Anda di halaman 1dari 10

Kemoterapi Neoajuvan Densitas Dosis Tinggi pada

Kanker Serviks Bulky IB


Helena Robova, Lukas Rob, Michael J. Halaska, Marek Pluta, Petr Skapa, Pavel
Strnad, Jiri Lisy, Matej Komar

Abstrak
Tujuan. Penelitian prospektif ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat respon,
ketahanan hidup, dan toksisitas dari kemoterapi neoajuvan densitas dosis tinggi/
high-dose density neoadjuvant chemotherapy (NAC) pada kanker serviks bulky
IB.
Material dan Metode. Antara bulan Januari 1998 dan Desember 2009, 154
wanita diikutsertakan dalam penelitian ini. Tiga pasien dieksklusikan dari
penelitian. Dari 151 wanita, 119 di antaranya mengalami kanker serviks stadium
IB2 (78,8%) dan 32 memiliki kanker stadium IB1 (21,2%) yang menginfiltrasi
seluruh stroma serviks. Wanita-wanita tersebut mendapatkan terapi cisplatin 75
mg/m2 dan ifosfamide 2g/m2 3-4 siklus pada kasus kanker sel skuamous atau
cisplatin 75 mg/m2 dan doxorubicin 35 mg/m2 pada adenokarsinoma setiap 10 hari
dan kemudian menjalani histerektomi radikal tipe III. Pasien dengan penyakit
yang tidak dapat direseksi menjalani kemoradioterapi.
Hasil. Tingkat respon keseluruhan (reduksi volume tumor lebih dari 50%)
didapatkan sebesar 78,8%. Reduksi volume tumor kurang dari 50% didapatkan
pada 15,2% pasien. Perkembanganp tumor selama kemoterapi terjadi pada 9
pasien (6,0%). Terdapat limfonodi positif pada 26 pasien (18,3%) dari 142 pasien
yang menjalani operasi. Sebanyak 38 wanita menjalani radioterapi (26,7%).
Terdapat 26 kejadian rekurensi (17,2%). Setelah operasi 20 dari 142 wanita
(14,1%) mengalami rekurensi dan setelah redioterapi primer 6 dari 9 wanita
(66,7%) mengalami rekurensi. Sebanyak 25 dari 151 wanita meninggal akibat

penyakitnya (16,5%). Pada waktu penelitian, operasi dilaksanakan pada 118


wanita 5 tahun yang lalu atau lebih, dan 19 di antaranya meninggal akibat
penyakitnya. Ketahanan hidup lima tahun didapatkan sebesar 83,6%. Neutropenia
derajat 3-4 ditemukan hanya pada 7,3% wanita, dan trombositopenia derajat 3-4
ditemukan pada 1,3% pasien.
Kesimpulan. NAC densitas dosis tinggi tampaknya dapat diterima sebagai terapi
kanker serviks bulky IB dan toksisitasnya masih dapat diterima. Radioterapi
ajuvan digunakan hanya pada 26,7% pasien.

Pendahuluan
Sistem penetapan derajat FIGO untuk kanker serviks membagi stadium IB
ke dalam stadium IB1 dan IB2 berdasarkan ukuran tumor 4 cm. Ukuran tumor
telah diakui sebagai faktor prognostik penting untuk didapatkannya hasil yang
buruk pada kanker serviks derajat I. Pembagian berdasarkan ukuran tumor ini
menunjukkan luasnya cakupan tingkat rekurensi dan akibat dari penyakit. Tingkat
ketahanan hidup secara keseluruhan berkisar dari 65% hingga 80% pada pasien
dengan kanker serviks IB2. Status nodul, invasi ruang limfovaskular, dan
keterlibatan perametrium merupakan faktor prognostik yang paling penting.
Presentase limfonodi positf meningkat seiring meningkatnya invasi sel kanker ke
stroma. Tumor IB2 dengan infiltrasi kurang dari satu setengan stroma serviks
memberikan prognosis yang lebih baik dibanding tumor IB1 yang menginfiltrasi
seluruh stroma. Heterogenitas kelompok pasien ini menjadi dasar dari modalitas
terapi yang beragam mulai dari histerektomi radikal dengan atau tanpa radioterapi
ajuvan, radioterapi primer atau kemoradioterapi yang bersamaan. Radioterapi dan
kemoradioterapi

dengan

komplikasi

terkait

terapi

jangka

panjangnya

menimbulkan masalah serius, khususnya pada wanita muda yang aktif secara
seksual. Angka harapan hidup mereka tinggi, oleh karenanya kualitas hidup
adalah pertimbangan penting dalam masalah ketahanan hidup mereka. Kemoterapi
neoajuvan (NAC) dapat mereduksi tumor dan keterlibatan (positivitas) limfonodi

dan oleh karenanya meminimalisasi tindakan radioterapi. Penelitian ini


merupakan penelitian prospektif mengenai kemoterapi densitas dosis tinggi pada
kanker serviks bulky derajat IB. Tujuan akhir penelitian prospektif ini meliputi
mempelajari tingkat respon, ketahanan hidup, serta toksisitas terkait kemoterapi.
Material dan Metode
Pasien dengan kanker serviks derajat IB2 yang secara histologi berupa
karsinoma sel skuamous, adenokarsinoma, atau karsinoma adenoskuamosa yang
tidak tertangani sebelumnya, yang menginfiltrasi lebih dari dua pertiga stroma
serviks atau kanker serviks stadium IB yang menginfiltrasi seluruh stroma (tumor
yang meluas ke fasia periservikal) dan lebih besar dari 3 cm dapat dimasukkan ke
dalam penelitian prospektif ini. Semua wanita menjalani pemeriksaan MRI dan
USG untuk mengevaluasi ukuran dan volume tumor. Status limfonodi tidak
dijadikan sebagai kriteria eksklusi sehingga limfonodi tidak dievaluasi sebelum
NAC. Selain itu, pemeriksaan radiologi toraks dan sistoskopi dilakukan pada
seluruh pasien. Status performans 0-2 juga ditetapkan. Pasien tidak boleh
memiliki keganasan lain dalam riwayat kesehatannya. Penelitian ini disetujui oleh
komite etis lokal. Informed consent ditandatangani oleh semua pasien sebelum
masuk dalam penelitian. Wanita yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
menandatangani informed consent diindikasikan untuk menjalani kemoradioterapi
standar. Antara bulan Januari 1998 dan Desember 2009, 154 wanita diikutsertakan
dalam penelitian. Tiga pasien dieksklusikan dari penelitian (dua mengundurkan
diri dan satu terdiagnosis kanker pancreas). Rerata usia adalah 45,7 tahun
(berkisar 20-70 tahun). Dari 151 wanita, 119 memiliki kanker serviks derajat IB2
(78,8%) dan 32 memiliki kanker serviks stadium IB1 (21,2%) yang menginfiltrasi
seluruh stroma serviks dan lebih besar dari 3 cm. Semua wanita menjalani tiga
siklus NAC dengan interval antara 10 dan 14 hari. Kombinasi cisplatin (75mg/m 2)
dan ifosfamide (2g/m2, dosis total maksimal 3g) digunakan pada kasus kanker
serviks sel skuamous dan cisplatin (75mg/m2) plus doxorubicine (35mg/m2) pada
semua adenokarsinoma. Pemeriksaan darah lengkap dan biokimia darah (klirens
kreatinin, fungsi liver, dan iontogram) dilakukan sebelum setiap siklus kemoterapi

dan sebelum operasi). Semua pasien dengan Semua pasien yang memberikan
respon terhadap terapi atau dengan penyakit yang stabil menjalani histerektomi
radikal tipe III (tipe C2 berdasarkan klasifikasi baru histerektomi radikal) dengan
limfadenektomi pelvis dan paraaorta. Operasi dilakukan oleh empat dokter bedah
(HR, LR, MS, dan PS). Kemoradioterapi standar diindikasikan pada wanita
dengan perkembangan kanker selama kemoterapi. Hanya pada wanita tanpa
penyakit residual dan hasil negatif tumor marker SCC sebelum terapi saja terapi
ajuvan tidak diindikasikan. Radioterapi ajuvan dilakukan pada semua kasus
dengan limfonodi positif dan pada kasus yang tidak memberikan respon terapi.
Pada semua kasus lain kemoterapi ajuvan diberikan (dengan rejimen yang sama
dengan NAC tetapi menggunakan interval 21 hari). Efek samping kemoterapi
diperingkat menggunakan klasifikasi WHO. Semua spesimen histopatologis
dievaluasi oleh seorang ahli patologi yang berpengalaman dalam bidang
ginekologi.
Analisis statistik: Uji chi-square dan uji Fischers digunakan untuk
variabel kategorikal pada kedua kelompok. Rasio risiko (RR) dan rasio
kecenderungan/ odds ratio (OR) dengan tingkat kepercayaan/ confidence interval
(CI) 95% dan nilai P dihitung menggunakan tabel 2x2 dengan software GraphPad
InStat (GraphPad Sowtfare, San Diego, California). Nilai estimasi Kaplan-Meier
mengenai fungsi ketahanan hidup dengan menggunakan program R (v.2.13.1). Uji
mantel-Haenszel digunakan untuk membandingkan kurva ketahanan hidup.
Ketahanan hidup terhadap penyakit, ketahanan hidup secara keseluruhan, dan
ketahanan hidup tanpa disertai perkembangan penyakit didasarkan pada tanggal
siklus pertama dilakukannya kemoterapi.
Hasil
Informed consent tertulis ditandatangani oleh 154 pasien, dimana 3 wanita
diekslusikan dari penelitian. Sebanyak 16 pasien (10,6%) terdiagnosis
adenokarsinoma dan 133 (88,1%) dengan kanser sel skuamous, dan dua wanita
(1,8%) mengalami kanker adenoskuamosa. Pada sembilan wanita (6,0%), tumor

berkembang ke dalam jaringan parametrium selama masa kemoterapi. Kesembilan


pasien penjalani kemoradioterapi primer (teleterapi, brakhiterapi, dan kemoterapi
dengan pemberian cisplatin 40mg/m2 mingguan). Operasi radikal dilakukan pada
142 pasien (94,0%). Rerata interval antara hari pertama siklus NAC dan operasi
radikal adalah 44,5 hari (berkisar antara 33-73 hari). Tabel 1 menunjukkan
toksisitas setelah 456 siklus NAC. Toksisitas hematologi merupakan yang paling
sering terjadi, tetapi anemia derajat 3-4 tidak terdiagnosis. Neutropenia derajat 3-4
ditemukan hanya pada 11 (7,3% wanita), trombositopenia derajat 3-4 ditemukan
pada 2 wanita (1,3%). Toksisitas hematologis derajat 3-4 terjadi pada semua kasus
setelah kemoterapi ke-tiga dan oleh karenanya tidak perlu dilakukan penundaan
kemoterapi. Neutropenia febris tidak terdiagnosis. Enselofati berat yang diinduksi
oleh ifosfamide terdiagnosis pada dua wanita. Tidak ada wanita yang mengalami
alopesia derajat 3-4. Dalam 6 minggu setelah operasi, dua pasien mengalami
limfositosis inflamatorik yang diterapi dengan antibiotic. Satu kasus berupa
toksisitas renal lambat (satu tahun setelah kemoterapi didapatkan klirens kreatinin
30 ml/menit) dan satu kasus ototoksisitas terdiagnosis.
Respon lengkap (tidak ada penyakit residu setelah NAC) pada
pemeriksaan histopatologi definitive didapatkan pada 19 kasus (12,6%) dan
penurunan volume tumor lebih dari 50% pada 100 kasus (66,2%). Tingkat respon
secara keseluruhan adalah 78,8%. Penurunan volume tumor kurang dari 50%
didapatkan pada 23 wanita (15,2%). Perkembangan tumor selama masa
kemoterapi terjadi pada sembilan pasien (6,0%). Tidak didapatkan karakteristik
tumor umum pada wanita-wanita tersebut. Terdapat imfonodi positif pada 26
pasien (18,3%) dari 142 pasien yang menjalani operasi. Dua atau lebih nodus
positif didapatkan pada 10 wanita (7,2%).
Sebanyak 38 pasien (2,7%) menjalani radioterapi ajuvan setelah operasi.
Kemoterapi ajuvan dilakukan pada 84 kasus (59,2%). Dua puluh wanita (14,1%)
tidak menjalani terapi ajuvan apapun. Efek samping lambat setelah operasi dan
radioterapi meliputi limphedema pada 13 wanita (9,2%), stenosis ureter pada 2
(1,4%) (keduanya ditatalaksana dengan insersi stent uretra selama 6 bulan dan

tidak diperlukan operasi) dan inkontinesia urin akibat tekanan pada 2 pasien
(1,4%). Inkontinensia urin akibat tekanan tertangani secara sempurna dengan
menggunakan transobturator tape (TOT). Inkontinensia urgensi terdiagnosis pada
4 wanita (2,8%) lebih dari dua tahun setelah menyelesaikan terapi.
Rerata masa follow up adalah 88,5 bulan (berkisar antara 29-154 bulan).
Terdapat 26 rekurensi (tingkat rekurensi 17,2%). Dua puluh dari 142 wanita
(14,1%) yang menjalani operasi dan 6 dari 9 wanita (66,7%) setelah
kemoradioterapi (pasien yang operasinya dibatalkan) mengalami rekurensi.
Rincian rekurensi ditunjukkan pada tabel 2. Dua puluh lima dari 151 wanita
meninggal karen penyakitnya (mortalitas terkait penyakit 16,5%). Mortalitas pada
kelompok pasien yang menjalani operasi adalah 13,3% (19 dari 142). Dari 26
pasien dengan limfonodi positif, 9 diantaranya meninggal (34,5%). Dari 116
pasien dengan limfonodi negatif, terdapat 11 kasus rekurensi penyakit dan 10
kematian (8,6%). Perbedaan mortalitas antara pasien dengan limfonodi positif dan
negatif secara statistik signifikan, yaitu P=0,0012, RR=4,176 (gambar 1 dan
gambar 2). Tidak terdapat perbedaan signifikan pada mortalitas antara wanita
dengan tumor bulky IB1 dan wanita dengan tumor IB2 (15,6% dibanding 12,7%),
P=0,7682, RR=1,228. Mortalitas pada wanita yang memberikan respon baik
terhadap kemoterapi (lebih dari 50%) adalah 10,9% (13 pasien dari 119
meninggal). Mortalitas pada wanita dengan regresi yang kurang dari 50% atau
dengan perkembangan tumor setelah dilakukannya kemoterapi adalah 37,5% (12
dar 32 wanita meninggal). Perbedaanya signifikan yaitu P=0,0009, RR=4,892
(gambar 3 dan gambar 4). Respon yang baik setelah kemoterapi (lebih dari 50%)
didapatkan pada 51 dari 61 wanita dengan tumor derajat 1 dan 2 (83,6%) dan pada
56 dari 72 wanita dengan tumor derajat 3 (77,8%). Perbedaanya tidak signifikan,
yaitu P=0,5113. Mortalitas pada wanita dengan tumor derajat 1 dan 2 adalah 9,8%
(6 dari 61 wanita meninggal). Mortalitas pada wanita dengan tumor derajat 3
adalah 20,8% (15 dari 72 wanita meninggal). Perbedaanya tidak signifikasn secara
statistik, yaitu P=0,0984, tetapi terdapat trend prognosis yang lebih baik pada
tumor derajat 1 dan 2.

Pada saat penelitian, riwayat operasi yang telah dilakukan lebih dari 5
tahun sebelumnya atau lebih didapatkan pada 118 wanita. Sebanyak 19 pasien
meninggal akibat penyakitnya (16,1%), satu meninggal akibat infark miokard, dan
satu meninggal karena kanker paru. Tingkat ketahanan hidup lima tahun yang
spesifik terhadap penyakit adalah 83,6% dan tingkat ketahanan hidup secara
keseluruhan adalah 82,2%.
Pembahasan
Pasien dengan kanker serviks bulky stadium IB memiliki tantangan
terapeutik yang serius. Menangani pasien-pasien ini tidak memberikan banyak
masalah. Yang menjadi masalah adalah bagaimana memberikan terapi pada
mereka dengan efek samping minimal, terutama pada wanita usia muda.
Tatalaksana berupa operasi saja tanpa terapi ajuvan belum dapat menunjukkan
hasil terapi yang baik, dimana daya tahan hidup 5 tahunnya berkisar antara 50
hingga 70%. Ketahanan hidup setelah operasi radikal primer dengan radioterapi
ajuvan lebih baik (sekitar 80%), tetapi komplikasi terkait terapi cukup tinggi.
Histerektomi radikal tipe C2 dan limfadenektomi pelvis dan paraaorta rendah
secara lengkap biasanya dilakukan pada tumor bulky ini dan jika radioterapi
ajuvan standar dilakukan setelah operasi ini, tingkat komplikasi yang muncul
lambat dapat mencapai 50%. Efek samping lambat yang paling sering terjadi
adalah limfedema dan kista limfa, obstruksi usus, komplikasi ureter, khususnya
disfungsi seksual. Kemoradioterapi memberikan kemanfaatan terhadap ketahanan
hidup yang lebih baik pada pasien dengan kanker serviks bulky stadium IB
dibanding terapi radiasi saja. Hasil dari kemoradioterapi yang dilakukan
bersamaan dapat diperbandingkan dengan opersi radikal dengan radioterapi
ajuvan. Efek samping lambat tidak sering terjadi, tetapi pada pasien yang lebih
muda masalah tersebut dapat menjadi tantangan serius. Disfungsi seksual
(dispareunia, contact bleeding, kekeringan, kegagalan ovarium) adalah komplikasi
lambat yang sering terjadi setelah radiasi pelvis, dimana kualitas hidup wanita
muda menurun secara signifikan. Bahkan nekrosis vagina dapat terjadi setelah
kemoradioterapi pada 35% pasien. Osteoporosis dengan fraktur patologis pada

tulang pelvis dan malignansi sekunder di area radiasi (ovarium, usus, badan
uterus) terjadi pada wanita muda dengan estiomasi masa ketahjanan hidup yang
panjang setelah terapi. Kemoterapi neoajuvan sebelum operasi radikal, yang
dilaksanakan oleh ahli onkoginekologi berpengalaman, dapat menjadi pilihan
yang cukup baik untuk kemoradioterapi.
Gagasan pelaksanaan kemoterapi neoajuvan sebelum operasi radikal pada
kanker serviks telah muncul pada dua penelitian awal yang dipublikasikan pada
sekitar tahun 1980an. Ada dua penelitian terandomisasi yang membandingkan
NAC yang diikuti operasi radikal peimer dengan operasi radikal primer dengan
atau tanpa radioterapi ajuvan. Pertama: Saidi et al. melaporkan daya tahan hidup 9
tahun yang lebih baik pada kelompok NAC dibanding kelompok kontrol (80%
dibandingkan 61%). Penelitian tersebut tidak berfokus pada kualitas hidup karena
radioterapi ajuvan diberikan pada kedua kelompok perlakuan. Kedua: Penelitian
oelh The Gynecologic and Oncology Group (GOG) dihentikan lebih awal karena
terjadinya tingkat rekurensi yang tinggi pada kedua kelompok perlakuan. Daya
tahan hidup secara keseluruhan serupa di kedua kelompok perlakuan (63,3
dibanding 63,4%). Penelitian GOG menggunakan kemoterapi ganda (cisplatin dan
vincristine) dengan interval 10 hari. Respon NAC tidak memuaskan (jumlah
nodus positif, keterlibatan parametrium, dan margin operasi yang positif). Dosis
cisplatin pada penelitian ini rendah yaitu 50 mg/m2 dan vincristine sebagai dosis
tunggal tidak bekerja dengan baik pada kanker serviks.
Benedetti-Panici
membandingkan NAC

melakukan

penelitian

terandomisasi

yang

yang diikuti operasi radikal dengan radioterapi

konvensional. Daya tahan hidup lima tahun secara statistik lebih baik pada
kelompok NAC dibanding kontrol pada stadium IB2 (68,9% dibanding 50,7%).
Radioterapi yang digunakan tidak sesuai dengan radioterapi standar. Tidak ada
penelitian terandomisasi yang membandingkan NAC yang diilkuti operasi radikal
dengan kemoradioterapi. Kita harus menunggu penelitain EORTC yang
membandingkan kemoradioterapi dengan NAC yang diikuti dengan operasi
radikal, tetapi masalahnya adalah interval antara siklus lebih dari 14 hari.

Kemoterapi ajuvan dapat menurunkan baik volume tumor dan nilai positif
limfonodi dan akan menghasilkan penurunan faktor risiko yang menjadi indikasi
radioterapi ajuvan. Penurunan volume tumor menjadikan operasi lebih mudah
dilakukan, khususnya reseksi parametrium, dan oleh karenanya penurunan jumlah
komplikasi dapat diharapkan. Dalam penelitian prospektif kami respon
kemoterapi lebih dari 50% volume tumor didapatkan sebesar 78,8% dan nodus
positif hanya ditemukan pada 18,3% kasus. Jumlah nodus positif didapatkan pada
setengah dari yang didapatkan pada pasien tanpa NAC. Nilai positif limfonodi
pada kasus tumor identik pada penelitian retrospektif kami (dari tahun 1988
hingga tahun 1998) didapatkan 36,2%. Radioterapi ajuvan dilakukan hanya pada
26,7% pasien. Jika operasi dilakukan tanpa NAC, semua pasien kami akan
mendapatkan radioterapi ajuvan berdasarkan GOG kriteria. Ketahanan secara
keseluruhan setelah prosedur NAC pada pasien dengan kanker serviks bulky
stadium IB tampaknya dapat diperbandingkan dengan modalita terapi lainnya
(operasi dengan radioterapi ajuvan atau kemoradioterapi) dan lebih baik
dibandingkan radioterapi saja (perbedaan sekitar 14%). Daya tahan hidup 5 tahun
pada kelompok pasien setelah pemberian NAC yang diikuti dengan histerektomi
radikal didapatkan 83,6%. Hasil ini sangat baik dengan mempertimbangkan
kelompok pasien dengan tumor IB1 dan IB2 (semua wanita dengan kanker IB2
yang menginfiltrasi kurang dari dua pertiga stroma serviks dieksklusikan dari
penelitian ini).
Kemoterapi densitas dosis tinggi digunakan dalan penelitian prospektif
kami. Penelitian meta analisis menunjukkan bahwa siklus yang lebih pendek yang
dikombinasikan dengan intensitas dosis lebih tinggi cendenrung memberikan
kemanfaatan dalam kemoterapi neoajuvan. Interval antara kemoterapi tidak boleh
melebihi 14 hari dan dosis cisplatin harus lebih dari 25mg/m2 setiap minggu.
Kombinasi dua obat (cisplatin 75 mg/m2 dan ifosfamide 2mg/m2) digunakan
dalam protokol kami. Dosis ifosfamide yang lebih rendah menurunkan
hematoksisitas dan ensefalopati. Cisplatin dan ifosfamide merupakan obat yang
paling efektif dalam monoterapi pada pasien kanker serviks. Kombinasi tiga obat

yang terdiri dari paclitaxel, ifosfamide, dan cisplatin (TIP) saat ini merupakan
yang paling sering digunakan pada pasien kanker serviks. Terdapat respon yang
lebih lengkap pada kanker serviks stadium awal, tetapi interval antara siklus
berkisar dari 21 hingga 28 hari. Tingkat respon secara keseluruhan dari TIP sama
dengan kelompok dalam penelitian kami (87% dibanding 78,8%). Interval antar
siklus TIP memanjangkan interval antara inisiasi kemoterapi dan operasi serta
dapat menyebabkan perubahan jaringan dan operasi yang lebih sulit (peningkatan
komplikasi seperti kehilangan darah). Interval rata-rata antara hari pertama siklus
pertama NAC dan operasi adalah 44,5 hari dalam kelompok penelitian ini. Hal ini
tidak saja penting untuk operasi tetapi juga dari aspek kualitas hidup (aspek
psikologis). Toksisitas kemoterapi TIP lebih tinggi dibandingkan kemoterapi
dengan kombinasi dua obat. Pada kelompok penelitian kami, toksisitas hematologi
derajat 3-4 terjadi hanya pada 7,3% pasien dibandingkan 76,4% toksisitas
hematologi derajat 3-4 pada regimen TIP.
Berdasarkan pengetahuan kami, tidak ada penelitian terandomisasi yang
membandingkan kemoterapi neoajuvan yang diikuti histerektomi radikal
dibanding kemoradioterapi. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian prospektif
dan meta analisis, kemoterapi neoajuvan yang diikuti dengan histerektomi radikal
merupakan alternatif yang valid untuk kemoradioterapi pada pasien kanker serviks
bulky stadium IB. Kombinasi ganda berupa cisplatin dan ifosfamide yang
digunakan dalam regimen densitas dosis tinggi merupakan kombinasi yang dapat
dijadikan pilihan dengan toksisitas minimal, menawarkan tingkat respon yang
baik dan menghasilkan daya tahan hidup 5 tahun yang sangat baik. Namun tentu
saja kita perlu menunggu hasil dari penelitian EORTC. Kemoterapi NAC
tampaknya merupakan metode terapi eksperimental yang dapat dilakukan sebelum
dilakukannya operasi pada tumor berukuran lebih dari 2 cm yang memberikan
risiko pada fertilitas. Proliferasi, apoptosis, dan keratinisasi dapat mempengaruhi
respon terhadap kemoterapi neoajuvan. Fakta ini akan dijadikan pertimbangan
dalam penelitian di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai