Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sistem urinari adalah sistem ekskresi yang menghasilkan urin. Urin
merupakan kotoran dalam bentuk cair yang dikeluarkan dari tubuh. Urin mengalir
melalui ginjal, ureter, kandung kemih, dan akhirnya uretra. Urin dihasilkan malalui
tiga tahapan proses, yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi tubular (Aryulina 2004).
Urin terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa metabolisme, garam terlarut,
dan materi organik. Cairan yang tersisa mengandung urea dalam kadar tinggi dan
berbagai senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang akan dibuang keluar
tubuh. Urin mengandung zat sisa nitrogen (ureum, kreatinin dan asam urat), asam
hipurat (zat sisa pencernaan sayuran dan buah), badan keton yang merupakan zat sisa
metabolisme lemak, ion-ion elektrolit (Na, Cl, K, Amonium, sulfat, Ca dan Mg),
hormon, dan zat toksin (obat, vitamin dan zat kimia asing). Komposisi urin berubah
sepanjang proses reabsorpsi ketika molekul yang penting bagi tubuh diserap kembali
ke dalam tubuh melalui molekul pembawa (Sumardjo 2009). Zat yang tidak boleh
terkandung dalam urin normal adalah glukosa, albumin, protein, bilirubin, darah,
nanah atau aseton, karena adanya zat-zat tersebut menunjukkan adanya penyakit
dalam urin (Hegner 2003).
Secara umum, urin berwarna kuning dengan pH antara 4,8 7,5. Urin akan
menjadi lebih asam jika mengkonsumsi banyak protein, dan urin akan menjadi lebih
basa jika mengkonsumsi banyak sayuran. Aroma khas urin akan berbau ammonia jika
didiamkan agak lama dan warna akan menjadi kuning keruh. Urin juga memiliki
beberapa warna, yakni urin encer berwarna kuning pucat (kuning jernih), urin kental
berwarna kuning pekat, dan urin baru / segar berwarna kuning jernih (Brooker 2001).
Banyaknya sifat-sifat urin lain yang bisa diketahui jika dilakukan percobaan
urinmembuat praktikum mengenai urin penting untuk dilakukan agar praktikan dapat
mengidentifikasi sifat urin dan zat yang terkandung di dalamnya.

Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.

Mengidentifikasi sifat-sifat urin 24 jam


Mengetahui ada atau tidaknya kandungan garam ammonium pada urin
Menentukan belerang dalam urin
Mengetahui ada atau tidaknya kandungan asam urat pada urin
Mengetahui ada atau tidaknya kreatinin urin

TINJAUAN PUSTAKA
Sifat-Sifat Urin
Urin memiliki kandungan air sebesar 96% dengan 4% sisanya berupa larutan
organic dan larutan anorganik (Alimul 2008). Urin normal memiliki pH kurang dari 7
yang agak asam. Kandungan larutan organik dan anorganik dalam urin terdiri dari,
urea, kreatinin, asam urat, garam, pigmen empedu, dan asam oksalat (Brooker 2001).
Menurut Darmanto (2001), jumlah kreatinin dalam urin 24jam untuk laki-laki adalah
20-26 mg sedangkan pada wanita adalah 14-22 mg. Berat jenis urin antara 1.0151.030 tergantung pada konsentrasi bahan solid yang larut dalam urin. Volume urin
normal pada prial adalah 95-145 mL/menit dan wanita 75-115 mL/menit. Normalnya
urin berwarna kuning muda hingga kuning gelap akibat adanya urokrom, yaitu zat
yang berasal dari pemecahan hemoglobin. Urin yang baru dikeluarkan berbau
aromatik yang samar-samar, jika dibiarkan akan terjadi konversi ureum oleh bakteri
yang menghasilkan bau pesing ammonia. Urin juga dapat berbau amis jika terdapat
infeksi, makanan makanan tertentu pun dapat mempengaruhi bau urin seperti
asparagus yang memberikan bau khas. Urin bersifat asam jika banyak mengkonsumsi
protein, dan bersifat basa bila anyak mengkonsumsi sayur-sayuran. Urin sebagai zat
pelarut organik yang baik dapat melarutkan dan menguraikan lemak (Budiarso 2002).
Sifat urin selain sebagai pelancar juga berperan dalam mempercepat sirkulasi darah.
Dalam urin terkandung beberapa senyawa yang normal maupun abnormal. Senyawa
normal yang terdapat pada urine diantaranya sebagai berikut: ureum, amonia, keratin
dan kreatinin, asam urat, asam amino, allantoin, klorida, sulfat, fosfat, mineral, dan
oxalat. Sedangkan senyawa abnormal pada urin ialah glukosa, albumin, protein,
bilirubin, darah, nanah atau aseton, karena adanya zat-zat tersebut menunjukkan
adanya penyakit dalam urin (Hegner 2003).
Prinsip dan Metode
Urin merupakan salah satu cairan fisiologis yang sering dijadikan bahan untuk
pemeriksaan (pemeriksaan visual, pemeriksaan mikroskopis, dan menggunakan
kertas kimia) dan menjadi salah satu parameter kesehatan dari pasien yang diperiksa
(Winarno 1992). Ammonia adalah senyawa dalam urin, yang bersifat basa dan jika
mengalami pemanasan akan menimbulkan bau yang menyengat. Biasanya senyawa
ini berupa gas dengan bau tajam yang khas. Bau ini berasal dari penguraian urea oleh
jasad renik menjadi energi dan gas NH3. Pada urin yang dipanaskan kemudian uapnya
akan menimbulkan warna merah yang menunjukkan adanya garam amonium atau gas
NH3 yang mudah menguap pada kertas uji yang diberikan pereaksi Nessler ataupun
pada kaca. Amonia tidak memiliki muatan, sehingga dapat berdifusi melalui
membran ke dalam urin di dalam ginjal. Amonia akan mengikat proton dari urin yang
asam dan menjadi ion-ion amonium. Kandungan amonia sedikit dalam urin segar
pada keadaan normal (Winarno 2008).

Menurut Ganong (2008), terdapat tiga jenis belerang dalam urin, yaitu
belerang anorganik, belerang etereal, dan belerang tak teroksidasi. Kandungan
belerang anorganik adalah (85-90 %), belerang etereal 5-15 %, dan belerang tak
teroksidasi 5-25 %. Belerang-belerang ini berasal dari zat-zat organik metabolisme
protein. Urin 24 jam yang direaksikan dengan HCl encer dan BaCl2 akan membentuk
endapan putih yang menunjukkan adanya belerang anorganik. Memanaskan endapan
putih dengan penambahan HCl dan BaCl2 sedikit demi sedikit akan menunjukkan
adanya belerang eteral jika kekeruhan terjadi. Kertas saring yang digunakan pada
percobaan ini dibasahi dengan Pb-asetat dan akan berubah warna menjadi hitam
sebagai hasil reaksi positif belerang tak teroksidasi.
Sustrani (2007) menyatakan bahwa asam urat merupakan hasil akhir
terpenting oksidasi purin dalam tubuh. Asam urat sangat sukar larut dalam air, tetapi
mengendap membentuk garam-garam yang larut dengan alkali. Asam urat dalam urin
akan mereduksi reagen Folin atau Benedict dalam suasana alkalis akan memunculkan
larutan berwarna biru jernih yang merupakan reaksi positif reaksi Benedict. Pengujian
asam urat dilakukan juga dengan tes mureksida, yaitu dengan memanaskan urin
sampai kering yang telah ditambah HNO3 pekat. Asam urat akan dioksidasi oleh
asam nitrat pekat membentuk asam dialurat dan aloksan berkondensasi dengan
ammonia membentuk mureksida (ammonium purpurat) yang berwarna ungu
kemerahan.
Kreatinin adalah hasil metabolisme sel otot yang terdapat di dalam darah
setelah kegiatan dilakukan. Kreatinin merupakan bentuk anhidros dari kreatin sekitar
2% per hari. Kreatin dikonversi menjadi kreatinin dengan penambahan asam atau
basa kuat atau menggunakan enzim keratin hidroksilase. Ginjal membuang kreatinin
dari darah ke urin. Fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin dalam darah meningkat.
Kadar kreatinin dalam plasma darah normalnya adalah 0.6-1.2 mg/dL (Alam &
Hadibroto 2007). Kandungan kreatinin dalam darah dapat diukur secara kalorimetri
dengan reaksi Jaffe. Reaksi Jaffe terjadi akibat reaksi antara kreatinin dengan pikrat
dalam suasana alkali tanpa deproteinasi, membentuk kompleks kreatinin pikrat
berwarna jingga dan diukur menggunakan spektrofotometer visibel pada panjang
gelombang 492 nm. Warna ini akan berubah menjadi kuning apabila larutan
diasamkan. Reaksi Jaffe dilakukan untuk menentukan kreatinin endogen yang
diproduksi dalam tubuh manusia (Pambela 1998).

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum urin dilaksanakan pada hari Selasa, 19 November 2013 sampai
dengan hari Rabu, 20 November 2013. Praktikum dimulai pada pukul 12.30-15.30
WIB di Laboratorium Pengantar Biokimia Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk praktikum urin adalah botol mineral 1500 mL,
botol kecil untuk menampung urin yang dibawa saat praktikum, alat tulis, pH
universal, gelas ukur, gelas piala, kertas lakmus, tabung reaksi, penangas, gelas piala
1000 mL berisi air, gegep kayu, kertas saring, corong, tabung reaksi dan rak, pipet
tetes, dan pipet mohr. Adapun bahan-bahan yang digunakan pada praktikum meliputi
urin 24 jam, HCl encer, larutan BaCl2, serbuk Zn, larutan Pb-asetat, natrium
hidroksida, larutan Na2CO3 jenuh, asam urat bubuk, larutan NaCN 5%,
arsenofosfotungstat, larutan NaOH 10%, dan asam pikrat jenuh.
Prosedur Percobaan
Penentuan Sifat Sifat Urin
Praktikum penentuan sifat-sifat urin dilakukan dengan menggunakan beberapa
tahapan untuk mengamati bau, warna, kejernihan, pH dan berat jenis urin. Berikut ini
merupakan langkah-langkan percobannya
Urin selama 24 jam ditampung
Diukur volumenya
Dilakukan pengamatan terhadap bau, warna, kejernihan, pH dan berat jenis
Gambar 1 Prosedur penentuan sifat-sifat urin
Penentuan Garam-Garam Amonia
Penentuan garam-garam ammonia yang terkandung di dalam urin dilakukan dengan
langkah-langkah di bawah ini
10 mL urin ditambahkan dengan larutan NaOH 10% hingga membentuk campuran
yang bersifat basa
Campuran larutan dipanaskan
X

X
Diamati bau yang timbul setelah pemanasan
Uap yang dihasilkan diuji dengan menggunakan kertas lakmus dan dilakukan juga
pengujian dengan mengguakan kertas jarring yang dibasahi dengan Nessler
Gambar 2 Prosedur penentuan garam-garam ammonium di dalam urin
Belerang dalam Urin
Belerang dalam urin ada 3 jenis, yaitu belerang anorganik, belerang etereal,
dan belerang tak teroksidasi. Penentuan ada atau tidaknya belerang anorganik dan
belerang etereal dilakukan dengan uji secara berkelanjutan. Sedangkan untuk
belerang tak teroksidasi dilakukan dengan uji yang berbeda. Berikut merupakan
prosedur penentuan belerang aroganik:
10 mL urin dicampurkan dengan 3 mL HCl 0,1 M dan 3 tetes BaCl2
Diamati endapan yang terbentuk
Campuran larutan disaring untuk memisahkan filtrat dengan endapannya
Gambar 3 Prosedur penentuan ada atau tidaknya belerang anorganik dalam urin.
Belerang eteral ditentukan setelah proses penentuan ada atau tidaknya
belerang anorganik di dalam urin selesai. Berikut merupakan langkah-langkahnya:
Filtrat dari campuran larutan 10 mL urin + 3 mL HCl 0,1 M + 3 tetes BaCl2
dididihkan sebentar
Bila tidak ada endapan yang terbentuk, tambahkan 3 tetes HCL 0,1 M dan kemudian
dipanaskan kembali atau ditambahkan dengan 3 tetes BaCl2
Diamati kekeruhan larutannya
Gambar 4 Prosedur penentuan ada atau tidaknya belerang etereal dalam urin.
Belerang tak teroksidasi diuji dengan langkah yang berbeda dengan prosedur
penentuan ada tidaknya belerang anorganik ataupun belerang etereal. Berikut
disajikan prosedurnya:
10 mL urin dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan
seujung sudip butiran Zn
Sebanyak 2 mL HCl 0,1 M ditambahkan ke dalam tabung
Tabung reaksi ditutup dengan kertas saring yang sudah dibasahi dengan Pb-asetat
Diamati perubahan yang terjadi pada kertas saring
Gambar 5 Prosedur penentuan ada atau tidaknya belerang anorganik dalam urin

Asam Urat
Praktikum penentuan asam urat di dalam urin dilakukan dengan dua kali
percobaan. Percobaan pertama menggunakan tes Benedict dengan menggunakan
bahan utama asam urat bubuk, kemudian pada percobaan selanjutnya diganti dengan
urin. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
Na2CO3 dimasukkan ke dalam tabung reaksi
Ditambahkan seujung sudip asam urat bubuk
Sebanyak 1 tetes NaCN 5% ditambahkan ke dalam tabung
Ditambah dengan arsenofosfotungstat sebanyak 1 tetes
Diamati perubahan warna yang terjadi
Gambar 6 Prosedur percobaan asam urat dengan tes Benedict menggunakan bahan
asam urat bubuk
Na2CO3 dimasukkan ke dalam tabung reaksi
Ditambahkan 2 tetes urin
Sebanyak 1 tetes NaCN 5% ditambahkan ke dalam tabung
Ditambah dengan arsenofosfotungstat sebanyak 1 tetes
Diamati perubahan warna yang terjadi
Gambar 7 Prosedur percobaan asam urat dengan tes Benedict menggunakan bahan
urin
Percobaan penentuan ada atau tidaknya asam urat di dalam urin yang kedua
dilakukan dengan melakukan tes mureksida. Berikut disajikan langkah-langkahnya:
Seujung sudip Kristal asam urat ( 0,1 gram) dimasukkan ke dalam tabung reaksi
3 tetes asam nitrat pikat ditambahkan ke dalamnya
Tabung kemudian dipanaskan hingga larutan di dalamnya mongering
Warna yang terbentuk diamati
Ditambahkan 1 tetes ammonia encer setelah tabung dingin
Diamati kembali warna yang terbentuk
Gambar 8 Prosedur percobaan asam urat di dalam urin dengan tes mureksida

Kreatinin
Penentuan ada atau tidaknya kreatinin dalam urin bisa diuji dengan
melakukan reaksi Jaffe dan tes nitroprussida. Tetapi yang dilakukan pada praktikum
urin ini hanya reaksi Jaffe. Reaksi Jaffe dilakukan dengan sampel urin yang diberikan
tiga perlakuan berbeda untuk kemudian diamati dan dibandingkan ketiganya. Berikut
merupakan langkah langkahnya:
Sebanyak 5 mL urin dimasukkan ke dalam tabung
Ditambahkan 1 mL asam pikrat jenuh
1 mL NaOH 10% dituang ke dalam tabung
Kemudian ditambahkan HCl 1 N sebanyak 1 mL
Gambar 9 Prosedur penentuan ada atau tidaknya kreatinin dengan perlakuan pertama.
Sebanyak 5 mL urin dimasukkan ke dalam tabung
Ditambahkan 1 mL asam pikrat jenuh
1 mL NaOH 10% dituang ke dalam tabung
Gambar 10 Prosedur penentuan ada atau tidaknya kreatinin dengan perlakuan kedua.
Sebanyak 5 mL glukosa dimasukkan ke dalam tabung
Ditambahkan 1 mL asam pikrat jenuh
1 mL NaOH dituang ke dalam tabung
Gambar 11 Prosedur penentuan ada atau tidaknya kreatinin dengan perlakuan ketiga.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Urin merupakan keluaran akhir yang dihasilkan ginjal sebagai akibat
kelebihan urin dari penyaringan unsur-unsur plasma. Urin adalah cairan sisa yang
diekskresikan oleh ginjal kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
urinasi (Frandson 1992). Sifa-sifat pada urin dapat diamati serta dianalisis faktorfaktor yang mempengaruhinya, untuk mengetahui sifat-sifat pada urin dilakukan
terlebih dahulu pengumpulan urin.
Pengumpulan urin dilakukan selama 24 jam. Apabila urin yang pertama
dikeluarkan pukul 06.00 pagi maka semua urin di mulai pada waktu itu hingga
keesokan harinya di jam yang sama dikumpulkan. Seluruh urin disimpan dengan
menambahkan pengawet toluene atau formaldehid.
Percobaan ini kemudian dilanjutkan dengan pengamatan mengenai sifat-sifat
urin, antara lain volume, warna, bau, kejernihan, pH dan berat jenis. Adapun untuk
warna, bau dan kejernihan diamati secara fisik hanya melalui panca indera,
sedangkan untuk pH dan berat jenis menggunakan alat tambahan. Mengukur pH urin
digunakan pH universal sedangkan untuk berat jenis menggunakan urinometer dan
hidrometer. Berikut tabel hasil pengamatan sifat-sifat urin.
Tabel 1 Hasil pengamatan sifat-sifat urin
Sifat urin
Hasil pengamatan
Volume
500 mL
Warna
Kuning pekat
Bau
Formaldehid dan amonia
Kejernihan
5
pH
5
Berat Jenis
0,8424 g/mL

Volume urin yang dihasilkan oleh praktikan sebesar 500 mL selama 24 jam.
Urin yang normal memiliki jumlah rata-rata 1-2 liter sehari, tetapi berbeda-beda
sesuai dengan jumlah cairan yang dimasukkan. Kekurangan minum menjadi salah
satu penyebab kepekatan urin meningkat (kepekatan konsentrasi semua substansi
dalam urin meningkat) dan rendahnya volume urin (Evelin 2006).
Sesuai seperti dengan yang dinyatakan oleh Evelin (2006), bahwa urin
berbeda-beda pada tiap orang tergantung dengan jumlah cairan yang dikonsumsi. Hal
ini dapat dilihat bahwa pada percobaan, banyaknya urin probandus hanya sebesar 500
mL, hal ini menunjukan bahwa jumlah urin pada percobaan ini berada dibawah ratarata volume urin normal yaitu sebesar 1-2 liter sehari. Penyebab kurangnya urin yang
dikeluarkan dari dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, intake
cairan, kerja fisik dan faktor patologi. Intake cairan yang rendah akan menyebabkan
urin yang dihasilkan hanya sedikit, begitu pula makanan dan obat-obatan yang
dikonsumsi akan mempengaruhi volume air yang dihasilkan.
Warna urin yang teramati ketika percobaan dilakukan adalah warna kuning
pekat. Urin normal biasanya akan berwarna kuning bercahaya, karena merupakan
hasil ekskresi (pengeluaran) pigmen yang ditemukan dalam darah yang disebut

urochrome. Tetapi urin bisa berubah warna, sesuai dengan makanan atau penyakit
yang diderita seseorang (Karmana 2007).
Makanan dapat mempengaruhi perubahan warna yang cukup signifikan.
Seperti urin yang berwara jingga dipengaruhi oleh banyaknya konsumen memakan
jeruk atau makanan berwarna lainnya yang yang memiliki warna jingga baik itu
pewarna alami maupun pewarna buatan (Karmana 2007). Percobaan ini mengamati
urin yang berwarna kuning pekat, hal ini dapat terjadi karena probandus meminum
minuman berenergi yang mengandung B kompleks, B kompleks inilah yang
menyebabkan urin berwarna kuning pekat (Karmana 2007).
Selain dari faktor makanan, asupan air yang rendah ke dalam tubuh juga
menjadi salah satu penyebab warna urin menjadi pekat. Hal ini sesuai yang dengan
yang dinyatakan oleh Santoso (2004) bahwa tubuh membutuhkan sejumlah tertentu
asupan cairan agar dapat berfungsi dengan baik, sehingga jika intake cairan kurang,
maka tubuh akan menyimpan cairan yang ada dan urin akan menjadi sangat
terkonsentrasi. Ketika itu terjadi, maka warna urin akan berubah menjadi lebih gelap.
Bau urin pada percobaan ini berbau sedikit toluena dan juga amoniak. Bau
toluena ini didapatkan dari pengawet yang ditambahkan ke dalam urin ketika
penyimpanan. Menurut Santoso (2012) bau urin dari semula (bukan bau akibat
dibiarkan tanpa pengawet) memiliki makna. Bau normal disebabkan oleh asam-asam
organik yang mudah menguap. Bau abnormal dapat disebabkan oleh makanan
mengandung atsiri, obat-obatan, amoniak (perombakan ureum menjadi amoniak oleh
bakteri), ketonuria (bau aseton) dan bau busuk (perombakan protein).
Status hidrasi adalah suatu kondisi atau keadaan yang menggambarkan jumlah
cairan dalam tubuh seseorang yang dapat diketahui dari pengujian warna urin kartu
Periksa Urin Sendiri (PURI). Urin dicocokan dengan grafik warna pada kartu PURI.
Ketentuan warna urin yaitu apabila 1-3 maka subjek terhidrasi dengan baik, 4-8 maka
subjek mengalami dehidrasi (Prayitno 2012). Hasil kejernihan pada percobaan ini ada
ditingkat lima jika dilihat dari kartu PURI. Hal ini menunjukan bahwa subjek
mengalami dehidrasi. Dehidrasi dapat disebabkan oleh kurangnya asupan air ke
dalam tubuh.
Manz (2003) menyatakan bahwa asupan air merupakan total air dari makanan
dan minuman serta air metabolik. Kehilangan air harus diganti dengan air yang
diperoleh dari tiga sumber, yaitu dari minuman, air yang terkandung dalam makanan
serta air yang diperoleh sebagai hasil metabolisme.
Kandungan air pada makanan padat bervariasi, mulai 5% pada makanan yang
sangat kering seperti crackers sampai lebih dari 90% pada buah dan sayuran segar
seperti tomat, semangka, strawberry, bunga kol, dan daun selada. Asupan air
seseorang dipenuhi dalam beberapa cara. Kebanyakan air diperoleh dari minuman,
yaitu sekitar 1650 mL per hari dalam bentuk air, teh, kopi, soft drink, susu dan
sebagainya. Air dalam makanan padat menyumbangkan 750 mL (Muchtadi 1993).
Menurut Muchtadi (1993), makanan menyumbang jumlah air yang berbedabeda untuk tubuh. Kejernihan PURI dari urin yang digunakan dalam praktikum ini
cenderung ke arah yang pekat (subjek mengalami dehidrasi). Hal ini dapat
disebabkan oleh konsumsi makanan yang sangat kering atau meminum minuman
dengan warna yang pekat seperti kopi dan teh.

Urin yang diteliti pada percobaan ini memiliki pH 5. Hal tersebut sesuai
dengan yang dikatakan oleh Pratiwi (1989) bahwa urin bersifat asam dengan pH kirakira 4,7-8,0. Pada asidosis, reaksi sangat asam dan pada alkalosis bersifat basa, juga
tergantung makanan yang masuk. Bila urin dibiarkan, maka reaksi akan menjadi basis
karena perubahan urea menjadi amonia (Pratiwi 1998).
Berat jenis urin yang telah diukur pada percobaan adalah sebesar 0,8424
g/mL. Berat jenis urin tergantung dari jumlah zat yang terlarut di urin atau yang
terbawa di dalam urin. Berat jenis plasma (tanpa protein) adalah 1,010 g/mL. Bila
ginjal mengencerkan urin (misalnya sesudah meminum air) maka berat jenisnya
kurang dari 1,010 g/mL. Bila ginjal memekatkan urin (sebagaimana mestinya) maka
berat jenis urin naik di atas 1,010 g/mL. Daya pemekatan ginjal diukur menurut berat
jenis tertinggi yang dapat dihasilkan, yang seharusnya dapat lebih dari 1,025 g/mL
(Evelin 2006).
Berat jenis yang telah diukur tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh Evelin
(2006) bahwa berat jenis urin seharusnya dapat lebih tinggi dari 1,025 g/mL. Hal ini
dapat disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam pengamatan, baik dalam
perhitungan maupun melihat temperatur pada urin ataupun urinometer. Sifat urin
yang memiliki warna kuning yang cukup pekat seharusnya membuat urin memiliki
berat jenis yang cukup tinggi (Evelin 2006).
Pengukuran berat jenis dipengaruhi oleh adanya zat-zat yang bermolekul
besar yang terlarut dalam urin. Zat-zat tersebut dapat berasal dari dalam tubuh
misalnya glukosa, protein dan kalsium atau yang sengaja dimasukan dari luar yang
nantinya akan keluar bersama urin (Pusdiknas 1989).
Urin yang telah ditampung selama 24 jam selanjutnya diuji ada atau tidaknya
garam ammonium di dalam urin. Percobaan penentuan garam-garam ammonium
dalam urin dilakukan dengan cara mereaksikan 10 mL urin dengan 10% NaOH
sampai larutan bersifat basa. Penentuan basa dilakukan dengan pemberian sedikit
tetesan larutan pada kertas lakmus sampai kertas lakmus menunjukan warna basa
(biru). Campuran yang telah bersifat basa kemudian dipanaskan 3-5 menit di atas
penganas lalu diamati bau yang muncul dan diuji uap dengan kertas saring yang
dibasahi oleh reagen Nessler. Pemberian NaOH dan pemanasan dimaksudkan untuk
memisahkan ammonium dengan urin sehingga ammonium pada urin akan lebih
mudah bereaksi dengan reagen Nessler (James et al 2002) dan reagen yang digunakan
adalah Kalium tetraiodomercurate (II) zat ini lebih dikenal dengan nama reagen
Nessler yang digunakan untuk mendeteksi adanya ammonium. Ammonium apabila
direaksikan dengan reagen Nessler akan menghasilka warna jingga-merah
(Bhattacharya & Chakraborty 2005).
Hasil yang didapat dari uji garam ammonium ini adalah pada penambahan
urin dengan NaOH campuran yang didapat berwarna keruh dan berbau tajam dan
setelah campuran dipanaskan bau yang diamati jauh lebih tajam dari sebelumnya.
Pada pengujian uap campuran dengan kertas saring yang telah dibasahi reagen
Nessler hasil yang didapat adalah pada kertas saring tidak terjadi perubahan warna
pada kertas saring tersebut, hasil yang didapat pada pengamatan tidak sama dengan
apa yang dikemukakan oleh James et al (2002), ammonium yang direaksikan dengan

reagen Nessler akan membentuk warna jingga-merah akan tetapi pada pengamatan
tidak menghasilkan warna tersebut
Warna yang terbentuk dari campuran ammonia dengan reagen Nessler
seharusnya berwar jingga-merah akan tetapi hasil dari pengamatan tidak memberikan
perubahan warna tersebut, hal ini dikarenakan pada proses pereaksian diharuskan
campuran dipanaskan sampai menimbulkan uap yang banyak hal ini dibutuhkan agar
bahan yang direaksikan akan lebih mudah dilihat hasilnya akan tetapi pada percobaan
kali ini campuran hanya dipanaskan hanya 3-5 menit dikarenakan waktu praktikum
yang terbatas sehingga uap yang dihasilkan tidak banyak yang terbentuk dan juga
hasil yang didapat akan lebih baik apabila campuran diuji dengan reagen Nessler
perlakuan ini akan lebih mudah diamati ketimbang uap campurannya yang diuji,
memang benar urin yang direaksikan dengan NaOH harus dipanaskan agar
ammoniumnya terlepas dari urin akan tetapi menurut Juljanto (1998), penentuan
ammonium pada urin akan lebih akurat dan teliti dengan menggunakan teknik
spektofotometer, disinilah letak kelemahan percobaan ini dimana data yang didapat
tidak sesuai dengan teori dikarenakan teknik dan proses yang kurang teliti.
Hasil yang tidak sesuai ini juga dapat dikarenakan makanan responden yang
diambil urinnya tidak makan protein dengan cukup karena struktur dari ammonia
adalah NH3 dimana zat nitrogen ini hanya bisa kita dapatkan dari makanan yang
bersumber protein saja karena itu ada kemungkinan selain dari kecerobohan praktikan
hasil yang didapat ini juga bisa disebabkan oleh pola makan responden yang kurang
protein.
Menurut Filzahazny (2009), belerang pada urin dapat dibedakan menjadi
belerang anorganik, belerang eteral, dan belerang yang tak teroksidasi. Belerang
anorganik merupakan bagian terbesar dari belerang teroksidasi (85-90 %). Belerang
ini berasal dari metabolisme protein. Terbentuk endapan putih pada reaksi HCl encer
dan BaCl2 menunjukkan adanya belerang anorganik.
Belerang etereal merupakan senyawaan asam sulfat dengan zat-zat organik.
Sulfat etereal di dalam urin merupakan ester sulfat organik (R-O-SO3H) yang
dibentuk di dalam hati dari fenol endogen dan eksogen yang mencakup indol, kresol,
esterogen, steroid lain, dan obat-obatan. Zat-zat organik tersebut berasal dari
metabolisme protein atau pembusukan protein dalam lumen usus. Semuanya terurai
pada pemanasan dengan asam. Jumlah belerang eteral 5-15 % dari belerang total urin
(Filzahazny 2009).
Belerang tak teroksidasi merupakan senyawa yeng mempunyai gugus -SH, -S,
-SCN, misalnya asam amino yang mengandung S (sistin), tiosulfat, tiosianat, sulfida,
dan lain sebagainya. Jumlahnya adalah 5-25 % dari belerang total urin. Pada
percobaan ini, kertas saring yang dibasahi dengan Pb-asetat menjadi berwarna hitam
(hasil reaksi positif) (Filzahazny 2009).
Protein plasma sebagian kecil disaring di glomerulus yang diserap oleh
tubulus ginjal. Normal ekskresi protein urin biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam
atau 10 mg/dL dalam setiap satu spesimen. Bila lebih dari 10 mg/mL didefinisikan
sebagai proteinuria. Ada beberapa test urin untuk mengetahui ada protein, antara lain
tes heller, tes koagulasi, tes asam sulfosalisilat dan tes Osgood-haskins
(Basuki 2000).

Belerang yang terdapat dalam urin dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu
belerang anorganik, belerang etereal, dan belerang yang tak teroksidasi. Belerang
anorganik yang terdapat pada urin dapat diidentifikasi menggunakan HCl encer dan
BaCl2 yang dicampurkan. Apabila larutan HCl dan BaCl2 ini dididihkan selama
beberapa menit maka hasil pada percobaan ini dapat mengidentifikasi belerang
etereal yang terdapat dalam urin. Sedangkan belerang yang tak teroksidasi dapat
diamati dengan cara mencampurkan sebutir Zn dan sedikit HCl encer. Kemudian
campuran dari tabung ditutup dengan larutan Pb-asetat.
Percobaan mengenai belerang pada praktikum ini, menghasilkan larutan
berwarna kuning ketika HCl encer dan BaCl2 dicampurkan dengan urin serta tidak
terdapat endapan. Hal tersebut menunjukan bahwa pada urin tidak mengandung
belerang organik. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Filzahazny
(2009) bahwa urin mengandung belerang nonorganik maupun belerang eteral yang
ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna putih.
Larutan HCl encer, BaCl2, dan urin dicampurkan kemudian dipanaskan,
menghasilkan larutan yang berwarna kuning keruh. Kekeruhan ini menyatakan
adanya sulfat etereal. Hal ini sesuai seperti yang dinyatakan oleh Filzahanzy (2009)
bahwa urin mengandung belerang etereal dengan jumlah 5-15% dari belerang total
urin.
Percobaan terhadap ada atau tidaknya belerang yang tak teroksidasi
menghasilkan larutan yang memiliki endapan dan kertas saring berwarna kuning
keputih-putihan. Hal tersebut menunjukan bahwa pada urin yang diamati, tidak
terdapat belerang yang tak teroksidasi. Hal ini tidak sesuai dengan yang dinyatakan
oleh Filzahazny (2009) bahwa pada urin terdapat belerang yang tak teroksidasi
sebesar 5-25% dari belerang total urin yang ditandai dengan berubahnya warna kertas
saring menjadi hitam. Warna hitam ini dihasilkan karena adanya gas hidrogen sulfida
yang dilepaskan.
Perbedaan hasil pada praktikum ini dapat terjadi karena kesalahan-kesalahan
selama praktikum seperti kurang telitinya praktikan dalam menambahkan HCl encer
dan BaCl2 ataupun dalam penambahan butiran Zn. Rendahnya belerang di dalam urin
juga dapat disebabkan oleh kurangnya asupan belerang ke dalam tubuh. Makanan
sebagai sumber belerang antara lain telur, bawang putih, daging merah, makanan laut
dan asparagus (Wilkonson 2007).
Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme protein senyawa purin,
dihasilkan dalam jaringan yang mengandung enzim xantin oksidase terutama yang
terdapat dalam hati dan usus halus. Purin adalah salah satu kelompok struktur kimia
pembentuk DNA, yang termasuk kelompok purin adalah adenosin dan guanosin. Saat
DNA dihancurkan, purin akan dikatabolisme. Hasil buangannya berupa asam urat
(Nuni 2010).
Asam urat dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal. Namun
kadarnya dalam darah akan meningkat jika sintesisnya banyak dalam tubuh tetapi
eksresinya melalui ginjal sedikit. Asam urat yang terdapat di dalam darah akan sukar
larut di dalam semua cairan dan akan mengendap di sendi-sendi dan jaringan serta
ginjal. Endapan kristal asam urat pada ginjal lama kelamaan akan merusak organ

tersebut. Nilai asam urat normal pada pria 3,5-7,9 mg/dL dan 2,4-5,7 mg/dL pada
wanita ( Pribadi & Ernawati 2010).
Struktur asam urat adalah karbin, nitrogen,oksigen dan hidrogen dengan
rumus molekul C5H4N4O3. Pada pH alkali kuat asam urat membentuk ion urat dua
kali lebih banyak daripada pH asam. Pada pH netral urat dalam bentuk ion asam urat
kebanyakan dalam bentuk monosodium urat, banyak terdapat di darah. Kadar urat
tergantung jenis kelamin, berat badan, umur, tekanan darah, fungsi ginjal, dan
konsumsi akohol serta diet makanan yang mengandung purin tinggi. Kadar asam urat
pada laki-laki selama punertas akan meninggi tetapi pada wanita tetap rendah sampai
menopause. Asam urat akan dioksidasi oleh asam urat dioksidase atau urikase
menjadi alantoin. Sehingga apabila terjadi defisiensi enzim urikase, kadar asam urat
akan tinggi di dalam serum (Sofitri 2012).
Senyawa organik seperti asam urat dapat diketahui dengan melakukan uji
benedict dan uji mureksida. Prinsip uji benedict yang dilakukan ialah asam urat dapat
mengubah arsenofosfotungstat menjadi arsenofungsit yang akan membentuk senyawa
biru . Arsenofosfotungstat dan natrium sianida ditambahkan untuk memberikan
warna biru (Shanti 2010). Di bawah ini adalah hasil pengamatan uji benedict pada
urin dan membandingkannya dengan blanko. Blanko yang digunakan adalah asam
larutan Na2CO3 jenuh sebanyak dua tetes, kemudian ditambahkan asam urat bubuk,
ditambah NaCN 5% satu tetes dan ditambahkan arsenofosfotungstat satu tetes, lalu
diamati warnanya. Perlakuan yang sama juga dilakukan pada urin dan juga
mengamati hasil akhirnya.
Hasil percobaan uji benedict pada asam urat bubuk menunjukkan hasil
bewarna biru pekat. Sedangkan pada urin juga menunjukkan warna biru, tetapi warna
biru pada urin tidak sepekat warna blanko. Jadi, hasil pengamatan menunjukkan di
dalam urin tersebut terdapat asam urat. Namun, tidak diketahui kandungan asam urat
pada urin tersebut normal atau tidak.
Selain dilakukan uji benedict, juga dilakukan uji mureksida. Uji mureksida
juga menggunakan blanko sebagai perbandingan. Blanko yang digunakan adalah
asam urat bubuk seujung sudip ditambah tiga tetes asam nitrat. Setelah itu dipanaskan
hingga kering, warna diamati, dan tambahkan satu tetes amonia encer saat sudah
dingin. Kemudian warna yang muncul diamati. Perlakuan yan sama juga dilakukan
pada urin.
Asam urat bubuk yang ditambahkan asam nitrat bewarna biru. Setelah
dipanaskan berubah menjadi warna kuning. Berubah menjadi bening setelah
ditambahkan amonia encer. Warna urin sebelum dan setelah dipanaskan tetap sama.
Urin menjadi lebih encer setelah penambahan amonia.
Uji mureksida merupakan analisis kualitatif pada asam urat. Asam urat akan
dioksidasi oleh asam nitrat (HNO3) pekat membentuk asam dialurat dan aloksan.
Setelah ditambahkan amonia encer, maka asam dialurat dan aloksan akan
berkondensasi dengan amonia membentuk mureksida (ammonia purpurat) yang
bewarna ungu kemerahan. Mekanisme reaksi yang terjadi adalah jika urin setelah
ditambahkan ammonia encer tetap berwarna merah, maka hal itu menyatakan adanya
asam urat (Soewolo 2005). Jika melihat rujukan Soewolo (2005), pada urin tersebut

tidak ada asam urat. Tetapi, jika dibandingkan dengan blanko percobaan yang
menggunakan kristal asam urat, hasilnya akhirnya tidak jauh berbeda.
Kreatinina adalah zat racun dalam darah, terdapat pada seseorang yang
ginjanya sudah tidak berfungsi dengan normal. Senyawa ini dihasilkan ketika terjadi
kontraksi pada otot. Dalam darah, kreatinin dihilangkan dengan proses filtrasi melalui
glomeurus ginjal dan disekresikan dalam bentuk urin. Ginjal yang sehat
menghilangkan kreatinin dari darah dan memasukannya pada urin untuk dikeluarkan
dari urin. Analisis kadar kreatinin merupakan indeks medis yang penting untuk
mengetahui kondisi laju filtrasi glomerulus, keadaan ginjal, dan berfungsinya kerja
otot (Spiritia 2009).
Metode yang sering digunakan untuk penentuan kreatinin adalah metode
analisis melalui reaksi Jaffe. Reaksi Jaffe merupakan reaksi yang sederhana dan
mudah. Metode ini didasarkan pada pembentukan senyawa berwarna merah-orange
yang terjadi antara asam pikrat dengan kreatinin dalam suasana basa, warna ini akan
berubah menjadi kuning apabila larutan diasamkan (Siangproh et al. 2009).
Pada percobaan uji kreatinin dalam urin, urin ditambah dengan larutan asam
pikrat jenuh dan NaOH 10%, kemudian dibandingkan dengan yang ditambahkan
dengan HCl pada salah satu tabung reaksi, dan dibandingkan juga dengan larutan
glukosa yang ditambah asam pikrat alkalis. Berdasarkan hasil pengamat diperoleh
warna orange kemerahan dari penambahan urin dengan asam pikrat jenuh dan NaOH
10%, dan dengan yang ditambah HCl, Warna yang terbentuk dari larutan glukosa
yang ditambah dengan asam pikrat alkalis membentuk dua fase yaitu bagian atas
kuning, dan bagian bawah kuning kecoklatan seperti warna teh pekat. Hasil
pengamatan menunjukan di dalam urin terdapat kreatinin. Menurut Underwood
(1997), uji kreatinin menunjukkan hasil positif jika terjadi pembentukan tautomer
kreatinin pikrat berwarna merah.
Mengacu pada pernyataan Siangproh et al. (2009), urin yang diuji dalam uji
kreatinin kali ini melalui reaksi Jaffe mengandung kreatinin. Namun pada hasil
pengamatan larutan yang ditambahkan HCl tidak sesuai dengan literatur yang
mengatakan pada pembentukan senyawa berwarna merah-orange yang terjadi antara
asam pikrat dengan kreatinin dalam suasana basa yang menunjukan bahwa dalam urin
yang diuji terdapat kreatinin, warna ini akan berubah menjadi kuning apabila larutan
diasamkan (Siangproh et al. 2009). Hal tersebut dapat terjadi kemungkinan karena
larutan HCl yang digunakan kurang pekat, mengakibatkan tidak terjadi perubahan
warna.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Urin praktikan yang telah ditampung selama 24 jam diamati sifa-sifat
fisiknya, mulai dari volume, warna, bau, kejernihan, pH, dan berat jenisnya. Volume
dari urin praktikan yang diujikan adalah 500 mL dengan warna kuning yang pekat
jika dibandingkan dengan warna urin normal. Berdasarkan indikator PURI,
kejernihan dari urin yang diamati memiliki nilai 5 dan pHnya juga 5. Berta jenis dari
urin tersebut adalah 0,8424 g/mL. Setelah dilakukan uji penentuan garam-garam
ammonia dalam urin, ternyata hasilnya adalah tidak ada. Percobaan mengenai
belerang pada praktikum ini, menghasilkan larutan berwarna kuning ketika HCl encer
dan BaCl2 dicampurkan dengan urin serta tidak terdapat endapan. Hasil pengamatan
terhadap asam urat di dalam urin menunjukkan kalau di dalam urinpraktikan terdapat
asam urat, namun tidak diketahui jumlahnya dalam batasan normal atau tidak. Reaksi
Jaffe yang dilakukan untuk menunjukkan ada atau tifaknya kreatinin pada urin
menampakkan hasil kalau di dalam urin praktikan yang diuji terdapat kreatinin.
Saran
Ketelitian praktikan sangat diperlukan dalam percobaan urin, seperti pada
penentuan garam-garam ammonium yang memerlukan ketelitian khusus. Jika ingin
mendapatkan data yang lebih akurat, sebaiknya melakukan percobaan dengan
spektrofotometer. Alokasi waktu yang lebih lama juga diperlukan di beberapa
percobaan karena harus menunggu munculnya uap yang banyak dari dalam tabung.

DAFTAR PUSTAKA
Alam S dan Hadibroto I. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Alimul A. 2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan Edisi 2. Jakarta (ID):
Salemba.
Armstrong J.W. 2002. Air kehidupan: penyembuhan dengan terapi urin. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama.
Aryulina D. 2004. Biologi 2. Jakarta (ID): ESIS.
Basuki. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Malang (ID): CV Infomedika.
Bhattacharya dan Chakraborty GK. 2005. A Handbook of Clinical Pathology.
Kolkata (IN): Academic.
Brooker C. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta (ID): EGC.
Budiarso I. 2002. Terapi Auto Urin. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Darmanto D. 2001. Seluk-Beluk Pemeriksaan Kesehatan. Jakarta (ID): Yayasan Obor
Indonesia.
Evelin P. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta (ID): Gramedia.
Fizahazny. 2009. Biokimia. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Frandson F. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Yogyakarta (ID):
Universitas Gadjah Mada.
Ganong W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakatra (ID): EGC.
Hegner B. 2003. Asisten Keperawatan Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta (ID):
EGC.
James J, Baker C, Swain H. Principles of Science for Nurses. Oxford (UK):
Blackwell Science.
Julijanto N. 1998. Penentuan kadar ammonia dalam urin dengan metode Nessler.
[Skripsi]. [Internet]. [Dikutip 25 November 2013]. Semarang (ID):
Universitas
Diponegoro
62
hal.
Dapat
diunduh
dari
http://eprints.undip.ac.id/30662/.
Karmana O. 2007. Cerdas Belajar Biologi. Jakarta (ID): Grafindo Media Utama.
Manz F. Hydration Status in United Kingdom and Germany. London (UK):
Macmillan Publishers Ltd.
Muchtadi D. 1993. Metabolisme Zat Gizi: Jilid II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nuni. 2010. Info penting tentang asam urat. [Internet]. [dikutip tanggal 26 November
2013]. Dapat diunduh dari: http ://nuni34.multiply.com/journal/item/6.
Pratiwi. 1998. Biologi. Jakarta(ID): Erlangga.
Prayitno S. 2012. Perbedaan Konsumsi Cairan pada Remaja Obesitas dengan Non
Obesitas. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada.

Pribadi FW dan Ernawati DA. 2010. Efek catechin terhadap kadar asam urat, creactive protein (crp) dan molandialdehid darah tikus putih (Rattus
norvegicus) hiperurisemia. Jurmal Mandala of Health. [Internet]. [dikutip
tanggal 23 November 2013]; 4(1): 39-46. Dapat diunduh dari:
http://kedokteran.unsoed.ac.id/Files/Jurnal/mandala%20jan%202010%20pdf/EF
EK%20CATECHIN%20TERHADAP%20KADAR%20ASAM%20URAT,%20C%E2%80%9
3REACTIVE%20PROTEIN(CRP)%20DAN%20MALONDIALDEHID%20DARAH%20TIK
US%20PUTIH.pdf.

Pusdiknas. 1989. Hematologi. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan.


Santoso H. 2012. Biokimia Hematologi. Bandung (ID): Poltekes Bandung.
Santoso. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
Shanti D. 2010. Penyebab asam urat yang penting untuk anda kenali. [Internet].
[dikutip
tanggal
26
November
2013].
Dapat
diunduh
dari:http://www.dunia-ibu.org/artikel/kesehatan/penyebab-asam-urat-yangpenting-untuk-anda-kenali.htmL.
Siangproh, W., N. Teshima, T. Sakai, S. Katoh, O. Chailapakul, 2009, Alternative Method for
Measurement of Albumin/Creatinine Ratio using Spectrophotometric Seguential Injection
Analysis, talanta, 79:1111-1117

Soewolo. 2005.Fisiologi Manusia.Malang (ID): JICA.


Sofitri EN. 2012. Hiperurisemia pada pra diabetes. Jurnal Kesehatan Andalas.
1(2):86-91.
Sumardjo D. 2009. Pengantar Kimia. Jakarta (ID): EGC.
Underwood. 1997. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta (ID): Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Wilkonson. 2007. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia.
Yayasan Spirita. 2009. HIV dan Penyakit Ginjal. http://spiritia.or.id

LAMPIRAN

Gambar 12 Asam urat blanko

Gambar 13
Urin+NaCO3+NaCN

Gambar 14 Serbuk asam


urat+amonia encer

Gambar 15 Percobaan kreatinin

Gambar 16 Belerang tak


terosidasi

Gambar 17 Urin setelah


dipanaskan

Gambar 18 Urin setelah


dipaskan+amonia encer
Tabel 2 Hasil pengamatan garam-garam amonia dalam urin
Prosedur
Urin+NaOH
Urin+NaOH+dipanaskan
Uji uap

Hasil pengamatan
Keruh, berbau tajam
Tidak berubah warna,bau semakin tajam
Basa

Tabel 3 Hasil pengamatan belerang pada urin


Prosedur
Hasil pengamatan
10 ml urin + HCl encer + BaCl2
Kuning, tidak ada endapan
Lar A. dididihkan
Kuning keruh, tidak ada endapan
10 ml urin + Zn + HCl encer + kertas saring Ada endapan bewarna kuning putih
Tabel 4 Hasil pengamatan asam urat pada urin
Tes
Benedict

Blanko
Biru pekat

Muroksida

Biru, setelah dipanaskan


menjadi kuning kemudian
berubah menjadi bening

Urin
Biru, tetapi tidak sepekat bubuk
asam urat
Setelah dipanaskan menjadi kuning,
ditambah amonia encer tidak ada
perubahan tetapi menjadi bening

Tabel 5 Hasil pengamatan kreatinin pada urin


Urin
Urin + HCl
Orange kemerahan Orange kemerahan

Glukosa
Ada 2 fase:
Bagian atas: kuning
Bagian bawah :kuning kecoklatan

JOB DESK

No.
1

Nama
Ajeng Tresna Wulandari

2
3

Anggia Dwi Akbari


Dena Aulia

Dyana Safira Amalia

Nina Dwinova

Ricky Hansriansyah

Tugas
Cover, pendahuluan,
tinjauan pustaka
Pembahasan asam urat
Pembahasan sifa-sifat
fisik urin dan belerang
Editor, metodologi,
kesimpulan dan saran
Pembahasan kreatinin,
lampiran
Pembahasan garam
ammonium dan belerang

Ttd

Anda mungkin juga menyukai