Shivering pasca anestesi muncul hingga mencapai 65% kasus dan dihubungkan dengan usia, jenis kelamin, durasi anestesi dan teknik anestesi. Konsekuensi dari shivering termasuk peningkatan ventilasi dan cardiac output untuk mendapatkan kebutuhan oksigen dan produksi karbondioksida. Keadaan ini dapat memberi efek yang mengganggu pada pasien dengan penyakit kardiorespirasi. Shivering juga dipengaruhi dengan keadaan hemodinamik dan saturasi oksigen pasca operasi. 1,2 Insiden shivering pasca anestesi meningkat pada keadaan pasien hipotermi, tapi tidak semua pasien yang menggigil dalam keadaan hipotermia. Anestesi yang berkpanjangan dihubungkan dengan shivering. Premedikasi dengan agen antikolinergik juga dihubungkan dengan peningkatan insiden shivering. Metode untuk mencegah penurunan temperatur inti, seperti menaikkan temperatur lingkungan, pemberian cairan hangat intravena dan penggunaan forced warm air blankets dalam periode operasi dan pasca operasi seharusnya 2
digunakan pada pasien yang berisiko. Penggunaan propofol sebagai agen induksi, atau clonidine, suatu agonis alpha2-adrenergik, diberi pada saat infuksi dapat menurunkan insiden shivering selama periode pasca anestesi. 1,2 Penatalaksanaan termasuk pemberian oksigen untuk mencegah hipoksia, penghangatan aktif dan penggunaan obat spesifik. Pethidine pada dosis minimum 0,35 mg/kg merupakan opioid paling efektif pada penatalaksanaan shivering pasca anestesi, dengan tingkat keberhasilan 95%. Fentanyl dan alfentanyl juga mempunyai beberapa efek walaupun mempunyai durasi yang lebih pendek daripada pethidine. Doxapram, suatu agen yang biasanya digunakan sebagai stimulasi nafas juga efektif pada dosis 0,2 mg/kg. 1,2 Beberapa obat yang sudah divalidasi pada uji klinik dalam terapi dan profilaksis post anesthesia shivering (PAS): 3,4,5
Insiden shivering pasca operasi dilaporkan sebesar 40%, namun dapat muncul lebh sedikit pada pasien yang menjaga suhu normal tubuh dan pemberian opioid. Ini merupakan komplikasi serius yang meningkatkan kebutuhan oksigen secara kasar sebesar 100% pada kehilangan panas pada operasi. Peningkatan tekanan introkular dan intrakranial, shivering pasca operasi memperburuk nyeri luka akibat insisi. Risiko shivering tertinggi adalah usia muda dan temperatur inti yang rendah. Etiologi shivering pasca anesthesia tidak jelas.kebanyakan tremor pasca anestesi merupakan menggigil yang normal.walaipun presisi etiologi dari tremor belum diketahui, ini mungkin hasil dari disinhibisi kontrol spinal refleks. Shivering pasca anestesi dapat terapi melalui penghangantan permukaan kulit, karena sistem sistem regulasi lebih mentoleransi hipotermi pada inti tubuh. Namun demikian, permukaan kullit hanya berkontribusi 20% untuk mengontrol shivering, dan penghangatan kulit hanya akan terjadi sedikit peningkatan beberap derajat suhu tubuh. Penghangatan kulit 3
hanya dapat mengkompensasi untuk hipotermi inti tubuh yang kecil dan tidak cocok untuk pasien kebanyakan suhu inti tubuh di bawah 35 0 C. Shivering pasca anestesi dapat juga diobati dengan beberapa variasi obat, termasuk clonidine (75 mcg IV), ketanserine (10 mg IV), tramadol, physostigmin (0,o4 mg/kg) IV), nefopam (0,15 mg/kg), dexmedetomine, dan magnesium sulfat (30 mg/kg IV). Mekanisme spesifik ketanserine, tramadol, physostigmin, dan magnesium sulfat menhentikan shivering masih belum diketahui. Demikian juga clonidine masih belum jelas, tapi clonidine dan dexmetomidine kemungkinan mereduksi vasokonstriksi dan ambang shivering melalui sistem termoregulasi pusat daripada mencegah shivering secara perifer. Alfentanyl, agonis-u reseptor murni, secara signifikan memperbaiki kontrol termoregulator. Namun demikian, meperidine dikatan\kan lebih efektif dalam penatalaksanan shivering daripada pada analgetik agonis-u. Secara klinis, kefektifan ini bermanifestasi sebagai penurunan ambang shivering dua kali lebih banyak daripada ambang vasokonsrriksi.
Normal termoregulasi Afferent Input Informasi temperatur dari sensitivitas sel seluruh tubuh. Sel yang sensitif terhadap dingin dipisahkan dari sel yang sensitif terhadap deteksi panas. Reseptor panas akan meningkat kerjanya pada saat peningkatan temperatur, sebaliknya reseptor tmperatur dingin ketika penurunan suhu. Hipotalamus, bagian lain pada otak, spinal cord, jaringan abdomen dan toraks bagian dalam, dan permukaan kulit masing-masing memberikan konstribusi 20% dari total input thermal terhadap sistem pengaturan pusat. 4
Kontrol Pusat Temperatur di regulasi oleh struktur pusat (hipotalamus) yang membandingkan integrasi suhu input dari permukaan kulit, neuraxs dan jaringan dalam dengan ambang temperatur untuk msing-masing respon termoregulasi. Walaupun terintegrasi dengan hipotalamus, kebanyakan informasi suhu di proses sebelumnya di spinal cord dan bagian lain sistem saraf pusat.
Refences 1. Crossley AW. Postoperative shivering. Br J Hosp Med 1993; 49: 2048 2. Smith T, Pinnock C, Lin T. Fundamentals of Anesthesia. 3 rd . Post Operative Management. Cmbridge: Cambridge University Press. 2009; 67 3. Schwarzkopf KR, Hoff H, Hartmann M, Fritz HG. A comparison between meperidine, clonidine and urapidil in the treatment of postanaesthetic shivering. Anesthesia and Analgesia 2001; 92 :257-60 4. Bhatnagar S, Saxena A, Kannan TR, Punj J, Panigrahi M, Mishra S. Tramadol for postoperative shivering: a double-blind comparison with pethidine. Anaesthesia and Intensive Care 2001; 29 :149-54 5. Powell RM, Buggy DJ. Ondansetron given before induction of anesthesia reduces shivering after general anesthesia. Anesthesia and Analgesia 2000; 90 :1423-7