METABOLISME SULFUR
KELOMPOK 3
Dina Liana
Emy Gustriani
Fetro Dola Syamsu
Kamila Hayati
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa
komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara
dalam bentuk anorganik dari lingkungan sekitarnya. Hara mineral diabsorpsi dari
tanah oleh akar dan akan bergabung dengan senyawa organik yang esensial untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Penggabungan hara mineral dengan senyawa
organik membentuk pigmen, kofaktor enzim, lipid, asam nukleat dan asam amino.
Proses inilah yang disebut dengan asimilasi hara mineral.
Asimilasi nitrogen dan sulfur membutuhkan serangkaian reaksi biokimia yang
komplek yang membutuhkan energi. Asimilasi kation melibatkan pembentukkan
komplek dengan senyawa organik. Pada makalah ini diulas mengenai reaksi primer
untuk asimilasi dua unsur hara utama nitrogen dan sulfur.
Nitrogen merupakan elemen yang sangat esensial, menyusun bermacammacam persenyawaan penting, baik organik maupun anorganik. Nitrogen menempati
porsi 1-2 % dari berat kering tanaman. Ketersediaan nitrogen dialam berada dalam
beberapa bentuk persenyawaan, yaitu berupa N2 (72 % volume udara), N2O, NO,
NO2, NO3 dan NH4+. Di dalam atanah, lebih dari 90% nitrogen adalah dalam bentuk
N-organik.
Belerang atau sulfur adalah unsur kimia Bentuknya adalah non-metal yang tak
berasa, tak berbau danmultivalent. Belerang, dalam bentuk aslinya, adalah sebuah zat
2
padat kristalin kuning. Di alam, belerang dapat ditemukan sebagai unsur murni atau
sebagai mineral- mineralsulfide dan sulfate. Ia adalah unsur penting untuk kehidupan
dan ditemukan dalam duaasam amino. Penggunaan komersilnya terutama
dalam fertilizer namun juga dalam bubuk mesiu, korek api, insektisida dan fungisida.
BAB II
PEMBAHASAN
METABOLISME SULFUR
3
Ada tiga sumber alami pokok unsur hara belerang (S) bagi tanah yang
menyediakan belerang untuk tanaman. Ketiga sumber tersebut ialah:
1. mineral tanah,
2. gas belerang dalam atmosfir,
3. bahan organik.
Disamping itu ada 4 aliran utama S ke atmosfir dengan urutan sebagai berikut;
lepasan/produk bakteri < pembakaran bahan bakar fosil < penghembusan garamgaram laut < pelepasan gas volkan (Notohadiprawiro, 1998). Belerang di dalam tanah
didapatkan dalam dua bentuk utama yaitu bentuk organik dan bentuk anorganik,
tetapi sebagian besar dalam bentuk organic (Stevenson, 1994). Bentuk S tersebut
menentukan perilakunya di dalam tanah. Hampir semua S dalam tanah tropika yang
tidak di pupuk terdapat dalam bentuk organik. Unsur ini diserap oleh tanaman hampir
seluruhnya dalam bentuk ion sulfat (S04 2-) dan hanya sejumlah kecil sebagai gas
belerang (SO2) yang diserap langsung dari tanah dan atmosfir.
Berdasarkan bentuknya di dalam tanah, S dapat dikelompokkan menjadi sulfat
organik, sulfat terlarut, sulfat terabsorpsi, S-elemen, dan sulfida. Hampir semua S
organik dalam tanah yang beraerasi baik berada dalam bentuk ion sulfat yang
berkombinasi dengan unsur-unsur lain seperti Ca2-, Mg2+, K+, Na+, atau NH4 +.
Peningkatan adsorpsi SO4 2- per unit meningkatkan adsorpsi Ca2+ 12 kali lebih
besar dalam tanah yang mengandung Fe dan Al hidrooksida dibandingkan dengan
tanah yang didominasi oleh bahan organik. Meningkatnya adsorpsi Ca2+ dengan
kehadiran SO4 2- terjadi karena peningkatan muatan negatif yang diakibatkan oleh
6
SO4 2- dan meningkatnya pH karena pertukaran SO4 2- dengan ion OH (Curtin dan
Syers, 1990). Pengapuran dan pemupukan dengan fosfor juga mempengaruhi perilaku
S di dalam tanah.
Pengapuran dan pemupukan P dengan superfosfat menurunkan SO4 2- dalam
tanah dan SO4 2- teradsorpsi dari larutan CaSO4; pH tanah dan konsentrasi H2PO4
menurunkan SO4 2- teradsorpsi. Pengapuran lebih banyak menurunkan SO4 2teradsorpsi daripada pemupukan dengan P. Di daerah tropika basah sulfat mudah
hilang daripada di daerah tropika basah sulfat mudah hilang dari tanah melalui
berbagai cara, yaitu terangkut oleh tanaman dan organisme tanah, tererosi, dan
tercuci. Pengelolaan tanah dan tanaman menentukan keberadaan sulfat karena erosi.
Kehilangan satu milimeter bagian atas tanah akan disertai kehilangan sedikitnya
4 kg S/ha/tahun. Tekstur yang kasar mempercepat kehilangan sulfat. Pencucian sulfat
dari lapisan bagian atas tanah dapat merupakan penyebab terjadinya kahat S dibagian
tersebut (Elkins dan Ensminger, 1971). Absorpsi sulfat dipengaruhi oleh sejumlah
sifat tanah, antara lain: jumlah (kadar) dan tipe mineral liat, hidroksida, horison atau
ke dalaman tanah, pH, konsentrasi sulfat, waktu kehadiran anion lain dan bahan
organik (Tisdale et al. 1990). Nisbah C:N:S dalam bahan organik adalah sekitar 125 :
10 : 1.2. Dalam keadaan aerobic bakteri yang sama dapat mengoksidasi S menjadi
H2S04. Unsur S dapat pula dioksidasi oleh bakteri Khemotropik dari genus
Tiobacillus (Mengel dan Kirkby, 1978). Bagan daur belerang, tertera pada Gambar 1.
Belerang yang terikat oleh bahan organik menjadi tersedia karena kegiatan jasad
mikro. Dalam proses mineralisasi ini terbentuk H2S dan dalam keadaan anaerobik
menjadi S04 2-. Dalam anaerobik H2S teroksidasi menjadi S oleh bakteri belerang
Khemotropik (Beggiatoa, Thiothrax).
1. Peranan Belerang dalam Pertumbuhan Tanaman
Pada umumnya belerang dibutuhkan tanaman dalam pembentukan asam-asam
amino sistin, sistein, dan metionin. Disamping itu S juga merupakan bagian dari
biotin, tiamin, ko-enzim A dan glutationin. Diperkirakan 90% S dalam tanaman
8
ditemukan dalam bentuk asam amino, yang salah satu fungsi utamanya adalah
penyususn protein yaitu dalam pembentukan ikatan disulfide antara rantai-rantai
peptide. Belerang merupakan bagian (constituent) dari hasil metabolisme senyawasenyawa kompleks. Belerang juga berfungsi sebagai activator, kofaktor atau regulator
enzim dan berperan dalam proses fisiologi tanaman. Selain fungsi yang dikemukakan
di atas, peranan S dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman sangat banyak dan
penting, diantaranya (1) merupakan bagian penting dari ferodoksin, suatu complex Fe
dan S yang terdapat dalam kloroplas dan terlibat dalam reaksi oksidoreduksi dengan
transfer elektron serta dalam reduksi nitrat dalam proses fotosintesis, (2) S terdapat
dalam senyawa-senyawa yang mudah menguap yang menyebabkan adanya rasa dan
bau pada rumput-rumputan dan bawang-bawangan.
Belerang dikaitkan pula dengan pembentukan klorofil yang erat hubungannya
dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam beberapa reaksi metabolisme seperti
karbohidrat, lemak, dan protein. Belerang juga dapat merangssang pembentukan akar
dan buah serta dapat mengurangi serangan penyakit.
Tanaman sangat membutuhkan blerang karena pada umumnya belerang yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal tanaman bervariasi antara 0.1 sampai 0.5%
dari bobot kering tanaman. Spencer (1975) membagi 3 kelompok tanaman
berdasarkan tingkat kebutuhan S, yaitu:
a) tanaman dengan tingkat kebutuhan S yang banyak (20-80 kg S/ha)
b) tanaman dengan tingkat kebutuhan S sedang (10-50 kgS/ha)
c) tanaman dengan kebutuhan S rendah (5-25 kg S/ha).
9
10
tanaman bervariasi antara 0.1 sampai 0.5% dari bobot kering tanaman (Marschner,
1995). Spencer (1975) membagi 3 kelompok tanaman berdasarkan tingkat kebutuhan
S, yaitu: (1) tanaman dengan tingkat kebutuhan S yang banyak (20-80 kg S/ha), (2)
tanaman dengan tingkat kebutuhan S sedang (10-50 kg S/ha), dan (3) tanaman dengan
kebutuhan S rendah (5-25 kg S/ha). Prasad dan Power (1997) menyatakan bahwa,
tanaman serealia membutuhkan 3-4 kg S/t biji, 8 kg S/t biji pada tanaman legume dan
12 kg S pada tanaman yang menghasilkan minyak. Berdasarkan familinya, kebutuhan
11
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
pencemar udara. Perilaku stomata, jumlah dan persebaran stomata merupakan factor
penting yang mempengaruhi jumlah bahan pencemar yang terserap kedalam tanaman
(Vallero, 2008).
Perilaku pembukaan dan penutupan stomata diengaruhi oleh factor
lingkungan, yaitu kelembaban dan temperature udara, serta intensitas cahaya. Pada
saat kelembaban udara tinggi, sel penjaga pada stomata memperlihatkan respon yang
berlainan terhadap keberadaan SO2. SO2 menyebabkan sel penjaga menjadi lebih
turgit, sehigga stomata membuka lebih lebar dan menyebabkan bahan pencemar yang
terserap lebi banyak (Valleri, 2008). Hal ini berarti bahwa pada saat cuaca hangat dan
lembab, penyerapan SO2 lebih mudah terjadi. Sebaliknya pada kondisi kering,
stomata membuka lebih sedikit resisten terhadap terserapnya SO2 menjadi lebih
tinggi. Jadi penutupan stomata terjadi sebagai mekanisme pertahanan terhadap
cekaman kekeringan bukan akibat langsung dari SO2.
15
Didalam daun, SO2 terlarut didalam jaringan mesofil yang mengandung air.
Reaksi dengan air menghasilkan bisulfit (HSO3-) yang nontoksik dan sulfit (SO3-)
yang bersifat toksik, selanjutnya didistribusikan kedalam sel kloroplas, sitosol dan
vakuola. Keduanya didalam kloroplas teroksidasi menjadi sulfat (SO4) yang tidak
toksik. Jika laju pembentukan HSO3- dan SO3- lebih cepat dari pembentukan SO4maka akan terjadi kerusakan yang berupa netrotik dan klorosis. Namun, jika
pembentukan So4- lebih cepat maka tidak ada kerusakan yang terlihat (Zeiger, 2006).
Metabolism sulfur akhirnya menghasilkan asam amino yang mengandung sulfur,
yaitu sistein dan metionin. Jika terlalu banyak sulfur yang terserap dan konsentrasi
thiol semakin meningkat, sulfur akan diakumulasikan kedalam bentuk glutation
16
Jika tanaman kelebihan dalam menyerap SO2, maka akan terjadi kerusakan
pada tanaman, meskipun hanya dalam waktu yang singkat. Kerusakan akan tampak
segera dalam hitunga jam sampai beberapa hari setelah paparan. Gejala kerusakan
17
dapat terjadi dan terlihat pada kedua sisi daun, diantara tulang-tulang daun atau pada
tepi daun. Warna daun yang rusak bervariasi dari kuning muda hingga putih, merah,
orange atau cokelat, tergantung kepada beberapa factor diantaranya spesies tanaman
dan kondisi cuaca. Sebaliknya penyerapan SO2 pada tingkat konsentrasi sublerhal,
menyebabkan kerusakan kronis. Gejala kerusakan kronis terlihat lebih ringan
daripada kerusakan akut, ditandai dengan warna daun yang menguning atau warna
tembaga pada sisi bawah daun (Nelson dan Aewake, 2008). Beberapa gejala umum
pada tanaman jika terjai penigkatan level konsentrasi pada saat pemparan So2:
a. Penurunan perkecambahan benih
b. Peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain
c. Nekrosis daun
d. Pelarutan lapisan lilin
e. Plasmolisis dan pecahnya epidermis
f. Penurunan kadar l
g. Klorofil
h. Peningkatan permeabilitas membrane daun
i. Penurunan [ertumbuhan tanaman (panjang akar, panjang pucuk, jumlah
daun)
j. Kematian organ atau seluruh tanaman
Daun-daun muda
19
Gejala defiensi S mirip dengan gejala defiensi N. Uji S tanah tidak terandal
kecuali bila meliputi S anorganik seperti halnya beberapa fraksi S organik yang dapat
dimineralisasikan (ester sulfat).
Tingkat kritis tanah yang memungkinkan defiensi S:
1. <5 mg S/kg: 0,05 M HCl,
2. <6 mg S/kg: 0,25 M KCl dipanaskan pada 40C selama 3 jam
3. <9 mg S/kg: 0,01 M Ca(H2PO4)2.
Penyebab defiensi S
Defiensi S disebabkan oleh:
1. Rendahnya kandungan S tersedia dalam tanah.
2. Pengurasan S tanah karena pertanaman intensif.
3. Pemakaian pupuk bebas S (misal: substitusi amonium sulfat dengan urea,
substitusi single superphosphate (SSP) dengan triple super phosphate (TSP),
dan substitusi kalium sulfat dengan kalium khlorida).
4. Di banyak negara sedang berkembang, jumlah deposisi S dalam air hujan
sedikit karena rendahnya emisi gas industri.
5. Air irigasi biasanya hanya mengandung sedikit SO4 26. Kandungan S dalam sisa-sisa bahan organik hilang melalui pembakaran.
Tanah yang cenderung defiensi:
1. Tanah mengandung alofan (misal: Andisols).
2. Tanah dengan status bahan organik rendah.
3. Tanah terlapuk berat yang mengandung banyak oksida Fe.
20
jerami:
Jerami
dibenamkan
ke
dalam
tanah,
bukan
21
b. pengolahan tanah kering setelah panen untuk menaikkan tingkat oksidasi sulfida
selama masa berat.
D. Contoh Kasus
Penelitian yang dilakukan oleh yenni (2012). Ameliorasi tanah sulfat masam
potensial untuk budidaya tanaman Bawang merah (allium ascalonicum l.) Parameter
yang diukur adalah pertumbuhan tanaman bawang merah berupa tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah anakan, panjang akar, berat segar dan berat kering umbi,
panjang dan diameter umbi.
A. Tinggi Tanaman
Hasil pengamatan tinggi tanaman bawang merah di tanah sulfat masam diketahui
tinggi tanaman bawang merah berkisar antara 12,10 42,02 cm. Tinggi tanaman
bawang merah terendah didapatkan pada tanaman kontrol (tanpa kapur) dan
tanaman tertinggi pada perlakuan pemberian kapur 3 ton/ha. Pemberian kapur
menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman yang berbeda. Semakin tinggi takaran
kapur yang diberikan tinggi tanaman bawang merah semakin meningkat.
B. Jumlah Daun Per rumpun
Pertumbuhan tanaman bawang merah yang ditumbuhkan pada tanah sulfat
masam menunjukkan bahwa semakin tinggi pH tanah dan takaran kapur yang
diberikan maka meningkatkan jumlah daun tanaman bawang merah. Pada
perlakuan S1K0 (pH 4,05) memiliki jumlah daun per rumpun yang lebih sedikit
22
yaitu 18,17 helai daun dibandingkan hasil pada perlakuan S2K3 (pH 6,12)
sebanyak 57,83 helai daun.
C. Jumlah Anakan Perrumpun
Diketahui jumlah anakan per rumpun bawang merah di tanah sulfat masam.
Semakin tinggi pH tanah, pertumbuhan jumlah anakan rumpun semakin banyak.
D. Panjang Akar
diketahui bahwa panjang akar tanaman bawang merah yang ditanam pada tanah
sulfat masam pH tanah S2 dengan penambahan takaran kapur 3 ton/ha memiliki
panjang akar tertinggi yaitu 14,07 cm dibandingkan dengan panjang akar
tanaman bawang merah yang ditanam pada tanah perlakuan kapur K0 (Kontrol)
lebih pendek yaitu 2,40 cm. Akar tanaman bawang yang ditanam pada perlakuan
kontrol tidak mengalami tidak mengalami pertambahan panjang tetapi
mengalami penebalan sehingga akarnya pendek dan gemuk.
E. Jumlah Umbi Per rumpun
Jumlah umbi per rumpun yang dikaji pada penelitian ini adalah jumlah umbi
pada saat panen. Pengamatan umbi per rumpun tanaman bawang merah pada
tanah sulfat masam Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pH
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi per rumpun tanaman bawang
merah. Pada perlakuan kontrol tanaman bawang merah tidak menghasilkan umbi.
Jumlah umbi tertinggi dicapai pada takaran kapur 3 ton/ha yaitu 12,5 umbi dan
terendah pada tanaman yang tidak diberi kapur (kontrol) karena tidak terbentuk
umbi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Fairhurst, C. Witt, R.J. Buresh, dan A. Dobermann. 2008. Kahat Belerang (S).
Panduan Praktis Pengelolaan Hara. Informasi Ringkas.
Kiswondo, S. 2011. Penggunaan Abu Sekam Dan Pupuk ZA Terhadap Pertumbuhan
dan Hasil Tanaman Tomat. Embryo. Vol 8 No 1. ISSN 0216-0188.
24
25