Anda di halaman 1dari 33

APLIKASI WELL LOGGING DALAM EVALUASI FORMASI

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini teknologi di dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi telah
berkembang dengan pesat. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat harga
minyak dan gas bumi yang semakin meningkat sehingga perlu dilakukan
eksplorasi terhadap sumur minyak baru maupun peningkatan produksi terhadap
sumur minyak yang telah ada sebelumnya.
Sebelum dilakukan pengeboran kita harus melakukan evaluasi formasi untuk
mengetahui karakteristik formasi batuan yang akan di bor. Berbagai macam
metode digunakan untuk mengetahui karakteristik formasi baik melalui analisis
batu inti, analisis cutting, maupun analisis data well logging. Analisis well
logging saat ini banyak digunakan karena biayanya yang relatif lebih murah dan
kualitas datanya yang akurat. Untuk itu perlu dilakukan pembahasan mengenai
Aplikasi Well Logging di dalam Evaluasi Formasi.

1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
Maksud dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui aplikasi well
logging di dalam evaluasi formasi.
1.2.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan evaluasi formasi
2. Untuk mengetahui apa itu well logging
3. Untuk mengetahui jenis-jenis log dan karakteristiknya
4. Untuk mengetahui kegunaan data well logging tersebut dalam
mengidentifikasi reservoar, memperkirakan litologi, memperkirakan
kandungan fluida, menghitung porositas, menghitung permeabelitas, dan
menghitung saturasi.




1.3 Rumusan Masalah
Dalam referat ini yang akan dibahas adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan well logging
2. Apa yang dimaksud dengan evaluasi formasi
3. Jenis-jenis log dan karakteristiknya
4. Aplikasi data well logging tersebut dalam mengidentifikasi reservoar,
memperkirakan litologi, memperkirakan kandungan fluida, menghitung
porositas, menghitung permeabelitas, dan menghitung saturasi

















BAB II
EVALUASI FORMASI
2.1 Ruang Lingkup Evaluasi Formasi
Evaluasi formasi batuan adalah suatu proses analisis ciri dan sifat batuan di bawah
tanah dengan menggunakan hasil pengukuran lubang sumur (Harsono, 1997).
Evaluasi formasi membutuhkan berbagai macam pengukuran dan analisis yang
saling melengkapi satu sama lain. Tujuan utama dari evaluasi formasi adalah
untuk mengidentifikasi reservoar, memperkirakan cadangan hidrokarbon, dan
memperkirakan perolehan hidrokarbon (Harsono, 1997).

2.2 Metode Metode Evaluasi Formasi
Evaluasi formasi umumnya dilakukan secara berurutan dan sistematis. Daerah
yang dianggap berpotensi mengandung hidrokarbon awalnya ditentukan melalui
survei seismik, gravitasi, dan magnetik (Bateman, 1985). Setelah daerah tersebut
dibor selanjutnya dilakukan mud logging dan measurements while drilling
(MWD) ; setelah itu bisa dilakukan pengambilan batu inti (Bateman, 1985). Saat
mata bor tersebut telah mencapai kedalaman tertentu maka logging dapat
dilakukan. Penjelasan mengenai metode metode yang digunakan dalam evaluasi
formasi adalah sebagai berikut :

2.2.1 Mud Logging
Mud logging merupakan proses mensirkulasikan dan memantau
perpindahan mud dancutting pada sumur selama pemboran (Bateman, 1985).
Menurut Darling (2005) terdapat dua tugas utama dari seorang mud logger yaitu :
1. Memantau parameter pengeboran dan memantau sirkulasi
gas/cairan/padatan dari sumur agar pengeboran dapat berjalan dengan aman
dan lancar.
2. 2. Menyediakan informasi sebagai bahan evaluasi bagi petroleum
engineering department.


Mud-logging unit akan menghasilkan mud log yang akan dikirim ke kantor pusat
perusahaan minyak. Menurut Darling (2005), mud log tersebut meliputi:
Pembacaan gas yang diperoleh dari detektor gas atau kromatograf
Pengecekan terhadap ketidakhadiran gas beracun (H
2
S, SO
2
)
Laporan analisis cutting yang telah dideskripsi secara lengkap
Rate of Penetration (ROP)
Indikasi keberadaan hidrokarbon yang terdapat di dalam sampel
Mud log merupakan alat yang berharga untuk petrofisis dan geolog di dalam
mengambil keputusan dan melakukan evaluasi. Darling (2005) menyatakan
bahwa mud log digunakan untuk hal hal berikut ini:
Identifikasi tipe formasi dan litologi yang dibor
Identifikasi zona yang porous dan permeabel
Picking of coring, casing, atau batas kedalaman pengeboran akhir
Memastikan keberadaan hidrokarbon sampai pada tahap membedakan jenis
hidrokarbon tersebut apakah minyak atau gas

Deskripsi Cutting
Pekerjaan lain dari seorang mud logger adalah melakukan
deskripsi cutting. Cuttingmerupakan material hasil hancuran batuan oleh mata bor
yang dibawa oleh lumpur pemboran ke permukaan (Bateman,1985). Sebagian
sampel dimasukkan ke dalam plastikpolyethene sebagai sampel basah sementara
sebagian sampel lain yang telah dicuci dan dikeringkan dikenal sebagai sampel
kering. Sampel yang telah dibersihkan diamati di bawah mikroskop yang ada
di mud-logging unit. Hasil deskripsi kemudian diserahkan ke kantor pusat
pengolahan data.
Agar informasi tersebut berguna maka ada standar deskripsi baku yang harus
dilakukan. Darling (2005) menyatakan bahwa deskripsi tersebut harus meliputi:
Sifat butir
Tekstur
Tipe
Warna
Roundness dan sphericity
Sortasi
Kekerasan
Ukuran
Kehadiran mineral jejak (misalnya pirit, kalsit, dolomit, siderit)
Tipe partikel karbonat
Partikel skeletal (fosil, foraminifera)
Partikel non-skeletal (lithoclast, agregat, rounded particles)

Porositas dan permeabelitas
Tipe porositas (intergranular, fracture, vuggy)
Permeabelitas (permeabelitas rendah, menengah, atau tinggi)
Deteksi Hidrokarbon
Dapat dilakukan melalui natural fluorescence, solvent cut, acetone test, visible
staining, dan analisis odor

2.2.2 Coring
Coring merupakan metode yang digunakan untuk mengambil batu inti (core) dari
dalam lubang bor (Bateman,1985). Coring penting untuk mengkalibrasi model
petrofisik dan mendapat informasi yang tidak diperoleh melalui log.
Setelah pengeboran, core (biasanya 0,5 m setiap 10 menit) dibungkus dan dijaga
agar tetap awet. Core tersebut mewakili kondisi batuan tempatnya semula berada
dan relatif tidak mengalami gangguan sehingga banyak informasi yang bisa
didapat. Informasi penting yang bisa didapat oleh seorang petrofisis dari data core
tersebut menurut Darling (2005) antara lain:
Homogenitas reservoar
Tipe sementasi dan distribusi dari porositas dan permeabilitas
Kehadiran hidrokarbon dari bau dan pengujian dengan sinar ultraviolet
Tipe mineral
Kehadiran fracture dan orientasinya
Kenampakan dip

Keterbatasan Analisis Core
Data core tidak selalu akurat, menurut Darling (2005) ada sejumlah alasan yang
menyebabkan hal tersebut yaitu:
Suatu core diambil pada water leg, dimana proses diagenesis mungkin saja
terjadi, hal ini menyebabkan core tidak selalu dapat mewakili oil atau gas leg di
reservoar.
Coring dan proses pemulihannya menyebabkan tejadinya perubahan tekanan
dan suhu batuan sehingga bisa menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada
batuan tersebut
Proses penyumbatan, pembersihan, dan pengeringan dapat
mengubah wettability dari sumbat sehingga membuatnya tidak bisa
merepresentasikan kondisi di bawah lubang bor.
Pengukuran resistivitas sumbat pada suhu lingkungan dengan menggunakan
udara sebagai fluida yang tidak basah (nonwetting fluid) bisa tidak
merepresentasikan kondisi reservoar.

2.2.3 Well Logging
Well logging merupakan perekaman karakteristik dari suatu formasi batuan yang
diperoleh melalui pengukuran pada sumur bor (Ellis & Singer,2008). Data yang
dihasilkan disebut sebagai well log. Berdasarkan proses kerjanya, logging dibagi
menjadi dua jenis yaituwireline logging dan logging while drilling bor (Ellis &
Singer,2008). Wireline loggingdilakukan ketika pemboran telah berhenti dan
kabel digunakan sebagai alat untuk mentransmisikan data. Pada logging while
drilling, logging dapat dilakukan bersamaan dengan pemboran. Logging jenis ini
tidak menggunakan kabel untuk mentransmisikan data. Saat ini logging while
drilling lebih banyak digunakan karena lebih praktis sehingga waktu yang
diperlukan lebih efisien walaupun masih memiliki kekurangan berupa transmisi
data yang tidak secepat wireline logging.






2.3 Tujuan dari Evaluasi Formasi
Tujuan dari evaluasi formasi menurut Ellis & Singer (2008) adalah sebagai
berikut:
1. Menentukan ada tidaknya hidrokarbon
Hal yang pertama kali dilakukan adalah menentukan apakah di formasi batuan
tersebut terdapat hidrokarbon, setelah itu ditentukan jenisnya, minyak atau gas
1. Menentukan dimana tepatnya hidrokarbon tersebut berada
Evaluasi formasi diharapkan mampu menjelaskan pada kedalaman berapa
hidrokarbon tersebut berada dan pada lapisan batuan apa saja
1. Menentukan berapa banyak kandungan hidrokarbon tersebut di dalam
formasi
Berapa banyak hidrokarbon yang terdapat di dalam formasi harus bisa diketahui.
Aspek paling penting untuk mengetahui kandungan hidrokarbon adalah dengan
menentukan porositas batuan karena hidrokarbon terdapat di dalam pori pori
batuan.
1. Menentukan apakah hidrokarbon tersebut potensial untuk diproduksi atau
tidak
Untuk menentukan potensial atau tidaknya hidrokarbon yang berada di dalam
formasi batuan membutuhkan banyak parameter yang harus diketahui. Parameter
yang paling penting adalah permeabilitas batuan, faktor kunci lainnya adalah oil
viscosity.
Evaluasi formasi dilakukan dengan mengkorelasikan data data yang berasal dari
sumur bor. Evaluasi formasi menyediakan nilai porositas dan saturasi hidrokarbon
sebagai fungsi kedalaman dengan menggunakan informasi geologi lokal dan sifat
fluida yang terakumulasi di dalam reservoar bor (Ellis & Singer,2008). Variasi
formasi batuan bawah permukaan yang sangat luas menyebabkan berbagai
peralatan logging harus digunakan untuk memperoleh hasil yang ideal bor (Ellis
& Singer,2008).



BAB III
PENGERTIAN WELL LOGGI NG
3.1 Pengertian Log dan Well Logging
Log adalah suatu grafik kedalaman (bisa juga waktu), dari satu set data yang
menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah
sumur (Harsono, 1997). Kegiatan untuk mendapatkan data log disebut
logging Logging memberikan data yang diperlukan untuk mengevaluasi secara
kuantitatif banyaknya hidrokarbon di lapisan pada situasi dan kondisi
sesungguhnya. Kurva log memberikan informasi yang dibutuhkan untuk
mengetahui sifat sifat batuan dan cairan.
Well logging dalam bahasa Prancis disebut carrotage electrique yang berarti
electrical coring, hal itu merupakan definisi awal dari well logging ketika
pertama kali ditemukan pada tahun 1927. Saat ini well logging diartikan sebagai
perekaman karakteristik dari suatu formasi batuan yang diperoleh melalui
pengukuran pada sumur bor (Ellis & Singer,2008). Well logging mempunyai
makna yang berbeda untuk setiap orang bor (Ellis & Singer,2008). Bagi seorang
geolog, well logging merupakan teknik pemetaan untuk kepentingan eksplorasi
bawah permukaan. Bagi seorang petrofisisis, well logging digunakan untuk
mengevaluasi potensi produksi hidrokarbon dari suatu reservoar. Bagi seorang
geofisisis, well logging digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui
seismik. Seorang reservoir enginer menggunakan well log sebagai data pelengkap
untuk membuat simulator. Kegunaan utama dari well logging adalah untuk
mengkorelasikan pola pola electrical conductivity yang sama dari satu sumur ke
sumur lain kadang kadang untuk area yang sangat luas bor (Ellis &
Singer,2008). Saat ini teknologi well logging terus berkembang sehingga dapat
digunakan untuk menghitung potensi hidrokarbon yang terdapat di dalam suatu
formasi batuan.
Log adalah suatu grafik kedalaman (bisa juga waktu), dari satu set data yang
menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah
sumur (Harsono, 1997). Log elektrik pertama kali digunakan pada 5 September
1927 oleh H. Doll dan Schlumberger bersaudara pada lapangan minyak kecil di
Pechelbronn, Alsace, sebuah propinsi di timur laut Prancis (Ellis & Singer,2008).
Log terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1929 log
resistivitas mulai digunakan, disusul dengan kehadiran log SP tiga tahun
kemudian, selanjutnya log neutron digunakan pada tahun 1941 disusul oleh
kehadiran mikrolog,laterolog, dan log sonic pada tahun 1950-an
(Schlumberger,1989).

3.2 Macam macam metode yang digunakan untuk memperoleh data log
Ellis & Singer (2008) membagi metode yang digunakan untuk memperoleh data
log menjadi dua macam, yaitu:
3.2.1 Wireline Logging
Pada wireline logging, hasil pengukuran akan dikirim ke permukaan melalui
kabel (wire).Instrumen instrumen yang terdapat pada alat ini (lihat gambar 3.1)
adalah:
1. Mobile laboratory
2. Borehole
3. Wireline
4. Sonde (lihat gambar 3.2)

Gambar 3.1 Alat-alat yang digunakan dalam wireline logging
(Ellis & Singer,2008 dengan modifikasi).
Untuk menjalankan wireline logging, lubang bor harus dibersihkan dan
distabilkan terlebih dahulu sebelum peralatan logging dipasang (Bateman,1985).
Hal yang pertama kali dilakukan adalah mengulurkan kabel ke dalam lubang bor
hingga kedalaman maksimum lubang bor tersebut (Bateman,1985). Sebagian
besar log bekerja ketika kabel tersebut ditarik dari bawah ke atas lubang bor.
Kabel tersebut berfungsi sebagai transmiter data sekaligus sebagai penjaga agar
alat logging berada pada posisi yang diinginkan (Bateman,1985). Bagian luar
kabel tersusun atas galvanized steel sedangkan bagian dalamnya diisi oleh
konduktor listrik (Ellis & Singer,2008). Kabel tersebut digulung dengan
menggunakan motorized drum yang digerakkan secara manual
selama loggingberlangsung (Ellis & Singer,2008). Drum tersebut menggulung
kabel dengan kecepatan antara 300 m/jam (1000 ft/jam) hingga 1800 m/jam (6000
ft/jam) tergantung pada jenis alat yang digunakan (Ellis & Singer,2008).
Kabel logging mempunyai penanda kedalaman (misalnya tiap 25 m) yang dicek
secara mekanik namun koreksi kedalaman harus dilakukan akibat tegangan kabel
dan pengaruh listrik (Bateman,1985).
Biaya sewa rig yang mahal dan logging pada sumur bor yang harus dilakukan
dengan seketika membuat alat logging modern saat ini dirancang agar bisa
menjalankan beberapa fungsi sekaligus. Rangkaian triple-combo yang dimiliki
oleh Schlumberger misalnya dapat mengukur resistivitas, densitas,
mikroresistivitas, neutron, dan gamma ray sekaligus (Harsono,1997). Apabila
rangkaian tersebut ditambahi dengan alat Sonik maka rangkaian yang dihasilkan
disebut rangkaian super-combo (Harsono,1997). Kedua rangkaian tersebut
mampu bekerja dengan kecepatan 1800 ft/jam (Harsono,1997).
Data yang didapat melalui berbagai alat logging yang berbeda tersebut kemudian
diolah oleh CSU (Cyber service unit). CSU merupakan sistem logging komputer
terpadu di lapangan yang dibuat untuk kepentingan logging dengan menggunakan
program komputer yang dinamakan cyberpack (Harsono,1997). Sistem komputer
CSU merekam, memproses dan menyimpan data logging dalam bentuk digital
dengan format LIS (Log Information Standard), DLIS (Digital Log-Interchange
Standard) atau ACSII (Harsono,1997). CSU juga berfungsi menampilkan data log
dalam bentuk grafik (Harsono,1997).
Sistem komputer terbaru yang digunakan oleh Schlumberger adalah
MAXIS (Multiasking Acquisition and Imaging System). Sistem ini mampu
mentransmisikan data lebih cepat dari sistem CSU. Tidak seperti
sistem logging lainnya, sistem MAXIS mempunyai kemampuan menampilkan
gambar atau citra berwarna dari data-data yang diukur dengan alat-
alat logging generasi baru (Harsono,1997). Gambar atau citra data ini
mempermudah karakterisasi reservoar dan interpretasi data di lapangan.
Gambar 3.2 Berbagai jenis alat logging.
Dari kiri ke kanan, dipmeter, alat sonik, alat densitas, dan dipmeter dengan
banyak elektroda
((Ellis & Singer,2008).

Darling (2005) menyebutkan sejumlah kelebihan wireline logging sebagai
berikut:
Mampu melakukan pengukuran terhadap kedalaman logging secara
otomatis
Kecepatan transmisi datanya lebih cepat daripada LWD, mampu mencapai
3 Mb/detik.

Wireline logging juga mempunyai sejumlah kekurangan (Darling,2005) yaitu:
Sulit digunakan pada horizontal & high deviated well karena menggunakan
kabel
Informasi yang didapat bukan merupakan real-time data

3.2.2 Logging While Drilling
Logging while drilling (LWD) merupakan suatu metode pengambilan data log
dimanalogging dilakukan bersamaan dengan pemboran (Harsono,1997). Hal ini
dikarenakan alatlogging tersebut ditempatkan di dalam drill collar. Pada LWD,
pengukuran dilakukan secara real time oleh measurement while
drilling (Harsono,1997)..
Alat LWD terdiri dari tiga bagian yaitu: sensor logging bawah lubang bor, sebuah
sistem transmisi data, dan sebuah penghubung permukaan (lihat gambar 3.3).
Sensor loggingditempatkan di belakang drill bit, tepatnya pada drill
collars (lengan yang berfungsi memperkuat drill string) dan aktif selama
pemboran dilakukan (Bateman,1985). Sinyal kemudian dikirim ke permukaan
dalam format digital melalui pulse telemetry melewati lumpur pemboran dan
kemudian ditangkap oleh receiver yang ada di permukaan (Harsono,1997). Sinyal
tersebut lalu dikonversi dan log tetap bergerak dengan pelan selama proses
pemboran. Logging berlangsung sangat lama sesudah pemboran dari beberapa
menit hingga beberapa jam tergantung pada kecepatan pemboran dan jarak antara
bit dengan sensor di bawah lubang bor (Harsono,1997).
Layanan yang saat ini disediakan oleh perusahaan penyedia jasa LWD meliputi
gamma ray, resistivity, densitas, neutron, survei lanjutan (misalnya sonik). Tipe
log tersebut sama (tapi tidak identik) dengan log sejenis yang digunakan pada
wireline logging. Secara umum, log LWD dapat digunakan sama baiknya dengan
log wireline logging dan dapat diinterpretasikan dengan cara yang sama pula
(Darling,2005). Meskipun demikian, karakteristik pembacaan dan kualitas data
kedua log tersebut sedikit berbeda.




Menurut Darling (2005), alat LWD mempunyai sejumlah keunggulan
dibandingkan denganwireline logging yaitu:
Data yang didapat berupa real-time information
Informasi tersebut dibutuhkan untuk membuat keputusan penting selama
pemboran dilakukan seperti menentukan arah dari mata bor atau mengatur casing.
Informasi yang didapat tersimpan lebih aman
Hal ini karena informasi tersebut disimpan di dalam sebuah memori khusus yang
tetap dapat tetap diakses walaupun terjadi gangguan pada sumur.
Dapat digunakan untuk melintas lintasan yang sulit
LWD tidak menggunakan kabel sehingga dapat digunakan untuk menempuh
lintasan yang sulit dijangkau oleh wireline logging seperti pada sumur horizontal
atau sumur bercabang banyak (high deviated well).
Menyediakan data awal apabila terjadi hole washing-out atau invasi
Data LWD dapat disimpan dengan menggunakan memori yang ada pada alat dan
baru dilepas ketika telah sampai ke permukaan atau ditransmisikan sebagai pulsa
pada mud column secara real-time pada saat pemboran berlangsung
(Harsono,1997). Berkaitan dengan hal tersebut terdapat Darling (2005)
menyebutkan sejumlah kelemahan dari LWD yang membuat penggunaannya
menjadi terbatas yaitu:
Mode pemboran: Data hanya bisa ditransmisikan apabila ada lumpur yang
dipompa melewati drillstring.
Daya tahan baterai: tergantung pada alat yang digunakan pada string,
biasanya hanya dapat bekerja antara 40-90 jam
Ukuran memori: Sebagian besar LWD mempunyai ukuran memori yang
terbatas hingga beberapa megabit. Apabila memorinya penuh maka data
akan mulai direkam di atas data yang sudah ada sebelumnya. Berdasarkan
sejumlah parameter yang direkam, memori tersebut penuh antara 20-120
jam
Kesalahan alat: Hal ini bisa menyebabkan data tidak dapat direkam atau
data tidak dapat ditransmisikan.
Kecepatan data: Data ditransmisikan tanpa kabel, hal ini membuat
kecepatannya menjadi sangat lambat yaitu berkisar antara 0,5-12 bit/s jauh
dibawah wireline logging yang bisa mencapai 3 Mb/s.


Gambar 3.3 Alat LWD
(http://hznenergy.com/loggingwhiledrilling)


BAB IV
MACAM MACAM LOG
4.1 Log Natural Gamma Ray
Sesuai dengan namanya, Log Gamma Ray merespon radiasi gamma alami pada
suatu formasi batuan (Ellis & Singer,2008). Pada formasi batuan sedimen, log ini
biasanya mencerminkan kandungan unsur radioaktif di dalam formasi. Hal ini
dikarenakan elemen radioaktif cenderung untuk terkonsentrasi di dalam lempung
dan serpih. Formasi bersih biasanya mempunyai tingkat radioaktif yang sangat
rendah, kecuali apabila formasi tersebut terkena kontaminasi radioaktif misalnya
dari debu volkanik atau granit (Schlumberger,1989)
Log GR dapat digunakan pada sumur yang telah di-
casing (Schlumberger,1989). Log GR juga sering digunakan bersama-sama
dengan log SP (lihat gambar 4.1) atau dapat juga digunakan sebagai pengganti log
SP pada sumur yang dibor dengan menggunakan salt mud, udara, atau oil-base
mud (Schlumberger,1989). Log ini dapat digunakan untuk korelasi sumur secara
umum
Gambar 4.1 Perbandingan antara kurva Gamma Ray dengan kurva SP dan Caliper
(Ellis & Singer,2008)
Karakteristik Gamma Ray
Gamma ray dihasilkan oleh gelombang elektromagnetik berenergi tinggi yang
dikeluarkan secara spontan oleh elemen radioaktif (Schlumberger,1989). Hampir
semua radiasi gamma yang ditemukan di bumi berasal dari isotop potassium yang
mempunyai berat atom 40 (K
40
) serta unsur radioaktif uranium dan thorium
(Schlumberger,1989).
Setiap unsur tersebut menghasilkan gamma rays dengan jumlah dan energi yang
berbeda untuk masing masing unsur. Potassium (K40) mengeluarkan gamma
ray sebagai energi tunggal pada 1,46 MeV, sedangkan uranium dan thorium
mengeluarkan berbagai variasi gamma ray (Ellis & Singer,2008) (lihat gambar
4,2).
Gambar 4.2 Distribusi sinar gamma dari tiga unsur radioaktif yang berbeda
(Ellis & Singer,2008).

Untuk melewati suatu materi, gamma ray bertumbukan dengan atom dari zat
penyusun formasi (Ellis & Singer,2008). Gamma ray akan kehilangan energinya
setiap kali mengalami tumbukan, Setelah energinya hilang, gamma ray diabsorbsi
oleh atom formasi melalui suatu proses yang disebut efek fotoelektrik (Ellis &
Singer,2008). Jadi gamma ray diabsorbsi secara gradual dan energinya mengalami
reduksi setiap kali melewati formasi. Laju absorbsi berbeda sesuai dengan
densitas formasi (Schlumberger,1989). Formasi dengan jumlah unsur radioktif
yang sama per unit volum tapi mempunyai densitas yang berbeda akan
menunjukkan perbedaan tingkat radioaktivitas Formasi yang densitasnya lebih
rendah akan terlihat sedikit lebih radioaktif. Respon GR log setelah dilakukan
koreksi terhadap lubang bor dan sebagainya sebanding dengan berat konsentrasi
unsur radioaktif yang ada di dalam formasi (Schlumberger,1989).

Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Dimana
= densitas mineral radioaktif
= bulk volume factors mineral
= proportionally factors corresponding mineral radioaktif
= bulk density formasi

Peralatan
GR sonde memiliki detektor untuk mengukur radiasi gamma yang terjadi pada
formasi di dekat sonde. Detektor scintillation umumnya digunakan untuk
pengukuran ini (Schlumberger,1989). Detektor ini lebih efisien dibandingkan
dengan detektor Geiger-Mueller yang digunakan di masa lalu
(Schlumberger,1989). Panjang detektor ini hanya beberapa inchi sehingga detil
formasi bisa diperoleh dengan baik.

4.2 Spectral Gamma Ray Log
Sama seperti GR log, spectral gamma ray log mengukur radioaktivitas alami dari
formasi. Namun berbeda dengan GR log yang hanya mengukur radioakivitas total,
log ini dapat membedakan konsentrasi unsur potassium, uranium, dan thorium di
dalam formasi batuan (Schlumberger,1989).



Prinsip Pengukuran
Log spektral menggunakan detektor sodium iodide
scintillation (Schlumberger,1989). Sinar gamma yang dikeluarkan oleh formasi
jarang yang langsung ditangkap oleh detektor. Hal ini disebabkan karena sinar
tersebut menyebar dan kehilangan energinya melalui tiga jenis interaksi dengan
formasi; efek fotoelektrik, hamburan compton, dan produksi berpasangan (Ellis &
Singer,2008). Karena tiga jenis interaksi tersebut dan respon dari detektor sodium
iodide scintillation, kurva yang dihasilkan mengalami degradasi sehingga menjadi
lebih lentur.
Gelombang energi yang dideteksi dibagi menjadi tiga jendela energi yaitu W1,
W2, dan W3; dimana tiap tiap jendela merefleksikan karakter dari tiga jenis
radioaktivitas yang berbeda. Dengan mengetahui respon alat dan jumlah yang
dihitung pada tiap jendela kita dapat mendeterminasi banyaknya thorium 232,
uranium 238, dan potassium 40 yang ada di dalam formasi (Schlumberger,1989).

Tampilan Log
Log spektral merekam jumlah potassium, thorium, dan uranium yang ada di
dalam formasi (Schlumberger,1989). Unsur unsur tersebut biasanya ditampilkan
di dalam Track 2 dan 3 dari log . Konsentrasi thorium dan uranium ditampilkan
dalam bentuk berat per juta (bpj) sedangkan konsentrasi potassium ditampilkan
dalam bentuk persentase (Schlumberger,1989).
Jumlah total ketiga unsur radioaktif tersebut direkam di dalam kurva GR yang
ditampilkan di Track 1 (Schlumberger,1989). Respon total tersebut dideterminasi
berdasarkan kombinasi linear dari konsentrasi potassium, uranium, dan thorium
(Schlumberger,1989). Kurva GR standar ditampilkan dalam bentuk API units.
Jika diperlukan, nilai CGR juga bisa ditampilkan (lihat gambar 4.3). Nilai
tersebut merupakan jumlah sinar gamma yang berasal dari potassium dan thorium
saja, tanpa uranium (Schlumberger,1989).

Gambar 4.3 Tampilan log Spektral Gamma Ray
(Ellis & Singer,2008).
4.3 Log SP
Log SP adalah rekaman perbedaan potensial listrik antara elektroda di permukaan
yang tetap dengan elektroda yang terdapat di dalam lubang bor yang bergerak
turun naik (Harsono,1997). Potensial listrik tersebut disebut potentiels
spontanes, atau spontaneous potentials oleh Conrad Schlumberger dan H.G.
Doll yang menemukannya (Rider,1996). Supaya SP dapat berfungsi, lubang harus
diisi oleh lumpur konduktif.




Secara alamiah, karena perbedaan kandungan garam air, arus listrik hanya
mengalir di sekeliling perbatasan formasi di dalam lubang bor (Harsono,1997).
Pada lapisan serpih, tidak ada aliran listrik sehingga potensialnya konstan. Hal ini
menyebabkan kurva SP-nya menjadi rata dan menghasilkan garis yang disebut
sebagai garis dasar serpih (shale base line) (lihat gambar 4.4). Kurva SP akan
menunjukkan karakteristik yang berbeda untuk tiap jenis litologi (lihat gambar
4.5)
Gambar 4.4 Pergerakan kurva SP di dalam lubang bor
(Dewan dalam Ellis & Singer,2008 dengan modifikasi)

Saat mendekati lapisan permeabel, kurva SP akan mengalami defleksi ke kiri
(negatif) atau ke kanan (positif). Defleksi ini dipengaruhi oleh salinitas relatif dari
air formasi dan lumpur penyaring (Harsono,1997). Jika salinitas air formasi lebih
besar daripada salinitas lumpur penyaring maka defleksi akan mengarah ke kiri
sebaliknya apabila salinitas lumpur penyaring yang lebih besar daripada salinitas
air formasi maka defleksi akan mengarah ke kanan (Harsono,1997).
Penurunan kurva SP tidak pernah tajam saat melewati dua lapisan yang berbeda
melainkan selalu mempunyai sudut kemiringan (Harsono,1997). Jika lapisan
permeabel itu cukup tebal maka kurva SP menjadi konstan bergerak mendekati
nilai maksimumnya sebaliknya bila memasuki lapisan serpih lain maka kurva
akan bergerak kembali ke nilai serpih secara teratur (Harsono,1997).
Kurva SP tidak dapat direkam di dalam lubang bor yang diisi dengan lumpur non-
konduktif, hal ini karena lumpur tersebut tidak dapat menghantarkan arus listrik
antara elektroda dan formasi (Harsono,1997). Selanjutnya apabila resistivitas
antara lumpur penyaring dan air formasi hampir sama, defleksi akan sangat kecil
dan kurva SP menjadi tidak begitu berguna (Harsono,1997).
Gambar 4.5 Kenampakan kurva SP terhadap berbagai variasi litologi
(Asquith dalam Ellis & Singer,2008)


4.4 Log Densitas
Log densitas merekam bulk density formasi batuan (Schlumberger,1989). Bulk
densitymerupakan densitas total dari batuan meliputi matriks padat dan fluida
yang mengisi pori. Secara geologi, bulk density merupakan fungsi dari densitas
mineral yang membentuk batuan tersebut dan volume fluida bebas yang
menyertainya (Rider,1996). Sebagai contoh, batupasir tanpa porositas
mempunyai bulk density 2,65g/cm
3
, densitasnya murni berasal dari kuarsa.
Apabila porositasnya 10%, bulk density batupasir tersebut tinggal 2,49g/cm
3
, hasil
rata rata dari 90% butir kuarsa (densitasnya 2,65g/cm
3
) dan 10% air
(densitasnya 1,0g/cm
3
) (Rider,1996).

Prinsip Kerja
Sebuah sumber radioaktif yang diarahkan ke dinding bor mengeluarkan sinar
gamma berenergi sedang ke dalam formasi (Schlumberger,1989). Sinar gamma
tersebut bertumbukan dengan elektron yang ada di dalam formasi. Pada tiap kali
tumbukan, sinar gamma kehilangan sebagian energinya yang diserap oleh elektron
(Schlumberger,1989). Sinar gamma tersebut terus bergerak dengan energinya
yang tersisa. Jenis interaksi ini dikenal sebagai hamburan Compton
(Schlumberger,1989). Hamburan sinar gamma tersebut kemudian ditangkap oleh
detektor yang ditempatkan di dekat sumber sinar gamma. Jumlah sinar gamma
yang kembali tersebut kemudian digunakan sebagai indikator dari densitas
formasi (Schlumberger,1989).
Nilai hamburan Compton dipengaruhi oleh jumlah elektron yang di dalam formasi
(Schlumberger,1989). Sebagai akibatnya, respon density tool dibedakan
berdasarkan densitas elektronnya (jumlah elektron tiap centimeter kubik).
Densitas elektron berhubungan dengan true bulk density yang bergantung pada
densitas matriks batuan, porositas formasi, dan densitas fluida yang mengisi pori
(Schlumberger,1989).

Perlengkapan
Untuk mengurangi pengaruh dari mud column, maka detektor dan skidmounted
sourceharus dipasangi perisai (Schlumberger,1989). Sebuah koreksi diperlukan
ketika kontak antara skid dan formasi tidak sempurna. Jika hanya ada satu
detektor yang digunakan, koreksi tidak mudah untuk dilakukan karena
pengoreksian bergantung pada ketebalan, berat, dan komposisi mudcake atau mud
interposed di antara skid dan formasi (Schlumberger,1989).
Pada formation density logging (FDC), digunakan dua buah detektor dengan
ruang dan kedalaman yang berbeda (Schlumberger,1989). Dengan demikian maka
koreksi dapat lebih mudah dilakukan.

4.5 Log Neutron
Log Neutron digunakan untuk mendeliniasi formasi yang porous dan
mendeterminasi porositasnya (Schlumberger,1989). Log ini mendeteksi
keberadaan hidrogen di dalam formasi. Jadi pada formasi bersih dimana pori
pori telah terisi oleh air atau minyak, log neutron merefleksikan porositas yang
terisi oleh fluida (Schlumberger,1989).
Zona gas juga dapat diidentifikasi dengan membandingkan hasil pengukuran log
neutron dengan log porositas lainnya atau analisis core (Schlumberger,1989).
Kombinasi log neutron dengan satu atau lebih log porositas lainnya dapat
menghasilkan nilai porositas dan identifikasi litologi yang lebih akurat
dibandingkan dengan evaluasi kandungan serpih (Schlumberger,1989).
Prinsip Kerja
Neutron merupakan bagian dari atom yang tidak memiliki muatan namun
massanya ekuivalen dengan inti hidrogen (Schlumberger,1989). Neutron
berinteraksi dengan material lain melalui dua cara, yaitu melalui kolisi dan
absorbsi: kolisi umumnya terjadi pada tingkat energi tinggi sedangkan absorbsi
terjadi pada tingkat energi yang lebih rendah (Schlumberger,1989).
Jumlah energi yang hilang setiap kali terjadi kolisi tergantung pada massa relatif
inti yang betumbukan dengan neutron tersebut (Schlumberger,1989). Kehilangan
energi terbesar terjadi apabila neutron bertumbukan dengan material lain yang
memiliki massa sama dengannya, misalnya inti hidrogen (Schlumberger,1989) .
Tumbukan dengan inti yang berat tidak akan terlalu memperlambat laju dari
neutron. Jadi, penurunan terbesar jumlah neutron yang kembali ditentukan oleh
seberapa besar kandungan air di dalam formasi batuan tersebut
(Schlumberger,1989).
Dalam waktu beberapa mikrodetik, neutron yang telah diperlambat melalui kolisi
akan bergerak menyebar secara acak tanpa kehilangan banyak energi
(Schlumberger,1989). Neutron tersebut baru akan berhenti apabila ditangkap oleh
inti dari atom seperti klorin, hidrogen, atau silikon (Schlumberger,1989).
Saat konsentrasi hidrogen di dalam material yang mengelilingi sumber neutron
besar, sebagian besar neutron akan bergerak semakin lambat dan dapat ditangkap
pada jarak yang dekat dengan sumber (Schlumberger,1989). Sebaliknya, apabila
konsentrasi hidrogennya sedikit, neutron akan bergerak jauh dari sumbernya baru
kemudian ditangkap oleh inti atom lain (lihat gambar 4.6). Berdasarkan hal
tersebut maka kandungan hidrogen di dalam suatu formasi batuan dapat
ditentukan (Schlumberger,1989).
Gambar 4.6 Skema cara kerja log neutron
http://www.easternutd.com/pulseneutronlogging
Peralatan
Peralatan logging neutron meliputi GNT (gamma neutron tool) tool series, dan
SNP(sidewall neutron porosity) tool (Harsono,1997). GNT merupakan detektor
yang sensitif terhadap energi tinggi sinar gamma dan panas dari neutron. GNT
dapat digunakan pada lubang bor dengan atau tanpa casing (Harsono,1997).
Meskipun perlengkapan ini respon utamanya adalah terhadap porositas, GNT
juga bisa mendeteksi pengaruh akibat salinitas fluida, suhu, tekanan, ukuran
lubang bor, mudcake, standoff, dan berat lumpur (Harsono,1997).
Pada peralatan SNP, detektornya hanya mampu mendeteksi neutron yang
memiliki energi sekitar 0,4 eV (epitermal). Harsono (2007) menyebutkan
sejumlah keunggulan SNP dibandingkan dengan NGT yaitu:
Efek lubang bor lebih sedikit
Neutron yang diukur adalah neutron epithermal, hal ini mengurangi efek
negatif dari penyerap neutron thermal kuat (seperti boron dan klorin) pada
air formasi dan matriks.
Koreksi yang diperlukan dilakukan secara otomatis oleh instrumen yang
ada di permukaan
SNP menghasilkan pengukuran yang baik pada lubang kosong
Perlengkapan SNP dirancang hanya bisa dioperasikan pada open holes, baik yang
terisi oleh cairan maupun yang kosong. Diameter minimal lubang bor yang
diperlukan adalah 5 inchi (Harsono,1997).










Tampilan Log
Gambar 4.6 Tampilan log densitas dan log neutron (Ellis & Singer,2008).




4.6 Log Resistivitas
Log resistivitas adalah rekaman tahanan jenis formasi ketika dilewati oleh kuat
arus listrik, dinyatakan dalam ohmmeter (Schlumberger,1989). Resistivitas ini
mencerminkan batuan dan fluida yang terkandung di dalam pori-porinya.
Reservoar yang berisi hidrokarbon akan mempunyai tahanan jenis lebih tinggi
(lebih dari 10 ohmmeter), sedangkan apabila terisi oleh air formasi yang
mempunyai salinitas ringgi maka harga tahanan jenisnya hanya beberapa
ohmmeter (Schlumberger,1989). Suatu formasi yang porositasnya sangat
kecil(tight) juga akan menghasilkan tahanan jenis yang sangat tinggi karena tidak
mengandung fluida konduktif yang dapat menjadi konduktor alat listrik
(Schlumberger,1989). Menurut jenis alatnya, log ini dibagi menjadi dua yaitu
laterolog, dipakai untuk pemboran yang menggunakan lumpur pemboran yang
konduktif dan induksi yang digunakan untuk pemboran yang menggunakan
lumpur pemboran yang fresh mud (Harsono,1997). Berdasarkan jangkauan
pengukuran alatnya, log ini dibagi menjadi tiga yaitu dangkal (1-6 inci), medium
(1,5-3 feet) dan dalam (>3 feet).

1. Alat Laterolog
Alat DLT memfokuskan arus listrik secara lateral ke dalam formasi dalam bentuk
lembaran tipis (Harsono,1997). Ini dicapai dengan menggunakan arus
pengawal (bucking current) yang berfungsi untuk mengawal arus
utama (measured current) masuk ke dalam formasi sedalam-dalamnya. Dengan
mengukur tegangan listrik yang diperlukan untuk menghasilkan arus listrik utama
yang besarnya tetap, resistivitasnya dapat dihitung dengan hukum Ohm
(Schlumberger,1989).
Sebenarnya alat DLT terdiri dari dua bagian, bagian pertama mempunyai
elektroda yang berjarak sedemikian rupa untuk memaksa arus utama masuk
sejauh mungkin ke dalam formasi dan mengukur LLd, resistivitas laterolog dalam
(Harsono,1997). Bagian lain mempunyai elektroda yang berjarak sedemikian rupa
membiarkan arus utama terbuka sedikit, dan mengukur LLs, resistivitas laterolog
dangkal (Harsono,1997). Hal ini tercapai karena arus yang dipancarkan adalah
arus bolak-balik dengan frekuensi yang berbeda. Arus LLd menggunakan
frekuensi 28kHz sedangkan frekuensi arus LLs adalah 35 kHz (Harsono,1997).

Bila alat DLT mendekati formasi dengan resistivitas sangat tinggi atau selubung
baja, bentuk arus DLT akan terpengaruh (Harsono,1997). Hal ini akan
mengakibatkan pembacaan yang terlalu tinggi pada LLd. Pengaruh ini dikenal
dengan sebutan efek Groningen (Harsono,1997).
DLT generasi baru telah dilengkapi dengan suatu rangkaian elektronik yang
mampu mendeteksi dampak Groningen ini dengan menampilkan kurva LLg
(Harsono,1997). Bila terdapat efek Groningan biasanya pembacaan LLg tidak
sama dengan LLd pada jarak anatara titik sensor dan torpedo
kabel logging (Harsono,1997).

1. Alat Induksi
Terdapat beberapa jenis alat Induksi yaitu: IRT (Induction Resistivity Tool), DIT-
D (Dual Induction Type-D), dan DIT-E (Dual Induction Type-
E) (Harsono,1997). Alat-alat tersebut menghasilkan jenis log yang berbeda pula.
IRT menghasilkan ISF (Induction Spherically Focussed), DIT-D menghasilkan
DIL (Dual Induction Log) sedangkan DIT-E menghasilkan PI (Pahsor
Induction) (Harsono,1997).
Prinsip ISF Log
Sonde terdiri dari dua set kumparan yang disusun dalam batangan fiberglass non-
konduktif (Harsono,1997). Suatu rangkaian osilator menghasilkan arus konstan
pada kumparan pemancar.
Berdasarkan hukum fisika kita tahu bahwa bila suatu kumparan dialiri arus listrik
bolak-balik akan menghasilkan medan magnet, sebaliknya medan magnet akan
menimbulkan arus listrik pada kumparan (Harsono,1997). Hal ini menyebabkan
arus listrik yang mengalir dalam kumparan alat induksi ini menghasilkan medan
magnet di sekeliling sonde (Harsono,1997). Medan magnet ini akan menhasilkan
arus eddy di dalam formasi di sekitar alat sesuai dengan hukum Faraday.
Formasi konduktif di sekitar alat bereaksi seperti kumparan-kumparan kecil
(Harsono,1997). Bisa dibayangkan terdapat berjuta-juta kumparan kecil di dalam
kimparan yang menghasilkan arus eddy terinduksi (Harsono,1997). Arus eddy
selanjutnya menghasilkan medan magnet sendiri yang dideteksi oleh kumparan
penerima. Kekuatan dari arus pada penerima sebanding dengan kekuatan dari
medan magnet yang dihasilkan dan sebanding dengan arus eddy dan juga
konduktivitas dari formasi (Harsono,1997).

Perbandingan antara pengukuran Laterolog dan Induksi
Hampir setiap alat pengukur resistivitas saat ini dilengkapi dengan alat pemfokus.
Alat tersebut berfungsi untuk mengurangi pengaruh akibat fluida lubang bor dan
lapisan di sekitarnya (Harsono,1997). Dua jenis alat pungukur resistivitas yang
ada saat ini: induksi dan laterolog memiliki karakteristik masing-masing yang
membuatnya digunakan untuk situasi yang berbeda (Harsono,1997).
Log induksi biasanya direkomendasikan untuk lubang bor yang yang
menggunakan lumpur bor konduktif sedang, non-konduktif (misalnya oil-base
muds) dan pada lubang bor yang hanya berisi udara (Harsono,1997). Sementara
itu laterolog direkomendasikan pada lubang bor yang menggunakan lumpur bor
sangat konduktif (misalnya salt muds) (Harsono,1997).
Alat induksi, karena sangat sensitif terhadap konduktivitas baik digunakan pada
formasi batuan dengan resistivitas rendah sampai sedang (Harsono,1997).
Sedangkan laterolog karena menggunakan peralatan yang sensitif terhadap
resistivitas sangat akurat digunakan pada formasi dengan resistivitas sedang
sampai tinggi (Harsono,1997).
.







BAB V
APLIKASI WELL LOGGI NG DALAM EVALUASI FORMASI

5.1 Mengidentifikasi Reservoar
Indikator yang paling dapat dipercaya terhadap keberadaan reservoar adalah
dengan melihat pergerakan dari log densitas dan log neutron, yaitu ketika log
densitas bergerak ke kiri (densitas rendah) dan bersinggungan atau bersilangan
dengan kurva neutron (Darling, 2005). Pada reservoar klastik, hampir tiap
keberadaan reservoar dihubungkan dengan log gamma ray. Pada sejumlah kecil
reservoar, log GR tidak dapat digunakan sebagai indikator pasir karena kehadiran
mineral radioaktif di dalam pasir. Serpih dapat dengan jelas dikenali sebagai suatu
zona ketika log densitas berada di sebelah kanan dari log neutron, dicirikan
dengan nilai unit porositas sebesar 6 atau lebih (Darling, 2005).
Jadi crossover antara log densitas dan log neutron lebih baik digunakan untuk
mengidentifikasi reservoar. Zona gas akan menunjukkan nilai crossover yang
lebih besar daripada zona air dan minyak (Darling, 2005). Log densitas dan log
neutron merupakan hasil pengukuran statistik (diukur berdasarkan waktu
kedatangan sinar gamma pada detektor yang bersifat acak) sehingga tampilannya
dapat tetap meliuk-liuk walaupun berada pada litologi yang homogen (Darling,
2005). Oleh karena itu sangat berbahaya apabila kita membuat aturan ketat bahwa
kurva densitas harus berpotongan dengan kurva neutron untuk menyatakan bahwa
lapisan tersebut adalah net sand. Untuk sebagian besar reservoar, Darling (2005)
menyarankan aturan aturan berikut ini:
Menentukan pembacaan rata-rata GR pada clean sand (GR
sa
) dan nilai
serpih (GR
sh
). Jangan gunakan nilai pembacaan terbesar yang teramati tapi
gunakan kenampakan secara umum yang teramati.
Menentukan volume serpih, V
sh
sebagai (GR-GR
sa
)/(GR
sh
-GR
sa
). Dengan
membandingkan V
sh
terhadap respon densitas dan neutron, tentukan nilai
V
sh
yang akan digunakan sebagai cutoff. Umumnya nilai cutoff adalah 50%.
Jika GR tidak dapat digunakan sebagai indikator pasir, lakukan langkah yang
sama seperti pada pengukuran net sand lalu gunakan nilai porosity cutoff.
5.2 Mengidentifikasi jenis fluida dan kontak antar fluida
Perhitungan porositas tergantung pada jenis fluida yang ada di dalam formasi
sehingga penting bagi kita untuk tahu mengenai prinsip keberadaan dan kontak
fluida tersebut di dalam formasi (Darling, 2005). Jika tersedia informasi regional
mengenai posisi gas/oil contact (GOC) atau oil/water contact (OWC), hubungkan
kedalaman OWC atau GWC tersebut terhadap kedalaman sumur yang kita amati
lalu tandai posisinya pada log (Darling, 2005).
Hal pertama yang dilakukan adalah membandingkan densitas dan pembacaan
paling besar dari log resistivitas untuk mengetahui kehadiran hirokarbon.
Pada classic response, resistivitas dan densitas akan terlihat
seperti tremline (bergerak searah ke kiri atau ke kanan) untuk pasir yang
mengandung air dan membentuk kenampakan seperti cermin ( bergerak
berlawanan arah, yang satu ke kiri dan yang satu kanan) pada pasir yang
mengandung hidrokarbon (Darling, 2005). Meskipun demikian Menurut Darling
(2005) tidak semua zona air dan hidrokarbon tidak menunjukkan kenampakan
seperti itu karena:
Ketika salinitas air formasi sangat tinggi, resistivitas clean sand juga akan
turun
Pada shally sand zones yang mempunyai proporsi zat konduktif tinggi,
resestivitasnya akan tetap kecil walaupun berfungsi sebagai reservoar.
Jika pasir tersebut merupakan laminasi tipis yang terletak diantara serpih,
maka resistivitasnya akan tertutupi oleh resistivitas serpih sehingga nilainya
akan tetap kecil
Jika sumur telah dibor dengan jauh melebihi kesetimbangan normal (very
high overbalance) maka invasi dapat menutupi respon hidrokarbon
Bila air formasi sangat murni (Rw tinggi) resistivitasnya dapat terlihat
seperti hidrokarbon padahal merupakan water-bearing zones.
Sangat penting untuk melihat nilai absolut dari resistivitas dibandingkan sekedar
melihat kenampakan kurva densitas. Bila resistiviasnya lebih besar daripada
resistivitas air maka apapun bentuk kurvanya kita patut menduga bahwa di daerah
itu berpotensi mengandung hidrokarbon (Darling,2005).
Apabila kita masih ragu di daerah tersebut ada hidrokarbon atau tidak maka kita
bisa mengujinya dengan data mud log. Meskipun demikian data mud log tidak
selalu bisa digunakan untuk mengetahui keberadaan hidrokarbon, khususnya bila
pasirnya tipis danoverbalance tinggi (Darling, 2005). Selain itu beberapa gas
minor akan terlihat hanya sebagai water bearing (Darling, 2005).
Seperti yang telah dinyatakan di awal, zona gas akan mempunyai crossover kurva
neutron dan densitas yang lebih besar daripada zona minyak (Darling, 2005).
Pada very clean porous sand, GOC akan relatif lebih mudah untuk diidentifikasi.
Meskipun demikian, GOC hanya teridentifikasi dengan benar pada sekitar 50%
kasus (Darling,2005). Secondary gas caps yang muncul pada depleted
reservoir biasanya tidak bisa diidentifikasi dengan menggunakan cara ini
(Darling, 2005).. Formation pressure plots lebih bisa diandalkan untuk
mengidentifikasi GOC namun biasanya hanya berguna pada virgin
reservoirs(Darling, 2005) . Berbagai variasi crossplot diusulkan di masa lalu
untuk mengidentifikasi zona gas meliputi log GR, densitas, neutron, dan sonik
namun semuanya tidak bisa dijadikan sebagai acuan (Darling,2005).
Pada depleted reservoir gas telah keluar melalui solution dari zona minyak dan
tidak bisa lagi mencapai kesetimbangan (Darling, 2005). Gas akan tetap dalam
bentuk football-sized pockets yang dikelilingi oleh minyak. Pada situasi seperti ini
log dasar tidak akan bisa memberikan jawaban yang tepat (Darling, 2005).
Cara yang paling tepat untuk mengidentifikasi zona gas adalah dengan
menggunakanshear sonic log yang dikombinasikan dengan compressional
sonic (Darling, 2005). Jikacompressional velocity (Vp) / shear velocity (Vs)
diplotkan terhadap Vp, deviasi akan terlihat pada zona gas karena Vp lebih
dipengaruhi oleh gas dibandingkan Vs (Darling, 2005).

5.3 Menghitung Porositas
Menurut Schlumberger (1989), porositas dapat dihitung dari log densitas dengan
menggunakan persamaan:
=
dengan
rho
m
= densitas matriks (g/cc)
rho
f
= densitas fluida (g/cc)

Alat densitas bekerja dengan menginjeksikan sinar gamma ke dalam formasi
batuan yang kemudian menghasilkan efek Compton
scattering (Schlumberger,1989). Sinar gamma tersebut kemudian dideteksi oleh
dua buah detektor. Terdapat perbedaan densitas elektron yang disebabkan oleh
perbedaan mineral sehingga sebaiknya dilakukan kalibrasi terhadap hasil
pengukuran densitas. Koreksi tersebut sebenarnya sangat kecil (kurang dari 1%)
sehingga tidak terlalu menjadi masalah (Schlumberger,1989).
Pada batupasir, rhom memiliki kisaran nilai antara 2,65 sampai 2,67 g/cc. Bila
data core regional tersedia, nilai tersebut dapat diambil dari nilai rata-rata
pengukuran padaconventional core plugs (Schlumberger,1989). Densitas fluida
(rhom) tergantung pada tipe lumpur pemboran, sifat fluida yang ada di formasi,
dan sebagian invasi yang terlihat pada log densitas (Schlumberger,1989).
Untuk menguji kelayakan nilai yang digunakan, Darling (2005) menyarankan tes
berikut:
Bila informasi regional tersedia, zona porositas rata-rata dapat
dibandingkan denganoffset sumur.
Pada banyak kasus, tidak ada lompatan nilai porositas yang teramati
melewati kontak. Sebuah pengecualian dimana ada nilai porositas yang
melewati OWC merupakan efek diagenetik yang bisa saja terjadi.
Pada batupasir umumnya porositasnya tidak lebih dari 36%.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa porositas yang dihitung dengan
menggunakan log densitas merupakan nilai porositas total sehingga air yang
terikat di dalam pori-pori lempung (clay-bound water) tetap termasuk di dalamnya
(Darling, 2005). Untuk itu hasil pengukuran log densitas perlu dibandingkan
dengan hasil analisis batu inti yang relatif lebih bisa menghilangkan
pengaruh clay-bound water.
Dalam menghitung porositas, penting untuk memeriksa zona yang
mengalami washoutsehingga nilai densitasnya menjadi sangat tinggi tak menentu
dan mengakibatkan nilai porositas tinggi yang tidak realistis (Darling, 2005). Pada
sejumlah kasus zona tersebut dapat dikenali dari karakternya yang soft dan
mempunyai porositas tinggi. Meskipun demikian, pada sejumlah kasus perlu
dilakukan pengeditan data log densitas secara manual dengan menggunakan
persamaan tertentu (Darling, 2005). Menurut Schlumberger (1989), estimasi yang
paling baik pada water-bearing section adalah dengan menggunakan resistivitas
sebenarnya (Rt) dan persamaan Archie sebagai berikut:
R
t
= R
w
*
-m
*
atau
S
w
= [(R
t
/R
w
)*
m
]
(-1/n)


dengan:
Rw = resistivitas air formasi
M = eksponen dari sementasi atau porositas
Sw = saturasi air
N = eksponen saturasi
Pada porositas efektif, pengukurannya agak berbeda. Pengertian porositas efektif
agak berbeda untuk tiap orang namun menurut Darling (2005), porositas efektif
adalah porositas total dikurangi dengan clay-bound water . Persamaan untuk
menghitung porositas efektif adalah sebagai berikut:

eff
=
total
* (1 C*V
sh
)
Dengan C merupakan faktor yang tergantung pada porositas serpih dan
CEC (caution exchange capacity). Nilai C dapat diperoleh dengan menghitung
porositas total dari serpih murni (Vsh=1) dan mengatur agar
eff
menjadi nol
(Darling, 2005). Meskipun demikian sejumlah ahli meragukan apakah
pengkoreksian dengan menggunakan asusmsi pada serpih non-reservoar bisa
digunakan pada serpih yang bercampur pasir di reservoar (Darling, 2005). Hal ini
menyebabkan sejumlah ahli tidak merekomendasikan penghitungan porositas
efektif sebagai bagian dari quicklook evaluation (Darling, 2005).
Darling (2005) mengemukakan sejumlah alasan mengenai kelemahan
penggunaancrossplot log densitas dan neutron di dalam menghitung porositas
sebagai berikut:
Log neutron dan densitas merupakan statistical devices dan sangat
dipengaruhi oleh kecepatan logging, kondisi detektor, kekuatan sumber, dan
efek lubang bor. Kesalahan ketika dua buah alat yang bersifat acak tersebut
dikomparasikan jauh lebih besar daripada ketika digunakan sendiri-sendiri.
Neutron dipengaruhi oleh kehadiran atom klorin di dalam formasi. Klorin
terdapat di dalam air formasi dan pada mineral lempung. Hal ini
menyebabkan porositas yang dibaca oleh log neutron hanya akurat pada
daerah yang tidak mengandung kedua hal tersebut.
Neutron juga dipengaruhi oleh kehadiran gas tertentu

5.4 Menghitung Permeabilitas
Permeabilitas merupakan kemampuan lapisan untuk melewatkan suatu fluida
(Darling, 2005). Agar permeabel, suatu batuan harus mempunyai porositas yang
saling berhubungan (vugs, capillaries, fissures, atau fractures). Ukuran pori,
bentuk dan kontinuitas mempengaruhi permeabilitas formasi (Darling, 2005).
Satuan permeabilitas adalah darcy. Satu darcy adalah kemampuan lapisan untuk
melewatkan satu kubik centimeter per detik fluida dengan viskositas satu
centipose melewati area seluas satu sentimeter persegi dibawah tekanan sebesar
satu atmosfer per sentimeter (Schlumberger,1989). Satu darcy merupakan unit
yang sangat besar sehingga pada prakteknya satuan milidarcy (md) lebih sering
digunakan (Schlumberger,1989).
Permeabelitas formasi batuan sangat bervariasi dari 0,1 md sampai lebih dari
10.000 md (Schlumberger,1989). Penentuan batas minimal permeabelitas untuk
kepentingan komersial dipengaruhi oleh sejumlah faktor yaitu: produksi minyak
atau gas, viskositas hidrokarbon, tekanan formasi, saturasi air, harga minyak dan
gas, kedalaman sumur, dan lain-lain (Schlumberger,1989).
Saat dua atau lebih fluida yang tidak bisa menyatu (misalnya air dan minyak)
hadir dalam formasi batuan, kedua fluida tersebut bergerak saling mengganggu
(Schlumberger,1989). Permeabelitas efektif aliran minyak (ko) atau aliran air
(kw) kemudian menjadi berkurang (Schlumberger,1989). Selain itu jumlah
permeabelitas efektif selalu lebih rendah atau sama dengan jumlah permeabilitas
absolut (k). Permeabelitas efektif tidak hanya dipengaruhi oleh batuan itu sendiri
tetapi juga dipengaruhi oleh jumlah dan karakteristik fluida yang ada di dalam
pori batuan (Schlumberger,1989).
Permeabilitas relatif merupakan rasio permeabelitas efektif terhadap permeabilitas
absolut (Schlumberger,1989). Jadi permeabelitas relatif dari air (krw) sebanding
dengan kw/k sedangkan permeabelitas minyak (kro) setara dengan ko/k
(Schlumberger,1989). Hal tersebut menjelaskan mengapa permeabelitas relatif
biasanya dinyatakan dalam persentase atau pecahan dan nilainya tidak pernah
melebihi 1 atau 100% (Schlumberger,1989).
Pada sejumlah kasus, terdapat hubungan antara nilai porositas dengan
permeabelitas. Hal tersebut mendorong sejumlah peneliti untuk merumuskan
hubungan antara kedua faktor tersebut dalam bentuk persamaan. Wyllie dan Rose
menngeluarkan persamaan k = C* / (Swi) y yang dirumuskan berdasarkan
hubungan antara permeabelitas dan irreducible water
saturation (Schlumberger,1989). Ketergantungan permeabelitas terhadap
porositas tidak dijelaskan melalui persamaan tersebut (Schlumberger,1989).
Berdasarkan persamaan Wyllie dan Rose tersebut sejumlah peneliti mengeluarkan
berbagai macam persamaan yang bisa digunakan untuk menghitung permeabelitas
berdasarkan porositas dan irreducible water saturation yang didapat dari data well
logsebagai berikut:
Tixier
k
1/2
= 250 (
3
/S
wi
)
Timur
k
1/2
= 100 (
2,25
/S
wi
)
Coastes-Dumanoir
k
1/2
= (300/w
4
) (
3
/S
wi
w
)
Coates
k
1/2
= 70
e
2
(1-S
wi
) / S
wi

dengan
k = permeabelitas
= porositas
S
wi
= irreducible water saturation
w = parameter tekstural yang berhubungan dengan eksponen sementasi dan
saturasi, w
Jika irreducible water saturation telah dapat ditentukan maka permeabelitas
efektif dan permeabelitas relatif bisa dihitung. Hubungan tersebut diusulkan oleh
Park Jones yang mengeluarkan perhitungan yang masuk akal
untuk shaly dan shaly sand(Schlumberger,1989)
K
rw
= [(S
w
-S
wi
)/(1-S
wi
)]
3

dan
K
ro
= (S
w
-S
wi
)
2,1
/(1-S
wi
)
2

Dimana K
rw
dan K
ro
merupakan permeabelitas relatif untuk air dan minyak;
S
wi
merupakanirreducible water saturation; dan S
w
merupakan saturasi air
sebenarnya. Saturasi air menunjukkan porositas yang berasosiasi dengan pasir
bersih, non-shaly rock matrix(Schlumberger,1989).
Permeabelitas efektif air dan minyak dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
k
w
= k
rw
k
dan
k
o
= k
ro
k
dimana k
w
dan k
o
merupakan permeabelitas efektif air dan minyak (md) dan k
merupakan permeabelitas absolut atau permeabelitas intrinsik batuan.
Jika perhitungan langsung tidak bisa dilakukan karena nilai S
wi
tidak diketahui
maka nilai tersebut dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai S
wi
dari
reservoar lain yang berdekatan (Schlumberger,1989). Persamaan yang digunakan
adalah sebagai berikut:
S
wi2
= S
wi1
(2 - )
dimana 1 dan S
wi1
merupakan nilai porositas dan irreducible water
saturation dari reservoar yang telah diketahui sedangkan 2 dan S
wi2
merupakan
nilai porositas danirreducible water saturation dari reservoar yang belum
diketahui (Schlumberger,1989).
Hubungan tersebut dibuat berdasarkan asumsi bahwa variasi porositas dan
S
wi
merupakan akibat dari perbedaan ukuran dan sortasi butir
(Schlumberger,1989). Cara tersebut tidak valid digunakan pada konglomerat atau
batuan yang mempunyai sistem porositas sekunder (Schlumberger,1989).
5.5 Menghitung Saturasi
Saturasi air merupakan fraksi (atau persentase) volume pori dari batuan reservoar
yang terisi oleh air (Schlumberger,1989). Selama ini terdapat asumsi umum
bahwa volume pori yang tidak terisi oleh air berarti terisi oleh hidrokarbon
(Schlumberger,1989). Mendeterminasi saturasi air dan hidrokarbon merupakan
salah satu tujuan dasar dari well logging.
Formasi Bersih
Semua determinasi saturasi air dari log resistivitas pada formasi bersih dengan
porositas intergranular yang homogen didasarkan pada persamaan Archie atau
turunannya (Schlumberger,1989). Persamaan tersebut adalah sebagai berikut:
= F R
w
/R
t

Dimana
R
w
= resistivitas air formasi
R
t
= resistivitas formasi sebenarnya
F = faktor resistivitas formasi
F biasanya didapat dari perhitungan porositas formasi dengan menggunakan
persamaan
F = a /
m

Untuk Sxo, saturasi air pada zona terbilas, persamaan tersebut menjadi :
= F R
mf
/R
xo


Dimana
R
mf
= resistivitas lumpur penyaring
R
xo
= resistivitas zona terbilas
Pada persamaan tersebut, nilai eksponen saturasi n yang biasa digunakan adalah 2
(Schlumberger,1989). Percobaan laboratorium menunjukkan bahwa angka
tersebut merupakan nilai terbaik untuk rata rata kasus. Nilai a dan m yang
digunakan lebih bervariasi: pada karbonat, F = 1/
2
merupakan yang sering
digunakan; pada pasir yang sering digunakan adalah F = 0,62/
2,15
(persamaan
Humble) atau F = 0,81/
2
(bentuk sederhana dari persamaan Humble).
Akurasi dari persamaan Archie bergantung pada kualitas parameter fundamental
yang dimasukkan meliputi: R
w
, F, dan R
t
(Schlumberger,1989). Pengukuran
resistivitas dalam (induksi atau laterolog) harus dikoreksi, meliputi lubang bor,
ketebalan lapisan dan invasi (Schlumberger,1989). Log porositas yang paling
sesuai (neutron, densitas, atau yang lainnya) atau kombinasi dari pengukuran
porositas dan litologi harus digunakan untuk mendapatkan nilai porositas
(Schlumberger,1989). Akhirnya nilai Rw diperoleh dengan menggunakan
berbagai cara: perhitungan dari kurva SP, katalog air, perhitungan water-bearing
formation, dan ukuran sampel air (Schlumberger,1989).
Formasi Serpih
Serpih merupakan salah satu batuan paling penting di dalam analisis log. Selain
efek porositas dan permeabelitasnya, serpih mempunyai sifat kelistrikan
tersendiri yang memberikan pengaruh besar pada penentuan saturasi fluida
(Schlumberger,1989).
Sebagaimana diketahui persamaan Archie yang menghubungkan resistivitas
batuan dengan saturasi air mengasumsikan bahwa air formasi merupakan satu-
satunya material konduktif di dalam formasi (Schlumberger,1989). Kehadiran
material konduktif lainnya (misalnya serpih) menyebabkan persamaan Archie
harus dimodifikasi sehingga perlu dikembangkan persamaan baru yang
menghubungkan antara resistivitas batuan dengan saturasi air pada formasi serpih
(Schlumberger,1989). Kehadiran lempung juga menyebabkan definisi atau
konsep porositas batuan menjadi lebih kompleks. Lapisan yang mengikat air pada
partikel lempung dapat merepresentasikan jumlah porositas yang sangat signifikan
(Schlumberger,1989). Meskipun demikian, porositas tersebut tidak bisa menjadi
reservoar hidrokarbon. Jadi, serpih dapat mempunyai porositas total yang besar
namun porositas efektifnya sangat rendah sehingga tidak berpotensi menjadi
reservoar hidrokarbon (Schlumberger,1989).
Efek kehadiran serpih terhadap pembacaan log bergantung pada jumlah serpihnya
dan sifat fisiknya (Schlumberger,1989). Hal tersebut juga dipengaruhi oleh
bagaimana pendistribusian serpih di dalam formasi. Dalam Schlumberger (1989)
disebutkan bahwa material yang mengandung serpih dapat terdistribusi di dalam
batuan melalui tiga cara yaitu:
1. Serpih dapat hadir dalam bentuk laminasi di antara lapisan pasir. Laminasi
serpih tersebut tidak mempengaruhi porositas dan permeabelitas dari pasir
yang melingkupinya. Meskipun demikian, bila kandungan laminasi serpih
tersebut bertambah dan kandungan pori-pori berukuran sedang berkurang,
nilai porositas rata-rata secara keseluruhan akan berkurang.
2. Serpih dapat hadir sebagai butiran atau nodul dalam matriks formasi.
Matriks serpih tersebut dikenal dengan istilah serpih struktural. Matriks
serpih tersebut biasanya dianggap mempunyai sifat fisik yang sama dengan
laminasi serpih dan serpih masif.
3. Material serpih dapat terdistribusi di antara pasir, secara parsial mengisi
ruang antar butir. Serpih yang terdispersi di dalam pori secara nyata
mengurangi permeabelitas formasi.
Semua bentuk distribusi serpih di atas dapat hadir bersamaan di dalam formasi
(Schlumberger,1989). Selama beberapa tahun terakhir berbagai model telah
dikembangkan untuk mengakomodasi kehadiran serpih di dalam formasi.
Sebagian besar model tersebut dikembangkan dengan asumsi bahwa serpih hadir
di dalam formasi dalam bentuk yang spesifik (misalnya laminar, struktural,
terdispersi). Semua model yang ada dikembangkan dengan terminologi pasir
bersih menurut Archie ditambah dengan terminologi serpih (Schlumberger,1989).
Dari berbagai model yang dikembangkan, penyelidikan di laboratorium, dan
pengalaman di lapangan, akhirnya ditemukan sebuah persamaan yang dapat
digunakan untuk mengakomodir kehadiran serpih di dalam formasi sebagai
berikut:
1/R
t
=[ (
2
Sw
2
) / a R
w
(1-Vsh) ] + [ (V
sh
S
w
) / R
sh
]
Dalam persamaan ini R
sh
merupakan resistivitas dari lapisan serpih yang
berdekatan dan V
sh
merupakan fraksi serpih yang didapat dari indikator serpih
total (Schlumberger,1989).

















BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari referat ini adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi formasi batuan adalah suatu proses analisis ciri dan sifat batuan di
bawah tanah dengan menggunakan hasil pengukuran lubang sumur
2. Well logging merupakan perekaman karakteristik dari suatu formasi batuan
yang diperoleh melalui pengukuran pada sumur bor
3. Terdapat dua metode well logging yaitu wireline logging dan logging while
drilling
4. Terdapat beberapa jenis log antara lain log Gamma Ray, log SP, log
densitas, log neutron, dan log resistivitas
5. Aaplikasi well logging dalam evaluasi formasi antara klain adalah untuk
mengidentifikasi reservoar, mengidentifikasi jenis fluida dan kontak antar
fluida, menghitung porositas, menentukan permeabelitas, dan menghitung
saturasi










DAFTAR PUSTAKA
Bateman, R.M., 1985, Open-hole Log Analysis & Formation Evaluation,
International Human Resources Development Corporation, Boston.
Darling, T, 2005, Well Logging and Formation Evaluation, Gulf Freeway, Texas.
Ellis, D. V. & Singer, J. M., 2008, Well Logging for Earth Scientist 2nd Edition,
Springer, Netherlands.
Harsono, A, 1997, Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log, Schlumberger Oilfield
Services, Jakarta.
Rider, M, 1996, The Geological Interpretation of Well Logs 2nd Edition,
Interprint Ltd, Malta.
Schlumberger, 1989, Log Interpretation Principles/Aplication, Schlumberger
Educational Services, Texas.
http://hznenergy.com/loggingwhiledrilling
www.easternutd.com/pulseneutronlogging

Anda mungkin juga menyukai