Anda di halaman 1dari 5

Seni dalam Kaitannya dengan Estetika dan Keseharian

oleh Buyung Anggi, 0706269022




For many aesthetic theories, this is to place art on a pedestal. In helpful analogy, it
compares to placing women on pedestals. What looks like elevation is actually not.
Talking about the fine arts is much like talking about a fair sex. In both case,
something is removed from the clamor and dirtiness of the everyday within which it
turns out it has no business. Its virtue is that it is useless.
(Arthur Danto, Philosophical Disenfranchisement of Art, 12-13)
Secara awam, saya melihat estetika itu sebagai sebuah keindahan, kecantikan yang
melekat pada sebuah objek. Sementara itu, seni adalah kacamata bagi saya untuk
melihat estetika tersebut, dalam konteks saya yang mempunyai Punctum
Proximum(jarak terdekat yang dapat dilihat oleh mata telanjang) dan atau Punctum
Remotum(jarak terjauh yang dapat dilihat oleh mata telanjang) yang tidak normal.
Adapun keseharian merupakan sesuatu yang pada akhirnya membentuk estetika dari
sebuah objek tertentu.
Jadi, apa sebenarnya kaitan antara seni dengan estetika dan keseharian? Apakah
benar seperti pandangan awam yang saya ungkapkan sebelumnya? Mari kita telaah
terlebih dahulu melalui beberapa teori berikut.
..that art its finally liberated from its exile by philosophy, its richly suggestive of an
aesthetics of the everyday for it would seem that such liberation would make art in
some way significant or relevant part of the world. (Danto, Philosophical
Disenfranchisement of Art).
Antara tesis menarik yang dikemukakan Danto dalam mengembangkan teorinya, ada
dua hal yang saling bertentangan satu sama lain. Pertama, dia melihat analisisnya
tentang philosophical disenfranchisement of art (filosofis pencabutan hak memilih
dalam seni) sebagai kontribusi untuk kembali me-waralaba-kan seni, yaitu
pembebasan seni dari penindasan oleh filsafat. Kedua, ia menyatakan bahwa
pembebasan ini menandai ujung sejarah seni, bersama sebuah era dari pluralisme,
yang merupakan satu tanda seni yang-tidak-bertujuan. Danto tampaknya
menganggap teori yang kedua ini merupakan turunan dari yang pertama. Pada
kenyataannya, jenis pembebasan yang Danto ungkapkan mungkin merevitalisasi
arah dari seni tersebut. (PD, III-15)
Sementara itu, Allen Carlson (Journal of Aesthetics and Art Criticism, 1979) juga
menghasilkan sebuah kerangka teori untuk memfasilitasi pengetahuan kita tentang
apresiasi-estetika dari alam. Carlson menyatakan bahwa, tidak seperti seni, yang
adalah sebuah ciptaan manusia yang dibuat berdasarkan keadaan tertentu untuk
tujuan tertentu, estetika itu bisa sangat tidak jelas mengenai apa yang harus kita
apresisasi dari alam ini. Jadi, Carlson membedakan tiga model apresiasi yang
dimaksud. Ia menyebutnya the object model, the scenery model, and the
environmental model. The object model berkenaan dengan objek-objek dari alam itu
sendiri(bebatuan, kayu-kayuan, kerang-kerangan, dll) sebagai persamaan dari non-
representasional benda/patung. Akan tetapi, ia menjelaskan lebih lanjut bahwa hal
ini bukan untuk mengapresiasi alam, tapi lebih kepada untuk mengubah objek-objek
alam menjadi sebuah objek seni ataupun, yang lebih baik, untuk memindahkan
objek-objek alam tertentu dari alam sehingga dapat diadakan apresiasi olehnya. The
scenery model sendiri merupakan sebuah lukisan alam atau pun gambar dalam kartu
pos jika kita melihatnya dalam esensi alam. Hal ini mengharuskan kita untuk berada
pada jarak tertentu dengan alam. Sementara the environmental model melibatkan
pengenalan bahwa alam adalah sebuah lingkungan dengan pengaturan di dalamnya
di mana kita berada dan kita biasa ber-pengalaman dengan keseluruhan indera
sebagai latar belakang.
Baruchello is an artist struggling to get off the pedestal. That is, he is not just an
artist-painter and artist writer, these standing at some remove from the farm, but
also an artist-farmer. He aspires to move into this reality while maintaining his role
as an artist. But, what does this mean? What does it mean for Baruchello to run his
farm as an art project? How does his growing of vegetables differ from similar
projects carried out by his neighbors? One cant necessarily tell by looking.
(Michael A. Principe, From Art to the Aesthetics of the Everyday)
Adapun bagi Baruchello, lahan pertaniannya adalah krusial, baik dalam konteks
untuk menghasilkan karya seni, dan juga seperti konteks itu sendiri merupakan jenis
karya seni. Pada awalnya, peran pertama akan lebih mudah untuk dipahami. Ruang
apapun pasti bisa berfungsi sebagai konteks untuk menghasilkan puisi, drama, film,
dan sebagainya, tetapi untuk Baruchello, menyediakan konteks seperti itu justru
sesuatu yang bisa membuat beberapa karya seni menjadi benar-benar sebuah karya
seni. Bagian dari makna lahan Baruchello adalah bahwa itu adalah sumber daya
untuk semua jenis aktivitas kreatif. Untuk mengantisipasi sejenak, kita sudah bisa
mulai melihat bahwa estetika Baruchello tentang keseharian dihubungkan dengan
kemampuan untuk ber-experience di dunia ini sebagai sumber daya, misalnya,
sebagai jenis yang sesuai konteks untuk pikiran kreatif dan aktivitas.

Setelah melihat ketiga teori tersebut, apakah hipotesa awal saya sesuai dengan arti
estetika dalam konteks seni dan keseharian yang diungkapkan oleh para teoris di
atas? Mari kita lihat lagi dalam contoh studi kasus berikut

Seniman Sudjiwotedjo dalam situs jejaring sosialnya pernah berkomentar tentang
estetika. Sebelumnya saya mempersempit arti estetika tersebut menjadi sebuah
kecantikan(seorang wanita) agar sesuai dengan komentar dari sang seniman.
Menurut beliau, cantik itu perempuan yg berdiri di halte, saat sore sisa gerimis,
sambil sedekap, matanya ngernyit dan tersenyum menunggu angkutan
Dalam pengertian estetika(cantik) menurut Sudjiwotedjo tersebut, terdapat
beberapa unsur keseharian di dalamnya(halte, sore, gerimis, angkutan) yang
akhirnya, menurut saya, memngartikan sebuah estetika itu sendiri. Kesederhanaan
merupakan arti dari estetika dalam konteks kalimat tersebut. Sementara itu, seni di
sini adalah cara membangun kalimat tersebut sehingga kita, pembaca, mengerti
tentang keseluruhan arti kalimat yang dimaksud. Seperti, perempuan yang berdiri
sambil sedekap dan mengernyitkan matanya.
Terlihat juga bhwa sang seniman, Sudjiwotedjo dalam hal ini, menggunakan
experience-nya untuk mendefinisikan seni yang relatif subjektif. Hal tersebut sesuai
dengan teori Baruchello yang menganggap keseharian itu mempengaruhi penilaian
seseorang tentang estetika, yaitu melalui experience ruang yang pernah dialaminya.
Sementara itu, semua pemikiran yang kreatif di dalam experience tersebut yang
digunakan untuk menilai estetika adalah seni.
Jadi, saya masih mempertahankan hipotesa awal saya mengenai kaitan antara seni
dengan estetika dan keseharian. Bahwa estetika merupakan sesuatu hal yang
melekat pada sebuah objek, seni adalah sebuah alat untuk melihatnya, sementara
keseharian membentuk konteks estetika teresebut sehingga dapat mempengaruhi
makna dari estetika itu sendiri.






Sumber:
Danto, Arthur. 1986. The Philosophical Disenfranchisement of Art. New York:
Columbia University Press.
Baruchello, Gianfranco and Martin, Henry. 1984. How to Imagine. New York:
Documentext.
Light, Andrew and Smith, Jonathan M. 2005. The Aesthetics of Everyday Life. New
York: Columbia University Press.
www.sujiwotejo.com

Anda mungkin juga menyukai