Anda di halaman 1dari 14

Aplikasi Mikroba Endogenous untuk Remediasi Air Limbah Industri Tekstil di Sungai Citarum

Disusun Oleh :

Kelompok 15
Evan Grady (02211740000045)
Dewi Farra Prasasya (02211740000123)

Makalah Mikrobiologi 2019


PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rahmat dan hidayah – Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Aplikasi Mikroba Endogenous untuk
Remediasi Air Limbah Industri Tekstil di Sungai Citarum” . Karya tulis ini merupakan salah satu
tugas bagi setiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah Mikrobiologi Industri, Program Studi
Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Penyusun
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, untuk itu
saran dan kritik yang membangun akan penyusun terima. Akhir kata, penyusun mengucapkan
terima kasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila di dalam laporan ini terdapat kata-
kata yang kurang berkenan atau kurang dipahami.
ABSTRAK

Sungai Citarum adalah salah satu sungai terkotor di akibat limbah domestik yang langsung
dibuang ke sungai tanpa dilakukan remediasi. .Limbah pabrik di Sungai citarum diperkirakan
pada 2020 menyumbang kadar BOD sebesar 130,936 dan mayoritas pabrik tersebut adalah
pabrik tekstil . Pewarna azo merupakan salah satu jenis pewarna sintetik yang sering ditemukan
di Sungai Citarum . Bakteri endogenous mempunyai kemampuan dalam proses utilisasi . bakteri
Bacillus subtilis dapar menghasilkan azoreductase dan bakteri Streptomyces lividans
menghasilka hydroxylase. Metode bioremediasi Sungai Citarum pertama-tama bakteri diisolasi
dari sampel tanah .Setelah itu , 5 gram dari sampel tanah yang diambil diencerkan dengan
akuades sebanyak 10 ml .Lalu sampel diaduk dengan kecepatan 200 putaran per menit selama 10
menit. Kemudian, alikuot diinokulasikan dalam cawan petri dengan media Rose Bengal Agar dan
diinkubasikan selama 3 hari. Koloni yang terbentuk kemudian diambil lalu digoreskan ke
permukaan media baru (ISP2) dengan metode slant untuk dianalisis kemurniannya. Lalu , Koloni
yang telah berhasil diisolasi diberi larutan gliserol 10% kemudian disimpan dalam deep freezer
pada suhu -20ºC untuk proses pengawetan Kedua spesies bakteri juga diuji kemampuannya
dalam proses dekolorisasi serta kemampuan degradasi senyawa amina aromatis (anilin).
Kemudian ,mempersiapkan larutan zat warna dan Inokulum sebanyak 20% (2 ml) digunakan
untuk dekolorisasi pewarna dalam kondisi tenang. Proses dekolorisasi yang terjadi diamati dan
diukur selama 48 jam. Tingkat dekolorisasi diukur pada zat warna Remazol Turquoise Blue G
dan Reactive Black B dan degradasi amina aromatis (anilin) .Proses remediasi berlangsung
melalui tahap dekolorosisasi oleh enzim azoreductase secara anaerobik dengan bakteri Bacillus
subtilis dan tahap degradasi amina aromatis (anilin) oleh enzim hydroxylase secara aerobik
dengan bakteri Streptomyces lividans. Dalam total waktu 54 jam, air limbah menunjukkan
perubahan warna yang signifikan (menjadi bening) dan 75-80% anilin yang terbentuk dari tahap
dekolorisasi telah terdegradasi.

Kata kunci : dekolorisasi ,Pewarna azo , Bacillus subtilis , Streptomyces lividans, enzim
BAB I PENDAHULUAN
Sungai Citarum memiliki potensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang sangat penting di Jawa
Barat. S. Citarum dengan luas DPS sekitar 6.600 km2 bersumber dari G. Wayang, Kecamatan
Kertasari, Kabupaten Bandung mengalir sepanjang 315 km ke Laut Jawa dengan melintasi 118
kecamatan pada 7 kabupaten dan 1 kota di Jawa Barat yaitu : Kabupaten Bandung, Sumedang,
Cianjur, Purwakarta, Bogor, Bekasi, Karawang, dan Kota Bandung. Sungai Citarum dahulu
hingga kini terap menjadi buah bibir dunia internasional sebagaimana Sungai Citarum
"dinobatkan" sebagai salah satu sungai terkotor di dunia : "The Dirtiest River" The Sun, 4
Desember 2009. Kotornya sungai tersebut diakibatkan pencemaran oleh limbah domestik yang
langsung dibuang ke sungai tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu dan salah satu limbah
yang sangat berbahaya adalah limbah dari pabrik tekstil.
Menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-03/MNKLH/II/1991, 1
Februari 1991 ditetapkan bahwa air limbah pabrik boleh dibuang ke sungai atau lingkungan jika
pH air limbah tersebut berkisar 6 sampai 9. Sedangkan menurut Surat Keputusan Gubernur Jawa
Tengah No. KS.48 / 1978 tanggal 10 November 1978, ditetapkan bahwa pH air limbah yang
diperbolehkan adalah 6,5 – 8,5. Beberapa sifat fisis yang disyaratkan antara lain air tidak berwarna,
tidak berbau, dan mempunyai temperatur 10oC lebih rendah atau lebih tinggi dari temperatur
sungai (badan air).
pH merupakan kriteria kualitas kimia. Selain kualitas kimia, kualitas fisik dan biologi juga
menjadi kriteria kualitas air. Kualitas fisik meliputi warna, suhu, dan kekeruhan, sedangkan
kualitas biologis menyangkut keberadaan lumut, mikroorganisme patogen, dan sejenisnya.
Kualitas kimia selain pH meliputi pula kadar oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO), kadar
limbah organik yang diukur dari banyaknya oksigen yang diperlukan untuk mendegradasi
(memecah) sampah organik yang dikenal dengan istilah Biological Oxygen Demand (BOD), dan
kadar limbah anorganik yang diukur dari banyaknya oksigen yang diperlukan untuk memecah
limbah anorganik yang dikenal sebagai angka Chemical Oxygen Demand (COD). Nilai BOD dan
COD untuk air limbah yang diperbolehkan adalah 30 dan 80. Limbah yang belum memenuhi
standar kualitas yang telah ditetapkan, tidak boleh dibuang ke lingkungan sebelum melalui
pengolahan terlebih dahulu.
Sumber-sumber pencemaran terbesar berada di daerah hulu sungai sehingga merupakan
beban berat bagi ketiga buah waduk yang berada di hilirnya. Potensi beban-beban pencemaran
organik (BOD) yang dihasilkan dari sumber-sumber pencemaran tersebut diatas pada Sub DPS
Citarum Hulu pada tahun 2000, serta proyeksinya pada tahun 2010 dan 2020.
Tabel I.1. Potensi Beban Pencemaran Organik (BOD) pada Sub DPS Citarum Hulu
Sumber Beban Pencemaran (ton BOD/hari)
Pencemar
2000 2010 2020
Permukiman 77,330 88,420 101,230
Industri 81,363 109,114 130,936
Pertanian 25,480 24,280 22,320
Peternakan 14,367 15,086 17,349

Gambar I.1. Potensi dan Proyeksi Beban Pencemaran Organik (BOD) Citarum Hulu
Limbah tekstil mengandung bahan-bahan yang berbahaya bila dibuang ke lingkungan,
terutama daerah perairan. Sebagian besar bahan yang terdapat dalam limbah tekstil adalah zat
warna, terutama zat warna sintetik. Zat warna sintetik merupakan molekul dengan sistem elektron
terdelokalisasi dan mengandung dua gugus yaitu kromofor dan auksokrom. Kromofor berfungsi
sebagai penerima elektron, sedangkan auksokrom sebagai pemberi elektron yang mengatur
kelarutan dan warna. Selain mengandung zat warna, limbah tekstil juga mengandung beberapa
jenis logam berat berbahaya. Dasar hukum yang jelas mengenai pengelolaan Sumber Daya Air
adalah Undang-Undang no. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. UU tersebut menjadi acuan
kegiatan pengelolaan terhadap SDA yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi seluruh rakyat
Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II.1. Karakteristik Air Tercemar
Menurut Kristanto (2002), pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan
normal. Air dapat tercemar oleh komponen-komponen anorganik, diantaranya berbagai logam
berat yang berbahaya. Komponen-komponen logam berat ini berasal dari kegiatan industri.
Kegiatan industri yang melibatkan penggunaan logam berat antara lain industri tekstil, pelapisaan
logam, cat, percetakan, dan bahan agrokimia. Beberapa logam berat ternyata telah mencemari air,
melebihi batas yang berbahaya bagi kehidupan (Wisnu, 1995). Adanya logam berat dalam
lingkungan perairan telah diketahui dapat menyebabkan beberapa kerusakan pada kehidupan air.
Di samping itu terdapat fakta bahwa logam berat membunuh mikroorganisme. Hampir semua
garam-garam logam berat dapat larut dalam air dan membentuk larutan sehingga tidak dapat
dipisahkan dengan pemisahan fisik. Seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk, maka
semakin meningkat pula usaha untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang mengikutinya sehingga
semakin variatif pula aktivitas manusia, salah satunya aktivitas industri. Akan tetapi, pertumbuhan
industri ini memiliki efek samping yang kurang baik. Sebab industri-industri kecil tersebut pada
umumnya membuang limbahnya langsung ke selokan / badan air tanpa pengolahan terlebih
dahulu. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran air karena dalam limbah tersebut mengandung
unsur toksik yang tinggi.

II.2. Pewarna Tekstil Azo


Pewarna azo merupakan salah satu jenis pewarna sintetik yang memiliki ciri khas berupa
terdapatnya gugus fungsi R-N=N-R’, yang mana R dan R’ dapat berupa gugus aril atau alkil.
Pewarna ini merupakan turunan diazena, HN=NH dimana kedua hidrogen mengalami substitusi
(IUPAC, 1997). Sebagai akibat dari delokalisasi-п, senyawa azo memiliki warna yang hidup
sehingga dimanfaatkan sebagai pewarna pada industri tekstil. Pada industri tekstil, umumnya
pigmen warna dibuat dari partikel berwarna (biasanya tanah atau lempung) yang diberi warna
menggunakan senyawa azo.
Industri-industri tekstil di sekitar Sungai Citarum, Jawa Barat banyak memanfaatkan
pewarna jenis azo sebagai zat warna untuk produk-produk tekstil yang diproduksi. Di Kecamatan
Majalaya sendiri terdapat sekitar 50 industri tekstil yang mendominasi penggunaannya (Suhendra,
2013). Pewarna azo digunakan karena tidak reaktif dan memiliki banyak varian warna. Akan
tetapi, pewarna ini dapat mengubah warna air sehingga menghalangi masuknya sinar matahari,
bersifat karsinogenik dan mutagenik, beracun bagi ikan, dan meningkatkan pH serta salinitas air
(Ramalingam, 2017).
Pewarna azo yang paling sering digunakan dalam industri tekstil adalah Remazol Turquoise
Blue G yang berwarna biru dan Reactive Black B yang berwarna hitam. Adapun struktur dari
keduanya ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar II.2.1. Struktur Kimia Remazol Turquoise Blue G (kiri) dan Reactive Black B (kanan)
Berdasarkan struktur kimianya, kedua jenis pewarna tersebut tergolong pewarna azo karena
memiliki gugus fungsi R-N=N-R’. Untuk proses remediasi air sungai yang telah tercemar air
limbah pewarna azo dari industri tekstil, diperlukan enzim yang mampu mendegradasi struktur
kimia pewarna dan menghasilkan produk yang tidak berwarna dan mudah untuk diproses lebih
lanjut. Dekolorisasi terjadi secara anaerobik melalui mekanisme pemutusan ikatan rangkap (-
N=N-) secara reduksi dengan bantuan enzim azoreductase. Mekanisme reaksi ditunjukkan pada
gambar berikut.
Gambar II.2.2. Reaksi Degradasi Pewarna Azo
Hasil dari pemutusan ikatan rangkap tersebut adalah senyawa amina aromatis seperti anilin. Anilin
memiliki sifat berwarna bening, densitas 1,0297 g/mL, pH 8,8 pada suhu 20oC, sedikit larut dalam
air, dan mudah larut dalam pelarut organik seperti alkohol, benzena, dan kloroform. Proses
dekolorisasi pewarna azo menyebabkan warna air limbah menjadi bening kembali. Akan tetapi,
diperlukan proses lebih lanjut untuk degradasi amina aromatis yang terbentuk. Proses degradasi
dibantu dengan enzim hydroxylase secara aerobik dimana terjadi substitusi gugus amina dengan
gugus hidroksil, kemudian dilanjutkan dengan pembelahan melalui penggabungan dua atom
oksigen. Produk akhir dari proses degradasi berupa CO2, NH3, dan H2O (Alabdraba, 2014).

II.3. Bakteri Endogenous Bacillus subtilis dan Streptomyces lividans


Bakteri endogenous didefinisikan sebagai bakteri asli yang berada di dalam tanah pada
suatu wilayah tertentu. Mikroorganisme ini mempunyai kemampuan dalam proses utilisasi atau
pemanfaatan substrat untuk dijadikan sebagai sumber makanan. Namun pada pelaksanaannya,
mikroorganisme ini membutuhkan serangkaian proses adaptasi alamiah, sehingga kemampuan
optimum dalam memanfaatkan substrat dapat dikeluarkan (Kurniawan, 2012).
Bacillus adalah genus bakteri gram positif berbentuk batang dan anggota dari filum
Firmicutes. Spesies Bacillus dapat aerob obligat (bergantung pada oksigen), atau anaerob fakultatif
(memiliki kemampuan untuk menjadi aerobik atau anaerobik). Di alam, Bacillus meliputi spesies
yang hidup bebas. Dalam kondisi lingkungan stres, bakteri dapat menghasilkan endospora oval
dimana bakteri dapat tetap dalam keadaan tidak aktif untuk jangka waktu yang lama (Madigan,
2006).
Streptomyces sp. adalah bakteri gram positif dan aerobik yang menghasilkan spora yang
dapat ditemukan di tanah dan pada tumbuhan yang membusuk. Streptomyces termasuk ke dalam
kelas golongan Actinobacteria yaitu bakteri yang memiliki struktur hifa bercabang menyerupai
fungi dan dapat menghasilkan spora. Karakteristik lainnya adalah koloni mereka yang keras,
berbulu, jarang atau tidak berpigmen, serta bersifat kemoorganoheterotrof (mampu menggunakan
materi organik yang kompleks sebagai sumber karbon dan energi). Bakteri ini memiliki suhu
optimal untuk pertumbuhan pada 25oC dan pH 8-9 (Madigan, 2006).
Spesies bakteri Bacillus subtilis diketahui mampu menghasilkan enzim azoreductase,
sedangkan spesies bakteri Streptomyces lividans diketahui mampu menghasilkan enzim
hydroxylase (Valerie, 2018). Menurut database InaCC (Indonesian Culture Collection) yang dirilis
oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Bacillus subtilis diketahui berasal dari
Sukabumi, Jawa Barat sedangkan Streptomyces lividans diketahui berasal dari daerah Gunung
Pancar, Bogor, Jawa Barat. Keduanya merupakan bakteri endogenous dari Indonesia yang berhasil
diisolasi dari tanah pertanian dan dataran tinggi. Lokasi asal bakteri yang tidak berjauhan dengan
Sungai Citarum menjadikan kedua jenis bakteri ini mudah diperoleh sehingga proses pengolahan
air limbah industri tekstil di Sungai Citarum dapat berjalan lebih efisien.

BAB III METODOLOGI


Kedua jenis bakteri yang digunakan dalam percobaan ini (Bacillus subtilis dan
Streptomyces lividans) masing-masing diisolasi dari sampel tanah yang diperoleh dari Sukabumi,
Jawa Barat dan dari daerah sekitar Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Sekitar 5 gram dari sampel
tanah yang diambil diencerkan dengan akuades sebanyak 10 ml. Campuran dari tanah dan air ini
akan membentuk suspensi yang selanjutnya diaduk dengan kecepatan 200 putaran per menit
selama 10 menit. Kemudian, alikuot diinokulasikan dalam cawan petri dengan media Rose Bengal
Agar dan diinkubasikan selama 3 hari. Koloni yang terbentuk kemudian diambil lalu digoreskan
ke permukaan media baru (ISP2) dengan metode slant untuk dianalisis kemurniannya. Koloni yang
telah berhasil diisolasi diberi larutan gliserol 10% kemudian disimpan dalam deep freezer pada
suhu -20ºC untuk proses pengawetan (Kalirajan, 2017).
Selanjutnya, dapat dilakukan uji identifikasi supaya spesies bakteri yang dihasilkan sesuai
dengan keinginan. Uji yang dapat dilakukan adalah uji gram, dimana bakteri akan mengalami
reaksi gram sesuai komposisi atau struktur dinding selnya, uji morfologi permukaan spora yang
dilakukan dengan bantuan Scanning Electron Microscope (SEM), dan uji karakteristik fisiologis
seperti kebutuhan akan oksigen dan pH optimal (Kalirajan, 2017).
Kedua spesies bakteri juga diuji kemampuannya dalam proses dekolorisasi serta
kemampuan degradasi senyawa amina aromatis (anilin). Metode yang dilakukan berupa
mempersiapkan larutan zat warna. Inokulum sebanyak 20% (2 ml) digunakan untuk dekolorisasi
pewarna dalam kondisi tenang. Proses dekolorisasi yang terjadi diamati dan diukur selama 48 jam.
Tingkat dekolorisasi diukur pada zat warna Remazol Turquoise Blue G dan Reactive Black B
dengan spektrofotometer UV-vis double beam pada panjang gelombang 661 dan 597 nm
sedangkan degradasi amina aromatis (anilin) diukur melalui konsentrasinya dalam air dengan
bantuan alat analisis berupa High Performance Liquid Chromatography (Kalirajan, 2017).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1. Hasil
Tabel IV.1.1. Hasil Uji Karakteristik Fenotip dan Fisiologis Kedua Bakteri
No. Aspek uji Bacillus subtilis Streptomyces lividans
1 Gram Positif Positif
2 Morfologi rantai spora Silindris Spiral
3 Morfologi permukaan Permukaan bergelombang Permukaan halus
spora (SEM) halus
4 Kebutuhan akan oksigen Anaerobik fakultatif Aerobik
5 pH optimal 4-9,5 5-9
Gambar IV.1.1. Dekolorisasi Pewarna Remazol Turquoise Blue G oleh Bakteri Bacillus subtilis
selama 48 Jam dan Grafik Absorbansi terhadap Waktu (λ = 661 nm)

Gambar IV.1.2. Dekolorisasi Pewarna Reactive Black B oleh Bakteri Bacillus subtilis selama 48
Jam dan Grafik Absorbansi terhadap Waktu (λ = 597 nm)

Gambar IV.1.3. Persentase Degradasi Anilin pada Hasil Dekolorisasi Pewarna Remazol
Turquoise Blue G (kiri) dan Reactive Black B (kanan) oleh Bakteri Streptomyces lividans

IV.2. Pembahasan
Dari hasil data percobaan yang diperoleh, diketahui bahwa kedua jenis bakteri merupakan
bakteri gram positif yang ditandai dengan dipertahankannya zat warna kristal violet sewaktu
proses pewarnaan gram sehingga akan berwarna biru atau ungu di bawah mikroskop. Bakteri gram
positif hanya mempunyai membran plasma tunggal yang dikelilingi dinding sel tebal berupa
peptidoglikan. Sekitar 90 persen dari dinding sel tersebut tersusun atas peptidoglikan sedangkan
sisanya berupa molekul lain bernama asam teikhoat. Metabolisme bakteri gram positif berlangsung
secara kemoorganoheterotrof, yaitu membutuhkan senyawa organik untuk pertumbuhannya dan
sebagai sumber karbon dan energi. pH optimal dari kedua jenis bakteri juga berkisar antara 4-9,5
dan 5-9. Jangkauan pH ini masih termasuk di dalam jangkauan pH untuk air limbah industri tekstil
(antara 6-9) sehingga kedua bakteri dapat bekerja secara optimal untuk mengelola air limbah
industri tekstil. Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, bakteri Bacillus subtilis bersifat anaerob
fakultatif, yaitu dapat hidup dengan baik dengan adanya oksigen atau tanpa oksigen sedangkan
bakteri Streptomyces lividans bersifat aerob, yaitu membutuhkan oksigen.
Pada saat dekolorisasi kedua jenis pewarna secara anaerobik oleh bakteri anaerobik
fakultatif Bacillus subtilis, bakteri tersebut dapat mendekolorisasi air yang mengandung kedua
jenis pewarna dalam waktu 48 jam. Dalam waktu 48 jam, dapat diamati terjadi perubahan warna
secara drastis menjadi bening dan pada grafik absorbansi terhadap waktu (yang diperoleh saat
pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer), setelah 48 jam diketahui bahwa nilai absorbansi
berada pada ambang 0,5 yang menyatakan sebagian besar zat pewarna telah mengalami
dekolorisasi. Mekanisme dekolorisasi terjadi akibat adanya enzim azoreductase yang memotong
ikatan azo –N=N-. Pemotongan ikatan azo tersebut berlangsung dalam dua tahap. Dalam setiap
tahap, dua elektron akan ditransfer ke pewarna azo yang bertindak sebagai akseptor elektron
terakhir sehingga pewarna terdekolorisasi. Metabolit yang dihasilkan, misalnya berupa amina
aromatis seperti anilin, selanjutnya akan didegradasi lebih lanjut secara aerobik.
R1-N=N-R2 + 2e- + 2H+ → R1-NH-NH-R2
R1-NH-NH-R2 + 2e- + 2H+ → R1-NH2 + R2-NH2
Waktu dekolorisasi yang cukup lama (sekitar 2 hari) terjadi karena bakteri yang digunakan bersifat
anaerob fakultatif, bukan anaerob obligat. Bakteri anaerob fakultatif bekerja lebih lambat pada
kondisi lingkungan yang anaerob (Manurung, 2004).
Pada saat degradasi senyawa amina aromatis (anilin) secara aerobik dari air hasil
dekolorisasi, berdasarkan grafik diketahui bahwa dalam waktu 6 jam, untuk kedua jenis pewarna,
sekitar 75-80% anilin dalam air telah terdegradasi. Mekanisme degradasi anilin dalam air terjadi
dengan bantuan enzim hydroxylase yang dihasilkan oleh bakteri Streptomyces lividans. Enzim ini
bertujuan untuk membuka cincin amina aromatis (anilin) yang terbentuk setelah proses
dekolorisasi. Selain itu, juga berperan dalam proses mineralisasi sehingga terbentuk produk akhir
berupa CO2, H2O, NH3, dan biomassa. Tahap ini berlangsung lebih cepat (6 jam) karena bakteri
yang digunakan juga bersifat aerob (Manurung, 2004).

BAB V KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penilitian ini adalah bakteri endogenous Bacillus
subtilis dan Streptomyces lividans yang diisolasi dari daerah Sukabumi, Jawa Barat dan daerah
sekitar Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat dapat meremediasi air limbah industri tekstil di Sungai
Citarum, terutama yang mengandung pewarna jenis azo Remazol Turquoise Blue G dan Reactive
Black B. Proses remediasi berlangsung melalui tahap dekolorosisasi oleh enzim azoreductase
secara anaerobik dengan bakteri Bacillus subtilis dan tahap degradasi amina aromatis (anilin) oleh
enzim hydroxylase secara aerobik dengan bakteri Streptomyces lividans. Dalam total waktu 54
jam, air limbah menunjukkan perubahan warna yang signifikan (menjadi bening) dan 75-80%
anilin yang terbentuk dari tahap dekolorisasi telah terdegradasi.

DAFTAR PUSTAKA
Alabdraba, Waleed. 2014. Biodegradation of Azo Dyes a Review. International Journal of
Environmental Engineering and Natural Resources. Vol.1, No.4.
http://inacc.biologi.lipi.go.id/index.php/Katalog/ diakses 1 Maret 2019.
IUPAC. 1997. Compendium of Chemical Terminology. USA : Wiley.
Kalirajan, Jegatheesan. 2017. Isolation of Microbes for Remediation of Textile Dye Industry
Effluent. India : EM International.
Kurniawan, Allen. 2012. Simulasi Proses Bioremediasi Pada Lahan Terkontaminasi Total
Petroleum Hidrokarbon (TPH) Menggunakan Serabut Buah Bintaro dan Sekam Padi.
Surabaya : Seminar Nasional Waste Management.
Madigan, Michael. 2006. Brock Biology of Microorganisms. New Jersey : Pearson Education.
Manurung, Renita. 2004. Perombakan Zat Warna Azo Reaktif Secara Anaerob – Aerob. Sumatera
Utara : Teknik Kimia USU.
Ramalingam. 2017. Biodegradation and Decolourization of Azo Dyes Using Marine Bacteria.
International Journal of Biotechnology and Research. Vol.7, No.2.
Suhendra, Edward. 2013. Keberadaan Anilin di Sungai Citarum Hulu Akibat Penggunaan Azo
Dyes pada Industri Tekstil. Semarang : Universitas Diponegoro.
Teragna, Nana. 2002. Beban Pencemaran Limbah Industri dan Status Kualitas Air Sungai Citarum.
Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol.3, No.2.
Valerie. 2018. Kajian Pustaka : Pemanfaatan Mikroba yang Berpotensi sebagai Agen
Bioremediasi Limbah Pewarna Tekstil. Jurnal Sains dan Teknologi. Vol.2, No.1.

Anda mungkin juga menyukai