yang lambat laun nampak dalam diri kita. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah alMusytaqin menuliskan komentar sejumlah orang tentang pengaruh cinta dalam kehidupan seseorang.
Di antaranya sebagai berikut: Cinta itu bisa menyucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, mendorong untuk berpakaian rapi,
makan yang baik-baik, memelihara akhlak yang mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan
pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shaleh dan
cobaan bagi yang ahli ibadah.
Nah, lho? Ternyata cinta bukan cuma Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki seperti kata Sheila On Tujuh . Tapi juga merupakan
ujian sekaligus cobaan buat orang shaleh, ahli ibadah, termasuk aktivis dakwah. Kok bisa? Iya, karena cinta nggak cuma bisa
mengubah pe-nampilan aja. Dia juga bisa membelokkan niat yang udah lurus. Komitmen dakwah bisa berubah. Aktivitas dakwah
yang awalnya diniatkan untuk mendapat ridho Allah bisa terkontaminasi saat VMJ meradang. Ini yang kudu diwaspadai.
Tentu kita nggak pengen dong, aktivitas dakwah kita yang mulia jadi kacau-beliau gara-gara kita terpana pesona cinta. Makanya kita
kudu pandai mengendalikan rasa itu. Seperti kata dokter, mencegah lebih baik daripada mengobati. Untuk urusan cinta juga sama.
Lebih baik kita mencegah aktivitas yang bikin VMJ meradang. Ada dua hal yang bisa kita jalanin sebagai langkah pencegahan
(kayak 3M DBD aja neh!).
Pertama , dari dalam diri kita. Di sini kita kuatkan benteng pertahanan dari serangan rasa cinta yang membabi buta. Caranya, rajin
puasa sunat. Rasulullah menganjurkan pemuda-pemudi untuk berpuasa sebagai satu perisai takwa. Perbanyak membaca al-Qur'an,
shalat tahajjud, dan berdzikir kepada Allah saat godaan itu datang. Perbanyak juga doa kita kepada Allah. Minta kepada-Nya biar
kita dijauhin dari perbuatan yang haram, minta juga kepada-Nya biar kita dikasih jodoh yang qualified dunia-akhirat. Mau dong?
Kedua , dari luar diri kita. Ini juga nggak kalah pentingnya. Faktor ling-kungan gampang banget meluluhlantakkan pertahanan yang
kita bangun. Itu sebabnya, kita kudu bisa menata lingkungan sekitar kita. Misalnya, memini-malisasi pertemuan dan komunikasi
dengan lawan jenis. Walau itu untuk konsolidasi dakwah. Sorry , bukannya mo ngerecokin, cuma kita khawatir, jiwa muda kita tak
kuasa meredam gejolak rasa cinta itu. Kita juga bisa gaul ama temen-teman yang bisanya nggak cuma manas-manasin doang. Tapi
mampu membantu kita menjaga izzah alias harga diri. Sehingga kita bisa belajar menundukkan pandangan. Baik terhadap para
'macan' (makhluk cantik) mau pun terhadap media 'syerem' yang bisa memacu adrenalin kita.
Kita kudu nyadar kalo seorang aktivis dakwah sering jadi panutan dan teladan bagi orang lain. Nggak cuma Allah yang mengawasi
tiap omongan ama tingkah lakunya, tapi juga umat. Gimana jadinya kalo pas ngisi pengajian begitu bersemangat bilang pacaran itu
haram. Tapi, pas doi lagi kasmaran, perilakunya nggak beda ama aktivis pacaran. Apalagi pake ngeles dengan istilah 'pacaran
islami'. Idiihmalu ama umat tuh! Firman Allah SWT: "Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tiada kamu kerjakan." (QS. ash-Shaf [61] : 3).
Menentukan prioritas
Sobat muda muslim, kalo kamu udah bisa atau minimal lagi belajar mengendalikan rasa cinta, sekarang kamu udah pantes buat
belajar menentukan prioritas. Karena untuk urusan ekspresi cinta, Islam cuma mengatur dua tahap. Khitbah dan nikah. Nggak ada
lagi. Masalahnya, kadang para aktivis dakwah yang mayori-tas pelajar terbentur dengan banyak hal sampe kerepotan memilih satu
di antara dua pilihan itu. Kalo pun ada yang berani, lebih didominasi faktor emosi. Bisa jadi was-was sang target 'disamber' duluan
ama yang laen (Emangnya bis kota maen serobot?).
Kalo mau khitbah dulu, kecil kemungkinan bisa bertahan sampe kamu lulus sekolah atau kuliah terus dapet kerja. Bawaannya pasti
pengen segera ijab qabul . Padahal, segala kebutuhan keuangan masih disubsidi penuh ama ortu. Bakal berabe ke depannya.
Perhatian kamu bakal terpecah. Antara beresin kuliah atau matengin rencana nikah. Bisa-bisa nggak optimal dua-duanya. Padahal
kehidupan rumah tangga bakal menuntut suami untuk mencari nafkah materi. Nggak cuma bermodalkan cinta. Sementara ijazah
pendidikan pun adakalanya punya peranan bagi sang suami demi mem-peroleh nafkah.
Nah, kalo udah gini bagusnya kita pusatkan perhatian pada aktivitas tholabul ilmi yang lagi digeluti. Biar masa depan juga terbingkai
dengan rapi. Tapi, bukan berarti kita ngelarang kamu mikirin soal nikah lho. Nggak. Silakan aja kalo kamu mau mulai mempelajari
soal pernikahan lebih dalam. Karena terpancing ama senior yang bilang nikah itu nikmat, indah dan ibadah, misalnya. Tapi kamu
kudu siap hadapi risiko yang bakal menyedot perhatian kamu. Berani ambil risiko? Pikirkan dengan mateng!
Oke deh sobat. Kita percaya kamu-kamu bisa mengambil pilihan dengan bijak. Jangan sampe CBSA bikin aktivitas dakwah kamu
kendor. Catet, sekali lagi kita ngingetin, dakwah itu untuk mendapat ridho Ilahi. Bukan karena orang yang dikasihi. Dan jangan takut
keduluan, karena jodoh masing-masing nggak akan kelayapan. Oke? Tetap semangat! (hafidz)[Buletin Studia Edisi 190/Tahun ke-5
(12 April 2004)]