Anda di halaman 1dari 8

16 Prinsip Pendidikan Vokasional dari Prosser

Dr. Charles Allen Prosser (1871-1952) adalah seorang praktisi dan akademisi Amerika Serikat
yang sering dianggap sebagai bapak pendidikan kejuruan, terutama di Amerika. Prosser juga
adalah seorang guru Fisika dan Sejarah di New Albany High School dan mendapatkan gelar PhD
dari Columbia University. Di kalangan akademisi pendidikan vokasi dan kejuruan di Indonesia,
Prosser cukup dikenal sebagai penyusun 16 Prinsip Pendidikan Vokasi atau sering juga disebut
sebagai 16 Dalil Prosser.

Prosser yakin bahwa sekolah harus membantu para siswanya untuk mendapatkan pekerjaan,
mempertahankan pekerjaan tersebut dan terus maju dalam karir. Prosser yakin bahwa harus ada
sekolah vokasional untuk publik sebagai alternatif terhadap sekolah umum yang sudah ada.
Sekolah vokasional yang dimaksud adalah sekolah yang menyediakan pelajaran untuk berbagai
jenis pekerjaan yang ada di industri. Prosser percaya bahwa pendidikan vokasional di jenjang
sekolah menengah atas akan mampu menjadikan para siswa lebih independen.

Prosser terkenal dengan prinsip-prinsipnya dalam pendidikan vokasional. Berikut terjemahannya
yang saya kutip dari materi kuliah Prof. Herminarto Sofyan dari Universitas Negeri Yogyakarta.
1. Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih merupakan replika
lingkungan dimana nanti ia akan bekerja.
2. Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas latihan
dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di tempat kerja.
3. Pendidikan kejuruan akan efektif jika melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir dan
bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.
4. Pendidikan kejuruan akan efektif jika dapat memampukan setiap individu memodali
minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya pada tingkat yang paling tinggi.
5. Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau pekerjaan hanya dapat
diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya dan yang
mendapat untung darinya.
6. Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan
kerja dan kebiasaan berpikir yang benar diulang-ulang sehingga sesuai seperti yang
diperlukan dalam pekerjaan nantinya.
7. Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai pengalaman yang sukses
dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan
dilakukan.
8. Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang agar
dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut.
9. Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar.
10. Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika pelatihan
diberikan pada pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai).
11. Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu okupasi tertentu
adalah dari pengalaman para ahli okupasi tersebut.
12. Setiap pekerjaan mempunyai ciri-ciri isi (body of content) yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain.
13. Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai dengan
kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan memang paling efektif jika
dilakukan lewat pengajaran kejuruan.
14. Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan dan hubungan
pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik tersebut.
15. Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika luwes.
16. Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka
pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.
17. Pembiayaan Pendidikan Vokasi dan Contoh Kasus Beberapa Negara
18. Pembiayaan pendidikan adalah salah satu isu menarik dan penting dalam membangun
pendidikan suatu bangsa. Kali ini saya mencoba menarik beberapa aspek esensial
berkenaan pembiayaan pendidikan vokasi dan teknik yang ditulis dalam laporan proyek
UNEVOC (International Project on Technical and Vocational Education) dari UNESCO
tahun 1996. Laporan ini diberi judul Financing Technical and Vocational Education:
Modalities and Experiences.

Hampir seluruh negara di dunia menganut konsep pembiayaan pendidikan yang
disediakan pemerintah dan swasta. Alokasi anggaran pendidikan di tiap negara berkisar
3-8 % dari PNB (pendapatan nasional bruto).


Biaya pendidikan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun karena semakin
tingginya kebutuhan masyarakat akan pendidikan, peningkatan gaji guru, tidak efisiennya
penggunaan sumber daya yang ada, pertumbuhan penduduk yang menciptakan kebutuhan
baru terhadap pendidikan, tingkat pengangguran dari para lulusan sekolah, peningkatan
biaya lahan dan gedung, dll.

Reformasi pembiayaan pendidikan harus dilakukan untuk mengatasinya, diantaranya
dengan membebankan biaya pendidikan pada peserta didik karena kurangnya dana
publik, pengelolaan dana pendidikan yang lebih efisien, pencarian sumber pendanaan
swasta, pelibatan masyarakat, korporasi dan bantuan asing.

Pembiayaan pendidikan vokasi (selanjutnya disingkat PTK) lebih tinggi 2-3 kali lipat
dibanding pendidikan umum, padahal daya tampung kelas lebih sedikit serta kebutuhan
pendidik dan instruktur lebih banyak dengan rasio pendidik/peserta didik mencapai 1:7.
Biaya PTK juga lebih tinggi karena tingginya anggaran untuk peralatan, infrastruktur dan
operasional seperti bahan/alat praktek dan suku cadang pendukung.

Reformasi untuk mencari lebih banyak alternatif pendanaan PTK adalah suatu keharusan,
disamping peningkatan efisiensi pengelolaan PTK.

Di Jerman, sejak abad 12, seseorang diperkenankan untuk menjalankankan suatu
pekerjaan atau profesi jika telah lulus program pemagangan dengan seorang master atau
ahli. Setelah magang dan mulai bekerja sebagai pemula, ahli tetap harus mendampingi.
Para ahli dalam satu bidang pekerjaan atau profesi tertentu bersatu dalam suatu asosiasi
dan secara perlahan membangun suatu sistem pelatihan yang lebih tertata rapi. Tanggung
jawab PTK di Jerman ada pada asosiasi-asosiasi seperti ini, dan mereka juga yang
menetapkan aturan-aturan berkenaan dengan pekerjaan dan profesi mereka.

Konsep magang tradisional seperti itu juga terdapat di negera berkembang seperti di
India, Indonesia, dll. Para pemagang sejak usia dini sudah belajar secara langsung (on the
job) pada para ahli. Dalam banyak kasus, para pemagang ini hidup mengabdi pada para
ahli. Ada semacam harmoni dimana kehidupan, belajar dan bekerja berjalan sebagai
suatu kesatuan tak terpisahkan.

Pemagangan tradisional seperti itu adalah pemandangan biasa di banyak negara
berkembang. Pemagang usia muda antara 10-20 tahun langsung dilatih oleh para ahli
dalam berbagai bidang seperti reparasi motor, bengkel mobil, dll. Pada awal magang,
biasanya pemagang tidak digaji, namun seiring waktu gaji dinaikkan sedikit demi sedikit.
Pembiayaan pendidikan vokasi seperti ini pada prinsipnya adalah tanggung jawab
pemilik usaha dengan menyediakan pelatihan murah serta para pemagang dengan
kesediaan menerima gaji rendah.

Namun mekanisme pembiayaan pendidikan (termasuk PTK) di masa modern mulai
berubah, tanggung jawab pemerintah semakin besar. Kebijakan pembangunan PTK
disesuaikan dengan kebijakan sosial, ekonomi dan ketenagakerjaan pada suatu wilayah.

Namun karena terbatasanya kemampuan pemerintah membiayai, maka sangat penting
untuk mencari suatu sumber daya lain untuk mendukung pendidikan, khususnya PTK.
Setiap negara wajib mengkaji ulang kebutuhan dan prioritas pendidikannya dan
membangun strategi pembiayaan sesuai keadaan masing-masing.

Dari studi UNESCO, ada beberapa model pembiayaan pendidikan khususnya PTK, yaitu:
- pembiayaan publik
- pembiayaan perusahaan
- pembiayaan swasta & publik
- bantuan asing.

Berikut beberapa contoh kasus pembiayaan pendidikan vokasi di beberapa negera sebagai
referensi.


Jepang

Jepang dikenal dengan dengan keberadaan pelatihan vokasi yang diselenggarakan sendiri
oleh perusahaan swasta skala besar. Perusahaan lebih senang merekrut lulusan sekolah
umum dan mengembangkannya sendiri didalam perusahaan. Orang Jepang umumnya
sangat loyal terhadap tempat kerjanya, sebagian besar pekerja disana bekerja sepanjang
hidupnya di satu institusi. Hal ini membuat perusahaan tidak ragu untuk berinvestasi
dalam bentuk pelatihan atau pengembangan SDM bentuk lain.

Data tahun 1980 menunjukkan bahwa 85% dari seluruh pekerja di Jepang bekerja di
sektor industri swasta, 30% bekerja di perusahaan besar. Pembiayaan pelatihan dalam
industri sepenuhnya dibayai oleh perusahaan, terutama yang berskala besar.

Perusahaan kecil mengandalkan fasilitas diluar perusahaan mereka dan pembiayaan
didapat dari asuransi pekerja/pengangguran). Asuransi ini mendapat masukan premi
separuh dari pemerintah dan separuh pekerja.

Pelatihan vokasi juga dilakukan diluar perusahaan dalam bentuk sekolah-sekolah vokasi
khusus yang dijalankan berbagai kementrian. Juga ada sekolah vokasi swasta yang
menawarkan berbagai program dengan durasi bermacam-macam serta ada yang
diselenggarakan siang dan malam. Sekolah-sekolah ini mendapat bantuan pemerintah jika
berorientasi nirlaba.

Japan Industrial and Vocational Training Association (JIVTA) adalah organisasi utama di
Jepang yang bergerak dibidang pelatihan didalam industri. JIVTA adalah asosiasi
independen dibawah koordinasi Kementrian Perdagangan Internasional & Industri.
JIVTA terbentuk dari 1000 perwakilan perusahaan, 60% dari perusahaan besar, 40% dari
perusahaan kecil. Pemerintah tidak menyediakan dana untuk asosiasi ini. Dana didapat
dari iuran anggota (25%) dan dari fee pelatihan (75%).

Dalam 30 tahun terakhir, JIVTA telah melatih 30 ribu orang sebagai training leader yang
kemudian melatih lagi lebih dari 1 juta peserta pelatihan dari industri masing-masing.

Bagian penting dari kasus di Jepang adalah adanya kesadaran yang tinggi dari individu
dan perusahaan bahwa pelatihan adalah investasi masa depan. Ini berakar dari kultur
Buddha, Konghucu dan Shinto. Budaya ini mengajarkan individu dan organisasi untuk
selalu mencapai standar yang tinggi dalam pekerjaan melalui kerja keras dan kesetiaan
tinggi terhadap sekolah/guru, keluarga dan majikan.

Korea Selatan

Korea Selatan telah memiliki Undang-Undang Dasar tentang Pelatihan Vokasi yang
diundangkan tahun 1976. UUD ini mewajibkan perusahaan dengan karyawan lebih dari
300 orang untuk menyelenggarakan pelatihan dalam perusahaan (in plant training). Jika
tidak maka mereka harus membayar denda pelatihan yang didasarkan pada persentase
biaya gaji perusahaan yang berkisar antara 1-3,9%. Sama seperti Jepang, Korea adalah
salah satu negara di Asia yang sangat peduli pada pentingnya pelatihan sebagai investasi
masa depan. Korea juga sangat tergantung pada perusahaan besar dalam melaksanakan
pelatihan bagi tenaga kerja. Hanya sedikit peran pemerintah dalam menyelenggarakan
pelatihan bagi perusahaan-perusahaan kecil.

Amerika Latin

Di negara-negara Amerika Latin seperti Brazil, Colombia, Venezuela dan Peru,
pemerintah mengutip pajak pendapatan bagi seluruh pekerja serta juga memberlakukan
pajak khusus yang dikenakan pada perusahaan untuk membiayai pelatihan kerja dan
pemagangan. Pada tahun 1987, VTI (Vocational Training Institute) di 12 negara Amerika
Latin telah berhasil melatih lebih dari 3 juta orang yang sebanding dengan 37% dari
penerimaan siswa sekolah menengah disana.

Prancis

Negara Prancis memiliki sistem yang komprehensif dalam membiayai pelatihan vokasi.
Ada 3 strategi yang diterapkan, yaitu:

(1) Pendapatan pajak umum digunakan untuk membiayai pendidikan vokasi jenjang
menengah bagi calon tenaga kerja baik di institusi negeri maupun swasta. Untuk PTK
saja mencapai 1,5% dari angka PDB (Pendapatan Domestik Bruto).

(2) Penerapan Pajak Wajib Pemagangan dimana perusahaan membayar pajak 0,6% dari
total pengeluaran gaji karyawan. Dari pajak tersebut hanya 0,1% yang disimpan oleh
pemerintah untuk melatih generasi muda usia 16-25 tahun, sedangkan 0,5% dialokasikan
untuk dewan ketenagakerjaan daerah. Sisanya dipakai untuk pembiayaan program
pemagangan dan pelatihan karyawan baru secara nasional.

(3) Perusahaan yang memiliki karyawan lebih dari 9 orang wajib membayar pajak
pelayanan sebesar 1,2% dari total pengeluaran gaji karyawan. Sumber ini dipakai untuk
membiayai berbagai pelatihan (in-house dan pre-employment).

Jerman

Di Jerman, lebih dari 2/3 anak usia 16-19 tahun mendapatkan pelatihan yang disebut dual
training system. Dalam sistem ini, siswa sekolah vokasi memiliki 2 tempat belajar,
sekolah mereka dan perusahaan/indutri. Pelatihan sistem ganda ini diatur oleh peraturan
tersendiri yaitu UU Pelatihan Vokasi yang diterbitkan tahun 1969.

Dalam sistem ini, siswa belajar 1 atau 2 hari materi pelajaran umum di sekolah, sisanya
dalam seminggu dihabiskan dengan sistem "on the job" di perusahaan. Pelatihan seperti
ini biasanya berlangsung selama 3,5 tahun hingga siswa mendapat sertifikat kompetensi
dan siap mendapat pekerjaan sebenarnya. Sistem ini menghasilkan lulusan dengan
kualitas tinggi karena sesuai dengan kebutuhan industri.

Pembiayaan pelatihan sistem ganda ini disediakan oleh pemerintah federal (pusat) dan
daerah untuk bagian pendidikan di sekolah, sementara biaya pelatihan dan pemagangan
di perusahaan ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan tidak wajib berpartisipasi dalam
sistem ganda ini, namun terbukti bahwa sebagian besar perusahaan mendapat banyak
keuntungan ekonomis dengan melaksanakan pelatihan bagi calon karyawan mereka
sendiri.

Di Jerman sendiri pembiayaan di bidang pendidikan dan pelatihan vokasi mencapai total
1,85% dari PDB pada tahun 1992.
Pendidikan Vokasi Kontemporer
Pendidikan vokasi kontemporer dalam tulisan berikut adalah kontemporer dalam setting era
tahun 1970an di Amerika Serikat. Pelajaran berharga yang didapat bisa dijadikan sebagai acuan
untuk pengembangan di Indonesia. Banyak kemiripan dalam alur pikir, program prioritas serta
pendekatan yang dilakukan Amerika Serikat pada masa itu dengan Indonesia saat ini. Penggalan
sejarah ini memperlihatkan keadaan dimana pendidikan vokasi sedang berkembang pesat di
Amerika Serikat serta bermacam jenis program yang berkembang. Tulisan ini adalah rangkuman
dari salah satu chapter dalam buku yang ditulis oleh Thompson (1973), lihat juga chapter
sebelumnya. Semoga bermanfaat.
Program Pendidikan Vokasi


Berikut beberapa program pendidikan vokasi yang berkembang di Amerika Serikat pada kurun
waktu tersebut. Sedikit banyak mencerminkan perkembangan di Indonesia pada saat ini. Pada
saat tersebut Amerika Serikat menggunakan sistem pendidikan vokasi mirip dengan Indonesia,
yaitu pendidikan vokasi di level sekolah menengah atas (tahun pendidikan ke-9 hingga ke-12),
namun bukan berbentuk sekolah vokasi tersendiri seperti SMK, hanya semacam penjurusan di
sekolah menengah umum. Kemudian juga ada pendidikan vokasi khusus pasca sekolah
menengah.
Pendidikan Pertanian. Tahun 1969 memiliki 850.705 siswa (10,8% dari total siswa
pendidikan vokasi)
Pendidikan Bisnis dan Perkantoran. Tahun 1969 memiliki 1.835.124 siswa (23,2%
dari total siswa pendidikan vokasi)
Pendidikan Pemasaran dan Distribusi. Tahun 1969 memiliki 563.431 siswa (7,3% dari
total siswa pendidikan vokasi)
Pendidikan Pekerja Kesehatan (health occupation). Tahun 1969 memiliki 175.101
siswa (2,2% dari total siswa pendidikan vokasi)
Pendidikan Pekerja Rumah Tangga (homemaking). Tahun 1969 memiliki 2.449.052
siswa (30,9% dari total siswa pendidikan vokasi)
Pendidikan Teknik. Tahun 1969 memiliki 315.311 siswa (3,9% dari total siswa
pendidikan vokasi)
Pendidikan Perdagangan dan Industri. Tahun 1969 memiliki 1.720.859 siswa (21,7%
dari total siswa pendidikan vokasi)
Program Pengalaman Bekerja

Program pendidikan atau pelatihan vokasi yang dibiayai pemerintah harus memiliki dokumen
yang jelas tentang sasaran dan tujuan untuk suatu jenis pekerjaan yang diakui (recognized).
Hal ini diatur dalam UU Pendidikan Vokasi tahun 1963, UU Smith-Hughes dan beberapa
peraturan pemerintah federal lainnya. Aturan ini menjadikan pendidikan vokasi bisa langsung
terkait dengan pekerjaan di dunia industri. Status diakui harus diberikan oleh komisioner
pendidikan berdasar aturan definisi dan klasifikasi pekerjaan yang sah (legal).

Pengalaman kerja wajib diberikan pada seluruh siswa (atau mahasiswa) yang mengikuti
pendidikan vokasi. Beberapa alasan kewajiban ini antara lain:
Siswa harus diberi kesempatan untuk mempraktekkan apa yang telah dipelajari didalam
kelas kedalam dunia kerja nyata.
Dengan pengalaman dipekerjakan maka siswa akan dapat merasakan langsung rasanya
bekerja setelah dilatih untuk pekerjaan tersebut sebelumnya.
Proses pembelajaran terbaik adalah pada saat siswa diberi tanggung jawab dan aktif
mempraktekkan langsung materi belajarnya.
Pelatihan on-the-job bisa sangat diperlukan karena ketidakmampuan sekolah untuk
menyediakan peralatan praktek yang mahal, kekurangan ruang praktek dan juga karena
tidak tersedianya pelatih yang berkualitas di sekolah.
Salah satu hal menarik yang terjadi saat itu adalah dikembangkannya "metode kooperatif" untuk
mendukung program memberikan pengalaman bekerja bagi para siswa pendidikan vokasi.
Metode ini adalah kerjasama antara sekolah vokasi dengan perusahaan lokal yang baik. Pelajaran
di kelas disesuaikan dengan kebutuhan langsung siswa saat bekerja paruh waktu di perusahaan.
Program ini melibatkan sekolah, siswa, orangtua siswa dan perusahaan. Siswa menjadi learning
worker atau pekerja yang sedang belajar. Guru sekolah bertindak sebagai koordinator yang
mengatur kegiatan ini yang meliputi sosialisasi, pemilihan siswa, pengaturan fasilitas belajar di
kelas, survey dan pemilihan tempat bekerja (training station), penempatan siswa, kunjungan
koordinasi ke orangtua, membuat perjanjian pelatihan (training agreement), follow up rekrutmen
lulusan. Guru yang bertugas diberi kebebasan untuk mengatur semuanya.

Training agreement adalah bagian penting dari metode kooperatif ini. Dalam kesepakatan
dicantumkan apa saja yang akan dipelajari oleh siswa di lokasi kerja dan apa yang harus
dipelajari di kelas untuk mendukung pekerjaan sebenarnya. Kesepakatan ini harus dimengerti
oleh semua pihak yang terlibat sehingga kegiatan bisa berlangsung lancar dan meminimalkan
kesalahpahaman. Ditekankan juga dalam kesepakatan bahwa siswa adalah student-learner dan
bukan student-worker. Kegiatan ini bukanlah suatu kegiatan meninggalkan sekolah tetapi
adalah kegiatan belajar di kelas luar sekolah.

Keterlibatan Organisasi Pemuda

Semua bidang studi dalam pendidikan vokasi memiliki afiliasi dengan organisasi pemuda yang
relevan dengan jurusan masing-masing, kecuali untuk bidang kesehatan. Keterlibatan ini juga
bagian dari program pembiayaan pendidikan vokasi dari negara. Tujuan utama dari keterlibatan
ini adalah untuk pengembangan kepemimpinan & karakter, promosi beasiswa, pengembangan
nilai-nilai kewarganegaraan, pelayanan terbaik dan profesionalisme kerja. Contoh organisasi
yang terlibat adalah FFA (Future Farmers of America), FSA (Future Secretaries Association),
dll. Ada usaha lanjutan juga untuk membentuk asosiasi khusus siswa pendidikan vokasi, namun
sulit diwujudkan karena tabrakan dengan kepentingan serikat pekerja.

Referensi

THOMPSON, JF. 1973. FOUNDATIONS OF VOCATIONAL EDUCATION. PRENTICE
HALL INC.

Anda mungkin juga menyukai