Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

METABOLISME SULFUR

Dosen Pembina : Dr. Zozy Aneloi Noli, M.Si

KELOMPOK 3
Dina Liana
Emy Gustriani
Fetro Dola Syamsu
Kamila Hayati

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa
komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara
dalam bentuk anorganik dari lingkungan sekitarnya. Hara mineral diabsorpsi dari
tanah oleh akar dan akan bergabung dengan senyawa organik yang esensial untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Penggabungan hara mineral dengan senyawa
organik membentuk pigmen, kofaktor enzim, lipid, asam nukleat dan asam amino.
Proses inilah yang disebut dengan asimilasi hara mineral.
Asimilasi nitrogen dan sulfur membutuhkan serangkaian reaksi biokimia yang
komplek yang membutuhkan energi. Asimilasi kation melibatkan pembentukkan
komplek dengan senyawa organik. Pada makalah ini diulas mengenai reaksi primer
untuk asimilasi dua unsur hara utama nitrogen dan sulfur.
Nitrogen merupakan elemen yang sangat esensial, menyusun bermacammacam persenyawaan penting, baik organik maupun anorganik. Nitrogen menempati
porsi 1-2 % dari berat kering tanaman. Ketersediaan nitrogen dialam berada dalam
beberapa bentuk persenyawaan, yaitu berupa N2 (72 % volume udara), N2O, NO,
NO2, NO3 dan NH4+. Di dalam atanah, lebih dari 90% nitrogen adalah dalam bentuk
N-organik.
Belerang atau sulfur adalah unsur kimia Bentuknya adalah non-metal yang tak
berasa, tak berbau danmultivalent. Belerang, dalam bentuk aslinya, adalah sebuah zat
2

padat kristalin kuning. Di alam, belerang dapat ditemukan sebagai unsur murni atau
sebagai mineral- mineralsulfide dan sulfate. Ia adalah unsur penting untuk kehidupan
dan ditemukan dalam duaasam amino. Penggunaan komersilnya terutama
dalam fertilizer namun juga dalam bubuk mesiu, korek api, insektisida dan fungisida.

BAB II
PEMBAHASAN
METABOLISME SULFUR
3

A. Unsur Sulfur/ Belerang (S)


Pentingnya belerang sebagai unsure hara telah disadari sejak lebih dari satu
abad yang lampau, menurut Evans ( 1975) pada zaman Von Liebeg sudah diketahui
adanya hubungan yang erat antara nitrogen dan belerang dalam tanaman. Secara
biologi belerang adalah penting baik bagi pertumbuhan maupun metabolisme
tanaman. Asam amino sistin maupun sistein dan metionin mengandung belerang dan
penting untuk pembentukan struktur dan fungsi protein. Belerang juga berperan
dalam enzim tanaman, dan reaksi oksidasi-reduksi. Menurut Anderson (1975) protein
sel memenuhi dua fungsi utama bagi kehidupan yakni :
a. Mengkatalis reaksi biosintetik dan katabolic yang diperlukan untuk
melangsungkan pertumbuhan dan pengembangan sel-sel organism
b. Protein structural merupakan penyusunan berbagai membrane
c. Selain itu menurut penelitian
Momuat, dkk(2006) belerang dapat
meningkatkan bobot jerami dan akar , selain itu dapat mengatur atau
memeprbiki susunan asam-asam amino didalam beras sehingga secara
lngsung menigkatkan mutu beras
Sulfur atau Sulfida (dalam bentuk reduksi) terdapat dalam tanah yang
suasananya reduksi, misalnya tanah tergenang. Perbandingan C : N : S pada tanah
kapuran berkisar 113 : 10 : 1,3 dan pada tanah non kapuran 147 : 10 : 1,4. Menurut
Tisdale (1985), dalam Rosmarkam dan Yuwono (2003) sulfur sering menaikkan hasil
bila diberikan bersama dengan molibdenum. Pemupukan sulfur terus - menerus dapat
menyebabkan reaksi tanah menjadi lebih asam (pH turun), sehingga mengakibatkan
ketersediaan Mn, Al dan Zn meningkat
4

B. Fungsi Sulfur/ Belerang bagi tanaman


Sulfur (S) berperan menaikkan kadar methionin, sistein dan total S dalam
jaringan tanaman. Oleh karena itu, kekurangan S dapat menyebabkan terhambatnya
penyusunan protein, asam amino, tanaman kurus dan kerdil serta perkembangan
tanaman menjadi sangat lambat (Novizan, 2002) juga dijelaskan oleh Sarwono dalam
Kiswondo (2011), bahwa hara N, P, K, Ca, Mg, dan S Merupakan bagian hara makro
esensial yang sangat diperlukan tanaman dan fungsinya tidak dapat digantikan unsur
lain, sehingga bila jumlahnya tidak cukup dalam tanah akan menyebabkan tanaman
tidak dapat tumbuh secara normal. Belerang membantu pembentukan butir hijau daun
sehingga daun lebih hijau serta menambah kandungan protein dan vitamin.
Hasil metabolisme senyawa organik yang pertama dan yang stabil adalah
homoserine, kemudian terbentuk senyawa homosistein yang akhirnya diubah menjadi
metionin. Sistein dan metionin merupakan asam amino penting yang mengandung
sulfur dalam tanaman. Peranan sulfur (S) yang penting dalam tanaman adalah
pembentukan ikatan disulfida antara rantai protein. Penyusunan dipeptida sistein dari
dua molekul sistein merupakan contoh pembentukan disulfida dari dua gugus SH.
Pembentukan metionin dari homoserine diikhtisarkan sebagi berikut : ikatan SH dan
sistein lepas dan mengganti OH- dan terbentuk homosistein. Terbentuknya metionin
diganti oleh CH3. Pembentukan ikatan disulfida dalam polipeptida dan protein
merupakan fungsi S yang penting. Dilihat dari reaksi oksidasi reduksi,
pembentukan sistein merupakan proses oksidasi ( pelepasan ion H ) dari dua molekul
sistein dan reaksi sebaliknya adalah reaksi reduksi ( sistein 2 sistein ) (Rosmarkam
dan Yuwono, 2003).
5

Ada tiga sumber alami pokok unsur hara belerang (S) bagi tanah yang
menyediakan belerang untuk tanaman. Ketiga sumber tersebut ialah:
1. mineral tanah,
2. gas belerang dalam atmosfir,
3. bahan organik.
Disamping itu ada 4 aliran utama S ke atmosfir dengan urutan sebagai berikut;
lepasan/produk bakteri < pembakaran bahan bakar fosil < penghembusan garamgaram laut < pelepasan gas volkan (Notohadiprawiro, 1998). Belerang di dalam tanah
didapatkan dalam dua bentuk utama yaitu bentuk organik dan bentuk anorganik,
tetapi sebagian besar dalam bentuk organic (Stevenson, 1994). Bentuk S tersebut
menentukan perilakunya di dalam tanah. Hampir semua S dalam tanah tropika yang
tidak di pupuk terdapat dalam bentuk organik. Unsur ini diserap oleh tanaman hampir
seluruhnya dalam bentuk ion sulfat (S04 2-) dan hanya sejumlah kecil sebagai gas
belerang (SO2) yang diserap langsung dari tanah dan atmosfir.
Berdasarkan bentuknya di dalam tanah, S dapat dikelompokkan menjadi sulfat
organik, sulfat terlarut, sulfat terabsorpsi, S-elemen, dan sulfida. Hampir semua S
organik dalam tanah yang beraerasi baik berada dalam bentuk ion sulfat yang
berkombinasi dengan unsur-unsur lain seperti Ca2-, Mg2+, K+, Na+, atau NH4 +.
Peningkatan adsorpsi SO4 2- per unit meningkatkan adsorpsi Ca2+ 12 kali lebih
besar dalam tanah yang mengandung Fe dan Al hidrooksida dibandingkan dengan
tanah yang didominasi oleh bahan organik. Meningkatnya adsorpsi Ca2+ dengan
kehadiran SO4 2- terjadi karena peningkatan muatan negatif yang diakibatkan oleh
6

SO4 2- dan meningkatnya pH karena pertukaran SO4 2- dengan ion OH (Curtin dan
Syers, 1990). Pengapuran dan pemupukan dengan fosfor juga mempengaruhi perilaku
S di dalam tanah.
Pengapuran dan pemupukan P dengan superfosfat menurunkan SO4 2- dalam
tanah dan SO4 2- teradsorpsi dari larutan CaSO4; pH tanah dan konsentrasi H2PO4
menurunkan SO4 2- teradsorpsi. Pengapuran lebih banyak menurunkan SO4 2teradsorpsi daripada pemupukan dengan P. Di daerah tropika basah sulfat mudah
hilang daripada di daerah tropika basah sulfat mudah hilang dari tanah melalui
berbagai cara, yaitu terangkut oleh tanaman dan organisme tanah, tererosi, dan
tercuci. Pengelolaan tanah dan tanaman menentukan keberadaan sulfat karena erosi.
Kehilangan satu milimeter bagian atas tanah akan disertai kehilangan sedikitnya
4 kg S/ha/tahun. Tekstur yang kasar mempercepat kehilangan sulfat. Pencucian sulfat
dari lapisan bagian atas tanah dapat merupakan penyebab terjadinya kahat S dibagian
tersebut (Elkins dan Ensminger, 1971). Absorpsi sulfat dipengaruhi oleh sejumlah
sifat tanah, antara lain: jumlah (kadar) dan tipe mineral liat, hidroksida, horison atau
ke dalaman tanah, pH, konsentrasi sulfat, waktu kehadiran anion lain dan bahan
organik (Tisdale et al. 1990). Nisbah C:N:S dalam bahan organik adalah sekitar 125 :
10 : 1.2. Dalam keadaan aerobic bakteri yang sama dapat mengoksidasi S menjadi
H2S04. Unsur S dapat pula dioksidasi oleh bakteri Khemotropik dari genus
Tiobacillus (Mengel dan Kirkby, 1978). Bagan daur belerang, tertera pada Gambar 1.

Belerang yang terikat oleh bahan organik menjadi tersedia karena kegiatan jasad
mikro. Dalam proses mineralisasi ini terbentuk H2S dan dalam keadaan anaerobik
menjadi S04 2-. Dalam anaerobik H2S teroksidasi menjadi S oleh bakteri belerang
Khemotropik (Beggiatoa, Thiothrax).
1. Peranan Belerang dalam Pertumbuhan Tanaman
Pada umumnya belerang dibutuhkan tanaman dalam pembentukan asam-asam
amino sistin, sistein, dan metionin. Disamping itu S juga merupakan bagian dari
biotin, tiamin, ko-enzim A dan glutationin. Diperkirakan 90% S dalam tanaman
8

ditemukan dalam bentuk asam amino, yang salah satu fungsi utamanya adalah
penyususn protein yaitu dalam pembentukan ikatan disulfide antara rantai-rantai
peptide. Belerang merupakan bagian (constituent) dari hasil metabolisme senyawasenyawa kompleks. Belerang juga berfungsi sebagai activator, kofaktor atau regulator
enzim dan berperan dalam proses fisiologi tanaman. Selain fungsi yang dikemukakan
di atas, peranan S dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman sangat banyak dan
penting, diantaranya (1) merupakan bagian penting dari ferodoksin, suatu complex Fe
dan S yang terdapat dalam kloroplas dan terlibat dalam reaksi oksidoreduksi dengan
transfer elektron serta dalam reduksi nitrat dalam proses fotosintesis, (2) S terdapat
dalam senyawa-senyawa yang mudah menguap yang menyebabkan adanya rasa dan
bau pada rumput-rumputan dan bawang-bawangan.
Belerang dikaitkan pula dengan pembentukan klorofil yang erat hubungannya
dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam beberapa reaksi metabolisme seperti
karbohidrat, lemak, dan protein. Belerang juga dapat merangssang pembentukan akar
dan buah serta dapat mengurangi serangan penyakit.
Tanaman sangat membutuhkan blerang karena pada umumnya belerang yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal tanaman bervariasi antara 0.1 sampai 0.5%
dari bobot kering tanaman. Spencer (1975) membagi 3 kelompok tanaman
berdasarkan tingkat kebutuhan S, yaitu:
a) tanaman dengan tingkat kebutuhan S yang banyak (20-80 kg S/ha)
b) tanaman dengan tingkat kebutuhan S sedang (10-50 kgS/ha)
c) tanaman dengan kebutuhan S rendah (5-25 kg S/ha).
9

Berdasarkan familinya, kebutuhan S oleh tanaman Graminaea, Leguminaeae,


Cruciferae, yang dapat dilihat dari kandungan sulfat pada biji dari masing-masing
kelompok tanaman tersebut adalah secara berturut-turut (0.18-0.19%, 0,25-0 3% dan
1.1-1.7%) dari bobot kering tanaman.
Belerang merupakan bagian dari metabolisme dan senyawa yang kompleks,
juga berfungsi sebagai aktivator, kovaktor atau regulasi enzim dan dalam proses
fisiologi tanaman. Belerang juga sebagai pembentuk kloroplas yang erat hubungan
dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam berbagai rekasi metabolik seperti
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Tisdale et al. 1990). Belerang juga dapat
merangsang pembentukan akar dan buah. Selain itu peranan belerang dalam
pertumbuhan dan metabolism tanaman sangat banyak dan penting diantaranya: (i)
merupakan bagian penting dari ferodoksin (FeS), suatu tipe besi S yang terdapat
dalam reduksi nitrat dalam proses fotosintesis, (ii) S terdapat dalam senyawa senyawa
yang mudah menguap yang menyebabkan adanya rasa dan bau yang khas pada
tanaman rumput-rumputan dan bawang-bawangan (Tisdale et al. 1990)
Pada umumnya belerang dibutuhkan tanaman dalam pembentukan asam
amino sistin, sistein dan metionin. Disamping itu S juga merupakan bagian dari
biotin, tiamin, ko-enzim A dan glutationin (Marschner, 1995). Diperkirakan 90% S
dalam tanaman ditemukan dalam bentuk asam amino, yang salah satu fungsi
utamanya adalah penyusun protein yaitu dalam pembentukan ikatan disulfida antara
rantai-rantai peptida (Tisdale et al. 1990). Belerang merupakan bagian (constituent)

10

dari hasil metabolisme senyawa-senyawa kompleks. Belerang juga berfungsi sebagai


aktivator, kofaktor atau regulator enzim dan berperan dalam proses fisiologi tanaman.
Selain fungsi yang dikemukakan di atas, peranan S dalam pertumbuhan dan
metabolisme tanaman sangat banyak dan penting, diantaranya (1) merupakan bagian
penting dari ferodoksin, suatu komplex Fe dan S yang terdapat dalam kloroplas dan
terlibat dalam reaksi oksidoreduksi dengan transfer elektron serta dalam reduksi nitrat
dalam proses fotosintesis, (2) S terdapat dalam senyawa-senyawa yang mudah
menguap yang menyebabkan adanya rasa dan bau pada rumput-rumputan dan
bawangbawangan (Tisdale et al. 1990). Belerang dikaitkan pula dengan pembentukan
klorofil yang erat hubungannya dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam
beberapa reaksi metabolisme seperti karbohidrat, lemak dan protein (Tisdale et al.
1990). Belerang juga dapat merangsang pembentukan akar dan buah serta dapat
mengurangi serangan penyakit.
2.

Belerang bagi Tanaman


Pada umumnya belerang yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal

tanaman bervariasi antara 0.1 sampai 0.5% dari bobot kering tanaman (Marschner,
1995). Spencer (1975) membagi 3 kelompok tanaman berdasarkan tingkat kebutuhan
S, yaitu: (1) tanaman dengan tingkat kebutuhan S yang banyak (20-80 kg S/ha), (2)
tanaman dengan tingkat kebutuhan S sedang (10-50 kg S/ha), dan (3) tanaman dengan
kebutuhan S rendah (5-25 kg S/ha). Prasad dan Power (1997) menyatakan bahwa,
tanaman serealia membutuhkan 3-4 kg S/t biji, 8 kg S/t biji pada tanaman legume dan
12 kg S pada tanaman yang menghasilkan minyak. Berdasarkan familinya, kebutuhan
11

S oleh tanaman: Gramineae, Legumineae, Cruciferae, yang dapat dilihat dari


kandungan sulfat pada biji dari masing-masing kelompok tanaman tersebut adalah
secara berturut (0.18-0.19%; 0.25-0.3% dan 1.1-1.7%) dari bobot kering tanaman.
Menurut Yamaguchi (1999) jumlah S yang dibutuhkan oleh tanaman sama dengan
jumlah fosfor (P).
Kekurangan S menghambat sintesis protein dan hal inilah yang dapat
menyebabkan terjadinya klorosis seperti tanaman kekurangan nitrogen. Defisiensi S
lebih menekan pertumbuhan tunas dari pada pertumbuhan akar. Gejala kekurangan S
lebih nampak pada daun muda dengan warna daun yang menguning sebagai
mobilitasnya sangat rendah di dalam tanaman (Haneklaus dan Schnug, 1994).
Penurunan kandungan klorofil secara drastis pada daun merupakan gejala khas pada
tanaman yang mengalami defisiensi S (Marschner, 1995). Defisiensi S menyebabkan
terhambatnya sintesis protein yang berkorelasi dengan akumulasi N dan nitrat organik
terlarut.
Menurut Stewart dan Partier (1969) apabila belerang dalam keadaan kurang
akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas produksi hasil. Defisiensi belerang
menghambat sintesis protein karena berkurangnya sintesis asam-asam amino yang
mengandung (S). Hal ini mengakibatkan akumulasi asam-asam amino yang tidak
mengandung S di dalam jaringan tanaman. Oleh karena itu jaringan tanaman yang
defisiensi belerang, mempunyai nisbah N-organik/S-organik lebih tinggi (70/1- 60/1)
dari pada tanaman normal. Nisbah ini dapat dipakai sebagai petunjuk suatu tanaman
mendapat suplai belerang cukup atau tidak (Notohadiprawiro, 1998).
12

3. Pengaruh Pemupukan dengan Belerang pada Hijauan


Manfaat pemupukan tanaman dengan belerang dapat meningkatkan kualitas
dan kuantitas pastura, peningkatan N-organik, Ca- dapat ditukar dan ketersediaan Sdi dalam tanah. Pemupukan dengan belerang dapat meningkatkan kadar N, K dan S
serta protein kasar, serat kasar dan abu tanaman (Tuherkih et al. 1998). Bahar et al.
(1993) melaporkan hasil penelitian di rumah kaca bahwa, pemberian 30 kg S/ha
dalam bentuk Na2S04 dapat meningkatkan bobot kering legum Centrocema
pubescens secara nyata. Lamond et al. (1995) menyatakan bahwa pemupukan dengan
belerang secara keseluruhan meningkatkan produksi, kandungan protein dan belerang
hijauan Bromus inermis Leyss (Bromegrass), serta perbandingan N/S rasio 20 : 1.
Adapun faktor-faktor yang mempercepat penurunan kemampuan tanah dalam
menyediakan sulfat dikemukakan oleh Gupta dan Dubey (1998) antara lain :
penggunaan lahan secara intensif dengan memakai pupuk yang tidak atau
mengandung belerang yang rendah, kehilangan belerang karena pencucian dan aliran
permukaan.
Pemupukan belerang dapat meningkatkan N-total, Ca dapat ditukar dan S
tersedia, sedangkan C-organik, Mg-dd , KTK serta S total relative konstan. Belerang
sebagai ameliorasi tanah dapat meningkatkan ketersediaan hara lain dengan berbagai
cara, melalui hubungan antar ion setelah menjadi sulfida dan dapat berfungsi sebagai
reduktor dan donor electron (Tuherkih et al. 1998).
Peranan belerang bagi tanaman adalah:
a. Membantu pembentukan butir hijau daun sehingga daun menjadi lebih hijau
13

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Menambah kandungan protein dan vitamin hasil panen


Meningkatkan jumlah anakan yang menghasilkan (pada tanaman padi)
Berperan penting dalam proses pembuatan zat gul
Sintesis asam amino (sistein, sistin, metionin) protein.
Mengaktifkan enzim proteolitik (papainase)
Untuk sintesis Vitamin (tiamin,biotin) dan koenzim A.
Membentuk minyak glukosida, ikatan sulfida, gugus sulfihidril.

C. Metabolisme Sulfur / Belerang


Tanaman umumnya menyerap sulfur dalam bentuk SO 42- dari tanah oleh akar.
Sulfur juga diserap oleh tanaman dalam bentuk SO2 dari udara lewat daun. Kadar SO2
dalam udara yang cukup tinggi menyebabkan keracunan pada tanaman. SO 42- dari
tanah tersebut di dalam tanaman direduksi, kemudian diubah menjadi ikatan -S-Satau -S-H. Di dalam tanah, sebagian sulfur dalam bentuk senyawa organik dan
sebagian lagi dalam bentuk anorganik. Pada tanah, mineral S dalam bentuk senyawa
sulfat (SO42-) dan sulfida (S2-). Mineral sulfur dalam tanah. misalnya Na. Sulfur (S)
berperan menaikkan kadar methionin, sistein dan total S dalam jaringan tanaman.
Oleh karena itu, kekurangan S dapat menyebabkan terhambatnya penyusunan protein,
asam amino, tanaman kurus dan kerdil serta perkembangan tanaman menjadi sangat
lambat (Novizan, 2005). 2SO4, MgSO4, FeS, ZnS dan H2
SO2 masuk kedalam daun melalui proses difusi melewati stomata, mengikuti
jalur yang dilalui oleh masuknya gas CO2 (Zeiger, 2006). PAda saat pembukaan
stomata rendah, penyerapan SO2 juga menurun. Stomata adalah tempat
berlangsungya mekanisme untuk mengontrol pergerakan CO2 kedalam daun dan
H2O keluar dari daun. Perubahan didalam stomata mempengaruhi penyerapan bahan
14

pencemar udara. Perilaku stomata, jumlah dan persebaran stomata merupakan factor
penting yang mempengaruhi jumlah bahan pencemar yang terserap kedalam tanaman
(Vallero, 2008).
Perilaku pembukaan dan penutupan stomata diengaruhi oleh factor
lingkungan, yaitu kelembaban dan temperature udara, serta intensitas cahaya. Pada
saat kelembaban udara tinggi, sel penjaga pada stomata memperlihatkan respon yang
berlainan terhadap keberadaan SO2. SO2 menyebabkan sel penjaga menjadi lebih
turgit, sehigga stomata membuka lebih lebar dan menyebabkan bahan pencemar yang
terserap lebi banyak (Valleri, 2008). Hal ini berarti bahwa pada saat cuaca hangat dan
lembab, penyerapan SO2 lebih mudah terjadi. Sebaliknya pada kondisi kering,
stomata membuka lebih sedikit resisten terhadap terserapnya SO2 menjadi lebih
tinggi. Jadi penutupan stomata terjadi sebagai mekanisme pertahanan terhadap
cekaman kekeringan bukan akibat langsung dari SO2.

15

Didalam daun, SO2 terlarut didalam jaringan mesofil yang mengandung air.
Reaksi dengan air menghasilkan bisulfit (HSO3-) yang nontoksik dan sulfit (SO3-)
yang bersifat toksik, selanjutnya didistribusikan kedalam sel kloroplas, sitosol dan
vakuola. Keduanya didalam kloroplas teroksidasi menjadi sulfat (SO4) yang tidak
toksik. Jika laju pembentukan HSO3- dan SO3- lebih cepat dari pembentukan SO4maka akan terjadi kerusakan yang berupa netrotik dan klorosis. Namun, jika
pembentukan So4- lebih cepat maka tidak ada kerusakan yang terlihat (Zeiger, 2006).
Metabolism sulfur akhirnya menghasilkan asam amino yang mengandung sulfur,
yaitu sistein dan metionin. Jika terlalu banyak sulfur yang terserap dan konsentrasi
thiol semakin meningkat, sulfur akan diakumulasikan kedalam bentuk glutation

16

(Larcher, 1995). Pembentukan glutation dan asimilasi sulfat digambarkan dalam


skema berikut:

Jika tanaman kelebihan dalam menyerap SO2, maka akan terjadi kerusakan
pada tanaman, meskipun hanya dalam waktu yang singkat. Kerusakan akan tampak
segera dalam hitunga jam sampai beberapa hari setelah paparan. Gejala kerusakan
17

dapat terjadi dan terlihat pada kedua sisi daun, diantara tulang-tulang daun atau pada
tepi daun. Warna daun yang rusak bervariasi dari kuning muda hingga putih, merah,
orange atau cokelat, tergantung kepada beberapa factor diantaranya spesies tanaman
dan kondisi cuaca. Sebaliknya penyerapan SO2 pada tingkat konsentrasi sublerhal,
menyebabkan kerusakan kronis. Gejala kerusakan kronis terlihat lebih ringan
daripada kerusakan akut, ditandai dengan warna daun yang menguning atau warna
tembaga pada sisi bawah daun (Nelson dan Aewake, 2008). Beberapa gejala umum
pada tanaman jika terjai penigkatan level konsentrasi pada saat pemparan So2:
a. Penurunan perkecambahan benih
b. Peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain
c. Nekrosis daun
d. Pelarutan lapisan lilin
e. Plasmolisis dan pecahnya epidermis
f. Penurunan kadar l
g. Klorofil
h. Peningkatan permeabilitas membrane daun
i. Penurunan [ertumbuhan tanaman (panjang akar, panjang pucuk, jumlah
daun)
j. Kematian organ atau seluruh tanaman

Tanaman Yang Membutuhkan S banyak :


a. Kubis, Kubis Bunga, Turnip, Bawang, Asparagus.
18

b. Kacang-kacangan, Kapas, Tembakau.


Gejala Defisiensi S
Defisiensi S menyebabkan penguningan seluruh tanaman dan klorosis lebih
tampak pada daun muda yang ujungnya menjadi nekrotik

Daun-daun muda

mengalami klorosis (berubah menjadi kuning), perubahan warna umumnya terjadi


pada seluruh daun muda, kadang mengkilap keputih-putihan dan kadang-kadang
perubahannya tidak merata tetapi berlangsung pada bagian daun selengkapnya dan
tidak ada nekrosis pada daun bagian bawah seperti pada tanaman yang defiensi N.
Pada tanaman defiensi S warna daun lebih kuning pucat. Karena pengaruh defiensi S
pada hasil lebih nyata selama pertumbuhan vegetatif, gejala harus segera dideteksi
dan diatasi. Defiensi S sering tidak terdeteksi dengan benar karena gejalanya pada
daun mirip dengan defiensi N. Menurut Kiswondo (2011) Gejala-gejala dan pengaruh
lain pada pertumbuhan adalah:
1. Tanaman tumbuh terlambat, kerdil, berbatang pendek dan kurus, batang
tanaman berserat, berkayu dan berdiameter kecil
2. Berkurangnya jumlah anakan.
3. Pertumbuhan dan pemasakan tertunda 12 minggu.
4. Pada tanaman tebu yang menyebabkan rendemen gula rendah
5. Untuk tanaman padi, tinggi dan anakan tertekan, berat jerami, akar, dan hasil
gabah rendah.
Defiensi dalam tanah

19

Gejala defiensi S mirip dengan gejala defiensi N. Uji S tanah tidak terandal
kecuali bila meliputi S anorganik seperti halnya beberapa fraksi S organik yang dapat
dimineralisasikan (ester sulfat).
Tingkat kritis tanah yang memungkinkan defiensi S:
1. <5 mg S/kg: 0,05 M HCl,
2. <6 mg S/kg: 0,25 M KCl dipanaskan pada 40C selama 3 jam
3. <9 mg S/kg: 0,01 M Ca(H2PO4)2.
Penyebab defiensi S
Defiensi S disebabkan oleh:
1. Rendahnya kandungan S tersedia dalam tanah.
2. Pengurasan S tanah karena pertanaman intensif.
3. Pemakaian pupuk bebas S (misal: substitusi amonium sulfat dengan urea,
substitusi single superphosphate (SSP) dengan triple super phosphate (TSP),
dan substitusi kalium sulfat dengan kalium khlorida).
4. Di banyak negara sedang berkembang, jumlah deposisi S dalam air hujan
sedikit karena rendahnya emisi gas industri.
5. Air irigasi biasanya hanya mengandung sedikit SO4 26. Kandungan S dalam sisa-sisa bahan organik hilang melalui pembakaran.
Tanah yang cenderung defiensi:
1. Tanah mengandung alofan (misal: Andisols).
2. Tanah dengan status bahan organik rendah.
3. Tanah terlapuk berat yang mengandung banyak oksida Fe.
20

4. Tanah berpasir, S mudah tercuci.


Defiensi S biasanya tidak terjadi di daerah produksi padi yang dekat pusat-pusat
industri dengan emisi gas yang tinggi.
Strategi pencegahan kekurangan S
Di hampir semua tanah sawah, pasokan S dari sumber-sumber alami atau dari
pupuk yang mengandung S sama atau lebih besar daripada jumlah S yang terbawa
dalam gabah. Defisiensi S mudah dikoreksi atau dicegah dengan menggunakan pupuk
yang mengandung S.
1. Masukan alami: Perkirakan jumlah masukan S dari deposisi atmosfer.
2. Pesemaian: Pemberian S ke pesemaian melalui pupuk yang mengandung S
(amonium sulfat (ZA),SSP)
3. Pengelolaan pupuk: S yang terangkut oleh bagian tanaman diganti dengan
memberikan pupuk N dan P yang mengandung S (misal: ZA [24% S], SSP
[12% S]). Ini dapat dilakukan secara bergantian (tanpa harus dengan selang
waktu yang teratur).
4. Pengelolaan

jerami:

Jerami

dibenamkan

ke

dalam

tanah,

bukan

mengangkutnya ke luar lahan atau membakarnya.


5. Pengelolaan tanah: Perbaikan pengelolaan tanah untuk memperkuat
penyerapan S:
a. pemeliharaan perkolasi yang cukup (sekitar 5 mm/hari) untuk menghindarkan
reduksi tanah yang berlebihan, atau

21

b. pengolahan tanah kering setelah panen untuk menaikkan tingkat oksidasi sulfida
selama masa berat.

D. Contoh Kasus
Penelitian yang dilakukan oleh yenni (2012). Ameliorasi tanah sulfat masam
potensial untuk budidaya tanaman Bawang merah (allium ascalonicum l.) Parameter
yang diukur adalah pertumbuhan tanaman bawang merah berupa tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah anakan, panjang akar, berat segar dan berat kering umbi,
panjang dan diameter umbi.
A. Tinggi Tanaman
Hasil pengamatan tinggi tanaman bawang merah di tanah sulfat masam diketahui
tinggi tanaman bawang merah berkisar antara 12,10 42,02 cm. Tinggi tanaman
bawang merah terendah didapatkan pada tanaman kontrol (tanpa kapur) dan
tanaman tertinggi pada perlakuan pemberian kapur 3 ton/ha. Pemberian kapur
menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman yang berbeda. Semakin tinggi takaran
kapur yang diberikan tinggi tanaman bawang merah semakin meningkat.
B. Jumlah Daun Per rumpun
Pertumbuhan tanaman bawang merah yang ditumbuhkan pada tanah sulfat
masam menunjukkan bahwa semakin tinggi pH tanah dan takaran kapur yang
diberikan maka meningkatkan jumlah daun tanaman bawang merah. Pada
perlakuan S1K0 (pH 4,05) memiliki jumlah daun per rumpun yang lebih sedikit

22

yaitu 18,17 helai daun dibandingkan hasil pada perlakuan S2K3 (pH 6,12)
sebanyak 57,83 helai daun.
C. Jumlah Anakan Perrumpun
Diketahui jumlah anakan per rumpun bawang merah di tanah sulfat masam.
Semakin tinggi pH tanah, pertumbuhan jumlah anakan rumpun semakin banyak.
D. Panjang Akar
diketahui bahwa panjang akar tanaman bawang merah yang ditanam pada tanah
sulfat masam pH tanah S2 dengan penambahan takaran kapur 3 ton/ha memiliki
panjang akar tertinggi yaitu 14,07 cm dibandingkan dengan panjang akar
tanaman bawang merah yang ditanam pada tanah perlakuan kapur K0 (Kontrol)
lebih pendek yaitu 2,40 cm. Akar tanaman bawang yang ditanam pada perlakuan
kontrol tidak mengalami tidak mengalami pertambahan panjang tetapi
mengalami penebalan sehingga akarnya pendek dan gemuk.
E. Jumlah Umbi Per rumpun
Jumlah umbi per rumpun yang dikaji pada penelitian ini adalah jumlah umbi
pada saat panen. Pengamatan umbi per rumpun tanaman bawang merah pada
tanah sulfat masam Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pH
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi per rumpun tanaman bawang
merah. Pada perlakuan kontrol tanaman bawang merah tidak menghasilkan umbi.
Jumlah umbi tertinggi dicapai pada takaran kapur 3 ton/ha yaitu 12,5 umbi dan
terendah pada tanaman yang tidak diberi kapur (kontrol) karena tidak terbentuk
umbi.
23

Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian kapur dapat


meningkatkan pertumbuhan dan hasil umbi tanaman bawang merah. Pemberian
takaran kapur 3 ton/ha pada tanah sulfat masam (S2K3) menghasilkan pertumbuhan
dan hasil umbitanaman bawang merah tertinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Fairhurst, C. Witt, R.J. Buresh, dan A. Dobermann. 2008. Kahat Belerang (S).
Panduan Praktis Pengelolaan Hara. Informasi Ringkas.
Kiswondo, S. 2011. Penggunaan Abu Sekam Dan Pupuk ZA Terhadap Pertumbuhan
dan Hasil Tanaman Tomat. Embryo. Vol 8 No 1. ISSN 0216-0188.

24

Momuat, E. O, Notohadiprawiro, T dan Soedarsono, J. 2006. Serapan Belerang


didalam Tanaman Padi dan Penetapan Nili Kritisnya dengan Cara Cate dan
Nelson dan Dimodifikasi. Agrikam Vol. 1, No. 3.
Nugroho, Gayuh. 2013. Pengaruh Merk dan Konsentrasi Sukrosa pada Medium Cair
terhadap Induksi Kentang Varietas Margahayu. Skripsi. Universitas Negeri
Semarang.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka.
Samiaji T & Abdurahman S. 2000. Pengaruh Hujan Asam Terhadap Perkembangan
Tanaman, Gizi Dan Produksi Padi. Pemanfaaatan Sains dan Atmosfer. Vol
No 2. ISSN. 134-288.
Yenni. 2012. Ameliorasi Tanah Sulfat Masam Potensial untuk Budidaya Tanaman
Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Jurnal Lahan Suboptimal. Vol. 1,
No.1: 40-49. ISSN 2252-6188.

25

Anda mungkin juga menyukai