Anda di halaman 1dari 16

UJI TOKSISITAS PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI

PENYAMAKAN KULIT








Disusun oleh:
Dyah Catur Ratnasari
NIM. 1109045014




PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan sektor industri pengolahan nonminyak dan gas bumi pada tahun 2012 mengalami
peningkatan sebesar 6,4 persen dan menyumbang 23,84 persen produk domestik bruto (PDB).
Dalam hal ini sektor industri penyamakan kulit dan alas kaki menyumbang 2,1 persennya.

Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, industri alas kaki dan penyamakan kulit di
Indonesia mampu memberikan lapangan kerja bagi 700.000 orang. Namun, selain mendatangkan
manfaat bagi kemakmuran masyarakat, berkembangnya industri penyamakan kulit telah
menimbulkan dampak negatif seperti meningkatnya limbah industri yang berbentuk padat, cair
maupun gas. Berdasarkan PP No.19 Tahun 1994 limbah hasil dari penyamakan kulit tersebut
termasuk jenis limbah bahan berbahaya dan beracun.

Pada dasarnya industri penyamakan kulit bertujuan untuk mengubah kulit hewan menjadi
lembaran-lembaran kulit jadi yang siap dipergunakan untuk bahan baku produk kulit seperti
jaket, sepatu, tas, kerajinan, dan lain-lain. Prosesnya sendiri terbagi dalam 3 tahapan yaitu tahap
persiapan (beamhouse process), tahap penyamakan (tanning), dan tahap penyelesaian (finishing)
termasuk pewarnaan dan pembuatan struktur permukaan. Dari masing-masing proses
menghasilkan limbah yang jenis dan kandungannya berbeda tergantung dari zat-zat kimia yang
digunakan pada tiap prosesnya.

Permasalahan limbah industri kulit sampai saat ini belum menemukan jalan keluarnya. Beberapa
industri besar memiliki sistem IPAL untuk menangani limbahnya, namun masih banyak pula
industri dengan skala rumah tangga membuang langsung limbahnya ke sungai. Limbah ini jika
bersentuhan langsung dengan kulit manusia dapat menimbulkan rasa gatal, panas, kulit kering
dan keras.

Mengingat besarnya pengaruh dan akibat yang ditimbulkan oleh limbah industri
penyamakan kulit ini, maka dilakukan suatu penelitian untuk menguji toksisitas limbah
cair penyamakan kulit terhadap organisme, khususnya organisme air dengan uji pendahuluan
metode LC50 (median lethal concentration) dan uji lanjutan dengan uji reproduksi pada D. carinata.

1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui macam-macam uji toksikologi.
b. Untuk mengetahui hasil uji toksikologi pada limbah hasil industri penyamakan kulit.
c. Untuk mengetahui apakah limbah hasil industri penyamakan kulit termasuk limbah B3 atau
non-B3.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Metode yang digunakan pada industri penyamakan kulit ada dua macam yaitu penyamakan
menggunakan bahan alami berupa serat Mimosa sp (vegetable tanning) dan penyamakan
menggunakan bahan kimia berupa Kromium (Chrome tanning). Metode yang umum dipakai saat
ini adalah metode Chrome tanning karena prosesnya lebih mudah jika dibandingkan metode
vegetable tanning. Secara garis besar, proses penyamakan kulit dapat dilihat pada diagram berikut:




Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Penyamakan
Kulit

Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair Proses Penyamakan Kulit

No Proses Bahan Karakteristik Limbah Cair
1 Perendaman Air, Sodium Hipoklorida Mengandung sodium

Hipoklorida
2 Pengapuran Air, Air kapur , Kalsium

Hidroksida)
Bersifat basa
3 Pembuangan
bulu
Air, Sodium Sulfida Bersifat alkalin, limbah

Hidrogen Sulfida
4 Penghilangan
kapur
Enzim, Garam Amonium Bersifat basa, limbah gas
ammonia
5 Pencucian Air Bersifat basa
6 Pengasaman Air, Asam Sulfur, Sodium

Klorida
Bersifat asam
7 Proses Krom Krom dioksida, Sodium

Klorida, Sodium Bikarbonat
Bersifat asam

Krom Trivalen
8 Pemutihan Air, Natrium Karbonat,

Asam Sulfat
Bersifat asam
9 Pencucian Air Bersifat asam

Krom
10 Fat Liquoring Minyak Mengandung minyak
11 Pemucatan Bahan pemucat Mengandung zat pemucat
Sumber: Anonim, 2006

2.2 Pengaruh limbah cair terhadap perairan

Kegiatan industri yang menghasilkan bahan pencemar berupa zat organik akan menyebabkan
perubahan kualitas perairan dan menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan. Sementara itu,
limbah yang mengandung bahan-bahan beracun yang tergolong logam berat dapat langsung
mematikan kehidupan organisme air.

Limbah cair industri penyamakan kulit mengandung amonium, sulfida, sulfat, klorida, minyak
dan lemak, kromium dan logam lain (aluminium, zirconium, dan kadmium) serta zat terlarut
lainnya (Bosnic et al., 2000).

Nitrogen dalam limbah dihasilkan dari proses pengasaman serta dari protein yang terkandung
dalam kulit. Kandungan nitrogen yang tinggi dapat menyebabkan algal bloom sehingga
menghambat pertumbuhan tanaman air lainnya. Sulfida diperoleh akibat penggunaan sodium
sulfida dan sodium hidrosulfida. Adanya sulfida ditandai dengan terciumnya bau busuk dari
limbah (Bosnic et al., 2000).

Minyak dan lemak diperoleh dari struktur alami kulit. Jika masuk kedalam perairan akan
menimbulkan lapisan tipis di permukaan sehingga mengurangi intensitas cahaya matahari yang
masuk, hal ini akan menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis tanaman air (Bosnic et al.,
2000) dan juga menghalangi difusi oksigen dari udara.

Klorida dalam limbah diperoleh dari penggunaan sodium klorida. Zat ini bersifat stabil dan terlarut
sehingga tidak mudah hilang baik melalui suatu perlakuan maupun secara alami. Pada permukaan
air, klorida dapat menghambat pertumbuhan tanaman, bakteri, dan ikan, serta dalam konsentrasi
yang tinggi dapat merusak struktur sel. Badan air dengan kadar klorida yang tinggi tidak dapat
digunakan sebagai air minum, selain itu juga tidak baik untuk irigasi (Bosnic et al., 2000).

2.3 Uji Toksikologi

Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat toksisitas dari suatu zat
atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk pemantauan rutin suatu limbah. Suatu senyawa
kimia dikatakan bersifat racun akut jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam
jangka waktu singkat. Suatu senyawa kimia disebut bersifat racun kronis jika senyawa tersebut
dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu panjang (karena kontak yang berulang-ulang
walaupun dalam jumlah yang sedikit).

Ada tiga cara utama bagi senyawa kimia untuk dapat memasuki tubuh, yaitu melalui paru-paru
(pernafasan), mulut, dan kulit. Melalui ketiga rute tersebut, senyawa yang bersifat racun dapat
masuk ke aliran darah, dan kemudian terbawa ke jaringan tubuh lainnya. Yang menjadi perhatian
utama dalam toksisitas adalah kuantitas/dosis senyawa tersebut. Sebagian besar senyawa yang
berada dalam bentuk murninya memiliki sifat racun (toksik). Sebagai contohnya adalah senyawa
oksigen yang berada pada tekanan parsial 2 atm adalah bersifat toksik. Konsentrasi oksigen yang
terlalu tinggi dapat merusak sel.

2.3.1 Lethal Concentration 50
LC50 (Median Lethal Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak
50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada suatu waktu
pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji, atau
dapat pula diartikan dengan konsentrasi bahan yang menyebabkan kematian 50% organisme yang
terpapar. Parameter ini sering digunakan jika suatu organisme dipaparkan terhadap konsentrasi
bahan tertentu dalam air atau udara yang dosisnya tidak diketahui. Dalam hal ini waktu pemaparan
dan konsentrasi harus dinyatakan dengan jelas.

Untuk mengetahui nilai LC-50 digunakan uji statik. Ada dua tahapan dalam penelitian, yaitu:
1. Uji Pendahuluan
Untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan
kematian terbesar mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati 50%.
2. Uji Lanjutan
Setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan konsentrasi akut berdasarkan seri
logaritma konsentrasi yang dimodifikasi kriteria toksisitas suatu perairan adalah sebagai
berikut:

Tabel 2.3.1 Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48 jam pada lingkungan perairan
Tingkat Racun Nilai (LC50) (ppm)
Racun Tinggi < 1
Racun Sedang >1 dan <100
Racun Rendah >100
Sumber: Wagner dkk (1993)

Kromium merupakan bahan yang penting dalam proses penyamakan kulit. Kromium digunakan
sebagai tanning agents dan juga untuk pencelupan, namun sebagian besar keluar kembali
dan terkandung dalam limbah. Dengan konsentrasi yang rendah, kromium dapat menyebabkan
kematian pada Daphnia serta menghambat proses fotosintesis pada tanaman, sehingga dapat
menyebabkan terputusnya rantai makanan dalam ekosistem perairan (Bosnic et al., 2000).

Logam lainnya yang terkandung dalam limbah penyamakan kulit antara lain alumunium dan
kadmium. Alumunium dapat menghambat pertumbuhan alga dan Crustacea meskipun dalam
konsentrasi yang rendah. Sedangkan kadmium apabila terakumulasi dalam tubuh organisme
dapat menimbulkan efek kronik, dan jika perairan yang mengandung kadmium tersebut
digunakan sebagai sumber air minum dapat menyebabkan kerapuhan pada tulang (Bosnic et al.,
2000).

2.3.2 Lethal Dose 50
Lethal Dose50 (LD50) merupakan suatu dosis efektif untuk 50% hewan digunakan karena arah
kisaran nilai pada titik tersebut paling menyempit dibanding dengan titik-titik ekstrim dari kurva
dosis-respon. Pada kurva normal sebanyak 68% dari populasi berada dalam plus-minus nilai 50%.

Salah satu cara untuk lebih memudahkan pengertian hubungan dosis respon adalah menggunakan
LD50. Istilah LD50 pertama kali diperkenalkan sebagai indeks oleh Trevan pada tahun 1927.
Pengertian LD50 secara statistik merupakan dosis tunggal derivat suatu bahan tertentu pada uji
toksisitas yang pada kondisi tertentu pula dapat menyebabkan kematian 50% dari populasi uji
(hewan percobaan). Sebagai contoh: ditemukan suatu senyawa kimia baru dan untuk mengetahui
efek toksiknya digunakan LD50. Jumlah hewan percobaan paling sedikit 10 ekor untuk tiap dosis
dengan rentang dosis yang masuk paling sedikit 3 (dari 0 100 satuan). Hubungan dosis dan respon
dituangkan dalam bentuk kurva dimana kurvanya sudah tipikal sigmoid.

Semakin banyak jumlah hewan uji dan rentang dosisnya, kurva sigmoid akan lebih teramati. Dosis
yang terendah menyebabkan kematian hewan uji sebesar 1%. Kurva sigmoid distribusi normal
seperti ini menunjukkan respon 0% pada dosis yang rendah dan respon sebesar 100% pada dosis
yang meningkat tetapi respon tersebut tidak akan melebihi rentang 0 100 %. Bagaimanapun juga
setiap bahan kimia mempunyai threshold dose yang tidak sama. Threshold dose adalah suatu dosis
minimal yang merupakan dosis efektif dimana dengan dosis yang minimal tersebut individu sudah
dapat memberikan atau menunjukkan responnya, sehingga untuk tiap individu threshold dose
inipun berbeda.

2.3.3 Toxicity Concentration Leaching Procedur (TCLP)
Guna mengetahui suatu limbah industri beracun, perlu dilakukan uji TCLP ( Toxicity Characteristic
Leaching Procedure) yang merupakan uji pelindian dan digunakan selain sebagai penentuan salah
satu sifat berbahaya dan beracun suatu limbah juga dapat diterapkan dalam mengevaluasi produk
pretreatment limbah sebelum di landfill (di timbun dalam tanah) yaitu dalam proses stabilisasi/
solidifikasi (S/ S) . Dalam kaitannya dengan baku mutu yang akan diterapkan, maka uji TCLP ini
merupakan pendekatan dalam upaya pengendalian terhadap pembuangan limbah berbahaya.
Adapun sasaran uji TCLP ini adalah membatasi adanya lindi ( leaching) berbahaya yang dihasilkan
dari penimbunan (landfilling) setelah limbah di stabilisasi/solidifikasi. Untuk melakukan uji
perlindian (TCLP) terhadap limbah beracun memerlukan alat Rotary Agitator yaitu suatu alat yang
berputar secara rotasi end-over-end dengan kecepatan putaran 30 2 rpm selama 18 2 jam.
Adapun cara pengujian pelindian (leachate) limbah beracun ini adalah:
a. Sample padat imbah B3 tanpa fasa cair, diayak terlebih dahulu dengan partikel yang lolos dari
ayakan 0, 9 cm
b. Ke dalam masing-masing botol pengekstrak yang berkapasitas lebih dari 1000 mL, masukkan
contoh limbah padat B3 masing-masing sebanyak 50 gram. Selanjutnya tambahkan larutan
asam asetat (pH 5) sebanyak 1000 mL. Perbandingan berat limbah padat B3 dengan larutan
asam asetat yaitu 1 : 20
c. Kocok larutan yang telah berisi limbah B3 ini pada alat Rotary Agitator dengan kecepatan
putaran 30 2 rpm selama 18 2 jam
d. Saring larutan hasil pengocokan ( leachate) tersebut dengan kertas saring khusus untuk TCLP
yaitu whatman GF/ F (porositas 0, 7 mm)
e. Hasil ekstraksi ini kemudian dianalisis menggunakan baik spektrofotometer serapan atom nyala
(AAS Flame) maupun AAS-Flameless terutama untuk menentukan konsentrasi logam-
logam berat seperti perak (Ag), barium (Ba), boron (B), kadmium (Cd) krom (Cr), tembaga
(Cu), timah hitam (Pb), seng ( Zn), arsen (As), selenium (Se) dan merkuri (Hg) yang ada
dalam limbah padat beracun tersebut.

Setelah dianalisis, bila kandungan logam-logam berat dari hasil leachate ( lindi) tersebut lebih
rendah dari baku mutu TCLP yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka limbah padat tersebut
dikatakan tidak berbahaya/ beracun sehingga ia dapat di landfill setelah dilakukan proses stabilisasi
dan solidifikasi terlebih dahulu.

Berdasarkan kepada lamanya, metode penambahan larutan uji dan maksud serta tujuannya
maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut (Rosianna 2006):
1. Klasifikasi menurut waktu
a. Uji hayati jangka pendek (short term bioassay).
b. Uji hayati jangka menengah (intermediate bioassay)
c. Uji hayati jangka panjang (long term bioassay).
2. Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutanya
a. Uji hayati statik (static bioassay)
b. Pergantian larutan (renewal biossay)
c. Mengalir (flow trough bioassay).
3. Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah pemantauan kualitas air limbah,
uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan
pertumbuhan organisme uji.























BAB III
PEMBAHASAN

Daphnia sp. merupakan komponen utama zooplankton air tawar dan juga herbivora paling
dominan di badan-badan air. Organisme ini ditemukan di kolam, sungai, atau tempat-tempat
dimana kesadahan air sangat bervariasi. Daphnia sp. telah diujikan kepada 500 jenis senyawa
kimia, dan merupakan organisme uji yang paling sering digunakan dalam toksikologi lingkungan
perairan (Dhahiyat dan Djuangsih, 1997).

Uji reproduksi dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh dari limbah cair industri
penyamakan kulit terhadap kemampuan reproduksi D. carinata. Penelitian dibagi menjadi
dua tahapan yaitu uji toksisitas akut (LC50-48 jam) dan uji toksisitas kronis terhadap
kemampuan reproduksi dan perubahan morfometri D. carinata.

3.1 Uji Toksisitas Akut (LC50-48 jam) D. carinata
- Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan batas kisaran kritis (critical range test)
yang menjadi dasar dari penentuan konsentrasi yang digunakan dalam uji lanjutan, yaitu
konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian
terkecil mendekati 50%. Konsentrasi yang digunakan pada uji ini adalah konsentrasi
dengan kelipatan 10 (seri logaritma). Sebagai pembanding digunakan kontrol.

Uji batas kisaran kritis ini dilakukan selama 48 jam. Jumlah D. carinata yang mati
dihitung pada jam ke-24 dan ke-48. Total D. carinata yang mati selama 48 jam menjadi
dasar dalam penentuan lima konsentrasi larutan untuk uji lanjutan.
- Uji Lanjutan
Pada uji lanjutan, dilakukan 3 kali pengulangan untuk setiap konsentrasi yang telah
ditentukan termasuk kontrol. Pengamatan jumlah individu yang mati dilakukan selama
24 & 48jam, dan pada akhir pengamatan dihitung jumlah total individu yang mati.
- Uji Reproduksi D. carinata
Untuk toksisitas kronis yang diamati adalah kuantitas perkembangbiakannya (reproduksi).
Penentuan tingkat perkembangbiakan D. carinata dilakukan setelah nilai LC50-48
jam diketahui. Konsentrasi uji yang digunakan adalah hasil penurunan konsentrasi
yang digunakan dalam uji toksisitas akut (LC50-48 jam) yang diperkirakan tidak
menyebabkan kematian terhadap D. carinata. Uji reproduksi ini dilakukan dengan
memberikan lima kombinasi konsentrasi termasuk kontrol dan pengulangan sebanyak 5
kali. Uji reproduksi dilakukan pada suhu ruangan, dan tanpa aerasi. Pengamatan dilakukan
setiap hari pada waktu yang sama. Parameter yang diamati adalah jumlah neonate yang lahir
dari setiap induk dan frekuensi anakan dalam waktu 21 hari (Rand, 1995).

Hasil Uji Toksisitas Akut (LC50-48 jam) Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit
Terhadap D. carinata

Tabel 4.1 Persentase kematian D. carinata pada limbah cair industri penyamakan kulit

No.

Konsentrasi
Larutan Uji (%)
Persentase Kematian (%)
24 jam 48 jam
1 0 0 0
2 0,1 0 16,67
3 0,18 10,00 36,67
4 0,32 20,00 56,67
5 0,56 16,67 60,00
6 1 23,33 70,00

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, terlihat bahwa jumlah kematian 50% organisme uji pada limbah
cair industri penyamakan kulit selama 48 jam terdapat pada interval konsentrasi 0,18 0,32%.

Tabel 4.2 Nilai LC50 limbah cair industri penyamakan kulit
Sampel Nilai LC50-48 jam (%)
Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit 0,35

Tabel 4.2 menunjukkan nilai LC50-48 jam limbah industri penyamakan kulit yang diperoleh
dengan probit analisis yaitu sebesar 0,35 %. Mengacu pada kriteria tingkatan racun menurut
IMCO, FAO, UNESCO, WMO dan Group of Experts (1973) yang disajikan pada lampiran 2,
maka tingkat toksisitas limbah industri penyamakan kulit dapat dikategorikan ke dalam kriteria
toksik rendah.

Hasil Uji Toksisitas Kronis Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit Terhadap D.
carinata

Rata-rata jumlah neonate dan frekuensi reproduksi D. carinata yang dihasilkan pada uji
toksisitas kronis limbah cair industri penyamakan kulit dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Rata-rata Jumlah Neonate dan Frekuensi Reproduksi D. carinata pada
Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit
Konsentrasi (%) Rata-rata Jumlah Neonate *) Frekuensi Reproduksi
Kontrol 87 4,7 6 kali
0,02 80 8,3 5 kali
0,04 60 5,3 5 kali
0,06 43 9,9 4 kali
0,08 41 12,2 3 kali
0,1 35 3,2 3 kali

Pada kontrol, neonate pertama kali lahir pada hari ke-8 dan ke-9 dengan frekuensi reproduksi
sebanyak 6 kali selama 21 hari pengujian. Pada perlakuan limbah cair industri penyamakan
kulit dengan konsentrasi 0,02% dan 0,04%, neonate dihasilkan pertama kali pada hari ke-8
sampai hari ke-11 dengan frekuensi reproduksi sebanyak 5 kali, sedangkan pada konsentrasi
0,06% dan 0,08% neonate dihasilkan pada hari ke-10 sampai hari ke-12 dengan
frekuensi reproduksi berturut-turut sebanyak 4 kali dan 3 kali. Pada konsentrasi 0,1% neonate
paling lambat lahir yaitu pada hari ke-11 sampai hari-14 dengan frekuensi reproduksi sebanyak 3
kali. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi perlakuan limbah maka semakin
sedikit jumlah neonate yang dilahirkan dan semakin kecil pula nilai frekuensi reproduksinya.
Dapat diartikan bahwa konsentrasi berbanding terbalik dengan jumlah neonate yang dilahirkan
dan frekuensi reproduksi D. carinata.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

a. Uji toksikologi terbagi menjadi 2 yaitu, nilai akut dan nilai kronis. Uji nilai akut dapat
di lakukan dengan metode Lethal Dose 50 dan Lethal Concentration 50 sedangkan
nilai kronis adalah uji lanjutan yang dapat ditentukan dengan metode Toxicity
Concentration Leaching Procedur (TCLP).
b. Berdasarkan nilai LC50-48 jam limbah industri penyamakan kulit yang diperoleh dengan
probit analisis yaitu sebesar 0,35 %, mengacu pada kriteria tingkatan racun menurut IMCO,
FAO, UNESCO, WMO dan Group of Experts (1973) yang disajikan pada lampiran 2,
maka tingkat toksisitas limbah industri penyamakan kulit dapat dikategorikan ke dalam
kriteria toksik rendah.
c. Untuk mengetahui hasil limbah industri penyamakan kulit ini termasuk limbah bahan
berbahaya dan beracun maka diperlukan uji lanjutan yaitu uju TCLP untuk mendapatkan
hasil yang lebih akurat dan maksimal.

















DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1984. Kultur Makanan Alami Daphnia sp. Departemen Pertanian. Direktorat
Jendral Perikanan. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi, Sukabumi.
APHA. 1995. Standard methods for The Examination of Water and Waste Water. 19
th
edition.
American Public Health Association, Washington.
BAPEDALDA. 2001. Himpunan Peraturan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta:
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta.
Bosnic M., J. Buljan, and R.P. Daniels. 2000. Pollutants in Tannery Effluents. UNIDO, New
York.
Dhahiyat, Y. dan N. Djuangsih. 1997. Uji Hayati (Bioassay); LC50 (Acute Toxicity Test)
Menggunakan Daphnia dan Ikan. PPSDAL-LP. Unpad, Bandung.
EPA. 1991. Methods for Measuring The Acute Toxicity of Effluents and Receiving Waters to
Freshwater and Marine Organism. 4th Edition. United States Enviromental Protection
Agency, Washington.
Rand, G.M. 1995. Fundamentals of Aquatic Toxicology Effects, Environmental Fate and Risk
Assesment. Second Edition. Taylor&Francis Press, USA.

http://keslingmks.wordpress.com/2008/08/18/industri-penyamakan-kulit-dan-dampaknya-terhadap-
lingkungan/
http://3diyanisa3.blogspot.com/2011/05/lethal-concentration-50-lc50.html

Anda mungkin juga menyukai