Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terdiri lebih dari 17000 pulau
dengan kira-kira 70% wilayahnya terdiri dari lautan atau seluas 6.8 juta km2.
Karena letaknya diantara samudera India dan samudera Pasifik dan juga
bertemunya 3 lempeng tektonik utama menyebabkan wilayahnya mempunyai
karakteristik perairan yang bervariasi. Dengan variasi topografi dasar lautnya
sampai mencapai kedalaman lebih dari 8000 m. Maka untuk memanfaatkan
dan menginventarisasi sumber daya laut yang ada dengan optimal, serta untuk
mendukung studi-studi kelautan dan eksplorasi sumber daya alamnya,
diperlukan data-data batimetri dan peta dasar kelautan Indonesia sebagai
modal utama dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah. Keberadaan data
batimetri yang mencakup wilayah Indonesia masih belum terintegrasi dengan
baik (Wiratma, 2001).
Batimetri (dari bahasa Yunani: bathy, berarti kedalaman, dan metry,
berarti ukuran) adalah ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air dan
studi tentang tiga dimensi lantai samudra atau danau. Sebuah peta batimetri
umumnya menampilkan relief lantai atau dataran dengan garis-garis kontor
(contour lines) yang disebut kontor kedalaman (depth contours atau isobath),
dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan
(anonim, 1999).
Batimetri merupakan unsur serapan yang secara sederhana dapat diartikan
sebagai kedalaman laut. Dari Kamus Hidrografi yang dikeluarkan oleh
Organisasi Hidrografi Internasional (International Hydrographic
Organization, IHO) tahun 1994, Batimetri adalah penentuan kedalaman laut
dan hasil yang diperoleh dari analisis data kedalaman merupakan konfigurasi
dasar laut. Data batimetri tersebut dikelola oleh Bakosurtanal, LIPI, BPPT,
PPGL-ESDM, Dishidros TNI-AL, KKP, Pemerintah daerah, dan instansi
lainnya baik instansi pemerintah maupun swasta. Oleh karena tersebarnya
data-data batimetri di berbagai instansi tersebut, maka perlu dilakukan
integrasi data-data yang tersebar di berbagai instansi, Menghindari lajur
survei yang sama antar instansi untuk mendapatkan data yang meningkatkan
resolusi data yang didapat, memodelkan peta batimetri Indonesia yang lebih
akurat dan resolusi yang lebih tinggi dibanding model global,
mengkoordinasikan program-program di instansi terkait yang melakukan
pengumpulan data batimetri (Karsono, 2000) .
Batimetri merupakan salah satu dari bagian dari oseanografi. Oseanografi
dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu ilmu yang mempelajari
lautan. Ilmu ini semata-mata bukanalah merupakan suatu ilmu murni, tetapi
merupakan perpaduan berbagai macam ilmu-ilmu dasar yang lain. Ilmu lain
yang termasuk didalamnya ialah ilmu tanah, ilmu bumi, ilmu fisika, ilmu
kimia ilmu hayat, dan ilmu iklim (Kanginan, 2002).
Awalnya, batimetri mengacu kepada pengukuran kedalaman samudra.
Teknik-teknik awal batimetri menggunakan tali berat terukur atau kabel yang
diturunkan dari sisi kapal. Keterbatasan utama teknik ini adalah hanya dapat
melakukan satu pengukuran dalam satu waktu sehingga dianggap tidak
efisien. Teknik tersebut juga menjadi subjek terhadap pergerakan kapal dan
arus (nontji A., 2002).
1.2. Tujuan
1. mengetahui sistem koordinat bumi.
2. menghitung jarak, sudut serta menetukan koordinat suatu posisi.
3. mengetahui bentuk-bentuk dasar perairan.
4. mengetahui aturan-aturan dasar dalam membuat kontur-kontur batimetri.
5. membuat kontur batimetri serta menginterpretasikan kontur batimetri.
1.3. Manfaat
1. penentuan jalur pelayaran yang aman.
2. pertambangan minyak lepas pantai.
3. perencanaan bangunan pinggir pantai.
4. pendeteksian adanya potensi bencana tsunami di suatu wilayah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Oseanografi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu ilmu yang
mempelajari lautan. Ilmu ini semata-mata bukanalah merupakan suatu ilmu
murni, tetapi merupakan perpaduan berbagai macam ilmu-ilmu dasar yang lain.
Ilmu lain yang termasuk didalamnya ialah ilmu tanah, ilmu bumi, ilmu fisika,
ilmu kimia ilmu hayat, dan ilmu iklim (Sahala dan Stewart : 1985).
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri yang marine-oriented,
survei hidrografi mutlak dilakukan dalam tahapan explorasi maupun feasibility
study. Survei hidrografi adalah cabang ilmu yang berkepentingan dengan
pengukuran dan deskripsi sifat serta bentuk dasar perairan dan dinamika badan air
atau dengan kata lain Hidrografi adalah ilmu terapan di dalam melakukan
pengukuran dan pendeskripsian objek-objek fisik di bawah laut untuk digunakan
dalam navigasi. Informasi yang diperoleh dari kegiatan ini untuk pengelolaan
sumberdaya laut dan pembangunan industri kelautan. Kebutuhan teknologi survei
dan pemetaan laut yang modern ini merupakan suatu kebutuhan, apalagi dengan
berlakunya UNCLOS 1982 (United Nations Convention on Law of The Sea),
Indonesia diakui sebagai negara kepulauan dan perairan yuridiksi Indonesia
bertambah luas serta perlu segera dipetakan (Annisa : 2008).
Batimetri (dari bahasa Yunani:bathy, berarti kedalaman, dan metry,
berarti ukuran) adalah ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air dan studi
tentang tiga dimensi lantai samudra atau danau. Sebuah peta batimetri umumnya
menampilkan relief lantai atau dataran dengan garis-garis kontor (contour lines)
yang disebut kontor kedalaman (depth contours atau isobath), dan dapat memiliki
informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan (Anonim : 1999).
Awalnya, batimetri mengacu kepada pengukuran kedalaman samudra.
Teknik-teknik awal batimetri menggunakan tali berat terukur atau kabel yang
diturunkan dari sisi kapal. Keterbatasan utama teknik ini adalah hanya dapat
melakukan satu pengukuran dalam satu waktu sehingga dianggap tidak efisien.
Teknik tersebut juga menjadi subjek terhadap pergerakan kapal dan arus (Sobri
2001).
Survei batimetrik dimaksudkan untuk mendapatkan data kedalaman dan
konfigurasi/ topografi dasar laut, termasuk lokasi dan luasan obyek-obyek yang
mungkin membahayakan. Survei Batimetri dilaksanakan mencakup sepanjang
koridor survey dengan lebar bervariasi. Lajur utama harus dijalankan dengan
interval 100 meter dan lajur silang (cross line) dengan interval 1.000 meter.
Kemudian setelah rencana jalur kabel ditetapkan, koridor baru akan ditetapkan
selebar 1.000 meter. Lajur utama dijalankan dengan interval 50 meter dan lajur
silang (cross line) dengan interval 500 meter. Peralatan echosounder digunakan
untuk mendapatkan data kedalaman optimum mencakup seluruh kedalaman dalam
area survei. Agar tujuan ini tercapai, alat echosounder dioperasikan sesuai dengan
spesifikasi pabrik. Prosedur standar kalibrasi dilaksanakan dengan melakukan
barcheck atau koreksi Sound Velocity Profile (SVP) untuk menentukan transmisi
dan kecepatan rambat gelombang suara dalam air laut, dan juga untuk
menentukan index error correction. Kalibrasi dilaksanakan minimal sebelum dan
setelah dilaksanakan survei pada hari yang sama. Kalibrasi juga selalu
dilaksanakan setelah adanya perbaikan apabila terjadi kerusakan alat selama
periode survei. Pekerjaan survei Batimetri tidak boleh dilaksanakan pada keadaan
ombak dengan ketinggian lebih dari 1,5m bila tanpa heave compensator, atau
hingga 2,5m bila menggunakan heave compensator (Anonim : 2001).
Pemetaan batimetri secara umum dapat menggunakan dua metode dasar,
yaitu metode akustik dan metode satelit altimetri.
Metode akustik merupakan proses-proses pendeteksian target di laut dengan
mempertimbangkan proses-proses perambatan suara; karakteristik suara
(frekuensi, pulsa, intensitas); faktor lingkungan / medium; kondisi target dan
lainnya. Aplikasi metode ini dibagi menjadi 2, yaitu sistem akustik pasif dan
sistem akustik aktif. Salah satu aplikasi dari sistem aplikasi aktif yaitu Sonar yang
digunakan untuk penentuan batimetri. Sonar (Sound Navigation And Ranging)
berupa sinyal akustik yang diemisikan dan refleksi yang diterima dari objek dalam
air (seperti ikan atau kapal selam) atau dari dasar laut. Bila gelombang akustik
bergerak vertikal ke dasar laut dan kembali, waktu yang diperlukan digunakan
untuk mengukur kedalaman air, jika c juga diketahui (dari pengukuran langsung
atau dari data temperatur, salinitas dan tekanan). Ini adalah prinsip echo-sounder
yang sekarang umum digunakan oleh kapal-kapal sebagai bantuan navigasi. Echo-
sounder komersil mempunyai lebar sinar 30-45 derajat vertikal tetapi untuk
aplikasi khusus (seperti pelacakan ikan atau kapal selam atau studi lanjut dasar
laut) lebar sinar yang digunakan kurang 5 derajat dan arahnya dapat divariasikan.
Walaupun menunjukkan pengaruh temperatur, salinitas dan tekanan pada laju
bunyi dalam air laut (1500 ms-1) relatif kecil dan sedikit perubahan dapat
menyebabkan kesalahan pengukuran kedalaman dan kesalahan sudut akan
menambah keburukan resolusi. Teknik echo-sounding untuk menentukan
kedalaman dan pemetaan dasar laut bertambah maju dengan berkembangnya
peralatan sonar seperti SeaBeam dan Hydrosweep yang merupakan sistem echo-
sounding multi-beam yang menentukan kedalaman air di sepanjang swath lantai
laut di bawah kapal penarik, menghasilkan peta-peta batimetri yang sangat detail.
Sidescan imaging system, sperti GLORIA (Geological Long Range Inclined
Asdic), SeaMARC, dan TOBI (Towed Oceand Bottom Instrument) menghasilkan
fotografi aerial yang sama atau citra-citra radar, menggunakan bunyi atau
microwave. Echo-sounding banyak juga digunakan oleh nelayan karena ikan
menghasilkan echo, dan kawanan ikan atau hewan lain dapat dikenali sebagai
lapisan-lapisan sebaran dalam kolom air (Supangat, 2003).
Teknologi akustik bawah air biasa disebut hydroacoustic atau underwater
acoustics yang semula ditujukan untuk kepentingan militer telah berkembang
dengan sangat pesat dalam menunjang kegiatan non-militer. Dengan teknologi
mutahir, teknologi akustik bawah air dapat digunakan untuk kegiatan penelitian,
survey kelautan dan perikanan baik laut wilayah pesisir maupun laut lepas
termasuk laut dalam bahkan dapat digunakan diperairan dengan kedalaman
sampai dengan 6000 meter. Teknologi akustik bawah air dapat digunakan untuk
mendeteksi sumberdaya hayati dan non-hayati baik termasuk survey populasi ikan
yang relatif lebih akurat, cepat dan tidak merusak lingkungan dibandingkan
dengan teknik lain seperti metode statistik dan perhitungan pendaratan ikan di
pelabuhan (fish landing data) (Anonim 1999).
Satelit Altimetri. Altimetri adalah Radar (Radio Detection and Ranging)
gelombang mikro yang dapat digunakan untuk mengukur jarak vertikal antara
permukaan bumi dengan wahana antariksa (satelit atau pesawat terbang).
Pengukuran ini dapat menghasilkan topografi permukaan laut sehingga dapat
menduga geoid laut, arus permukaan dan ketinggian gelombang. Inderaja altimetri
untuk topografi permukaan laut pertama kali dikembangkan sejak peluncuran
SKYLAB dengan sensor atau radiometer yang disebut S-193. Satelit altimetri
yaitu : GEOS-3, SEASAT, ERS-1, dan yang terakhir yang sangat terkenal adalah
TOPEX/POSEIDON. Satelit terakhir ini adalah satelit misi bersama antara
Amerika Serikat (NASA) dengan Perancis (Susilo, 2000).
Satelit altimetri memiliki prinsip penggambaran bentuk paras laut dimana
bentuk tersebut menyerupai bentuk dasar laut dengan pertimbangan gravitasi yang
mempengaruhi paras laut dan hubungan antara gravitasi dan topografi dasar laut
yang bervariasi sesuai dengan wilayah. Satelit altimetri juga memberikan bentuk
gambaran paras muka laut. Satelit ini mengukur tinggi paras muka laut relatif
terhadap pusat massa bumi. Sistem satelit ini memiliki radar yang dapat mengukur
ketinggian satelit di atas permukaan laut dan sistem tracking untuk menentukan
tinggi satelit pada koordinat geosentris. Satelit Altimetri diperlengkapi dengan
pemancar pulsa radar (transmiter), penerima pulsa radar yang sensitif (receiver),
serta jam berakurasi tinggi. Pada sistem ini, altimeter radar yang dibawa oleh
satelit memancarkan pulsa-pulsa gelombang elektromagnetik kepermukaan laut.
Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan balik oleh permukaan laut dan diterima kembali
oleh satelit. Informasi utama yang ingin ditentukan dengan satelit altimetri adalah
topografi dari muka laut. Hal ini dilakukan dengan mengukur ketinggian satelit di
atas permukaan laut dengan menggunakan waktu tempuh dari pulsa radar yang
dikirimkan kepermukaan laut, dan dipantulkan kembali ke satelit
(Ruwaida : 2010).
PERMASALAHAN PEMETAAN BATIMETRI. Untuk mengerjakan
pemetaan batimetri diperlukan perencanaan yang matang, mulai dari tahap awal
hingga didapatkan hasil akhir. Namun, kendala dan permasalahan bisa saja terjadi
pada saat perencanaan maupun pengerjaannya. Permasalahan pada tahap
perencanaan bisa diakibatkan karena tidak tersedianya peta dasar daerah yang
diinginkan. Diperlukan peta batimetri keluaran Dinas Hidro Oseanografi
(Dishidros) TNI AL, peta dapat berupa peta konvensional maupun peta digital.
Mengikuti perkembangan zaman, maka kini lebih banyak digunakan peta digital.
kalau peta batimetri digitalnya kita sudah punya, langkah lebih lanjut yang
diperlukan adalah bagaimana mengekstrak data batimetri dari peta-peta digital itu
untuk daerah model yang kita inginkan, karena peta digital yang ada masih
mencakup area global (seluruh dunia). Kalau yang sudah biasa dengan
pemrograman dan familiar dengan bahasa Fortran atau C mungkin tidak begitu
masalah, bisa membuat program sendiri karena info tentang format penyimpanan
data yang digunakan juga dapat dibaca di dokumentasi mereka (Winardhi : 2004).
Jika peta dasar telah didapat dan dibuat rencana pengerjaan, maka masalah
selanjutnya terdapat pada kondisi di lapangan. Dapat terjadi kondisi di lapangan
tidak sesuai dengan peta dasar atau keadaan laut yang tidak bisa diprediksi. Setiap
area perairan tersebut mempunyai karakter yang berbeda satu sama lainnya
demikian pula perbedaan dengan laut wilayah subtropis. Hal ini ditentukan oleh
kondisi geografis masing-masing area perairan, pola arus, perubahan temperatur
dan salinitas, kedalaman air dan lain-lain. Atau dapat saja terjadi perubahan
geomorfologi dasar laut, seperti pada Madura yang sering disebut sebagai
Cekungan Moderen dan cenderung terus menurun dari hasil penelitian-
penelitian terdahulu. Pemetaan beberapa kawasan laut seperti pada kawasan
pesisir juga tidak mudah. karena sangat berbahaya (dangkal) dan kondisi substrat
(tekstur) dasarnya tidak beraturan. Dengan kondisi seperti itu maka pemetaan
perairan dangkal dengan metode konvensional, akan memakan waktu dan biaya
yang sangat tinggi. Teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing) memberikan
peluang untuk pemetaan batimetri perairan dangkal secara efektif dan efisien,
terutama untuk daerah yang belum ada data atau daerah yang berubah secara cepat
(Anonim 2007).
Penentuan posisi kapal survei dilaksanakan menggunakan GPS receiver
dengan metode Real Time Differential (DGPS) dengan mengikuti prinsip survei
yang baik dan menjamin tidak adanya keraguan atas posisi yang dihasilkan.
Lintasan kapal survei dipantau setiap saat melalui layar monitor atau diplot pada
kertas dari atas anjungan. Sistim komputer navigasi memberikan informasi satelit
GPS seperti: nomer satelit yang digunakan, PDOP dan HDOP. Elevation mask
setiap satelit diset pada ketinggian minimum 10 derajat. Bila DGPS yang
digunakan menggunakan shore base station, satu GPS receiver dipasang di atas
kapal survei dan satu lagi di atas titik berkoordinat di darat (shore base station).
Selama akuisisi data, koreksi differential dimonitor dari atas kapal pada sistim
navigasi. Sistim komputer navigasi menentukan posisi setiap detik, dan jika perlu,
logging data ke hardisk komputer dapat ditentukan setiap 1, 5 atau 10 detik
sebagai pilihan (Kamajaya : 1996).
Survei investigasi bawah air (side scan sonar) dimaksudkan untuk
mendapatkan kenampakan dasar laut, termasuk lokasi dan luasan obyek-obyek
yang mungkin membahayakan. Dual-channel Side Scan Sonar System dengan
kemampuan cakupan jarak minimal hingga 75m digunakan untuk mendapatkan
data kenampakan dasar-laut (seabed features) di sepanjang koridor yang sama
dengan survei Batimetri. Skala penyapuan yang digunakan diatur sedemikian rupa
sehingga terjadi overlap minimal 50% untuk area survei yang direncanakan.
Lajur-lajur survei side scan sonar dapat dijalankan bersamaan dengan
pelaksanaan survei Batimetri dan/atau disesuaikan dengan kedalaman laut
sehingga cakupan minimal tersebut dapat terpenuhi. Apabila
menggunakan towfish yang ditarik, panjang kabel towfish tersedia cukup agar
tinggi towfish di atas dasar laut dapat dijaga kira-kira 10% dari lebar cakupan/
penyapuan yang dipilih. Towfish sebaiknya dioperasikan dari winch bermotor
lengkap dengan electrical slip rings. Rekaman data sonar dikoreksi untuk tow fish
lay back dan slant range. Apabila menggunakan towfish yang dipasang pada
lambung kapal (vessel-mounted), sistim dilengkapi dengan heave compensator
untuk mereduksi pengaruh gelombang. Sistem yang digunakan mampu
menghasilkan clear record dari keadaan dasar laut, identifikasi adanya wrecks,
obstacles, debris, sand waves, rock outcrops, mud flows atau slides dan sedimen.
Kemungkinan adanya bahaya atau keadaan dasar laut yang perlu mendapatkan
perhatian khusus dilakukan investigasi untuk memperjelas jenis dan ukuran
bahaya tersebut. Investigasi tersebut dapat dilaksanakan dengan menjalankan lajur
yang lebih rapat pada arah yang berbeda dengan lajur umum yang telah dijalankan
sebelumnya. Penentuan posisi menggunakan jarak atau waktu tertentu ditandai
pada rekaman sonar. Data jarak antara towfish dan antena GPS, termasuk setiap
perubahan jarak ini, harus dicatat secara tertib pada Operators Log selama survei
berlangsung untuk keperluan pengolahan data lebih lanjut (Soewito : 1992).
Survey Sub Bottom Profiler bertujuan untuk investigasi dan identifikasi
lapisan sedimen dekat dengan permukaan dasar-laut (biasanya hingga 10m) dan
untuk menentukan informasi penting yang berhubungan dengan stratifikasi dasar
laut. Survei SBP dapat dilaksanakan bersamaan dengan survei Batimetri dan Side
Scan Sonar. Survei SBP dilaksanakan mencakup sepanjang koridor survey dengan
lebar bervariasi. Lajur utama dijalankan dengan interval 100 meter dan lajur
silang (cross line) dengan interval 1.000 meter. Kemudian setelah rencana jalur
ditetapkan, lajur utama kembali dijalankan sebanyak 3 lajur dengan interval 50
meter, dimana satu lajur dijalankan tepat di tengah-tengah rencana jalur kabel.
System Parametric Subbottom Profiling (atau system lain yang dapat memberikan
data sepadan) digunakan untuk mendapatkan rekaman data permanent secara
grafis atas profil dasar laut dan perlapisan di bawahnya dengan penetrasi dan
resolusi optimum di seluruh kedalaman sepanjang koridor rencana jalur kabel.
Untuk mencapai maksud ini, peralatan dioperasikan sesuai dengan petunjuk
pabrik dan diset untuk mendapatkan rekaman data optimum. Sub-bottom profiler
memberikan rekaman data secara grafis dengan jelas pada skala dan resolusi yang
jelas. Jarak antara transducer/hydrophone dan antena GPS dicatat secara tertib
pada Operators Log dan kemudian diperhitungkan pada saat pekerjaan
interpretasi. Survei Sub-bottom Profiling tidak boleh dilaksanakan pada cuaca
berombak karena sangat mempengaruhi kualitas data, kecuali apabila
menggunakan heave compensator. Kemungkinan terjadinya noise yang bersumber
dari mesin atau kapal survei harus diupayakan seminimal mungkin dengan
berbagai cara. Panjang kabel seismic source dan hydrophone (bila menggunakan
sistem demikian) disediakan cukup sehingga memungkinkan diulur pada jarak
yang dapat memberikan rekaman data optimum (Setiawan : 2002).

BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin, 26 September 2011,
pukul 13.30WIB sampai 15.30, bertempat di Laboratorium Oseanografi,
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Sriwijaya, Inderalaya.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah kalkulator, penggaris, dan pensil.
sedangkan bahan yang digunakan peta batimetri dan kertas milimeter block.
3.3. Cara Kerja















Perhitungan kedalaman perairan berdasarkan perambatan gelombang
suara dalam air
Membuat irisan melintang profil dasar perairan berdasarkan kontur dua
dimensi
Interpolasi kedalaman perairan berdasarkan sebaran kedalam yang ada
Membuat garis isodepth dengan interval tertentu
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Dari praktikum yang telah dilakukan, di dapatkan hasil menentukan arah
tanpa alat navigasi selain mengguanakan alat-alat navigasi, kita juga dapat
menggunakan arah mata angin dengan tanda-tanda alam dan buatan, yaitu: tanda-
tanda alam yaitu matahari, bulan dan rasi bintang, tanda-tanda buatan yaitu
masjid, kuburan dan kompas sendiri dari jarum/silet yang bermagnet dan
diletakkan di atas permukaan air, flora-fauna: tajuk pohon yang lebih lebat
biasanya berada di sebelah barat, lumut-lumutan Parmelia sp. dan Politrichum sp.
biasanya hidup lebih baik (lebat) pada bagian barat pohon, tumbuhan pandan
hutan biasanya cenderung condong ke arah timur, sarang semut/serangga biasanya
terletak di sebelah barat pepohonan.
Kita juga dapat mengetahui yang mana bujur dan yang mana disebut
sebagai lintang karena itu hal mudah tapi terkadang membuat praktikan keliru
untuk membedakannya , adapun hasil dari praktikum mengenai batimetri dan
navigasi adalah kita dapat mengetahui atau membaca skala yang biasanya terdapat
dalam peta yang terkadang masih ada yang tidak bias untuk membacanya yaitu
jarak di dalam peta diukur dgn centimeter dan jarak di lapangan diukur dengan
kilometer.
Selain itu kita juga dapat mengetahui dan memahami istilah-istilah
didalam praktikum ini seperti apa itu echousounder , azimuth , windrose , isobath,
fathom dan lain sebagainya masih banyak istilah yang lainnya yang dipelajari dari
praktikum pengantar oseanographi dan banyak manfaat yang bias kita dapatkan.
Selain itu kita sebagai praktikan dapat juga menggambar dan
menggabungkan titik-titik isobath yaitu titik-titik dimana mempunyai kedalaman
yang sama atau hamper mendekati sama , selain itu kita juga dapat menghitung
satuan waktu atau mengkonversikan waktu dilapangan dari derajat ke jam , dari
menit ke jam dari detik ke derajat dan begitu pun sebaliknya.

4.2. Pembahasan
Dari praktikum yang telah di laksanakan tentang batimetri dan navigasi, di
ketahui bahwa batimetri itu merupakan ilmu yang mempelajari tentang mengukur
kedalaman adapun batimetri itu merupakan ukuran tinggi rendahnya dasar laut
dimana peta batimetri memeberikan informasi mengenai dasar laut , aplikasi dari
batimetri itu sendiri bisa berupa metode akustik merupakan proses-proses
pendeteksian target di laut dengan mempertimbangkan proses-proses perambatan
suara; karakteristik suara (frekuensi, pulsa, intensitas); faktor lingkungan atau
medium kondisi target dan lainnya. Aplikasi metode ini dibagi menjadi 2, yaitu
sistem akustik pasif dan sistem akustik aktif. Salah satu aplikasi dari sistem
aplikasi aktif yaitu Sonar yang digunakan untuk penentuan batimetri.Sonar (Sound
Navigation And Ranging): Berupa sinyal akustik yang diemisikan dan refleksi
yang diterima dari objek dalam air (seperti ikan atau kapal selam) atau dari dasar
laut. Bila gelombang akustik bergerak vertikal ke dasar laut dan kembali, waktu
yang diperlukan digunakan untuk mengukur kedalaman air, jika c juga diketahui
(dari pengukuran langsung atau dari data temperatur, salinitas dan tekanan).Ini
adalah prinsip echo-sounder yang sekarang umum digunakan oleh kapal-kapal
sebagai bantuan navigasi. Echo-sounder komersil mempunyai lebar sinar 30-45o
vertikal tetapi untuk aplikasi khusus (seperti pelacakan ikan atau kapal selam atau
studi lanjut dasar laut) lebar sinar yang digunakan kurang 5o dan arahnya dapat
divariasikan. Walaupun menunjukkan pengaruh temperatur, salinitas dan tekanan
pada laju bunyi dalam air laut (1500 ms-1) relatif kecil dan sedikit perubahan
pada c dapat menyebabkan kesalahan pengukuran kedalaman dan kesalahan sudut
akan menambah keburukan resolusi.
Teknik echo-sounding untuk menentukan kedalaman dan pemetaan dasar
laut bertambah maju dengan berkembangnya peralatan sonar seperti SeaBeam dan
Hydrosweep yang merupakan sistem echo-sounding multi-beam yang
menentukan kedalaman air di sepanjang swath lantai laut di bawah kapal penarik,
menghasilkan peta-peta batimetri yang sangat detail. Sidescan imaging system,
sperti Gloria ( Geological Long Range Inclined Asdic ), dan Tobi (Towed Oceand
Bottom Instrument ) menghasilkan fotografi aerial yang sama atau citra-citra
radar, menggunakan bunyi atau microwave. Echo-sounding banyak juga
digunakan oleh nelayan karena ikan menghasilkan echo, dan kawanan ikan atau
hewan lain dapat dikenali sebagai lapisan-lapisan sebaran dalam kolom air.
Selain itu yang dimaksud dengan garis kontur itu sendiri adalah garis
khayal dilapangan yang menghubungkan titik dengan ketinggian yang sama atau
garis kontur adalah garis kontinyu diatas peta yang memperlihatkan titik-titik
diatas peta dengan ketinggian yang sama. Nama lain garis kontur adalah garis
tranches, garis tinggi dan garis tinggi horizontal. Garis kontur + 25 m, artinya
garis kontur ini menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian sama + 25
m terhadap tinggi tertentu. Garis kontur disajikan di atas peta untuk
memperlihatkan naik turunnya keadaan permukaan tanah. Aplikasi lebih lanjut
dari garis kontur adalah untuk memberikan informasi slope (kemiringan tanah
rata-rata), irisan profil memanjang atau melintang permukaan tanah terhadap jalur
proyek (bangunan) dan perhitungan galian serta timbunan (cut and fill)
permukaan tanah asli terhadap ketinggian vertikal garis atau bangunan. Garis
kontur dapat dibentuk dengan membuat proyeksi tegak garis-garis perpotongan
bidang mendatar dengan permukaan bumi ke bidang mendatar peta. Karena peta
umumnya dibuat dengan skala tertentu, maka untuk garis kontur ini juga akan
mengalami pengecilan sesuai skala peta.
Adapun pengertian dari nautical miles itu sendiri kecendrungan kita untuk
menyatakan jarak atau satuan panjang. Perlu kita ketahui bahwa ternyata
penggunaan satuan mil laut memiliki cakupan yang cukup luas. Mil laut
digunakan di seluruh dunia untuk keperluan maritim dan penerbangan. Satuan
jarak ini biasa digunakan pada hukum dan perjanjian internasional, terutama
menyangkut batas wilayah perairan. Nautical mile (Mil laut) adalah suatu satuan
jarak atau panjang yang diterima penggunaannya oleh Sistem Internasional
Satuan, tapi bukan bagian dari satuan SI (Satuan Internasional). Satuan mil laut
didasarkan pada kelengkungan bumi. Tiap 1 mil laut menyatakan 1/60 derajat
garis bujur yang memotong khatulistiwa atau 6.082,66 kaki (1.853,99 m).
Cara pengukuran kedalaman laut dapat dilakukan dengan cara batu duga
yaitu Yaitu sistem pengukuran dasar laut menggunakan kabel yang dilengkapi
bandul pemberat yang massanya berkisar 25-75 kg , dan juga dengan gema suara
yaitu metode pengukuran dasar laut dengan menggunakan alat gema suara yaitu
echosounder dan hidrofon. Echo Sounder adalah alat pengirim suara, sedangkan
hidrofon adalah penerima gema suara, dasar perhitungan kedalaman laut dengan
gema adalah cepat rambat bunyi dalam air yaitu 1500 m/detik.

BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini yaitu :
1. Dapat mengukur kedalaman laut dengan cara yang mudah.
2. Dapat mengetahui bentuk-bentuk dasar laut seperti ridge dan rise, trench,
basin, Island arc, atol dan lainnya.
3. Kita dapat menngetahui apa itu garis latitude atau lintang dan juga longitude
atau disebut dengan bujur dan letak bujur atau lintang tersebut.
4. Bisa menghitung atau mengkonversikan waktu terhadap derajat adapun
sebaliknya.
5. Dapat mengetahui dan menghubungkan titik-titik isobaths dan isodeph.

Daftar Pustaka
Kanginan,Martin. 2002. Fisikia Dasar.Jakarta : Erlangga
Hutabarat,Sahala. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta : UI
Nontji,Anugerah. 2002. Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan
Annisa. 2008. Annisa.blogspot.com/batimetri. Diakses tanggal
24 September 2011 pukul 20.00
Soewito. 2009. soewito.blogspot.com/batimetri. Diakses tanggal 24 Sepetember
2011 pukul 20.00

Anda mungkin juga menyukai