agenda untuk merubah perilaku masyarakat. Apapun
jenisnya, apakah poster propaganda atau politik, film, wisata, event, acara olahraga, atau
konser, poster memiliki makna dan tanda tertentu yang lebih dalam dari apa yang sekedar
terlihat di tampilan luarnya.
Sangat penting untuk memisahkan tanda dan makna yang terkandung dalam sebuah
poster, untuk menjelaskan mengapa satu tanda yang sama dapat memiliki makna yang
berbeda-beda bagi setiap orang. Karena itulah, poster dapat dijadikan sebagai salah satu
obyek kajian semiotika, mengingat semiotika merupakan salah satu model ilmu pengetahuan
sosial yang berusaha untuk memahami dunia sebagai suatu sistem hubungan yang memiliki
unit dasar dengan tanda
3
. Ahli semiotika, Umberto Eco bahkan menyebut tanda sebagai
suatu kebohongan yang mempunyai sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan
merupakan tanda itu sendiri. Fokus utama pada semiotika terletak pada teks dalam arti luas
yang dapat dijumpai dalam film, gambar, berita, novel, dan tidak hanya berupa tulisan.
Dalam kaitannya dengan media massa, poster film menarik untuk dikaji karena tidak
hanya merepresentasikan film dan pandangan si pembuat film, poster juga merupakan media

3
Wibowo, Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, Mitra Wacana Media, hal. 7
4

untuk menciptakan hiper-realitas lewat fenomena-fenomena yang dimaksudkan untuk
menarik masyarakat untuk menonton filmnya.
Sebagai media iklan atau pemasaran, poster film kerap menggunakan figur manusia
pada penyajiannya. Figur manusia menurut Roderick White lebih mudah menyampaikan
pesan kepada khalayak langsung ke intinya dan cepat diterima karena bekerja melalui jenis
kelamin, ras, dan pekerjaan
4
. Namun dalam menyampaikan figur manusia, seringkali poster
menampilkan citra pria atau perempuan menurut si pembuat film atau poster sehingga citra
yang ditampilkan tidak sesuai dengan realitas. Dengan dalih menyesuaikan dengan isi film,
poster seringkali menampilkan sosok pria sebagai pahlawan, kuat, mandiri. Sementara
menurut penelitian Erving Goodman, perempuan cenderung digambarkan pemalu, penghayal,
lembut, sangat suka dibohongi, dan butuh pertolongan.
Ketika perempuan menjadi simbol dalam seni komersial, maka acapkali citranya
ditampilkan secara diskriminatif, tendensius, dan bahkan menjadi subordinasi dari simbol-
simbol kekuatan pria
5
. Bahkan terkadang, perempuan terkesan hanya merupakan simbol kelas
sosial dan kehadirannya dalam kelas tersebut hanya karena kerelaan pria. Dengan makin
meningkatnya karya seni kreatif dalam berbagai media massa, posisi perempuan menjadi
sangat potensial untuk dikomersialkan dan dieksploitasi, mengingat posisi perempuan sebagai
sumber inspirasi sekaligus tambang uang yang tidak ada habisnya.
Poster film Pulp Fiction besutan Quentin Tarantino merupakan salah satu poster yang
menampilkan figur perempuan di dalamnya. Namun figur yang ditampilkan tidak sesuai
dengan penelitian Erving Goodman yang mengesankan perempuan sebagai damsel in
distress. Poster Pulp Fiction yang menampilkan tokoh Mia Wallace, istri bos narkoba
Marsellus Wallace ini menampilkan citra yang lain dari figur perempuan pada umumnya,
yaitu citra kekerasan perempuan. Adapun kekerasan yang dimaksud disini tidak berupa
tampilan pipi biru lebam, namun berupa eksploitasi terhadap perempuan, baik itu eksploitasi
tubuh maupun eksploitasi peran.
Seperti dikatakan Alex Sobur dalam Analisis Teks Media, keseluruhan isi media pada
hakekatnya merupakan konstruksi realitas. Apa yang terlihat merupakan hasil para pekerja
media dalam mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilih. Poster pun tidak terlepas dari
itu. Pemunculan figur-figur manusia dan visualisasi lain pada dasarnya adalah konstruksi

4
Roderick White, Advertising, McGraw-Hill, Singapore, 2000, hal. 258
5
Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi, Kencana, 2006, hal. 350
5

realitas yang dilakukan oleh pembuat poster tersebut sebagai bagian dari proses pengerjaan
isi media.
Oleh karena itu, kajian isi pesan yang terkandung dalam poster film perlu diadakan
untuk melihat proses dan kecenderungan yang mungkin ada dalam media massa ini. Dari sini
diharapkan dapat diperoleh gambaran detil tentang makna tanda-tanda yang terkonstruksi
pada media tersebut.
1. 2 RUMUSAN MASALAH
Dalam kajian ini ingin dijawab suatu pertanyaan mengenai bagaimanakah kekerasan
perempuan direpresentasikan dalam tokoh perempuan melalui tanda-tanda verbal dan non
verbal pada poster film Pulp Fiction?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan temuan-temuan tentang bagaimana citra kekerasan
perempuan ditampilkan dalam poster film Pulp Fiction, melalui pengungkapan tanda-tanda
verbal dan non verbal yang tertera dalam poster.
1.3 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian mengenai makna tanda-tanda ini bermanfaat untuk membuktikan kecenderungan
media dalam mengkonstruksi realitas dengan cara menampilkan beragam bentuk citra
kekerasan perempuan dalam balutan seni komersial. Penting untuk melakukan penelitian ini
karena dewasa ini media kian pintar dalam membungkus konstruksinya, sehingga perlu
kejelian dan kedalaman dalam melihat apa maksud tanda-tanda yang ditampilkannya.







6

BAB 2
KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 TANDA DAN MAKNA
Erns Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk atau ciptaan yang
hidup dengan mempergunakan simbol, sehingga sudah merupakan hal kodrati bagi manusia
untuk senantiasa melakukan penandaan bagi hal-hal di sekitarnya. Pada dasarnya manusia
hidup dalam dunia yang penuh tanda atau simbol, dan jika ingin mengenalnya, manusia harus
terlebih dahulu melakukan pemaknaan atas tanda tersebut dalam segala tindakan dan
interaksinya. Manusia dengan akalnya berusaha menggunakan tanda untuk berbagai macam
tujuan dalam upayanya untuk lebih memahami serta mengenal semesta tempatnya tinggal.
Pemikiran ini senada dengan pendapat Charles Sanders Peirce, pemikir argumentatif dan
filsuf Amerika yang disebut-sebut paling orisinal dan multidimensional, yang mengatakan
bahwa tanda memungkinkan manusia untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan
memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta
Adapun tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indera, mengacu pada
sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya. Secara
singkat, tanda merupakan sesuatu yang berdiri atas sesuatu yang lain. Tanda dapat dikatakan
sebagai media untuk mengemas maksud atau pesan dalam setiap peristiwa komunikasi
dimana manusia saling melontarkan tanda dan dari tanda-tanda tersebut terbentuklah suatu
makna yang berkenaan dengan eksistensi masing-masing individu.
Tanda mempunyai dua dimensi. Pertama, ekspresi, yang merupakan bentuk fisik tanda atau
tanda itu sendiri. Misalnya simbol kata-kata, rambu lalu lintas. Kedua, isi, yang merupakan
isi dari tanda tersebut. Inilah yang dikatakan sebagai makna dari tanda.
Sementara makna menurut Shimp merupakan tanggapan internal yang dimiliki atau diacu
seseorang terhadap rangsangan dari luar. Senada dengan itu, Schramm mengatakan bahwa
makna selalu bersifat individual dan dibangun berdasar pengalaman pribadi sehingga dua
inividu bisa mempunyai pemaknaan berbeda walaupun mereka sedang memperhatikan objek
yang sama.
Saussure berpendapat, makna tidak dapat berdiri sendiri melainkan sangat dipengaruhi oleh
7

tanda-tanda lainnya. Makna dapat dipahami sebagai gabungan antara beberapa unsur,
sehingga jika berdiri sendiri, suatu unsur tidak dapat membentuk sebuah makna yang utuh.
Pada dasarnya makna mengacu pada kepentingan-kepentingan si pembuat makna, baik
berupa kepentingan budaya, ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya.
Adapun berdasar pemikiran BrodBeck, makna mempunyai tiga corak, yaitu:
1. Makna inferensial, yaitu makna satu kata (lambang) berupa objek, pikiran, gagasan,
konsep yang dirujuk kata tersebut.
2. Makna significance, yaitu istilah yang dihubungkan dengan konsep lain atau arti istilah
tersebut.
3. Makna intensional, yaitu makna yang menekankan maksud pembicara.
Dalam penelitian ini, konsep tanda dan makna mengacu pada konsep tanda Charles Sanders
Peirce yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab berikutnya.
2.1 POSTER FILM DAN KONSTRUKSI REALITAS MEDIA MASSA
Film dan Poster Film Sebagai Media Massa
Sejak diperkenalkan pada sekitar abad ke-19 oleh gabungan usaha antara Thomas Edison, W.
K. L. Dickson, George Eastman, Lumiere bersaudara dan beberapa penemu lainnya, film
telah menjadi fenomena yang mampu menyihir para penontonnya. Sejak dahulu hingga
sekarang, masyarakat telah tersihir oleh fenomena visual tersebut sehingga mereka terpancing
untuk bertindak sesuai apa yang mereka lihat di film, seolah yang mereka saksikan
merupakan kenyataan itu sediri. Walaupun awalnya kegunaan film diperuntukkan sebagai
media hiburan, antusiasme masyarakat yang sedemikian rupa menunjukkan bahwa film
ternyata memiliki kekuatan dan kemampuan dalam menjangkau banyak segmen sosial serta
mengkomunikasikan berbagai macam pesan. Adapun pada mulanya, pesan yang
dikomunikasikan lewat film masih berupa pesan yang terbebas dari unsur politik, ekonomi,
sosial, dan lain sebagainya. Namun seiring perkembangan jaman, unsur komunikasi film
yang begitu luas dan dapat menjangkau berbagai kalangan mulai dimanfaatkan untuk
keperluan propaganda, atau untuk mensosialisasikan ideologi juga pemikiran kepada
khalayak luas. Misalnya saja film propaganda Nazi, Triumph of the Will (1934), besutan
sutradara Leni Riefenstahl yang ingin menampilkan kehebatan Jerman dalam memulihkan
diri pasca kekalahan di Perang Dunia I, serta keagungan Adolf Hitler sebagai pemimpin baru
8

yang akan memimpin mereka keluar dari keterpurukan.
Seiring dengan perkembangan industri film, penggunaan poster sebagai media
promosi juga mulai digalakkan. Meminjam kegunaannya sebagai alat iklan, poster digunakan
sebagai garda depan dalam peperangan menarik perhatian penonton. Sekitar awal tahun
1900-an, poster film berwujud ilustrasi salah satu atau beberapa adegan. Kemudian di tahun-
tahun selanjutnya, poster film menggunakan interpretasi artistik dari salah satu adegan atau
bahkan tema dari film itu sendiri, yang diwakili dengan berbagai macam gaya artistik.
Seringkali pesan-pesan yang terdapat dalam film, dinyatakan juga dalam poster film melalui
kumpulan tanda terkait.
Menurut Cangara, media massa didefinisikan sebagai alat yang digunakan dalam
penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan
alat-alat komunikasi mekanis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila poster film dan film
itu sendiri dikatakan sebagai media massa. Kemudian seperti halnya media massa yang lain,
poster film dan film tentu tidak terhindar dari kecenderungan untuk mengkonstruksi realitas
sosial.
Konstruksi Realitas Media Massa
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal sejak
diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul
The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge (Bungin,
2006: 189). Isi media merupakan suatu bentuk konstruksi realitas sosial. Media melakukan
konstruksi terhadap pesan-pesan yang disampaikan melalui tulisan, gambar, suara, atau
simbol lain melalui proses penyeleksian dan menipulasi tertentu sesuai keinginan atau
ideologi media tersebut.
Pada dasarnya, masyarakat menerima suatu bentuk realitas yang dikonstruksi oleh
media. Menurut Gerbner dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk konsepsi
khalayak tentang dunia nyata. Dengan kata lain, media merupakan konstruksi realitas.
Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah pengetahuan yang bersifat
keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum,
wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial
6
. Adapun realitas sosial ini terbentuk

6
Burhan Bungin, Imaji Media Massa, Jendela, Yogyakarta, 2001, hal. 12
9

melalui tiga tahap, yaitu:
a. Eksternalisasi, yaitu saat terjadi interaksi antara individu dengan produk sosial
masyarakatnya dan kemudian individu tersebut menyesuaikan diri (esternalisasi) ke
dalamnya. Tahap ini terjadi ketika sebuah produk sosial sudah menjadi suatu bagian
penting yang selalu dibutuhkan oleh individu dalam melihat dunia luar.
b. Objektivasi, yaitu tahap saat individu memanifestasikan diri dalam produk-produk
sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Tahap ini dapat terjadi tanpa harus ada
tatap muka, bisa melalui penyebaran opini di masyarakat tentang produk sosial
tersebut.
c. Internalisasi, merupakan proses pemahaman atau penafsiran langsung dari dari suatu
peristiwa objektif. Tahap ini adalah proses pengungkapan suatu makna sehingga
makna tersebut mempunyai nilai subjektif bagi individu yang bersangkutan.
Dalam hal ini konstruksi sosial merupakan sebuah pandangan yang mengatakan bahwa
semua nilai, ideologi, dan institusi sosial. Komunikasi, terutama dari media masa, tidak dapat
terlepas dari konstruksi-konstruksi realitas sosial. Alex Sobur berpendapat bahwa isi media
merupakan hasil konstruksi beberapa realitas yang dipilih oleh para pekerja media.
Terdorong oleh hal tersebut, penelitian ini ingin memberi gambaran tentang realitas
simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat poster film Pulp Fiction.
Dimana simbol-simbol yang terdapat disana merupakan hasil dari konstruksi tanda yang
dibuat pada tahap objektivasi untuk kemudian diinternalisasikan dalam benak pemirsa film
tersebut, secara khusus.
Pembentukan Konstruksi Citra
Menurut Burhan Bungin dalam bukunya Sosiologi Komunikasi, pembentukan konstruksi citra
adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Adapun konstruksi citra yang
dibangun oleh media massa, terbentuk dalam dua model; (1) model good news dan (2) model
bad news. Pada model good news, objek dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra
baik sehingga terkesan lebih baik dari kebaikan sesungguhnya. Sementara pada model bad
news, sebuah konstruksi cenderung membangun kejelekan atau memberi citra buruk pada
objek sehingga terlihat lebih jelek, buruk, jahat dari sesungguhnya.
Citra-citra tersebut menyebabnya terbentuknya konstruksi engetahuan dan/atau
10

wacana dalam dunia kognitif yang hanya hidup dalam pikiran individu dan simbol-simbol
masyaraat namun sebenarnya tidak ditemukan dalam dunia nyata. Refleksi realitas tersebut
baru terlihat saat individu yang bersangkutan harus menentukan pilihan mereka terhadap
produk untuk dipakai.
Menurut Tomagola, citra perempuan yang biasa digambarkan oleh media massa,
khususnya media cetak, adalah sebagai berikut:
a. Citra pigura, yaitu penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil
memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, atau dengan
menebar isu natural anatomy bahwa ketuaan perempuan merupakan momok
yang tidak dapat dihindari.
b. Citra pilar, yaitu penggambaran perempuan sebagai tulang punggung utama
keluarga. Namun karena kodratnya berbeda dengan laki-laki, perempuan
digambarkan memiliki tanggung jawab terhadap persoalan domestik (rumah
tangga)
c. Citra pinggan, yaitu penggambaran perempuan yang tidak bisa lepas dari dapur,
mengingat anggapan bahwa dapur merupakan dunia perempuan.
d. Citra pergaulan, yaitu citra yang menunjukkan pergulatan perempuan untuk
masuk ke dalam kelas tertentu yang lebih tinggi di masyarakatnya.
Adapun selain keempat citra di atas, Burhan Bungin menyatakan bahwa ada satu lagi citra
yang bersifat bad news atau memberi citra buruk bagi perempuan, yaitu citra kekerasan.
Kekerasan yang dimaksud disini tidak berwujud dalam bentuk lebam-lebam atau wajah yang
berdarah, namun berupa eksploitasi perempuan. Terkadang tampil pula sosok perempuan
yang lebih keras, yang keluar dari stereotip perempuan sebagai sosok lembut dan tak berdaya.
Misalnya dalam bungkus perayu, penindas, atau bahkan sebagai pecundang. Itulah yang ingin
dikaji dalam penelitian ini.




11

Bab 3
PARADIGMA PENELITIAN

3.1 LANDASAN TEORI
Semiotika merupakan istilah dari bahasa yunani semion atau tanda. Di sini tanda memiliki
arti khusus, mengacu pada konteks sosial dan budaya di mana semua tanda digunakan agar
kita memperoleh signifikansi atau makna tertentu. Bahasa dan sistem simbolis lainnya seperti
musik dan gambar disebut sistem tanda, karena mereka diatur, dipelajari, dan ditularkan
berdasarkan aturan dan konvensi bersama oleh suatu masyarakat.
Mengenai hal tersebut, Marcel Danesi dalam buku Pesan, Tanda, dan Makna
memberi penjelasan bahwa semiotika adalah ilmu yang mencoba menjawab pertanyaan: Apa
yang dimaksud dengan X? Adapun X dapat berupa apa saja, mulai dari kata, gambar, warna,
maupun komposisi musik atau film. X juga dapat dimaknai secara berbeda, misalnya X
adalah warna utih. X dapat dimaknai sebagai Y (salah satu warna primer), namun dapat juga
dimaknai sebagai V (kesucian) atau Z (tanda menyerah bendera putih). Penggambaran dan
penelusuran sifat X sebagai Y, V, maupun Z itulah yang menjadi subjek penelitian semiotika.
Memahami semiotika tidak dapat terlepas dari pengaruh teori yang dicetuskan oleh,
terutama, Ferdinand De Saussure, Charles Sanders Peirce, juga Roland Barthes. Teori ini
bercabang menjadi beberapa aliran yang antara lain dikatakan sebagai aliran strukturalis dan
pragmatis. Para strukturalis (Ferdinand De Saussure dan pengikutnya, salah satunya Roland
Barthes), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercipta dalam kognisi
seseorang) dan makna (atau isi, pemahaman manusia sebagai pemakai tanda) yang
menstruktur dan terstruktur dalam kognisi manusia, sehingga hubungan antara tanda dan
makna tidak bersifat pribadi namun sosial, yang didasari oleh kesepakatan (kovensi) sosial.
Sementara itu, para pragmatis (Charles Sanders Peirce) melihat tanda sebagai
sesuatu yang mewakili sesuatu. Dalam teorinya, Peirce memandang bahwa tanda terdiri
atas representament (perwakilan), object (sesuatu yang ada dalam kognisi manusia), dan
interpretant (proses penafsiran). Selanjutnya, teknik yang akan dipakai dalam mengkaji
penelitian ini akan menggunakan teori semiotika milik Charles Sanders Peirce.
Teori Semiotika Charles S. Peirce
12

Charles Sanders Peirce lahir pada tahun 1839 dalam keluarga intelektual. Ayahnya,
Benjamin Peirce merupakan profesor dalam bidang astronomi dan matematika di Harvard
University. Oleh karena itu tidak heran jike Peirce kemudian juga mempunyai prestasi yang
membanggakan di Harvard. Pada tahun 1859, dia menerima gelar B. A. dari universitas
tersebut, lalu M. A dan B. Sc pada tahun 1862 dan 1863.
Teori Peirce seringkali disebut sebagai grand theory dalam dunia semiotika,
mengingat gagasannya yang bersifat menyeluruh dan merupakan deskripsi struktural dai
semua sistem penandaan. Oleh karena itu tidak heran jika teori semiosis triadik Peirce
digunakan untuk menganalisis suatu tanda.

Dalam segitiga tanda Peirce, tanda atau representamen merupakan sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal. Sesuatu yang lain itu disebut sebagai
interpretan, yang akan mengacu pada objek tertentu. Maka dari itu, Peirce mengatakan
bahwa sebuah tanda atau representamen memiliki hubungan triadik langsung dengan
interpretan dan objeknya. Proses inilah yang dikatakan sebagai semiosis.
Tipologi Tanda versi Peirce
Peirce mengklasifikasikan tipe-tipe tanda menjadi: ikon (icon), indeks (index), dan simbol
(symbol) yang dibangun atas relasi antara representamen, objek, dan interpretannya.
1. Ikon: merupakan tanda yang mengandung kemiripan rupa sehingga mudah dikenali
para penggunanya. Dalam tipe ini, hubungan antara representamen dan objeknya
mempunyai kesamaan dalam beberapa kualitas. Contohnya rambu lalu lintas untuk
berjalan yang mempunyai kesamaan dengan objek sebenarnya (orang berjalan) dapat
dikategorikan ikonik.
13

2. Indeks: merupakan tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial
diantara representamen dan objeknya. Dalam indeks, hubungan antara tanda dengan
objeknya bersifat konkret, aktual. Contohnya, jejak telapak kaki di atas permukaan
tanah merupakan indeks dari seseorang atau binatang yang lewat disana.
3. Simbol: merupakan tanda yang didasarkan atas kesepakatan atau konvensi sejumlah
orang atau masyarakat. Misalnya adalah tanda-tanda kebahasaan.
Meski begitu, dalam prakteknya, tanda tidak dapat dilakukan secara eksklusif sebab
dalam konteks tertentu, ikon dapat menjadi simbol, atau simbol berupa ikon. Bahkan
disamping menjadi indeks, sebuah tanda sekaligus juga bisa berfungsi sebagai simbol.
Dari perbagai kemungkinan persilangan antara seluruh tipe tanda ini dapat dihasilkan
puluhan kombinasi yang kompleks.
3.1 METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data dilakukan secara kualitatif dengan mengamati secara langsung
tanda-tanda yang terdapat dalam poster film, serta menonton filmnya untuk mendapat
gambaran mengenai karakter tokoh. Selain itu referensi didapatkan dari studi pustaka dan
studi internet untuk mempelajari teori semiotika Charles Sanders Peirce dan cara menganalisa
tandanya.









14


BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 SEKILAS TENTANG FILM PULP FI CTI ON
Pulp Fiction (1994) merupakan film kriminal yang disutradari oleh sutradara Amerika
terkenal, Quentin Tarantino. Film ini terutama terkenal karena dialognya yang cerdas, humor
satir mengenai kekerasan, dan alur cerita non-linear yang tidak biasa. Pulp Fiction
dinominasikan untuk tujuh penghargaan Oscar, penghargaan paling bergengsi dalam dunia
perfilman, yaitu: Best Picture, Best Original Screenplay (menang), Best Director, Best Actor
(John Travolta), Best Supporting Actress (Uma Thurman), Best Supporting Actor (Samuel L.
Jackson), Best Film Editing.
Pulp Fiction bercerita seputar dunia mafia Los Angeles dan terdiri atas tujuh bagian
yang walaupun bercerita secara terpisah, mempunyai benang merah yang dapat ditarik.
1. Prologue The Diner
Bercerita tentang sepasang kekasih, Pumpkin (Tim Roth) dan Honey Bunny
(Amanda Plummer) yang mencoba merampok sebuah kedai makan di pagi hari.
2. Prelude to Vincent Vega and Marsellus Wallaces Wife
Nama Mia Wallace (Uma Thurman), istri bos mafia narkoba Marsellus Wallace (Ving
Rhames), pertama kali disebut dalam bagian ini saat Vincent Vega (John Travolta)
dan partnernya Jules Winnfield (Samuel L. Jackson) terlibat dalam diskusi sebelum
melaksanakan tugas dari Marsellus (mengambil koper berisi uang). Disini disebut
Vincent Vega telah diminta secara khusus oleh Marsellus untuk menemani istrinya
saat dia pergi.
3. Vincent Vega and Marsellus Wallaces Wife
Acara makan malam Vincent Vega dengan Mia Wallace yang diwarnai dansa dansi,
namun tidak berakhir dengan adegan ranjang. Jauh dari itu, bagian ini berakhir
dengan adegan overdosis Mia yang kemudian memaksa Vincent untuk
15

menyelamatkannya. Walaupun sama-sama menunjukkan ketertarikan satu sama lain,
bagian ini sama sekali tidak mengandung unsur seksualitas.
4. Prelude to The Gold Watch (aflashback, bpresent)
Bercerita seputar Butch (Bruce Willis), seorang petinju yang mengadakan bisnis
dengan Marsellus Wallace. Marsellus membayarnya untuk mengalah dalam suatu
pertandingan, namun ternyata Butch mengkhianati perjanjian mereka.
5. The Gold Watch
Lanjutan dari kisah Butch. Butch yang kini diburu anak buah Marsellus sudah
berencana untuk kabur dari Los Angeles, namun terpaksa harus kembali saat jam
tangan emas peninggalan ayahnya ketinggalan di apartemen. Suatu hal yang memicu
banyak kejadian lanjutan.
6. The Bonnie Situation
Pasca Vincent Vega dan Jules Winnfield mengambil koper berisi uang, Vincent
secara tidak sengaja menembak kepala informan mereka sehingga mengotori seluruh
mobil. Jules berinisiatif membawa mereka berdua ke rumah temannya, Jimmie
(Quentin Tarantino), yang malah membawa masalah baru karena istri Jimmie
diprediksi akan segera pulang dari kerja dan dia tidak ingin istrinya mengetahui ada
mobil berlumur darah di garasi mereka. Masalah ini kemudian terpecahkan dengan
bantuan Winston Wolf (Harvey Keitel), pemecah masalah untuk para mafia.
7. Epilogue The Diner
Penceritaan babak pertama dari sudut pandang berbeda. Dalam kedai makan yang
akan dirampok Pumpkin dan Honey Bunny ternyata juga ada Vincent Vega dan
Jules Winnfield yang mampir makan setelah pergi dari rumah Jimmie. Epilog ini
diceritakan dari sudut pandang Vincent dan Jules yang berhasil menghentikan
perampokan amatir tersebut.
Film ini sering dikategorikan sebagai film neo-noir (noir: film kriminal klasik
Hollywood) dan dipuji kritikus atas satir gelapnya (black comedy). Suatu hal yang
membuatnya tidak lekang dimakan waktu dan menjadi inspirasi bagi banyak film sejenis di
kemudian hari.
16

4.2 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TANDA














Identifikasi dan klasifikasi tanda yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengadaptasi jenis-jenis tanda berdasarkan hubungan objek dengan tanda seperti yang
dikemukakan oleh Pierce.
Jenis Tanda Penjelasan Unit Analisa
Ikon Tanda berhubungan dengan objek karena
adanya keserupaan
- Gambar perempuan
- Gambar lampu tidur
- Gambar tempat tidur
- Gambar bantal
- Gambar pistol
- Gambar buku
17

- Gambar rokok
Indeks Adanya hubungan eksistensi atau sebab
akibat yang ditimbulkan objek
- Warna header judul
- Pandangan
perempuan
- Posisi tubuh
perempuan
- Kaki perempuan yang
terlipat ke atas
- Sepatu perempuan
- Gestur tangan
perempuan
- Warna lipstik
perempuan
- Warna kuteks
perempuan
- Baju perempuan
- Warna kalung
perempuan
- Gaya rambut
perempuan
- Belahan dada
perempuan
- Cahaya lampu
Simbol Tanda yang diakui keberadaannya
berdasar konvensi
Teks judul, teks sub-judul

Makna Tanda-Tanda Tipe Icon
No. Tanda Objek Interpretant
1. Gambar perempuan Sama dengan tanda Objek seks
2. Gambar lampu tidur Sama dengan tanda Pelengkap suasana kamar
tidur
3. Gambar tempat tidur Sama dengan tanda Ruang privat untuk
18

berhubungan intim
4. Gambar bantal Sama dengan tanda Eksistensi suasana yang
berkaitan dengan kamar tidur
5. Gambar pistol Sama dengan tanda Penggambaran nuansa
berbahaya dan ilusi dominasi
6. Gambar buku Sama dengan tanda Penggambaran bahwa film ini
mempunyai arti filosofis dan
mempunyai alur yang
kompleks selayaknya buku
7. Gambar rokok Sama dengan tanda Manifestasi karakter
perempuan penggoda

Pada tanda ikon nomor 1 terdapat tanda berupa visual gambar perempuan. Berdasar
hubungan antara tanda dan objek pada tanda tipe ikon, maka tanda dan objek sama-sama
merujuk pada perempuan sebagai objek seks, sebab gambar perempuan diletakkan pada
posisi sedemikian rupa dalam sebuah kamar tidur yang menurut anggapan masyarakat,
merupakan tempat privat untuk berhubungan intim. Adapun penggambaran tersebut diperkuat
dengan adanya lampu tidur pada ikon nomor 2, tempat tidur dengan sprei yang terlipat seolah
baru ditiduri ada nomor 3, lalu bantal yang dipegang oleh sosok perempuan pada ikon nomor
4.
Gambar pistol pada umumnya menunjukkan maskulinitas laki-laki, namun dalam hal
ini pistol dimaksudkan untuk memberi ilusi dominasi pada karakter perempuan dalam
gambar dan nuansa perempuan penggoda berbahaya. Pistol yang digunakan bertipe semi-
automatic pistol, tipe yang umum digunakan oleh rakyat sipil dan hanya dapat menembakkan
peluru sebanyak 5 sampai 6 kali sebelum diisi ulang. Jika dibandingkan dengan machine gun
yang berukuran besar dan kerap digunakan untuk merepresentasikan kejantanan dan dominasi
yang sesungguhnya atas lawan, pistol dalam poster ini tentu terasa kecil. Machine gun dalam
film Rambo, misalnya, dimaksudkan untuk menimbulkan efek teror dan takut pada lawan
sebelum berperang. Berbeda dengan itu, semi-automatic pistol dalam poster ini tidak
dimaksudkan untuk memberi efek teror, namun ilusi dominasi perempuan atas laki-laki.
Ibarat pukulan pada badan, pistol ini hanya merupakan cubitan ringan sarat godaan, dan
bukan pukulan keras untuk menunjukkan dominasi dan maskulinitas sesungguhnya. Apabila
19

pistol besar yang dipegang oleh laki-laki dapat merepresentasikan hal tersebut, pistol dalam
gambar ini justru makin menegaskan posisi perempuan sebagai sub-ordinat. Secara kasar,
keberadaannya menunjukkan bahwa perempuan boleh memegang pistol, namun hanya yang
paling kecil saja, walaupun juga sekaligus menunjukkan bahwa film ini mempunyai unsur
kekerasan.
Peranan buku dalam poster ini adalah untuk menunjukkan kompleksitas alur film,
kecerdasan dialog, bahwa film dibangun atas ideologi dan filosofi tertentu selayaknya sebuah
buku. Pulp Fiction memang bukanlah sebuah film konvensional yang mempunyai satu alur
yang maju atau mundur. Terdiri atas tujuh alur yang non-linear, film Pulp Fiction memang
dimaksudkan untuk memiliki kompleksitas alur sebuah buku.
Walaupun rokok sudah jelas dapat mengakibatkan berbagai macam bahaya dari segi
kesehatan, rokok masih terbukti menjadi barang yang digemari oleh masyarakat. Marcel
Danesi mengatakan, pada dasarnya orang merokok karena alasan sosialisasi. Dalam dunia
semiotika, merokok dan gestur orang saat merokok dapat mengandung berbagai macam arti.
Misalnya, Allan Pease dalam bukunya Body Language mengatakan bahwa seseorang yang
memegang rokoknya ke atas dan meniup asapnya ke arah atas, pada hakekatnya ingin
menunjukkan superioritas dan kepercayaan diri. Sebaliknya, orang yang menghembuskan
asap rokoknya ke bawah, menunjukkan ketidakpercayaan diri, sekaligus rasa grogi dan
perasaan negatif. Dalam kaitannya dengan seksualitas dan gender, rokok seringkali
digunakan sebagai ekspresi menggoda. Saat seorang perempuan memelintir rokok diantara
jari telunjuk dan jari tengahnya, sembari menunjukkan kulit pergelangan tangannya, hal
tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk ketertarikan seksual terhadap lawan
bicaranya sekaligus mempertegas sisi erotisme gerakan tersebut.

Makna Tanda-tanda Tipe Indeks
No. Tanda Objek Interpretant
1. Warna header judul Warna teks kuning di atas
latar merah. Kuning
memberikan kesan murah,
sementara merah yang
lebih kontras sering
Mengacu pada judul film.
Teks kuning di atas latar
menunjukkan kemiripan
dengan pulp magazine atau
majalah murah yang populer
20

diasosiasikan dengan
bahaya, nafsu, gairah,
agresi.
di Amerika pada tahun 1896
sampai 1950-an.
2. Pandangan perempuan Arah pandangan
mengerling
Menunjukkan ekspresi
menggoda yang sensual.
3. Posisi tubuh perempuan Berbaring rendah,
menunjukkan posisi sub-
ordinat
Manifestasi posisi perempuan
yang lebih rendah dari laki-
laki
4. Kaki perempuan Terlipat ke atas Memberi ilusi perempuan
yang penurut, selayaknya anak
kecil yang suka melipat kaki
di atas tempat tidur.
5. Sepatu perempuan Berhak tinggi Hak tinggi diinterpretasikan
sebagai simbol seksualitas
6. Gestur tangan
perempuan
Telapak tangan membuka,
mengekspos bagian
pergelangan tangan
Bagian pergelangan tangan
merupakan salah satu area
tubuh yang paling erotis.
Mengeksposnya berarti
menunjukkan tanda
seksualitas.
7. Warna lipstick
perempuan
Merah, konotasi seksual Mempertegas erotisme dan
sensualitas
8. Warna kuteks
perempuan
Merah, konotasi seksual Mempertegas erotisme dan
sensualitas
9. Baju perempuan Hitam dan berpotongan
leher rendah
Warna hitam diartikan sebagai
kekuatan, ketidakbahagiaan,
kesedihan, kejahatan,
seksualitas. Potongan leher
rendah dimaksudkan untuk
memperlihatkan area tertutup
dari bagian tubuh perempuan.
10. Kalung perempuan Berwarna merah dan
berbentuk bundar, dengan
Kalung tidak dimaksudkan
untuk menjadi perhiasan
21

tali yang melingkari leher.
Konotasi seksual
tubuh karena berbentuk sangat
sederhana, namun untuk sekali
lagi menegaskan seksualitas
lewat warna merah bandulnya.
11. Gaya rambut
perempuan
Gaya rambut pageboy
yang dipopulerkan oleh
Bettie Page, model erotis
Merepresentasikan
pemberontak, lepas dari
stereotip perempuan yang
'harus' berambut panjang.
12. Belahan dada
perempuan
Terekspos, mempertegas
kewanitaan
Menunjukkan seksualitas.
13. Cahaya lampu Temaram Memberi nuansa gelap pada
keseluruhan suasana, memberi
citra bahwa film ini bukanlah
sebuah film yang cerah ceria.

Pada tanda indeks 1, terdapat header judul film ini. Teks berwarna kuning, dan
diletakkan di atas latar belakang merah. Warna yang kontras dan mencolok ini dimaksudkan
untuk merepresentasikan majalah murah (pulp magazine), yang umumnya banyak
memanfaatkan kontrasnya warna kuning dan merah di kaver depannya. Majalah jenis ini
terutama populer pada sekitar tahun 1896 sampai 1950-an dan memuat cerita-cerita fiksi
bombastis, serta seringkali menyertakan unsur erotisme. Warna kuning juga umum digunakan
untuk menyebut jurnalisme yang mengedepankan cerita yang bombastis (biasanya dengan
unsur kekerasan dan seksualitas), yellow journalism. Disebut yellow journalism karena pada
masa itu, koran tersebut dicetak di kertas warna kuning. Sehingga dengan kata lain, warna ini
sering dipakai untuk menggambarkan citra murahan. Citra tersebut dipadu dengan warna
merah yang menunjukkan kesan agresi, berani, serta nafsu dan gairah, sehingga semakin
memiripkan header ini dengan ciri khas pulp magazine tersebut.




22










Pola kemiripan header antara pulp magazine (gambar 1 dan 2) dengan poster film
Menurut Allan Pease, mata sering digunakan untuk menandakan ekspresi menggoda
atau menunjukkan ketertarikan secara seksual. Hal inilah yang kemudian menyebabkan
perempuan seringkali menggunakan make up di daerah mata, guna mempertegas ketertarikan
tersebut. Pandangan mata yang mengerling, serta dibarengi dengan naiknya alis dan bibir
yang terkatup menunjukkan ekspresi menggoda yang mempunyai konotasi seksual. Berbeda
jika pandangan tersebut dilakukan bersamaan dengan senyuman, hal tersebut bisa saja
merupakan perwujudan rasa ketertarikan dan belum tentu harus diinterpretasikan secara
seksual.
Dalam hubungan sosial, pada hubungan perempuan dan laki-laki, posisi perempuan
selalu ditempatkan pada posisi wengking, orang belakang, subordinasi, perempuan
selalu yang kalah, sebagai pemuas pria, pelengkap dunia laki-laki (Bungin, 2006: 351). Hal
inilah yang ditampilkan lewat posisi tubuh perempuan dalam gambar yang berbaring rebah,
dalam posisi rendah di ranjang, alih-alih berdiri atau melakukan gestur dominan seperti yang
banyak ditampilkan laki-laki dalam berbagai tayangan media. Posisi tersebut dapat diartikan
sebagai manifestasi citra perempuan yang adalah sub-ordinat laki-laki.
Kaki perempuan yang terlipat di atas tempat tidur pada tanda indeks 3 merupakan
representasi dari gestur anak kecil yang suka mengangkat kakinya dan melipat ke atas pada
saat dia berada di tempat tidur, dan bukan gestur kaki terlipat orang dewasa yang
23

menyilangkan kaki di atas satu kaki lain saat duduk. Anak kecil pada dasarnya hampir selalu
diidentikkan dengan objek penurut yang harus selalu 'manut' dengan orangtuanya, sebuah
bentuk kepasifan terselubung. Kaki yang tersilang tersebut juga memberi makna bahwa
perempuan di gambar ini harus menjadi seorang subjek pasif, dan memberi kesan bahwa dia
tidak dalam posisi untuk bertindak aktif.






Pola kemiripan antara gambar kiri (anak kecil) dengan kaki perempuan pada gambar kanan

Secara kontras, gestur kaki terlipat tersebut dipadukan dengan sepatu hitam berhak
tinggi yang berada dalam tanda indeks 4. Marcel Danesi dalam bukunya Of Cigarettes, High
Heels, and other Interesting Things, mengatakan bahwa penggunakaan sepatu berhak tinggi
oleh perempuan memiliki konotasi seksual. Pada jaman batu, manusia menggunakan sepatu
untuk melindungi kakinya dari bebatuan tajam atau dinginnya lingkungan mereka. Sepatu
tersebut umumnya terbuat dari kulit binatang dan diikat secara sederhana pada kaki mereka.
Maka tidak diragukan lagi jika sebenarnya kegunaan sepatu adalah untuk melindungi kulit
dan memungkinkan penggunanya untuk berjalan dengan nyaman dan tanpa rasa sakit. Pada
mulanya, sepatu berhak tinggi digunakan oleh Raja Louis XIV dari Perancis untuk mengatasi
tubuhnya yang cenderung pendek, namun dewasa ini sepatu berhak tinggi telah beralih fungsi
dari kepraktisan dan kenyamanan menjadi suatu properti fashion yang seringkali malah
menimbulkan rasa sakit ketika digunakan untuk berjalan, atau menyebabkan berbagai
permasalahan pada kaki. Sepatu berhak tinggi menyebabkan penggunanya untuk cenderung
berdiri lebih tegak dan membusungkan dada serta pantat sehingga mempertegas seksualitas
seorang perempuan. Keberadaan sepatu ini juga menegaskan peran sensual kaki. Seperti yang
juga ditulis oleh sejarawan William Rossi dan dilansir Danesi, perempuan tampak lebih seksi
dalam balutan stocking atau sepatu berhak tinggi daripada tanpa kedua hal tersebut.
Gestur tangan perempuan yang membuka, memperlihatkan telapak tangan, serta
24

mengekspos bagian pergelangan tangan pada tanda indeks 5 merupakan bagian dari aktivitas
menggoda yang mempunyai konotasi seksual. Pendapat ini diutarakan oleh Allan Pease
dalam Body Language, yang mengatakan bahwa seorang perempuan yang ingin
menunjukkan ketertarikannya, terutama dalam hal seksual, terhadap lawan bicara secara
perlahan akan mengekspos kulit pergelangan tangannya. Pergelangan tangan merupakan
salah satu area tubuh yang dianggap paling erotis dan mempunyai konotasi seksual. Gerakan
ini terutama lebih mudah dilakukan sambil merokok, sehingga ada lebih banyak kesempatan
untuk membuka telapak tangan dan mengekspos kulit pergelangan tangan sambil berhicara.
Repetisi warna merah yang terdapat pada lipstick (tanda indeks nomor 6), kuteks
(tanda indeks nomor 7), dan kalung (tanda indeks nomor 9) semakin mempertegas seksualitas
perempuan yang terdapat pada gambar. Warna merah pada dasarnya antara lain
melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, agresi, nafsu,
kehangatan, darah, resiko, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas,
kekerasan. Dalam hal ini, jika mengingat kaitannya dengan tanda-tanda yang lain,
representasi yang paling cocok adalah hasrat, erotisme, dan nafsu. Terutama warna merah
yang terdapat pada lipstick. Menurut Allan Pease, pada hakekatnya lipstick dibuat untuk
meniru kondisi alat kelamin perempuan yang memerah, sehingga penggunaan warna merah
menyala pada lipstick dapat dikonotasikan sebagai lambang hasrat, erotisme, dan nafsu. Pada
kalung, melihat bentuknya yang terlalu sederhana untuk menjadi perhiasan tubuh, maka dapat
disimpulkan bahwa kalung dalam poster ini hanya berfungsi sebagai pengulangan warna
merah untuk semakin menegaskan elemen seksualitas dalam gambar tersebut.
Baju perempuan yang terdapat dalam tanda indeks nomor 8 berwarna hitam dan
berpotongan leher rendah, sehingga menimbulkan munculnya tanda indeks nomor 11 yaitu
belahan dada perempuan. Warna hitam antara lain mempunyai makna kekuatan,
ketidakbahagiaan, kesedihan, kejahatan, seksualitas. Dalam kaitannya dengan perempuan,
warna ini sering digunakan sebagai warna baju untuk membuat ilusi agar tubuh terlihat lebih
ramping dan menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu dari perempuan. Baju berpotongan
leher rendah terutama digunakan oleh perempuan untuk menonjolkan salah satu organ
seksualnya, yaitu payudara. Adanya tanda ini semakin menegaskan seksualitasnya dan
mengesankan bahwa perempuan ini bermaksud untuk menggoda lawan bicara imajinernya.
Kebanyakan orang dalam budaya Barat menganggap payudara sebagai aspek kewanitaan
yang penting, dan belahan dada sering dianggap sebagai godaan mengingat dampak erotis
yang ditimbulkannya.
25

Gaya rambut perempuan pada gambar merupakan gaya rambut bob, dan lebih spesifik
lagi dengan tipe pageboy (poni melengkung di atas alis). Secara tradisional, perempuan
seringkali digambarkan dengan rambut panjang yang anggun. Dalam beberapa tradisi, bahkan
rambut seringkali dianggap sebagai simbol kehormatan dan status sosial perempuan.
Misalnya dalam tradisi Yunani dan Romawi kuno, rambut panjang adalah simbol kekayaan
dan aristokrasi. Gaya rambut bob terutama dipopulerkan aktris Colleen Moore dan Louise
Brooks pada tahun 1920-an dan dipandang sebagai sikap independen yang mengejutkan,
mengingat pada masa itu orang-orang yang lebih tua telah terbiasa dengan pemandangan
gadis berambut panjang. Model rambut tersebut secara umum dipandang sebagai sikap
pemberontak, independensi, serta jauh dari tradisi konvensional. Pada tahun 1950-an, Bettie
Page, seorang model erotis dan salah satu Playmates of the Month majalah Playboy,
mempopulerkan poni pageboy, yaitu poni melengkung di atas alis. Untuk menghilangkan
asosiasi pageboy dengan erotisme, editor majalah wanita pada masa itu mempopulerkan
model ini dengan merujuk pada sisi historisnya, yaitu suatu gaya rambut yang pada masa lalu
banyak dipakai oleh pesuruh pria di Inggris (page boy). Adapun gaya rambut perempuan di
poster ini bernada erotisme dan sekaligus memberi citra pemberontak pada karakter
penggunanya.
Cahaya lampu yang temaram yang terdapat pada tanda indeks nomor 12 terutama
ingin memberi gambaran pada pemirsa bahwa film ini bernuansa gelap, serta bukan sebuah
film yang cerah ceria. Temaramnya lampu ingin menunjukkan bahwa film ini juga
mengandung unsur dewasa, mengingat lampu temaram biasanya digunakan saat seseorang
sudah ingin tidur (lewat jam malam).

Makna Tanda-tanda Tipe Simbol
No. Tanda Objek Interpretant
1. Teks judul
Pulp Fiction
Arti tiap kata dalam kamus,
dalam acuan nyata
Mengimitasi pulp magazine
yang berisi cerita fiksi
sensasional.
2. Teks sub judul
A film by Quentin
Tarantino / Produced by
Merujuk pada nama sutradara
dan produser
Menunjukkan kualitas film
karena mencantumkan
nama sutradara dan
26

Lawrence Bender produser yang terkenal
sering membuat film bagus.

Pada tanda simbol nomor 1, terdapat judul film yaitu Pulp Fiction. Dalam film ini
sendiri, kedua arti kata tersebut dimunculkan pada babak pertama, sebelum adegan film yang
sebenarnya dimulai. Adapun pulp diartikan sebagai berikut:
Pulp /plp / n. 1. A soft, moist, shapeless mass of matter. 2. A magazine or book
containing lurid subject matter and being characteristically printed on rough,
unfinished paper. (American Heritage Dictionary, New College Edition)
Judul tersebut mengacu pada majalah fiksi murah yang populer di tahun 1896 hingga 1950-
an, pulp magazine. Dinamakan pulp (bubur kertas), sebab majalah tersebut dicetak
menggunakan kertas yang dibuat dari bubur kertas murah. Dijual seharga sekitar sepuluh sen
pada dekade pertama, pulp magazine paling dikenal dalam menerbitkan cerita bombastis
dengan kaver sensasional. Jenis-jenis cerita yang diterbitkan umumnya seputar thriller,
misteri, horor, action, dan romansa dengan bumbu erotisme disana sini. Merujuk pada hal
tersebut, judul ini ingin memberi kesan pada penonton bahwa film ini juga sama
sensasionalnya, dan memuat materi dewasa.
Akan tetapi, pada tanda simbol 2, sub judul film ini memuat tulisan A film by
Quentin Tarantino / Produced by Lawrence Bender. Baik Quentin Tarantino maupun
Lawrence Bender dikenal sebagai sutradara dan produser yang sama-sama sering
menghasilkan film dengan kualitas bermutu, sehingga merupakan suatu hal yang kontras
terhadap kesan murahan yang diciptakan judul. Nama Tarantino sebelumnya melejit saat
menyutradarai film kriminal peraih berbagai penghargaan (diputar saat Cannes Film Festival
tahun 1992, dinominasikan dalam berbagai kategori award American Film Institute),
Reservoir Dogs (1992), film yang juga diproduseri Lawrence Bender. Pada kenyataannya,
film Pulp Fiction juga menuai kritik positif dan sukses secara finansial (biaya produksi: $ 8.5
juta, box office: $ 213.928.762). Lebih dari itu, film ini juga meraih penghargaan antara lain
mulai dari BAFTA Awards, Palme dOr di Cannes, hingga Academy Awars). Pencantuman
nama Tarantino dan Bender mempunyai maksud menarik pemirsa yang telah mengetahui
hasil karya mereka untuk kembali menonton karya lain ini, sekaligus untuk menunjukkan
kualitas film ini secara tidak langsung.
27

4.3 PEMBAHASAN HASIL ANALISA
Dari hasil analisa tanda pada poster film, ditemukan 7 tanda tipe ikon, 12 tanda tipe indeks,
dan 2 tanda tipe simbol. Hampir kesemua tanda tersebut sinkron mencerminkan citra
kekerasan perempuan dalam hal eksploitasi tubuh perempuan sebagai objek seks.
Eksploitasi tersebut terutama terlihat pada tanda ikon perempuan yang memunculkan
tanda indeks yang saling berkesinambungan. Media promosi umumnya menempatkan
perempuan sebagai pemuas seks laki-laki. Sebagaimana diketahui, seks dalam masyarakat
selalu digambarkan sebagai kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Dalam masyarakat
patriarki, seks merupakan bagian yang dominan dalam hubungan laki-laki dan perempuan,
serta menempatkan perempuan sebagai subordinasi (Bungin, 2006: 353). Hal ini konsisten
dengan citra perempuan sebagai objek seks sebagaimana ditunjukkan dalam poster film ini.
Tanda indeks seperti repetisi warna merah pada berbagai barang yang dikenakan perempuan,
belahan dada perempuan, dan lain sebagainya, semakin menegaskan bahwa perempuan dalam
gambar ini hanyalah objek seks untuk dinikmati dan bukan tokoh utama.
Jika pembuat poster ingin menampilkan tokoh Mia Wallace ini sebagai tokoh utama,
barangkali dia akan melakukan hal yang sebaliknya. Alih-alih berbaring di atas ranjang
dengan belahan dada terlihat dan di sebelah pistol handgun, tokoh ini mungkin akan
diberikan ekspresi yang lebih keras dan senjata yang lebih baik. Namun penekanan terutama
terlihat pada berbagai gestur dan aksesoris yang dikenakan tokoh ini untuk menunjukkan
posisinya sebagai objek seks, sub-ordinat laki-laki imajiner, sehingga salah jika melihat tokoh
ini sebagai tokoh pemberontak yang dominan atas laki-laki atau bahkan femme fatale
(perempuan yang merayu laki-laki untuk menggiringnya ke dalam bahaya). Posisi ini
terutama terlihat dari tanda indeks nomor 3 yang menunjukkan posisi perempuan tersebut
yang berada dalam posisi rendah.
Kesemua tanda-tanda tersebut semakin menegaskan bahwa poster film ini ingin
menciptakan realitas sosial yang mengedepankan citra seksisme dan kekerasan perempuan
lewat eksploitasi tubuh dan gestur perempuan.
Adapun poster ini dikatakan mengeksploitasi sebab tokoh Mia Wallace bukanlah
merupakan tokoh utama dari film, namun memang satu-satunya perempuan yang dapat
dikatakan atraktif secara seksual. Hal ini cocok dengan kecenderungan pulp magazine yang
sering memasang perempuan dalam konotasi seksual dalam kaver majalahnya. Repetisi
28

eksploitasi itulah yang kemudian diterapkan dalam poster film ini, dengan memasangnya
sebagai objek seks semata, untuk menarik perhatian penonton pria agar mau menonton film
ini. Padahal dalam film ini tidak ada satupun adegan erotis yang dilakukan tokoh Mia
Wallace, tidak sekalipun dalam bentuk standar seperti ciuman bibir dengan lawan jenis.
Sepanjang film, tokoh ini bersih dari adegan seksual, hanya saja penempatannya dalam kaver
film merendahkan posisinya sebagai objek seks semata. Seperti moto pulp magazine yang
kerap menjual seks sebagai komoditas utamanya, begitu juga dengan poster ini yang
menawarkan iming-iming seks pada penonton dan menciptakan realitas palsu, mengingat
film ini lebih banyak mengandung unsur kekerasan dan satir ketimbang erotisme belaka.
















29

BAB 5
KESIMPULAN

Menurut hasil analisa tanda pada bab 4, maka dapat disimpulkan bahwa representasi
citra kekerasan perempuan dalam poster film Pulp Fiction ini terdapat dalam sebuah segitiga
makna dalam rangkaian rantai semiosis. Rantai ini menjelaskan bahwa representasi citra
kekerasan perempuan terdapat dalam gambar visual tokoh perempuan dalam poster. Tokoh
ini menunjukkan eksploitasi sebagai bentuk citra kekerasan perempuan dalam dukungan
tanda-tanda lain dan keberadaannya sendiri sebagai figur perempuan. Tanda-tanda yang
melengkapi visual perempuan ini mengarah pada interpretan mengenai representasi
perempuan sebagai objeks seks dalam masyarakat patriarki.
Penggunaan warna merah yang merupakan representasi nafsu, seksualitas, dan hal
lain yang sejenis juga banyak diulang untuk makin menegaskan citra kekerasan perempuan
dalam poster ini. Hal tersebut terutama terlihat digunakan sebagai aksesoris diri perempuan
dalam bentuk lipstick, kuteks, juga kalung.
Eksploitasi tubuh perempuan sebagai objek seks secara tidak langsung diungkapkan
melalui rujukan judul Pulp Fiction kepada pulp magazine, jenis majalah murah yang sering
menjual seks dan erotisme pada awal abad 20-an.
Secara keseluruhan, poster film ini dapat dikategorikan sebagai poster yang menjual
citra kekerasan perempuan terhadap masyarakat yang pada umumnya masih bersifat patriarki.







30

PENUTUP

Demikianlah makalah berjudul Citra Kekerasan Perempuan dalam Poster Film Pulp
Fiction: Sebuah Kajian Semiotika ini telah penulis buat dengan sebaik-baiknya. Besar
harapan penulis agar karya tulis dan penelitian ini bisa menjadi acuan atau sumber informasi,
maupun sumber inspirasi bagi pembaca yang ingin memahami bagaimana citra perempuan
ditampilkan dalam media massa, khususnya dalam poster film.
Apabila ada kata-kata yang tidak mengenakkan atau salah, penulis meminta maaf
yang sebesar-besarnya kepada pembaca.
Penulis juga mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun, agar penulis
dapat mengembangkan karya di lain kesempatan.
Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh berbagai kalangan.












31

DAFTAR REFERENSI

Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa. Yogjakarta: Jendela.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan
Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Danesi, Marcel. 1999. Of Cigarettes, High Heels and Other Interesting Things. USA:
Palgrave Macmillan.
Pease, Alex. 1981. Body Language How to Read Others Thoughts by their Gestures.
London: Sheldon Press.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda.
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi: Solusi Praktis bagi Penelitian
dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
White, Roderick. 2000. Advertising. Singapore: McGraw-Hill.
http://en.wikipedia.org/wiki/Advertising#History
http://www.giga-usa.com/quotes/authors/a_m_cassandre_a001.htm
http://uripsantoso.wordpress.com/2011/10/21/arti-warna-dalam-kehidupan-sehari-hari/
http://en.wikipedia.org/wiki/Charles_Sanders_Peirce
http://en.wikipedia.org/wiki/Pulp_Fiction
http://en.wikipedia.org/wiki/Pulp_magazine
http://en.wikipedia.org/wiki/Bob_haircut
http://en.wikipedia.org/wiki/Pageboy
http://en.wikipedia.org/wiki/Quentin_tarantino
32

http://en.wikipedia.org/wiki/Lawrence_Bender
Gambar
http://www.google.co.id/url?source=imglanding&ct=img&q=http://upload.wikimedia.org/wi
kipedia/en/thumb/f/f1/Phantom_Detective_5-36.jpg/200px-Phantom_Detective_5-
36.jpg&sa=X&ei=PpHjUKeCMInrrAfrs4GICA&ved=0CAwQ8wc&usg=AFQjCNFKH
Dmgob0rjiVegHozugk3UIUJFg
http://www.google.co.id/url?source=imglanding&ct=img&q=http://www.samuelsdesign.com
/comics/big/horror-
stories.jpg&sa=X&ei=ZJHjUNnuJMT9rAfphoHwDw&ved=0CAsQ8wc&usg=AFQjCN
FeeH-R2F9XEkK5cS4nwZ2TuPppMg
http://www.counter-currents.com/wp-content/uploads/2011/06/Pulp-fiction1-211x300.jpg

Anda mungkin juga menyukai