Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Salmonella typhi merupakan kuman patogen pada manusia yang menyebabkan infeksi
vasif, ditandai dengan demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi, atau diare. Bila tidak diobati
dapat meyebabkan kematian pada 10%-20% kasus karena perforasi usus, perdarahan, toksemua
dan karena komplikasi lain. Virulensi Salmonalla typhi untuk melakukan sirkulasi ke dalam
sirkulasi sebagian berhubungan dengan antigen permukaan Vi.(1)
Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi. Salmonella
typhi hanya dijumpai pada manusia yang terinfeksi dan dikeluarkan melalui tinja dan urin. Masa
inkubasi 3-60 hari, terbanyak 7-14 hari. Insidens tertinggi demam tifoid pada anak terutama di
daerah endemis. Demam tifoid sering dijumpai di banyak negara berkembang terutama di Asia,
Afrika dan Amerika Latin, tertinggi di India, Pakistan dan Bangladesh.(1) (2)
S typhi telah menjadi patogen manusia utama selama ribuan tahun, berkembang dalam
kondisi sanitasi yang buruk, berkerumun, dan kekacauan sosial. Ini mungkin telah bertanggung
jawab atas Wabah Besar Athena pada akhir Perang Pelopennesian. Nama S typhi berasal dari
typhos dari bahasa Yunani kuno, sebuah asap halus atau awan yang diyakini menyebabkan
penyakit dan kegilaan, seperti pada tahap lanjutan dari demam tipus, tingkat kesadaran pasien
benar-benar menurun. Meskipun antibiotik telah nyata mengurangi frekuensi demam tipus di
negara maju, tetap endemik di negara-negara berkembang. (2)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.

VAKSIN (3)

Imunisasi adalah salah satu cara untuk menangkal penyakit-penyakit berat yang
terkadang belum ada obat untuk menyembuhkannya. Imunisasi umumnya diberikan kepada
anak-anak balita (usia di bawah lima tahun). Imunisasi dilakukan dengan memberikan vaksin
yang merupakan bibit penyakit yang telah dibuat lemah kapada seseorang agar tubuh dapat
membuat antibodi sendiri terhadap bibit penyakit kuat yang sama.
Anak-anak kecil adalah korban yang lemah terhadap berbagai serangan penyakit yang berbahaya
karena tubuh anak masih belum sempurna sistem kekebalan tubuhnya di mana belu banyak

terdapat antibodi di dalam tubuhnya. Untuk itulah diperlukan imunisasi lengkap wajib yang
teratur pada anak agar terhindar dari berbagai macam gangguan penyakit berbahaya dan fatal.
Vaksin imunisasi mungkin dapat memberikan efek samping yang membuat anak jatuh sakit,
namun dampak positif perlindungan yang dihasilkan vaksin tersebut amat sangat berguna.
Berikut di bawah ini adalah merupakan beberapa jenis-jenis atau macam-macam imunisasi bagi
anak :
Jenis / Macam Imunisasi Vaksin Wajib Pada Anak :
a. POLIO
Polio merupakan sebuah jenis penyakit lumpuh yang menyerang sistem saraf pusat.
Biasanya orang yang terkena polio akan terkena lumpuh layu. Bahkan tak jarang hingga dewasa
bisa menyebabkan kelumpuhan total. Polio disebabkan oleh virus yang masuk melalui mulut
melalui makanan yang terkontaminasi feses dari seorang penderita polio. Virus ini kemudian
menginfeksi saluran usus, dari sini akan menyebabkan melemahnya otot. Lalu mengapa virus ini
sangat berbahaya bagi manusia? Hal ini dikarenakan ketika terserang virus ini menyerang secara
tiba-tiba tanpa merasakan gejala apapun.
Pentingnya imunisasi saat anak-anak atau bayi, dikarenakan virus ini menyerang manusia
pada saat usia 3 hingga 5 tahun. Imunisasi terhadap bayi akan memberikan kekebalan dari
serangan polio. Pemberian imunisasi ini biasanya melalui 2 cara yaitu lewat suntikan atau
melalui oral. Dan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama biasanya dilakukan saat bayi berusia
0 bulan.
Selanjutnya pada usia 2,4 dan 6 bulan, terkadang sampai usia 18 bulan dan 5 tahun.
Pemberian imunisasi polio ini biasanya disertai dengan pemberian imunisasi DPT (Difteri
Pertusis Tetanus). Pemberian imunisasi pada seorang balita biasanya akan menyebabkan diare

ringan, pusing-pusing dan sakit otot. Orang tua yang akan memberikan imunisasi polio juga
harus sedikit waspada, maksudnya ketika seorang anak dalam keadaan demam (suhu lebih 38,5
C), muntah atau diare maka jangan diberikan terlebih dahulu.

b. BCG
BCG (Bacille Calmette Guerin) merupakan salah satu vaksin yang akan memberikan
kekebalan terhadap penyakit TB. Seperti kita tahu , TB Paru merupakan salah satu penyakit yang
disebabkan oleh virus yang dinamakan mikrobakterium tuberkolosa. Bakteri ini merupakan
bakteri yang bersifat BTA( Bakteri Tahan Asam). Penyebaran bakteri ini melalui udara saat
penderita TBC batuk. Bakteri ini akan masuk dan berkembang biak di paru-paru. Orang yang
terkena virus TBC, biasanya akan mengalami gejala demam (meskipun tidak terlalu tinggi),
penurunan nafsu makan, batuk selama lebih dari 3 minggu dan perasaan tidak enak.
Pada seorang bayi dengan usia 0-3 bulan, vaksin ini diberikan hanya sekali saja. Berbeda
dengan vaksin polio, pada vaksin polio, vaksin ini tidak diperlukan lagi pengulangan, hal ini
dikarenakan antibodi yang diperoleh tinggi terus tak pernah turun. Jika pada vaksin polio,
seorang bayi setelah diimunisasi akan merasa pusing-pusing dan sakit otot, maka pada jenis
vaksin ini seorang bayi akan timbul bisul-bisul dan bernanah pada daerah yang disuntik. Bisul ini
sebenarnya tidak sakit dan hanya akan menimbulkan bekas saja di daerah yang disuntik, bisul
jenis ini hanya menjadi penanda bahwa vaksin yang diberikan berhasil.

c. HEPATITIS B
Vaksin ini merupakan salah satu vaksin yang tercepat untuk dimasukkan di tubuh manusia.
Karena menurut salah satu jurnal, virus ini harus diinjeksikan ke dalam tubuh bayi sekurangnya

12 jam setelah lahir.


Ada beberapa jenis hepatitis yaitu hepatitis A,B,C,D,E. Secara umum hepatitis merupakan
jenis peradangan pada hati atau liver. Penyebabnya pun bermacam-macam, mulai dari virus
sampai dengan obat-obatan. Pada kasus hepatitis B, disebabkan oleh luka karena tusukan benda
tajam, seperti pisau, jarum suntiik yang terkontaminasi. Gejala virus ini hampir sama dengan
jenis hepatitis lainnya, seorang penderita yang terkena virus ini biasanya mengalami hilangnya
nafsu makan, mual muntah, demam, rasa lelah dan mata kuning.
Sedikit berbeda dengan kedua jenis vaksin diatas, pada vaksin hepatitis B dilakukan selama 3
kali. Antara suntikan pertama dan kedua berjarak waktu satu bulan. Kemudian suntikan kedua
dan ketiga berjarak 5 bulan. Vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh seorang bayi biasanya akan
disertai dengan demam ringan dan akan timbul bekas suntikan. Jangan panik dengan semua ini,
karena gejala ini akan hilang dengan sendirinya, akan tetapi jika perlu, orang tua dapat
memebrikan parasetamol kepada sang anak.

d. DPT/DTP
DPT atau DTP Vaksin ini wajib diberikan yang merupakan campuran dari tiga vaksin yaitu
untuk mencegah penyakit difteri (yang menyerang tenggorokan), pertusis (batuk rejan), dan
tetanus (infeksi akibat luka yang menimbulkan kejang-kejang).Vaksin ini diberikan sebanyak 5
kali dan pertama kali saat bayi berumur lebih dari enam minggu. Lalu saat bayi berumur 4 dan 6
bulan. Ulangan DTP diberikan umur 18 bulan dan 5 tahun. Untuk penguatannya bisa dilakukan
pada anak umur 12 tahun dan kemudian dilakukan lagi setiap 10 tahun."Vaksin DPT bisa
diberikan bersamaan dengan hepatitis dan polio," kata Dr Emas-von Simson.

e. CAMPAK
Gondong dan Rubela (MMR) Vaksin MMR melindungi anak dari tiga virus: campak
(yang menyebabkan demam tinggi dan ruam tubuh-lebar), gondong (yang menyebabkan rasa
sakit wajah, pembengkakan kelenjar liur, dan kadang-kadang pembengkakan skrotum pada lakilaki), dan rubella atau campak Jerman (yang dapat menyebabkan kecacatan lahir jika infeksi
terjadi selama kehamilan).Vaksin ini pertama diberikan pada anak saat usia 12 hingga 15 bulan
dan pada usia antara 4 dan 6 tahun.
Jenis / Macam Imunisasi Vaksin yang Dianjurkan Pada Anak
a. MMR
Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap campak, gondongan dan campak Jerman
dan disuntikkan sebanyak 2 kali. Campak menyebabkan demam, ruam kulit, batuk, hidung meler
dan mata berair. Campak juga menyebabkan infeksi telinga dan pneumonia. Campak juga bisa
menyebabkan masalah yang lebih serius, seperti pembengkakan otak dan bahkan kematian.
Gondongan menyebabkan demam, sakit kepala dan pembengkakan pada salah satu maupun
kedua kelenjar liur utama yang disertai nyeri. Gondongan bisa menyebabkan meningitis (infeksi
pada selaput otak dan korda spinalis) dan pembengkakan otak. Kadang gondongan juga
menyebabkan pembengkakan pada buah zakar sehingga terjadi kemandulan. Campak Jerman
(rubella) menyebabkan demam ringan, ruam kulit dan pembengkakan kelenjar getah bening
leher. Rubella juga bisa menyebabkan pembengkakan otak atau gangguan perdarahan.
b. Hib
Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh Haemophilus influenza tipe b. Organisme
ini bisa menyebabkan meningitis, pneumonia dan infeksi tenggorokan berat yang bisa
menyebabkan anak tersedak.

c. Varisella
Imunisasi varisella memberikan perlindungan terhadap cacar air. Cacar air ditandai dengan
ruam kulit yang membentuk lepuhan, kemudian secara perlahan mengering dan membentuk
keropeng yang akan mengelupas.

d. HBV
Imunisasi HBV memberikan kekebalan terhadap hepatitis B. Hepatitis B adalah suatu
infeksi hati yang bisa menyebabkan kanker hati dan kematian.

e. Pneumokokus Konjugata
Imunisasi pneumokokus konjugata melindungi anak terhadap sejenis bakteri yang sering
menyebabkan infeksi telinga. Bakteri ini juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius,
seperti meningitis dan bakteremia (infeksi darah).

f. Typhoid

Demam Typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonela thypi. Dari
lambung manusia, kuman ini kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh lainnya. Penderita
infeksi bakteri typhoid akan mengalami gejala awal berupa demam, badan mengiggil, sakit
kepala, nyerit otot, anoreksia, mual, muntah diare dan aneka gangguan perut lainnya.

Komplikasi demam typhoid dapat menyebabkan penyakit serius dan kematian. Pemberian
vaksinasi atau merupakan cara efektif untuk mencegah derita demam typhoid. Vaksin typhoid

dapat diberikan pada anak usia 2 tahun. Satu kali suntikan menjamin perlindungan terhadap
Salmonella paratyphi A dan B, dan melindungi penyakit ini sekurang-kurangnya 3 tahun

II.

DEMAM TYPHOID
Demam typhoid atau dalam bahasa kesehariannya dikenal dengan nama penyakit

tifus/tifes adalah suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.
Selain oleh Salmonella typhi, demam typhoid juga bisa disebabkan oleh Salmonella paratyphi
A dan B namun gejalanya jauh lebih ringan. Kuman ini umumnya terdapat dalam air atau
makanan yang ditularkan oleh orang yang terinfeksi kuman tersebut sebelumnya.
a. Gejala klinis (2)(4)
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan
penderita dewasa.. Masa tunas 10-20 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala
prodromal seperti perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing. Kemudian menyusul
gejala klinis yang biasa ditemukan yaitu:
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan
suhu tidsk terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur meningkat setiap
hari, menurun pada pagi hari dan meningkat kembali pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan
berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah. Lidah
ditutupi selaput putih kotor ( coated tounge), ujung dan tepi kemerahan ,dan jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung

(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
didapatkan konstipasi akan tetapi mungkin pula normal bahkan dpat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak terlalu dalam yaitu apatis
sampai somnolen. Jarng terjadi spoor, koma, atau gelisah.
Selain gejalatersebut mungkin juga ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota
gerak dpat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler
kulit. Biasanya ditemukan dlam minggu pertama demam. Kadang juga ditemukan bradikardia
pada anak besar dan mungkin juga ditemukan epistaksis.

b. Patogenesis (1)(2)(4)
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman, dan setelah berada dalam usus halu
mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus, terutama pleksus Peyeri dan jaringan limfoid
mesentrika. Setelah terjadi proses peradangan dan nekrosis setempat, kuman melewati pembuluh
limfe masuk ke aliran darah (bakterimia primer) menuju organ dalam sistem retikuloendotelial
(RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel fagosit RES, sedangkan
kuman yang tidak difagosit kembali masuk ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh
(bakterimia sekunder). Sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa dan kandung
empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga
usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.
Dalam masa bakterimia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama
dengan antigen somatik (lipopolisakarida). Demam tifoid disebabkan karenan Salmonella tiphy
dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan

yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar dalam aliran darah mempengaruhi zat
termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan timbul gejala demam. Makrofag akan
menghasilkan substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat
menyebabkan nekrosis selular dan merangsang sistem imun, menyebabkan instabilitas kapiler,
depresi sumsum tulang dan demam.
c. Penatalaksanaan (7) (8)
Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif,
medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Kadang-kadang perlu
konsultasi ke Divisi Hematologi, Jantung, Neurologi, bahkan ke Bagian lain/Bedah.
1. Pengobatan medikamentosa
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau
kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan
ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali
pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra
pemberian kloramfenikol , diberi

ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau

amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
oral/intravena selama 21 hari, atau

kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2 kali


pemberian, oral, selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.
Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan
antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.

2. Penatalaksanaan Penyulit

Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan


manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3
mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan
dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana
bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus.

3. Penatalaksanaan Epidemiologis
Meliputi isolasi penderita berupa isolasi gastrointestinal, sedangkan pemutusan
transmisi dengan pengelolaan disposal dan terapi pembawa kuman (carrier),
sedangkan pencegahan dengan melakukan immunisasi.
d. Komplikasi (2) (4)
Manifestasi Neuropsikiatrik (Dalam 2 dekade terakhir, laporan dari daerah endemik
penyakit telah mendokumentasikan spektrum yang luas dari manifestasi neuropsikiatri
demam tipus)
1. Sebuah kondisi confusional beracun, ditandai dengan disorientasi, delirium, dan
gelisah, adalah ciri khas demam tipus stadium akhir. Dalam beberapa kasus, dan fitur
neuropsikiatri lainnya mendominasi gambaran klinis pada tahap awal.

2. Wajah yang berkedut atau kejang-kejang mungkin fitur presentasi. Meningismus


tidak

jarang,

tetapi

meningitis

jujur

jarang.

Encephalomyelitis

dapat

mengembangkan, dan patologi yang mendasari mungkin bahwa dari demielinasi


leukoencephalopathy. Dalam kasus yang jarang terjadi, myelitis melintang,
polineuropati, atau mononeuropathy tengkorak berkembang.
3. Pingsan atau koma bisa terjadi pada tifoid yang sudah sangat berat.
4. Focal Infeksi intrakranial, sangat jarang, namun beberapa abses otak telah dilaporkan.
System Respiratorius
1.Batuk
2.Ulserasi Faring
3.Kadang bisa menyebabkan pneumonia lobaris akut

Kardiovaskuler
1. Perubahan elektrokardiografi nonspesifik terjadi pada 10% -15% pasien dengan
demam tipus.
2. Toxic miokarditis terjadi pada 1% -5% dari orang dengan demam tipus dan
merupakan penyebab kematian yang signifikan di negara-negara endemik. Toxic
miokarditis terjadi pada pasien yang mengalami sakit dan toxemic dan ditandai dengan
takikardia,nadi

dan

suara

jantung

yang

melemah,

hipotensi,

dan

kelainan

elektrokardiografi.
Sistem Gastrointestinal
1. 2 komplikasi yang paling umum dari demam tifoid adalah perdarahan usus (12%
dalam satu seri Inggris) dan perforasi (3% -4,6% dari pasien rawat inap).

2. Dari 1884-1909 (yaitu, era preantibiotic), angka kematian pada pasien dengan
perforasi usus karena demam tipus adalah 66% -90% tetapi kini secara signifikan
lebih rendah.
3.Perforasi usus
4.peritonitis
e. Pencegahan (2) (4)
Vaksin typhoid tetap dibutuhkan untuk mencegah dan mengurangi resiko seseorang terkana
demam tifoid. Vaksin tifoid sebenarnya tidak rutin di lakukan di daerah-daerah non-endemik.
Biasanya vaksin diberikan pada wisatawan-wisatawan yang akan berpergian ke daerah-daerah
endemic tersebut.
Namun, vaksin tidak sepenuhnya melindungi seseorang dari demam tifoid. Oleh karena itu
kebersihan dari makanan dan lingkungan tempat tinggal harus tetap dijaga.
III.

VAKSIN TYPHOID(1)
Vaksin demam typhoid pertama kali ditemukan pada tahun 1896 dan efektivitas vaksin

ditegakkan pada tahun 1960. efektivitas vaksin demam typhoid hanya berkisar 50 80 % dan
terjadi 15 hari 3 minggu setelah pemberian vaksin dan mayoritas bertahan 3 tahun. vaksin
demam typhoid terdiri atas 2 macam ( oral dan parenteral ). Vaksin oral yang biasa disebut
Ty21a ( vivotif Berna ) belum beredar di Indonesia. Vaksin parenteral atau ViCPS ( Typhim Vi /
Pateur Merieux ) merupakan kapsul polisakarida dan telah ada di Indonesia.
Pemberia vaksin demam typhoid bukan merupakan hal yang wajib, melainkan pemberian
vaksin tersebut atas indikasi, sbb:
a. sedang berada pada wilayah endemik

b. pekerja di bidang yang rentan bakteri Salmonella Typhii atau Paratyphii ( dokter, perawat,
petugas lab, industri makanan/minuman, petugas rumah sakit, personil militer).
A. Vaksin Oral ( Ty 21a )
Vaksin oral dilakukan dengan memasukan bakteri yang telah dilemahkan dan akan
merangsang respon imun mukosa, sama halnya dengan jalur pengaktifan sistem imun ketika
terserang demam typhoid. Bahayanya vaksin yang berasal dari bakteri yang dilemahkan tersebut
sangat mungkin menjadi liar dan menginfeksi hospes. Vaksin ini bisa melindungi dari salmonella
typhi dan s. paratyphi A
Vaksin oral wajib disimpan pada suhu 2oC 8oC. Cara pemberian dengan memakan
kapsul berisi vaksin tersebut 1 kapsul tiap hari ke 1,3, dan 5, 1 jam sebelum makan dengan
minuman yang tidak lebih dari 37oC. Kapsul ke 4 untuk booster biasa diberi pada hari ke 7
terutama bagi turis di daerah endemik. Vaksin juga tidak boleh dimakan bersamaan dengan obat
anti malaria dan antibiotik golongan sulfonamid. Vaksin perlu diberikan dalam bentuk
terselimuti oleh kapsul karena vaksin biasanya akan rusak oleh asam lambung. Imunisasi
ulangan biasanya diberikan setiap 5 tahun sebanyak 3 4 kapsul setiap tahun.
Berikut merupakan mekanisme pengaktifan respon imun oleh vaksin demam typhoid
oral:
vaksin berisi bakteri yang dilemahkan lambung dilindungi oleh kapsul agar tidak
mati oleh asam lambung usus replikasi di dinding usus invasi dilawan oleh igA
igA menyebabkan hipersekresi mucus pengeluaran sebagian bakteri lewat faeces yang bisa
menularkan pada lingkungan IgA tidak cukup banyak bakteri yang bereplikasi terus
menembus epitel dinding usus sel M plaqye peyeri difagosit ( makrofag, dendritic cell,
sel B ) limfonodus pars mesenterica APC mempresentasikan peptida vaksin dan ditangkap

MHC class 2 sel T CD4 nave pengaktifan sel T CD 4 nave ploriferasi klonal
diferensiasi sel Th 1 dan sel Th 2 sel Th 1 menuju ke tempat makrofag untuk lebih
mengaktifkan makrofag sel Th 2 mengeluarkan sitokin Il 4 dan Il 5 menuju folikel dan
mengaktifkan sel B sel B aktif dan berploriferasi klonal sel B diferensiasi jadi sel Plasma
sekresi antibodi IgM yang kemudian switching menjadi IgG dan IgA IgA menuju ke
mukosa sebagai barier pertahanan sistem imun mukosa IgA yang banyak akan sangat
membantu proteksi diri pasien terhadap bakteri Salmonella Typhii
B. Vaksin Polisakarida Parenteral ( ViCPS )
Pemberian vaksin parenteral tersebut biasanya dilakukan secara IM atau SQ pada daerah
deltoid atau paha. Vaksin parenteral kurang merangsang imunitas mukosa ( IgA ) dikarenakan
vaksin tersebut tidak merangsang imunitas seluler karena bukan merupakan protein. Vaksin ini
wajib disimpan pada suhu 20oC 8oC dan tidak boleh dibekukan. Vaksin parenteral akan
kadaluwarsa dalam 3 tahun dan efektivitas proteksi vaksin selama 3 tahun. Vaksin ini
melindungi dari salmonella typhi.
Vaksin parenteral biasanya memiliki efek samping lokal berupa demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea. Pemberian vaksin juga tidak boleh dilakukan pada orang
yang alergi pada bahan bahan yang ada dalam vaksin dan saat menderita penyakit akut dan
demam. Berikut merupakan respon imun terhadap vaksin parenteral.
Vaksin parenteral yang merupakan subunit ( polisakarida ) diinjeksikan IM ( bila
menggunakan konjugat ( protein carier ) ) atau SQ ditangkap sel B non T dependent masuk
aliran darah menuju limpa dan terjadi sekresi IgM atau langsung sekresi IgM tidak ada
isotype switching dikarenakan vaksin bukan merupakan protein sehingga tidak merangsang
pembentukan sistem imun mukosa

BAB III
LAPORAN KASUS

Tanggal 17 Januari 2009 KRM mendapatkan vaksinasi tifoid di Klinik Imunisasi Keluarga,
Kelapa Gading. Pada kartu imunisasi tertulis kekebalannya akan efektif selama tiga tahun.
Namun pada tanggal 18 Agustus 2010, laporan laboratorium menunjukkan KRM terkena tifoid
(Kompas, Surat Pembaca, 6 Oktober 2010)
Setelah konsultasi ke dokter interna, KRM dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Pada 23
Agustus sampai 2 September 2010. KRM menghubungi klinik imunisasi tersebut dan berbicara
dengan dokternya. Pada klinik menggunakan vaksin tifoid vi. Mereka mengatakan bahwa vaksin
memang tidak 100% efektif, melainkan sekitar 70% saja.

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
I.

Identitas pasien :

Nama

: KRM

Umur

:-

Jenis kelamin : Alamat


II.

:Anamnesis

1.Keluhan utama
7bln

: terkena tifoid setelah mendapatkan vaksin tifoid dengan jarak

2.Riwayat penyakit sekarang : tifoid


3.Riwayat penyakit dahulu

:-

4.Riwayat penyakit keluarga : 5.Riwayat sosial ekonomi

:-

II. Anamnesis tambahan (autoanamnesis) :


1.
2.
3.
4.
5.

Apakah pasien mengalami demam atau tidak?


Bagaimana pola makan pasien?
Apakah pasien mengkonsumsi antibiotik atau tidak?
Apakah pasien alergi sulfonamid?
Apa pekerjaan pasien?

III.
Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital : a. Suhu
b. Denyut nadi
c. Tekanan darah
d. Pernapasan
2. Keadaan umum : a. Kesan sakit
b. Keadaan gizi
c. Tingkat kesadaran
d. warna kulit

e. habitus/ postur tubuh


f. umur pasien ditaksir pemeriksa
g. cara berjalan
h. cara berbaring/duduk
i. cara berbicara
j. ada/tidaknya : dyspnoe, oedema, dehidrasi, kejang, chorea, athethosis,
tremor
k. sikap dan watak penderita
l. penampilan pasien
IV.

Masalah pada Pasien


Pasien yang sudah diberi vaksin typhoid tapi masih terkena typhoid. Padahal vaksin
bertahan sampai 3 tahun.

V.

Hipotesis (2) (4)

Efektivitas vaksin typhoid yang diberikan klinik imunisasi adalah selama 3 tahun. Namun
sebelum 3 tahun, pasien yang sudah divaksin mendapat diagnosis terkena demam typhoid. Pasien
mempertanyakan efektivitas vaksin yang sebenarnya.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan berkurangnya efektivitas vaksin typhoid yang diberikan
kepada seseorang, antara lain:
1. Jenis vaksin Vi (vaksin polisakarida parenteral) yang memang tidak efektif untuk demam
typhoid yang disebabakn oleh S. paratyphi A dan S. paratyphi B. mungkin saja pada
pasien ini demam typhoid yang menjadi penyebabnya adalah S. paratyphi A atau S.
paratyphi B sehingga kurang efektif dengan pemberian vaksin Vi.
2. Pasien tidak menjaga kebersihan dan gizi pada makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Pada seseorang yang pernah mendapatkan vaksin tidak ada jaminan bahwa orang tersebut

kebal 100% terhadap penyakit tersebut, untuk menjaga tingkat kekebalan/keefektifan


vaksin, seseorang harus tetap menjaga kebersihan dan memilah milah makanan dan
minuman yang baik untuk kekebalan tubuh.
3. Pasien berada di daerah endemis dan kurang menjaga kebersihan. Sebenarnya hal ini
mirip dengan poin kedua, tapi resiko untuk mendapatkan penyakit walaupun sudah
divaksin akan meningkat jika orang tersebut berada di daerah endemis. Karena pada
daerah yang endemis pajanan terjadi lebih banyak sehingga tetap bisa menyebabkan
typhoid pada pasien ini.
4. Kemungkinan lain adalah vaksin yang diberikan telah rusak. Seperti yang sudah
dijelaskan bahwa vaksin harus disimpan dalam suhu tertentu dan dengan ketentuan
tertentu. Mungkin adanya kesalahan penyimpanan vaksin di klinik tempat pasien
mendapat imunisasi sehingga vaksin yang diberikan sudah rusak menyebabkan tidak
munculnya respon imun yang diharapkan.

VI.

Respon Imun dari Vaksin Typhoid (1)

Dilihat dari masa perlindungannya yang 3 tahun, bisa dipastikan pasien ini menggunakan
vaksin polisakaradia parenteral (ViCPS). Berikut ini merupakan respon imun yang terjadi dengan
pemberian vaksin ViCPS :
Vaksin parenteral yang merupakan subunit ( polisakarida ) diinjeksikan IM ( bila
menggunakan konjugat ( protein carier ) ) atau SQ ditangkap sel B non T dependent masuk
aliran darah menuju limpa dan terjadi sekresi IgM atau langsung sekresi IgM tidak ada
isotype switching dikarenakan vaksin bukan merupakan protein sehingga tidak merangsang
pembentukan sistem imun mukosa

VII.

Patofisiologi (1)(2)
Berikut ini adalah patofisiologi yang terjadi pada pasien ini :

Makanan / minuman terkontaminasi bakteri Salmonella mulut lambung sebagian mati


oleh asam lambung dan sebagian lolos usus kolonisasi bakteri dalam usus dilawan oleh
imunitas mukosa ( IgA) hipersekresi mukus dan pengeluaran Salmonella lewat faeces IgA
kalah dan sebagian Salmonella menembus epitel sel M dipinositosis sebagian dan mati
sebagian lagi difagositosis sel sel fagositosis ( makrofag, dendritic cell, dan sel B )a plaque
Peyeri limfonodus pars Mesentericab ikut aliran limfe masuk ke aliran darah
bakteriemia primer organ organ RES hati dan limpa sebagian difagosit dan
dihancurkan sebagian lolos dan masuk aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh (
bakteriemia sekunder ) sebagian lagi dari hati masuk ke usus lagi melalui empedu reinfeksi
usus kronik bisa menyebabkan perdarahan usus

a: setelah terjadi fagositosis makrofag sekresi Il 1, Il 6, TNF, chemocine yang berfungsi untuk
Il1 endogen pirogen demam dan membunuh bakteri dalam makrofag
Il6 merangasang pembentukan CRP dalam hati
TNF berperan dalam proses sepsis
chemocine berfungsi untuk memanggil leukosit ke tempat infeksi dan membantu membunuh
bakteri sebagai suatu imunitas alamiah
b: Dendritic cell sebagai APC akan mempresentasikan peptida bakteri Salmonella MHC class
2 sel T0 aktivasi sel T sel T proliferasi klonal sel T diferensiasi jadi sel Th1 dan sel
Th2 sel Th1 membantu proses infalamasi di perifer sel Th2 menuju folikel sekresi
sitokin Il4 dan Il 5 aktivasi sel B proliferasi klonal diferensiasi sel B jadi sel Plasma

sekresi antibodi IgM switching jadi IgG dan IgA IgA menuju mukosa dan mengatasi
proses invasi Salmonella
Dalam masa bakteriemia, kuman mengeluarkan toksin berupa endotoksin yang
merupakan LPS ( lipopolisakarida ) yang merupakan exogen pyrogen yang akan menyebabkan
demam bagi hospes. Demam juga disebabkan oleh respon imun melalui pengeluaran Il 1 setelah
bakteri tersebut difagositosis oleh makrofag. Zat pyrogen tersebut yang mengalir melaui aliran
darah akan mempengaruhi pusat thermoregulator di hipotalamus anterior yang kemudian
menyebabkan peningkatan ambang batas panas suhu tubuh sehingga orang tersebut menjadi
demam.

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG(5)(6)


Pemeriksaan penunjang tambahan yang dibutuhkan pada pasien ini adalah pemeriksaan
serologis, yaitu Tes Widal.
Tes Widal adalah tes tabung aglutinasi yang digunakan dalam tes serologis untuk diagnosa
demam enterik. Tes ini dinamai dari George Fernand Isidore Widal, seorang dokter dan
bakteriologis dari Prancis. Pemeriksaan serologi sering dilakukan sebagai upaya menegakkan
diagnosis. Walaupun saat ini pemeriksaan serologi tidak terbatas pada penyakit infeksi, namun
untuk menunjang diagnosis penyakit infeksi, hal ini sering dilakukan. Dengan pemeriksaan
serologi dimungkinkan melakukan pengamatan secara in vitro terhadap perubahan kompleks
antigen-antibodi (Ag-Ab). Pengujian tersebut berdasar pada proses presipitasi atau aglutinasi
atau aktivasi komplemen. Di Indonesia, pemeriksaan serologik sederhana yang masih banyak
dilakukan adalah Widal, sekalipun untuk di luar negeri pemeriksaan ini sudah banyak
ditinggalkan. Pemeriksaan serologi lain yang lebih canggih di antaranya adalah ELISA ( Enzym
Linked Immunosorbent Assay). Praktikum ini menitikberatkan pada pemeriksaan Widal. Tujuan
dari pelaksanaan tes Widal adalah untuk mengetahui adanya antibodi spesifik terhadap bakteri
Salmonella. Dasar pemeriksaan : Reaksi aglutinasi, yaitu ikatan antigen yang melekat pada
permukaan partikel / sel (insoluble) dengan antibodi spesifik yang diamati sebagai gumpalan
(clumping). Antigen yang digunakan : Antigen O dan H

Ag O : bagian tertular dari LPS dinding sel


- Antigen somatik
- Tahan panas dan Alkohol

Ag H : terdapat pada flagella


- Dirusak oleh panas dan alkohol

ALAT DAN BAHAN

Bahan pemeriksaan : serum

Tabung reaksi : 10

Pipet volume

Mikropipet

Slide

NaCl 0,9%

Water bath

Kit pemeriksaan Widal / Micropath antigens (Omega diagnostics)

RAPID SLIDE TEST

Siapkan slide yang diberi 3 lingkaran

Dengan mikropipet masukkan serum ke dalam masing-masing lingkaran dengan volume


berturut-turut : 80 ul, 40 ul, dan 20 ul

Tambahkan ke dalam masing-masing serum 1 tetes antigen (pengenceran 1:20, 1:40, dan
1:80)

Campurkan dengan cara digoyang-goyangkan selama 1 menit

Perhatikan aglutinasi yang terjadi. Setiap sampel yang menunjukkan aglutinasi sebaiknya
dikonfirmasi dengan Tube Aglutination Test

TUBE AGLUTINATION TEST

Siapkan 10 tabung reaksi dan susunlah dalam 1 rak. Beri nomor 1 10

Dengan pipet masukkan 1,9 ml NaCl pada tabung 1

Dengan pipet masukkan 1 ml NaCl pada masing-masing tabung 2-10

Masukkan 0,1 ml serum pada tabung 1 dan campur hingga homogen

Ambil 1 ml campuran tabung 1 dan masukkan tabung 2. Tabung 2 dicampur hingga


homogen, dan ambil 1 ml untuk dimasukkan tabung 3 , dan seterusnya hingga tabung 9

Ambil 1 ml larutan pada tabung 9 dan dibuang

Tambahkan setiap tabung 1 tetes antigen. Dengan demikian didapatkan pengenceran pada
tabung 1 9 berturut-turut : 1/20, 1/40, 1/80, 1/160, 1/320, 1/640, 1/1280, 1/2560.

Tabung 10 hanya berisi NaCl dan antigen, serta berfungsi sebagai kontrol

Campur larutan hingga homogen dan inkubasikan sebagai berikut :


- Titrasi O : 50o C selama 4 jam
- Titrasi H : 50o C selama 2 jam

Pada kontrol antigen harus tidak terdapat aglutinasi

Hasil : Adanya aglutinasi menunjukkan adanya antibodi

INPRESTASI HASIL

Titer O yang tinggi (> : 160) atau kenaikan titer menunjukkan infeksi aktif

Titer H yang tinggi (> : 160) menunjukkan peran divaksinasi/pernah terinfeksi

IX.

DIAGNOSIS (tambahin)
Diagnosis pada pasien ini adalah typhoid fever.

X.

PENATALAKSANAAN (7)(8)

Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif,
medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Kadang-kadang perlu
konsultasi ke Divisi Hematologi, Jantung, Neurologi, bahkan ke Bagian lain/Bedah.

a. Pengobatan Medikamentosa
Obat-obat

pilihan

pertama

adalah

kloramfenikol,

ampisilin/amoksisilin

atau

kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga
adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali
pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra
pemberian kloramfenikol , diberi

ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena
saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau

amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
oral/intravena selama 21 hari, atau

kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2 kali pemberian, oral,
selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2
kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang
diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotika adalah meropenem,
azithromisin dan fluoroquinolon.

b. Penatalaksanaan Epidemiologis
Meliputi isolasi penderita berupa isolasi gastrointestinal, sedangkan pemutusan transmisi
dengan pengelolaan disposal dan terapi pembawa kuman (carrier), sedangkan pencegahan
dengan melakukan immunisasi. Setelah diberi imunisasi, pasien harus diedukasi untuk tetap
menjaga makanan dan berusaha sebisa mungkin menghindari hal-hal yang membuat ia terpajan
bakteri s.typhi.
XI.

PROGNOSIS

Prognosis seseorang dengan demam tifoid tergantung terutama pada kecepatan diagnosis
dan pengobatan yang tepat dan cepat, selain itu juga tergantung dari umur, keadaan umum,
derajat kekebalan tubuh, julah dan virulensi Salmonela. Umumnya, demam tifoid yang tidak

diobati membawa tingkat kematian sebesar 10% -20%. Dalam Penyakit diobati, angka kematian
yang ditemukan pada anak-anak 2,6%, dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
Suatu jumlah yang tidak ditentukan pasien mengalami komplikasi jangka panjang atau
permanen, termasuk gejala neuropsikiatri dan tingginya angka kanker pencernaan. (2) (4) (9)
Pada pasien ini, karena pasien sudah diberi vaksin sebelumnya maka gejala demam tifoid
tidak terjadi begitu hebat, oleh karena itu dengan pengobatan yang tepat diperkirakan pasien bisa
sembuh.
Untuk kemungkinan terjadinya demam tifoid lagi pada pasien ini, tergantung dari pola hidup
pasien itu sendiri. Namun, tetap diberikan imunisasi dan edukasi bagi pasien untuk menghindari
faktor-faktor pencetus dan resiko untuk terserang kembali demam tifoid.

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

KESIMPULAN

Seseorang yang telah divaksinasi tidak tertutup kemungkinan akan terserang penyakit
sesuai dengan vaksinasinya tersebut. Hal tersebut dikarenakan tingkat virulensi mikroorganisme
tersebut, daya tahan tubuh saat terjadi wabah, higienitas, waktu vaksin yang berpengaruh pada
antibodi dalam tubuh yang telah selesai dibentuk atau belum. Walaupun demikian, orang yang
telah divaksin apabila teserang penyakit tersebut, maka tidak akan mengalami serangan yang
parah dibandingkan orang yang tidak divaksin dan tingkat kesembuhan juga akan berlangsung
lebih cepat. Seperti yang terjadi pada kasus, yang jadi permasalahan adalah kurangnya
komunikasi dan edukasi dari dokter terhadap pasien sebelum dan sesudah menerima vaksin
sehingga sewaktu pasien yang telah merasa aman dari bahaya demam tifoid merasa bingung dan
menganggap bahwa terjadi kesalahan dalam prosedur pemberian vaksin sehingga ada baiknya
kita menginformasikan segala sesuatu secara terperinci agar pasien tidak salah paham dan tidak
merasa dirugikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. 2008. hal
192- 6.
2. Brusch

John.

Typhoid

Fever.

Available

at

http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview. accesed on : 2 April 2011.


Updated on : 8 April 2010.
3. Ikatan

Dokter

Anak

Indonesia.

Jadwal

Imunisasi

Anak.

Available

at

http://www.idai.or.id/imunisasi/artikel.asp?q=200972313596. Accessed on : 1 April 2011.


4. Dugdale

David.

Typhoid

Fever.

Available

at

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001332.htm. accessed on : 2 April 2011.


Updated on : 30 May 2009.
5. Dept. Of Microbiology JJMMC Davangere. Rao S. Widal Test. Available at:
http://www.microrao.com/micronotes/widal.pdf. Accessed on 2 April 2011. Updated on:
March 2009.
6. Cara Tes Widal. Available at : http://dt.tp.ac.id/doc/tes+widal,+cara. Accessed on: 2 April
2011.
7. Cleary Th G. Salmonella species in longess, Pickerling LK, Praber CG. Principles and
Practice of Pediatric Infectious Disease Churchill Livingstone, New York 1nd ed, 2003 :
hal. 830
8. Pang T, Koh KL, Puthucheary SD (eds) : Typhoid fever : Strategies for the 90s,
Singapore, World Scientific, (1992)
9. Mansjoer A., Triyanti K., Savitri R., Wardhani W. I., Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Jil I. 3rd ed. Jakarta: Media Asculapius FKUI: 2001. P. 425.

Anda mungkin juga menyukai