Keyakinan Hakim
Keyakinan Hakim
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Jakarta,
2006, hlm.228
Dalam Islam prinsip kebenaran dan keadilan itu banyak ditemui dalam AlQuran diantaranya firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat : 60
Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau
(Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.
Kemudian firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat : 8 yang berbunyi :
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Selanjutnya firman Allah dalam Surat al-Maidah ayat 42 :
...
Dan jika kamu memutus perkara mereka, maka hendaknya perkara itu
diputuskan secara adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
adil.
Ayat-ayat diatas menggambarkan secara umum tentang kebenaran dan
keadilan,
sedangkan
bagaimana
mengimplementasikannya
dalam
bentuk
beracara di pengadilan ditentukan oleh para hakim berdasarkan petunjuk Nabi dan
hasil ijtihadnya.
Tulisan ini akan menyorot bagaimana keyakinan hakim dalam pembuktian
perkara terkait dengan kebenaran formil, menurut hukum acara perdata dan
hukum Islam dalam bentuk komparasi dari kedua system hukum itu.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas,
norma ini dapatlah disebut sebagai penelitian normatif atau doktrinal dan
metodenya disebut sebagai metode doktrinal.2
2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bercorak penelitian hukum kepustakaan murni (library
research) dalam arti semua datanya berasal dari bahan-bahan tertulis yang
berkaitan dengan topik yang dibahas. Oleh karena itu penulis mengumpulkan
data-data yang bersumber dari:
a. Bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Bahan hukum sekunder, yakni berupa karya ilmiah, dalam bentuk buku-buku,
majalah, artikel, hasil penelitian, makalah.
c. Bahan hukum tertier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedia.
d. Kemudian untuk Hukum Islam data-data diambil dari sumber hukum Islam
yaitu : Al-Quran, Hadits, Ijtihad, serta pendapat para ulama yang relevan
dengan topik penelitian ini.
Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik
suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hal tersebut
sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji yang mengatakan
bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan.3
1. Tekhnik Analisis Data.
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum , PT.Rineka Cipra, Jakarta, 1996, hlm.33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
ed.Kesembilan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 13.
3
Data yang ditemukan akan dianalisa dengan tiga metoda analisa, yaitu
induktif, deduktif, dan komparatif. Analisa data yang berkaitan dengan hukum
acara perdata dengan menggunakan metode berfikir induktif akan dimulai dengan
menganalisa pendapat para pakar dan praktisi hukum Indonesia yang berkaitan
dengan topik ini. Sedangkan yang berkaitan dengan hukum Islam akan beranjak
dari pendapat fuqaha atau pakar hukum Islam. Data-data dan pendapat-pendapat
tersebut akan dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan.
Sedangkan analisa data dengan menggunakan metode deduktif akan
beranjak dari ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Al-Quran dan Sunnah.
Selanjutnya akan dinilai fakta-fakta dan pendapat-pendapat yang bersifat khusus.
Terakhir penelitian dilakukan dengan metode komparatif. Pendapat-pendapat
yang berbeda akan diperbandingkan dengan menganalisis argumen-argumennya.
Dengan menggunakan metode tersebut, ketentuan-ketentuan yang berbeda antara
hukum acara perdata dan hukum Islam, juga akan diperbandingkan dengan cara
mencari persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di antara keduanya.
Kemudian hasil analisa ini akan disajikan dalam bentuk deskriptif analitik.
Pembahasan
Pengertian Pembuktian
Dalam persengketaan di pengadilan, pembuktian adalah merupakan sesuatu hal
yang sangat penting, sebab pembuktian merupakan atau menentukan jalannya
suatu perkara dalam sidang.
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Cet. Ketujuhbelas, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 1
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hlm. 83.
6
Hasbie As Shiddieqie, Filsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 139
7
Abdurrahman Ibrahim Al-Humaidi, al-Qadha Wa Nizamuhu Fi al-Kitab Wa al-Sunnah, Cet, I, alMakkah al-Arabiyah al-Saudi, Janiah Umm al-Qura, 1989, hlm. 382.
8
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, Ilam al-Muwaqqiin an Rabbil Alamin, Jilid I, Mathbaah Saadah,
Mesir, tt, hlm. 97
9
ibid
5
10
11
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yokyakarta,2006, hlm. 109
10
12
Mahmasani, Falsafah al-Tasyri Fi al-Islam, Mathbaah Saadah, Mesir, tt. hlm. 299
11
peristiwa-peristiwa saja, dan dengan terbuktinya kejadian-kejadian atau peristiwaperistiwa tersebut, hakim menyimpulkan adanya hak milik, adanya piutang,
adanya hak waris dan sebagainya, ajaran hukum yang demikian sekarang sudah
banyak ditinggalkan, sebab pandangan ajaran tersebut terlalu sempit, yang
dibuktikan itu hanya yang dilihat dengan panca indera saja, padahal banyak lagi
yang lain seperti hak milik, perikatan dan sebagainya yang harus dibuktikan
secara lansung.
Macam-macam alat bukti
Untuk membuktikan peristiwa-peristiwa di muka persidangan dilakukan
dengan menggunakan alat-alat bukti. Dengan alat-alat bukti yang dimajukan itu
memberikan dasar kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang didalilkan.
Dalam Hukum Acara Perdata telah diatur alat-alat bukti yang
dipergunakan dipersidangan. Dengan demikian hakim sangat terikat oleh alat-alat
bukti, sehingga dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib memberikan
pertimbangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dalam hukum positif, perihal pembuktian mempunyai muatan unsur
materil dan formil. Hukum pembuktian materil mengatur tentang dapat tidaknya
diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu dipersidangan serta kekuatan
pembuktiannya. Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang cara
mengadakan pembuktian.
12
Alat-alat bukti yang diakui dalam hukum acara Peradilan Umum termasuk
Peradilan Agama yang ada di Indonesia, diatur dalam pasal 164 HIR, pasal 284
RBg dan pasal 1866 KUHPer, yaitu :13
a. Alat bukti dengan surat/tulisan
b. Alat bukti saksi
c. Alat bukti persangkaan (dugaan)
d. Alat bukti pengakuan
e. Alat bukti sumpah
f. Alat bukti pemeriksaan setempat (discente)
g. Alat bukti keterangan ahli (expertise).
Bukti dengan surat dianggap paling utama dalam perkara perdata, karena
peranan surat atau tulisan amat penting, surat-surat sengaja dibuat berhubung
dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu dikemudian hari. Misalnya
orang yang membayar utangnya minta diberikan tanda pembayaran, orang yang
membuat suatu perjanjian piutang dengan orang lain, minta dibuatnya perjanjian
itu hitam di atas putih, dan lain sebagainya. Berbeda dengan alat bukti dalam
perkara pidana dimana alat bukti yang paling utama adalah keterangan saksi.
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan, maka pihak yang
diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang yang telah melihat
atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang itu di muka hakim
diajukan sebagai saksi. Apa yang dilihat dan didengar saksi itu diterangkan di
persidangan. Adalah mungkin bahwa orang tadi pada waktu terjadinya peristiwa
13
Lihat K.Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/HIR, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm.71.
lihat juga R.Subekti dan R.Tjitro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1992, hlm. 397
13
itu dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlansung itu
(jual beli, sewa menyewa dll). Ada pula orang yang secara kebetulan melihat atau
mengalami peristiwa yang dipersengketakan itu.
Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk
membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang ada hubungannya dengan peristiwa
yang harus dibuktikan tadi. Misalnya, jika tidak mungkin membuktikan secara
lansung bahwa suatu barang sudah diterima oleh pembeli, maka diusahakan
membuktikan pengiriman barang-barang tadi dari gudang si penjual dan
diusahakan pula membuktikan bahwa si pembeli tidak lama kemudian telah
menawarkan atau menjual barang-barang seperti itu kepada orang lain. Jika
peristiwa pengiriman barang dari gudang dan peristiwa penawaran yang
dilakukan oleh pembeli kepada orang lain tadi dianggap terbukti oleh hakim,
maka hakim dapat pula menyimpulkan terbuktinya penerimaan barang oleh si
pembeli. Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwaperistiwa lain inilah yang dinamakan persangkaan. Apa yang dinamakan
persangkaan-persangkaan hakim dalam perkara perdata itu adalah sama dengan
apa yang dinamakan pembuktian dengan petunjuk-petunjuk dalam perkara
pidana. Kalau pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan
pembuktian secara lansung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan
pembuktian secara tidak lansung.
Berikutnya
pengakuan
karena dalil yang diakui pihak lawan, maka pihak yang mengajukan dalil tersebut
14
14
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalamPerkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi,
CV.Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm. 41.
15
15
16
16
17
Wahyuni dalam Bambang Sutiyoso, Relevansi Kebenaran Formil dalam Pembuktian Perkara
Perdata di Pengadilan, Fenomena,: Vol I No.2, September 2003, ISSN:1693-4296, hlm 157
18
ibid
19
Wiryono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur, Bandung, 1984, hlm. 62
17
20
Penjelasan Wakil Ketua Mahkamah Agung (H.R.Purwata S.Ganda Subrata,SH) di muka Rapat
Kerja Mahkamah Agung, Departemen Agama di Jakarta tanggal 29 Mei 1981, dalam Roihan
A.Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991, hlm. 9
21
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.498. Lihat juga
putusam MA-RI No.3136 K/Pdt/1983
18
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembanannya di Indonesia , Gama Media,
Yokyakarta, 1997, hlm.154
23
Ibid
19
kepemilikan tanah, apabila penggugat mengajukan alat bukti akta otentik yang
berupa Sertifikat Hak Milik atas sebidang tanah, sedangkan tergugat
mempunyai dua orang saksi yang mengemukakan keterangan yang berbeda
dengan isi akta otentik milik penggugat. Dalam hal ini hakim perlu
menelusuri lebih jauh dengan memanggil Kepala Desa yang bersangkutan
untuk menjelaskan hal ihwal mengenai kepemilikan tanah tersebut. Kalau
ternyata dari hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa akta otentik tersebut
dibuat tidak melalui prosedur yang benar, maka berarti akta otentik tersebut
bukanlah alas hak yang sah secara hukum. Oleh karena itu hakim akan
menyatakan akta otentik milik penggugat tidak mempunyai kekuatan hukum
dan tidak mempunyai nilai pembuktian. Peran aktif hakim dalam masalah ini
sangat penting untuk menemukan kebenaran, tidak hanya sekedar menyeleksi
bukti-bukti yang diajukan para pihak tanpa mempunyai inisiatif sedikitpun.
Hal ini sejalan dengan tugas hakim sebagaimana disebutkan dalam UU No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) dan (2)
mengatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, serta harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di
bidang hukum.
Berdasarkan uraian di atas, secara teoritis maupun dalam praktek
peradilan perdata memang tidak dapat disangkal bahwa sistem pembuktian
positiflah yang berlaku. Adanya sistem pembuktian positif ini menentukan
kebenaran yang hendak dicari hakim dalam perkara perdata, yaitu kebenaran
20
22
Syuraih tatkala memutuskan perkara perdata antara Ali bin Abi Thalib R.A
dengan seorang Yahudi sebagai berikut :
Ali bin Abi Thalib R.A kehilangan baju besi kepunyaannya sendiri, kemudian
didapatinya ada di tangan orang Yahudi. Lalu Ali berkata; itu adalah baju besi
saya yang hilang, jatuh dari untaku yang bernama Auraq. Lalu berkata
Yahudi; baju besi ini kepunyaan saya, sebab ada ditangan saya, kemudian
berkata lagi si Yahudi tadi; antaraku dan kamu ada hakim Islam, lalu mereka
datang kepada Syuraih, Lalu berkata Syuraih; apa yang kamu kehendaki
ya Amirul Mukminin ? Ali menjawab, baju besi saya jatuh dari unta saya
yang bernama Auraq, lalu ditemukan oleh si Yahudi, Syuraih berkata; apa
yang hendak kamu katakan hai Yahudi ? Si Yahudi berkata; ini baju besiku
sebab ada ditanganku, Syuraih berkata; Demi Allah! Engkau benar hai Amirul
Mukminin, karena sesungguhnya itu adalah baju besimu, tapi engkau tak
mempunyai bukti dua orang saksi. Lalu Ali memanggil Qambaran dan Hasan
bin Ali lalu keduanya bersaksi bahwa sesungguhnya baju besi itu adalah
kepunyaan Ali, lalu Syuraih berkata : adapun kesaksian dari maula kamu
(Qambaran) maka kami menerima kesaksiannya, tetapi kesaksian dari anakmu
maka kami tidak bisa menerima kesaksiannya. Lalu Ali R.A berkata; celaka
engkau ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Umar bin Khatab
berkata; Telah bersabda Rasulullah SAW; Hasan dan Husein adalah ketua
para pemuda ahli syurga. Kemudian Syuraih berkata kepada Yahudi; ambillah
baju besi itu Lalu orang Yahudi tadi berkata; Amirul Mukminin telah datang
ayahnya bersama-samaku kepada qadli muslimin, lalu ia menjatuhkan vonnis
dan aku telah ridlo, sebenarnya demi Allah ! engkau benar hai Amirul
Mukminin, karena sesungguhnya itu adalah baju besimu yang jatuh dari
untamu, kemudian aku mengambilnya, dengan ini saya bersaksi; Tidak ada
Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu utusan Allah.
Kemudian karena si Yahudi tadi mengucapkan dua kalimah syahadat,
Ali menghibahkan baju besi yang menjadi sengketa tadi kepada si Yahudi dan
ditambah dengan Sembilan ratus uang Ia (Qadli Syuraih) tidak memutuskan
hukum berdasar atas pengetahuannya (keyakinannya) sebagaimana ia tidak
menerima kesaksian anak terhadap ayahnya.25
25
Muhammad bin Ismail al-Kahlani Al-Sanany, Subul as Salam, Dahlan, Bandun, tt., hlm.125
23
dan harus dimenangkan, tapi karena Ali tidak membawa cukup bukti, maka
terpaksa Ali harus dikalahkan.
Jadi yang dipentingkan di sini adalah bukti-bukti, apakah telah cukup
bukti atau tidak. Bila bukti telah cukup maka seseorang dapat dimenangkan
berdasarkan bukti-bukti itu, akan tetapi bila tidak cukup bukti-bukti, maka
seseorang tidak dapat dimenangkan walaupun umpamanya menurut keyakinan
hakim dialah yang benar dan harus dimenangkan.
Keputusan qadli Syuraih ini berdasarkan kepada hadits Ummu
Salamah r.a. yang mengabarkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
, ,
,
} {
Aku hanyalah seorang manusia dan kamu sekalian mengadukan
pertengkaranmu kepadaku. Barangkali sebagian dari kamu lebih fasih
berdebat daripada sebagian yang lain. Kemudian saya hanya
memutuskan menurut apa yang saya dengar. Oleh karena itu barang
siapa yang telah kuberi putusan untuk memperoleh sesuatu hak dari
hak saudaranya, jangan mengambilnya. Sebab apa yang aku
putuskankan kepadanya (menurut lahirnya, bila bertentangan dengan
sebenarnya) adalah sepotong api neraka (Rw.Jamaah ahli hadits)26
Di dalam hadits tersebut Nabi mengatakan saya memutuskan menurut
apa yang saya dengar Jadi apabila seorang hakim memutus dengan hanya
berdasar atas apa yang lahir saja, yakni hanya berdasarkan kepada bukti-bukti
26
Fatchur Rahman, Hadits-Hadits Tentang Peradilan Agama, Cet.pertama, Bulan Bintang, Jakarta,
1977, hlm.165
24
yang ada saja (formeel waarheid), maka keputusan itu adalah tetap sah dan
berkekuatan tetap yang berdasarkan atas hukum.
Lebih kongkritnya dapat dikatakan bahwa, hakim dalam perkara
perdata boleh memutus dengan kebenaran formil saja. Dan apabila terjadi
kesalahan/kekeliruan dalam memutus karena hanya berdasar atas kebenaran
formil, maka akibat hukumnya adalah :
1. Hakim tetap mendapat satu pahala, sesuai dengan hadits Nabi :
,
} {
Dari Amr bin Ash r.a. yang diterima dari Nabi Muhammad SAW
mengabarkan bahwa Nabi bersabda : Apabila hakim hendak mengambil
keputusan, yang disaat pengambilan keputusan ia berijtihad, kemudian
ternyata tepat, maka ia berhak memperoleh dua pahala. Jika ia hendak
mengambil keputusan, yang disaat pengambilan keputusan ia berijtihad,
kemudian ternyata salah, maka ia berhak satu pahala. (Muttafaq Alaih)27
Ibid, hlm.38
25
, , ,
, , , , ,
, : ,
} { , ,
Konon ada dua orang perempuan bersama dengan kedua anak mereka. Tibatiba datang srigala menggondol salah seorang anak mereka. (terjadilah
perselisihan). Kata salah seorang pemiliknya : Anakmulah yang digondol
srigala Bentak yang lain : Anakmulah yang digondolnya Akhirnya kedua
orang perempuan tersebut meminta pengadilan kepada Nabi Dawud a.s. Nabi
Dawud a.s. memutuskan anak yang tinggal itu bagi perempuan yang tertua
(yang sedang memegangnya). Lalu mereka pergi menemui Nabi Sulaiman bin
Dawud a.s. untuk menerangkan peristiwa dan putusan itu kepadanya. Kata
Sulaiman : Ambilkan aku pisau, akan kubagi anak itu untuk kamu berdua.
Jangan tuan lakukan hal itu, mudah-mudahan Allah melimpahkan kasih
sayang pada tuan, ia adalah anak perempuan (tertua) itu, sesal perempuan
yang muda. Kemudian Nabi Sulaiman a.s. memutuskan anak itu untuk
perempuan yang muda. (Muttafaq alaih) 28
Pendapat kedua
Islam adalah suatu agama yang datang dari Allah SWT yang Maha
Adil, Maha Besar, dan Maha Bijaksana dalam segala hal terutama dalam
masalah-masalah hukum. Sebagai pedoman dapat disimak dari firman
Allah, antara lain terdapat dalam :
a. Surat An-Nahl ayat : 90
...
Ibid, hlm.45
26
...
Dan berlaku adillah kamu, sesungguhnya Allah mengasihi orangorang yang berlaku adil
Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu benar-benar
menjadi orang yang menegakkan keadilan dan menjadi saksi utuk
Allah, walaupun atas dirimu atau ibu bapakmu dan kaum kerabatmu.
Ayat-ayat diatas jelas dan tegas memerintahkan agar benar-benar
berlaku adil dengan arti kata yang sebenar-benarnya, yakni kita
diwajibkan berlaku adil di dalam segala masalah termasuk di dalamnya
masalah perkara perdata.
Oleh karena itu seorang hakim dalam mengadili sesuatu perkara,
baik perkara perdata ataupun perkara pidana harus mengetahui dengan
yakin mana yang harus dimenangkan dan mana yang harus dikalahkan
sesuai dengan hal yang sebenarnya.
Rasulullah SAW telah mengkualifisir hakim-hakim yang masuk
surga dan yang bakal dimasukkan kedalam neraka. Hakim-hakim itu
tidak akan selamat dari neraka selain mereka yang mengetahui akan
kebenaran sesuatu perkara kemudian memberikan keputusan terhadap
27
:
.
) (
Rasulullah SAW bersabda : Hakim itu tebagi ke dalam tiga golongan.
Golongan pertama akan dimasukkan ke dalam syurga, sedang dua
golongan lagi akan dimasukkan ke dalam neraka. Hakim yang
dimasukkan ke dalam syurga adalah hakim yang mengetahui akan
kebenaran dan menjatuhkan putusannya berdasarkan keadilan dan
kebenarannya itu. Bagi hakim yang mengerti kebenaran, tetapi
menyimpang dari kebenaran itu dan memutus secara dzalim, maka ia
akan dimasukkan ke dalam neraka. Begitu juga bagi hakim yang
menjatuhkan putusan berdasarkan kejahilannya (kebodohan), maka ia
akan dimasukkan kedalam neraka. (HR.Abu Daud)29
Dalam hadits ini dikatakan bahwa hanya satu hakim yang selamat dan
masuk surga yaitu, hakim yang mengetahui kebenaran dan menghukum
dengannya. Yang dimaksud kebenaran di sini adalah kebenaran dengan arti
yang sebenar-benarnya (materil waarheid), dengan kata lain kebenaran
menurut lahir dan batin, bukan yang ada pada lahirnya saja, apalagi kebenaran
semu. Berkenaan dengan itu Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra ayat :
36
Dan janganlah kamu mengikut apa yang tidak kamu ketahui, karena
sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati semuanya itu
akan ditanya.
29
Ibid, hlm. 18
28
, ,
}{
Dari Aisyah RA berkata; aku telah mendengar Rasullah SAW
bersabda; seorang hakim yang adil diperiksa oleh Allah SWT pada
hari kiamat, lalu karena ia mendapatkan hisab yang sangat berat,
kemudian ia berangan-angan; alangkah baiknya seandainya aku tidak
pernah mengadili (memutuskan suatu perkara) di antara dua orang
seumur hidupku (sewaktu di dunia). Dalam riwayat Baihaqie ditambah
dengan lafadz walau sebesar biji sawi sedikitpun (Riwayat Ibnu
Hibban dan Baihaqie)30
Oleh karena itu Nabi SAW melarang hakim mengadili di waktu ia
marah, dan melarang anak menjadi saksi terhadap ayahnya. Hal ini
dimaksudkan agar hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat mencapai
kebenaran yang sebenarnya, sebab dikhawatirkan bila hakim mengadili
dibarengi dengan adanya rasa marah, benci atau rasa cinta yang sangat seperti
cinta ayah kepada anaknya dan sebaliknya, maka tidak akan tercapai putusan
30
29
yang objektif dan adil. Sedangkan Allah SWT menyuruh agar hakim
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat : 58
...
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan
amanat kepada yang berhak, dan apabila kamu menghukum antara
manusia maka hendknya kamu menghukum dengan adil
materil)
Dalam hal ini Ibnu Rusyd berkata dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid :
Bahwa para ulama sepkat berpendapat, seorang qadli menghukum
dengan ilmunya (keyakinannya) di dalam menerima dan menolak
bukti-bukti. Bila ada beberapa orang saksi memberikan keterangan
yang bertentangan dengan pengetahuan (keyakinan) hakim, maka
hakim tidak boleh menghukum dengan dasar bukti tersebut.31
Dari keterangan Ibnu Rusyd di atas jelaslah bahwa di dalam sistem
peradilan dalam hukum Islam, maka pedoman hakim dalam menjatuhkan
putusan adalah adanya bukti yang sah dan meyakinkan hakim akan
31
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Dar al-Fikr, Beirut, 1990, hlm.470
30
32
Abdoerraoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.193
31
tetapi kebenaran formil itu dimaknai sebagai kebenaran yang sebenarbenarnya atau kebenaran sejati.
3. Peran keyakinan hakim sangat penting dalam hukum acara perdata dan hukum
Islam disamping adanya alat-alat bukti lain sebagai bahan pertimbangan
hakim dalam memutus perkara.
32