Anda di halaman 1dari 30

BAB 1 PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Kriteria GGK yaitu kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3
bulan, berupa kelainan structural atau fungional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi, kelainan neurologis, terdapat tanda
kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urine, atau kelainan
dalam test pencitraan (imaging test). Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60
ml/ menit/ 1.73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan
tidak terdapat kerusakkan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60
ml/ menit/ 1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di
Amerika Serikat telah menderita GGK dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat
1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3
dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden
GGK diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8%
setiap tahun.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi nomal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal
ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan,
angina dan napas sesak.
Defisiensi eretropoetin merupakan penyebab utama anemia pada GGK. Dalam
keadaan normal 90% eritropoetin diproduksi ginjal dan hanya 10% diproduksi hati.
Keadaan hypoxia merupakan rangsangan untuk peningkatan pembentukan
eritropoetin. Eritropoetin mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang
proliferasi, diferensiasi, dan maturasi precursor eritroid.
Eritropoietin diindikasikan untuk pengobatan gagal ginjal dengan anemia.
Eritropoietin secara konsisten memperbaiki kadar hematokrit dan Hb serta biasanya
tidak memerlukan transfuse pada pasien ini. Suatu peningkatan jumlah retikulosit
biasanya terjadi sekitar 20 hari serta peningkatan hematokrit dan kadar Hb dalam 2-
6 minggu.
Terdapat beberapa manfaat dalam pemberian eritropoetin, disamping karena
perbaikan anemia, dapat member kentungan lain yaitu, perbaikan perasaan enak,
kemampuan fisik meningkat, nafsu makan meningkat, kemampuan seksual
meembaik, dan perbaikan hemostasis.















BAB 2 PEMBAHASAN


2.1 Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Pengertian
Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
GGK merupakan perkembangan dari gagal ginjal akut yang progresif dan
lambat biasanya berlangsung beberapa tahun, dimana ginjal kehilangan
kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam
keadaan asupan diit normal.
GGK adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Dari beberapa pengertian diatas dapat penulis simpulkan bahwa GGK adalah
penyakit ginjal tahap akhir yang menyebabkan gangguan fungsi normal ginjal untuk
mempertahankan keseimbangan volume cairan dan elektrolit, memerlukan terapi
dialysis atau penggantian ginjal.

2.1.2 Epidemiologi
Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di
Amerika Serikat telah menderita GGK dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat
1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3
dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden
GGK diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8%
setiap tahun.Di Malaysia dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal per tahun. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.

2.1.3 Etiologi
Gagal ginjal kronis dapat disebabkan oleh penyakit sistematik seperti diabetes
militus, glumeluronefritis kronis; pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol;
obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan
vaskuler, infeksi, medikasi, atau agens toksik. Klasifikasi penyebab GGK seperti
tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi penyebab GGK
Klasifikasi penyakit Penyakit
Infeksi Pielonefritis kronis
Penyakit vaskular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan penyambung Lupus eritematosus sistemik poliarteritis
nodus
Sklerosis sistemik proggresif
Gangguan kongenital dan
herediter

Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik DM, gout, hipertiroidisme, amiloidosis

Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik
Nefropati ginjal

Nefropati obstruktif Sal. Kemih atas: kalkuli neoplasma
fibrisis
retroperitineal
Sal. kemih bawah:hipertropi prostat.
Striktur
urethra, anomali congenital pada leher
kandung kemih dan urethra

Penyakit peradangan Glomerulonefritis

Kriteria GGK adalah sebagai berikut :
1. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
structural atau fungional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi, kelainan neurologis, terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk
kelainan dalam komposisi darah atau urine, atau kelainan dalam test pencitraan
(imaging test).
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/ 1.73 m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakkan ginjal
lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/ menit/ 1,73 m2, tidak
termasuk kriteria penyakit
ginjal kronik.








GGK dapat ditentukan stadiumnya melalui nilai dari GFR, seperti tabel 2.2
dibawah ini.
Tabel 2.2 Stadium GGK


2.1.4 Pathofisiologi
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolime protein yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah hemodialisis.
Gangguan Klirens Renal. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai
akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan Laju Filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi
glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli). Klirens kreatinin akan menurun
dan kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah
(BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang paling
sensitive dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein
dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
Pada GGK, ginjal tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urin secara normal, respons ginjal yang sesuai terhadap perubahan
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan
natrium dan cairan, meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiostensin
dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan
risiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan
air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis juga dapat terjadi pada penyakit GGK, terjadinya asidosis metabolik
disebabkan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
untuk menyekresi ammonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi nomal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal
ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan,
angina dan napas sesak.
Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat. Abnormalitas utama yang lain pada
gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum
kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik; jika salah satunya
meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus
ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar
serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon
dari kelenjar paratiroid.
Namun demikian, pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon secara normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya, kalsium di tulang
menurun, menyebabkan perubahan pada tilang dan penyakit tulang.
Penyakit tulang akibat GGK dapat menimbulkan kecacatan. Hal ini
berhubungan dengan kegagalan hidroksilasi vitamin D di ginjal yang menyebabkan
osteomalasia dan hipokalsemia akibat kadar fosfat yang tinggi dan kadar vitamin D
yang rendah menyebabkan
osteoporosis.
Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan
dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya
hupertensi. Pasien yang mengekskresikan secara signifikan sejumlah protein atau
mengalami peningkatan tekanan darah
cenderung akan cepat memburuk daripada mereka yang tidak mengalami kondisi ini.

2.1.5 Gambaran klinis
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus eritematosus
sistemik, infeksi sistemik, inflamasi, penyakit metabolik, riwayat keluarga dengan
penyakit ginjal, obat-obatan seperti analgesik, NSAIDs, gold, penicillamine,
antimikroba, lithium, ACE inhibitor.
Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah letargi, anoreksia, mual,muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan ( volume overload ), neuropati perifer, uremic
frost, perikarditis, kejangkejang sampai koma.
Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium,
klorida) Pada anamnesis ditanyakan adanya sindrom uremia seperti napsu makan,
makanan, mual, muntah, hiccups, napas yang pendek, edema, perubahan berat badan,
keram otot, pruritus, ganggguan mental, dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pada
pemeriksaan fisik dilakukanpemeriksaan tekanan darah, funduskopi, pemeriksaan
precordial, pemeriksaan bruit pada abdomen, balotement, penilaian adanya edema,
pemeriksaan neurologis (asterixis, neuropati,kelemahan otot, pemeriksaan ukuran
prostat pada laki-laki dan adanya massa di pelvis pada perempuan.

2.1.6 Gambaran laboratorium
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia , hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast,
isosisteinuria.

2.1.7 Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologi GGK meliputi; Foto polos abdomen, bisa tampak batu
radio-opaque,
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan. Pielografi
antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi. USG ginjal memperlihatkan ukuran
ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan
bila ada indikasi.

2.1.8 Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana GGK sesuai dengan derajatnya.
Penatalaksanaan GGK meliputi:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Kondisi komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik,
bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Memperlambat progesivitas GGK
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah
penurunan LFG lebih lanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
Pembatasan asupan protein
Tujuan utama pembatasan asupan protein, selain untuk memperbaiki
komplikasi uremia, adalah untuk memperlambat kerusakan nefron. Pembatasan
asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan diatas nilai
tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0.6-0.8/kgbb/hari, yang 0.30-0.50 gr diantaranya merupakan
protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-
35kkal/kgbb/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien.
Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda
dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalm tubuh tetapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen,
fosfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena
itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien GGK akan mengakibatkan penimbunan
substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan megakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia.
Dengan demikian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik maslah penting lain adalah asupan protein berlebih (
protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hiperfiltation), yang akan meningkatkan progresivitass pemburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria
Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurasi hipertensi glomerulus
ialah dengan pengggunaan antihipertensi, yang bertujuan untuk memperlambat
progresivitas dari kerusakan ginjal, dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi
intraglomerular. Selain itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria.
Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan proteinuria yang disebabkan
transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik meningkat.
Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria, berkaitan dengan proses
perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuriaberkaitan dengan proses
perburukan fungsi ginjal pada GGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor
bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-
obat tersebut dapat diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovakuler
Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada GGK disebabkan oleh
penyakit kardiovaskuler. Hal hal yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemi, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini
terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi GGK secara keseluruhan.
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi GGK mengakibatkan berbagai
komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi.


2.2 Anemia Pada GGK

2.2.1 Pengertian
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah
merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml
darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan
patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama,
pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia merupakan satu dari gejala
klinik pada gagal ginjal.
Anemia pada GGK muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40
ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan
semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada
pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki
hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens
menurun sampai kurang dari 30-35 ml per menit.
Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak
ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi (menjadi gambaran
hipokrom mikrositer) yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat
hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi
normal, tidak adekuat.

2.2.2 Patogenesis
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada
gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan
penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses
sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium.
Hemolisis
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien
hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan
variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang
25-30%. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran
dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan
mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa
phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu
mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis.
Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat
atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm
juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH
yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM
manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler.
Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2
mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat
peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan.
Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum
tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan
adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan
uremia.
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang
mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler
(hypofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral,
dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate
(DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari
interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk
menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat
menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter
karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang
tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin pemhambatan hexose
monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan
tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan
biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenism
merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi,
fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi
sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal.
Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan
hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena
pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan
karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang
berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.
Defisiensi Eritropoetin
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain
yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis
mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling
utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan
gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat
kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin.
Peran penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal
ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian
terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan
dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal
menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat.
Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan
terjadi defisiensi erotropoetin.
Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan
pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal,
pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.
Defisiensi eretropoetin merupakan penyebab utama anemia pada GGK. Dalam
keadaan normal 90% eritropoetin diproduksi ginjal dan hanya 10% diproduksi hati.
Keadaan hypoxia merupakan rangsangan untuk peningkatan pembentukan
eritropoetin. Eritropoetin mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang
proliferasi, diferensiasi, dan maturasi precursor eritroid.
Penghambatan eritropoesis
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel
prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis
yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan
proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan
gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan
produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit,
karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis
ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon.
Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal
kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga
menghambat granulopoesis dan trombopoesis.
Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan
merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin
tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit
ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder,
tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efek
penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia,
peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia
pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis
belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis
sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam
hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal.


Faktor Lain
Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal
ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat
terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat
yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang
kadar feritin serum nya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis,
menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi
alumnium.
Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat
yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan
hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat
mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan
mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya
sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.

2.2.3 Diagnosis
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat
penyakit terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan apus darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi,
anemia ini bersifat hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi
menunjukkan burr cell. Perubahan morfologi sel darah merah menampilkan proses
hemolitik primer , mikroangiopati atau hemoglobinopati. Jumlah total retikulosit
secara umum menurun.
Mean corpuscular volume meningkat pada defisiensi asam folat, defisiensi B
12 dan pasien dengan kelebihan besi. Mean corpuscular volume menurun pada pasien
dengan thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi aluminium yang berat.
Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuERITROPOETIN) ,
penilaian terhadap simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan
besi sangat diperlukan.
Pada keadaan dimana tidak ada faktor yang memperberat seperti penyakit
inflamasi, penyakit hati, atau respons yang buruk dari rHuERITROPOETIN, feritin
serum merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi tubuh. Jika simpanan
menurun , nilai feritin serum menurun sebelum saturasi transferin. Walaupun
penyakit kronik dapat menurunkan besi dan transferin, pasien dengan saturasi
transferin kurang dari 20% dan feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi
defisiensi besi. Di sisi lain pasien memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal
berespons terhadap replacement besi harus diperkirakan mengalami intoksikasi
aluminium atau hemoglobinopati.
Walaupun alat serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi dengan
spesifisitas, Memastikan dengan pasti penyebab membutuhkan berbagai jalur
kehilangan besi pada pasien tersebut termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood
loss / hari atau 5 ml kehilangan besi/ hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana
mungkin disebabkan karena antikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan
kembali dialister yang buruk), flebotomi yang rutin untuk kimia darah dan konsumsi
besi pada terapi rHuERITROPOETIN.


2.3 Eritropoetin

2.3.1 Pengertian
Eritropoietin (bahasa Inggris: erythropoetin, erithropoyetin, hematopoietin,
hemopoietin, ERITROPOETIN) adalah hormon glikoprotein yang merupakan
stimulan bagi eritropoiesis, sebuah lintasan metabolisme yang menghasilkan
eritrosit.[1]
Sintesis dominan ERITROPOETIN terjadi pada sel di area interstitial peri-
tubular di dalam ginjal, selain hati dan otak. Sintesis ERITROPOETIN diregulasi
oleh konsentrasi oksigen di dalam darah, meskipun mekanisme yang mendalam
masih belum dimengerti.
Eritropoietin, suatu glikoprotein dengan berat molekul 34-39 kDA yang dikode
oleh gen pada kromosom 7, merupakan factor pertumbuhan hematopoietic yang
pertama kali diisolasi. Eritropoeitin merupakan factor pertumbuhan sel darah merah
yang diproduksi terutama oleh sel interstitial peritubular ginjal, dan sebagian kecil
juga diproduksi di hati. Untuk kepentingan pengobatan, eritropoietin diproduksi
sebagai rekombinan eritropoietin manusia yang disebut eritropoetinetin alfa
ERITROPOETIN hasil sekresi dan beredar dalam sirkulasi darah akan
meregulasi eritropoiesis pada sumsum tulang melalui pencerap Eritropoetin yang
masih tergolong sebagai pencerap sitokina, dan mekanisme transduksi sinyal selular
melalui beberapa kinase termasuk lintasan JAK/STAT dan Ras/MAP. Lintasan ini
memelihara dan menstimulasi mitosis dan kematangan sel, meningkatkan sintesis
hemoglobin. Mutasi pada lintasan ini akan mengakibatkan terminus karboksil eritrosit
terpotong seperti pada simtoma eritrositosis.

2.3.2 Farmakodinamik
Eritropoietin endogen diproduksi oleh sel tubulointersitial ginjal sebagai
respon terhadap hipoksia jaringan. Hipoksia menghambat kerja enzim prolyl
hydroxylase sehingga terjadi akumulasi HIF-1 (Hipoxia Inducible factor) yang
mengaktivasi ekspresi eritropoietin.
Eritropoietin berinteraksi dengan reseptor eritropoietin pada permukaan sel
induks sel darah merah, menstimulasi proliferasi dan diferensiasi eritroid.
Eritropoietin juga menginduksi pelepasan retikulosit dari sumsum tulang.
Bila terjadi anemia maka eritropoietin diproduksi lebih banyak dan
eritropoietin kemudian menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan lebih
banyak sel darah merah. Keadaan anemia dapat diperbaiki bila respon sumsum tulang
tidak terganggu oleh adanya defisiensi zat gizi (terutama zat besi) atau adanya
gangguan atau penekanan sumsum tulang (misalnya pada anemia aplastik, leukemia,
myeloma multipel).
Kadar eritropoietin serum umumnya berbanding terbalik dengan kadar
hematokrit atau hemoglobin. Pada pasien tidak anemis, kadar eritropoietin serum
kurang dari 20 IU/L, tetapi pada keadaan anemia berat dapat mencapai kadar 100-500
IU/L atau lebih. Akan tetapi pada anemia akibat penyakit ginjal seperti gagal ginjal
kronik, kadar eritropoietin umumnya rendah karena ginjal tidak dapat memproduksi
eritropoietin.

2.3.3 Peran Eritropoetin pada pembentukan sel darah
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang
diproduksi ginjal (85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus pembentukan
eritropoietin berpusat pada hati sebelum diambil alih oleh ginjal. Eritropoietin
bersirkulasi di darah dan menunjukkan peningkatan menetap pada penderita anemia,
regulasi kadar eritropoietin ini berhubungan eksklusif dengan keadaan hipoksia.
Sistem regulasi ini berkaitan erat dengan faktor transkripsi yang dinamai hypoxia
induced factor-1 (HIF-1) yang berkaitan dengan proses aktivasi transkripsi gen
eritropoeitin. HIF-1 termasuk dalam sistem detektor kadar oksigen yang tersebar luas
di tubuh dengan efek relatif luas (cth: vasculogenesis, meningkatkan reuptake
glukosa, dll), namun perannya dalam regulasi eritropoiesis hanya ditemui pada ginjal
dan hati. Eritropoeitin ini dibentuk oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal,
sedangkan pada hati hormon ini diproduksi sel Kupffer dan hepatosit. Selain keadaan
hipoksia beberapa zat yang dapat merangsang eritropoiesis adalah garam-garam
kobalt, androgen, adenosin dan katekolamin melalui sistem -adrenergik. Namun
perangsangannya relatif singkat dan tidak signifikan dibandingkan keadaan hipoksia.
Eritropoietin yang meningkat dalam darah akan mengikuti sirkulasi sampai
bertemu dengan reseptornya pada sel hematopoietik yaitu sel bakal/stem cell beserta
turunannya dalam jalur eritropoiesis. Ikatan eritropoietin dengan reseptornya ini
menimbulkan beberapa efek seperti; Stimulasi pembelahan sel eritroid (prekursor
eritrosit), memicu ekspresi protein spesifik eritroid yang akan menginduksi
diferensiasi sel-sel eritroid, menghambat apoptosis sel progenitor eritroid.
Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3, interleukin-
11, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan trombopoietin akan
mempercepat proses maturasi stem cell eritroid menjadi eritrosit (Hoffman,2005).
Secara umum proses pematangan eritosit dijabarkan sebagai berikut :
1. Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat memperbaharui diri
dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan megakariosit (bakal
platelet).
2. BFU-E : burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroid yang
lebih fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun fetus.
Sensitivitas terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
3. CFU-E : colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang lebih
matur dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit (bergantung pada subunit
hemoglobinnya.
4. Proeritroblast, eritroblast dan normoblast : progenitor eritrosit ini secara morfologis
lebih mudah dibedakan dibanding sel prekursornya, masih memiliki inti, bertambah
banyak melalui pembelahan sel dan ukurannya mengecil secara progresif seiring
dengan penambahan hemoglobin dalam sel tersebut.
5. Retikulosit : eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus dalam
bentuk poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA, komponen membran sisa dari sel
prekursornya, dan hanya sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang diperlukan sel
selama masa hidupnya. Selelah proses enukleasi, retikulosit akan memasuki sirkulasi
dan menghabiskan sebagian waktu dalam 24 jam pertamanya di limpa untuk
mengalami proses maturasi dimana terjadi remodeling membran, penghilangan sisa
nukleus, dan penambahan serta pengurangan protein, enzim, dan fosfolipid. Setelah
proses ini barulah eritrosit mencapai ukuran dan fungsi optimalnya dan menjadi
matur (Munker, 2006).
Peran eritropoetin sangat perpengaruh dalam pembentukan eritrosit, seperti
yang terdapat pada gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1 Peran Eritropoetin

2. 3.4. Farmakokinetik
Setelah pemberian intravena waktu paruh eritropoeitin pada pasien gagal ginjal
kronik sekitar 4-13 jam. Eritropoietin tidak dikeluarkan melalui dialysis.
Darbopoietin alfa merupakan eritropoietin bentuk glikosilasi memiliki waktu paruh 2-
3 kali eritropoietin.

2.3.5. Farmakologi Klinik
Eritropoietin diindikasikan untuk pengobatan gagal ginjal dengan anemia.
Eritropoietin secara konsisten memperbaiki kadar hematokrit dan Hb serta biasanya
tidak memerlukan transfuse pada pasien ini. Suatu peningkatan jumlah retikulosit
biasanya terjadi sekitar 20 hari serta peningkatan hematokrit dan kadar Hb dalam 2-
6 minggu.
Kebanyakan pasien dapat mempertahankan hematokrit kira kira 35% dengan
dengan dosis eritripoietin 50-150 UI/kg secara intravena atau subkutan 3 kali
seminggu. Kegaagalan respon terhadap eritropoietin paling sering disebabkan karena
bersaamaan dengan defisiensi besi, yang dapat di koreksi dengan pemberian besi per
oral. Penambahan folat mungki juga perlu untuk beberapa pasien.
Eritropoietin mungkin juga berguna untuk pengobatan anemia dengan
keainan sumsum tulang primer dan anemia sekunder pada pasien tertentu . Ini
meliputi pasien dengan anemia aplastik dan kegagalan sumsum tulang lainya,
kelainan mieloprolieratif dan mielodisplastik, myeloma multiple dan mungkin
keganasan kronik sumsum tulang lainya, dan anemia yang menyertai peradangan
kronik, AIDS, dan kanker. Pasien dengan kelainan ini yang mengalamai kadar
eritripoietin serum yang rendah tidak sebanding untuk derajat anemianya yang
mungkin memberikan respon terhadap pengobatan dengan factor pertumbuhan ini.
Pasien dengan kadar eritropoietin endogen kurang dari 100UI/L hanya kadang
kadang memberikan rerspon . Pasien seperti ini biasanya memerlukan dosis yang
lebih tinggi (150-300 UI/kg, 3 kali seminggu) untuk mencapai suatu respon, dan
respon sering tidak lengkap.
Eritropoietin juga telah digunakan dengan sukses untuk menanggulangi
anemia yang disebabkan oleh penggobatan dengan zidovudin pada pasien dengan
infeksi HIV dan pada pengobatan anemia karena prematuritas. Eritropoietin juga
dapat digunakan untuk mempercepat eritropoiesis setelah flebotomi, bila darah di
kumpulkan untuk transfuse autologous untuk pembedahan tertentu atau pengobatan
kelebihan besi ( hemokromatosis).
Terdapat beberapa pilihan rekombinan eritropoetin yaitu Eritropoetinetin alfa
(Eritropoetingen, Procrit, Eprex) den Eritropoetinetin beta (NeoRecormon)
sebagai generasi pertama eritropoetin yang pemberiannya 1-3x/minggu. Darbopoetin
(Aranesp) sebagai generasi kedua memiliki waktu paruh yang lebih lama dan
diberikan 1x/minggu atau 1x/2 minggu. Mircera generasi ketiga, dengan masa
kerja yang lebih lama, diberikan 1x/2 minggu atau 1x/bulan.


Namun pada prinsipnya, pemakaian eritropoetin adalah untuk mengoreksi
anemia pada GGK dengan target Hb 11-12 gr/dl.

Kadar hemoglobin lebih dari 13
gr/dl meningkatkan resiko kejadian thrombosis. eritropoetin menurut Persatuan
Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) diindikasikan bila didapat Hb 10 gr/dl, Ht
30%, penyebab anemia lain sudah disingkirkan dan status besi yang cukup. Terapi
eritropoetin tediri dari 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi
bertujuan mengoreksi anemia sampai target Hb /Ht tercapai.


a. Umumnya dimulai dengan 2.000-4.000 IU (International Unit) subkutan, 2-3 kali/
minggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 gr/dl dalam 4 minggu atau Ht naik 2-
4% dalam 2-4 minggu.
c. Bila target tercapai pertahankan dosis eritropoetin sampai target Hb tercapai
(>10gr/dl)
d. Bila target respon belum tercapai, naikkan dosis 50%
e. Bila Hb naik > 2,5 gr/dl atau Ht naik >8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%
f. Pemantauan status besi : selama terapi eritropoetin pantau status besi, berikan
suplemen sesuai panduan terapi besi.
Terapi eritropoetin fase pemeliharaan dilakukan bila target Hb sudah tercapai
(>10gr/dl) dengan dosis 1-2x 2000 IU/ minggu. Pemantauan Hb dan Ht tiap bulan
serta periksa status besi tiap 3 bulan. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai
>12 gr/dl dan status besi cukup, maka dosis eritropoetin diturunkan 25%.
Pemakaian eritropoetin dapat dilakukan secara intravena (IV) atau subkutan,
pasien pasien yang menjalani hemodialisis biasanya menggunakan eritropoetin
secara IV sedangkan pasien CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau
GGK pre-dialisis umumnya menggunakan eritropoetin secara subkutan.

Pemakaian
secara subkutan biasanya menggunakan dosis 30% lebih rendah daripada dosis IV.
eritropoetin dapat menyebabkan hipertensi dan meningkatnya viskositas darah
sehingga diperlukan monitoring rutin terhadap kondisi pasien.

2.3.6. Indikasi
Gagal ginjal kronik
Pada pasien ini pemberian eritropoietin umumnya meningkatkan kadar hematokrit
dan hemoglobin dan mengurangi kebutuhan transfuse. Peningkatan jumlah retikulosit
umumnya terlihat dalam waktu 10 hari dan peningkatan kadar hematokrit dan
hemoglobin dalam 2-6 minggu. Pada kebanyakan pasien kadar hematokrit sekitar
35% dapat dipertahankan dengan pemberian eritropoietin 50-150 IU/kg IV atau SC
tiga kali seminggu. Pemberian subkutan umumnya lebih disenangi karena
absorbsinya lebih lambat dan jumlah yang dibutuhkan berkurang 20-40%.
Respon pasien dialysis terhadap pemberian eritropoietin tergantung pada beratnya
kegagalan ginjal, dosis eritropoietin dan cara pemberian serta ketersediaan zat besi.
Kegagalan respon paling sering disebabkan oleh adanya defisiensi zat besi yang dapat
diatasi dengan pemberian preparat besi per oral. Pasien yang mendapat eritropoietin
harus dimonitor ketat dan dosis perlu disesuaikan agar peningkatan hematokrit terjadi
secara bertahap untuk mencapai 33-36% dalam 2-4 bulan. Kadar hematokrit yang
dicapai dianjurkan tidak melebihi 36% untuk menghindari infark miokard.
Pasien anemia karena gangguan primer atau sekunder pada sumsum tulang.
Umumnya kurang memberikan respon terhadap pemberian eritropoietin.
Respon paling baik bila kadar eritropoetin kurang dari 100 IU/L. umumnya untuk
pasien ini dibutuhkan dosis lebih tinggi, sekitar 150-300 IU/L tiga kali seminggu, dan
responnya biasa tidak terlalu baik
Indikasi terapi eritropoetin dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini.







Tabel 2.3 Indikasi Terapi Eritropoetin


2.3.7 Kriteria
Pengobatan anemia dengan eritropoetin dapat diberikan pada penderita GGK
yang menjalani HD maupun CAPD. Pemberiannya dimulai setelah keadaan stabil
serta telah terkendalinya gejala uremia, kelebihan cairan dan hipertensi. Pada
penderita yang belum menjalani dialysis dapat pula diberikan dan dimulai jika
hematokrit dibawah 30%.
Pengobatan dengan eritropoetin hanya boleh dimulai setelah semua penyebab
anemia kecuali defisiensi erotropoetin disingkarkan, terutama defidiensi Fe, asam
folat, vitamin B12, dan adanya perdarahan.
The Renal Association of Great Britain memakai kriteria sebagai berikut:
1. Hemoglobin dibawah 8 g/dl
2. Penderita memerlukan tranfusi berkala
3. Anemia yang memperberat angina atau payah jantung
4. Anemia yang membahayakan jiwa serta berhubungan dengan gangguan fungsi
tubuh
5. Penderita dimana tranfusi harus dihindarkan untuk mengurangi sensitisasi pada
waktu tranplantasi.
2.3.9 Kontra Indikasi
Pasien yang tidak memenuhi persyaratan untuk terapi Eritropoiet. Pasien
dengan berbagai kondisi berikut :
1. Defisiensi asam folat. Vitamin B12 atau besi
2. Pasien perdarahan atau hemolisis
3. Leukemia mieloenik kronik maupun akut
4. Kanker eritroid
5. Fibrosis sumsum tulang belakang
6. Resisten eritropoietin di kernakan neutralisasi antibody
7. Anemia dikarenakan pengobatan kanker jika mempunyai hipertensi yang tidak
terkontrol

2.3.10 Manfaat
Terdapat beberapa manfaat dalam pemberian eritropoetin, disamping karena
perbaikan anemia, dapat member kentungan lain yaitu, perbaikan perasaan enak,
kemampuan fisik meningkat, nafsu makan meningkat, kemampuan seksual
meembaik, dan perbaikan hemostasis.

2.3.11 Efek Samping
Hipertensi
Menginduksi terjadinya peningkatan tekanan darah dan memperberat hipertensi
yang ada pada 20-30% pasien yang paling sering akibat peningkatan hematokrit yang
terlalu cepat.
Tendensi thrombosis terutama pada pasien diabetes mellitus

2.3.12 Beberapa produk eritropoietin yang tersedia di Indonesia
- ERITROPOETINGLOBIN (produksi Ikapharmaindo)
Rekombinan eritropoeitin manusia 2.000 dan 6.000 UI/ vial
- ERITROPOETINTREX-NP (produksi Novell-Pharma)
Rekombinan eritropoeitin manusia 2.000 dan 4.000 IU/vial
- HEMAPO (produksi Kalbe Farma)
Rekombinan eritropoeitin alfa 3.000 UI; 10.000 UI/mL
- RECORMON (produksi Roche Indonesia)
Eritropoetinietin 2.000 UI; 5.000 UI/ 0,3 mL PFS (prefilled syringe); 10.000
IU/0,6mL PFS
Contoh produk Eritropoetin seperti gambar 2.2 dibawah ini.


Gambar 2.2 Contoh Produk Eritropoetin

















DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia vol. 25. 2010-2011. Penerbit
Ikatan Apoteker Indonesia.

Brunton, Laurence L. Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 11th Ed. The McGraw-Hill Companies. 2007.
Dewoto, Hedi R. dan S. Wardhini B.P. Antianemia Defisiensi Besi dan Eritropoeitin.
dalam Farmakologi dan Terapi, ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009: 803
Gerard J. Tortora and Bryan H. D. The Cardiovascular System -The Blood In
Principles of Anatomy And Physiology Volume 2, 12
th
ed. John Wiley &
Sons, Inc. 2009: 19: 689-713.
Glassock RJ dalam: Current Therapy in Nephrology and Hypertension, Ed 3.St.
Louis: McGraw-Hill 1992

Harisson TR dalam: Principles of Internal Madicine Vol.2, Ed.16. New York:
McGraw-Hill 2005
Kuter, David J. and C. Glenn Begley. Recombinant human thrombopoietin: basic
biology and evaluation of clinical studies. In Blood . 2002. Vol 100 no. 10 :
3457-3469. doi:10.1182/blood.V100.10.3457
Kuter, David J. New thrombopoietic growth factors. In Blood .2007 vol. 109 no. 11:
4607-4616. doi: 10.1182/blood-2006-10-019315
Massry SG, Glassock RJ dalam: Text Book of Nephrology Vol.2, Ed 2. Baltimore:
Williams& Wilkins 1983
M.Baldy, Catherine dalam : Gangguan Sel Darah Merah. Patofisiologi, Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Vol.1, ed. 6. Jakarta: EGC 2002 halaman 256
Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen Anemia Pada
pasien Gagal Ginjal Kronik: 2001
Schmidt, Rebecca J and Dalton, Cheryl L dalam : Treating anemia of chronic kidney
disease in the primary care setting: cardiovascular outcomes and management
recommendations, diakses dari www.pubmedcentral.nih.gov/artiderender.fcgi?
artid=2147011, 2009.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S dalam: Ilmu Penyakit
Dalam Vol.1, ed.4.Jakarta: FKUI 2007
Suwitra, Ketut dan Widiana, Gde Raka dalam : The 9th National Congress of InaSN
&Annual Meeting of Nephrology, Bali : 2005.

Anda mungkin juga menyukai