Anda di halaman 1dari 18

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anemia
2.1.1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara
praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (red cell count). (Bakta, 2009)
2.1.2. Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: (Bakta,2009) 1.Gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang 2.Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
3.Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
Kriteria Anemia
Kriteria Anemia menurut WHO
Laki-laki dewasa
Hb < 13 gr/dL
Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
Wanita hamil Hb < 11 gr/dL
2.1.4. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009)
Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi vitamin B12
Gangguan penggunaan besi
Anemia akibat penyakit kronik
2
Anemia sideroblastik
Kerusakan sumsum tulang
Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoietik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat perdarahan
Anemia pasca perdarahan akut
Anemia akibat perdarahan kronik
Anemia hemolitik
Anemia hemolitik intrakorpuskular
Gangguan membran eritrosit (membranopati)
Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalasemia

Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll


Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik mikroangiopatik
Lain-lain
Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2009)
Anemia hipokromik mikrositer
Anemia defisiensi besi
Thalasemia major
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
Anemia pasca perdarahan akut
Anemia aplastik
Anemia hemolitik didapat
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia pada keganasan hematologik III. Anemia makrositer
Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Gejala Anemia
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun
penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu.Gejala umum
anemia ini timbul karena : (Bakta.2009)
a. Anoksia organ
b.Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen
(Kaushansky, et al., 2010)
Affinitas oksigen yang berkurang
Untuk peningkatan pengangkutan oksigen ke jaringan yang efisien, dilakukan dengan
cara mengurangi affinitas hemoglobin untuk oksigen. Aksi ini meningkatkan ekstraksi
oksigen dengan jumlah hemoglobin yang sama.
Peningkatan perfusi jaringan
Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang berkurang pada jaringan dapat
dikompensasi dengan meningkatkan perfusi jaringan dengan mengubah aktivitas
vasomotor dan angiogenesis.
Peningkatan cardiac output
Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen yang harus diekstraksi selama setiap
sirkulasi, untuk menjaga tekanan oksigen yang lebih tinggi. Karena viskositas darah
pada anemia berkurang dan dilatasi vaskular selektif mengurangi resistensi perifer,
cardiac output yang tinggi bisa dijaga tanpa peningkatan tekanan darah.

Peningkatan fungsi paru


Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan frekuensi pernafasan yang
mengurangi gradien oksigen dari udara di lingkungan ke udara di alveolar, dan
meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia lebih banyak daripada cardiac output yang
normal.
Peningkatan produksi sel darah merah
Produksi sel darah merah meningkat 2-3 kali lipat pada kondisi yang akut, 4-6 kali lipat
pada kondisi yang kronis, dan kadang-kadang sebanyak 10 kali lipat pada kasus tahap
akhir. Peningkatan produksi ini dimediasi oleh peningkatan produksi eritropoietin.
Produksi eritropoietin dihubungkan dengan konsentrasi hemoglobin. Konsentrasi
eritropoietin dapat meningkat dari 10 mU/mL pada konsentrasi hemoglobin yang
normal sampai 10.000 mU/mL pada anemia yang berat.
Perubahan kadar eritropoietin menyebabkan produksi dan penghancuran sel darah
merah seimbang.
Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun dibawah 7
gr/dL. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada : (Bakta.2009)
Derajat penurunan hemoglobin
Kecepatan penurun hemoglobin
Usia
Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya
Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis, angularis, dan kuku
sendok (koilonychias)
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12
Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali Anemia aplastik :
perdarahan dan tanda-tanda infeksi
Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing
tambang : sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.
Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada
anemia akibat penyakit kronik oleh karena atritis rheumatoid.
2.1.6. Diagnosis Anemia
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting
diperhatikan dalam diagnosis anemia. Tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah:
(Bakta.2009)
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil
pengobatan.

2.1.7 Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum atau kehilangan
sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum ( mis.,
kekurangan eritripoesis).dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajangan toksik,
invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak di ketahui.
Lesi sel darah merah terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam sistem
retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Bilirubin yang terbentuk dalam
fagosit akan memasuki aliran darah. Kenaikan destruksi sel darah merah
(hemolisis)

segera

direfleksikan

dengan

peningkatan

bilirubin

plasma.

( konsenterasi normalnya 1 mg/dl atau kurang; kadar diatas 1,5 mg/dl


mengakibatkan ikterik pada sklera.)
Sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi
pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam pelasma
(hemoglobinemia). Konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma
(protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya ( mis,
apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100 mg/dl), hemoglobin akan terdifusi dalam
glomerulus ginjal kedalam urin ( hemoglobinuria).
Suatu anemia pada pasien yang di sebabkan oleh penghancuran sel darah merah
atau produksi sel darah merah tidak mencukupi, dapat diperoleh dengan dasar:

Hitung retikulosit dalam sirkulasi darah

Derajat proliferasi sel darah muda dalam sumsum tulang dengan cara

pematangannya seperti yang terlihat dalam biopsi

Ada atau tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia

Eritropoesis (produksi sel darah merah) dapat ditentukan dengan mengukur


kecepatan dimana injeksi radioaktif dimasukkan kesirkulasi eritrosit. Rentang
hidup sel darah merah pasien (kecepatan hemolisis) dapat diukur dengan injeksi
kromium radioaktif, dan mengikuti sampai bahan tersebut menghilang dari
sirkulasi darah selama beberapa hari sampai minggu.
2.1.8 Faktor Resik
Anemia aplastik merupakan penyakit langka. Faktor-faktor yang
dapat meningkatkan risiko diantaranya:

Pengobatan kanker dengan radiasi dosis tinggi atau


kemoterapi

Paparan bahan kimia beracun

Penggunaan beberapa obat resep seperti kloramfenikol,


yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri

Penyakit darah tertentu, gangguan autoimun, dan infeksi


serius

Dalam kasus yang jarang, kehamilan

2.1.9 Penanganan
Penanganan anemia dilakukan berdasarkan penyebabnya terjadinya anemia. Tujuan
utama terapi adalah pengobatan yang disesuaikan dengan etiologi dari anemianya,
berbagai teknik pengobatan dapat dilakuakak, seperti:
Transfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell dari
Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik
Kortikosteroid, dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat
trombositopenia
Androgen, seperti fluokrimesteron, testosteron dan nandrolon
Imunosupresif, seperti siklosporin,globulin antitimosit
Transplantasi sumsum
2.2 Stroke
2.2.1 Definisi
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak
fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler
(Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi,1999).
2.2.2 Epidemiologi
Insiden stroke bervariasi di berbagai negara di Eropa, diperkirakan terdapat 100-200
kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun (Hacke dkk, 2003). Di Amerika
diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan
lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan 4.8 juta penderita stroke yang bertahan
hidup.(Goldstein dkk, 2006). Rasio insiden pria dan wanita adalah 1.25 pada kelompok
usia 55-64 tahun, 1.50 pada kelompok usia 65-74 tahun, 1.07 pada kelompok usia 75-84
tahun dan 0.76 pada kelompok usia diatas 85 tahun (Lloyd dkk, 2009)
2.2.3. Klasifikasi Stroke
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi anatomi (lesi),
stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah). Berdasarkan patologi anatomi dan
penyebabnya:
Stroke iskemik
Transient Ischemic Attack (TIA)
Trombosis serebri

Emboli serebri
Stroke hemoragik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subarakhnoid
Berdasarkan stadium:
Transient Ischemic Attack (TIA)
Stroke in evolution
Completed stroke
Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):
Tipe karotis
Tipe vertebrobasiler
2.2.4. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan
kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau
potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well
documented) (Goldstein,2006).
Non modifiable risk factors :
Usia
Jenis kelamin
Berat badan lahir rendah
Ras/etnis
genetik
Modifiable risk factors :
Well-documented and modifiable risk factors
Hipertensi
Paparan asap rokok
Diabetes
Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu
Dislipidemia
Stenosis arteri karotis
Sickle cell disease
Terapi hormonal pasca menopause
Diet yang buruk
Inaktivitas fisik
Obesitas
Less well-documented and modifiable risk factors
Sindroma metabolik
Penyalahgunaan alkohol
Penggunaan kontrasepsi oral
Sleep-disordered breathing
Nyeri kepala migren
Hiperhomosisteinemia
Peningkatan lipoprotein (a)
Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase
Hypercoagulability
Inflamasi
Infeksi

2.2.5. Patofisiologi
Patofisiologi Stroke Iskemik
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap
(Sjahrir,2003)
Tahap 1 :
Penurunan aliran darah
Pengurangan O2
Kegagalan energi
Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2 :
Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
Spreading depression
Tahap 3 :
Inflamasi
Tahap 4 :
Apoptosis
Proses patofisiologi pada cedera SSP akut sangat kompleks dan melibatkan
permeabilitas patologis dari sawar darah otak, kegagalan energi, hilangnya homeostasis
ion sel, asidosis, peningkatan kalsium ekstraseluler, eksitotoksisitas dan toksisitas yang
diperantarai oleh radikal bebas. (Sherki dkk,2002)

Gambar 1. Mekanisme seluler pada iskemik SSP akut.


Dikutip dari : Sherki,Y.G., Rosenbaum.Z., Melamed,E., Offen,D. 2002.
Antioxidant Therapy in Acute Central Nervous System Injury: Current State. Pharmacol
Rev. 54:271Patofisiologi Stroke Hemoragik
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih
20 % adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan

subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000).


Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry
aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal,
serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola
berdiameter 100 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding
pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang
tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari
pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler
yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume
perdarahan semakin besar(Caplan, 2000).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena darah dan
sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke
jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000).
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak
pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan
subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan
dari arteriovenous malformation (AVM).
2.2.5 Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala dari stroke adalah :
1; Kehilangan motorik
Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis
pada salah satu sisi) dan hemiparesis (kelemahan salah satu
sisi) dan disfagia.
2; Kehilangan komunikasi
Disfungsi bahasa dan komunikasi adalah disatria (kesulitan
berbicara) atau afasia (kehilangan berbicara).
3; Gangguan persepsi
Meliputi disfungsi persepsi visual humanus, hemianopsia atau
kehilangan

penglihatan

perifer

dan

diplopia,

gangguan

hubungan visual, spesial dan kehilangan sensori.


4; Kerusakan fungsi kognitif parestesia (terjadi pada sisi yang
berlawanan).
5; Disfungsi

kandung

kemih

meliputi: inkontinensiaurinarius

transier, inkontinensia urinarius peristen atau retensi urin


(mungkin

simtomatik

dari

kerusakan

otak

bilateral),

Inkontinensia urinarius dan defekasi yang berlanjut (dapat


mencerminkan kerusakan neurologi ekstensif).
Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung dengan daerah
otak yang terkena:
1; Pengaruh terhadap status mental; tidak sadar, konfus, lupa
tubuh sebelah.
2; Pengaruh secara fisik; paralise, disfagia, gangguan sentuhan
dan sensasi, gangguan penglihatan.
3; Pengaruh terhadap komunikasi; bicara tidak jelas, kehilangan
bahasa.
2.2.6; PEMERIKSAAN PENUNJANG

1; Angiografi Serebral
Menentukan

penyebab

stroke

secara

spesifik

seperti

perdarahan atau obstruksi arteri.


2; Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak, yang
juga mendeteksi, melokalisasi, dan mengukur stroke (sebelum
nampak oleh pemindaian CT).
3; CT-Scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema,
posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau
iskemia dan posisinya secara pasti.
4; MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi
dan besar terjadinya perdarahan otak. Hasil yang didapatkan
area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
5; EEG (Electro Encephalo Graph)

a; Vo

10

Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul


dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunya
impuls listrik dalam jaringan otak.
6; Pemeriksaan Laboratorium
a; Lumbal pungsi; pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai
pada perdarahan yang masif, sedangkan pendarahan yang
kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom)
sewaktu hari-hari pertama.
b; Pemeriksaan

darah

rutin (glukosa,

elektrolit,

ureum,

kreatinin)
c; Pemeriksaan kimia darah; pada strok akut dapat terjadi
hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam
serum dan kemudian berangsur angsur turun kembali.
d; Pemeriksaan darah lengkap; untuk mencari kelainan pada
darah itu sendiri.

2.2.7; DIAGNOSIS

1; Gambaran Klinis
a; Anamnese
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang
mengalami defisit neurologi akut (baik fokal maupun global)
atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak terdapat tanda
atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan
non hemoragik meskipun gejalah seperti mual muntah, sakit
kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi
pada stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum yang
terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau
quadriparese,

hilangnya

penglihatan

monokuler

atau

binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau


penurunan

kesadaran

tiba-tiba.

Meskipun

gejala-gejala

tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul

11

secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejalagejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu
tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor
dapat mengganggu dalam mencari gejala atau onset stroke
seperti :
1; Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga
kelainan tidak didapatkan hingga pasien bangun (wake up
stroke).
2; Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu
untuk mencari pertolongan.
3; Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala
stroke.
4; Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai
stroke seperti kejang, infeksi sistemik, tumor serebral,
subdural hematom, ensefalitis, dan hiponatremia.(4)
b; Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi
penyebab stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan
kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan
beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik
harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk
mencari

tanda

Pemeriksaan

trauma,

terhadap

infeksi,

faktor

dan

iritasi

kardiovaskuler

menings.
penyebab

stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati,


emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan
vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis).
Pasien

dengan

gangguan

kesadaran

harus

dipastikan

mampu untuk menjaga jalan napasnya sendiri.(4)


c; Pemeriksaan Neurologi
Tujuan

pemeriksaan

neurologi

adalah

untuk

mengidentifikasi gejalah stroke, memisahkan stroke dengan


kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan

12

menyediakan

informasi

neurologi

untuk

mengetahui

keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan


neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat
kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan
sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda.
Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan
tanda-tanda
kelemahan

meningimus
otot

dengan Bells

wajah

palsy di

pun
pada

mana

harus
stroke

dicari.
harus

pada Bells

Adanya

dibedakan

palsy biasanya

ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau


mengerutkan dahinya.
Gejala-gejala

neurologi

yang

timbul

biasanya

bergantung pada arteri yang tersumbat :


1; Arteri serebri media (MCA)
Gejala gejalanya antara lain hemiparese kontralateral,
hipestesi kontralateral, hemianopsia ipsilateral, agnosia,
afasia, dan disfagia. Karena MCA memperdarahi motorik
ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan wajah
biasanya lebih berat daripada tungkai bawah.
2; Arteri serebri anterior
Umumnya

menyerang

menyebabkan

lobus

gangguan

frontalis

bicara,

sehingga

timbulnya refleks

primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat


kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih
berat

dari

pada

tungkai

atas),

defisit

sensorik

kontralateral, demensia, dan inkontinensia.


3; Arteri serebri posterior
Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous
kontralateral,

kebutaan

kortikal,

agnosia

visual,

penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral,


gangguan memori.
4; Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)

13

Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit


nervus kranialis, serebellar, batang otak yang luas.
Gejalah yang timbul antara lain vertigo, nistagmus,
diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon,
tanda

Babynski

bilateral,

tanda

serebellar,

disfagia,

disatria, dan rasa tebal pada wajah. Tanda khas pada


stroke

jenis

ini

adalah

temuan

klinis

yang

saling

berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan


deficit motorik kontralateral).
5; Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)
Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang
paling sering adalah bifurkasio arteri karotis komunis
menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Adapun
cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri
oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang
episodik biasa disebut amaurosis fugaks), komunikans
posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media
sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan
media pun dapat timbul.
6; Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri
perforans kecil di daerah subkortikal profunda otak.
Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul
adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau
ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien
dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes
dan hipertensi.
2; Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan

darah

rutin

diperlukan

sebagai

dasar

pembelajaran dan mungkin pula menunjukkan faktor resiko


stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan
leukemia).

Pemeriksaan

ini

pun

dapat

menunjukkan

14

kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti


anemia.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi
kelainan yang memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia,
hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang
diderita

pasien

Pemeriksaan

saat

koagulasi

ini

(diabetes,

dapat

gangguan

menunjukkan

ginjal).

kemungkinan

koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga


berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan
antara stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain
juga mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan
enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.
3; Gambaran Radiologi
a; CT scan kepala
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri
akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke
terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan
terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan
ulang

mengenai

waktu

terjadinya

stroke.

Tanda

lain

terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular


ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus,
dan hilangnya perberdaan gray-white matter.
b; CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan
dengan

CT

angiografi

mengidentifikasi

defek

(CTA).

Pemeriksaan

pengisian

arteri

ini

serebral

dapat
yang

menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab


stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah
perfusi

karena

daerah

yang

memberikan gambaran hipodense.

mengalami

hipoperfusi

15

c; USG, ECG, EKG, Chest X-Ray


Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika
dicurigai stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat
dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial
dopler

berguna

untuk

mengevaluasi

anatomi

vaskuler

proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri


karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan
ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien dengan
stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli
kardiogenik.

Transesofageal

ECG

diperlukan

untuk

mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini


juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium
kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi
kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.
2.2.8; KOMPLIKASI

Setelah mengalami stroke pasien mungkin akan mengalami


komplikasi, komplikasi ini dapat dikelompokan berdasarkan :
1; Berhubungan dengan immobilisasi
Infeksi pernafasan, nyeri pada daerah tertekan, konstipasi dan
thromboflebitis.
2; Berhubungan dengan paralisis
Nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi, deformitas dan
terjatuh
3; Berhubungan dengan kerusakan otak
Epilepsi dan sakit kepala
4; Hidrocephalus
Individu yang menderita stroke berat pada bagian otak yang
mengontrol

respon

meninggal.

2.2.9; PENATALAKSANAAN

pernapasan

atau

kardiovaskuler

dapat

16

Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan tanda tanda


vital dengan melakukan tindakan sebagai berikut :
Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan
pengisapan lendir yang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan
trakeostomi, membantu pernafasan.
Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi pasien,
termasuk untuk usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
Berusaha menentukan dan memperbaiki aritmia jantung.
Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan
secepat mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan
dilakukan latihan latihan gerak pasif.
Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30o menghindari flexi dan rotasi
kepala yang berlebihan.
1; Pengobatan Konservatif
a; Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara
percobaan, tetapi maknanya: pada tubuh manusia belum
dapat dibuktikan.
b; Dapat

diberikan

histamin,

aminophilin,

asetazolamid,

papaverin intra arterial.


c; Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk
menghambat reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang
terjadi sesudah ulserasi alteroma.
d; Anti koagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya /
memberatnya trombosis atau emboli di tempat lain di
sistem kardiovaskuler.
2; Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
a; Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis,
yaitu dengan membuka arteri karotis di leher.

17

b; Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan


dan manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.
c; Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut

2.2.10; PROGNOSIS

Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting adalah
sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. Usia pasien,
penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi
prognosis. Secara keseluruhan, agak kurang dari 80% pasien dengan stroke
bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan
hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini tidak mengejutkan,
mengingat usia lanjut di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat
dari periode akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi
independen, sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional.
Hubungan Anemia dengan Kejadian Stroke
Anemia adalah kondisi dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin berada
dibawah batas normal. Akibatnya darah tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah
sesuai yang diperlukan untuk tubuh.
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah gangguan neurologik mendadak yang
terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui system suplai
arteri otak selama 24 jam.
Adanya anemia yang berkepanjangan terjadi secara terus menerus akan
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke otak. Hal ini terjadi dalam waktu
yang terus menerus maka selain dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada
jantung dapat juga mengakibatkan terjadi nya stroke.
Sebuah studi yang dilakukan pada tikus tahun 2001 membuktikan bahwa anemia
kronis dapat menyebabkan pembentukan pembuluh darah baru ketika ada
kardiomegali. Para peneliti berpendapat bahwa anemia kronis dapat menyebabkan
pembentukan pembuluh darah baru dalam restrukturisasi jantung dan sirkulasi
mikro akibat penurunan oksigen dalam darah atau peningkatan aliran darah
koroner akibat penurunan oksigen dalam darah atau peningkatan aliran darah
koroner akibat kekentalan darah berkurang. Studi lain menunjukkan bahwa
anemia kronis menyebabkan penyumbatan di arteri leher, suatu kondisi yang
dapat mengakibatkan stroke.

18

Anda mungkin juga menyukai