Anda di halaman 1dari 32

KEYAKINAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA

MENURUT HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ISLAM


Oleh : Nofiardi

Latar Belakang Masalah


Dalam menyelesaikan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah
menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar
ada atau tidak. Untuk itu, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang
bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian
bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk
menetapkan hubungan hukum antara kedua pihak dan menetapkan putusan
berdasarkan hasil pembuktian, serta untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil
atau perististiwa yang diajukan.
Keyakinan hakim dalam pembuktian perkara perdata sangat terkait dengan
konsep kebenaran formil yang dianut dalam hukum acara perdata. Kebenaran
formil tidak mensyaratkan hakim memutus perkara dengan keyakinannya, tetapi
cukup berdasarkan alat bukti yang ada dan sah menurut undang-undang.
Penyelesaian perkara perdata yang lebih menekankan pada pencarian
kebenaran formil, mendapat perhatian dari para ahli hukum, karena terkadang
menjadi alasan ketidakpuasan pihak-pihak yang berperkara atas putusan hakim.
Apabila hakim semata-mata hanya mencari kebenaran formil, sangat mungkin
terjadi pihak yang sesungguhnya benar dapat dikalahkan perkaranya, karena tidak
dapat menunjukkan bukti-bukti yang diminta di muka persidangan. Sehingga

putusan hakim dalam praktek tidak selalu mencerminkan keadaan yang


senyatanya. Sebagai akibatnya, para pencari keadilan merasa dirugikan hak-hak
dan kepentingannya.
Oleh karena itu, upaya penyelesaian perkara perdata yang berpijak pada
kebenaran formil belum dapat sepenuhnya memberikan perlindungan dan jaminan
terciptanya keadilan bagi para pencari keadilan. Kalau hal itu terus dipertahankan,
maka nampaknya semboyan bahwa lembaga peradilan sebagai benteng terakhir
bagi pencari keadilan dalam mencari kebenaran dan keadilan tentunya menjadi
tidak signifikan lagi. Pada gilirannya akan berakibat mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja dan integritas institusi peradilan. Sehingga dalam
praktek peradilan perdata, ada kecendrungan mulai menuju kepada kebenaran
materil, karena pencarian kebenaran formil semata dirasakan belum cukup.
Dalam hal ini Abdul Manan, mengatakan bahwa kontras antara pencarian
kebenaran formil dan materil tidak relevan dalam hukum acara perdata,
mengingat bahwa dalam praktek, ada tuntutan untuk mencari keduanya secara
bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepada seorang hakim
di pengadilan.1
Hal lain bisa dilihat dengan masih adanya putusan-putusan yang bersifat
tidak menyelesaikan perkara dan berpotensi menimbulkan sengketa dikemudian
hari serta putusan-putusan yang walaupun bersifat condemnatoir namun tidak
dapat dieksekusi.

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Jakarta,
2006, hlm.228

Dalam Islam prinsip kebenaran dan keadilan itu banyak ditemui dalam AlQuran diantaranya firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat : 60


Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau
(Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.
Kemudian firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat : 8 yang berbunyi :



Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Selanjutnya firman Allah dalam Surat al-Maidah ayat 42 :

...
Dan jika kamu memutus perkara mereka, maka hendaknya perkara itu
diputuskan secara adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
adil.
Ayat-ayat diatas menggambarkan secara umum tentang kebenaran dan
keadilan,

sedangkan

bagaimana

mengimplementasikannya

dalam

bentuk

beracara di pengadilan ditentukan oleh para hakim berdasarkan petunjuk Nabi dan
hasil ijtihadnya.
Tulisan ini akan menyorot bagaimana keyakinan hakim dalam pembuktian
perkara terkait dengan kebenaran formil, menurut hukum acara perdata dan
hukum Islam dalam bentuk komparasi dari kedua system hukum itu.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas,

maka yang menjadi

masalah dalam penelitian ini adalah :


1. Bagaimana kedudukan dan kekuatan alat bukti dapat menumbuhkan
keyakinan hakim dalam memutus perkara.
2. Bagaimana menurut hukum acara perdata dan hukum Islam tentang perlu
tidaknya keyakinan hakim dalam memutus perkara perdata yang telah cukup
bukti yang didasarkan atas kebenaran formil.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui kedudukan alat bukti yang memberikan keyakinan kepada
hakim dalam memutus perkara perdata di sidang pengadilan.
2. Untuk mengetahui perlu tidaknya keyakinan hakim dalam memutus perkara
perdata yang telah cukup bukti yang didasarkan atas kebenaran formil.
Metoda Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum
normatif atau doktrinal. Dalam konsep normatif ini hukum adalah norma, baik
yang diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum),
ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah yang terdapat dalam produk
hukum nasional. Setiap penelitian hukum yang mendasarkan hukum sebagai

norma ini dapatlah disebut sebagai penelitian normatif atau doktrinal dan
metodenya disebut sebagai metode doktrinal.2
2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bercorak penelitian hukum kepustakaan murni (library
research) dalam arti semua datanya berasal dari bahan-bahan tertulis yang
berkaitan dengan topik yang dibahas. Oleh karena itu penulis mengumpulkan
data-data yang bersumber dari:
a. Bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Bahan hukum sekunder, yakni berupa karya ilmiah, dalam bentuk buku-buku,
majalah, artikel, hasil penelitian, makalah.
c. Bahan hukum tertier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedia.
d. Kemudian untuk Hukum Islam data-data diambil dari sumber hukum Islam
yaitu : Al-Quran, Hadits, Ijtihad, serta pendapat para ulama yang relevan
dengan topik penelitian ini.
Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik
suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hal tersebut
sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji yang mengatakan
bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan.3
1. Tekhnik Analisis Data.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum , PT.Rineka Cipra, Jakarta, 1996, hlm.33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
ed.Kesembilan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 13.
3

Data yang ditemukan akan dianalisa dengan tiga metoda analisa, yaitu
induktif, deduktif, dan komparatif. Analisa data yang berkaitan dengan hukum
acara perdata dengan menggunakan metode berfikir induktif akan dimulai dengan
menganalisa pendapat para pakar dan praktisi hukum Indonesia yang berkaitan
dengan topik ini. Sedangkan yang berkaitan dengan hukum Islam akan beranjak
dari pendapat fuqaha atau pakar hukum Islam. Data-data dan pendapat-pendapat
tersebut akan dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan.
Sedangkan analisa data dengan menggunakan metode deduktif akan
beranjak dari ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Al-Quran dan Sunnah.
Selanjutnya akan dinilai fakta-fakta dan pendapat-pendapat yang bersifat khusus.
Terakhir penelitian dilakukan dengan metode komparatif. Pendapat-pendapat
yang berbeda akan diperbandingkan dengan menganalisis argumen-argumennya.
Dengan menggunakan metode tersebut, ketentuan-ketentuan yang berbeda antara
hukum acara perdata dan hukum Islam, juga akan diperbandingkan dengan cara
mencari persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di antara keduanya.
Kemudian hasil analisa ini akan disajikan dalam bentuk deskriptif analitik.
Pembahasan
Pengertian Pembuktian
Dalam persengketaan di pengadilan, pembuktian adalah merupakan sesuatu hal
yang sangat penting, sebab pembuktian merupakan atau menentukan jalannya
suatu perkara dalam sidang.

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah


meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan.4 H.Riduan Syahrani mengatakan bahwa pembuktian
adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang
memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan.5 Sedangkan Hasbie As Shiddieqie mengatakan, pembuktian itu
adalah segala yang dapat menampakkan kebenaran, baik ia merupakan saksi atau
sesuatu yang lain.6
Pembuktian dalam hukum Islam dikenal dengan istiah al-bayyinah. Secara
etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menjelaskan yang hak (benar).7 Secara teknis berarti alat-alat bukti dalam sidang
pengadilan. Dengan demikian dapat juga dipahami bahwa alat bukti adalah cara
atau alat yang digunakan dalam pembuktian. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah,
tokoh fikih mazhab Hanbali, al-bayyinah mengandung pengertian yang lebih luas
dari definisi mayoritas ulama yang dapat digunakan untuk mendukung dakwaan
seseorang.8 Al-bayyinah didifinisikan oleh Ibn Qayyim sebagai segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar) di depan majlis hakim,
baik berupa keterangan, saksi dan berbagai indikasi yang dapat dijadikan
pedoman oleh majlis hakim untuk mengembalikan hak pada pemiliknya.9
4

R. Subekti, Hukum Pembuktian, Cet. Ketujuhbelas, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 1
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hlm. 83.
6
Hasbie As Shiddieqie, Filsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 139
7
Abdurrahman Ibrahim Al-Humaidi, al-Qadha Wa Nizamuhu Fi al-Kitab Wa al-Sunnah, Cet, I, alMakkah al-Arabiyah al-Saudi, Janiah Umm al-Qura, 1989, hlm. 382.
8
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, Ilam al-Muwaqqiin an Rabbil Alamin, Jilid I, Mathbaah Saadah,
Mesir, tt, hlm. 97
9
ibid
5

Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa


pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim
akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang
bersangkutan melalui alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang
(syariat).
Sistem Pembuktian
Sistem hukum acara perdata di Indonesia yang merujuk kepada HIR/RBg
mendasarkan sistem pembuktiannya kepada kebenaran formil, artinya hakim
dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat pada cara-cara tertentu
menurut yang telah diatur di dalam undang-undang saja.
Dalam praktek peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut mencari
kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan
pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian
kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu, sehingga hakim dalam
mengkonstatir, mengualifisir dan mengkonstituir, serta mengambil keputusan
berdasarkan kepada pembuktian tersebut. Oleh karena itu sistem ini sudah banyak
ditinggalkan orang, karena perkembangan hukum dan keperluan praktek
penyelenggaraan peradilan. Akhirnya dipakai hukum acara perdata yang bukan
hanya ditunjuk dalam HIR/RBg, tetapi juga didapat dalam Rsv (Reglement op de
Rechtvordering), dari kebiasaan-kebiasaan praktek peradilan, termasuk dari suratsurat edaran/petunjuk Mahkamah Agung, diantaranya mengatakan bahwa
walaupun dalam perkara perdata kebenaran yang hendak dicari adalah kebenaran
formil, akan tetapi pada dasarnya bagi perkara perdata tidak dilarang untuk

mencari dan menemukan kebenaran materil. (Putusan MA-RI No.3136


K/Pdt/1983).
Dengan demikian sistem pembuktian, tidak lagi berdasarkan kepada
kebenaran formil saja tetapi juga pada kebenaran materil, artinya walaupun alat
bukti telah mencukupi menurut formal dengan alat bukti yang ditentukan dalam
undang-undang, namun hakim tidak boleh memutus perkara kalau ia tidak yakin
bahwa hal itu telah terbukti secara materil.
Dalam terminologi Islam para ulama fiqh tidak membedakan hukumhukum bayyinat (pembuktian) dalam perkara muamalat (kasus-kasus perdata)
dengan hukum-hukum bayyinat dalam perkara uqubat (kasus-kasus pidana).
Lebih dari itu, pada kasus-kasus tertentu, Allah SWT dan RasulNya telah lansung
menetapkan hukum acara tertentu pada kasus tertentu dalam hal pembuktian.
seperti pembuktian pada kasus zina serta tata cara lian, dan sebagainya.
Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan
pembuktian, namun pembuktian itu harus dinilai atau dalam istilah hukum Islam
dikenal juga dengan tarjihul bayyinah.10 Dalam hal ini undang-undang dapat
mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya,
sebaliknya undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim
dalam menilai pembuktian. Misalnya, dalam hukum acara perdata umum,
terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis hakim terikat dalam

10

Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, Op cit, hlm. 134

penilaiannya, sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang


berarti bahwa hakim bebas menilai kesaksian.11
Pada umumnya sepanjang undang-undang tidak mengatur, hakim bebas
untuk menilai pembuktian. Apabila alat bukti cukup memberi kepastian tentang
peristiwa yang disengketakan untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut
oleh penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap
atau sempurna. Jadi bukti itu dinilai lengkap atau sempurna, apabila hakim
berpendapat, bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus
dibuktikan itu harus dianggap sudah pasti atau benar.
Akan tetapi selengkap apapun suatu pembuktian bisa saja dilumpuhkan
oleh bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan
untuk menyangkal akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk
membuktikan ketidakbenarannya peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan.
Karena bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan
atau memutuskan. Bukti yang bersifat menentukan ini adalah bukti lengkap atau
sempurna yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dengan adanya bukti lawan
menimbulkan implikasi terhadap masing-masing alat bukti tersebut, dimana
hakim harus memeriksanya secara cermat, mana alat bukti yang benar dan kuat di
antara alat bukti dimaksud.
Selanjutnya berkenaan dengan mempertahankan sistem kebenaran materil
adalah dimaksudkan untuk mengantisipasi kekecewaan hukum, dalam hukum

11

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yokyakarta,2006, hlm. 109

10

Islam misalnya terdapat beberapa contoh kasus di antaranya adalah tentang


sumpah lian, seperti yang terdapat dalam al-Quran surat an-Nur ayat 6-9 yang
ilustrasinya sebagai berikut :
Suami adalah orang yang saleh dan taat beragama, ia yakin bahwa istrinya
telah berbuat zina dan anak yang lahir dari kandungan isterinya itu adalah bukan
anaknya, tetapi suami tidak mampu membuktikannya dengan empat orang saksi.
Suami mengucapkan sumpah lian dalam tuduhannya dan pengingkaran anak
tersebut, sehingga suami terlepas dari had qazaf, anak tersebut nasabnya hanya
kepada ibunya, perkawinan keduanya terputus dan isteri terkena had zina, akan
tetapi isteri berani pula mengucapkan sumpah, membantah sumpah lian
suaminya, sehingga dengan sumpah bantahan ini, isteri terhindar dari hukuman
rajam. Hanya saja karena isteri dalam hal ini bukan wanita yang taat, sehingga dia
tidak peduli dosa besar apalagi dosa kecil dan tidak peduli sumpah apapun ia
berani saja mengucapkannya.
Dari beberapa keterangan ini, bertambah jelas bahwa sistem pembuktian
formil semata-mata akan membawa kepada kekecewaan hukum. Akan tetapi di
antara ulama ada yang berpendapat bahwa di dalam hal tarjih al-bayyinah
sebenarnya, cukup berpegang pada kaedah umum hadits yakni al-bayyinah almuddai, diserahkan pada pertimbangan hakim, tidak perlu hakim mengikuti
teori-teori yang dikemukakan oleh ahli-ahli fiqh belakangan.12
Hukum pembuktian berorientasi pada perkembangan, ajaran hukum yang
menyatakan bahwa hal yang dapat dibuktikan itu hanyalah kejadian-kejadian atau

12

Mahmasani, Falsafah al-Tasyri Fi al-Islam, Mathbaah Saadah, Mesir, tt. hlm. 299

11

peristiwa-peristiwa saja, dan dengan terbuktinya kejadian-kejadian atau peristiwaperistiwa tersebut, hakim menyimpulkan adanya hak milik, adanya piutang,
adanya hak waris dan sebagainya, ajaran hukum yang demikian sekarang sudah
banyak ditinggalkan, sebab pandangan ajaran tersebut terlalu sempit, yang
dibuktikan itu hanya yang dilihat dengan panca indera saja, padahal banyak lagi
yang lain seperti hak milik, perikatan dan sebagainya yang harus dibuktikan
secara lansung.
Macam-macam alat bukti
Untuk membuktikan peristiwa-peristiwa di muka persidangan dilakukan
dengan menggunakan alat-alat bukti. Dengan alat-alat bukti yang dimajukan itu
memberikan dasar kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang didalilkan.
Dalam Hukum Acara Perdata telah diatur alat-alat bukti yang
dipergunakan dipersidangan. Dengan demikian hakim sangat terikat oleh alat-alat
bukti, sehingga dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib memberikan
pertimbangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dalam hukum positif, perihal pembuktian mempunyai muatan unsur
materil dan formil. Hukum pembuktian materil mengatur tentang dapat tidaknya
diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu dipersidangan serta kekuatan
pembuktiannya. Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang cara
mengadakan pembuktian.

12

Alat-alat bukti yang diakui dalam hukum acara Peradilan Umum termasuk
Peradilan Agama yang ada di Indonesia, diatur dalam pasal 164 HIR, pasal 284
RBg dan pasal 1866 KUHPer, yaitu :13
a. Alat bukti dengan surat/tulisan
b. Alat bukti saksi
c. Alat bukti persangkaan (dugaan)
d. Alat bukti pengakuan
e. Alat bukti sumpah
f. Alat bukti pemeriksaan setempat (discente)
g. Alat bukti keterangan ahli (expertise).
Bukti dengan surat dianggap paling utama dalam perkara perdata, karena
peranan surat atau tulisan amat penting, surat-surat sengaja dibuat berhubung
dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu dikemudian hari. Misalnya
orang yang membayar utangnya minta diberikan tanda pembayaran, orang yang
membuat suatu perjanjian piutang dengan orang lain, minta dibuatnya perjanjian
itu hitam di atas putih, dan lain sebagainya. Berbeda dengan alat bukti dalam
perkara pidana dimana alat bukti yang paling utama adalah keterangan saksi.
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan, maka pihak yang
diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang yang telah melihat
atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang itu di muka hakim
diajukan sebagai saksi. Apa yang dilihat dan didengar saksi itu diterangkan di
persidangan. Adalah mungkin bahwa orang tadi pada waktu terjadinya peristiwa
13

Lihat K.Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/HIR, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm.71.
lihat juga R.Subekti dan R.Tjitro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1992, hlm. 397

13

itu dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlansung itu
(jual beli, sewa menyewa dll). Ada pula orang yang secara kebetulan melihat atau
mengalami peristiwa yang dipersengketakan itu.
Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk
membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang ada hubungannya dengan peristiwa
yang harus dibuktikan tadi. Misalnya, jika tidak mungkin membuktikan secara
lansung bahwa suatu barang sudah diterima oleh pembeli, maka diusahakan
membuktikan pengiriman barang-barang tadi dari gudang si penjual dan
diusahakan pula membuktikan bahwa si pembeli tidak lama kemudian telah
menawarkan atau menjual barang-barang seperti itu kepada orang lain. Jika
peristiwa pengiriman barang dari gudang dan peristiwa penawaran yang
dilakukan oleh pembeli kepada orang lain tadi dianggap terbukti oleh hakim,
maka hakim dapat pula menyimpulkan terbuktinya penerimaan barang oleh si
pembeli. Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwaperistiwa lain inilah yang dinamakan persangkaan. Apa yang dinamakan
persangkaan-persangkaan hakim dalam perkara perdata itu adalah sama dengan
apa yang dinamakan pembuktian dengan petunjuk-petunjuk dalam perkara
pidana. Kalau pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan
pembuktian secara lansung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan
pembuktian secara tidak lansung.
Berikutnya

pengakuan

sebagai alat bukti sebenarnya tidak tepat,

karena dalil yang diakui pihak lawan, maka pihak yang mengajukan dalil tersebut

14

dibebaskan dari pembuktian. Mengenai sumpah dimasukkan sebagai alat bukti,


karena sumpah yang dilakukan oleh seseorang itu bermaksud membuktikan
kebenaran suatu peristiwa. Sumpah dapat dimintakan pihak berperkara kepada
pihak lainnya. Meskipun tidak ada para pihak yang meminta lawannya untuk
bersumpah, hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk membebani
sumpah kepada salah satu pihak yang berperkara. Sumpah mana baru dapat
dibebani kepada salah satu pihak setelah hakim memperoleh bukti-bukti yang
ternyata masih kurang untuk membuktikan peristiwanya.
Prihal pemeriksaan setempat memang tidak dimuat di dalam Pasal 164
HIR sebagai alat bukti, tetapi oleh karena tujuan pemeriksaan setempat ialah agar
hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa,maka
pemeriksaan setempat ini, sekarang nyatanya oleh hakim sudah dipakai sebagai
alat bukti. Begitu juga dengan keterangan ahli sebagai alat bukti dan
pengetahuan hakim yang sering dipergunakan dalam praktek peradilan.
Ada juga alat bukti lainnya yang tidak disebutkan dalam undang-undang yaitu
foto, film, rekaman vidio/tape/CD serta mikrofilm dan mikrofische.14 Menurut
surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI Nomor
37/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988, mikrofilm atau mikrofische dapat
dijadikan alat bukti surat dengan catatan bila bisa dijamin keotentikannya yang
dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita acara. Hal tersebut berlaku terhadap
perkara-perkara pidana maupun perdata.

14

Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalamPerkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi,
CV.Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm. 41.

15

Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Menurut Hukum Acara


Perdata dan Hukum Islam
1. Keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara menurut hukum acara
perdata
Dalam membicarakan kebenaran formil, kajian selanjutnya adalah
masalah apakah dalam pembuktian perkara perdata, selain adanya bukti-bukti
yang ada, masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim atau tidak, atau dengan
perkataan lain dalam memutuskan perkara perdata, apakah hakim diwajibkan
untuk mencapai kebenaran materil atau kebenaran formil. Dalam pembuktian
perkara perdata, yang hendak dicari hakim adalah kebenaran formil, yang
berarti hakim terikat kepada keterangan atau alat bukti yang disampaikan oleh
para pihak. Hakim terikat pada peristiwa yang diakui atau yang
disengketakan. Di sini hakim cukup dengan pembuktian yang tidak
meyakinkan.15Sedangkan pencarian kebenaran materil terutama dilakukan
hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara pidana dan administratif.
Menurut Mertokusumo,16 yang hendak dicari hakim dalam pembuktian
perkara perdata adalah kebenaran formil yang berarti hakim terikat kepada
keterangan atau alat-alat bukti yang disampaikan oleh para pihak. Hakim
terikat pada peristiwa yang diakui atau yang disengketakan. Disini hakim
cukup dengan pembuktian yang tidak meyakinkan.

15
16

Sudikno Mertokusumo, Op cit, hlm.87


Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yokyakarta, 1984, hlm.87

16

Wahyuni17 mengemukakan bahwa keyakinan hakim dalam perkara


perdata dapat saja ditarik atau dimasukkan dalam alat bukti persangkaan
hakim. Persangkaan hakim ini dapat muncul dengan adanya bukti-bukti lain
yang sudah terbukti lebih dulu, seperti keterangan dari para saksi dan buktibukti lain yang terungkap dalam persidangan. Persangkaan seperti itu dapat
saja diperoleh hakim dari keyakinannya dengan melihat bukti-bukti atau
dengan menghubungkan fakta satu dengan fakta lain dalam persidangan.
Sementara itu, Gusti Made Lingga18 berpendapat bahwa keyakinan hakim
dalam perkara perdata cukup dalam hati nuraninya saja, tidak perlu disebutkan
secara lahir dalam putusan. Oleh karena itu sebelum memutuskan suatu
perkara, hakim harus meyakini kebenaran putusan yang akan diambilnya.
Bagaimana mungkin seorang hakim memutus suatu perkara tetapi tidak
didasarkan pada keyakinan.
Dalam hal ini Wiryono Projodikoro19 mengatakan bahwa tidak ada
salah paham, sebaiknya dibuang saja jauh-jauh pengertian kebenaran resmi
ini. Sebaiknya tidak hanya dalam acara perkara pidana, melainkan juga dalam
acara perdata ditetapkan sebagai dasar, bahwa hakim harus berpedoman pada
satu macam kebenaran, yaitu kebenaran seberapa boleh sekedar dapat dikejar
sebagai kebenaran sejati.
Untuk mencapai kebenaran ini, hakim tidak boleh bersikap lijdelijke
(menunggu dan menyerah), melainkan leluasa penuh untuk meminta

17

Wahyuni dalam Bambang Sutiyoso, Relevansi Kebenaran Formil dalam Pembuktian Perkara
Perdata di Pengadilan, Fenomena,: Vol I No.2, September 2003, ISSN:1693-4296, hlm 157
18
ibid
19
Wiryono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur, Bandung, 1984, hlm. 62

17

keterangan-keterangan pada pihak yang berperkara tentang apa saja yang


dianggap perlu untuk menjatuhkan putusan yang tepat.
Dalam perkembangan hukum sekarang ini, meskipun kebenaran formil
masih dijadikan pedoman dalam penyelesaian perkara perdata, akan tetapi
secara teoritis sudah ada pandangan bahwa dalam menerapkan kebenaran
formil tidak perlu bersifat terlalu kaku. Bahkan ada pendapat yang
menghendaki dalam hukum acara perdata tidak saja untuk mencari kebenaran
formil tetapi juga mencari kebenaran materil, sebagaimana yang dijelaskan
oleh H.R.Purwata20bahwa mengutamakan kebenaran formil tidaklah berarti
Hukum Acara Perdata sekarang ini mengenyampingkan kebenaran materil,
sebab menurut pendapat para ahli hukum dan yurisprudensi Mahkamah
Agung dalam perkara 3136 K/Pdt/1983 tertanggal 6 Maret 1985, kini sudah
tidak pada tempatnya lagi untuk berpendapat demikian. Hukum Acara Perdata
kini sudah harus mencari kebenaran materil seperti prinsip Hukum Acara
Pidana.
Pendapat di atas diperkuat lagi oleh M.Yahya Harahap yang
mengatakan bahwa pada dasarnya peradilan perdata tidak dilarang mencari
dan menemukan kebenaran materil. Akan tetapi bila kebenaran materil tidak
ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan
kebenaran formil.21

20

Penjelasan Wakil Ketua Mahkamah Agung (H.R.Purwata S.Ganda Subrata,SH) di muka Rapat
Kerja Mahkamah Agung, Departemen Agama di Jakarta tanggal 29 Mei 1981, dalam Roihan
A.Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991, hlm. 9
21
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.498. Lihat juga
putusam MA-RI No.3136 K/Pdt/1983

18

Menurut Maryana sebagaimana

yang dikutip oleh Bambang

Sutiyoso22menyatakan bahwa meskipun yang dicari hakim dalam perkara


perdata adalah kebenaran formil, tetapi dalam implementasinya dimungkinkan
ada penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kebutuhan. Dalam praktek
peradilan hakim perlu melihat kasusnya terlebih dahulu apakah kedudukan
para pihak-pihak yang berperkara seimbang (sebanding) atau tidak. Pengertian
seimbang dilihat dari beberapa faktor, seperti tingkat pendidikan, ekonomi
dan status sosialnya. Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
kedudukan para pihaknya seimbang, memang kebenaran formil yang dicari
hakim dan sistem pembuktian positiflah yang diterapkan. Tetapi dalam kasuskasus tertentu di mana kedudukan pihak-pihak yang berperkara tidak
seimbang atau ada kesenjangan yang cukup signifikan, maka hakim akan
berupaya mengorek lebih dalam dan mengkaji peristiwanya secara lebih
seksama. Dengan demikian diharapkan putusan yang dijatuhkan nantinya
dapat memenuhi rasa keadilan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Elfi Marzuni,23 apabila bukti-bukti
formil sudah cukup membuktikan kebenaran suatu peristiwa, maka hakim
cukup mendasarkan putusan pada kebenaran formil tersebut. Tetapi apabila
kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat mengajukan bukti-bukti
formil yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sama-sama kuatnya, maka
dalam hal ini hakim tidak saja mencari kebenaran formil, tetapi juga harus
menemukan kebenaran materilnya. Misalnya dalam perkara perdata
22

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembanannya di Indonesia , Gama Media,
Yokyakarta, 1997, hlm.154
23
Ibid

19

kepemilikan tanah, apabila penggugat mengajukan alat bukti akta otentik yang
berupa Sertifikat Hak Milik atas sebidang tanah, sedangkan tergugat
mempunyai dua orang saksi yang mengemukakan keterangan yang berbeda
dengan isi akta otentik milik penggugat. Dalam hal ini hakim perlu
menelusuri lebih jauh dengan memanggil Kepala Desa yang bersangkutan
untuk menjelaskan hal ihwal mengenai kepemilikan tanah tersebut. Kalau
ternyata dari hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa akta otentik tersebut
dibuat tidak melalui prosedur yang benar, maka berarti akta otentik tersebut
bukanlah alas hak yang sah secara hukum. Oleh karena itu hakim akan
menyatakan akta otentik milik penggugat tidak mempunyai kekuatan hukum
dan tidak mempunyai nilai pembuktian. Peran aktif hakim dalam masalah ini
sangat penting untuk menemukan kebenaran, tidak hanya sekedar menyeleksi
bukti-bukti yang diajukan para pihak tanpa mempunyai inisiatif sedikitpun.
Hal ini sejalan dengan tugas hakim sebagaimana disebutkan dalam UU No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) dan (2)
mengatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, serta harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di
bidang hukum.
Berdasarkan uraian di atas, secara teoritis maupun dalam praktek
peradilan perdata memang tidak dapat disangkal bahwa sistem pembuktian
positiflah yang berlaku. Adanya sistem pembuktian positif ini menentukan
kebenaran yang hendak dicari hakim dalam perkara perdata, yaitu kebenaran

20

formil. Dengan demikian eksistensi kebenaran formil dalam perkara perdata


dapat diketahui lebih jelas dalam putusan-putusan Pengadilan yang
memeriksa dan mengadili perkara perdata. Putusan-putusan perkara perdata
tersebut kemudian dianalisis untuk melihat beberapa hal, yaitu : Satu, Alatalat bukti apa yang digunakan oleh para pihak; Dua, Isi konsideran atau
pertimbangan hukum yang dibuat oleh hakim dalam putusan tersebut; dan
Tiga, putusan mengarah pada kebenaran formil atau kebenaran materil. Titik
tekan analisis terhadap putusan-putusan tersebut adalah pada ketiga hal diatas,
karena dari alat-alat bukti yang diajukan dan pertimbangan hukum yang
dibuat oleh hakim akan diketahui kenapa hakim sampai pada pengambilan
keputusan tersebut. Dari tahap-tahap yang dilakukan hakim tersebut, maka
dapat diketahui putusan cendrung mengarah kepada kebenaran formil ataukah
kebenaran materil.
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum yang dikemukakan diatas
ternyata mereka belum mempunyai persepsi yang sama dalam menyikapi
masalah ini. Di satu sisi ada yang membenarkan terhadap adanya keyakinan
hakim dalam perkara perdata, tetapi di sisi lain ada pula yang menolaknya.
Namun perbedaan pendapat tersebut lebih kepada bagaimana tehnis
merealisasikannya di muka pengadilan.
2. Keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara perdata menurut hukum
Islam
Dalam hukum Islam, keyakinan hakim memiliki beberapa tingkatan,
yaitu:
1. Yaqin : meyakinkan, yaitu si hakim benar-benar yakin (terbukti 100%).
21

2. Zhaan : sangkaan yang kuat, yaitu lebih condong untuk membenarkan


adanya pembuktian (terbukti 75-99 %)
3. Syubhaat : ragu-ragu ( terbukti 50%)
4. Waham : sangsi (terbukti -50%)
Seorang hakim harus menghindarkan memberikan putusan apabila
terdapat kondisi syubhaat atau lebih rendah, tapi hakim boleh berpegang pada
tingkat zhaan.24
Sabda Rasulullah S.A.W :Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang
haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhaat (perkara yang samar)
yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barang siapa yang
jatuh melakukan perkara yang samar itu, maka ia telah jatuh ke perkara yang
haram ( H.R. Bukhari dan Muslim ).
Dalam hukum pembuktian hanya diarahkan pada kaedah-kaedah fiqh.
Kaedah-kaedah fiqh yang dimaksud adalah dalil-dalil yang digunakan dalam
pemeriksaan perkara untuk pembebanan pembuktian.
Sebagaimana halnya dalam hukum acara perdata positif, dalam hukum
Islam juga terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli hukum Islam
sebagai berikut :
Pendapat pertama
Dalam hukum Islam, hakim tidak diwajibkan untuk mencapai suatu
kebenaran materil, melainkan hanya diwajibkan untuk mencapai kebenaran
formil saja. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah diputuskan oleh Qadli
24

http://myblogsamudra.blogspot.com/2010/05/pembuktian-dalam -hukum-islam.html Diakses


tanggal 23 Agustus 2011.

22

Syuraih tatkala memutuskan perkara perdata antara Ali bin Abi Thalib R.A
dengan seorang Yahudi sebagai berikut :
Ali bin Abi Thalib R.A kehilangan baju besi kepunyaannya sendiri, kemudian
didapatinya ada di tangan orang Yahudi. Lalu Ali berkata; itu adalah baju besi
saya yang hilang, jatuh dari untaku yang bernama Auraq. Lalu berkata
Yahudi; baju besi ini kepunyaan saya, sebab ada ditangan saya, kemudian
berkata lagi si Yahudi tadi; antaraku dan kamu ada hakim Islam, lalu mereka
datang kepada Syuraih, Lalu berkata Syuraih; apa yang kamu kehendaki
ya Amirul Mukminin ? Ali menjawab, baju besi saya jatuh dari unta saya
yang bernama Auraq, lalu ditemukan oleh si Yahudi, Syuraih berkata; apa
yang hendak kamu katakan hai Yahudi ? Si Yahudi berkata; ini baju besiku
sebab ada ditanganku, Syuraih berkata; Demi Allah! Engkau benar hai Amirul
Mukminin, karena sesungguhnya itu adalah baju besimu, tapi engkau tak
mempunyai bukti dua orang saksi. Lalu Ali memanggil Qambaran dan Hasan
bin Ali lalu keduanya bersaksi bahwa sesungguhnya baju besi itu adalah
kepunyaan Ali, lalu Syuraih berkata : adapun kesaksian dari maula kamu
(Qambaran) maka kami menerima kesaksiannya, tetapi kesaksian dari anakmu
maka kami tidak bisa menerima kesaksiannya. Lalu Ali R.A berkata; celaka
engkau ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Umar bin Khatab
berkata; Telah bersabda Rasulullah SAW; Hasan dan Husein adalah ketua
para pemuda ahli syurga. Kemudian Syuraih berkata kepada Yahudi; ambillah
baju besi itu Lalu orang Yahudi tadi berkata; Amirul Mukminin telah datang
ayahnya bersama-samaku kepada qadli muslimin, lalu ia menjatuhkan vonnis
dan aku telah ridlo, sebenarnya demi Allah ! engkau benar hai Amirul
Mukminin, karena sesungguhnya itu adalah baju besimu yang jatuh dari
untamu, kemudian aku mengambilnya, dengan ini saya bersaksi; Tidak ada
Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu utusan Allah.
Kemudian karena si Yahudi tadi mengucapkan dua kalimah syahadat,
Ali menghibahkan baju besi yang menjadi sengketa tadi kepada si Yahudi dan
ditambah dengan Sembilan ratus uang Ia (Qadli Syuraih) tidak memutuskan
hukum berdasar atas pengetahuannya (keyakinannya) sebagaimana ia tidak
menerima kesaksian anak terhadap ayahnya.25

Dalam riwayat ini diterangkan bahwa, Qadli Syuraih tidak


memenangkan Ali bin Abi Thalib yang walaupun menurut hal yang
sebenarnya dan menurut keyakinan qadli Syuraih sendiri, Alilah yang benar

25

Muhammad bin Ismail al-Kahlani Al-Sanany, Subul as Salam, Dahlan, Bandun, tt., hlm.125

23

dan harus dimenangkan, tapi karena Ali tidak membawa cukup bukti, maka
terpaksa Ali harus dikalahkan.
Jadi yang dipentingkan di sini adalah bukti-bukti, apakah telah cukup
bukti atau tidak. Bila bukti telah cukup maka seseorang dapat dimenangkan
berdasarkan bukti-bukti itu, akan tetapi bila tidak cukup bukti-bukti, maka
seseorang tidak dapat dimenangkan walaupun umpamanya menurut keyakinan
hakim dialah yang benar dan harus dimenangkan.
Keputusan qadli Syuraih ini berdasarkan kepada hadits Ummu
Salamah r.a. yang mengabarkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :

, ,
,
} {
Aku hanyalah seorang manusia dan kamu sekalian mengadukan
pertengkaranmu kepadaku. Barangkali sebagian dari kamu lebih fasih
berdebat daripada sebagian yang lain. Kemudian saya hanya
memutuskan menurut apa yang saya dengar. Oleh karena itu barang
siapa yang telah kuberi putusan untuk memperoleh sesuatu hak dari
hak saudaranya, jangan mengambilnya. Sebab apa yang aku
putuskankan kepadanya (menurut lahirnya, bila bertentangan dengan
sebenarnya) adalah sepotong api neraka (Rw.Jamaah ahli hadits)26
Di dalam hadits tersebut Nabi mengatakan saya memutuskan menurut
apa yang saya dengar Jadi apabila seorang hakim memutus dengan hanya
berdasar atas apa yang lahir saja, yakni hanya berdasarkan kepada bukti-bukti

26

Fatchur Rahman, Hadits-Hadits Tentang Peradilan Agama, Cet.pertama, Bulan Bintang, Jakarta,
1977, hlm.165

24

yang ada saja (formeel waarheid), maka keputusan itu adalah tetap sah dan
berkekuatan tetap yang berdasarkan atas hukum.
Lebih kongkritnya dapat dikatakan bahwa, hakim dalam perkara
perdata boleh memutus dengan kebenaran formil saja. Dan apabila terjadi
kesalahan/kekeliruan dalam memutus karena hanya berdasar atas kebenaran
formil, maka akibat hukumnya adalah :
1. Hakim tetap mendapat satu pahala, sesuai dengan hadits Nabi :


,
} {

Dari Amr bin Ash r.a. yang diterima dari Nabi Muhammad SAW
mengabarkan bahwa Nabi bersabda : Apabila hakim hendak mengambil
keputusan, yang disaat pengambilan keputusan ia berijtihad, kemudian
ternyata tepat, maka ia berhak memperoleh dua pahala. Jika ia hendak
mengambil keputusan, yang disaat pengambilan keputusan ia berijtihad,
kemudian ternyata salah, maka ia berhak satu pahala. (Muttafaq Alaih)27

2. Pihak yang pandai memutar-balikkan kebenaran diancam dengan ancaman


api neraka (lihat hadits Ummu Salamah di atas)
Rangkaian kata Rasulullah SAW yang menjelaskan apabila
seorang qadli mujtahid memutuskan perkara ternyata putusan yang
berdasarkan ijtihad itu salah ia akan memperoleh satu pahala
menimbulkan pertanyaan, yaitu apakah putusan qadli yang demikian itu
dapat dibatalkan oleh qadli mujtahid yang lain atau tidak.
27

Ibid, hlm.38

25

Menurut kebanyakan ulama bahwa putusan qadli mujtahid yang


salah itu dapat dibatalkan. Mereka beralasan dengan hadits Abu Hurairah
r.a. yang mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda

, , ,
, , , , ,
, : ,
} { , ,
Konon ada dua orang perempuan bersama dengan kedua anak mereka. Tibatiba datang srigala menggondol salah seorang anak mereka. (terjadilah
perselisihan). Kata salah seorang pemiliknya : Anakmulah yang digondol
srigala Bentak yang lain : Anakmulah yang digondolnya Akhirnya kedua
orang perempuan tersebut meminta pengadilan kepada Nabi Dawud a.s. Nabi
Dawud a.s. memutuskan anak yang tinggal itu bagi perempuan yang tertua
(yang sedang memegangnya). Lalu mereka pergi menemui Nabi Sulaiman bin
Dawud a.s. untuk menerangkan peristiwa dan putusan itu kepadanya. Kata
Sulaiman : Ambilkan aku pisau, akan kubagi anak itu untuk kamu berdua.
Jangan tuan lakukan hal itu, mudah-mudahan Allah melimpahkan kasih
sayang pada tuan, ia adalah anak perempuan (tertua) itu, sesal perempuan
yang muda. Kemudian Nabi Sulaiman a.s. memutuskan anak itu untuk
perempuan yang muda. (Muttafaq alaih) 28

Pendapat kedua
Islam adalah suatu agama yang datang dari Allah SWT yang Maha
Adil, Maha Besar, dan Maha Bijaksana dalam segala hal terutama dalam
masalah-masalah hukum. Sebagai pedoman dapat disimak dari firman
Allah, antara lain terdapat dalam :
a. Surat An-Nahl ayat : 90

...

Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat baik


28

Ibid, hlm.45

26

b. Surat Al-Hujurat ayat : 9

...

Dan berlaku adillah kamu, sesungguhnya Allah mengasihi orangorang yang berlaku adil

c. Surat At-Tien ayat : 8

Bukankah Allah yang paling teguh (adil) dari semua hakim?


d. Surat An-Nisa ayat : 135


Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu benar-benar
menjadi orang yang menegakkan keadilan dan menjadi saksi utuk
Allah, walaupun atas dirimu atau ibu bapakmu dan kaum kerabatmu.
Ayat-ayat diatas jelas dan tegas memerintahkan agar benar-benar
berlaku adil dengan arti kata yang sebenar-benarnya, yakni kita
diwajibkan berlaku adil di dalam segala masalah termasuk di dalamnya
masalah perkara perdata.
Oleh karena itu seorang hakim dalam mengadili sesuatu perkara,
baik perkara perdata ataupun perkara pidana harus mengetahui dengan
yakin mana yang harus dimenangkan dan mana yang harus dikalahkan
sesuai dengan hal yang sebenarnya.
Rasulullah SAW telah mengkualifisir hakim-hakim yang masuk
surga dan yang bakal dimasukkan kedalam neraka. Hakim-hakim itu
tidak akan selamat dari neraka selain mereka yang mengetahui akan
kebenaran sesuatu perkara kemudian memberikan keputusan terhadap

27

perkara itu berdasarkan keyakinan dan kebenarannya sesuai dengan


ketentuan Tuhan.
Sabda Rasulullah tersebut ialah :

:
.
) (
Rasulullah SAW bersabda : Hakim itu tebagi ke dalam tiga golongan.
Golongan pertama akan dimasukkan ke dalam syurga, sedang dua
golongan lagi akan dimasukkan ke dalam neraka. Hakim yang
dimasukkan ke dalam syurga adalah hakim yang mengetahui akan
kebenaran dan menjatuhkan putusannya berdasarkan keadilan dan
kebenarannya itu. Bagi hakim yang mengerti kebenaran, tetapi
menyimpang dari kebenaran itu dan memutus secara dzalim, maka ia
akan dimasukkan ke dalam neraka. Begitu juga bagi hakim yang
menjatuhkan putusan berdasarkan kejahilannya (kebodohan), maka ia
akan dimasukkan kedalam neraka. (HR.Abu Daud)29

Dalam hadits ini dikatakan bahwa hanya satu hakim yang selamat dan
masuk surga yaitu, hakim yang mengetahui kebenaran dan menghukum
dengannya. Yang dimaksud kebenaran di sini adalah kebenaran dengan arti
yang sebenar-benarnya (materil waarheid), dengan kata lain kebenaran
menurut lahir dan batin, bukan yang ada pada lahirnya saja, apalagi kebenaran
semu. Berkenaan dengan itu Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra ayat :
36


Dan janganlah kamu mengikut apa yang tidak kamu ketahui, karena
sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati semuanya itu
akan ditanya.
29

Ibid, hlm. 18

28

Ayat ini memperingatkan kepada seluruh kaum muslimin, termasuk di


dalamnya hakim agar tidak sembarangan dalam memutus suatu perkara,
hendaklah hakim memperhatikan betul tindakannya karena semuanya akan
dimintai pertanggung jawabannya nanti, disamping ditangan hakim terletak
nasib orang-orang yang meminta dan mencari keadilan.
Memang untuk mencapai kebenaran yang hakiki atau kebenaran sejati
sungguh sangat sulit sekali, sekaitan dengan itu Nabi bersabda :

, ,

}{
Dari Aisyah RA berkata; aku telah mendengar Rasullah SAW
bersabda; seorang hakim yang adil diperiksa oleh Allah SWT pada
hari kiamat, lalu karena ia mendapatkan hisab yang sangat berat,
kemudian ia berangan-angan; alangkah baiknya seandainya aku tidak
pernah mengadili (memutuskan suatu perkara) di antara dua orang
seumur hidupku (sewaktu di dunia). Dalam riwayat Baihaqie ditambah
dengan lafadz walau sebesar biji sawi sedikitpun (Riwayat Ibnu
Hibban dan Baihaqie)30
Oleh karena itu Nabi SAW melarang hakim mengadili di waktu ia
marah, dan melarang anak menjadi saksi terhadap ayahnya. Hal ini
dimaksudkan agar hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat mencapai
kebenaran yang sebenarnya, sebab dikhawatirkan bila hakim mengadili
dibarengi dengan adanya rasa marah, benci atau rasa cinta yang sangat seperti
cinta ayah kepada anaknya dan sebaliknya, maka tidak akan tercapai putusan

30

Muhammad bin Ismail al-Kahlani Al-Sanany, Op cit, hlm.122

29

yang objektif dan adil. Sedangkan Allah SWT menyuruh agar hakim
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat : 58

...
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan
amanat kepada yang berhak, dan apabila kamu menghukum antara
manusia maka hendknya kamu menghukum dengan adil

Secara logis dapat dipahami bahwa tidak mungkin hakim dapat


menyampaikan amanat/memutus perkara kepada yang berhak, tanpa
kebenaran sejati, yakni kebenaran

menurut lahir dan batin (kebenaran

materil)
Dalam hal ini Ibnu Rusyd berkata dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid :



Bahwa para ulama sepkat berpendapat, seorang qadli menghukum
dengan ilmunya (keyakinannya) di dalam menerima dan menolak
bukti-bukti. Bila ada beberapa orang saksi memberikan keterangan
yang bertentangan dengan pengetahuan (keyakinan) hakim, maka
hakim tidak boleh menghukum dengan dasar bukti tersebut.31
Dari keterangan Ibnu Rusyd di atas jelaslah bahwa di dalam sistem
peradilan dalam hukum Islam, maka pedoman hakim dalam menjatuhkan
putusan adalah adanya bukti yang sah dan meyakinkan hakim akan

31

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Dar al-Fikr, Beirut, 1990, hlm.470

30

kebenarannya. Senada dengan itu Abdoerraoef mengatakan bahwa hukum


Quran menuntut adanya keyakinan hakim dalam perkara sipil.32
Dengan demikian nyatalah bahwa dalam hukum Islam, baik perkara
perdata ataupun pidana menuntut hakim memutuskan perkara berdasarkan
kebenaran materil. Hal ini sesuai dengan tujuan dari hukum Islam itu yaitu
untuk mencari keadilan yang sebenarnya.
Setelah mengikuti pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para
ahli hukum diatas, maka dalam menyikapi masalah ini menurut hemat penulis
adalah : Hakim diharapkan berusaha mencapai kebenaran materil,dalam
memutuskan perkara perdata. Akan tetapi bila hal demikian sangat sulit
dilakukan mengingat keterbatasan hakim dalam pemeriksaanya, maka hakim
dapat memutus perkara perdata berdasarkan kebenaran formil.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedudukan dan kekuatan alat bukti akan memberikan pengaruh kepada hakim
untuk sampai kepada keyakinannya dalam memutus perkara, karena alat bukti
berfungsi untuk meyakinkan hakim.
2. Keyakinan hakim sangat diperlukan dalam memutus perkara perdata,
sekalipun alat-alat bukti telah lengkap diajukan oleh para pihak yang
berperkara, dan walaupun kebenaran yang dicari adalah kebenaran formil,

32

Abdoerraoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.193

31

tetapi kebenaran formil itu dimaknai sebagai kebenaran yang sebenarbenarnya atau kebenaran sejati.
3. Peran keyakinan hakim sangat penting dalam hukum acara perdata dan hukum
Islam disamping adanya alat-alat bukti lain sebagai bahan pertimbangan
hakim dalam memutus perkara.

32

Anda mungkin juga menyukai