Anda di halaman 1dari 11

Seminar Nasional

Tantangan 5 Tahun Pelaksanaan UU 26/2007 Penataan Ruang:


Rencana Detail, Pengendalian dan Partisipasi Masyarakat








Rencana Detail dan Zonasi
sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang


Danang Priatmodjo
Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara













Universitas Tarumanagara
Jakarta
25 September 2013

1

Rencana Detail dan Zonasi
sebagai Instrumen Pengendalian Tata Ruang

Danang Priatmodjo
Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara


Pengantar
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (yang merupakan revisi atas UU
Nomor 24 Tahun 1992) masih memerlukan upaya sosialisasi, meski telah lebih enam
tahun diundangkan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan UU ini
masih terkendala oleh berbagai hal, baik pada tataran penyusunan rencana tata ruang,
maupun pada tataran pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.
Perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang dihadapkan pada dinamika masyarakat
yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi, sehingga produk-produk rencana tata
ruang sering kadaluwarsa dan pengawasan atas pelanggaran tata ruang menghabiskan
energi para pengelola kota. Betapapun, amanat UU harus dilaksanakan. Untuk itu
diperlukan saling pengertian dan kerja sama di antara pihak-pihak yang terkait dengan
perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang.
Uraian berikut akan membahas permasalahan dalam pengendalian tata ruang kota,
terkait dengan peraturan zonasi yang didasarkan atas rencana detail tata ruang kota
sebagai instrumen pengendalian.

I. Pengendalian Tata Ruang

Tujuan penataan ruang, yaitu terwujudnya: keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; serta pelindungan fungsi
ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang,
dapat dicapai apabila ketentuan-ketentuan dalam UU Penataan Ruang dilaksanakan
dengan konsisten dari hulu ke hilir. Pengendalian tata ruang dapat dikatakan
sebagai pelaksanaan UU di wilayah hilir karena menyangkut satuan ruang terkecil
yang perlu dikendalikan dengan mekanisme pengaturan yang rinci.
Dengan posisi di hilir, pengendalian tata ruang membutuhkan payung peraturan yang
kondusif dan dukungan dari sektor-sektor lain yang terkait. Misalnya, pembatasan
penggunaan ruang untuk parkir mobil atau sepeda motor perlu didukung oleh
penyediaan transportasi publik yang memadai. Contoh lain, pembatasan penggunaan
pagar, gerbang atau portal perlu didukung oleh jaminan keamanan yang memadai.
Bila payung peraturan serta dukungan sektor lain tidak mencukupi, maka dapat
dipastikan pengendalian tata ruang akan tumpul atau dihadapkan pada berbagai
kendala dalam pelaksanaannya.
2

UU Penataan Ruang (Pasal 35) menyebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang
dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi. Untuk kota seperti DKI Jakarta, pengendalian
seperti ini sudah dijalankan selama berpuluh-puluh tahun (kecuali tentang insentif dan
disinsentif yang belum memiliki format cukup jelas). Peraturan zonasi telah diterapkan
di DKI Jakarta dalam bentuk Lembar Rencana Kota (LRK), yang memuat secara rinci
rencana pelebaran jalan dan aturan yang mengikat setiap kaveling, yaitu peruntukan
(fungsi bangunan), GSB (Garis Sempadan Bangunan), KDB (Koefisien Dasar Bangunan),
KLB (Koefisien Lantai Bangunan), bangunan tunggal atau deret, dan ketinggian
maksimal bangunan. Belakangan bahkan ditambah dengan KTB (Koefisien Tapak
Basemen) serta KDH (Koefisien Dasar Hijau). Pendeknya, semua hal yang harus diatur
dalam peraturan zonasi telah termuat dalam LRK.
Terlepas dari telah diaturnya semua batasan pemanfaatan ruang, LRK DKI Jakarta masih
memiliki banyak kelemahan. Rencana jaringan jalan misalnya, banyak yang sekedar
memperlebar jalan yang ada, tanpa memperhatikan kebutuhan sirkulasi kawasan. GSB
masih ditetapkan secara pukul rata. Kawasan deretan pertokoan mestinya tidak perlu
setback, melainkan perlu trotoar yang lebar. Kelemahan paling mencolok terletak pada
penetapan peruntukan, yang tidak mampu mengantisipasi dinamika masyarakat.
Contoh nyata adalah kawasan Kemang dan sekitar Blok M Kebayoran Baru, yang
mengalami perubahan sangat cepat dari fungsi hunian menjadi fungsi niaga/hiburan.
Bila DKI Jakarta yang telah puluhan tahun menerapkan LRK masih punya kelemahan,
apalagi kota-kota di daerah yang belum memiliki format peraturan zonasi, masalah
pengendalian pemanfaatan ruang merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
Mengingat keterbatasan sumber daya manusia yang ada di daerah, uluran bantuan dari
pemerintah pusat sangat diperlukan.

II. Substansi Pemanfaatan Ruang yang Krusial

Berdasarkan pengamatan atas permasalahan tata ruang yang sering terjadi khususnya
yang banyak terjadi di DKI Jakarta substansi yang krusial dan perlu mendapat
perhatian dalam upaya pengendalian tata ruang antara lain adalah:

2.1. Peruntukan: Perubahan Fungsi
Perubahan fungsi dari kawasan hunian menjadi kawasan niaga merupakan gejala
alamiah untuk lokasi-lokasi tertentu serta jalur-jalur tertentu. Kecenderungan
ribbon development mestinya telah kita pelajari sejak kasus Jl. Panglima Polim dan
Jl. Fatmawati, Jl. Warung Buncit Raya, serta Jl. Radio Dalam. Agak mengherankan
bila Bintaro Jaya tidak menyiapkan jalan utama untuk fungsi niaga.
Untuk pertumbuhan yang tidak terduga seperti kawasan Kemang, sekitar Blok M
serta Jl. Senopati, respons Pemprov DKI Jakarta terkesan terlalu lamban. Bila
suasana livable yang tercipta dinilai positif untuk kawasan yang bersangkutan,
mestinya dengan menggunakan mekanisme peninjauan RDTR setiap lima tahun,
dapat dilakukan pengesahan perubahan fungsi tentu disertai dengan upaya
penanggulangan dampak (kemacetan lalu lintas, kebisingan, dsb.).
3

Hal terpenting dalam pengesahan perubahan fungsi adalah penarikan batas yang
jelas, agar tidak terjadi perembesan sampai ke blok-blok di belakangnya, yang
berakibat terganggunya fungsi hunian di kawasan tersebut.
Terkait dengan peruntukan, perlu lebih banyak mengalokasikan kawasan tengah
kota untuk fungsi campuran (mixed use), karena dapat diharapkan mengurangi
pergerakan dan menjamin kehidupan 24 jam. Pengertian mixed use harus ada
fungsi hunian di dalamnya.
Khusus untuk peruntukan hunian, hendaknya dibuat pengaturan percampuran
strata (mixed housing) karena lebih alamiah dan terbukti mampu menghindari
kemungkinan menjadi sasaran kerusuhan dan penjarahan. Pemerintah hendaknya
lebih tegas melaksanakan ketentuan hunian berimbang (1 : 3 : 6) dan bukan malah
memberi toleransi untuk ditawar. Terbentuknya kantong-kantong hunian
eksklusif harus dicegah, karena tidak sehat dalam kehidupan perkotaan.

2.2. Intensitas Bangunan: Peningkatan Angka KLB
Dua perangkat utama dalam pengaturan intensitas bangunan adalah batasan KDB
(untuk mengendalikan kerapatan bangunan) dan KLB (untuk mengendalikan
kepadatan penduduk). KDB perlu dijaga agar ruang kota tidak disesaki oleh
bangunan, dan agar sinar matahari serta udara segar mampu menembus bagian-
bagian bangunan yang memerlukan. Khususnya bagi kawasan yang diharapkan
mampu menyerap sebanyak-banyaknya air hujan, pengaturan KDB hendaknya
diperketat.
Peningkatan angka KLB untuk kawasan tengah kota tidak dapat dihindari. Hal ini
diperlukan guna menahan pertumbuhan ke arah pinggiran (mencegah terjadinya
sprawl). Kota hendaknya dijaga agar kompak, tumbuh vertikal, daripada tumbuh
melebar yang akan memboroskan prasarana kota. Pertumbuhan vertikal akan
mengurangi pergerakan di dalam kota, sehingga beban lalu lintas pun akan
berkurang. Sangat tidak masuk akal untuk kota sebesar Jakarta, dengan jumlah
penduduk mencapai 10 juta jiwa, masih banyak kawasan-kawasan di tengah kota
yang terdiri atas rumah-rumah satu atau dua lantai (kecuali untuk kawasan
Menteng yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya).
Kendati intensitas bangunan di tengah kota diarahkan untuk ditingkatkan, tetap
perlu dicermati angka kepadatan penduduk yang akan dihasilkan dari kenaikan
angka KLB, agar masih berada dalam batas daya dukung (fisik maupun sosial)
kawasan. Peningkatan intensitas bangunan juga tidak dapat dilakukan dengan
pukul rata, karena dengan angka KLB yang sama bisa dihasilkan jumlah
penduduk yang berbeda. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu diajukan
permintaan ijin membangun beberapa blok bangunan rusunami (sebagai bagian
dari program pembangunan Seribu Tower Rusunami). Setelah dihitung, ternyata
kepadatan penduduk yang akan dihasilkan lebih dari 3.000 jiwa/ha. Angka
kepadatan ini terlalu tinggi, dikhawatirkan akan membentuk lingkungan hidup
yang tidak nyaman serta tidak sehat. Dengan memanfaatkan angka KLB yang
sama, bila dibangun rumah susun mewah, kepadatan penduduk barangkali tidak
akan mencapai setengahnya.
4

2.3. Blok Kawasan: Aglomerasi Kaveling
Konsekuensi logis dari peningkatan intensitas bangunan adalah aglomerasi
kaveling (peleburan kaveling-kaveling kecil menjadi kaveling besar), karena pada
kaveling kecil tidak bisa diterapkan angka KLB yang tinggi. Dalam kaitan ini,
peraturan zonasi harus memberikan panduan aglomerasi kaveling yang mampu
memelihara keserasian kehidupan di kawasan.
Contoh populer adalah Hotel Grand Mahakam di Jl. Mahakam - Kebayoran Baru,
yang menggabungkan tiga kaveling hunian tunggal satu lantai untuk membangun
gedung hotel 8 lantai. Keberadaan gedung raksasa ini telah membinasakan privasi
penghuni rumah-rumah di belakangnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh The
Dharmawangsa juga di Kebayoran Baru, meski agak lebih sopan karena
mengambil jumlah kaveling lebih banyak dan gedungnya lebih berjarak terhadap
hunian sekitarnya.
Aglomerasi kaveling mulai terjadi di beberapa lokasi di kawasan Menteng. Bila
pengelola kota lengah, bisa terjadi pengulangan kasus Grand mahakam. RDTR
perlu mengantisipasi dengan menerapkan pengaturan dan persyaratan rinci
tentang kemungkinan penggabungan kaveling.

2.4. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Pengelola kota harus bersungguh-sungguh memenuhi amanat UU dalam hal
penyelenggaraan RTH. Untuk kota-kota yang belum sepadat Jakarta, tentu tidak
terlalu sulit untuk memenuhi kewajiban ini. Bagi kota Jakarta, tidak cukup hanya
menyerah karena tanah sudah langka. Warga kota membutuhkan tempat
rekreasi sekaligus paru-paru lingkungan. Taman-taman lingkungan yang dulu
dipinjam untuk SPBU serta kantor-kantor pemerintah harus dikembalikan
sebagai RTH. Keberhasilan membangun Taman Menteng dan Taman Ayodya perlu
dilanjutkan untuk lokasi-lokasi serupa. Upaya membangun taman di sekitar
Waduk Pluit dan Waduk Ria-Rio patut diapresiasi dan diharapkan berlanjut.
Pemindahan Pekan Raya Jakarta ke Kemayoran sudah benar. Hendaknya tidak ada
upaya untuk mengembalikan pekan raya ke kawasan Monas, agar tidak
mengganggu RTH Medan Merdeka.
Mengandalkan tanah terbuka yang masih tersisa pasti tidak mencukupi angka
kebutuhan RTH. Di lokasi-lokasi sesuai kebutuhan distribusi RTH, Pemprov DKI
Jakarta harus mau membeli bangunan-bangunan dan meratakan dengan tanah
untuk diwujudkan sebagai taman lingkungan. Contohlah Pemkot Madinah yang
membeli menara-menara hotel mewah lalu meratakan dengan tanah untuk
perluasan Pemakaman Baqi.
Jakarta punya catatan panjang sejarah hitam penyerobotan RTH. Menjadi
kewajiban kita bersama untuk menjaga agar di masa mendatang tidak terulang.
Catatan dimaksud adalah: Kawasan hijau / olah raga Senayan yang diserobot
pinggirannya untuk hotel, convention hall, kantor-kantor pemerintah dan swasta,
apartemen, serta pusat-pusat perbelanjaan; Taman lingkungan di Jl. Wijaya -
Kebayoran Baru menjadi lahan privat untuk driving range dan townhouses; Taman
Pluit menjadi Mega Mall (sekarang Pluit Village); Taman Ria Remaja Senayan
dipenuhi bangunan restoran, sarana hiburan komersial, serta pertokoan.
5

2.5. Ruang Publik di Kepemilikan Privat (Private Public Space)
Substansi ini belum menjadi muatan baku dalam pengaturan zonasi di kota-kota
kita, meski dalam skala terbatas telah dipraktekkan. Di Jl. Sudirman Jakarta pernah
ada gedung bank swasta yang menyediakan plaza cukup luas di halaman depan
dan plaza tanpa pagar, tanpa gerbang ini terbuka untuk publik. Ini adalah
contoh nyata private public space. Sangat disayangkan, setelah gedung ini
berganti pemilik, plaza dilebur dan pagar tinggi dibentangkan sepanjang batas
properti. Gedung yang semula ramah telah berubah menjadi pongah.
Peraturan zonasi harus mampu melihat potensi bagian properti privat yang dapat
diminta untuk dijadikan ruang publik secara terbatas (misalnya diatur waktu
penggunaannya). Bila terdapat potensi ini, kepada pemilik properti dapat
diwajibkan untuk menyediakan ruang publik, tentu dengan memberikan insentif
sebagai kompensasi. Sebagai contoh, blok bangunan yang bersosok besar dapat
diwajibkan menyediakan jalan tembus di lantai dasar (passage) sebagai jalan
pintas (dalam arti harfiah) bagi pejalan kaki. Kehadiran private public space dapat
memberi sumbangan yang besar dalam mengisi kekurangan ruang publik yang
mampu disediakan oleh pengelola kota.

2.6. Ruang Bawah Tanah dan Ruang Udara
Pada saat ini, pengaturan pemanfaatan ruang bawah tanah baru mencakup
basemen bangunan gedung yang digunakan untuk parkir, ruang mekanikal-
elektrikal, atau gudang serta underpass di jalan-jalan raya. Bila pembangunan
MRT dapat direalisasikan, akan lahir kebutuhan pengembangan ruang-ruang
bawah tanah yang menghubungkan antara stasiun MRT dengan bangunan-
bangunan atau pelataran di sekitarnya. Jalur-jalur penghubung seyogyanya bukan
berupa lorong-lorong yang kosong, melainkan perlu diberi suasana kehidupan
(livability) berupa kegiatan niaga (toko-toko dan kafe atau restoran).
Mengingat bahwa sebagian jalur bawah tanah ini berada di bawah jalan raya
(milik negara) dan sebagian berada di bawah lahan milik privat, maka diperlukan
peraturan zonasi mampu menata aspek teknis sekaligus aspek legal pemanfaatan
ruang bawah tanah.
Pemanfaatan ruang udara sudah lebih banyak diterapkan, mulai dari jembatan
penghubung Gedung Sarinah dan Jakarta Theater (yang roboh dan tidak dibangun
kembali), jembatan Harco Glodok, jembatan penghubung dua mall di Mangga
Dua, sampai jembatan penghubung Pondok Indah Mall (PIM) 1 dan PIM 2.
Skywalk semacam itu perlu lebih banyak dikembangkan, guna mengurangi
pergerakan manusia di atas tanah. Sama halnya dengan kebutuhan pemanfaatan
ruang bawah tanah, dalam pemanfaatan ruang udara juga diperlukan aturan rinci
menyangkut hal-hal teknis dan legal, menyangkut kewenangan, hak dan
kewajiban pelaku pemanfaatan ruang.
Baik underpass maupun skywalk dapat dimanfaatkan sebagai private public space,
di mana pada rentang waktu tertentu, misalnya jam 06.00 22.00 publik dapat
menggunakan terowongan atau jembatan penghubung antar bangunan yang
merupakan milik privat sebagai sarana penyeberangan.
6

III. Perencanaan Detail Tata Ruang

3.1. Proses Perencanaan
Dalam hal kelemahan LRK DKI Jakarta sebagaimana disebutkan di atas,
penyebabnya tentu ketidaksempurnaan (proses) perencanaan. Di masa lalu, LRK
diolah sepenuhnya oleh Dinas Tata Kota. Masyarakat tak pernah tahu apa yang
terjadi di dapur yang mengolah rencana tata ruang. Belakangan, ketika produk
rencana tata ruang mensyaratkan harus ada partisipasi masyarakat, ada masukan
dari masyarakat melalui forum musrenbang (musyawarah perencanaan
pembangunan) atau FGD (focus group discussion). Namun, dari pengalaman
selama ini, proses musrenbang atau FGD pun sering kurang sempurna dalam hal
keterwakilan dan kualitas masukan yang diperoleh. Akibatnya, banyak kalangan
menilai forum-forum itu hanya sekedar formalitas untuk memperoleh keabsahan
proses perencanaan.
Sebagai contoh, dalam suatu musrenbang di salah satu wilayah di Jakarta,
mayoritas masukan hanyalah usulan perbaikan jalan serta perbaikan lampu
penerangan jalan yang mati di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Masukan
semacam ini tentu tidak memberi sumbangan signifikan bagi rencana detail tata
ruang yang dibutuhkan.
Pada masa kini, penyusunan RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota) banyak
dilakukan oleh konsultan perencana yang memperoleh penugasan dari Pemda
melalui proses pelelangan (tender). Draft rencana yang dihasilkan oleh konsultan
ini yang kemudian dibawa ke DPRD untuk dibahas dan disahkan sebagai produk
peraturan daerah. Kelemahan dari proses ini adalah banyaknya konsultan yang
ahli dalam menyusun usulan teknis sehingga bisa memenangkan tender,
tetapi kurang ahli dalam menyusun rencana yang sesungguhnya. Akibatnya,
banyak produk RDTR yang kurang memadai. Dalam proses perencanaan,
konsultan juga diwajibkan menyelenggarakan FGD dan menyosialisasikan draft
rencana. Namun forum-forum ini pun kebanyakan hanya sekedar formalitas.
Melihat kecenderungan di atas, diperlukan upaya perbaikan proses penyusunan
RDTR, menyangkut:
- Persyaratan dan penentuan pemenang lelang diperbaiki, sehingga terjaring
konsultan yang benar-benar memiliki kapabilitas. Salah satu cara adalah
dengan presentasi oleh tenaga ahli yang akan mengerjakan.
- Tim Teknis di pihak pemberi tugas diperkuat dengan pakar/ahli dari lembaga
penelitian atau perguruan tinggi. Hal ini diperlukan karena tim teknis sering
kelebihan beban.
- Mekanisme FGD diperbaiki, sehingga diperloleh masukan yang berkualitas dan
memberi sumbangan berarti dalam penyusunan rencana.
- Sosialisasi draft rencana (hasil akhir pekerjaan konsultan) dilakukan pada
khalayak yang lebih luas dan kompeten, sehingga masih memiliki peluang
untuk mendapatkan masukan dan koreksi guna melahirkan produk rencana
detail tata ruang yang memadai.
7

3.2. Landasan Perencanaan
Dalam perencanaan detail tata ruang kota, yang kemudian diformulasikan dalam
peraturan zonasi, diperlukan visi tentang ruang kota yang baik, sehat, manusiawi,
aman dan nyaman bagi warga kota dan pengunjungnya. Kondisi sekarang memang
menjadi batasan, namun tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak beranjak lebih
substansial. Demikian juga desakan pengembang yang memiliki visi lebih jauh ke
depan, perlu diakomodasikan namun tetap harus melindungi kepentingan publik
yang lebih luas.
Salah satu rujukan yang dapat dijadikan landasaan perencanaan adalah prinsip-
prinsip new urbanism yang sudah didengungkan oleh para perencana kota sejak
era 1980-an, sebagai koreksi atas kecenderungan kota-kota besar di seluruh dunia
yang semakin tidak manusiawi. Sepuluh prinsip new urbanism adalah: walkability,
connectivity, mixed-use and diversity, mixed housing, quality architecture and
urban design, traditional neighborhood structure, increased density, smart
transportation, sustainability, dan quality of life.
Prinsip mixed-use and diversity, mixed housing serta increase density telah
diuraikan di atas sebagai bagian dari substansi pemanfaatan ruang yang krusial.
Prinsip walkability dan connectivity perlu diadopsi dalam rencana rinci tata ruang
kawasan pusat-pusat pelayanan, di mana sarana-sarana umum saling
dihubungkan pada jarak yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Terkait
dengan keterhubungan, diperlukan peraturan zonasi yang mengarahkan adanya
jalan tembus (berupa passage, underpass, atau skywalk) dengan menyediakan
insentif bagi bangunan yang memenuhinya. Kasus di Jakarta: Plaza Senayan
Senayan City STC Ratu Plaza yang satu sama lain tidak ada hubungan adalah
contoh tidak diterapkannya prinsip walkability dan connectivity. Tidak
memadainya trotoar-trotoar juga terkait dengan pengabaian prinsip ini.
Connectivity juga menjadi masalah di kawasan-kawasan yang dibangun oleh
pengembang besar. Penduduk kampung-kampung yang berbatasan dengan area
pengembangan baru, sering terputus jalur keterhubungannya dengan tempat-
tempat harus sering mereka datangi. Mereka harus menempuh jalan memutar
jauh, mengelilingi kawasan pengembangan baru. RDTR harus mampu melindungi
kepentingan penduduk kampung ini. Pengembang hendaknya tidak diberi ijin
untuk menutup atau memutus jalur sirkulasi penduduk asli yang sudah mereka
gunakan lama sebelumnya.
Quality architecture and urban design diwujudkan dalam peraturan zonasi tentang
tampilan bangunan (sosok, selubung, penggunaan material, warna, langgam, dsb.)
yang memberikan kenyamanan fisik dan estetik, dengan memberikan perhatian
pada ruang permukaan jalan (street level) yang dilengkapi sarana-sarana
kemudahan (amenities) yang mendorong pergerakan dengan pejalan kaki. Kualitas
ini juga berkaitan dengan prinsip sustainability, yaitu perlunya memperhitungkan
aspek keberlanjutan (antara lain dengan mempertimbangkan daya dukung dan
meminimalkan kebutuhan perawatan sarana-sarana publik) serta quality of life
yang menekankan perlunya menciptakan ruang hidup yang sehat dan nyaman
dihuni (kualitas udara, air, tanah, dsb.).
8

Traditional neighborhood structure menyangkut pola hirarki penyediaan fasilitas
umum dengan memperhatikan satuan kelompok masyarakat yang berada dalam
suatu ikatan ketetanggaan. Konsep ini bertujuan untuk membangun interaksi
dan harmoni antar warga yang mendiami suatu bagian wilayah kota. Dengan
menggunakan sarana umum yang sama, diharapkan tercipta kepedulian antar
warga. Kita beruntung memiliki sistem RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun
Warga) yang dapat dijadikan basis pembentukan struktur dimaksud. Melalui
perencanaan tata ruang hendaknya tidak terjadi kondisi di mana antar tetangga
yang bersebelahan rumah tidak saling mengenal sebagaimana banyak kita temui
di kawasan hunian kota-kota besar kita dewasa ini.
Penyediaan sarana transportasi publik yang dapat dikategorikan sebagai smart
transportation (moda transportasi berciri: massal, berkecepatan tinggi, hemat
energi dan ramah lingkungan) bukan merupakan ranah rencana detail tata ruang,
melainkan porsi rencana kota dalam cakupan yang lebih luas. Namun demikian,
pada tataran detail tata ruang perlu dirancang bentuk-bentuk antisipasi yang
mampu mendukung penerapan moda transportasi dimaksud. Antisipasi antara
lain berupa rancangan linkage antara titik transit (halte bus, stasiun MRT, skytrain,
atau monorel) dengan kawasan niaga, hunian, serta sarana-sarana publik di
sekitarnya. Linkage diwujudkan dalam bentuk jalur-jalur pejalan kaki (trotoar,
underpass, skywalk) dengan ukuran yang memadai, nyaman dan aman.
Prinsip-prinsip di atas perlu diadopsi dan dituangkan dalam rencana detail tata
ruang. Dengan demikian, penetapan peruntukan dan arahan perwujudan ruang
secara tiga dimensional dijiwai oleh semangat penciptaan ruang kota yang
berkualitas dan manusiawi.

IV. Perangkat Operasional Pengendalian Tata Ruang

4.1. Mekanisme Perizinan
Bila dokumen RDTRK serta Peraturan Zonasi / LRK telah disahkan sebagai Perda,
maka perangkat operasional selanjutnya adalah mekanisme perizinan. Di sini
dibutuhkan kesiapan aparat yang mampu memeriksa dan memberikan arahan
kepada pelaku pemanfaatan ruang, guna memastikan bahwa rencana
pemanfaatan ruang yang dimintakan izin telah sesuai dengan semua ketentuan
yang termuat dalam RDTRK dan Peraturan Zonasi untuk kawasan/lahan yang
bersangkutan.
Dalam kaitan ini perlu dicermati kecenderungan yang terjadi di hampir semua
kota, yang memandang mekanisme perizinan lebih sebagai sarana memperoleh
retribusi untuk mengisi pundi PAD (Pendapatan Asli Daerah) ketimbang sebagai
perangkat pengendalian pembangunan. Maka jumlah pengajuan izin misalnya
IMB (Izin Mendirikan Bangunan) ditargetkan bisa mencapai jumlah tertentu tiap
tahun. Semua RAPBD Kabupaten/Kota memasukkan target perolehan retribusi
dari IMB sebagai angka pendapatan. Saat ini bahkan banyak Pemkab/Pemkot yang
menyelenggarakan pelayanan perizinan dalam satu atap, demi efisiensi dan
meringkas waktu pemrosesan izin.
9

Kecenderungan seperti ini perlu diwaspadai, agar tidak berdampak pada kebijakan
permisif dalam memberikan iizin. Memungut retribusi adalah satu hal yang
wajar, namun perlu selalu diingat bahwa fungsi utama mekanisme perizinan
adalah pengendalian.

4.2. Insentif dan Disinsentif
Insentif diberikan kepada pelaku pemanfaatan ruang yang memenuhi aturan
anjuran (bukan aturan wajib) yang mampu memberikan nilai tambah bagi
pembentukan ruang kota yang berkualitas. Kesediaan menyumbangkan private
public space adalah contoh pemanfaatan ruang yang layak memperoleh insentif.
Penyediaan prasarana dan sarana tambahan, kemudahan perizinan, keringanan
atau penghapusan pajak, merupakan bentuk-bentuk insentif yang populer.
Transfer of Development Right (TDR) secara teoritis cukup logis, namun
pelaksanaannya sulit, terutama menyangkut distribusi lokasi intensitas yang
dipertukarkan.
Insentif berupa penambahan angka KLB bila akan diterapkan memerlukan
kecermatan perhitungan, agar dalam skala lokal maupun kawasan tidak merusak
rencana kepadatan penduduk.
Disinsentif adalah mekanisme sebaliknya, di mana pemanfaatan ruang yang tidak
memenuhi aturan anjuran dibatasi aksesnya untuk mendapatkan kemudahan atau
pelayanan tambahan. Perlu diciptakan bentuk-bentuk disinsentif yang mampu
mendorong pemanfaatan ruang yang memenuhi aturan anjuran.

4.3. Sanksi
Sanksi dijatuhkan bila pemanfaatan ruang melanggar ketentuan yang termuat
dalam RDTR atau peraturan zonasi. Sanksi yang berat misalnya pencabutan izin
atau pembongkaran bangunan. Sanksi yang ringan adalah penerapan denda.
Terkait dengan hal ini perlu diwaspadai agar pelaku pelanggaran pemanfaatan
ruang tidak memperhitungkan denda sebagai alat pembeli pelanggaran yang
dilakukan. Demikian juga dari pihak pemerintah kota, hendaknya tidak
memandang denda sebagai bentuk penghasilan yang kemudian bisa ditargetkan
pemasukannya.
Sanksi hukuman badan bagi penanggung jawab pelanggaran (melalui proses
pengadilan) perlu diterapkan untuk pelanggaran yang mengakibatkan jatuhnya
korban (luka-luka atau meninggal dunia), serta pelanggaran yang berpotensi
menimbulkan korban jiwa.

Penutup
Dari uraian di atas diharapkan diperoleh gambaran potret kita saat ini dalam kerangka
upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan
Zonasi adalah alat pengendali, yang efektivitas kerjanya tergantung pada keandalan
muatan aturannya serta kecermatan pengoperasiannya.
10

Substansi-substansi pemanfaatan ruang yang krusial merupakan pekerjaan rumah
kita bersama, yang perlu dicarikan bentuk pengaturan terbaik guna melahirkan produk-
produk pengendalian pemanfaatan ruang yang andal, sehingga mampu mewujudkan
tujuan-tujuan penataan ruang. Terkait dengan substansi-substansi krusial ini juga
diharapkan agar kita bercermin terhadap pelanggaran-pelanggaran serta praktek-
praktek keliru dalam pemanfaatan ruang di masa lalu, kemudian bertekad agar di masa
mendatang pelanggaran dan praktek keliru serupa tidak terjadi lagi.
Catatan tentang proses penyusunan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi
mengajak kita bersama agar memperbaiki proses tersebut serta memperkuat landasan
perencanaan yang semua ditujukan untuk mewujudkan ruang kota yang manusiawi dan
memiliki kualitas ruang hidup yang baik. Kita harus meyakini bahwa produk-produk
penataan ruang (RTRW, RDTR, dan Peraturan Zonasi) yang andal akan mampu
mendorong perbaikan kualitas lingkungan kota-kota kita.


Daftar Bacaan

Buchwald, Emilie (ed), 2003, Toward the Livable City, Minneapolis: Milkweed Editions
Calthorpe, Peter, 1993, The Next American Metropolis, New York: Princeton Architectural Press
Lang Robert E. & Dawn Dhavale, 2005, Americas Megapolitan Areas, dalam Land Lines, July
Vol. 17, No. 3, Cambridge: Lincoln Institute of Land Policy
Masnavi, M.R., 1998, Sustainability of the Compact City: Can it be a new Paradigm for Urban
Planning in the New Millennium? dalam Freestone, Robert (ed), The Twentieth Century
Urban Planning Experience, Sydney: FBE-UNSW
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengendalian dan Peraturan Zonasi, Balai Informasi Penataan Ruang, Direktorat Jenderal
Penataan Ruang, Jakarta, 27 Februari 2012
Principles of Urbanism (http://www.newurbanism.org/newurbanism/principles.html)
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Town of Washington Zoning Regulations, version: July 15, 2008
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Zoning Maps City of New York, August 22, 2013, NYC Department of City Planning
Zoning Text of the City of New York, July 24, 2013, NYC Department of City Planning

Anda mungkin juga menyukai