Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)

OLEH:
Annisaa Rizqiyana, S. Ked

J500090056

PEMBIMBING:
dr. Bambang Suhartanto, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2013

REFERAT
BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)

OLEH:
Annisaa Rizqiyana, S. Ked

J500090056

Telah disetujui dan disyahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada hari Rabu tangga 25
Desember 2013

Pembimbing:
dr. Bambang Suhartanto, Sp.B

dipresentasikan dihadapan:
dr. Bambang Suhartanto, Sp.B

Disyahkan Ka. Program Profesi :


dr. Dewi Nirlawati

BAB I
PENDAHULUAN

Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering


mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pada tahap usia tertentu
banyak pria mengalami pembesaran prostat yang diesertai dengan gangguan
buang air kecil. Gejala ini merupakan tanda awal Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH).
Pembesaran kelenjar prostat mempuntai angka morbiditas yang bermakna
pada populasi pria lanjut usia. Hyperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas
usia 50 tahun (50-79 tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup
seseorang. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran
prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik
yang

kemudian

bermanifestasi

menjadi

kelainan

mikroskopik

(kelenjar

membesar) dan kemudian bermanifestasi dengan gejala klinik.


Dengan adanya hyperplasia ini akan menyebabkan obstruksi saluran
kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara mulai dari
tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif hingga tindakan operasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering
diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut . Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat (Sjamsuhidajat dan
Wim, 2004). Nodus pada BPH tampak solid atau mengandung rongga kistik.
Secara mikroskopis nodus hiperplastik terdiri atas proliferasi elemen kelenjar dan
stroma fibromuskulus dengan proporsi bervariasi (Kumar, Cotran, dan Robbins, ,
2007).

B. Anatomi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak
disebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. McNeal membagi
kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskular anterior dan zona periuretra. Sebagian besar
hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional; sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer (Purnomo, 2003).

Prostat memiliki capsula fibrosa yang padat dan diliputi oleh sarung
prostat jaringan ikat sebagai bagian fascia pelvis visceral. Topografi prostata
adalah sebagai berikut:

Alasnya berhubungan dengan cervix vesicae

Puncaknya bersandar pada diafragma urogenitale

Permukaan ventral prostata terpisah dari symphysis pubica oleh lemak


retroperitoneal dalam spatium retropubicum.

Permukaan dorsal prostat berbatas pada ampulla recti

Permukaan laterokaudal berhubungan dengan musculus levator ani.


Lobus-lobus prostata dibahas dibawah ini, meskipun anatomis tidak

terpisah secara jelas.

Lobus anterior, atau isthmus prostata, terletak ventral dari urethra; bagian ini
bersifat fibromuskular dan mengandung sedikit jaringan kelenjar mungkin
juga sama sekali tidak.

Lobus posterior terletak dorsal dari uretra dan caudal terhadap kedua ductus
ejaculatorius; bagian ini dengan mudah teraba pada pemeriksaan rektal secara
digital.

Lobus-lobus lateral terletak pada sisi kanan dan sisi kiri urethra; lobus-lobus
ini merupakan bagian utama prostata.

Lobus medius (tengah) terletak antara uretrha dan kedua ductus ejaculatorius,
lobus ini berhubungan erat dengan cervix vesicae.

Ductuli prostatici yang berjumlah 20-30 buah, terutama bermuara ke


dalam sinus prostaticus pada dinding dorsal pars prostatica uretra. Cairan prostat
menyumbangkan 20% dari volume cairan mani.
Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteri vesicalis inferior dan
arteri rectalis media, cabang arteri iliaca interna. Sedangkan vena-vena akan
bergabung membentuk plexus venosus prostaticus sekeliling sisi-sisi dan arteri
prostata. Plexus venosus prostaticus yang terletak antara capsula fibrosa dan
sarung prostat ditampung oleh vena iliaca interna. Plexus venosus prostaticus juga
berhubungan dengan plexus venosus vesicalis

plexus venosi vertebrale.

Pembuluh limfe utama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni dan nodi
lymphoidei sacrales.
Serabut parasimpatis berasal dari nervi limphanici pelvici (nervi erigentes)
(S2-S4). Serabut simpatis berasal dari plexus hypogastricus inferior (Moore, dan
Anne, 2002).

C. Etilogi
Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplaaia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestoteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:

Teori dihidrotestoteron

Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testoteron

Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat

Berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Teori stem sel ( Purnomo, 2003)

D. Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obtruksi dan iritasi. Gejala iritasi
disebabkan hipersensitif otot destrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi,
nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obtruksi terjadi karena otot

destrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup
lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan
yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun
belum penuh.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih, dan timbul
rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan
terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena
produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menahan urin
sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan intravesika lebih
tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia
paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi
infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lamakelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih . Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks,
dapat terjadi pielonefritis (Sjamsuhidajat dan Wim, 2004).

E. Klasifikasi
Derajat

Colok dubur

Sisa volume urin

Penonjolan prostat, batasan mudah < 50 ml


diraba

II

Penonjolan prostat jelas, batasan atas 50-100 ml


dapat dicapai

III

Batas atas prostat tidak dapat diraba

IV

> 100 ml

Retensi urin total


(Sjamsuhidajat dan Wim, 2004).

F. Gejala Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih.

Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah(LUTS) terdiri atas gejala


obstruksi dan gejala iritatif.
Obtruksi
Iritasi
Hesistensi
Frekuensi
Pancaran miksi lemah
Nokturia
Intermitensi
Urgensi
Miksi tidak puas
Disuri
Menetes setelah miksi
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli
untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot buli-buli mengalami kepayahan
sehingga jatuh dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa faktor
pencetus antara lain:
a. Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang
mengandung diuretikum (alkohol dan kopi) dan minum dalam

jumlah

berlebihan.
b. Massa prostat yang tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktifitas
seksual atau mengalami infeksi prostat akut.
c. Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot
detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain: golongan
antikolonergik atau adrenergik alfa.

Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas
berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan dipinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis) atau demam yang merupakan tanda dari
infeksi atau urosepsis.

Gejala diluar saluran kemih.

Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia


inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal
(Purnomo, 2003).

G. Diagnosis
a. Anamnesis :
Pada kasus BPH anamnesis meliputi :
Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah
mengganggu
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, atau pem-bedahan)
Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan
keluhan miksi
Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan (AUA , 2003, Lepor H dan Lowe FC. 2002).
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan
adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate
Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan
prostate symptom score yang telah distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai
dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan
yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum

35

(terlampir). Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien


mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan
berdasarkan skor yang diperoleh
adalah sebagai berikut:
o Skor 0-7: bergejala ringan
o Skor 8-19: bergejala sedang
o Skor 20-35: bergejala berat.

Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu


pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga
terdiri atas 7 kemungkinan jawaban (Barry, et al., 1992).

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh
dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadangkadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu
merupakan pertanda inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan:

Tonus sfingter ani/refleks bulbokavernosus untuk menyingkirkan adanya


kelainan buli-buli neurogenik.

Mukosa rektumnya

Keadaan prostat : kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat,


simetris antar lobus dan batas prostat.

Colok dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi


prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan
tidak didapatkan nodul (Purnomo, 2003). Kelenjar prostat yang membesar tidak
teraba nyeri tekan, permukaan halus, agak keras tetapi sedikit elastik; hiperplasia
prostat benign dapat menyebabkan gejala tanpaadanya pembesaran yang teraba
(Bickley dan Szilagyi, 2008). Sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi
prostat keras/teraba nodul dan mungkin di antara lobus prostat tidak simetris

c. Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi
atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna dalam
mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah dimaksudkan untuk
mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik). Jika dicurigai
keganasan prostat diperiksa kadar penanda tumor PSA (Purnomo, 2003) . Rentang
kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah : 40-49 tahun: 0-2,5
ng/ml, 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml, 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml dan 70-79 tahun: 0-6,5
ng/ml (Dawson dan Whitfield, 1996)

b) Pencitraan:

Foto polos abdomen


Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran

kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan


bayangan buli-buli yang penuh terisi urin.

Pielografi intravena (PIV)


Dapat menerangkan adanya:
Kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis.
Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukan oleh adanya
indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter
disebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish
Penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel
atau sakulasi buli-buli.

Ultrasonografi transrektal (TRUS)


Dimaksudkan untuk mengetahui:
Besar atau volume kelenjar prostat

Adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna


Sebagai guidance untu melakukan biopsi aspirasi prostat
Menentukan jumlah residual urin
Mencari kelainan lain yang mungkin ada didalam buli-buli
Mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat BPH.

Sistografi
Pemeriksaan ini dilakukan bila pada anamnesis ditemukan hematuria atau

pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuri. Pemeriksaan ini untuk dapat


memberikan gambaran kemungkinan tumor didalam kandung kemih atau sumber
perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter atau radiolusen didalam
vesika. Selain itu dapat pula memberi keterangan mengenai besar prostat dengan
mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam
uretra (Purnomo,2003).

c) Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur:
b. Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini dapat
dihitung dengan cara melakukan katerisasi setelah miksi atau ditentukan
dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
c. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu
dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urine. Pemeriksaan yang teliti dengan
pemeriksaan urodinamik.
Dari uroflometri dapat diketahui lama waktu miksi, lama pancaran, waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, rerata pancaran,
maksimum pancaran maksimum dan volume urine yang dikemihkan (Purnomo,
2003).

H. Diagnosis banding
Kelemahan detrusor kandung kemih
-

Gangguan neurologik
o Kelainan medula spinalis
o Neuropati DM
o Pascabedah radikal dipelvis
o Farmakologi (obat penenang, penghambat alfa, parasimpatolitik)

Kekakuan leher kandung kemih


-

Fibrosis

Resistensi uretra
-

Hipertrofi prostat ganas atau jinak

Kelainan yang menyumbat uretra

Uretralitiasis

Uretritis akut atau kronis (Sjamsuhidajat dan Wim, 2004)

I. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah:

Memperbaiki keluhan miksi

Meningkatkan kualitas hidup

Mengurangi obstruksi intravesika

Mengembalikan fungsi ginjal bila terjadi gagal ginjal

Mengurangi volume residu urine setelah miksi

Mencegah progresifitas penyakit

Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan atau tindakan
endourologi.
Observasi

Medikamentosa

Operasi

Invasif minimal

Watchfull waiting

Penghambat

Prostatektomi

TUMT

adrenergik-

terbuka

TUBD

Penghambat

Endourologi:

Stent uretra

reduktase-

TURP

TUNA

Fitoterapi

TUIP

Hormonal

TULP
elektrovaporasi

Watcfull waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktifitas sehari-hari.
Pasien tidak diterapi apapun dan hanya diberikan penjelasan mengenai sesuatu hal
yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
-

Jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam

Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang dapat mengiritasi buli-buli


(kopi atau coklat)

Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin

Kurangi makanan pedas dan asin

Jangan menahan kencing terlalu lama


Secara berkala pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya

keluhannya apakah menjadi lebih baik, disamping itu dilakukan pemeriksaan


laboratorium, residu urin atau uroflowmetri. Jika miksi bertambah jelek dipikirkan
terapi yang lain (Purnomo, 2003).
Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah:
-

Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab


obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa.

Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan


kadar hormon testoteron/dihidrotestoteron (DHT) melalui penghambat 5reduktase (Purnomo, 2003).
Selain itu dapat dipakai terapi fitofarmaka yang mekanismenya belum

jelas.
Klasifikasi terapi dan dosis yang direkomendasi pada BPH
Klasifikasi
Alpha-blockers
- Nonselective
Phenoxybenzamin
- Alpha-1, short-acting
prozasin
- Alpha-1, long acting
Terazosin
Doxazosin
- Alpha-1a selective
Tamsulosin
Alfuzosin
5-alpha-reductase inhibitor
- Finasteride
- Dutasteride
- Subcutaneus implant
- Triptorelin pamoate
( Tanagho dan Mc aninch, 2008)

Dosis Oral

2 x 10mg /hari
2 x 2 mg/hari
5 mg atau 10 mg/hari
4 mg atau 8 mg/hari
0.4 atau 0,8 mg/hari
10 mg/hari
5 mg/hari
0,5 mg/hari
Tiap tahun
3,75 mg / bulan

Operasi
Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang:

Tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa

Mengalami retensi urin

Infeksi saluran kemih berulang

Hematuria

Gagal ginjal

Timbulnya batu saluran kemih bagian bawah (Purnomo, 2003)

Macam Operasi:

Pembedahan terbuka
Beberapa macam metode untuk prostatektomi terbuka adalah metode dari

Millin yaitu enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik infravesika,


Freyer

melalui pendekatan suprapubik transvesika atau transperineal.

Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih dikerjakan
sampai saat ini, paling invasif dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100gram).
Penyulit yang terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah inkontinensia
uria (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrogard (60-80 %) dan kontraktur leher
buli-buli (3-5%). Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100% dan angka mortalitas
sebanyak 2% (Purnomo, 2003).

Pembedahan Endourologi
a. TURP
Reseksi kelenjar prostat yang dilakukan transuretra dengan menggunakan

cairan irigasi (pembilas) agar daerah yang direseksi tetap terang dan

tidak

tertutup darah. Cairan yang digunakan adalah cairan nonionik agar tidak terjadi
hantaran listrik cairan yang sering digunakan adalah H2O steril (Purnomo, 2003).
b. Elektrovaporasi prostat
Cara elektrovaporasi prostat adalah sama dengan TRUP hanya saja teknik
ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat,
sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman,
tidak banyak menimbulkan perdarahan saat operasi dan massa mondok di rumah
sakit lebih singkat. Teknik ini hanya untuk prostat yang tidak terlalu besar (<50g)
dan membutuhkan waktu operasi yang lama(Purnomo, 2003).
c. Laser Prostatektomi
Energi laser digunakan sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang dari
tahun ketahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4 jenis energi yang dipakai
yaitu: Nd:YAG, Holmium: YAG, KTP:YAG dan diode yang dapat dipancarkan
melalui bare fibre, right angel fibre atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada

suhu 60-65 0c akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C
mengalami vaporasi (Purnomo, 2003).

Invasif Minimal
Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro
pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan
didalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44oC menyebabkan dekstruksi
jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Proses ini dapat
digunakan dipoliklinik tanpa pembiusan.
Energi panas yang bersamaan dengan gelombang mikro dipancarkan
melalui kateter yang terpasang dalam uretra. Besar dan arah pancaran energi
diatur melalui sebuah komputer sehingga dapat melunakkan jaringan prostat yang
membuntu uretra. Morbiditasnya relatif rendah, dapat dilakukan tanpa anestesi
(Purnomo, 2003).

TUNA (Transurethrak needle ablation of the prostate)


Teknik ini menggunakan energi dari frekuensi radio yang menimbulkan

panas sampai mencapai 100OC, sehingga meneybabkan nekrosis jaringan prostat.


Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang
dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan
ke dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocain
sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat
(Purnomo, 2003).
Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher buli-buli
dan disebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati
lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen.
Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan dibuat dari bahan yang tidak
mudah diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang
dan dilepas dengan menggunakan endoskopi (Purnomo, 2003).

HIFU (High intensity focused ultrasound)


Energi panas yang ditujukan untu menimbulkan nekrosis pada prostat

bersal dari gelombang ultrasonografi dari tranduser piezokeramik yang


mempuntai frekuensi 0,5-10 Mhz. Energi dipancarkan melalui alat yang
diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan
anetesi umum (Purnomo, 2003).
J. Kontrol Berkala
Pasien

yang hanya

mendapatkan pengawasan (watcfull waiting)

dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui


apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan IPSS
skor, uroflowmetri dan residu paska miksi.
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5-reduktase harus kontrol
pada mingguke 12 dan bulan ke

6 untuk menilai respon terhadap terapi.

Kemudian tiap tahun untuk menilaiperubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani
pengobatan

penghambatan

5adrenergik

harus

dinilai

respon

terhadap

pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan IPSS, uroflowmetri


dan residu urim paska miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa menunjukkan
penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan
selama 6bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien setelah menerima pengobatan
secara medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan perlu
dipikirkan tindakan pembedahan dan terapi intervensi lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6
minggu pasca operasi untuk menegetahui kemungkinan terjadinya penyulit.
Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.
Pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani kontrol
secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan
dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan
pemeriksaan kultur urin (Purnomo, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

AUA practice guidelines committee. 2003. AUA guideline on management of


benign prostatic hyperplasia (2003). Chapter 1: diagnosis and
treatment recommendations. J Urol 170: 530- 547,
Barry MJ, Fowler FJ, OLeary MP, et al. 1992. The American Urological
Association Symptom Index for Benign Prostatic Hyperplasia. J
Urol. H 148: 1549
Bickley, L.S, Szilagyi, P,G. 2008. Anus, Rektum dan Prostat dalam Buku Saku
Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates. Ed 5. Jakarta:
EGC. H 214
Dawson C dan Whitfield H. 1996. ABC urology:Bladder outflow obstruction.
BMJ, 767.
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, A.L., 2007. Sistem Genitalia Laki-laki dalam
Buku Ajar Patologi Ed.7. Jakarta: EGC. H 745
Kirby M. Management of benign prostatic hyperplasia (BPH) in a primary care
setting. http://www.urohealth.org/editorials/display_edit
Lepor H dan Lowe FC. 2002.Evaluation and nonsurgical management of benign
prostatic hyperplasia. Dalam: Campbells urology, edisi ke 7.
editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ.
Philadelphia: WB Saunders Co. H.1337-1378,
Moore, K.L., Anne, M.R. 2002. Abdomen dalam Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:
Hipokrates. h:164-7.
Putz, R, Reinhard, P. 2006. Organ Visera Pelvis dan Ruang Retroperitoneal dalam
Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2 . Ed 22.
Purnomo, 2003. Dasar-dasar Urologi. Ed 2. Jakarta: Sagung Seto. H 69-84.
Sjamsuhidajat, R., Wim, de Jong. 2004. Saluran Kemih dan alat kelamin laki-laki
dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. h: 782-6Tanagho, E.A dan Mc aninch, J.W, 2008. Smiths General Urology. McGraw-Hill
Companies, USA

Anda mungkin juga menyukai