Anda di halaman 1dari 10

URINALISIS

KELOMPOK 8
Ella Deffi Lestari (G84120017)
Yahya Ramadhani (G84120050)
Rachmat Saputra Biki (G84120053)
Yanti Fajarwati (G84120054)
Eneng Nurlaela

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PENDAHULUAN
Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Sekitar 60 % dari total
berat badan orang dewasa terdiri dari air (Irawan 2007). Cairan tersebut akan
terdistribusi dalm 2 komopartemen, yaitu sekitar 67% berada dalam cairan intraseluler
dan 33% sisanya berada pada cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler terdistribui
kembali ke dalam 2 sub-kompartemen, yaitu 75% terdapat dalam sela-sela sel (cairan
interstisial) dan 25 % berada pada plasma darah (cairan intravaskular) (Irawan 2007).
Selain cairan tubuh, adapula komponen yang menjaga kondisis tubuh tetap sehat, yaitu
elektrolit. Keseimbangan cairan dan elektrolit penting untuk kesehatan tubuh karena
sebagai salah satu bagian dari fisiologis homeostatis. Salah satu organ yang berperan
penting untuk menjaga keseimbangan tersebut adalah ginjal. Ginjal mempertahankan
keseimbangan tersebut dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai
kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam
tersebut. Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa
melalui pengeluaran urin yang asam (ion hidrogen) atau basa (ion bikarbonat) (Sari
2007).
Urin merupakan hasil ekskresi yang dikeluarkan oleh tubuh dalam wujud cairan,
yang proses pembentukannya terjadi di ginjal. Pembentukan urin oleh ginjal melalui
tiga proses, yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi. Filtrasi terjadi di glomerulus. Proses
ini terjaadi penyerapan darah yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein.
Cairaan yang tersaring tersebut disebut filtrat glomerulus dan ditaampung oleh simpai
bowmen. Filtrat glomerulus tersebut selanjutnya masuk dalam proses reabsobsi. Pada
proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida
fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Penyerapan pasif terjadi di tubulus proximal,
sedangkan penyerapan aktif terjadi di tubulus distal. Sisa dari penyerapan kembali yang
terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla renalis selanjutnya dikeluarkan ke luar tubuh
melalui proses sekresi dalam bentuk urin (Rodrigues 2008).
Analisis urin sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan dalam
tubuh terutama yang berkaitan dengan organ ginjal dan saluran kemih. Selain itu, uji
urin juga dapat digunakan untuk mengetahui kelainan-kelainan di berbagai organ tubuh
lainnya seperti hati, saluran empedu, pankreas, korteks adrenal, uterus, dan mendeteksi
adanya metabolit obat seperti zat narkoba (Uliyah 2008). Sampel urin yang digunakan
untuk analisis harus dalam keadaan segar, karena jika tidak, urea yang terdapat dalam
urin dapat diuraikan oleh bakteri menjadi amoniak. Keberadaan amoniak ini akan
membuat bau urin semakin menyengat dan bersifat basa, sehingga dapat mempengaruhi
hasil analisisnya (Ethel 2003). Jenis urin yang dianalisis dapat dibedakan berdasarkan
waktu pengambilannya, misalnya urin pagi, urin ketika puasa, dan urin postprandial
(urin yang dikeluarkan 1,5 3 jam setelah makan). Jenis urin pagi (setelah bangun
tidur) sangat baik untuk memerika sedimen (endapan) urin, berat jenis, dan kandungan
protein, sedangkan urin postprandial baik untuk memeriksa kandungan glukosa pada
urin (Soewoto 2001).
Praktikum bertujuan melakukan pengujian terhadap urin dan hubungannya
dengan diagnosis suatu penyakit atau kondisi/fungsi organ tertentu, memahami prinsipprinsip biokimia pada pengujian, serta terampil melakukan berbagai macam pengujian.

METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu sampel urin stok, dan sampel
urin probandus, asam asetat 6%, pereaksi Bang, pereaksi asam sulfosalisilat 25%,
pereaksi Benedict, kristal amonium sulfat, larutan natrium nitroprusida 5%, amonia
pekat, pereaksi Diazo, urin beralkohol, suspensi Zn-asetat. Alat yang digunakan adalah
urinometer, gelas ukur, pH universal, penangas air, pipet tetes, bunsen, tabung reaksi,
pipet Mohr, corong kaca, batang pengaduk, kertas saring, gelas piala, bulp.
Prosedur Penelitian
Pemeriksaan Visual dan Fisik
Sampel urin stok dan probandus diamati dari warna dan baunya, kemudian berat
jenis urin diukur menggunakan urinometer. Uji kualitatif lain yang dilakukan adalah
volume urin diukur menggunakan gelas piala, suhunya diukur dengan termometer, dan
dihitung kadar padatannya (g/ml), serta pH larutan urin diukur dengan indikator pH
universal. Pemeriksaan ini dilakukan pada urin stok dan urin probandus.
Proteinuria
Uji Koagulasi. Sampel urin disaring, kemudian sebanyak 5 mL filtratnya dipipet
dan dipanaskan sampai mendidih. Kemudian, 1-3 tetes asam asetat 6% ditambahkan
untuk mengetahui penyebab kekeruhan pada larutan. Apabila penambahan asam asetat
menyebabkan cairan urin menjadi jernih, kekeruhan diakibatkan karena adanya fosfat,
sedangkan apabila kekeruhan semakin pekat penyebabnya karena keberadaan protein.
Uji ini dilakukan pada urin stok dan urin probandus.
Uji Bang. Filtrat urin sebanyak 5 mL dipipet dan ditambahkan dengan 2 mL
pereaksi Bang. Larutan dicampur baik-baik dan dipanaskan. Hasil pengujian
dibandingkan dengan uji koagulasi. Uji ini dilakukan pada urin stok dan urin probandus.
Uji Asam Sulfosalisilat. Sebanyak 3 mL filtrat urin dipipet dan dimasukkan ke
da;am tabung reaksi. Posisi tabung dimiringkan, dan ditambahkan 3 mL pereaksi (25%
asam sulfosalisilat) secara perlahan-lahan melalui dinding tabung. Kekeruhan yang
timbul di pertemuan antara lapisan asam dan urin kemudian diamati. Uji ini dilakukan
pada urin stok dan urin probandus.
Glukosuria (Uji Benedict)
Sebanyak 5 mL pereaksi Benedict dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi. Kemudian 8 tetes urin yang sudah disaring, diteteskan ke dalam tabung dan
dipanaskan di atas nyala bunsen sampai mendidih. Setelah itu tabung didinginkan dan
perubahan warna larutan yang terjadi diamati. Apabila warna larutan berubah menjadi
hijau/kuning/merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi. Uji ini dilakukan pada
urin stok dan urin probandus.
Ketonuria (Uji Rothera)

Sebanyak 5 mL urin dipipet dan ditambahkan kristal amonium sulfat sampai


jenuh. Kemudian ditambahkan dengan 2-3 tetes larutan natrium nitroprusida 5% dan 12 mL amonia pekat. Warna yang terbentuk pada larutan diamati. Uji ini dilakukan pada
urin stok dan urin probandus.
Bilirubin (Metode Hyman-Bergh)
Sebanyak 0,5 mL urin dicampurkan dengan 0,5 mL alkohol. Kemudian
ditambahkan 1 mL pereaksi Diazo ke dalam tabung, dan dibubuhi setetes amonia pekat.
Timbunya warna merah eosin menunjukkan adanya bilirubin. Uji ini dilakukan pada
urin stok dan urin probandus.
Urobilinogen dan Urobilin (Metode Schlessinger)
Urin yang telah disaring dipipet sebanyak 5 mL ke dalam gelas kimia, kemudian
dibubuhkan bubuk Zn-asetat sampai jenuh. Selanjutnya 2 tetes amonia pekat
ditambahkan pada larutan, dikocok dan didiamkan sebentar. Larutan lalu disaring
menggunakan kertas saring kering, dan filtratnya ditampung ke dalam tabung reaksi.
Ada atau tidaknya fluoresensi pada larutan diamati. Uji ini dilakukan pada urin stok dan
urin probandus.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Urin merupakan salah satu komponen cairan tubuh manusia yang sudah tidak
dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi dapat dianalisis untuk membantu mendiagnosis
berbagai penyakit. Analisis yang dilakukan dapat berupa analisis secara visual dan fisik,
serta analisis kimiawi yang meliputi analisis protein, analisis glukosa, analisis keton,
dan analisis pigmen empedu. Analisis visual dan fisik mencakup analisis warna, bau,
volume, buih, berat jenis, suhu, kadar kepadatan, dan nilai pH. Data berikut merupakan
keseluruhan hasil analisis yang dilakukan terhadap urin probandus dan urin stok.
Tabel 1 Uji Kualitatif Urin
Parameter
Probandus
Warna
Bau
Volume
Buih
Berat jenis
terukur
(g/mL)
Suhu (C)
Kadar
padatan
(g/L)
pH

Kuning
jernih
Tidak
menyenga
t
50 mL
Sedikit
1.022
g/mL

Hasil
Sampel
kuantitatif
Kuning
pekat
Menyengat

Foto
Probandus
-

Sampel
kuantitatif
-

Banyak
1.000 g/mL

29oC
65

28oC
7.8

10

Uji
Koagulasi

Uji Bang

Uji Asam
Sulfosalisilat

Uji Benedict

++

Uji Rothera

Uji Bilirubin

Uji Urobilin

Keterangan:
(+)
= terdapat zat yang diujikan
(++)
= terdapat banyak zat yang diujikan
(-)
= tidak terdapat zat yang diujikan

Pemeriksaan air kemih (urin) dapat digunakan untuk penetapan diagnosis


berbagai penyakit. Beberapa metode pemeriksaan yang hingga kini masih digunakan
tergolong cara yang tradisional, yaitu pemeriksaan visual dan fisik. Pengamatan tersebut
meliputi volume, warna, bau, bobot jenis, kadar padatan, dan pH. Urin yang dihasilkan
oleh probandus sebanyak 50 mL (Tabel 1). Sementara itu, luaran urin harian setiap
orang berbeda-beda tergantung pada banyaknya asupan cairan dan kontrol oleh hormon.
Akan tetapi, angka normal produksi urin 800-2000 ml/hari, sedangkan apabila per jam

angka normal nya adalah 0.5 ml/kgBB/jam (Putri 2013). Hasil pengamatan
menunjukkan urin berwarna kuning, namun urin probandus lebih jernih dibandinkan
urin stok. Warna kuning pada urin disebabkan adanya pigmen urokrom dan sedikit
urobilin dan uroeritin. Urin normal berbau aromatik lemah, sementara hasil praktikum
menunjukkan bahwa urin yang disediakan laboran berbau menyengat sedangkan urin
probandus tidak menyengat. Bau menyengat pada urin yang disediakan oleh laboran
dimungkinkan adanya bakteri yang dapat menguraikan urea menjadi amoniak. Hasil
pengukuran suhu menunjukkan bahwa suhu urin yang disediakan laboran sebesar 28 oC
sedangakan urin probandus sebesar 29oC (Tabel 1). Suhu tersebut sangat berpengaruh
terhadap pengukuran bobot jenis menggunakan urinometer.
Informasi bobot jenis penting untuk mengetahui kemampuan ginjal untuk
memekatkan filtrat glomerulus. Bobot jenis urin stok sebesar 1,000 g/mLsedangkan urin
probandus sebesar 1,022 g/mL. Bobot jenis urin normal pada manusia berkisar 1,0011,035 mg/mL (Tortora 2006). Bobot jenis urin stok lebih rendah dari keadaan normal
dimungkinkan karena gangguan ginjal untuk memekatkan filtrat glomerulus atau
disebabkan faktor penyimpanan dapat menurunkan bobot jenis. Dua angka terakhir bj
urin (dua desimal terakhir) dapat digunakan untuk menghitung kadar padatan, dengan
mengalikan nilai tersebut dengan koefisisen Long (2,6), sehingga diperoleh kadar(gr/L).
Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa kadar urin stok sebesar 7,8 g/L
sedangkan urin probandus sebesar 59,8 mL (Tabel 1).
Hasil praktikum menunjukkan bahwa pH urin stok 10, sedangkan urin probandus
sebesar 10. pH urin normal berkisar 4.8-7.8. pH urin stok melebihi keadaan normal
karena urin tersebut tidak segar, melainkan telah disimpan untuk beberapa waktu.
Kenaikan pH seiring dengan lama waktu penyimpanan dimungkinkan akibat proses
hidrolisa urea pada saat proses penyimpanan. Konsentrasi urea yang cukup tinggi dalam
urin terhidrolisa menjadi NH3 oleh bakteri urease dimana proses ini akan menyebabkan
peningkatan pH (Feng, D et al, 2007). Sementara itu, bobot jenis juga mempengaruhi
pH urin, yaitu urin yang berbobot jenis rendah menghasilak ion H + rendah, sehingga
bersifat alkali dan sebaliknya. Selain itu, hasil ini juga diperkuat dengan banyak
sedikitnya buih yang dikandungnya, yaitu pada urin yang alkali mengandung buih yang
banyak.
Berdasarkan data pada Tabel 1, hasil uji proteinuria yang dilakukan terhadap urin
probandus ketiganya negatif, akan tetapi uji koagulasi pada urin stok hasilnya positif.
Uji koagulasi dapat digunakan untuk menentukan adanya protein secara kualitatif dan
dengan proses yang relatif cepat. Prinsip uji koagulasi adalah perlakuan panas akan
membuat protein dalam urin terkoagulasi, sedangkan penambahan asam asetat akan
melarutkan fosfat sehingga cairan urin menjadi jernih (Bintang 2010). Hasil tersebut
menandakan bahwa dalam urin probandus tidak mengandung protein, karena setelah
penambahan asam asetat cairan urin menjadi jernih, yang berarti kekeruhan diakibatkan
karena adanya fosfat. Urin stok positif mengandung protein, karena setelah penambahan
asam asetat cairan urin semakin keruh, karena adanya protein. Hasil positif pada urin
stok dapat diakibatkan karena beberapa faktor. Menurut Bawazier dalam Sudoyo AW
(2007), proteinuria terjadi apabila kadar protein dalam urin melebihi batas normal, yaitu
lebih dari 150 mg/hari. Hal ini dapat diakibatkan karena kegagalan tubulus
mengabsorbsi sejumlah kecil protein, dan terjadi perubahan permeabilitas glomerulus
yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein plasma, terutama albumin.
Uji kandungan protein dalam urin dapat juga dilakukan dengan uji Bang, yaitu
dengan penambahan larutan buffer, asam lemah pekat, dan aquades yang kemudian

dipanaskan. Protein dalam urin akan membentuk warna keruh karena adanya asam.
Karena protein sudah mendekati titik isolistriknya. Kemudian pemanasan yang
dilakukan juga berfungsi menambah kekeruhan dari protein dalam urin (Soewolo et al
2005).
Percobaan kali ini juga menguji kandungan protein pada urin dengan uji
sulfosalisilat. Uji ini dilakukan dengan penambahan asam sulfosalisilat pada urin dan
dibiarkan hingga terbentuk warna keruh jika mengandung protein. Prinsip dari uji ini
yaitu pengendapan protein dengan asam kuat atau kemampuan asam kuat dalam
mempresipitasikan protein. Adanya asam kuat membuat suasana pH menjadi turun
drastis dan membuat protein terdenaturasi sehingga menggumpal dan terbentuk warna
keruh (Soewolo et al 2005).
Menurut hasil dari percobaan yang dilakukan, urin menunjukkan hasil negatif
pada uji Bang ditunjukkan dengan tidak adanya warna keruh yang dibentuk (Tabel 1).
Hal tersebut menandakan tidak adanya protein dalam urin sehingga tidak terjadi
penggumpalan oleh asam dan panas. Hasil yang sama juga terjadi pada uji sulfosalisilat.
Terbukti dengan tidak terbentuknya kekeruhan ataupun endapan. Artinya tidak ada
protein dalam urin tersebut yang terpresipitasi oleh asam. Metode uji protein yang
paling akurat dari ketiga metode yang telah digunakan adalah uji asam sulfosalisilat.
Metode ini memiliki sensitivitas yang tinggi dibandingkan dua metode lainnya, karena
dapat mendeteksi adanya protein walaupun dalam konsentrasi atau jumlah yang sedikit.
Uji Benedict dilakukan untuk mendeteksi adanya glukosa dalam urin melalui
reaksi gula pereduksi, berdasarkan sifat glukosa yang dapat mereduksi ion-ion logam
tertentu dalam larutan alkalis. Prinsip uji Benedict adalah gula yang mengandung gugus
aldehida atau keton bebas akan mereduksi kupro oksida dalam pereaksi Benedict
menjadi kupro oksida berwarna (Bintang 2010). Hasil percobaan menunjukkan urin
probandus dan urin stok positif mengandung glukosa dengan adanya perubahan warna
cairan urin menjadi warna biru kehijauan (Tabel 1). Hasil tersebut dapat
mengindikasikan adanya gangguan pada fungsi ginjal, terutama pada tubulus ginjal
yang tidak dapat menyerap kembali gula dengan sempurna. Penyebab lain dikarenakan
kadar gula dalam darah terlalu tinggi atau melebihi batas normal akibat asupan makanan
sehingga tubulus ginjal tidak dapat menyerap kembali semua gula yang ada di
glomerulus (Scanlon et al. 2000).
Pengujian rothera yang dilakukan terhadap urin bertujuan mengetahui ada atau
tidaknya senyawa keton dalam urin. Prinsipnya yaitu natrium nitroprusid akan bereaksi
dengan asam aseto asetat dan aseton dalam suasana basa akan membentuk senyawa
berwarna ungu. Hasil yang didapatkan dari pengujian rothera menunjukkan bahwa urin
stok maupun urin probandus memberikan hasil yang positif (Tabel 1). Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa kedua urin yang digunakan mengandung senyawa keton. Badan
keton tidak ditemukan dalam urin normal. Ketonebodies (senyawa keton dalam tubuh)
adalah hasil oksidasi asam lemak yang tidak sempurna. Ketidakseimbangan hormonal
terutama produksi insulin yang tidak cukup untuk mengimbangi aktivitas glukagon di
dalam tubuh memungkinkan kondisi metabolisme yang cenderung mengarah ke
produksi yang relatif banyak ketonebodies yang disebut ketosis (Ronald & Richard
2002).
Badan keton terdiri dari 3 senyawa, yaitu aseton, asam aseotasetat, dan asam hidroksibutirat, yang merupakan produk metabolisme lemak dan asam lemak yang
berlebihan. Badan keton yang sering dijumpai dalam urin adalah aseton dan asam
asetoasetat. Urin yang mengandung senyawa keton umumnya terjadi ketika karbohidrat

tidak dapat digunakan untuk menghasilkan energi yang disebabkan oleh adanya
gangguan metabolisme karbohidrat (misalnya diabetes melitus yang tidak terkontrol),
kurangnya asupan karbohidrat (kelaparan, diet tidak seimbang: tinggi lemakrendah
karbohidrat), gangguan absorbsi karbohidrat (kelainan gastrointestinal), atau gangguan
mobilisasi glukosa, sehingga tubuh mengambil simpanan asam lemak untuk dibakar
(Soewoko 2003).
Urobilin adalah pigmen alami dalam urin yang menghasilkan warna kuning.
Ketika urin kental, urobilin dapat membuat tampilan warna oranye-kemerahan yang
intensitasnya bervariasi dengan derajat oksidasi, dan kadang-kadang menyebabkan
kencing terlihat merah atau berdarah. Prinsip dari pengujian urobilin yakni adanya
reaksi antaraurobilin dengan reagenschlesinger membentuk suatu kompleks dengan
memberikan fluoresensi hijau. Hasil positif ditunjukkan pada pengujian terhadap urin
stok, sedangkan pada pengujian urin probandus memberikan hasil yang negatif (Tabel
1). Hasil positif tersebut mengindikasikan bahwa urin stok mengandung urobilin. Urin
segar umumnya tidak mengandung urobilin. Terdapatnya kandungan urobilin dalam
urin menggambarkan adanya kerusakan sel hati atau perombakan hemoglobin yang
meningkat, sedangkan ketika terjadi endapan pada saluran empedu, urobilin tidak
dijumpai dalam urin (Sharp & Corp 2011).
Pembentukan urobilin terjadi ketika bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum
terminal dan kolon dihidrolisa oleh enzym bakteri glukoronidase dan pigmen yang
bebas dari glukoronida direduksi oleh bakteri usus menjadi urobilinogen, suatu senyawa
tetrapirol tak berwarna. Sejumlah urobilinogen diabsorbsi kembali dari usus ke
perdarahan portal dan dibawa ke ginjal kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang
memberi warna kuning pada urin. Sebagian besar urobilinogen berada pada feces akan
dioksidasi oleh bakteri usus membentuk sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan
(Wella 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekskresi urin ada faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh hormon ADH, hormon insulin, dan kondisip
psikologis. Kemudian faktor eskternal meliputi suhu lingkungan, konsumsi garam,
jumlah
air
yang
diminum,
konsumsi
alkohol
dan
obat.
Salah satu contoh pengaruh obat adalah pemberian anestesi spinal pada bedah sesar
dapat menurunkan laju filtrasi glomerulus, sehingga produksi urin menjadi rendah (Putri
2013).

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Analisis urin penting dilakukan untuk mendiagnosa penyakit dalam tubuh atau
mendeteksi adanya gangguan fungsi organ tubuh tertentu. Hasil urinalisis menunjukkan
warna urin kuning jernih, berbau tidak menyengat, volumenya 50 mL dengan buih yang
sedikit, berat jenis terukur sebesar 1,022 g/mL, suhunya 29 oC, kadar kepadatan 59,8
g/L, dan pHnya 6. Hasil uji kimiawi urin negatif terhadap uji urobilin dan uji
proteinuria yang meliputi uji koagulasi, uji asam sulfosalisilat, dan uji Bang, sedangkan
untuk uji Benedict, uji Rothera, dan uji Bilirubin hasilnya positif. Oleh karena itu,
probandus diindikasikan mengalami ketidaknormalan fungsi organ ginjal, pankreas, hati
dan saluran empedu.

Saran
Kelengkapan bahan sebagai penunjang praktikum sebaiknya lebih diperhatikan,
agar semua percobaan yang direncanakan dalam rencana kerja dapat terealisasi
seluruhnya. Selain itu, bahan urin stok yang disediakan harus disertai informasi yang
diperlukan, misalnya waktu pengambilan urin yang berkaitan dengan kesegaran urin.
Harapannya informasi tersebut dapat mempermudah praktikan dalam membahas hasil
yang didapat.

DAFTAR PUSTAKA
Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID): Erlangga.
Ethel S. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta (ID): Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Feng D, Wu Z, Xu S. 2007. Nitrification of Human Urine for Its Stabilization and
Nutrient Recycling. Biosource Technology. 99(2008): 6299-6304.
Irawan MA. 2007. Cairan tubuh, elektrolit, dan mineral. Jurnal Polton Sports Science
and Performance Lab. 1(1): 1-6.
Putri FW. 2013. Pengaruh pemberian loading 500 cc hidroxylethyl starch 130/0,4 (6%)
terhadap produksi urin pada anestesi spinal pasien sectio caesaria. Jurnal Media
Medika Muda. 2(1): 1-16.
Rodrigues P, Hering FP, Campagnari JC. 2008. Impact of Urodynamic Learning on the
Management of Benign Prostate Hyperplasia Issue. Canadian Medical Journal.
24(5): 35-44.
Ronald A, Richard A. 2002. Widmans clinical interpretation of laboratory test 11ed.F.A
Davis Company: ECG.
Sari MI. 2007. Fungsi sistem ginjal dalam homeostatis pH [skripsi]. Medan (ID):
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Scanlon, Valerie C, Sanders T. 2000. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi. Jakarta (ID) : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sharp Merck & Corp Dohme. 2011. Urinalysis. New York (US): ECG.
Soewoko. 2003. Fisiologi Manusia. Malang (ID): Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA
Universitas Negeri Malang.
Soewolo et al. 2005. Fisiologi Manusia. Malang (ID): UM Press.
Soewoto, Hafiz et al. 2001. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Jakarta (ID): UI Pr.
Sudoyo AW, Setiyohadi, Alwi B, Simadibrata, Setiati S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi 4. Jakarta (ID): Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tortora GJ, Derrickson B. 2006. Principles of Antomy and Physiology. New Jearsey:
Von Hoffmann Press Inc.
Wella, B, B. 2006. Clinic Pathology Application and Interpretasion Third Edition.
USA : WB Saunders Company.

Lampiran 1 Data Sementara Praktikum

Anda mungkin juga menyukai