Anda di halaman 1dari 23

TUGAS SEJARAH

KARYA TULIS
HEROISME CUT NYAK DHIEN
D
I
S
U
S
U
N

OLEH:

NAMA : AUDIVA PRICILLA


KELAS : XI MIA 3

SMA NEGERI 15 MEDAN


T.A 2014 S/d 2015

Cut Nyak Dhien

Page 1

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt., karena atas limpahan rahmat dan karunia Nya lah
sehingga kami dapat menyelesaikan Karya Tulis ini sesuai waktunya.
Kami mencoba berusaha menyusun Karya Tulis ini sedemikian rupa dengan harapan dapat
membantu pembaca dalam memahami pelajaran Sejarah yang merupakan judul dari Makalah kami,
yaitu Heroisme Cut Nyak Dhien. Disamping itu, kami berharap bahwa Karya Tulis ini dapat dijadikan
bekal pengetahuan untuk melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi.
Kami menyadari bahwa didalam pembuatan Karya tulis ini masih ada kekurangan sehingga
kami berharap saran dan kritik dari pembaca sekalian khususnya dari guru mata pelajaran Sejarah
agar dapat meningkatkan mutu dalam penyajian berikutnya.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Medan. 07 November 2014


Penyusun
Audiva Pricilla

Cut Nyak Dhien

Page 2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..ii
Daftar isi.iii
I.

Latar Belakang Keluarga Cut Nyak Dhien....1

II.

Perjuangan Cut Nyak Dhien Sebagai Wanita Aceh...2

III. Kehadiran Teuku Umar....5


IV.

Cut Nyak Dhien Bahu Membahu Melawan Belanda dengan Teuku


Umar..7

V.

Kematian Teuku Umar..9

VI.

Perlawanan Cut Nyak Dhien Terhadap Belanda....10

VII. Cut Nyak Dhien dalam Pengasingan....13


VIII.

Pembuangan Cut Nyak Dhien Ke Sumedang.14

IX.

Wafatnya Cut Nyak Dhien....16

X.

Kesimpulan17

XI.

Karya...18

XII. Penghargaan...19
XIII.Saran....20

Cut Nyak Dhien

Page 3

I.

Latar Belakang Keluarga Cut Nyak Dhien


Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang,

wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang
VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat.
Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah
oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan
keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh
pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah
tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik
baik oleh orang tuanya). Pengetahuan tentang rumah tangga seperti memasak, cara menghadapi
atau melayani suami, serta hal lain tentang tata kehidupan berumahtangga didapatkan dari ibunya
dan kerabat orangtua perempuan tersebut. Karena didikan tersebut, Cut Nyak Dhien mempunyai
sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal.
Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia
12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim
Lamnga, putra dari Teuku Po Amat uleebalang Lamnga XIII mukim Tungkop, Sagi XXVI
mukim Aceh besar. Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang, tetapi juga disebabkan seorang
pemuda yang taat agama, berpandangan luas, seorang alim yang memperoleh pendidikan dari
Dayah Bitay. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Pernikahan mereka dilangsungkan secara meriah, Teuku Nanta mendatangkan penyair
terkenal Do Karim untuk membawakan syairnya dihadapan para undangan, syair-syair yang
dibawakan mengandung ajaran-ajaran agama yang sangat berguna bagi pegangan hidup. Setelah
Cut Nyak Dhien dan Teuku Ibrahim merasa sudah cukup siap mandiri membiayai rumah
tangganya, mereka pindah rumah yang telah disediakan oleh Teuku Nanta.

Cut Nyak Dhien

Page 4

II.

Perjuangan Cut Nyak Dhien Sebagai Wanita Aceh

Peran para wanita Aceh dalam Perang Aceh sungguh luar biasa. Dhien membuktikan peran ini
dengan menggadaikan seluruh hidup, kebebasan, kemerdekaan, hingga nyawanya untuk tanah air
tercinta. Kematian sang suami hanya awal bagi srikandi Aceh ini. Belanda telah membangunkan
api kesumat Dhien.

Dhien sebagaimana wanita Aceh lainnya, mempunyai satu sifat serupa, pantang menyerah. Sifat
ini telah dibuktikan para wanita Aceh sejak lama. Sebagai pendamping suami jika telah
menikah wanita Aceh juga pemikul tanggungjawab suami jika perang mengharuskan kaum
laki-laki pergi jihad.
Wanita adalah penjaga nyawa Aceh

Sikap wanita Aceh ini ternyata terbentuk karena pengaruh Islam yang sangat kuat. Dalil-dalil
Islam dijadikan landasan bagi kaum wanita dalam menentukan sikap. Sejak masa Kesultanan
Perlak, Kesultanan Pasai , hingga Aceh Darussalam, Islam telah diambil menjadi dasar negara
dan sumber hukumnya, yaitu Al-Quran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Berdasarkan hukum inilah,
wanita Aceh melandaskan segala tindakannya, termasuk dalam keadaan perang sekalipun.

Dalam masalah jihad atau perang menurut Islam, kewajiban pria dan wanita sama, artinya samasama wajib berjihad untuk menegakkan Agama Allah dan membela tanah air. Landasan ini
sesuai dengan hadist:
..... Menurut sebuah Hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dari seorang sahabat wanita
yang mengatakan: Kami pergi berperang bersama Rasul Allah, di mana antara lain tugas kami
menyediakan makan dan minum bagi para prajurit; mengembalikan anggota tentara yang
syahid ke Madinah. (Al Hadist riwayat Bukhari)
..... Seorang sahabat wanita lain berkata: Kami ikut perang bersama Rasul Allah sampai
tujuh kali, di mana kami merawat prajurit yang luka, menyediakan makanan dan minuman bagi
mereka. (Al Hadist riwayat Bukhari) (A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah
Pemerintahan Ratu".
Cut Nyak Dhien

Page 5

Dasar inilah yang melandasi tekad juang Cut Nyak Dhien dan wanita Aceh lainnya untuk turut
serta dalam Perang Aceh yang mereka anggap sebagai jihad.

Pecahnya Perang Aceh merupakan akibat dari buntunya proses diplomasi antara Sultan Kerajaan
Aceh Darussalam dengan Komisaris Pemerintah Belanda, Niuwenhuijzen. Belanda akhirnya
mengirimkan surat pernyataan perang kepada Kerajaan Aceh Darussalam tertanggal 26 Maret
1873. Surat ini sampai kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873.

Isi surat pada intinya adalah pernyataan Pemerintah Hindia Belanda yang berkewajiban untuk
memelihara kepentingan umum atas perniagaan dan pelayaran di Kepulauan Hindia Timur.
Niuwenhuijzen berdalih bahwa pemberitahuan kepada Sultan Aceh telah disampaikan pada 22
dan 24 Maret 1873. Tapi Belanda mengklaim bahwa pemberitahuan ini tidak mendapat respon
dari pihak Sultan Aceh.

Belanda mengambil kesimpulan bahwa Sultan Aceh menantang Pemerintah Hindia Belanda.
Atas dasar sikap ini pula, Belanda menuduh Sultan Aceh telah melanggar perjanjian yang
mengikat antara Kerajaan Aceh dengan pihak Gubernemen Hindia Belanda pada 30 Maret 1857,
tentang perniagaan, perdamaian, dan persahabatan. Belanda

akhirnya memaklumatkan

pernyataan perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam.

Perang terjadi tepat ketika Mayor Jenderal Kohler memimpin ekspedisi pertama untuk
menaklukkan Aceh pada 5 April 1873. Pasukan Kohler ini berkekuatan 168 perwira dan 3.800
serdadu Belanda sewaan (A. Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan
Tahun Melawan Agresi Belanda, 1977: 33). Masuknya Pasukan Kohler membuat rakyat Aceh
bersiap menghadapi perang, termasuk Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertama dari Cut Nyak
Dhien. Beliau merupakan tokoh pejuang di daerah Mukim VI.

Bersama Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah, Teuku Ibrahim Lamnga bertekad
mempertahankan setiap jengkal tanah Aceh dari serbuan Belanda. Aktifnya Teuku Ibrahim
Lamnga ke garis depan membuat suami-istri ini harus berpisah. Cut Nyak Dhien dan bayinya
akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875.
Cut Nyak Dhien

Page 6

Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim. Di sinilah


perjuangan Cut Nyak Dhien yang pertama dimulai. Fungsi perlawanan bagi Dhien adalah
memberikan semangat juang pada sang suami kala pulang. Kondisi inilah yang menempa jiwaraga Cut Nyak Dhien. Sebuah kondisi yang akan terus dijalani di sisa waktunya.

Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Kohler dan
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman serta membakarnya. Melihat aksi brutal ini,
Cut Nyak Dhien dengan lantang berkata:
Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu
masjid kita dibakarnya! Mereka Menentang Allah, tempatmu beribadah dibakarnya! Nama
Allah dicemarkan! Camkan itu! Janganlah kita melupakan budi si kaphe yang serupa itu! Masih
adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kaphe serupa? Masih adakah orang Aceh
yang suka menjadi budak Belanda? (Petrik Matanasi (ed), 2008: 25)

Pembakaran Masjid Raya Baiturrahman ternyata harus dibayar mahal oleh Kohler. Pada
ekspedisi pertama ini, Kohler tewas. Dia tertembak pada 15 April 1873. (A. Hasjmy, Apa Sebab
Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, 1977: 33). Jenasah
Kohler sempat dilarikan ke Kapal Citadel van Antwerpen. Tewasnya Kohler berarti
menandakan berakhirnya ekspedisi pertama Belanda ke Aceh.

Gagalnya ekspedisi pertama membuat Belanda semakin penasaran dengan Aceh. Akhirnya
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon, mengangkat Letnan Jenderal J. van Swieten menjadi
Panglima Agresi kedua tentara Belanda merangkap Komisaris Pemerintah Belanda untuk Aceh
(Mohammad Said, 1961: 435-436). Atas pengangkatan ini, pada 6 November 1873 berangkatlah
Letnan Jenderal J. van Swieten ke Aceh. Ekspedisi kedua ini berkekuatan 60 kapal perang yang
dilengkapi dengan 206 meriam, 22 mortir, 389 perwira, 7.888 serdadu biasa, 32 perwira dokter,
3.565 orang hukuman laki-laki yang dipaksa untuk berperang, 243 orang hukuman perempuan,
pastor, guru agama, kaki-tangan Belanda seperti Sidi Tahil, Datok Setia Abuhasan, Mas Sumo
Widikdjo, Mohammad Arsyad, Ke Beng Swie, Pie Auw, Josee Massang, Li Bieng Tjhet, Tjo

Cut Nyak Dhien

Page 7

Gee, Si Diman, Ramasamy, Si Kitab, Ameran, Malela, dan Said Muhammad bin Abdurrahman
Maysore. (Mohammad Said, 1961: 437-439)

Pada 28 November 1873 ekspedisi kedua di bawah Swieten mendarat di pelabuhan Aceh.
Setelah mendarat, daerah demi daerah berhasil dikuasai Belanda, seperti Pantai Kuala Lue pada 9
Desember 1873; Kuala Gigieng; Kuala Aceh; Peunayong; Gampong Jawa; hingga Istana
Kerajaan dan Ibukota Negara Banda Aceh. (A. Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup
Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, 1977: 37)

Dalam ekspedisi kedua inilah suami pertama Cut Nyak Dhien, Teungku Ibrahim Lamnga mati
syahid di Sela Glee Tarum pada 29 Juni 1878. Mengatahui suaminya syahid, Cut Nyak Dhien
bersumpah untuk bertaruh nyawa, berperang melawan Belanda. Dhien juga bersumpah tidak
akan menikah kecuali dengan pria yang bisa memberikan keleluasaan baginya untuk turut
berjuang.

III.

Kehadiran Teuku Umar

Lelaki itu akhirnya datang juga. Namanya Teuku Umar. Putra dari Teuku Muhammad. Awalnya
Cut Nyak Dhien menolak menerima lamaran dari Teuku Umar. Tapi kemudian Cut Nyak Dhien
menerima setelah Teuku Umar sanggup untuk mengijinkan Cut Nyak Dhien ikut serta dalam
berjihad. Pernikahanpun akhirnya dilangsungkan pada 1887.

Dwi tunggal ini kemudian bahu membahu berjihad melawan Belanda. Bersama Teuku Umar,
Dhien melancarkan aksi di Krueng. Tidak hanya di Krueng, dwi tunggal ini juga sukses
membebaskan daerah-daerah yang semula dikuasai Belanda. Bagi Teuku Umar, Cut Nyak
Dhienlah inspirator bagi keberhasilan jihadnya selama ini. Anggapan ini turut pula dikuatkan
oleh Jenderal J.B. van Heutz, bahwa Cut Nyak Dhien adalah otak dari Teuku Umar yang
terkenal licin oleh petinggi militer Belanda di Aceh. (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 26)

Gambaran heroisme wanita Aceh dalam Perang Aceh sempat dituliskan oleh seorang Eropa
bernama H.C. Zentgraaff. Dalam Perang Aceh, Zentgraaff mencatat dengan detail bagaimana
Cut Nyak Dhien

Page 8

wanita Aceh tetap bertindak sebagai pihak yang tidak mau berkompromi dengan Belanda.
Sebagaimana kaum lelaki yang mengangkat senjata, wanita Aceh juga berperang dengan jiwa
dan raganya.

Zentgraaff menuliskan bahwa:


Wanita-wanita Aceh yang gagah dan berani merupakan perwujudan lahiriah dari dendam
kesumat yang paling pahit ... perwujudan jasmaniah watak yang tak kenal menyerah yang
setinggi-tingginya, dan apabila mereka ikut bertempur, maka dilakukannya dengan energi serta
semangat berani mati, yang kebanyakan lebih dari kaum lelakinya. Wanita Aceh adalah pemikul
beban dendam yang membara sampai ke tepi lubang kuburnya, dan sudah di depan maut
sekalipun, dia masih berani meludahi muka si Kaphe (sebutan Kafir dalam Bahasa Aceh). Tak
seorang pengarang cerita pun, dapat membuahkan karangan dengan daya fantasi yang
berkhayal setinggi apapun dalam bidang ini, dibandingkan dengan kenyataan yang sungguhsungguh terjadi. (H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 74).

Pernyataan Zentgraaff juga dibuktikan oleh Dhien. Dirinya tidak rela menyerah meski penyakit
encok mendera tubuhnya dan matanya nyaris buta. Di akhir petualangan Dhien dalam melakukan
perlawanan, dia sempat mencabut rencong sebagai tanda pantang menyerah.

Heroisme yang ditunjukkan oleh Dhien juga ditulis oleh Zentgraaff. Dia kembali menulis
tentang perlawanan Dhien sebagai salah satu anak bangsa Aceh. Menurut Zentgraaff:
..... Bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan
bangsa Aceh; dan kaum wanita Aceh, melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya, dalam
keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan merekapun melampaui kaum lelaki Aceh yang sudah
dikenal bukanlah lelaki lemah, dalam mempertahankan cita-cita

bangsa dan agama

mereka (H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 95)

Inilah frame Zentgraaff untuk memaknai arti wanita Aceh. Kesimpulan dari analisis Zentgraaff
terpolarisasi dengan penyebutan para wanita Aceh sebagai de leidster van het verzet"
(pemimpin perlawanan) dan grandes dames (wanita-wanita besar).

Cut Nyak Dhien

Page 9

IV.

Cut Nyak Dhien Bahu Membahu Melawan Belanda dengan Teuku


Umar
Taktik Teuku Umar didalam peperangan menghadapi Belanda tergolong aneh bagi orang

lain dan juga Cut Nyak Dhien sendiri. Ia pernah membantu Belanda atas permintaan Gubernur
Aceh Loging Tobias, untuk membebaskan Kapal Inggris yang terdampar, kemudian disita oleh
Teuku Imam Muda Raja Tenom. Namun pada saat itu terjadi penyerangan terhadap awak kapal
yang dilakukan oleh pejuang Teuku Umar. Setelah peristiwa itu, Teuku Umar kembali ke
Lampisang dan tidak mau lagi bekerja sama dengan Belanda. Tetapi rakyat Aceh tidak langsung
percaya Teuku Umar, persoalan ini selesai setelah Kapal Nisiero baru diselesaikan setelah
Belanda membayar tebusan sebesar 100.000 dolar kepada Raja Teunom
Dwi tunggal ini kemudian bahu membahu berjihad melawan Belanda. Bersama Teuku Umar,
Dhien melancarkan aksi di Krueng. Tidak hanya di Krueng, dwi tunggal ini juga sukses
membebaskan daerah-daerah yang semula dikuasai Belanda. Bagi Teuku Umar, Cut Nyak
Dhienlah inspirator bagi keberhasilan jihadnya selama ini. Anggapan ini turut pula dikuatkan
oleh Jenderal J.B. van Heutz, bahwa Cut Nyak Dhien adalah otak dari Teuku Umar yang
terkenal licin oleh petinggi militer Belanda di Aceh. (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 26)

Suatu ketika Cut Nyak Dhien dan laskarnya bermukim di daerah Montasik. Tapi malang, kepada
Mukim di daerah ini menyerah pada Belanda. Akibat dari penyerahan ini, Cut Nyak Dhien harus
berpindah tempat. Pada saat inilah, Cut Nyak Dhien melahirkan putri hasil pernikahannya dengan
Teuku Umar. Nama bayi itu Cut Gambang. Meski sedang dalam keadaan hamil tua dan
kemudian melahirkan, Dhien tetap berjuang bagi bangsanya. Sedang Teuku Umar seringkali
harus berpisah dari istri tercinta.

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875,
Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang
Belanda semakin kuat. Pada tanggal 14 juni 1886 Teuku Umar kembali mengadakan serangan
terhadap kapal Hok Canton, kapal ini berlabuh di pantai Rigaih. Waktu itu Hansen beserta
istrinya dan juru mudi Faya ditawan, karena Hansen meniggal, maka istrinya dan Faya dibawa ke
gunung. Belanda berusaha untuk mencari kontak dengan Teuku Umar, tetapi tidak ada hasilnya.
Cut Nyak Dhien

Page 10

Sekali lagi Gubernur Belanda memberikan tebusan 25.000 kepada Teuku Umar, uang itu dibagibagikan kepada rakyat Aceh. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya
yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda untuk
menipu orang Belanda, sehingga saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:
Mereka menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin
membayar kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh
Teuku Umar bersedia untuk mengamankan Aceh dan Belanda memberikan senjata yang lengkap
kepada pasukannya untuk menjalankan misinya mengamankan Aceh. Teuku Umar diberikan
tanggung jawab panglima dan diberikan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Rumahnya di
Lampisang dibangun oelh pemerintahan Belanda. Bentuknya disesuaikan denga bentuk rumah
pejabat Belanda dan dihiasi taman serta diberikan fasilitas yang memadai. Teuku umar kemudian
menjalankan tugas dari Belanda untuk merebut daerah-daerah yang masih dikuasai oleh pejuang
Aceh.
Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga
mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya
komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai
rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia
datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya
untuk kembali melawan Belanda, namun, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Teuku
Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak
mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan
Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana
palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Namun ternyata perjuangan itu hanya bersifat sandiwara saja bersama Cut Nyak Dhien
dan pada tanggal 29 maret 1896 ia kembali membawa pasukannya untuk kembali dengan
masyarakat Aceh dan membawa persenjataan yang lengkap yang merupakan hasil curian dari
Belanda. Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat,
senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali.

Cut Nyak Dhien

Page 11

Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar).
Mengetahui pengkhianatan yang dilakukan Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai
panglima perang, gelar kebesaran Johan Pahlawan dan menyatakan perang terhadap Teuku
Umar. Rumahnya di Lampisang dibakar dan dihancurkan oleh Belanda.
Teuku Umar yang menghianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan
operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun,
gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan terbaik dari Belanda dan mengembalikan identitasnya
menjadi pasukan gerilyawan. Mereka mulai menyerang Belanda sementara jendral Van Swieten
diganti. Penggantinya, jendral Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada
kekacauan untuk pertama kalinya. Selain itu, Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan
membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.
Dien dan Umar menekan Belanda dan menduduki Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh
(bekas basis Teuku Umar) dan Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Pasukan
gerilyawan kuat yang dilatih dan dibuat dan memimpin hal ini sukses. Sejarah yang mengerikan
bagi orang Belanda terus terjadi, tetapi, jendral Van Der Heyden ditugaskan dan tidak pernah
dilupakan oleh orang Aceh. Pembantaian yang berdarah dilakukan terhadap laki-laki, wanita dan
anak-anak pada desa, ketika jendral Van Der Heyden masuk kedalam unit "De Marsose". Mereka
dianggap biadab oleh orang Aceh dan sangat sulit ditaklukan, selain itu, kebanyakan pasukan
"De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di
jalannya, termasuk rumah dan orang-orang. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati
kepada orang Aceh dan Van Der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga
menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan
Jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.

V.

Kematian Teuku Umar


Jendral Van Heutz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk

memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana


Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan akhirnya, Teuku
Umar gugur tertembak peluru. Hal ini diketahui karena diinformasikan oleh informan yang

Cut Nyak Dhien

Page 12

bernama Teuku Leubeh. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien mendengar kematian
ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan Dien berkata:
Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah "Syahid"
yang senantiasa membakar semangat juang masyarakat Aceh.
Perpisahan yang kedua harus dialami Cut Nyak Dhien. Kali ini menimpa pada Teuku Umar,
suami keduanya. Dalam suatu serangan di Meulaboh pada 11 Februari 1899, Teuku Umar
tertembak Belanda. Dengan sabar, tawakal, serta tabah, Cut Nyak Dhien menerima kabar buruk
ini. Bahkan dihadapan putri semata wayangnya, Cut Nyak Dhien memberikan pesan: Wanita
Aceh pantang meneteskan air mata untuk seseorang yang mati syahid. (Ungkapan ini bisa
dilihat dalam dialog Film Tjoet Nja Dhien: 1988)

VI.

Perlawanan Cut Nyak Dhien Terhadap Belanda


Ribuan tentara Belanda tewas dan jutaan uang dihabiskan demi mengejar Cut Nyak

Dhien. Tokoh tokoh yang membantu perjuangan Cut Nyak Dhien diantaranya adalah Teuku Ali
Baet menantunya yang memberikan uang dan senjata kepada rombongan. Ada pula Teuku Raja
Nanta, adik Cut Nyak Dhien yang sempat berpisah dari rombongan karena kejaran Belanda, dan
akhirnya syahid di pedalaman Meulaboh. Pada saat itu pula .terjadi perlawanan oleh Sultan
Muhamammad Daud Syah dan Panglima Polim yang berjuang di daerah Pidie. Dalam
perjuangan grilyanya, pendukung setia Cut Nyak Dhien selalu menjaga siang malam dan
berpindah dari satu Dalam perjuangannya, Cut Nyak Dhien dibantu oleh para uleebalang, datukdatuk, serta penyair-penyair tempat ke tempat yang lain untuk menghindari penggerebekan yang
dilakukan Belanda yang tidak lain adalah imbas dari pelaporan para pengkhianat yang
memberitahukan dimana posisi rombongan Cut Nyak Dhien.
Akibat kematian suaminya, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di
daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.
Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 dan berisi laki-laki dan
wanita karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh, selain itu, Cut
Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga
jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Meski semangat dalam
Cut Nyak Dhien

Page 13

tubuh Dhien tetap menyala, tapi fisik Dhien tidak bisa menipu. Lambat laun fisik wanita tua ini
sampai batasnya. Dhien menderita rabun yang mengarah pada kebutaan. Tubuhnya juga mulai
terkena penyakit encok yang parah. Saat itu usianya sudah kepala lima.

Dhien juga sering menderita kelaparan di dalam hutan, sementara patroli Belanda tidak
henti-hentinya terus mengejar tempat persembunyian Dhien. Pernah suatu kali selama
berminggu-minggu Dhien dan laskarnya tidak menjumpai nasi sebagai makanan pokok dan
harus makan bonggol pisang hutan yang direbus.

Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya, termasuk salah satu pasukannya
bernama Pang Laot Ali yang melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba,
selain itu, agar Belanda mau memberinya perawatan medis dan membawa Belanda ke markas
Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.
selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kafir ini kuteruskan
bagian sumpah Cut Nyak Dien sepeninggal suaminya. Ia memimpin peperangan dari
persembunyianya di gunung-gunung.

Kehidupan Cut Nyak Dien amat sengsara. Ia tidak memiliki apaapa lagi kecuali
semangat pantang menyerah. Ia pun ditinggalkan banyak pengikutnya. Mungkin karena tidak
tega melihat penderitaan Cut Nyak Dien, Pang Laot Ali, selaku panglimanya mulai berpikir
menyerah sebagai jalan membebaskan Cut Nyak Dien dari penderitaan.
Takluk kepada kaphe ? Cis, najis, semola Allah Subhanahu Watala menjauhkan
perbuatan yang sehina itu dari diriku, ujar Cut Nyak Dien.

Melihat keadaan Cut Nyak Dhien yang semakin parah, tangan kanan Cut Nyak Dhien bernama
Pang Laot menawarkan pada Dhien untuk menyerah. Sebenarnya tawaran Pang Laot ini sematamata adalah sikap tidak tega melihat pemimpinnya harus mengalami penderitaan tersebut.
Padahal sebenarnya Dhien adalah keturunan bangsawan terpandang. Tapi saran Pang Laot
ditolak oleh Dhien. Meski demikian, tanpa sepengetahuan Dhien, Pang Laot menyusun siasat

Cut Nyak Dhien

Page 14

untuk membocorkan tempat persembuyian Cut Nyak Dhien kepada Belanda.

Karena pengejaran habis-habisan tersebut, ruang gerak rombongan Cut Nyak Dhien
tedesak, baik dari segi material senjata, bahan makanan yang tersedia, mental berjuang yang
semakin kendur, serta fisik yang mulai menurun dikarenakan berbagai faktor yang membuat Cut
Nyak Dhien menjadi sakit-sakitan dan terkadang dipapah saat melakukan perpindahan dari satu
gubuk ke gubug yang lain.
Kondisi ini membuat Pang Laot, salah seorang pengikut setia Cut Nyak Dhien
mengusulkan kepada Cut Nyak Dhien untuk menghentikan perlawanan dan menjaga
kesehatannya dalam perawatan Belanda, namun Cut Nyak Dhien meresponnya dengan
kemarahan sambil mengeluarkan perkataan: lebih baik aku mati di rimba daripada menyerah
kepada kafir Kompeni.
Namun, dengan berat hati, Pang Laot akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda dan
memberitahukan kepada Belanda di mana keberadaan Cut Nyak Dhien, dengan perundingan
kepada Jendral Van Nuuren bahwa Cut Nyak Dhien akan dirawat sebagai seorang Pahlawan dan
tidak akan dijauhkan dari masyarakat Aceh yang dicintainya. Perundingan ini disetujui oleh
jendral Van Veltman Atas kesepakatan itu, pada tanggak 23 Oktober 1905, Van Veltman
mengerahkan pasukannya sebanyak 6 brigade (120 bayonet) ke daerah Pameue. Terjadi
perlawanan dari para pengikut Cut Nyak Dhien, namun jumlah serdadu yang sangat minim
membuat pasukan Aceh yang dipimpin Panglima Habib Panjang kalah, dan sang Panglimai pun
syahid ketika hendak menyelamatkan anak buahnya.
Cut Nyak Dhien dikejar sampai ke daerah Beutong, namun sekali lagi paukan Aceh
berhasil melarikan diri dengan jumlah yang sangat sedikit untuk melindungi Cut Nyak Dhien.
Pada tanggal 7 november 1905, seorang anak kecil kurir Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap oleh
pang Laot dan dimintai keterangannya tentang keberadaan Cut Nyak Dhien. Berita itu membuat
jendral Van Veltmen langsung memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Akhirnya pencarian
pun berakhir, Cut Nyak Dhien ditemukan, namun Cut Gambang putri Cut Nyak Dhien berhasil
melarikan diri dengan lukak di dadanya. Pada saat ditangkap, Cut Nyak Dhien tidak mampu
menahan emosinya kepada Pang Laot, Cut Nyak Dhien melontarkan sumpah serapah baik
kepada Pang Laot, maupun kepada Belanda yang pada saat itu memperlihatkan sikap hormat.
Cut Nyak Dhien

Page 15

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya
kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu.
Mereka terkejut dan bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan menjadi
orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Akibat Cut Nyak Dhien memiliki
penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh,
namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia
dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Cut
Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah
dilakukan ayah dan ibunya.
Setelah ia ditangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti
rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan membuat
semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk,
akhirnya Belanda kesal, jadi ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.
Untuk beberapa saat, Cut Nyak Dhien diperlakukan sebagai seorang Pahlawan oleh
Belanda, diberika fasilitas dan pelayanan yang baik. Namun rasa simpati dari rakyat tidak pernah
hilang kepada Cut Nyak Dhien, membuat Cut Nyak Dhien sering dikunjungi oleh para
masyarakat. Keadaan ini membuat Van Daalen selaku Gubernur Belanda merasa cemas dan
mengusulkan untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang agar jauh dari rakyat Aceh.
Meski tertangkap, Belanda secara sadar telah mengakui bahwa Dhien wanita luar biasa.
Meski tenaga Dhien telah banyak berkurang tapi daya juangnya sangat luar biasa hingga lanjut
usia. Bahkan Belanda mengakui bahwa sebenarnya selama ini di Negeri Belanda sendiri belum
pernah mempunyai seorangpun pejuang pahlawan wanita yang hebat seperti Cut Nyak Dhien.

VII. Cut Nyak Dhien dalam Pengasingan


Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah
tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, "Ya Allah Ya Tuhan inikah
nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir".Cut Nyak Dhien marah
luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada LetnanVan Vureen yang memimpin operasi

Cut Nyak Dhien

Page 16

penangkapan itu sikap menentang mujahidahini masih nampak dengan mencabut rencong
hendak menikamnya.
Penempatan Cut Nyak Dhien di Kutaraja mengundang kedatangan para pengikutnya.
Karena khawatir masih bisa menggerakkan semangat perjuangan Aceh, Cut Nyak Dhien terpaksa
dijatuhi hukuman pengasingan ke Pulau Jawa, yang berrati mengingkari salah satu butir
perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.Perjuangan Cut Nyak Dhien menimbulkan rasa takjub para
pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini.
Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet
(pemimpinperlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.Aceh mengenal GrandesDames
(wanita-wanita besar) yang memegang peraxvgnnan penting dalam berbagaisektor.Menjelang
akhir hidupnya, di Sumedang, di daerah yang sabngat asing baginya, Cut Nyak Dhien masih juga
berperang dalam pertempuran lain, yakni perlawananterhadap penjajahan kebodohan. Allahu
Akbar.

VIII. Pembuangan Cut Nyak Dhien Ke Sumedang


Ada 2 Kapten Belanda yang menjabat saat perjuangan Cut Nyak Dhien, yaitu Van Heutz
dan Van Dalen. Selama Van Heutz memimpin penjajahan (1898-1904), rakyat Aceh menderita
korban sebanyak 20.600 orang. Pada tanggal 8 februari 1904 Van Dalen melakukan perjalanan
panjang selama 163 hari kepedalaman Aceh, ia disertai 10 brigade marsose. Tujuannya adalah
untuk menumpas habis perlawanan Aceh yang masih aktif di tanah Gayo (Aceh tengah dan Aceh
tenggara).
Karena pengejaran habis-habisan tersebut, ruang gerak rombongan Cut Nyak Dhien
tedesak, baik dari segi material senjata, bahan makanan yang tersedia, mental berjuang yang
semakin kendur, serta fisik yang mulai menurun dikarenakan berbagai faktor yang membuat Cut
Nyak Dhien menjadi sakit-sakitan dan terkadang dipapah saat melakukan perpindahan dari satu
gubuk ke gubug yang lain.
Kondisi ini membuat Pang Laot, salah seorang pengikut setia Cut Nyak Dhien
mengusulkan kepada Cut Nyak Dhien untuk menghentikan perlawanan dan menjaga
kesehatannya dalam perawatan Belanda, namun Cut Nyak Dhien meresponnya dengan
Cut Nyak Dhien

Page 17

kemarahan sambil mengeluarkan perkataan: lebih baik aku mati di rimba daripada menyerah
kepada kafir Kompeni.
Namun, dengan berat hati, Pang Laot akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda dan
memberitahukan kepada Belanda di mana keberadaan Cut Nyak Dhien, dengan perundingan
kepada Jendral Van Nuuren bahwa Cut Nyak Dhien akan dirawat sebagai seorang Pahlawan dan
tidak akan dijauhkan dari masyarakat Aceh yang dicintainya. Perundingan ini disetujui oleh
jendral Van Veltman Atas kesepakatan itu, pada tanggak 23 Oktober 1905, Van Veltman
mengerahkan pasukannya sebanyak 6 brigade (120 bayonet) ke daerah Pameue. Terjadi
perlawanan dari para pengikut Cut Nyak Dhien, namun jumlah serdadu yang sangat minim
membuat pasukan Aceh yang dipimpin Panglima Habib Panjang kalah, dan sang Panglimai pun
syahid ketika hendak menyelamatkan anak buahnya.
Cut Nyak Dhien dikejar sampai ke daerah Beutong, namun sekali lagi paukan Aceh
berhasil melarikan diri dengan jumlah yang sangat sedikit untuk melindungi Cut Nyak Dhien.
Pada tanggal 7 november 1905, seorang anak kecil kurir Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap oleh
pang Laot dan dimintai keterangannya tentang keberadaan Cut Nyak Dhien. Berita itu membuat
jendral Van Veltmen langsung memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Akhirnya pencarian
pun berakhir, Cut Nyak Dhien ditemukan, namun Cut Gambang putri Cut Nyak Dhien berhasil
melarikan diri dengan lukak di dadanya. Pada saat ditangkap, Cut Nyak Dhien tidak mampu
menahan emosinya kepada Pang Laot, Cut Nyak Dhien melontarkan sumpah serapah baik
kepada Pang Laot, maupun kepada Belanda yang pada saat itu memperlihatkan sikap hormat.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya
kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu.
Mereka terkejut dan bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan menjadi
orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Akibat Cut Nyak Dhien memiliki
penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh,
namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia
dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Cut
Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah
dilakukan ayah dan ibunya.

Cut Nyak Dhien

Page 18

Setelah ia ditangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti rabun dan
encok berangsur-angsur sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan membuat semangat
perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya
Belanda kesal, jadi ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.
Untuk beberapa saat, Cut Nyak Dhien diperlakukan sebagai seorang Pahlawan oleh
Belanda, diberika fasilitas dan pelayanan yang baik. Namun rasa simpati dari rakyat tidak pernah
hilang kepada Cut Nyak Dhie, membuat Cut Nyak Dhien sering dikunjungi oleh para
masyarakat. Keadaan ini membuat Van Daalen selaku Gubernur Belanda merasa cemas dan
mengusulkan untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang agar jauh dari rakyat Aceh.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian
bupati Suriaatmaja, selain itu, tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian pada Cut
Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Sampai
kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak Dhien yang mereka sebut "Ibu
Perbu" (Ratu). Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak
Dhien yang tidak dapat bicara bahasanya merupakan sarjana Islam, sehingga ia disebut Ibu
Perbu. Ia mengajar Al-Quran di Sumedang sampai kematiannya pada tanggal 8 November 1908.
Saat Sumedang sudah beralih generasi dan gelar Ibu Perbu telah hilang pada tahun 1960-an, dari
keterangan dari pemerintah Belanda, diketahui bahwa perempuan tersebut merupakan pahlawan
dari Aceh yang diasingkan berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).

IX.

Wafatnya Cut Nyak Dhien


Setelah ia dipindah ke Sumedang, pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien

meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pada tahun 1960, orang lokal
Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu Perbu", telah meninggal, namun, informasi
datang dari surat resmi pemerintah Belanda pada "Nederland Indische", ditulis oleh Kolonial
Verslag, bahwa "Ibu Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di
Sumedang, Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke
Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu Jihad" dan diakui
Cut Nyak Dhien

Page 19

oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106
Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[3]
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang
ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan, dan
pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua
kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar
acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran, selain itu, orang Aceh dari
Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui
monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang
ditandatangani Ibrahim Hasan, Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Sumedang tanggal 7
Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beson
dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat
banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama besar dari Sumedang yang
pernah dibuang ke Ambon yang bernama H. Sanusi, dan juga keluarga H. Sanusi merupakan
pemilik tanah kompleks makam Cut Nyak Dhien.
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surat
At Taubah dan Al Fajar serta hikayat cerita Aceh.
Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik
Indonesia sehingga mengurangi jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien, selain itu, daerah
makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat, bahkan tidak ada yang tahu letak makam Cut
Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh.
Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah
Sumedang tidak memberikan dana.

X.

Kesimpulan

Cut Nyak Dhien

Page 20

Cut Nyak Dhien adalah salah satu pejuang wanita dari tanah rencong atau Aceh yang
memperjuangkan Aceh dari serbuan Belanda. Cut Nyak Dhien adalah wanita yang taat beragama
karena sejak kecil ia sudah dididik oleh keluargannya yang memang keturunan bangsawan. Pada
tahun 1873 Belanda menyerang Aceh dan dimulailah perang Aceh I dengan Aceh dipimpin oleh
Sultan Machmud melawan Belanda yang dipimpin oleh Koler. Pada saat itu kesultanan Aceh
memenangkan peperangan dengan tewasnya Koler. Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar
Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena Teuku Umar
mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya
menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Banyak perjuangan yang
dilakukan Cut Nyak Dhien bersama suaminya Teuku Umar dalam memerangi Belanda. Ketika
Teuku Umar meninggal, Cut Nyak Dhien pun memimpin pasukan Aceh melawan Belanda.
Belanda pun dibuat pusing oleh Cut Nyak Dhien sehingga untuk mengejar Cut Nyak Dhien
Belanda banyak mengeluarkan uang dan tenaga sehingga banyak pasukannya yang tewas.
Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru
ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pada
tahun 1960, orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu Perbu", telah
meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda pada "Nederland
Indische", ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa "Ibu Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi
Aceh telah dibuang di Sumedang, Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh
yang dikirim ke Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu
Jihad" dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK
Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

XI.

Karya

Cut Nyak Dhien merupakan sosok wanita yang sanggup memimpin sebuah laskar perang. Dia
sanggup mengemban tugas yang ditinggalkan sang suami, Teuku Umar. Dhien juga sosok yang
berpengaruh kuat atas sepakterjang Teuku Umar. Seperti dikatakan Jenderal J.B. van Heutz,
bahwa Cut Nyak Dhien adalah otak dari Teuku Umar yang terkenal licin oleh petinggi militer
Belanda di Aceh. (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 26).

Cut Nyak Dhien

Page 21

Sosok Dhien hingga kini dijadikan cerminan bagi wanita, terutama Aceh. Sosok wanita Aceh
yang dulu sangat dihormati dan dikagumi oleh Zentgraaff, dibuktikan dengan sempurna oleh
Dhien sampai akhir hanyatnya.

XII. Penghargaan
Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan melalui SK Presiden RI No.106
Tahun 1946 pada 2 mei 1964 . Nama Cut Nyak Dien diabadikan sebagai nama salah satu kapal
perang Angkatan Laut Indonesia, KRI Cut Nyak Dhien. Mata uang rupiah yang bernilai sebesar
Rp. 10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi
Tjoet Nja' Djien . Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet
Nja'

Dhien pada

tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros

Djarot dan

dibintangi Christine

Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo
sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra
sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan diFestival Film
Cannes (tahun 1989).

Biografinya juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah
anak-anak Ananda. Prangko Seri Pahlawan Nasional Cut Nyak Dhien diterbitkan dalam rangka
mengenang 100 tahun meninggalnya pejuang wanita Aceh yang gagah berani tersebut pada 6
November 1908.

Nama Cut Nyak Dhien juga diabadikan sebagai bandar udara di Nagan Raya, Nanggroe Aceh
Darussalam dengan nama Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya. Rumah Cut Nyak Dhien
di Lampisang dipugar pada 1981 dan ditetapkan sebagai bangunan bersejarah. Selain itu rumah
tempat Cut Nyak Dhien diasingkan di Desa Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan
Sumedang, Jawa Barat, kini dijadikan museum. Sebuah masjid Aceh kecil didirikan di dekat
makamnya untuk mengenangnya. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota
di

Cut Nyak Dhien

Indonesia.

Page 22

XIII. Saran
Cut Nyak Dhien merupakan salah satu tokoh pahlawan wanita Aceh yang rela
mengorbankan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan Aceh. Setelah membaca tulisan ini,
penulis mengharapkan semangat juang Cut Nyak Dhien dapat kita lanjutkan. Semangat juang
tersebut dapat dilanjutkan dengan menjaga harkat dan martabat perempuan Aceh agar segala
perjuangan itu tidak sia-sia.

Cut Nyak Dhien

Page 23

Anda mungkin juga menyukai