Anda di halaman 1dari 72

UPAYA POLRI DALAM MENGUNGKAP KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA/KDRT
(STUDI DI POLRES LAMONGAN)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi sebagian Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan
Dalam Ilmu Hukum
Di susun oleh :
IRMA SYAHFITRI
0210100148
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2007
UPAYA POLRI DALAM MENGUNGKAP KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA/KDRT
(STUDI DI POLRES LAMONGAN)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi sebagian Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan
Dalam Ilmu Hukum
Di susun oleh :
IRMA SYAHFITRI
0210100148
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2007
LEMBAR PERSETUJUAN
UPAYA POLRI DALAM MENGUNGKAP KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA/KDRT (STUDI DI POLRES LAMONGAN)
Di susun oleh :
IRMA SYAHFITRI
0210100148
Disetujui pada : April 2007-05-17
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
KOESNO ADI, SH,MS PAHAM TRIYOSO, SH,MH
NIP. 130531853 NIP. 131124661
Mengetahui
Kepala Bagian Hukum Pidana
SETIAWAN NURDAYASAKTI, SH,MH
NIP. 131839360
LEMBAR PERSETUJUAN
UPAYA POLRI DALAM MENGUNGKAP KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA/KDRT (STUDI DI POLRES LAMONGAN)
Di susun oleh :
IRMA SYAHFITRI
0210100148
Disetujui pada : April 2007-05-17
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
KOESNO ADI, SH,MS PAHAM TRIYOSO, SH,MH
NIP. 130531853 NIP. 131124661
Kepala Bagian Hukum Pidana Ketua Majelis
SETIAWANNURDAYASAKTI, SH,MH SETIAWANNURDAYASAKTI,SH, MH
NIP. 131839360 NIP. 131839360
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang
HERMAN SURYOKUMORO, SH,MS
NIP. 131472741
ABSTRAKSI
IRMA SYAHFITRI, 0210100148, Hukum Pidana, Upaya Polri Dalam Mengungkap
Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT (Studi Kasus di Polres Lamongan), Koesno
Adi, SH, MS; Paham Triyoso, SH,MH
Semakin banyak dan tingginya tingkat prosentase kasus-kasus KDRT pada jaman
sekarang ini, menunjukkan bahwa belum efektifnya upaya-upaya yang dilakukan oleh
Polri dalam menangani kasus-kasus KDRT tersebut. Selain hal di atas semakin
meningkatnya kasus-kasus KDRT dikarenakan KDRT masih dianggap tabu oleh
sebagian masyarakat kita, jadi untuk mengungkapkan dan membukanya di muka umum
masyarakat cenderung malu karena hal tersebut menyangkut masalah intern keluarga.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi di wilayah hokum Polres
Lamongan dan yang masuk pada unit RPK ini banyak menimpa wanita yang berstatus
sebagai istri dan dilakukan oleh pria yang tidak lain adalah suami dari si korban. Faktor-
faktor yang mendasari terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah factor fisik
dan ekonomi, dimana kedudukan pria lebih memungkinkan dia untuk melakukan KDRT
dan juga factor bahwa sebagian masyarakat masih menganggap KDRT adalah hal yang
tabu untuk di buka di muka umum. Polres Lamongan dalam menangani kasus KDRT ini
menempuh dengan 2 jalan yaitu dengan cara penegakan hokum dan kekeluargaan.
Apabila dengan cara kekeluargaan dapat dicapai kata damai maka cara dengan
penegakkan hokum tidak diambil, tetapi apabila cara kekeluargaan tidak dicapai kata
damai maka cara yang ditempuh adalah dengan penegakkan hukum.
Kesimpulannya kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi di
wilayah hokum Polres Lamongan banyak menimpa wanita antara usia 21 sampai dengan
30 tahun. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah factor fisik, ekonomi, dan kecenderungan sebagian masyarakat yang menganggap
KDRT adalah hal yang tabu untuk dipublikasikan Upaya-upaya yang dilakukan oleh
Polres Lamongan adalah dengan perlindungan hokum dan kekeluargaan.
Saran agar dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat luas
tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga nantinya korban dapat lebih kuat
untuk melakukan perbuatan guna membela hak-haknya. Dapat meningkatkan kerjasama
antara LSM, kepolisian dan masyarakat juga pihak-pihak terkait yang focus pada masalah
KDRT untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur keharidat Allah SWT, atas segala rahmat dan
karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsinya dengan judul :
UPAYA POLRI DALAM MENGUNGKAP KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA/KDRT (STUDI KASUS DI POLRES LAMONGAN)
Dalam penelitian ini ingin mengetahui bagaimana upaya Polri dalam mengungkap
kasus KDRT di daerah Lamongan. Sehingga pada akhirnya kasus-kasus KDRT yang
pada saat ini semakin meningkat nantinya dapat lebih berkurang. Dalam penyelesaian
skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
terhormat sebagai berikut :
1. Bapak Herman Suryokumuro, SH,MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.
2. Bapak Setiawan Nurdayasakti, SH,MH selaku Kepala Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
3. Bapak Koesni Adi SH,MS dan Bapak Paham Triyoso, SH,MH selaku dosen
pembimbing utama dan pendamping yang telah dengan sabar memberikan
petunjuk serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang telah
mengasuh dan memberikan bekal ilmu selama penulis kuliah.
5. Bapak Agus I Supriyanto selaku Kapolres Lamongan.
6. Aipda Sri Iswati dan Brigadir Lucy selaku narasumber di bagian RPK Polres
Lamongan.
7. Ayah dan Umi, Kakak dan adikku yang telah memberi dorongan dan doa restu
baik moral maupun material selama ini.
8. Papa dan Mamaku, suami dan anakku Davina, Kakak iparku terima kasih atas
semuanya.
9. Mas Haris, Mbak Nila Indhana, Candra sekeluarga dan Feronica tanpa kalian aku
bukan apa-apa.
10. Teman-taman kampusku Ina, Ade, Mbak Inul, Adi, Djuprek, Oliph, Gultom,
Bontang, Canang, Rara, Sandra, Sisil, Geofani dan masih banyak lagi thank ya???
11. Vivin, Sitank, Nita, Gimbal, Santi, Netty kita tetap akan selalu bersahabat key.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayahnya kepada
semua pihak yang telah memberikan segala bantuan dan dorongan yang tersebut diatas.
Skripsi ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang
hati menerima kritik demi perbaikan. Kepada peneliti lain mungkin masih bisa
mengembangkan hasil penelitian dengan ruang lingkup yang lebih luas dan analisis yang
lebih tajam. Akhirnya semoga skripsi ini ada manfaatnya.
Malang, April 2007
Penulis
(IRMA SYAHFITRI)
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAKSI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 5
E. Metode Penelitian 6
F. Sistematika Penulisan 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang KDRT 11
1. Teori-teori Kekerasan 11
2. Pengertian Kekerasan Secara Umum 16
3. Pengertian Kekerasan Terhadap Istri 25
4. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Istri 27
5. Pengertian KDRT 32
6. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya KDRT 35
B. Pengertian, Tugas, Fungsi dan Wewenang Kepolisian Republik
Indonesia (POLRI) 38
1. Pengertian Tugas dan Fungsi POLRI 38
2. Wewenang Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) 40
C. Penyelidikan dan Penyidikan
1. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan 41
2. Pengertian Penyidik dan Penyidikan 41
3. Macam-Macam Penyidik 47
4. Asas-Asas Polri dalam Melakukan Penyelidikan
dan Penyidikan 51
BAB III : PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Polres Lamongan 53
B. Gambaran Umum J umlah Kasus KDRT 59
C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya KDRT 63
D. Upaya-upaya Yang dapat Dilakukan dalam Menanggulangi
Kasus KDRT 65
BAB IV : PENUTUP
1. Kesimpulan 69
2. Saran 69
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
1. Data J umlah Kasus yang masuk Pada
Unit RPK Polres Lamongan 59
2. Data Posisi Kasus KDRT 60
3. Data J umlah Pelaku KDRT
Berdasarkan J enis Kelamin 61
4. Data J umlah Korban KDRT
Berdasarkan J enis Kelamin 62
5. Data J umlah Korban KDRT
Berdasarkan Umur 62
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Banyaknya kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan
berbagai modus atau alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga semakin meningkat dari tahun ketahun. Menurut Komnas
Perempuan yang mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat terus dari
tahun ke tahun, tahun 2004 misalnya menyebutkan sebanyak 14.020 perempuan yang
menjadi korban kekerasan. Ini meningkat sekitar 100% dari tahun sebelumnya yaitu
7.787 orang pada tahun 2003. Tindak Kekerasan Dalam rumah tangga menurut Pasal 5
Undang-Undang no.23 tahun 2004 terdiri dari berbagai bentuk antara lain.
1. Kekerasan fisik
Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2. Kekerasan Psikis
Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya diri, dan atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan seksual
Meliputi :
a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut.
b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
untuk tujuan komersil dari atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran rumah tangga
Meliputi :
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2. Penelusuran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada
dibawah kendali orang tersebut.
Sedangkan menurut pasal 2 Undang-Undang no.23 tahun 2004 lingkup rumah tangga
adalah :
1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. suami, istri, dan anak
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan dan perwalian yang mencakup dalam rumah tangga dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga tersebut.
2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Fakta kekerasan terhadap perempuan ini didukung oleh pernyataan mantan
Meneteri Negara Pemberdayaan Perempuan Kholifah Indar Parawansah yang
mengatakan bahwa tingkat kekerasan yang dialami perempuan Indonesia sangat tinggi.
Tindak kekerasan dominan yang dialami oleh perempuan Indonesia adalah kekerasan
domestik/KDRT.
Fenomena kekerasan tidak terlepas dari realitas yang ada pada masyarakat kita
sekarang ini yang secara kultural masih enggan untuk mengakui persamaan laki-laki dan
perempuan. Sikap ini seringkali dikuatkan oleh berbagai macam ajaran agama, adat
istiadat, dan budaya yang masih dianut saat ini. Permasalahan KDRT masih dianggap
tabu untuk dibicarakan sebagai permasalahan publik. Masyarakat masih beranggapan
bahwa tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan masalah privat yang
hanya menyangkut intern keluarga saja. J adi tidak jarang para korban KDRT tersebut
tidak melaporkan akan adanya KDRT yang menimpa dirinya.
Tingginya kasus-kasus terhadap perempuan terutama KDRT ini mengindikasikan
bahwa masih lemahnya upaya aparat yang berwajib dalam menangani atau mengatasi
permasalahan KDRT tersebut. Dan hal ini mengakibatkan tindak kekerasan terhadap
perempuan terutama KDRT semakin meningkat.
Berbagai upaya dan langkah juga telah dilakukan untuk menangani permasalahan
kekerasan terhadap perempuan terutama KDRT, akan tetapi fakta yang terjadi ternyata
jumlah korban dari kasus ini justru semakin meningkat dari tahun ketahun. Hal ini
menggambarkan belum efektifnya kebijakan perlindungan dan upaya-upaya Polri dalam
mengungkap kasus-kasus KDRT dan juga upaya untuk memberikan perlindungan
terhadap tindak kekerasan perempuan terutama KDRT.
Oleh karena hal tersebut diatas, sangatlah dibutuhkan adanya penanganan yang
serius dari aparat yang berwajib dalam hal ini Polri untuk memberikan perlindungan
hukum yang kuat kepada para korban kekerasan terhadap perempuan terutama korban
dari KDRT, selain dari pada itu pihak Polri juga harus tetap mengacu pada ketentuan
yang terdapat dalam Undang-Undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Seperti yang tersebut dalam pasal 10 (a) UU No.23 tahun 2004
bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Pihak Kepolisian
juga berhak untuk memberi perlindungan sementara pada korban KDRT dalam waktu
1x24 terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT, hal ini sesuai dengan
pasal 16 ayat 1 UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Ketentuan seperti
yang telah disebutkan diatas dimaksudkan agar setiap korban dari KDRT ini bisa merasa
terlindungi dan merasa aman setelah melaporkan adanya tindak kekerasan dalam rumah
tangga yang menimpa dirinya.
Penelitian ini mencoba mengangkat bagaimana upaya Polri dalam menangani
kasus-kasus KDRT sebagai salah satu cara untuk melakukan perlindungan bagi kaum
perempuan terhadap tindak-tindak kekerasan yang terjadi dalam lingkup keluarga. Dalam
penelitian ini lebih memberi perhatian pada penggambaran secara jelas mengenai
masalah-masalah KDRT dan upaya polisi untuk menangani kasus-kasus KDRT tersebut,
dengan mengungkap yang sesungguhnya tentang berbagai hal yang menyangkut atau
terkait dengan permasalahan dan perlindungan KDRT.
Dilatar belakangi hal tersebut diatas, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih
lanjut upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh Polri untuk mengungkap kasus-
kasus tentang KDRT. Adapun penelitian ini akan dilakukan diwilayah hukum Polres
Lamongan
B. Rumusan Masalah
1) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga?
2) Apa saja upayayang dilakukan oleh Polri (Polres Lamongan) dalam mengungkap
kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga / KDRT ?
C Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya KDRT
2) Untuk mengetahui dan mendeskripsikan upaya-upaya apa saja yang telah
dilakukan Polri dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga /
KDRT pada Polres Lamongan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
Bagi Peneliti
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mengetahui secara empiris kiat-
kiat Polri dalam mengungkap berbagai kasus KDRT serta berbagai faktor yang
menyebabkan terjadinya KDRT.
Bagi pihak Kepolisian
Sebagai masukan kepada aparatur hukum khususnya Polri dalam menangani dan
mengambil tindakan dalam upaya-upaya mengungkanp kasus-kasus tentang KDRT pada
Polres Lamongan.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berdasarkan pada
metode dan sistematika, dengan jalan menganalisa secara mendalam suatu fakta hukum
untuk mengusakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul. Agar
penelitian ini dapat menghasilkan pemecahan yang sesuai dengan pokok permasalahan
maka digunakan metode sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Dalam mengadakan pendekatan masalah dipergunakan pendekatan yuridis
sosiologis, Metode pendekatan yuridis sosiologis yaitu dengan mengkaji ketentuan
hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataan dimasyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum secara yuridis dapat berupa
inventaris hukum-hukum peratutan perundang-undangan yang berlaku dan penelitian
hukum secara sosiologis dapat berupa penelitian terhadap pengaruh berlakunya hukum
terhadap kehidupan masyarakat.
2. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Polres Lamongan berdasarkan survey awal dimana
pada Polres Lamongan cukup banyak dijumpai kasus-kasus tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
3. J enis dan Sumber data
a. Data primer
Data ini diperoleh langsung dari hasil wawancara yang dilakukan penulis untuk
memperoleh informasi dengan bertanya/interview langsung pada responden yaitu
anggota Polres Lamongan yaitu pada bagian RPK dan berjumlah dua orang yang
menangani masalah-masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Data Sekunder
Data ini diperoleh dari data-data yang ada di Polres Lamongan dan juga diperoleh
dari studi pustaka antara lain UU No. 23 tahun 2004, buku-buku dan literatur lain yang
berkaitan dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga
3. Tehnik pengumpulan data
Untuk memperoleh data di lapangan, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota Polri di Polres Lamongan,
sedangkan sampelnya adalah Unit RPK Polres lamongan. Responden Dalam penelitian
ini adalah Aipda Sri Iswati dan Brigadir Luci yang bertindak sebagai penyidik.
Pengambilan metode ini untuk mempermudah dalam melakukan penelitian. Selain
menggunakan metode dfiatas juga digunakan cara yang lain yaitu :
a. Interview, yaitu melakukan wawancara langsung kepada responden dalam hal ini
engoota kepolisian Polres Lamongan yang menangani kasus-kasus KDRT
Bentuk wawancara adalah dilakukan dengan bebas terpimpin yaitu dengan
mempersiapkan dahulu pertanyaan-petanyaan sebagai pedoman tetapi masih
dimungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika
wawancara dengan nara sumber.
Menurut Hadari Nawawi wawancara adalah pengumpulan informasi secara lisan
dengan tujuan menghimpun data berupa tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan,
motivasi, dan keinginan seseorang yang dilakukan terhadap obyek orang, sumber atau
instansi yang bersangkutan.
b. Dokumentasi
Yaitu dengan melakukan pencatatan atau mengcopy terhadap data-data yang
diperoleh dari Polres Lamongan dan buku-buku reverensi lainnya.
4. Tehnik analisa data
Dalam menganalisa data, tehnik atau metode yang digunakan adalah dengan cara
deskriptif analisis yaitu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan cara
memaparkan data yang diperoleh dengan pengamatan kepustakaan dan pengamatan
lapangan, kemudian dianalisa dan diinterpretasikan dengan memberikan kesimpulan.
Menurut Winarno Surakhmad yang dimaksud analisa deskriptif adalah memusatkan
diri pada masalah-masalah yang ada di masa sekarang yang bersifat actual kemudian data
yang ada dikumpulkan, disusun, dijelaskan serta dianalisa.
F. Sistematika penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang pengambilan judul ini, rumusan masalah yang hendak diangkat,
tujuan penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah dan manfaat penelitian yang
terdiri dari manfaat bagi penulis dan manfaat bagi Kepolisian. J uga metode penelitian
yang terdiri dari pendekatan masalah, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, tehnik
pengumpulan data, tehnik analisa data dan yang terakhir adalah sistematika penulisan.
BAB II TINJ AUAN PUSTAKA
Berisi tentang teori-teori kekerasan, pengertian kekerasan secara umum,
pengertian kekerasan terhadap istri, bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri, pengertian
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan Dalam
Rumah Tangga, pengertian tugas, fungsi dan wewenang POLRI, penyelidikan dan
penyidikan, asas-asas polri dalam melakukan penyidikan.
BAB III PEMBAHASAN
Berisi analisa hasil temuan data di lapangan tentang permasalahan yang menjadi
kajian dalam skripsi ini dimana akan mampu menjerat kedua permasalahan sesuai dengan
rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini. Isi dalam bab ini memeberikan
gambaran tentang faktor-faktor yang mnyebabkan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dan upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh Polri dalam mengungkap
Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT di Polres Lamongan
BAB IV PENUTUP
Berisi kesimpulan dari kegiatan penelitian yang dilakukan berdasarkan
permasalahan yang menjadi fokus kajian serta saran sebagai sumbangsih pemikiran dari
penulis.

BAB II
TINJAUAN UMUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Teori-Teori Kekerasan
Pemikiran tentang teori-teori kekerasan sudah ada sejak dahulu kala dari
pemikiran Thomas Hobbes misalnya, sampai pada perkembangan pola pikir masyarakat
tentang kekerasan yang lebih modern, seperti pada masa Sigmund Freud, telah lahir
berbagai macam pandangan teoritis tentang kekerasan itu. Tiap-tiap teori tersebut
mencoba menggali jawaban atas pertanyaan yang sifatnya pun dinamis, berkaitan dengan
asal mula atau sebab akibat munculnya kekerasan. Tiap-tiap teori tersebut menunjukkan
perbedaan figur pelaku, korban maupun cara kekerasan yang dipergunakan, tergantung
dari lingkungan maupun relasi antara pelaku maupun korban. Akan tetapi yang dapat
diambil sebagai sebuah benang merah yang menghubungkan keterkaitan secara tidak
langsung dari satu teori dengan teori yang lain adalah bahwa kekerasan tersebut
dilakukan untuk mendapatkan sebuah kepentingan dari diri korban oleh pelaku dengan
menggunakan inti dari kekuatan diri, yaitu kekuasaan yang ada pada diri pelaku.
Dari kebanyakan teori yang membicarakan tentang kekerasan dapat dikategorikan
ke dalam dua golongan, yaitu teori kekerasan yang mendasarkan pengembangan
berpikirnya atas bentuk kekerasan individu dan teori kekerasan yang mendasarkan pada
bentuk kekerasan kolektif/kelompok. Akan tetapi dalam pengembangannya nanti,
perluasan konsep lebih banyak dilakukan terhadap teori kekerasan yang mendasarkan
pada pengembangan berpikir atas kekerasan kolektif.
Berkaitan dengan teori kekerasan yang mendasarkan pola pemikirannya atas
fenomena kekerasan individu, maka terdapat dua teori besar yang mencoba mencerna
tentang keberadaan kekerasan pada diri seseorang. Kedua teori tersebut antara lain adalah
teori kekerasan sosio-anthropologis dan teori kekerasan genetika.
Teori sosio-anthropologi, menyatakan bahwa manusia itu adalah serigala bagi
manusia yang lain (homo homini lupus). Bagi Hobbes, dan tentu saja hingga kini masih
sangat diyakini oleh para pengikutnya, dalam diri seseorang senantiasa bersemayam
benih-benih kekerasan. Manusia, manakala diganggu kepentingannya, maka ia akan
menyerang. Sedangkan kalau memiliki suatu kemauan atau kehendak, maka manusia
tersebut tak tanggung-tanggung lagi untuk menyerbunya dan merampasnya kalau ada
insan lain yang memiliki apa yang dimauinya itu. Perilaku agresif ini dibenarkan oleh
Sigmmund Freud dengan menegaskan bahwa agresifitas yang dimiliki manusia
sebenarnya bersifat bawaan dan tak terelakkan. Ia akan semakin dominan dalam
kehidupan manusia sehingga pada akhirnya naluri thanatos atau daya mematikan akan
melebihi naluri eros atau daya menghidupkan.
Sedangkan teori genetik, merupakan konsep teori yang diambil dari sisi ilmiah.
Teori ini menyatakan bahwa kekerasan merupakan hasil suatu rangkaian reaksi kimiawi
yang terjadi dalam fungsi otak seseorang. Ini terjadi karena suatu zat tertentu, serotinin,
kurang pasoknya ke otak. Akibatnya, emosipun menyala dan daya kendalipun melumpuh.
Hanya bila kadar serotin dalam otak seseorang pada kadar yang memadai, ia baru bisa
berpikir sehat dan hidup normal. Pandangan ini secara langsung mengarah pula pada diri
seseorang, taraf tinggi rendahnya kekerasan, ditentukan faktor gen atau keturunan.
Sedangkan teori-teori kekerasan yang mendasarkan pada pengembangan pola
pikir atas fenomena kekerasan kolektif / kelompok, dapat ditunjukkan dengan keberadaan
teori psikologis, teori instink, teori revolusi, teori konflik serta teori frustasi-agresi.
a. Teori Psikologis
Teori psikologis adalah teori yang berbicara tentang sumber dan ciri agresi di
semua manusia, tanpa memperhitungkan budayanya. Teori psikologis memberikan
landasan motivasional bagi teori tentang kekerasan politik dan memberikan cara untuk
mengidentifikasi pengoperasian beberapa variabel penjelas.
Ada tiga asumsi psikologis yang berbeda tentang sumber genetik agresi manusia :
(1) bahwa agresi bersifat instinktif; (2) bahwa agresi semata-mata untuk dipelajari; atau
(3) bahwa agresi merupakan respon innate atau inisitif yang didorong oleh frustasi.
Asumsi ini bersifat di sebagian pendekatan teoritis terhadap pertikaian dalam masyarakat
yang tidak memiliki landasan motivasional yang eksplisit.
b. Teori Instink
Teori Instink ini sebenarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari asumsi-
asumsi yang terlahir dari teori psikologis, yaitu agresi yang bersifat instink. Freud dan
Lorenz, sebagai pendukung teori ini, masing-masing menyatakan tentang keterkaitan dari
dorongan bagi tindakan desktruktif terhadap instink yang mati dan tentang agresi sebagai
instink yang meningkatkan ketahanan hidup. Kedua pernyataan tersebut mengasumsikan
bahwa sebagian besar atau semua manusia di dalam dirinya memiliki sumber dorongan
agresif yang sifatnya otonomi, suatu dorongan untuk melakukan agresi yang di dalam
kata-kata Lorenz menunjukkannya dengan ledakan tak tertahankan yang muncul teratur
secara ritmis. Oleh pendukungnya, teori ini seringkali dipergunakan dalam menjelaskan
agresi kolektif maupun individu. Teori ini sekilas juga nampak dalam pandangan Hobbes
tentang karakteristik manusia dalam keadaan alami, dan mungkin pula tersirat dalam
bahasa Nieburge tentang kapabilitas manusia untuk marah, tak terkendali dan
melakukan kekerasan berdarah, akan tetapi asumsi yang mendasari teori ini tidak
memiliki peran signifikan dalam teori kontemporer tentang pertikaian sipil.
c. Teori Revolusi
Secara umum, dalam mempelajari teori-teori revolusi diperlukan kriteria-kriteria
evaluatif, diantaranya : (1) teori tersebut harus menetapkan faktor mana yang relevan
dengan revolusi ; (2) harus diberikan penjelasan tentang mengapa atau bagaimana faktor
ini menjadi relevan; dan (3) teori-teori tersebut harus diuji dan disesuaikan dengan baukti
yang ada.
Kebanyakan teori-teori revolusi yang dibahas dalam berbagai literatur, semuanya
didasarkan pada pendekatan standar terhadap studi ilmu politik, tetapi spesifitas dan
kekuatan asumsi pentingnya sangat beragam. Beberapa nama dibalik teori revolusi ini,
diantanya adalah Olson dengan teori Olson. Teori Olson mengandalkan asumsi pilihan
rasional yang dibacarakan di muka, dalam kaitannya dengan teori ekonomi barang
publik. Asumsi yang ada tersebut memungkinkan Olson membuat argumen yang sangat
ketat tentang sifat aksi kolektif pada umumnya. Asumsi tersebut, cukup restruktif untuk
memungkinkan Olson menentukan teori yang tepat tentang perilaku politik massa. Si sisi
lain asumsi bahwa aksi politik massa didasarkan pada perhitungan rasional patut
dipertanyakan, khususnya dalam konteks gerakan revolusioner.
d. Teori KOnflik
Teori konflik secara eksplisit mencoba memberi asumsi tentang perilkau rasional
dan saling ketergantungan antara keputusan yang saling berlawanan di semua jenis
koflik.
Dalam penukapannya, para pemikir dibalik teori konflik ini terbiasa memberikan
semacam perbedaan sebagai batasan dari teori konflik, yang disebut konflik realistis dan
non realistis (coser), atau konflik rasional dan non rasional (Schellling) atau perlikau
destruktif dan perilaku konflik (Galtung). Esensi perbedaan ini terletak antara tindakan
yang menjadi alat mengamankan nilai yang diperjuangkan dan tindakan yang menjadi
alat mengamankan nilai yang diperjuangkan dan tindakan destruktif demi kepentingan
mereka sendiri. Coser dan Galtung mengungkapkan bahwa dua unsur ini selalu ada
dalam setiap konflik. Galtung juga membuat landasan teoritis tentang landasan ini, bahwa
perilaku konflik cenderung menjadi perilaku destruktif dan perilaku destruktif cenderung
menjadi upaya penguatan diri.
e. Teori Frustasi-Agresi
Dasar pijakan berpikir teori ini adalah asumsi teori Psikologis yang menyatakan
bahwa kebanyakan agresi terjadi sebagai respons terhadap frustasi.
Teori frustasi-agresi telah berkembang lebih sistematis dan memiliki dukungan
empiris yang lebih banyak dibanding teori yang berasumsi bahwa semua manusia
memiliki sumber energi destruktif yang mengalir dalam diri manusia atau bahwa semua
agresi bersifat imitatif dan instrumental. Dollard dan kerabatnya di Yale pada tahun 1939
menyatakan bahwa terjadinya agresif selalu mensyaratkan keberadaan frustasi dan
sebaliknya bahwa keberadaan frustasi selalu menimbulkan bentuk agresi.
Miller kemudian memberikan klarifikasi bahwa frustasi menghasilkan dorongan
terhadap berbagai respons, salah satunya agresi. Bila respons non agresi tidak dapat
menghilangkan frustasi, maka semakin besar probabilitas bagi dorongan agresi sehingga
pada akhirnya terjadilah beberapa respons agresi.
Secara keseluruhan, kekerasan sebagai manifestasi agresivitas dan kekuatan
destruktif yang ada pada setiap orang secara individu maupun secara kolektif pastinya
akan menjadi sangat baik aktual bila hanya dilihat sebagai sebuah peristiwa tunggal yang
berdiri sendiri. Karenanya ia pun (kekerasan tersebut), meminta wilayah yang melingkupi
konteks sosio-kultural-ekonomi, dan politik yang lebih luas, terlebih lagi karena memang
kekerasan dapat terjadi pada domain mana saja. Dan oleh sebab itulah, akhir-akhir ini
muncul fenomena kekerasan budaya.
2. Pengertian Kekerasan Secara Umum
Kata kekerasan secara awam dipahami sebagai sebuah situasi yang kasar,
menyakitkan dan menimbulkan efek (dampak) negatif. Akan tetapi, kebanyakan orang
hanya memahami kekerasan sebagai suatu bentuk perilaku opresif (penekanan),
sedangkan perilaku lain yang bentuknya tidak berupa perilaku fisik, menjadi tidak
dihitung sebagai suatu bentuk kekerasan, diantaranya : kekerasan diartikan sebagai
perihal yang bersifat, berciri khas, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang atau ada
paksaan. Kekerasan, sebagaimana diartikan oleh Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki
dalam konteks bahasa Indonesia senantiasa dipahami sebagai hal-hal yang menyangkut
serangan fisik belaka, kekerasan mana sumber maupun alasannya bermacam-macam
seperti politik atau keyakinan agama maupun alasan lainnya (=politik, keyakinan agama
atau rasisme).
Segala bentuk kekerasan berkaitan dengan adanya ketimpangan hubungan antara
satu orang dengan orang lain, antara satu pihak dengan pihak lainnya. Wujud dari
ketimpangan ini bukan hanya pada permasalahan fisik, tetapi juga ekonomi, psikis,
perampasan kemerdekaan, dan sebagainya.
Harkrisno mendefinisikan kekerasan sebagai :
berbagai bentuk perilaku yang menimbulkan penderitaan fisik maupun
psikologis pada korban. Dua perspektif lain untuk memandang tindak kekerasan dalam
arti luas, mencakup tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan psikologis
(mencemooh, mengejek, menduakan istri) dan ekonomis (misalnya suami yang tidak
memberi nafkah kepada istri).
Keleluasaan perspektif ini didasarkan pada pemikiran bahwa perilaku kekerasan
non fisik mempunyai dampak yang tidak lebih kecil dibanding dengan kekerasan fisik,
baik bagi perempuan yang menjadi korban langsung dalam rumag tangganya. Adapun
Soekanto mendefinisikan kekerasan atau violence adalah sebagai berikut :
kejahatan kekerasan adalah suatu istilah yang dipergunakan bagi terjadinya
cidera mental dan fisik. Kejahatan kekerasan sebenarnya merupakan bagian dari proses
kekerasan yang kadang-kadang diperbolehkan sehingga jarang disebut sebagai
kekerasan. Masyarakat biasanya membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah
laku yang dianggap keras atau tidak. Semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam suatu
masyarakat semakin besar kekhawatiran yang ada apabila hal tersebut terjadi
Kekerasan pada intinya adalah melakukan suatu tindakan atau serangan pada
seseorang secara fisik maupun mental yang berakibat penderitaan yang berkepanjangan
pada penderitanya. Selain itu salah satu ciri dari tindak kekerasan ini adalah hubungan
yang tidak seimbang antara yang kuat terhadap yang lemah.
Penganiaya lebih kuat dari yang teraniaya. Penganiayanya bisa saja secara fisik
lemah tetapi secara ekonomi kuat, atau penganiaya justru kuat secara fisik dan yang
teraniaya lemah, akhirnya dapat disimpulkan bahwa penganiayaan terjadi dari hubungan
yang tidak seimbang antara yang kuat terhadap yang lemah.
Haskel dan Yabslonsky sebagaimana dikutip oleh Mulyana W. Kusuma membagi
kekerasan dalam empat (4) kategory yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan
yaitu :
a. Kekerasan Ilegal
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum misalnya tentara
yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun kekerasan dalam peperangan,
maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya tindakan-tindakan tertentu
untuk mempertahankan diri.
b. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi
Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan atau
sanksi sosial terhadapnya, misalnya tindakan kekerasan oleh masyarakat atau pezina
akan memperoleh dukungan sosial.
c. Kekerasan rasional
Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya,
adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya
pembunuhan dalam suatu kerangka kejahatan terorganisasi.
d. Kekerasan tidak berperasaan (irrational violence)
Kejahatan yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu tanpa memperlihatkan
motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat
digolongkan ke dalamnya adalah apa yang dinamakan raw violence yang
merupakan ekspresi langsung dari gangguan psikis seseorang dalam saat tertentu
kehidupannya.
Kejahatan bersifat universal, dapat terjadi kapan saja di belahan bumi mana saja,
dapat menimpa siapa saja, bahkan akibat yang dirasakan sama yaitu penderitaan, baik
secara fisik maupun non fisik, baik terhadap kaum laki-laki maupun terhadap kaum
perempuan.
Dari beberapa penjelasan tentang kekerasan diatas dapat dismpulkan bahwa yang
dimaksud kekerasan adalah segala ancaman, usaha dengan atau tidak dengan
menggunakan kekuatan fisik yang dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang kepada
satu orang atau beberapa orang yang mengakibatkan bahaya kerugian, penderitaan,
kesengsaraan secara fisik dan non fisik baik yang dilakukan secara legal maupun non
ilegal.
Sedangkan KUHP memberikan batasan kekerasan sebagaimana dicantumkan di
dalam pasal 89 KUHP sebagai membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan
dengan menggunakan kekerasan. Dalam penjelasan pasal 89 KUHP dinyatakan bahwa
melakukan kekerasan artinya menggunakan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah
misalnya : memukul dengan tangan, atau dengan segala macam alat, menyepak,
menendang sehingga menyebabkan orang yang terkena merasa sangat sakit. Melakukan
kekerasan dalam pasal 89 KUHP dapat disamakan dengan membuat orang jadi pingsan
atau tidak berdaya. Dalam hal ini yang dimaksud pingsan adalah keadaan hilang ingatan
atau tidak sadar dengan dirinya. Orang yang pingsan tidak mengetahui apa yang terjadi
dengan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama
sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikitpun. Akan tetapi orang
yang dalam keadaan tidak berdaya ini masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas
dirinya. Terkait dengan pasal 89 KUHP tersebut, maka kata tidak berdaya dapat
diperluas dalam keadaan dimana seorang istri yang mendapat pukulan, hinaan maupun
ancaman untuk sesaat dia merasa tidak berdaya dan kemudian jika dia berdaya dan
melakukan perlawanan, tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya membela diri.
Sedangkan didasarkan pada sudut pandang kriminologi, Romli Atmasasmita
memandang kekerasan sebagai segala sesuatu yang dipergunakan sedemikian rupa
sehingga mengakibatkan kerusakan baik secara fisik maupun psikis adalah merupakan
kekerasan yang bertentangan dengan hukum. Kekerasan ini menunjukkan pada tingkah
laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan UU, baik tindakan nyata dan
memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap benda fisik atau mengakibatkan kematian
pada seseorang. Definisi ini demikian luas, karena menyangkut peerbuatan mengancam
disamping suatu tindakan nyata. Sedangkan J ohan Galtung menyebutkan bahwa
kekerasan adalah suatu perlakuan atau situasi yang mnyebabkan realitas aktual seseorang
ada di bawah realitas potensialnya. Artinya, ada sebuah situasi yang menyebabkan segi
kemampuan atau potensi individu menjadi tidak muncul. Situasi yang mnyebabkan
potensi individu menjadi terhambat itu bermacam-macam, dapat berupa teror-teror
berencana yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi ketakutan dan
tertekan, dapat berupa kebijakan pemerintah yang membatasi gerak-gerik warga
masyarakatnya, dapat berupa sikap pengekangan terhadap anggota keluarga, sehingga
anggota keluarga tersebut menjadi bodoh dan terbelankang, dan lain sebagainya. Dengan
demikian kekerasan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung yang
menyebabkan seseorang (sekelompok oranmg) menjadi tidak dapat mengaktualisasikan
diri mereka.
Dalam rangka itulah Mansour Fakih menggunakan kata kekerasan sebagai
padanan dari kata violence dalam bahasa Inggris. Kata violence diartikan sebagai
suatu serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
seseorang. Pandangan tersebut menunjuk bahwa pengertian kekerasan meliputi kekerasan
fisik maupun psikis. Hanya saja titik tekannya pada bentuk penyerangan secara fisik
seperti melukai atau menimbulkan luka, cacat dan ketidaknormalan pada fisik. Dapat
pula yang terjadi adalah kekerasan fisik yang berlanjut pada aspek psikologis seperti
stres. Asumsi awal yang berlaku bahwa setiap bentuk kekerasan merupakan pelanggaran
hak-hak asasi manusia, artinya berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat
berakibat kerugian bagi pihak lain. Kerugian yang terjadi baik fisik maupun non fisik
mulai dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Acuan lain mngenai pengertian kekerasan adalah sebagaimana dikonsepkan oleh
WHO (World Health Organization), yakni sebagai penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok
orang atau masyarakat yang mengakibatkan memar/ trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Dalam hal ini kekerasan fisik
dan kekuasaan harus dilihat dari segi pandang yang luas mencakup tindakan atau
penyiksaan secara fisik, psikis / emosi, seksual dan kurang perhatian (neglected). Ada 3
(tiga) faktor yang dipandang sebagai pencetus terjadinya kekerasan, yaitu :
a. Faktor masrakat : 1). Kemiskinan; 2). Urbanisasi yang terjadi disertainya kesenjangan
pendapatan diantara penduduk kota; 3). Masyarakat keluarga berkaitan dengan
ketergantungan obat; 4). Lingkungan dengan frekwensi kekerasan dan kriminalitas
tinggi.
b. Faktor keluarga : 1). Adanya keluarga yang sakit yang membutuhkan bantuan terus-
menerus seperti misalnya : anak dengan kelainan mental; 2). Kehidupan kelurga yang
kacau tidak saling mencintai dan menghargai, serta tidak menghargai peran wanita;
3). Kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga; 4). Sifat
kehidupan keluarga ini bukannya keluarga luas.
c. Faktor individu, di Amerika Serikat misalnya, mereka yang mempunyai resiko lebih
besar mengalami kekerasan dalam rumah tangga ialah : 1). Wanita yang single,
bercerai atau ingin dicerai; 2). Berumur 17-18 tahun; 3). Ketergantungan obat atau
alkohol atau riwayat ketergantungan kedua zat itu; 4). Sedang hamil; 5). Mempunyai
partner dengan sifat memiliki atau cemburu berlebihan.
Sedangkan dalam beberapa literatur lainnya, terdapat beberapa penggunaan
pengertian kekerasan terhadap orang lain, yaitu : Violence, batterey dan assault.
1. Violence (kekerasan) dapat diartikan sebagai :
a. Unjust or unwarranted exercise of force with the accompaniment of
veliemence, outtrage or fury :
b. Physical force unlawfully exercised; abuse of force; that force is
employed against common right, against laws and against public
liberty;
c. The exertion of any physical force so as to injure, damage or abuse.
2. Pengertian batterey :
d. The defendant`s conduct (act or omission) ;
e. His mental state which may be intent to kill nor injure, or criminal
negligence, or perhaps the doing of an unlawful act; The harmful
result to the victim, which may be a bodily injury or an offensive
touching.
3. Pengertian assault :
f. Any willful attempt or threat to inflict injury upon the perrson of
another.............;
g. Any intentional display of force such as would give the victim reason
to fear or expect immediate bodily harm;
h. An assault may be committed without actually touching, or striking, or
doing bodily harm, to the person or another.
Akan tetapi dalam penggunaannya assault sering dikombinasikan dengan batterey,
sehingga penyebutannya menjadi assault and batterey. Penggabungan itu memberikan
arti yang berbeda dengan ketika mereka terpisah menjadi dua pengertian, yaitu : Any
unlawful touching of another which is without justificatioan or excuse.
Sedangkan Weiner, Zahn dan Sagi mencoba merumuskan unsur-unsur kekerasan
sebagai berikut :......,The threat, attemot or use of physical force by one or more other
person.
Dengan kata lain kekerasan pada dasarnya adalah semua perilaku, baik verbal
maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang lainnya,
sehingga menyebabkan efek negative secara fisik, emosional dan psikologis terhadap
orang yang menjadi sasarannya.
3. Pengertian Kekerasan Terhadap Istri
Berbicara mengenai Kekerasan Terhadap Istri, baik dalam pengaturan perundang-
undangan maupun literature, memang tidak didapati konsep tentang pengertian kekerasan
terhadap istri. Akan tetapi secara tidak langsung pemahaman tersebut dapat kita bentuk
dengan memahami konsep Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dalam ruang lingkup
luas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam ruang lingkup yang lebih sempit yaitu
KTI. Pengertian mengenai KTP dan KDRT tersebut diatas akan membantu kita dalam
pemahaman konsep pengertian Kekerasan Terhadap Istri, karena Kekerasan Terhadap
Istri merupakan bagian tak terpisahkan dari Kekerasan Terhadap Perempuan maupun
Kekerasan Dalam rumah Tangga.
Kekerasan Terhadap Perempuan adalah jenis kekersan yang khas dan spesifik.
Kekerasan ini berakar pada nilai-nilai sosial yang berkembang di dalam masyarakat yang
menempatkan perempuan pada posisi sub ordinat terhadap laki-laki. Pada tingkat-tingkat
tertentu, nilai-nilai ini juga dilakukan oleh negara dan dijustifikasi oleh otoritas lembaga
agama. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan
salah satu mekanisme sosial penting (crucial) yang menempatkan kaum perempuan
dalam posisi subordinasi dihadapan kaum laiki-laki.
Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan menurut pasal 1 Deklarasi
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of
Violence Against Women) yang diadopsi Majelis PBB tahun 1993 adalah setiap
perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk
ancaman perbuatan tertentu, perampokan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah suatu bentuk penganiayaan (abuse)
secara fisik maupun emosional / psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan
terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Kekerasan dalam Rumah Tangga
(domestic violence) merupakan suatu bentukj kekerasan yang memiliki karakteristik
khusus karena baik pelaku maupun korban dari kekerasan berada dalam suatu lingkup
rumah tangga tertentu. Kekerasan terjadi di dalam rumah, dibalik pintu tertutup yang
dilakukan oleh yang memiliki hubungan dekat dengan korban.
Berdasarkan laporan LRC-KJ HM, didapati bahwa Kekerasan Dalam Rumah
Tangga bisa terjadi pula terhadap seorang suami. Sedangkan dalam laporan kekerasan
dunia oleh Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2002, disebutkan bahwa kasus kekerasan
dapat saja terjadi pada perempuan dan laki-laki, tetapi berdasarkan data statistik
menunjukkan perempuan adalah korban KDRT yang jumlahnya jauh lebih besar.
Dalam KUHP, pengaturan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terlihat dalam pasal
356 ke-1 KUHP yang menyatakan bahwa : Pidana yang ditentukan dalam pasal 351,
353, 354 dan 355 KUHP dapat ditambah dengan sepertiga : bagi yang melakukan
kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau
anaknya. Sanksi mana dijatuhkan bagi pelaku tinfdak kejahatan penganiayaan (kekerasan
fisik) sebagaimana dinyatakan pasal 351 ke-1 KUHP. Sedangkan dalam pasal 44 ayat 1
Undang-Undang PKDRT no. 23 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap orang yang
melakukan kekerasan dalam ruang lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau mdenda paling
banyak Rp.15.000.000,00
Pada akhirnya, Kekerasan Terhadap Istri adalah merupakan salah satu bentuk
atau manifestasi dari Kekerasan Terhadap Perempuan dan kekerasan Dalam Rumah
Tangga tersebut di atas.
4. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Istri / Perempuan
Berbicara tentang bentuk-bentuk KTP, maka untuk lebih jelasnya sebuah
penelitian dengan tema KTP yang dilakukan Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Sumatera
Utara bekerjasama dengan Mc Gill University, Montreal, Canada dan ICIHEF J akarta
untuk kurun waktu tahun 2002, dapat dijadikan acuan pemaparan. Penelitian ini
mengambil tempat Medan, dengan subyek (populasi) para istri, yang secara khusus
(sampel) bekerja sebagai tenaga pengajar di SD, SLTP, SLTA, maupun Perguruan
Tinggi. Sampel diambil berdasarkan teknik sampling snowball dan purposive, yang
berdasarkan pada prinsip teori nonprobalitas. Data penelitian dihimpun melalui metode
studi dokumentasi, Focused Group Discussion (FGD), wawancara mendalam (Deepth
Interview) tersebut, mengklasifikasikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri ke dalam
4 (empat) kelompok, yaitu :
1. Kekerasan Fisik
Bentuk-bentuk kekerasan fisik antara lain : dipukul, dilempar dengan piring,
dijambak rambutnya,. Bentuk-bentuk kekerasan ini memiliki intensitas dan frekwensi
yang berbeda pada setiap subyek penelitian. Misalnya pemukulan, pada sebagian istri
pemukulan sampai meninggalkan bekas yang nampak, seperti luk memar di tubuh
korban, bahkan menyebabkan istri menjadi kurang pendengaran, tetapi pada subyek
penelitian lain tidak berbekas. Dari segi tingkat keseringan terjadi kekerasan, pada
sebagian informan kekerasan dilakukan suami hampir setiap kali bertengkar atau setiap
kali suami marah, tetapi sebagian yang lain hanya mengalami sekali atau beberapa kali
selama perkawinan.
2. Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis yang dialami istri memang tidak menimbulkan bekas seperti
kekerasan fisik, tetapi kekerasan psikologis dapat meruntuhkan harga diri bahkan
memicu dendam seorang istri terhadap suami. Satu penelitian melaporkan bahwa
sebagian korban, kekerasan psikologis justru lebih sulit diatasi daripada kekerasan fisik.
Seluruh istri yang dijadikan subyek pada penelitian ini mengalami jenis kekerasan
psikologis dengan frekwensi dan intensitas yang berbeda. Kekerasan psikologis yang
dialami seorang istri adalah dalam bentuk caci-maki, kata-kata kasar, ancaman (ancaman
dieraikan, dipukul atau dibunuh), pengabaian, penolakan dan tuduhan.
3. Kekerasan Ekonomi
Tidak diragukan bahwa seorang istri yang bekerja dengan menghasilkan uang
dapat menopang ekonomi keluarga. Akan tetapi, kenyataan ini bukan malah
menyadarkan suami untuk menghargai istri. Penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan
istri yang bekerja dimanfaatkan oleh suami untuk melakukan kekerasan ekonomi
terhadap istrinya. Sebagian suami tidak mau memberikan sebagian gajinya karena
mereka tahu bahwa istrinya berpenghasilan. Para suami ini sangat yakin bahwa istri akan
menggunakan gajinya karena mereka tidak akan membiarkan anaknya kelaparan.
Sementara itu, sebagian istri juga tidak terlalu menuntut agar suaminya menyerahkan
gajinya, dan memilih untuk menggunakan penghasilan mereka untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Dalam kasus seperti ini, kekerasan ekonomi yang dialami oleh para
responden kadang tidak dianggap oleh mereka sebagai suatu kekerasan.
4. Kekerasan Seksual
Seks merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan dasar dari
sebuah perkawinan. Seks menjadi sarana untuk memperoleh keturunan, kenikmatan
seksual, dan kepuasan seksual. Darwin menyatakan bahwa kepuasan seksual merupakan
salah satu faktor penentu dalam kehidupan keluarga. Namun bila salah seorang dari dua
insan yang sedang melakukan hubungan seksual tidak menikmatinya, maka hubungan
seksual dapat merupakan sesuatu yang dihindari, bahkan dibenci.
Banyak pasangan suami istri yang tidak menikmati hubungan intim yang mereka
lakukan. Seks bagi mereka dapat beban, bahkan dapat dipandang sebagai sesuatu yang
harus dihindari. Hal ini terjadi karena salah satu merasa tidak diperlakukan selayaknya.
Satu pihak memaksakan kehendak seksualnya tanpa memperhatikan pihak lain.
Pemaksaan dan ketidakacuhan terhadap hasrat dan kepuasan seksual pasangan
merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dialami subyek penelitian ini antara lain :
dilecehkan setelah melakukan hubungan seksual, melakukan hubungan seksual tanpa
persetujuan istri, dan tidak memenuhi kebutuhan seks istri karena suami punya istri lain,
serta perselingkuhan atau hubungan suami dengan perempuan lain di luar nikah.
Sedangkan secara umum dari bebagai pendapat sarjana, maka bentuk-bentuk
kekerasan terhadap istri (sebagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan) :
1. Kekerasan sesualitas, yaitu kekerasan seperti : perkosaan, percobaan perkosaan,
pelecehan seksual baik itu yang dilakukan dengan kata-kata (verbal) maupun
tindakan (non verbal) ;
2. Kekerasan fisik yaitu bentuk-bentuk kekerasan yang pengertian dasarnya
senantiasa dikaitkan dengan penganiayaan, yaitu apabila didapati perlakuan yang
bukan dikarenakan kecelakaan. Perlakuan tersebut dapat diakibatkan oleh suatu
kekerasan tunggal atau berulang-ulang, dari yang ringan hingga sampai yang
fatal. Batasan intensitas kekerasan fisik tersebut sangat relatif karena dapat
ditinjau dari akibat kekerasan dan cara melakukan kekerasan. Akan tetapi apabila
didapati luka memar di wajah, hal ini mengakibatkan telah timbulnya kekerasan
akibat penganiayaan. Begitu pula pukulan fisik berupa pukulan dengan tangan
terkepal atau dengan alat yang keras, menendang atau menyebabkan luka bakar
adalah jelas merupakan penganiayaan, terlepas dari berat ringanya luka yang
timbul ;
3. Kekerasan ekonomi seperti : pengekangan terhadap istri untuk tidak bekerja tanpa
dipenuhi kebutuhannya, pemerasaan penipuan;
4. Kekerasan psikologis sangat sulit diartikan secara implisit karena sensitivitas
emosi seseorang sangat bervariasi. Dimana kekerasan psikologis ini dapat berupa
pencemaran nama baik, julukan yang mengandung olok-olokan, membuat
menjadi bahan tertawaan, cemburu yang berlebihan, ancaman, membatasi
aktifitas (mengisolasi), caci maki, menghina, dsb.
5. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Sebelum diuraikan tentang kekerasan dalam rumah tangga terlebih dahulu akan
dibahas tentang pengertian kekerasan secara etimologi yang dimaksud dengan kekerasan
adalah : Dengan prihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang
menyebabkan kekerasan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan.
Menurut Mansour Faqih memberikan pendapat yang berbeda tentang kekerasan,
ia berpendapat bahwa kekerasan adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik, maupun
integritas mental seseorang. Mansour Faqih menggunakan kata sebagai suatu padanan
dari kata violence dalam bahasa Inggris yang diartikan sebagai suatu serangan atau
invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, sedangkan
kata kekerasan dalam bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut masalah
fisik belaka. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam UU no. 23/2004 adalah
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perempasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Pandangan menekankan pengertian kekerasan pada obyek fisik maupun psikis.
Hanya saja tekanannya pada bentuk penyerangan secara fisik seperti melukai atau
menimbulkan luka, cacat atau ketidaknormalan pada fisik. Dapat pula yang terjadi adalah
kekerasan fisik yang berlanjut pada aspek psikis seperti stress. Sehingga berbagai bentuk
kekerasan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, artinya berbagai bentuk kekerasan
yang terjadi dalam masyarakat berakibat kerugian terhadap pihak lain. Kerugian yang
terjadi secara fisik dan non fisik inilah yang dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia.
Pengertian kekerasan sebagaimana diatur dalam pasal 89 juncto Pasal 90 KUHP,
menyebutkan bahwa :
Luka Berat berarti :
- J atuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
- tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian.
- kehilangan salah satu panca indera;
- mendapatkan cacat berat (verminking);
- menderita sakit lumpuh;
- terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
- gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
Menurut Undang-Undang no.23/2004 luka berat berarti :
- J atuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau yang menimbulkan bahaya maut (Pasal 44 ayat 2).
- mengakibatkan matinya korban (Pasal 44 ayat 3)
- terganggunya daya pikir selama empat minggu (Pasal 48)
- gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan (Pasal 48)
Sedangkan di dalam penjelasan Pasal 89 J uncto Pasal 90 KUHP disebutkan arti
dari melakukan kekerasan ialah menggunakan tanaga/kekuatan jasmani sekuat
mungkin secara tidak sah. Di dalam Pasal tersebut juga dapat dikatakan melakukan
kekerasan disamakan dengan membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya, pingsan
artinya hilang ingatan/tidak sadar akan dirinya. Orang yang pingsan itu tidak mengetahui
apa yang terjadi dengan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan/tenaga
sama sekali sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikitpun. Orang tidak
berdaya ini masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
J ika kita melihat ini ketentuan dari pasal tersebut, maka jika seseorang berdaya /
tidak pingsan bukan berarti bahwa dia tidak mendapat perlakuan kekerasan, karena kata
tidak berdaya mempunyai makna yang luas, sebab istri yang mendapat pukulan, hinaan,
ancaman untuk sesaat dia merasa tidak berdaya dan jika akhirnya dia berdaya ataupun
membalas perlakuan tersebut maka hal itu dapat dikatakan sebagai upaya
mempertahankan diri.
Penyempitan pengertian kekerasan sebagaimana diuraikan di atas ternyata
berimplikasi tidak saja dalam hukum pidana kita, khususnya dalam Pasal 89 juncto 90
KUHP, akan tetapi ternyata berimplikasi juga dalam ketentuan-ketentuan delik-delik lain
yang salah satu unsur perbuatannya adalah dalam bentuk kekerasan atau ancaman
kekerasan.
Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan kekerasan. Menurut Simons, yang dimaksud dengan kekerasan atau geweld itu
adalah elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe betekenis
yang artinya setiap penggunaan tenaga badan yang tidak terlalu tidak berarti atau het
anwerden van lichamelijke kracht van niet al te geringe intensiteit, artinya setiap
pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan. Undang-undang ini juga tidak
menjangkau penjelasan tentang ancaman kekerasan.
Dapat dilihat bahwa selama ini penjelasan mengenai kekerasan kurang jelas
pengaturannya di dalam KUHP sehingga hal ini mendorong beberapa ahli hukum harus
turut serta mendifinisikan bahwa kekerasan yang digunakan sedemikian rupa harus
mengakibatkan kerusakan baik fisik maupun psikis adalah kekerasan yang bertentangan
dengan hukum. Hingga sampai saat ini, hukum Indonesia belum secara khusus
mendefinisikan dan membuat prosedur hukum tertentu yang merespon persoalan hukum
kekerasan domestik. Hukum posistif yang berlaku harus digunakan oleh perempuan
untuk menuntut atas ketidakadilan yang diahadapinya, misalnya pasal-pasal KUHP.
Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan kekerasan adalah
perilaku agresif yang dilakukan oleh orang yang berkuasa dalam hal tenaga, mental dan
ekonomi di dalam rumah tangga yang dapat menyebabkan ketakutan di dalam rumah
tangga. Dimana ketakutan itu disebabkan karena adanya tekanan baik secara fisik
maupun psikis kepada orang yang dianggap lemah dalam hal tenaga, mental dan ekonomi
di dalam rumah tangga.
6. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Secara garis besar tindak kekerasan terhadap terhadap ostri terjadi dikarenakan
beberapa faktor:
a. Budaya patriarkhi
Budaya yang meyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior,
sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.
b. Interpretasi yang keliru terhadap ajaran agama
Seringkali ajaran agama yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin perempuan
diinterpretasikan sebagai pembolehan dalam mengontrol dan menguasai istrinya, secara
berlebihan dan tidak sebenarnya.
c. Pengaruh role model
Laki-laki sebagai perilaku seringkali mengekspresikan kemarahan mereka dengan
melakukan tindak kekerasan karena pengalaman yang diperoleh dari keluarga asalnya.
Anak laki-laki yang tumbuh di dalam lingkungan keluarga dimana ayah sering memukul
atau berperilaku kasar terhadap ibunya pada umumnya cenderung akan meniru pola
tersebut kepada pasangannya. :
d. ketidakmandirian istri secara ekonomi yang menyebabkan tergantung kepada suami.
Ketergantungan tersebut suami merasa berkuasa dan melakukan kesewenang-wenangan,
salah satu bentuknya adalah kekerasan terhadap istri. Akan tetapi ternyata pula seorang
istri yang bekerja pun dapat saja menjadi korban kekerasan oleh suami mereka.
e. Adanya persoalan psikis dalam diri suami yang disebabkan tekanan pekerjaan
maupun persoalan pribadi di rumah, sehingga menimbulkan stress yang berujung pada
tindak kekerasan suami terhadap istri.
f. Adanya kecenderungan masyarakat umum yang memeandang personal KDRT
termasuk didalamnya KTI sebagai suatu persoalan pribadi.
Ditinjau dari lingkup rumah tangga itu sendiri, maka hal-hal yang menimbulkan
kekerasan dalam rumah tangga, diantaranya :
1. Citra diri yang rendah dan frustasi.
Citra diri yang rendah dari suami serta rasa frustasi karena kurang mampu
mencukupi kebutuhan keluarga dimana sebaliknya dengan kondisi si istri yang
lebih darinya, memudahkan timbulnya salah penerimaan dalam diri suami
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan keluarga, yang hal ini
pula akan memudahkan timbulnya tinvdakan pemukulan atau kekerasan lainnya
sebagai pelampiasan.
2. Kekerasan sebagai upaya menyelesaikan masalah
Dimana kekerasan dipandang sebagai sarana jitu dalam menyelesaikan
permasalahan dengan istri daripada melakukan pembicaraan secara baik-baik
dengan mereka. Terkadang tindakan ini (pada umat Islam) didasari oleh adanya
pemahaman secara ansich atas Q.S. An-Nisa : 34, berupa diperbolehkannya
pemukulan dilakukan sebagai hukuman bagi seorang istri yang nusyuz.
Maka kata pemukulan dalam Q.S. An-Nisa (4) : 34, dalam ayat tersebut
diisyaratkan dari kata wadribuhunna yang memeiliki pengertian secara leksikal
pukullah perempuan yang melalaikan kewajiban sebagai seorang istri.
B. Pengertian, Tugas, Fungsi dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI)
1. Pengertian, Tugas dan Fungsi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa :
kepolisian adalah segala sesuatu hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas POLRI selaku alat penegak hukum diatur dalam pasal 13 Undang-undang
No. 2 tahun 2002, adalah sebagai berikut :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
b. Menegakkan hukum, dan
c. Memberikan perlindungan, pengayom dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan
masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan
kelancaran lalu lintas dijalan.
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan.
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian
khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindakan pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
h. Menyelanggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran dan kepolisian
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian.
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup
dari gangguan ketertiban dan atau becana termasuk memberikan bantuan dan
pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh
instasi dan atau pihak yang berwenang.
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam
hidup tugas kepolisian, serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 tahun 2002, fungsi POLRI adalah
sebagai berikut :
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
pemeliharaan keamaan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
2. Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)
Dalam melakukan tugas, Polri mempunyai wewenang yang dimaksudkan untuk
memperlancar Polri dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diungkapkan oleh
Kartaji, sebagai berikut :
Agar supaya polisi dapat bertindak guna melaksanakan tugas kewajiban harus
diberi kekuasaan-kekuasaan atau wewenang-wewenang tertentu.
berdasarkan Undang-Undangan Kepolisian Negara Republik Indonesia
wewenang POLRI dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu : wewenang secara
umum yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1), wewenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya diatur dalam Pasal 15 ayat (2), serta wewenang dibidang
proses pidana diatur dalam Pasal 16.
Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang Undang No. 2 htahun 2002, secara umum
POLRI mempunyai wewenang sebagai berikut :
a. Menerima laporan dan atau pengaduan;
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu
ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tibulnya penyakit masyarakat;
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengecam persatuan
dan kesatuan bangsa.
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam
rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan peraturan di tempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang bukti;
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. Mengeluarkan surat ijin / atau surat keterangan yang diperlakukan dalam rangka
pelayanan masyarakat;
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat;
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Sedangkan wewenang POLRI sesuai dengan peraturan perundang-undangan
lainnya berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 2 tahun 2002 adalah sebagai
berikut :
a. Memberikan izin dan mengawasi keramaian umum dan kegiatan masyarakat;
b. Menyelenggarakan registrsi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. Memberikan surat izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam;
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha
di bidang jasa pengamanan;
g. Memberikan petunjukkan, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan
tugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional;
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada
di wilayah Indonesia dengan koordinasi instasi terkait;
j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Wewenang POLRI dalam menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana diatur
dalam pasal 16 Undang-Undang No. 2 tahun 2002, adalah sebagai berikut :
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentinganpenyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan.
C. Penyelidikan dan Penyidikan
1. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan
berdasarkan Pasal angka 4 juncto Pasal 4 KUHAP, pengertian penyelidikan
adalah sebagai berikut :
adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk melakukan penyelidikan
Sedangkan pengertian penyelidikan menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah
sebagai berikut :
adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pendapat lain menyatakan bahwa, penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri
sendiri terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau
metode atau merupakan sub daripada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain
yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
pemeriksaan surat-surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian penyidikan
dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum.
Selanjutnya penyelidikan disini bukan yang diberikan seperti yang dibicarakan
pada sementara media massa yaitu sebagai kegiatan intelegence, sebab bila ini
dimaksudkan tidak diliputi dengan KUHAP ini. Penyelidikan disini adalah penyelidikan
tindak pidana (kriminal), karena penyelidikan ini hanya merupakan cara atau metode
penyidikan (Pedoman Pelaksanaan KUHAP Departemen Kehakiman RI, tt : 27). Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa penyelidikan adalah rangkaian kegiatan penyelidik
guna mengumpulkan data-data tentang suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana, guna menentukan apakah peristiwa yang diselidiki itu benar-benar merupakan
suatu tindak pidana dan apakah terhadap tindak pidana itu tersedia data dan fakta untuk
dilanjutkan ke tahap penyidikan. Lebih singkat lagi dapat dikatakan bahwa penyelidikan
adalah tindakan persiapan bagi penyidikan.
Wewenang penyelidik diatur dalam Pasal 5 KUHAP yang berbunyi :
1. Karena kewajiban atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Mencari keterangan dan bukti;
c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2. Atas perintah penyidik dapat melakukan tinvdakan berupa
a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
b. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
Kewajiban penyelidik adalah membuat dan menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan tindakan sebagaimana terfsebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b, kepada
penyidik sesuai dengan Pasal % ayat 2 KUHAP.
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidik dikoordinasi, diawasi dan
diberi petunjuk oleh penyidik POLRI sesuai dengan Pasal 105 KUHAP.
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidik wajib menunjukkan tanda
pengenal sesuai dengan Pasal 104 KUHAP.
a. Pengertian Penyidik dan Penyidikan
berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP, pengertian penyidik adalah sebagai berikut
:
Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melaksanakan
penyidikan.
Sedangkan yang dimaksud penyidik dalam Pasal 6 KUHAP yang berbunyi adalah
sebagai berikut :
1. Penyidik adalah :
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-
Undang
2. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana diatur dalam ayat 1 akan diatur lebih lanjut
dalam peraturan pemerintah.
Selanjutnya pengertian penyidikan menurut ejaan bahasa Indonesia adalah
serangkaian tindakan yang diatur oleh Undang-Undang untuk mencari dan
mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah dari kata sidik
yang berarti periksa, menyidik, menyelidik, mengamat-amati.
Sedangkan Penvidikan menurut bahasa hukum diartikan bahwa penyidikan adalah
serangkain tindakan penyidik dalam hal dan menurut carayang diatur dalam Undang-
Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.
Sedangkan pengertian penyidikan menurut pasal 1 angka 2 KUHAP dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah sebagai berikut :
serangkaian tindakan penyelidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu keterangan tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang wewenang penyidik,
sebagai berikut :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
c. Menyruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
Menurut ketentuan seperti yang telah tersebut diatas maka penyidik ada dua
macam yakni, penyidik POLRI dan penyidik pegawai negeri sipil tertentu (penyidik
PNS)
b. Macam-Macam Penyidik
a. Penyidik POLRI
menurut peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP ditetapkan mengenai kepangkatan dan pengangkatan penyidik POLRI, yakni :
1 Pejabat POLRI yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua
polisi yang ditunjuk KAPOLRI sesuai dengan peraturan.
2 Bila dalam suatu sector tidak ada, maka komandan sector yang berpangkat
Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik.
Sedangkan untuk berfungsi dan wewenang penyidik POLRI diatur dalam Pasal 7
ayat (1) KUHAP, yaitu :
a. Menerima laporan dan pengaduan dari vseseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian perkara;
c. Menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Penyidik PNS)
Penyidik PNS diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
pasal 2 adalah sebagai berikut :
3 Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur
Muda Tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan.
4 Penyidik tersebut diangkat oleh menteri atas usul dari departemen yang
membawahkan pegawai negeri tersebut.
5 Menteri sebelum mengangkat mendengarkan terlebih dahulu pertimbangan J aksa
Agung dan KAPOLRI.
Wewenang penyidik PNS diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi :
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang
sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Sedangkan menurut penjelasan KUHAP yang dimaksud dengan Penyidik dalam
ayat ini adalah misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan,
yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khususnya yang diberikan
oleh Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
c. Penyidik Pembantu
Seperti yang telah disebutkan di dalam Pasal 1 butir 3 KUHAP, penyidik
pembantu adalah sebagai berikut :
Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang
karena wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-
Undang ini.
Lebih lanjut penyidik pembantu dalam Pasal 10 KUHAP yang menentukan :
6 Penyidik Pembantu adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diangkat berdasarkan syarat kepangkatan tertentu.
7 Syarat kepangkatan terfsebut diatur dengan ketentuan pemerintah.
Sedangkan yang dimaksud dengan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) KUHAP adalah termasuk pegawai negeri sipil
tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pengangkatan penyidik pembantu dan wewenang pengangkatannya diatur lebih
lanjut dalam ayat (2) dan (3)nya yang berbunyi :
8 Pengangkatannya oleh KAPOLRI atas usul Komandan atau pimpinan kesatan
masing-masing.
9 Wewenang pengangkatan tersebut bisa dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan peraturan Undang-Undang.
Wewenang penyidik pembantu karena kewajibannya adalah :
a. Menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian perkara;
c. Menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
d. Asas-Asas POLRI Dalam Melakukan Penyelidikan dan Pemeriksaan
menurut sasangka didalam melakukan tugasnya, yakni melakukan tugas
penyelidikan dan penyidikan, kepolisian mempunyai asas-asas sebagai berikut :
a. Asas Legalitas
Pengertian legal adalah sah menurut peraturan perundang-undangan. Melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut asas ini apa saja yang dilakukan oleh polisi harus ada aturan yang jelas,
sedangkan yang tidak diatur dalam aturan perundang-undangan polisi tidak boleh
melakukkannya.
b. Asas Partisipasi
Pengertian asas partisipasi adalah bentuk pengamanan secara fungsional yang
dilakukan oleh kepolisian Republik Indonesia dibantu oleh kepolisian khusus penyidik
pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Asas legalitas dan asas partisipasi diatas terdapat dalam penjelasan umum
Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang kepolisian Republik Indonesia.
c. Asas Kewajiban (Plichtugheid)
Arti asas ini adalah polisi berhak melakukan tindakan-tindakan yang berdasar
kekuasaan atau kewenangan umum untuk memelihara ketetiban, asalkan didalam
melakukan kewajiban tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
meskipun tindakan juga tidan berdasarkan Undang-Undang.


BAB III
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Polres Lamongan
Polres Lamongan terletak di sebelah timur pusat kota tepatnya di J l. Kombespol
M. Duryat No. 60 Lamongan. Dengan beranggotakan 1500 personil yang terbagi dalam
beberapa unit atau bagian-bagaian sebagai berikut :
1. Kapolres : memimpin, membina dan mengawasi/mengendalikan satuan-
satuan organisasi dalam lingkungan Polres serta memberi saran
pertimbangan dan melaksanakan tugas lain sesuai perintah
Kapolda.
2. Wakapolres : membantu Kapolres dalam melaksanakan tugasnya dengan
mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas staf seluruh satuan
organisasi dalam jajaran Polres dan dalam batas kewenangannya
memimpin Polres dalam hal Kapolres berhalangan serta
melaksanakan tugas lain sesuai perintah Kapolda.
3. Bag. OPS : Menyelenggarakan administrasi dan pengawasan operasional,
perencanaan operasi kepolisian, pelayanan fasilitas dan
perawatan tahanan dan pelayanan atas permintaan perlindungan
saksi atau korban kejahatan dan permintaan bantuan pengamanan
proses peradilan dan pengamanan khusus lainnya.
4. Bag. Binamitra : bertugas mengatur penyelenggaraan dan mengawasi/
mengarahkan pelaksanaan penyuluhan masyarakat dan
pembinaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa oleh satuan-
satuan fungsi yang berkompeten, membina hubungan kerjasama
dengan organisasi/lembaga/tokoh social/kemasyarakatan dan
instansi pemerintah, khususnya instansi Polsus/PPNS dan
pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah, dalam
rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat
pada hokum dan peraturan perundang-undangan, pengembangan
pengamanan swakarsa dan pembinaan hubungan Polri-
Masyarakat yang kondusif bagi pelaksanaan tugas Polri.
5. Sie. Telematika/Urtelematika : bertugas menyelenggarakan pelayanan
telekomunikasi, pengumpulan dan pengolahan data serta
penyajian informasi termasuk informal criminal dan pelayanan
multimedia.
6. Sie P3D : menyelenggarakan pelayanan pengaduan masyarakat tentang
penyimpangan perilaku dan tindakan anggota Polri dan
pembinaan disiplin dan tata tertib, termasuk pengamanan
internal, dalam rangka penegakan hokum dan pemuliaan profesi.
7. Taud : melaksanakan ketatausahaan dan urusan dalam meliputi
korespondensi, ketatausahaan perkantoran, kearsipan,
dokumentasi, penyelanggaraan rapat, apelo/upacara, kebersihan
dan ketertiban termasuk melaksanakan administrasi personel dan
materil/logistic di lingkungan Pusdalops.
8. SPK : memberikan pelayanan kepolisian kepada warga masyarakat
yang membutuhkan, dalam bentuk penerimaan dan penanganan
pertama laporan/pengaduan, pelayanan permintaan
bantuan/pertolongan kepolisian, penjagaan markas termasuk
penjagaan tahanan dan pengamanan barang bukti yang berada di
Mapolres dan penyelesaian perkara ringan/perselisihan antar
warga, sesuai ketentuan hokum dan peraturan/kebijakan dalam
organisasi Polri.
9. Sat. Intelkam : menyelenggarakan/membina fungsi Intelejen bidang keamanan,
termasuk persandian, dan pemberian pelayanan dalam bentuk
surat ijin/keterangan , yang menyangkut orang asing, senjata api
dan bahan peledak, kegiatan social/politik masyarakat dan Surat
Keterangan Rekaman Kejahatan (SKRK/Criminal Record)
kepada warga masyarakat yang membutuhkan serta melakukan
pengawas/pengamanan atas pelaksanaannya.
10. Sat. Reskrim : menyelenggarakan/membina fungsi penyelidikan dan penyidikan
pidana dengan memberikan pelayanan/perlindungan khusus
kepada korban/pelaku, remaja, anak dan wanita serta
menyelenggarakan fungsi identifikasi baik untuk kepentingan
penyelidikan maupun penyidikan.
11. Sat. Narkoba : menyelenggarakan/membina fungsi penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana narkotika dan obat berbahaya (narkoba), termasuk
penyuluhan dan pembinaan dalam rangka pencegahan dan
rehabilitasi korban/penyalah gunaan narkoba.
12. Sat. Samapta : menyelenggarakan/membina fungsi kesamaptaan
kepolisian/tugas polisi umum dan pengamanan obyek khusus,
termasuk pengambilan tindakan pertama di tempat kejadian
perkara dan penanganan tindak pidana ringan, pengendalian
massa dan pemberdayaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa
masyarakat dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat.
13. Sat Lantas : menyelenggarakan/membina fungsi lalu lintas kepolisian, yang
meliputi penjagaan, peraturan, pengawalan dan patroli,
pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, registrasi dan
identifikasi pengemudi/kendaraan bermotor, penyidikan
kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukumdalam bidang lalu
lintas, guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran
lalu lintas.
14. Polsek : dalam melaksanakan tugasnya sebagai berikut :
a. Pemberian pelayanan kepolisian kepada warga masyarakat yang membutuhkan,
dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan dan permintaan
bantuan/pertolongan, pelayanan pengaduan atas tindakan anggota Polri dan
pelayanan surat-surat ijin/keterangan, termasuk pemberian Surat Keterangan
Rekaman Kejahatan (SKRK/Criminal Record) kepada warga masyarakat yang
membutuhkan, sesuai ketentuan hokum dan peraturan/kebijakan yang berlaku
dalam organisasi Polri.
b. Pengumpulan bahan keterangan baik sebagai bagian dari kegiatan Intelijen
keamanan yang diselenggarakan oleh satuan-satuan atas maupun sebagai bahan
masukan penyusunan rencana kegiatan operasional Polsek dalam rangka
pencegahan gangguan Kamtibmas.
c. Penyelenggaraan kegiatan patroli termasuk pengaturan, penjagaan dan
pengawalan kegiatan masyarakat dan pemerintah dalam rangka pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat termasuk ketertiban dan kelancaran lalu
lintas di jalan raya.
d. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan hokum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Pembinaan masyarakat sebagai upaya untuk mendorong peningkatan kesadaran
dan ketaatan warga masyarakat terhadap hokum dan perundang-undangan serta
peran serta masyarakat dalam pengamanan swakarsa.
f. Penyelenggaraan tugas-tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan peraturan pelaksanaannya serta pelayanan kepentingan warga masyarakat
untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.
Berikut ini adalah bagan struktur organisasi Polres Lamongan
Unsur
Pimpinan

Unsur pembantu
Pimpinan/pelaksana
Staf
Unsur pelaksana staf
Khusus & pelayanan
Unsur pelaksana
Utama
B. Gambaran Umum Jumlah Kasus KDRT yang terjadi di wilayah Hukum Polres
Lamongan
Berdasarkan data yang diperoleh dari unit RPK Polres Lamongan di bawah ini
secara kuantitas akan dicantumkan data kasus yang berkaitan dengan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dalam kurun waktu 2004 s/d 2006 sebagai berikut :
1. Data jumlah kasus yang masuk di unit RPK
2. Posisi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
3. Data jumlah pelaku KDRT berdasarkan jenis kelamin
4. Data jumlah korban KDRT berdasarkan jenis kelamin
5. Data jumlah korban KDRT berdasarkan umur
Selanjutnya akan dicantumkann data jumlah kasus yang masuk di unit RPK
(Ruang Pelayanan Khusus) di Polres Lamongan dalam kurun waktu 2004 s/d 2006.
Tabel 1
Data J umlah Kasus yang Masuk di Unit RPK
Polres Lamongan
Tahun
J umlah
Kasus
Penganiayaan
Psl. 351-356
KUHP
Perkosaan
Psl. 258
KUHP
Pencabulan
Psl. 290
KUHP
Perzinahan
Psl. 284
KUHP
2004
2005
2006
8
10
4
3
4
1
2
3
-
2
-
2
1
3
1
J umlah 22
Sumber ;data sekunder, diolah.
Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis kasus yang masuk di unit RPK dari data yang
didapat, diketahui terdapat 4 jenis kasus. Tahun 2004 terdapat 8 kasus yang terdiri dari 3
kasus penganiayaan, 2 kasus perkosaan, 2 kasus pencabulan dan 1 kasus perzinahan.
Tahun 2005.
Dibawah ini akan dicantumkan jumlah kasus KDRT berdasarkan jumlah kasus
dan penyelesaiannya dalam kurun waktu tahun 2004 s/d 2006.
Tabel 2.
Data Posisi Kasus KDRT
No No. Laporan Korban Tersangka Pasal Keterangan
1.
2.
3.
4.
K/LP/0025/I/2004
K/LP/277/III/2004
K/LP/322/IV/2005
K/LP/256/IV/2006
Eni Sriwahyuni
Lilik Harningtyas
Sri Sumarni
Nurjanah
Edi Susilo
Yanto
Bambang
Didik
Iswahyudi
356
356
356
356
Dicabut
Dicabut
Selesai
Dicabut
Sumber : data sekunder, diolah.
Berdasarkan table ke 1, secara umum dapat dilihatm bahwa jumlah pengaduan
tentang tindak pidana KDRT (Khususnya penganiayaan terhadap perempuan) yang
masuk di Polres Lamongan banyak menimpa perempuan (disini berstatus sebagai istri
dari tersangka), yaitu tahun 2004 sebanyak 3 kasus, kemudian tahun 2005 sebanyak 4
kasus, dan tahun 2006 1 kasus.
Sedangkan pada table yang kedua dapat kita lihat pada tahun 2004 ada 2 kasus
yang dicabut. Pada tahun 2006 terdapat 1 kasus yang dicabut. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Aipda Sri Iswati diperoleh informasi bahwa kasus yang dicabut.
Di bawah ini akan dicantumkan jumlah pelaku Kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga berdasarkan jenis kelamin dalam kurun waktu 2004 s/d 2005.
Tabel 3.
Data J umlah Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Brdasarkan J enis Kelamin di Wilayah Hukum Polres Lamongan]
Tahun 2004 sampai dengan 2006
Ta hun J umlah Kas
gania yaan Ps
51
-3
56
KUHP
Perk
osaan
P
sl
.
25
8
KU
Pencabulan Psl. 290 KUHP Perzina
han Psl. 284 KUHP 2004 2005 2006 8 10 4 3 4 1 2 3 -
korbannya sebagian besar adalah istri. Tahun 2004 3 pelaku, tahun 2005 4 pelaku dan
tahun 2006 1 pelaku. Dari hal tersebut diaas dapat kita ketahui bahwa factor fisik
sangatlah dominant dalam kasus KDRT, dimana pria secara fisik lebih kuat dibandingkan
wanita. Oleh karena itu banyak kasus KDRT korbannya adalah wanita.
Di bawah ini akan dicantumkan jumlah korban KDRT berdasarkan jenis kelamin
di wilayah hokum Polres kurun waktu 2004 s/d 2006
Tabel 4.
Data J umlah Korban KDRT
Berdasarkan J enis Kelamin di wilayah Hukum Polres Lamongan]
Tahun 2004 s/d 2005
la min dalam kuru
u 200 4 s/d 2
T
ab
el
3. D
ata J
umlah
P
el
ak
u
Ke
ke
san Dalam Rumah Tangga Brdasarkan J e
nis Kelamin di Wilayah Hukum Polres Lamongan] Tahun 2004 sampai dengan 20

n Psl. 290 KUHP Perzinahan Psl. 284 KUHP 2004 200
5 2006 8 10 4 3 4 1 2 3 - 2 - 2 1 3 1 J umlah 22
ata sekunder, diolah. Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis kasus ya
ng masuk
di unit RPK dari data ya
ng didapat, diketahui terdapat 4 jenis kasus. Tahu
n 2004 terdapat 8 ka
s ya ng ter
ari 3 kasu s pen
ay
aa
n, 2 k
asus p
er
ko
sa
an
,
2
sus pencabulan dan 1 kasus perz
inahan. Tahun 2005. Dibawah ini akan dicantumkan jumlah kasus KDRT berdasa
dibandingkan umur 21 s/d 30 tahun. Tahun 2004 3 orang, tahun 2005 4 orang dan tahun
2006 1 orang. Ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan yang cukup tinggi yaitu
korban dengan umur antara 21 s/d 30 tahun, pada tahun 2004 2 orang, tahun 2005 3
orang, tahun 2006 tidak ada. Kemudian korban umur 31 s/d 40 tahun pada tahun 2004 1
orang. Tahun 2005 1 orang dan tahun 2006 1 orang.
Pada dasarnya dari jumlah yang masuk dan di data oleh pihak Polres Lamongan
tersebut belum dapat dijadikan pedoman terhadap tibngkat terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, yang terjadi, karena pada kenyataannya kasus yang terjadi jumlahnya
lebih dari itu.
C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga apabila melapor kepada pihak
kepolisian akan ditindak secara tegas. Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota
RPK Polres Lamongan yaitu Aipda Sri Iswati, adapun proses penyelesaian kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga digolongkan menjadi 2 proses, secara kekeluargaan
dan tindakan secara hokum.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut Aipda Sri Iswati mengatakan, proses
tindakan secara kekeluargaan adalah upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk
mendamaikan kedua belah pihak (korban dan pelaku). Bilamana upaya tersebut berhasil
maka diharapkan korban dapat mencabut pengaduannya terhadap pelaku. Berdasarkan
kasus-kasus KDRT yang ditangani oleh pihak Polres Lamongan, sebagian korban pada
akhirnya mencabut kembali pengaduaannya dikarenakan :
1. Telah rujuk kembali dengan pelaku
2. Telah ada kesepakatan tertentu anatara korban dengan pelaku
Sedangkan proses tindakan secara hokum adalah proses tindakan dimana polisi
memproses kasus tersebut seperti halnya kasus-kasus yang lain. Yaitu dimulai dengan
adanya pengaduan dari korban kejahatan atau orang laindisekitarnya yang melapor,
pembuatan BAP dan pelimpahan berkas hingga kejaksaan.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa tindak pidana KDRT
sebenarnya adalah merupakan kejahatan yang adapat dituntut secara hokum. Namun
demikian, jarang sekali korban yang berani melaporkan tindak pidana tersebut. Hal ini
dikarenakan KDRT bagi sebagian masyarakat masih dianggap tabu utnuk dibuka di
depan umum.
Selanjutnya Aipda Sri Iswati juga mengatakan kekerasan yang banyak menimpa
korban Kekerasan Dalam Rumah tangga berdasarkan data di Polres Lamongan adalah
kekerasan fisik, dimana disini factor fisik lelaki (suami) lebih dominant dibandingkan
dengan wanita (istri), atau dengan kata lain laki-laki dianggap lebih berkuasa
dibandingkan dengan wanita. Hal ini menyebabkan wanita (istri lebih bergantung kepada
laki-laki (suami) dalam segala hal dan keadaan ini dimanfaatkan oleh suami (laki-laki)
untuk berlaku semena-mena kepada wanita (istri), selain itu Aipda Sri Iswati juga
mengatakan bahwa banyaknya kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang tidak
bias diketahui oleh masyarakat umum dikarenakan di Lamongan kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tangga adalah hal yang tabu.
Faktor-faktor penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga apabila
dikaitkan antara hasil wawancara dengan teori yang ada di bab II terdapat kesesuaian. Di
dalam bab II terdapat 4 faktor yang mnyebabkan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Diantara keempat faktor tersebut ada 3 yang sesuai dengan hasil wawancara
dengan Aipda Sri Iswati yaitu ;
1. Budaya Patriarki
Budaya yang menyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah
inferior, sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.
2. Ketidakmandirian istri secara ekonomi yang menyebabkan tergantung kepada
suami. Ketergantungan tersebut membuat suami merasa berkuasa dan bisa
melakukan kesewenang-wenangan kepada istri.
3. Adanya kecenderungan masyarakat umum yang memandang persoalan kekerasan
Dalam Rumah Tangga termasuk di dalamnya Kekerasan Terhadap Istri sebagai
suatu persoalan peribadi.
D. Upaya-upaya yang Dapat Dilakukan Dalam Menanggulangi Kasus Kekerasan
dalam Rumah Tangga
Dalam menangani kasus kejahatan pihak polisi berpegang pada KUHP yang
memuat 2 hal pokok, yaitu :
Pertama, KUHP memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan
pengadilan menjatuhkan hukuman pidana. Melalui KUHP Negara menyatakan pada
masyarakat umum, dan tentunya juga pada penegak hokum, perbuatan-perbuatan apa
yang dilarang dan siapa saja yang dapat dipidana.
Kedua, KUHP menetapkan dan mengumumkan apa yang akan diterima oleh orang-orang
yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Dalam hokum pidana reaksi tidak hanya
berupa tindakan pidana, tetapi juga tindakan yang bertujuan melindungi masyarakat dari
perbuatan yang meugikan;
Selain berpegang teguh pada KUHP pihak kepolisian juga berpedoman kepada
undang-undang penghaspusan kekerasan dalam rumah tangga no. 23/2004 pasal 19 :
Kepolisian wajib segera melakukan penyidikan setelah mengetahui atau
menerima laporan tentang terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dan pasal 16 (1)
:
Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kepolisian wajib segera memberikan
perlindungan sementara pada korban.
Polisi dengan segala ornamentnya langsung atau tidak langsung menjadi pusat
perhatian masyarakat. Kesungguhan pengabdian polisi seolah-olah diukur dari
kemampuannya mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan menyelesaikan
kasus kejahatan.
Untuk selanjutnya upaya-upaya yang dilakukan oleh Polres Lamongan dalam
menanggulangi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga seperti yang disampaikan
oleh Aipda Sri Iswati dan Brigadir Luci adalah sebagai berikut :
1. Penegakan Hukum
Yaitu melakukan tindakan-tindakan hokum yang dipandang perlu guna penyelesaian
perkara baik dalam proses penyelidikan maupun proses penyidikan.
2. Penanggulangan secara edukatif
Yaitu berupa penyuluhan, bimbingan melalui satuan BIMMAS (Bimbingan
Mayarakat) bahwa masalah dalam rumah tangga tidak atau jangan diselesaikan
dengan kekerasan bekerjasama dengan LSM, Organisasi Wanita.
3. Penanggulangan secara represif
Yaitu menindak tegas laporan/pengaduan yang dating kepada polisi
Menurut Brigadir Luci anggota unit RPK Polres Lamongan menambahkan selain
tindakan preventif, tindakan represif yang dilakukan oleh polres Lamongan khususnya
unit RPK adalah sebagai berikut :
Pihak Polres Lamongan khususnya unit RPK melakukan tindakan tegas terhadap
pelaku penganiayaan terhadap istri. Didahului dengan penyelidikan, penyidikan,
pemeriksaan serta penyelesaian dan pelimpahan penyerahan perkara kepada penuntut
umum. Akan tetapi sebelum pelimpahan perkara kepada penuntut umum sebelumnya dari
polresta menawarkan adanya jalan damai, apabila terjadi jalan damai maka polisi akan
menjamin korban yang dimana istri yang menjadi korban, bahwa si suami tidak akan
melakukan penganiayaan melalui kertas bermaterai, tetapi apabila si suami tetap
melakukan penganiayaan setelah upaya damai maka disini Polres Lamongan langsung
akan melimpahkan kepada penuntut umum. Serta penjatuhan hukuman dengan ancaman
pidana seberat-beratnya sesuai dengan pasal-pasal dalam kitab undang-undang hokum
pidana dan UU PKDRT no. 23/2004. Karena selama ini banyak kasus penganiayaan
terhadap istri dan penjatuhan hukuman terhadap para tersangka penganiayaan dalam
rumah tangga tidak maksimal, sehingga banyak kasus penganiayaan dalam rumah tangga
yang tidak tersentuh.
Berdasarkan teori didalam Bab II, upaya-upaya yang dilakukan oleh Polres
Lamongan dalam menanggulangi kejahatan yang berupa penganiayaan terhadap istri
sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Aipda Sri Iswati dan Brigadir Luci
menyatakan upaya penanggulangannya lebih ditekankan kepada upaya penegakan
Hukum, edukatif dan represif, hal itu dikarenakan didalam menanggulangi kejahatan
yang berupa penganiayaan terhadap istri, tidak hanya dibebankan kepada Polres
Lamongan saja, tetapi hal ini merupakan tanggung jawab bersama baik oleh polisi, LSM,
masyarakat, dan pihak-pihak yang terkait dengan masalah kejahatan yang berupa
penganiayaan terhadap istri.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah
berusia antara 21 s/d 30 tahun.
2. Korban dari kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah wanita yang
berstatus sebagai istri dan pelakunya adalah laki-laki yang berstatus sebagai
suami.
3. Bahwa factor-faktor yang menyebabkan adanya kekerasan dalam rumah tangga
adalah factor fisik, ekonomi (ketergantungan istri terhadap suami), dan juga
kecenderungan masyarakat umum yang menganggap Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah suatu hal yang tabu untuk di buka di muka umum.
4. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Polres Lamongan sudah sesuai dengan
wewenang-wewenang kepolisian yaitu dengan upaya-upaya penegakan hokum
dan pencegahan secara edukatif, dan penanggulangan secara represif.
Saran
Disamping dirumuskan kesimpulan, penulis memandang perlu menyampaikan
beberapa saran berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas sebagai berikut :
1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat luas tentang kasus
penganiayaan terhadap istri sehingga korban merasa kuat dan sanggup untuk
melakukan perbuatan guna membela hak-haknya.
2. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM),
Kepolisian, masyarakat dan pihak-pihak terkait yang focus pada masalah KDRT
untuk memberikan penyuluhan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, (1990), Delik-delik Khusus Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar
Norma-Norma Kepatuhan, CV. Mandar Maju, Bandung.
Atmasasmita, Romli, (1992), Teori dan Kapita Selecta Kriminologi, Eresco, Bandung.
Chusairi, Achmad, (2000), Istri dan Ketidakadilan Gender (dalam menggugat
harmoni), Rifka Annisa WCC, Yogyakarta.
Djannah, Fathul, (2003), Kekerasan Terhadap Istri, LKIS, Yogyakarta.
Elimina, Martha., (2003), Perempuan Kekerasan dan Hukum, UII Press, J ogjakarta.
G. Nelson, D.M. Di Costa, (1987), Family And Social Network Factors After Divorce
In Catholic Italian and Aglophone Woman, dalam J ournal Of Divorce.
Harbianto, Elli. N., (1999), KDRT : Potret Muram Kehidupan Perempuan Dalam
Perkawinan, Annisa WCC, Yogyakarta.
H. Hamrat Hamid, Harun M. Husein, (1991), Pembahasan Permasalahan KUHP
Bidang Penyidikan, Sinar Grafika, J akarta.
Http://www.bubu.com, AdresAmbar Purwanto, (1998), Sketsa Kekuatan Penebar Luka.
http://www.kesrepo.info.2002, Surjadi dan Handayani, Aplikasi Kesehatan Masyarakat
Pada Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1999), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Balai Pustaka, J akarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1989), Terbitan Balai Pustaka, Cetakan Kedua.
Kompas, 14 Maret 2005, Tingkat Kekerasan Terhadap Perempuan.
LKP2 Fatayat NU, (1999), Rumah Ibu dan The Asia Fondation, Buku Panduan
Konselor Tentang KDRT, J akarta.
M. Darwin, (1996), Kesehatan Reproduksi : Ruang Lingkup dan Kompleksitas
Masalah Populasi.
M. Kartaji, (1976), Polisi, Politea, Bogor.
Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1985.
N.A. Werner dan M.A. Zahn, R.S. Sagi, (1990), Violence Pattern, Causes Public Policy,
Harcourt Brace J avanovich, New York.
Nurhayati, Elli, (2000), Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan
(Konseling Berwawasan Gender), Rifka Annisa Bekerjasama dengan Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Prasetyo, Eko dan Marzuki, Suparman, (1997), Perempuan dalam Wacana Perkosaan,
Dalam Mansour Faqih, Membincangkan Perkosaan dan Kekerasan Perspektif
Analisa Gender, PKBI.
Santoso, Thomas, (2002), Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, J akarta.
Sasangka, Hari, Risita, Lily dan Hadiwijoyo, agus, (1996), Penyidikan, Penahanan,
Penuntutan dan Praperadilan, Dharma Surya Berlian, Surabaya.
Silawati, Hartian., (2001), Menggagas Woman Crisis Center di Indonesia, Rifka Annisa
WCC, Bekerjasama dengan Pact Indonesia didukung oleh USAID, Yogyakarta.
Sudarsono, (2002), Kamus Hukum, Edisi Baru, Rineka Cipta, J akarta.
Transito, (1981), Paper, Skripsi, Tesis, Desertasi, Bandung.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka Belajar,
J akarta, 1989.
UU No. 23 tahun 2004 pasal 5, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Cemerlang, J akarta.
Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad Dan, (2001), Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama,
Bandung.
Wahid, Abdul, (1996), Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Sosial (dalam
Mansour Fakih) Membincangkan Feminisme, Diskursus Gender Perspektif
Islam, Risalah Gusti, Surabaya.
www.yahoo.com. Mitra Perempuan, Tingkat Kekerasan terhadap Perempuan. Agustus
2002.
www.yahoo.com, 22 Desember 2003, Wahjana, J uliana, Kekerasan Terhadap
Perempuan.
www.yahoo.com. 2000, Harkrisno, Harkristuti, Pidana dan Perspektif Kekerasan
Terhadap Perempuan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai