Anda di halaman 1dari 2

Ruetzler K, Kurz A. Consequences of perioperative hypothermia.

Dalam: Handbook of
Clinical Neurology [Internet]. Elsevier; 2018 [dikutip 7 April 2023]. hlm. 687–97. Tersedia
pada: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/B9780444640741000410

Efek redistribusi panas dalam 60-90 menit anestesi meneybabkan penurunan suhu inti tubuh.
Insiden hipotermia periooperati terjadi sekitar 20-70% pasien yang menjalani pembedahan.

Selama 1 jam pertama anestesi, temperature inti akan menurun sebanyak 1 Celcius, menghasilkan
suhu inti tubuh sekitar 35.8 C. Penurunan suhu inti secara cepat setelah dilakukan induksi disebabkan
oleh penyeimbangan suhu antara kompertemen suhu perifer “dingin” dengan kompartemen suhu
inti “hangat”. Hal ini menyebabkan perpindaham suhu dari kompartemen inti yang hangat ke
kompartemen perfier yang dingin, dipercepat dengan vasodilatasi yang terjadi karena anestesi.
Sehingga, jumlah panas tidak menurun selama periode ini, karena secara umum, panas hanya
didistribusikan ke tempat yang berbeda. Saat pasien kembali dihangatkan, temperature inti akan
meningkat, dan pasien menjadi normotermia di akhir operasi. Secara umum, hipotermia
perioperative umum terjadi pada jam pertama setelah induksi sehingga penting untuk melakukan
sesuatu pada periode ini.

Hal yang perlu diingat bahwa fungsi sel dan aktivitas enzim sangat bergantung pada suhu. Maka
hipotermia perioperatif akan menyebabkan gangguan farmakodinamik, infeksi luka operasi,
hilangnya darah dan koagulopati, kebutuhan transfuse, tidak nyaman, pemulihan yang lama, dan
lama waktu rawat memanjang.

Gangguan farmakodinamik terjadi karena hipotermia ringan akan memanjangkan durasi kerja
berbagai obat karena akan mempengaruhi metabolisme, delayed emergence dan pemanjangan lama
rawat di postanesthesia care unit. Penurunan suhu sebanya 3 celcius pada suhu inti akan
meningkatkan konsentrasi plasma propofol sebanyak #% karena melambatnya aliran darah hepar.
Selain itu konsentrasi fentanyl juga akan meningkat sebanya 5% pada setiap penurunan suhu inti
sebanyak 1 celcius.

Agen pelumpuh otot non-depolarisasi akan mengalami pemanjangan durasi kerjai karena hipotermia
perioperatif karena adanya perubahan pada volume distribusi, difusi lokal afinitas reseptor,
perubahan pH pada neuromuscular junction, dan efek pendinginan yang terjadi pada berbagai
transmisi neuromuscular. Perioperatif hipotermia akan memanjangkan durasi kerja atrakurium
sekitar 60% pada pasien dengan penurunan suhu inti tubuh 3 celcius. Durasi kerja rokurorium juga
dilaporkan memanjnag pada pasien yang menjalani operasi cardiac bypass.

Pada pasien yang diberikan gas anestesi, dapat mengalami penurunan MAC sehingga menurunkan
kebutuhan jumlah agen untuk stimulasi pembedahan.

Perioperatif hipotermia mempengaruhi sistem pertahanan tubuh dalam melawan agen kontaminasi
dengan tiga mekanisme. Pertama, hipotermia perioperatif akan memicu basokonstriksi dengan
tujuan menjaga panas metabolisme tetap berada di inti tubuh dan mempercepat penghangatan.
Vasokonstriksi juga menurunkan perfusi jaringan luka. Konsekuensinya adalah terjadi penurunan
parsial oksigen jaringan (meskipun darah tersaturasi dengan baik), padahal neutrophil bekerja
dengan bergantung pada oksigen dalam melawan kontaminasi bakteri. Kedua, hipotermia
perioperatif akan menurunkan aktivasi imun sistemik, termasuk produksi antibody yang diperantarai
sel T, dan penurunan motilitas sel kunci termasuk makrofag. Ketiga, hipoksia jaringan yang memicu
vasokonstriksi akan menghambat penyembuhan luka dan metabolisme protein, yang mana penting
dalam mencegah dehisensi luka dan rekontaminasi. Sebagai konsekuensi lanjutan dari hal tersebut,
lama rawat pasien akan memanjang.

Hipotermia akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi luka operasi sebanyak tiga kali lipat. Selain itu
juga akan menghambat proses penyebuhan luka, pengangkatan benang dan deposisi kolagen akan
Ruetzler K, Kurz A. Consequences of perioperative hypothermia. Dalam: Handbook of
Clinical Neurology [Internet]. Elsevier; 2018 [dikutip 7 April 2023]. hlm. 687–97. Tersedia
pada: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/B9780444640741000410

berkurang. Pada pasien dengan hipotermia akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mentoleransi makanan padat karena adanya penyembuhan luka yang terganggu pada pasien yang
menjalani reseksi anastomosis kolorektal elektif.

Hipotermia akan menganggua proses agregasi platelet melalui penurunan pelepasan tromboksan A 3 ,
yang penting dalam pembentukan platelet plug awal. Hipotermia perioperatif dilaporkan akan
menginduksi perubahan morfologi platelet, dan meningkatkan perlekatan platelet ke fibrinogen
melalui aktivasi reseptor GbIIB-IIa.

Selain itu, hipotermia akan mengganggu fungsi enzim pada kaskade koagulasi dan menurunkan
pembetukan clot. Harus diingat bahwa pemeriksaan laboratorium untuk prothrombin time dan
partial thromboplastin time biasanya dilakukan dengan suhu 37 celcius, bukan pada suhu tubuh
pasien yang aktual. Sehingga, tes pada sampel yang sama dengan suhu tubuh pasien, bisa saja
mengalami pemanjangan. Namun pemanjangan ini masih harus diteliti lebih lanjut apakah akan
relevan secara klinis.

Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa fibrinolysis tidak terpengaruh oleh hipotermia
perioperatif ringan. Sehingga dapat diasumsikan bahwa koagulopati yang disebabkan oleh
hipotermia bukan karena pemecahan clot yang berlebihan. Data dari thromboelstogram menunjukan
bahwa hipotermia akan mengganggu pembentukan clot daripada memfasilitasi peningkata degradasi
clot.

Kebutuhan peningkatan transfuse semakin meningkat seiring dengan peningkatan kehilangan darah.
Dari beberapa penelitian dengan model resgresi logistic multivariat didapatkan bahwa penurunan
suhu inti kurang dari 37 celcius, menyebabkan peningkatan risiko mendapatkan transfuse darah.

Mengigil merupakan respon termoregulator otonom yang didefinisikan dengan aktivitas otot
involuenter dengan tujuan memproduksi panas untuk mengembalikan normotermia. Menggigil
intraoperatif sangat jarang, karena pasien dengan anestesi umum mendapatkan agen pelumpuh otot
dan ambang menggigil menurun karena agen anestesi dan hanya pasien yang mengalami hipotermia
berat dapat menyentuh ambang ini. Mengigil akan meningkatkan konsumsi oksigen sebanyak 40%.
Peningkatan konsumsi oksigen ini berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas perioperatif.
Mengigil dapat diatasi dengan berbagai macam medikasi yaitu petidin, klonidin, dexmedetomidine,
dan ketamin.

Pasien seringkali mengeluhkan rasa tidak nyaman saat post operasi karena sensasi dingin. Kadang
rasa nyeri ini lebih menyakitkan dari pada nyeri luka operasi. Rasa tidak nyaman ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, laju jantung, dan konsentrasi katekolamin plasma.

Sampai saat ini, komplikasi mayor hipotermia terhadap myocardium masih kurang jelas dan masih
harus dilakukan penelitian lebih lanjut.

Dari berbagai penelitian, pasien hipotermia membutuhkan waktu 40 menit lebih lama daripada
pasien normothermia dalam mencapai skor kriteria pemindahan dari PACU. Suhu inti tubuh pasien
hipotermia membutuhkan waktu sekitar 134 ± 60 menit untuk mencapai 36 celcius. Sehingga pasien
hipotermia membutuhkan waktu 90 menit lebih lama agar tercapai suhu 36 celcius saat perawatan di
PACU.

Anda mungkin juga menyukai