Anda di halaman 1dari 36

Adverse Drug Reactions ( ADRs)

Kelompok 6 :
1. Anida Nadiyah I 6. Dewi Muspida
2. Annisa 7. Ega Junita S
3. Annisa syifa 8. Giva Alvianie P
4. Assyifa Fitriani p 9. Hasri Lestari
5. Desy Mulia I 10. Linda Pratiwi
ADRs?
Menurut World Health Organization (WHO)Adverse
Drug Reactions
adalah setiap efek yang tidak diinginkan dari suatu
obat yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk
profilaksis, diagnosis maupun
terapi (WHO, 1972)
Untuk memantau efek samping suatu obat, WHO
membuat form kartu
kuning yang didalamnya mencakup informasi tentang
pasien, efek samping yang
dialami, obat yang dicurigai dapat menimbulkan efek
samping (UMC, 2006).
Klasifikasi Adverse Drug Reactions

a. Tipe A (Augmented)


Reaksi tipe A tergantung dengan dosis, terkait dengan aksi farmakologis obat,
reaksi yang umum terjadi, angka morbititas
yang tinggi dan angka kematiannya rendah
contoh : - perdarahan saat menggunakan warfarin antikoagulan
- mual dari digoxin
Tipe B (Bizarre)
Reaksi tipe B mempunyai sifat tidak tergantung dengan dosis, angka
kematian dan angka morbiditas yang tinggi, tidak terkait dengan aksi
farmakologis obat.
Tipe C (Chronic)
Tipe C angka kejadian luar biasa, terkait dengan dosis kumulatif,
membutuhkan waktu jangka panjang
Tipe D ( Delayed)
Dengan melihat angka kejadian yang luar biasa, berhubungan
dengan dosis dan dapat dilihat dari kontak pasien dengan obat
yang lama atau paparan pada saat kritis.
Tipe E (End of use)
mempunyai angka kejadian yang luar biasa,
reaksi terjadi segera setelah penarikan obat
Tipe F (Failure of therapy)
mempunyai ciri-ciri angka kejadian umum, mungkin
berhubungan dengan dosis dan sering disebabkan oleh interaksi
obat.
penilaian Adverse Drug Reactions (ADRs) dibagi menjadi 3 fase :
Fase 1
ADRs didefinisikan sebagai reaksi obat yang berbahaya, yang tidak diinginkan setelah dosis yang
diberikan pada manusia, baik untuk terapi, profilaksis, maupun
diagnosis.
Fase 2
Meliputi pengamatan pada data yang diperoleh dan menganalisisnya menggunakan skala
probabilitas ADRs.
Fase 3
Untuk menentukan apakah ada
perbaikan dalam kehandalan dalam fase 2
Kasus – kasus ADRS
Kasus 1
“Evaluasi Reaksi Obat Merugikan pada Pasien
Kemoterapi Kanker Payudara di Salah Satu Rumah Sakit
di Bandung”

ROM yang paling banyak terjadi adalah alopesia sebesar 81%.


ROM yang sering terjadi pada penggunaan kemoterapi diantaranya alopesia, mual
dan muntah, myelosupresi, sistitis hemoragis, mukositis, gangguan fungsi ginjal,
toksisitas kardiak, reaksi hipersensitivitas, gangguan keseimbangan elektrolit, dan
trombosis vena.
Bahan dan Metode
BAHAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat
konkuren dengan kriteria inklusi subjek pada penelitian ini adalah wanita
dewasa yang didiagnosa menderita kanker payudara dan sedang
menjalani kemoterapi di salah satu rumah sakit di Bandung dalam periode
Desember 2012 – Maret 2013. METODE. Evaluasi meliputi penentuan
ketepatan dosis, penilaian hubungan kausalitas antara ROM dan agen
kemoterapi dengan menggunakan Algoritme Naranjo dan kriteria WHO,
serta penilaian ketercegahan ROM dengan menggunakan kriteria
Shumock-Thornton.
Hasil Dan Pembahasan
Analisis Kuantitatif Pasien
Penelitian ini melibatkan 73 pasien wanita dewasa yang didiagnosis menderita
kanker payudara dan sedang menjalankan kemoterapi serta telah melalui
kemoterapi pertama. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 1), terlihat bahwa
persentase tertinggi pasien wanita penderita kanker payudara berasal dari
kelompok usia 40-49 tahun yaitu sebesar 38,4% dan terendah berasal dari
kelompok lanjut usia yaitu 71 tahun yaitu sebesar 2,7% dengan rata-rata usia
pasien adalah 48 tahun. Usia sendiri merupakan suatu faktor yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara jika seorang wanita memiliki
faktor resiko yang lain seperti riwayat keluarga yang kuat, penggunaan
kontrasepsi oral atau injeksi, serta usia reproduksi yang panjang
Tabel 1. Distribusi Usia Pasien
Kemoterapi

Usia (tahun) ∑ %

23-27 3 4,1
31-39 12 16,4
40-49 28 38,4
50-59 20 27,4
60-65 8 11
71 2 2,7
Total 73 100 Keterangan :
Rata-rata 48
Σ = Jumlah pasien
kemoterapi, % =
persentase jumlah pasien
kemoterapi dari seluruh
pasien kemoterapi yang
diwawancarai
terjadinya kanker payudara pada pasien. Sebanyak 14 pasien tercatat
menggunakan kontrasepsi oral dan atau injeksi
Beberapa faktor resiko tersebut berkaitan dengan paparan hormon
estrogen dan progestin yang dapat meningkatkan sensitivitas
Diagnosis Pasien. Sebesar 90% pasien didiagnosis menderita kanker
payudara jenis invasive ductal carcinoma mammae (IDCM) dengan
diagnosis untuk IDCM stadium III menempati jumlah tertinggi yaitu 43,8
% dan 41,1 % untuk stadium II.
Tabel 2. Jenis diagnosis kanker payudara
pasien kemoterapi.

Diagnosis pasien ∑ %
Invasive ductal carcinoma mammae stadium I 1 1,4
Invasive ductal carcinoma mammae stadium II 30 41,1
Invasive ductal carcinoma mammae stadium III 32 43,8
Invasive lobular carcinoma mammae stadium II 2 2,7
Invasive ductal carcinoma mammae stadium II
1 1,4
+ paget disease
Medullary carcinoma mammae 1 1,4 Keterangan:
Papillary carcinoma mammae 1 1,4 Σ = Jumlah pasien, %
Jenis kanker payudara tidak diketahui 5 6,8 = persentase jumlah
Total 73 100 pasien dari seluruh
pasien yang
diwawancarai
Gambar 1. Regimen kemoterapi yang digunakan.
Keterangan:
FAC: 5-Fluorourasil-doksorubisin-siklofosfamid; FEC: 5-flu-
orourasil-epirubisin-siklofosfamid, CMF: siklofosfamid-meto-
treksat-5-fluorourasil, AT: doksorubisin-paklitaksel.
metotreksat, 5-fluorourasil) dua pasien sedang menjalankan kemoterapi
dengan trastuzumab dan satu pasien masing-masing dengan regimen AT
(doksorubisin, paklitaksel) dan FEC (5-fluorourasil, epirubisin, siklofosamid).
Lini pertama regimen kemoterapi kanker payudara yang diberikan di rumah
sakit ini adalah FAC.
penanganan utama yang dipilih adalah memperkecil ukuran kanker tersebut
terlebih dahulu kemudian dilakukan operasi pengangkatan atau mastektomi
yang disebut dengan metode kemoterapi neoadjuvan.

ROM Kemoterapi Kanker Payudara.


ROM yang dapat dirasakan oleh pasien secara fisik meliputi mual dan atau
muntah, perubahan urin menjadi merah, alopesia, perubahan warna kuku
menjadi hitam, stomatitis serta gangguan pencernaan seperti diare dan
konstipasi. Respon setiap pasien terhadap pemberian kemoterapi berbeda.
Namun, ROM berupa kerontokan merupakan reaksi yang paling banyak
dirasakan pasien dengan persentase sebesar 81%.
Mual dan/atau Muntah. Reaksi mual dan muntah setelah pemberian
kemoterapi merupakan salah satu reaksi yang paling banyak dialami
pasien. Mekanisme yang dianggap paling berperan menyebabkan mual
muntah akibat kemoterapi adalah berbagai reseptor termasuk 5-
hidroksitriptamin (5-HT3), neurokinin-1 dan kolesistokinin-1
mual dan/atau muntah lebih panjang pun ditemukan pada regimen
kemoterapi lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 7. Rontok. Rambut
merupakan salah satu organ dengan pembelahan sel yang cepat sehingga
dapat dipengaruhi oleh pemberian kemoterapi. Pasien mengalami
kerontokan pada semua regimen kemoterapi kecuali trastuzumab yang
memang tidak menyebabkan alopesia.
Tabel 7. Profil reaksi mual dan/ atau
muntah pada agen kemoterapi lainnya.

Agen kemoterapi Onset Jumlah pasien Durasi Jumlah pasien

CMF (n=6)
2-3 jam 1 2 hari 1
Mual 1 1-3 hari 2
2 jam
Mual dan muntah 1 7-10 hari 1
6-12 jam
FEC (n=1)
Mual 1-6 jam 1 1-4 hari 1
Mual dan muntah - - - -
AT (n=1)
Mual 1 minggu 1
Mual dan muntah - - - -
Trastuzumab (n=2)
Mual 2 hari 1 1 minggu 1
Mual dan muntah - - - -
Perubahan Warna Kuku. Agen kemoterapi yang dapat menyebabkan perubahan warna kuku adalah
doksorubisin dan siklofosfamid.

Gambar 3. Perubahan warna kuku setelah kemoterapi pada pasien (dari kiri ke kanan): satu
kali, tiga kali, empat kali, dan lima kali. 
Stomatitis. Sebesar 63% pasien mengalami stomatitis berupa sariawan di
mulut dan terasa panas hingga kerongkongan
Fluorourasil, doksorubisin dan metoktreksat merupakan agen kemoterapi
yang berpotensi tinggi menyebabkan stomatitis.
Diare dan Konstipasi. Semua agen yang terkandung dalam
regimen kemoterapi kanker payudara yang diberikan memiliki
potensi menimbulkan diare. Patofisiologi terjadinya diare diduga
akibat adanya efek antimitotik terhadap sel-sel pada usus yang
menyebabkan terjadi penurunan pembelahan enterosit yaitu sel-sel
pada usus yang berperan dalam absorpsi sehingga terjadi pula
penurunan luas permukaan absorpsi
Konstipasi yang terjadi pada pasien diduga karena adanya
penurunan asupan makanan akibat rasa mual yang dirasakan
pasien. Selain itu, konstipasi dapat pula disebabkan oleh
penggunaan 5-HT3 antagonis.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
mengingatkan pasien untuk meningkatkan konsumsi makanan
tinggi serat seperti sayuran dan buah-buahan.
Urin Berwarna Merah. Perubahan warna urin menjadi kemerahan
(bukan pendarahan) dapat disebabkan oleh doksorubisin. Sebesar 34%
dari pasien dengan regimen kemoterapi yang mengandung doksorubisin
dan satu pasien yang menerima regimen CMF mengaku mengalami
perubahan warna urin menjadi merah. Satu pasien mengaku mengalami
kemerahan urin selama satu minggu dan 16 pasien mengalaminya dari 1-3
hari.
Pasien pun dianjurkan untuk mengonsumsi banyak air selama kemoterapi
dan juga memperhatikan perubahan yang terjadi pada urinasi untuk
mengantisipasi terjadinya iritasi pada kandung kemih.
Hubungan Kausalitas ROM dan Agen Kemoterapi.
hubungan kausalitas antara reaksi obat dan regimen kemoterapi adalah
99,2 % bersifat dapat mungkin dan 0,8 % bersifat mungkin. Sedangkan
penilaian kausalitas berdasarkan skala Naranjo adalah 97,3% bersifat
berbeda namun dengan kriteria WHO menunjukkan nilai yang sedikit
lebih tinggi. Keduanya menunjukkan hubungan kausalitas antara ROM
dan agen kemoterapi mayoritas adalah ‘dapat mungkin’. Derajat kepastian
‘dapat mungkin’ merupakan nilai yang cukup tinggi dicegah
Reaksi Obat yang Merugikan

Ruam akibat reaksi obat


KLASIFIKASI ADR BERDASARKAN
PENYEBAB
 Tipe A: Efek farmakologis yang ditambah - tergantung
dosis dan dapat diprediksi
Reaksi tipe A, yang merupakan sekitar 80% dari reaksi obat
yang merugikan, biasanya merupakan konsekuensi dari
efek farmakologis utama obat atau indeks terapeutik obat
yang rendah dan karena itu dapat diprediksi. Istilah 'efek
samping' sering diterapkan pada reaksi minor tipe A. 
Contoh : - Perdarahan saat
menggunakan warfarin antikoagulan.
- Mual dari digoxin
 Tipe B : Idiosinkratik
Tipe A dan B diusulkan pada tahun 1970-an, dan tipe
lainnya diusulkan kemudian ketika dua yang pertama
terbukti tidak cukup untuk mengklasifikasikan ADR.
Karena penelitian lebih baik menjelaskan biokimia
penggunaan obat, lebih sedikit ADR adalah Tipe B dan
lebih banyak adalah Tipe A.
Keseriusan
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS mendefinisikan peristiwa
buruk serius sebagai salah satu ketika hasil pasien adalah salah
satu dari yang berikut:
 Kematian
 Mengancam jiwa
 Rawat inap (awal atau berkepanjangan)
 Kecacatan - perubahan signifikan, persisten, atau permanen,
gangguan, kerusakan atau gangguan pada fungsi / struktur tubuh
pasien, aktivitas fisik atau kualitas hidup.
 Kelainan bawaan
 Membutuhkan intervensi untuk mencegah penurunan atau
kerusakan permanen
Tingkat keparahan adalah titik pada skala intensitas yang
sewenang-wenang dari peristiwa buruk yang
dimaksud.
Misal : Sakit kepala parah, jika menyebabkan nyeri
hebat. Ada skala seperti "skala analog visual" yang
membantu dokter menilai tingkat keparahannya. Di
sisi lain, sakit kepala biasanya tidak serius (tetapi
mungkin dalam kasus perdarahan subaraknoid,
perdarahan subdural, bahkan migrain dapat sementara
memenuhi kriteria), kecuali itu juga memenuhi kriteria
keseriusan yang tercantum di atas.
Lokasi
Efek samping dapat bersifat :
Lokal : pada lokasi tertentu
Sistemik : di mana obat-obatan telah menyebabkan efek
buruk di seluruh sirkulasi sistemik
Contoh : beberapa antihipertensi okular menyebabkan
efek sistemik, meskipun diberikan secara lokal
sebagai obat tetes mata , karena sebagian kecil lolos ke
sirkulasi sistemik.
Mekanisme
Mekanisme umum adalah:
Farmakokinetik abnormal akibat
faktor genetik
status penyakit komorbiditas
Efek sinergis antara keduanya
obat dan penyakit
dua obat
Farmakokinetik Abnormal
Status penyakit komorbid
Berbagai penyakit, terutama yang menyebabkan gagal
ginjal atau hati , dapat mengubah metabolisme obat. 
Alat Kelayakan Medikasi untuk Kondisi Kesehatan
Komorb di Demensia ( MATCH-D ) kriteria
memperingatkan bahwa orang dengan demensia lebih
mungkin mengalami efek samping, dan mereka
cenderung tidak mampu melaporkan gejala dengan
andal.
 Faktor genetik
Metabolisme obat yang tidak normal dapat disebabkan oleh
faktor bawaan dari oksidasi Fase I atau konjugasi Fase II. 
 Interaksi dengan obat lain
Risiko interaksi obat meningkat dengan polifarmasi.
Pengikatan protein.
Contoh : Beberapa interaksi obat dengan warfarin disebabkan
oleh perubahan pengikatan protein.
Efek sinergis
Contoh sinergisme adalah dua obat yang keduanya
memperpanjang interval QT.
Menilai kausalitas
Penilaian kausalitas digunakan untuk menentukan kemungkinan
bahwa suatu obat menyebabkan dugaan ADR. 
 Ada sejumlah metode berbeda yang digunakan untuk menilai
penyebab, termasuk algoritma Naranjo , algoritma Venulet dan
kriteria penilaian istilah kausalitas WHO. 
 ADR tidak boleh dilabeli sebagai 'pasti' kecuali ADR mereda
dengan protokol challenge-dechallenge-
rechallenge (menghentikan dan memulai agen yang
bersangkutan).
 Kronologi timbulnya ADR yang dicurigai penting, karena zat atau
faktor lain mungkin terlibat sebagai penyebab; obat yang
diresepkan bersama dan kondisi kejiwaan yang mendasari dapat
menjadi faktor dalam ADR.
Badan pemantau
Banyak negara memiliki badan resmi yang memantau
keamanan dan reaksi narkoba. Di tingkat
internasional, WHO menjalankan Pusat Pemantauan
Uppsala , dan Uni Eropa mengelola Badan Obat
Eropa (EMEA). Di Amerika Serikat , Administrasi
Makanan dan Obat-obatan (FDA) bertanggung jawab untuk
memantau studi pasca-pemasaran.
Epidemiologi
 Sebuah studi oleh Badan Penelitian dan Kualitas Kesehatan
(AHRQ) menemukan bahwa pada tahun 2011, obat penenang dan
hipnotis adalah sumber utama untuk kejadian obat yang
merugikan terlihat di pengaturan rumah sakit. Sekitar 2,8% dari
semua ADE hadir saat masuk dan 4,4% ADE yang berasal selama
rawat inap disebabkan oleh obat penenang atau hipnotis.
 Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 48% pasien memiliki
reaksi obat yang merugikan terhadap setidaknya satu obat, dan
keterlibatan apoteker membantu untuk mengambil reaksi obat
yang merugikan.
 Pada 2012 McKinsey & Co. menyimpulkan bahwa biaya 35 juta
kejadian obat-obatan terlarang yang dapat dicegah akan setinggi
US $ 115 miliar. 
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai