Anda di halaman 1dari 3

Pengamat : leluhur Bali tak berpikir penyeragaman budaya

Denpasar ( Antara ) pengamat agama, adat, dan pariwisata Dr Ketut Sumadi mengatakan,
leluhur penyeragaman budaya sehingga desa adat (pakraman) memiliki ciri khas buaya masing-
masing.
oleh sebab itu desa adat di masing-masing kecamatan di delapan kabupaten dan satu kota di daerah
ini tidak ada yang sama satu sama lainnya, kata dosen fakultas Dharma Duta Institut Hindu Dharma
Indonesia Negeri Denpasar itu, Jumat.
Ia mengemukakan, dalam kehidupan bermasyarakat, kearifan lokal perilaku yang bermakna sosial
masyarakat Bali lebih mengutamakan kebersamaan yang selama ini dikenal dengan menyama braya
ata hidup rukun penuh persaudaraan.
sikap menyama braya orang Bali merupakan pengalaman ajaran Hindu Tat Twam Asi yang
berarti hidup rukun dan saling menghormati hak asasi seseorang yang kini sejalan dengan upaya
penegakan hak asasi manusia di dunia, katanya.
Ketut Sumadi bahwa sikap menyama braya sejalan dengan pengalaman lebih luas mempunyai
makna maha tinggi dalam menjalin keharmonisan hidup dengan sesama dan alam semesta.
Upaya itu juga termasuk dalam menjadiin persatuan dan kesatuan bangsa indonesia dalam keutuhan
NKRI, karena pengertian Tat Twam Asi bisa di kembangkan menjadi saya adalah kamu dan
orang lain adalah juga saudara kita.
Oleh sebab itu kehidupan sosial masyarakat Bali selalu menekankan nilai-nilai kebersamaan,
pemahaman makna kultural yang dilandasi konsep toleransi, penghargaan, senasub seperjuangan, dan
cinta kasih (paras paros sarpanaya).
Dalam kehidupan desa adat orang Bali selalu bekerja sama menerapkan pola humanisme dalam
membangun kehidupan harmonis dan bahagia, dengan selalu bekerja sama dalam suka maupun duka,
sehingga sistem kekrabatan sangat kental diwarnai dengan rasa setia kawan dan pelayanan yang tulus.
Kesetiakawanan dan hubungan sosial yang harmonis itu dipopulerkan dengan konsep Tri Hita
Karana karena tidak hanya mementingakn diri sendiri, namun juga memelihara hubungan harmonis
dengan sesama manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian pada akhirnya bentuk pengamalan ajaran agama Hindu di Bali tidak bisa lepas dari
kebudayaan dan adat-istiadan yang kini menjadi daya tarik isatawan dalam dan luar negeri, ujar
Ketut Sumadi.





KEMEROSOTAN MORAL DI KALANGAN PARA REMAJA

Saat ini, telah terjadi kemerosotan moral di kalangan para remaja, termasuk anak-anak
sekolah. Karena itu, dibutuhkan peran aktif institusi sekolah untuk membangun moral yang
lebih baik. Apabila kita amati, ada beberapa penyebab moral siswa kurang mendapatkan
perhatian sebagian institusi sekolah. Di antaranya, sebagian kalangan beranggapan bahwa
moralitas tidak bisa dipakai untuk mencari uang/pekerjaan. Yang bisa dipakai sebagai syarat
untuk mencari pekerjaan/uang adalah gelar pendidikan, kemampuan berbahasa, kecakapan
berkomputer, dan sebagainya sehingga muncul pemahaman bahwa mendidik moral tidak
terlalu diperlukan. Itulah orientasi yang salah di kalangan masyarakat kita. Pendidikan moral
di dalam sekolah dianggap kurang penting karena moralitas tidak menjadi penilaian kelulusan
siswa. Ada pendapat bahwa pembangunan moral adalah tanggung jawab guru-guru informal
atau guru-guru spiritual, seperti ulama, kiai, pendeta, biksu, dan yang lainnya. Urusan moral
bukan tanggung jawab guru-guru formal di sekolah.
Ada pula anggapan bahwa urusan moral adalah urusan privasi seseorang dengan
agama dan Tuhan sehingga masyarakat pada umumnya dan guru sekolah pada khususnya
tidak berhak terlalu mencampuri urusan privasi tersebut. Sebenarnya, anggapan-anggapan
seperti itu kuranglah tepat karena pembangunan moral generasi penerus bangsa ini menjadi
tanggung jawab bersama. Baik pemerintah maupun masyarakat, baik sekolah maupun orang
tua dan lingkungan di sekitarnya. Namun, sekolah seharusnya memosisikan diri sebagai
ujung tombak karena mendapatkan amanat dari konstitusi negara mengenai sistem
pendidikan nasional.
Misalnya, ada seorang siswa yang nilai akademiknya bagus tapi dia sering membuat
onar, mabuk-mabukan, bahkan mengutil/mencuri barang milik temannya, sepatutnya dia
tidak naik kelas atau tidak diluluskan. Demikian juga siswa yang nilai akademiknya jelek.
Meski siswa itu berperangai baik, sepatutnya tetap tidak diluluskan kalau memang tidak
memenuhi standar nilai kelulusan. Itu semata-mata bertujuan untuk menjaga kualitas
pendidikan.
Jadi, pembangunan moral siswa adalah tanggung jawab lintas mata pelajaran. Seandainya ada
mata pelajaran khusus tentang moral, itu bukan tanggung jawab satu atau dua guru, tapi
semuanya bertanggung jawab.

Solusi Memperbaiki Moral Siswa
a. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan sekolah. Langkah pertama adalah
reorientasi. Yakni, mengubah orientasi yang salah tentang pembangunan moral di sekolah.
Anggapan-anggapan yang salah sebagaimana disebut di atas harus dibuang jauh. Setelah itu,
menanamkan pemahaman bahwa mendidik moral siswa oleh sekolah sangat perlu dan
penting (tidak berorientasi pada materi saja) dan menjadi tanggung jawab guru sekolah
(bukan hanya tanggung jawab guru spiritual) serta tidak melanggar hak privasi siswa.
b. Langkah selanjutnya, hendaknya persoalan moralitas siswa menjadi satu penilaian
khusus dalam kegiatan belajar mengajar. Bahkan, kalau perlu, masalah moral dijadikan salah
satu faktor pertimbangan kenaikan kelas dan kelulusan siswa. Hal itu sangat diperlukan untuk
memacu siswa agar selalu memperbaiki akhlaknya.
c. Melakukan komunikasi dan kerja sama antara guru dan wali murid untuk
bersama-sama membangun budaya moral yang baik ketika ada di sekolah maupun di
lingkungan tempat tinggal. Pembangunan moral harus dilakukan secara berkesinambungan
kapan pun dan di mana pun. Hasil yang diraih tidak akan maksimal bila pendidikan moral
hanya dilakukan di sekolah tanpa diteruskan di lingkungan rumah atau hanya dilakukan di
rumah saja tanpa dilanjutkan di sekolah.
d. Menyampaikan kepada siswa tentang manfaat-manfaat yang akan kita nikmati
bila melakukan hal-hal positif di tengah masyarakat, dengan bukti-bukti yang mudah diterima
pikiran mereka.
e. Menyugesti jiwa anak didiknya bahwa kamu mampu berubah, kamu bisa
meninggalkan perbuatan-perbuatan itu, dan kamu pasti bisa lebih baik, pasti bisa asal siswa
mau. Pada akhirnya, harus diupayakan sekuat tenaga agar sedapatnya bisa memancing siswa
menumbuhkan kesadaran sendiri untuk memperbaiki moral

Anda mungkin juga menyukai