PENDAHULUAN
BAB II
INCONTINENTIA PIGMENTI
2.1 Definisi
Incontinensia pigmenti (IP) adalah suatu kelainan herediter / genetik yang bersifat
autosomal dominan, dengan kelainan pada kromosom Xq28, dimana terjadi mutasi pada gen
NEMO (Nuclear Factor-kB Essential Modulator). Penyakit ini ditandai dengan ditandai
1
dengan kelainan pada jaringan dan organ yang berasal dari ektoderm, seperti kulit, mata, gigi
dan saraf. Istilah incontinentia pigmenti berasal dari observasi terhadap inkontinensia/
ketidak mampuan menahan melanin dalam sel basal epidermis dan melanofag dalam dermis
bagian atas.
2.2 Epidemiologi
Kasus IP ini sangat jarang terjadi. Prevalensi IP diperkirakan 0,2 dalam 100.000
populasi.8 IP termasuk gangguan multisistem neurokutaneus yang diturunkan dengan insiden
yang rendah (1% dari semua gangguan neurokutaneus).11 Incontinentia pigmenti sering
ditemukan terutama pada perempuan, dan letal pada laki-laki. Sampai tahun 1987, hanya 700
kasus telah dilaporkan dalam literatur. Penyakit ini mungkin tidak dilaporkan karena banyak
kasus ringan atau tanpa komplikasi yang mungkin tidak dikenal.12 Inkontinensia pigmenti
tampaknya lebih sering mengenai ras berkulit putih, tetapi juga telah dilaporkan pada ras kulit
gelap dan Asia.13
2.3 Etiopatogenesis
2.3.1 Pola penurunan autosomal dominan
Inkontinensia pigmenti (IP) adalah penyakit terkait kromosom X yang bersifat
dominan. Gen IP abnormal terletak di salah satu kromosom X, yang menentukan jenis
kelamin anak (XY = laki-laki, XX = perempuan).13 Penyakit terkait kromosom X dominan
berarti bahwa seorang wanita hanya dengan satu gen yang abnormal akan menunjukkan
penyakit, meskipun memiliki gen normal pada kromosom X mereka yang lain. Pria yang
mewarisi gen abnormal tidak dapat bertahan, sehingga terjadi abortus atau bayi lahir mati
(letal). 2
Perempuan yang mengalami IP, memiliki 1 kromosom X yang normal, dan satu
kromosom X yang membawa gen yang abnormal. 13 Setiap kehamilan, perempuan yang
mengalami mutasi ini, akan menurunkan setengah kromosomnya pada keturunannya. Dalam
setiap kehamilan, terdapat 50% kemungkinan perempuan tersebut menurunkan kromosom X
dengan gen IP yang abnormal. Sebagian dari anak perempuannya, akan mengalami IP dan
sebagiannya lagi tidak. Sebagian anak laki-laki akan mendapat kromosom X normal, dan
tetap hidup. Sedangkan sebagiannya lagi mendapatkan kromosom X abnormal, sehingga
terjadi abortus atau bayi lahir mati.13-15
Incontinentia pigmenti sangat jarang terjadi, namun pernah dilaporkan pada laki-laki
dengan sindrom Klinefelter (XXY syndrome). Tekin et al. menyimpulkan bahwa penjelasan
yang paling memungkinkan untuk kasus laki-laki IP yang bertahan hidup adalah adanya
46XY/XXY, mutasi half-chromatid.16 Aradhya et al. mengungkapkan hipotesis munculnya
laki-laki dengan IP yang bertahan hidup, disebabkan karena mutasi yang bersifat ringan
(hipomorfik), dan tidak menyebabkan kematian pada sel tersebut.10
Perempuan dengan mutasi yang hipomorfik, akan menunjukkan inaktivasi kromosom
X yang random atau minimal, dibandingkan yang mengalami mutasi abnormal komplit yang
ditemukan pada kasus IP klasik pada perempuan. Mutasi postzigotik dan alel hipomorfik
dapat menyebabkan IP dengan mutasi yang hipomorfik.
2.3.2 Fisiologi protein NF-kB dan kaitannya dengan gen NEMO
Nuclear Factor Kappa B (NF-kB) adalah suatu protein yang berfungsi untuk
merespon atau memberi sinyal pada inti sel, melakukan transkripsi gen, melindungi sel dari
apoptosis berlebihan, dan berperan dalam mengeluarkan sinyal proinflamasi seperti sitokin,
kemokin, dan molekul adhesi. Aktivasi NF-kB ini diregulasi oleh gen NEMO yang dikenal
juga dengan inhibitor of nuclear factor kappa-B kinase gamma (IKBKG). Gen NEMO
merupakan pusat pengaturan beberapa jalur sinyal penting seperti sistem imun, respon
proinflamasi, dan apoptosis,
peningkatan respon inflamasi, dan berkurangnya apoptosis sel. Dalam hal ini, NEMO
berperan menghambat aktivasi NF-kB yang berlebihan, yang akhirnya menyebabkan
berkurangnya respon inflamasi dan meningkatnya apoptosis.21
2.3.3 Mutasi pada gen NEMO dan hubungannya dengan gejala klinis
Incontinentia pigmenti disebabkan mutasi dalam gen NEMO, dalam kromosom Xq28.
Gen NEMO berfungsi mengaktifkan NF-kB mengatur aktivasi gen yang terlibat dalam
3
inflamasi, sistem imun, kelangsungan hidup sel, dan jalur lainnya, serta melindungi sel-sel
terhadap TNF- yang menginduksi apoptosis. Berkurangnya NEMO, menyebabkan
berkurangnya NF-kB yang aktif, sehingga membuat sel-sel lebih rentan terhadap apoptosis.
Apabila tidak terdapat NEMO atau terjadi mutasi pada NEMO, NF-B tidak dapat
melakukan translokasi pada nukleus yang mengaktifkan transkripsi gen. Pada banyak kasus
(85%) IP disebabkan suatu mutasi pada exon 4-10.
Peningkatan respon inflamasi yang berlebihan akibat aktifnya NF-kB dan
ketidakmampuan gen NEMO yang mengalami mutasi untuk menghambat respon inflamasi
tersebut menyebabkan manifestasi kulit fase 1 dari Incontinensia pigmenti, berupa kulit yang
eritem disertai vesikel. Hiperproliferasi sel keratinosit mengakibatkan munculnya lesi
verukosa seperti yang terlihat pada fase 2 Incontinensia pigmenti.15
Patofisiologi munculnya kelainan kulit berupa hiperpigmentasi yang tampak pada fase
3 dan manifestasi hipopigmentasi / atrofi pada fase 4 masih belum diketahui.
Hiperpigmentasi ini, diduga muncul akibat inkontinensia/ ketidakmampuan menahan pigmen
melanin dari sel basal epidermis sehingga masuk ke dermis.15 Secara histologi, area
pigmentasi menunjukkan banyaknya melanin yang kaya akan melanofag dalam lapisan basal
dan dermis. Biasanya, hiperpigmentasi berkurang secara bertahap setelah beberapa tahun dan
menjadi hipopigmentasi (stage 4), yang menunjukkan skar pasca inflamasi pada dermis. Fase
hipopigmentasi ditandai oleh skar yang linear, atrofi mengikuti garis Blaschko.
gejala awal dari lesi kulit dapat terlihat segera setelah lahir, atau selama awal periode
neonatus.24 Lesi kulit pada IP bermanifestasi dalam 4 fase, yang biasanya muncul secara
berurutan.25 Onset dan durasi dari masing-masing fase bervariasi pada masing-masing
individu, namun tidak semua individu akan mengalami keempat fase.26
Empat fase manifestasi kulit yang khas ditemukan pada IP:
1) Fase vesikulobulosa; ditemukan pada saat lahir, atau beberapa saat setelah lahir (periode
neonatus), ditandai dengan eritema yang linear
pemeriksaan histopatologi dan darah tepi. Lesi ini paling sering ditemukan, terutama pada
ekstremitas dan kulit kepala, badan, dan jarang pada wajah. Dalam hitungan hari sampai
beberapa minggu, lesi-lesi ini menyembuh dan meninggalkan garis verukosa (fase 2).
2) Fase verukosa: ditemukan pada usia 2-8 minggu, ditandai dengan erupsi lesi berupa garisgaris hiperkeratotik, krusta dan verukosa. Garis-garis verukosa ini nantinya akan digantikan
oleh garis hiperpigmentasi seperti pada fase 3.
3) Fase hiperpigmentasi: ditemukan pada beberapa bulan kehidupan sampai dewasa muda,
ditandai dengan garis hiperpigmentasi dengan pinggir lesi yang berlekuk-lekuk sesuai dengan
pertumbuhan keratinosit normal ke dalam daerah yang mengalami kerusakan, sepanjang garis
Blaschko. Selama masa kanak-kanak, garis hiperpigmentasi memudar, meskipun beberapa
daerah pigmentasi biru keabu-abuan dapat menetap seumur hidup (fase 4).
4) Fase hipopigmentasi: dapat dialami dari bayi sampai dewasa muda, yang ditandai dengan
dermal scarring. Semenjak remaja, garis linear hipopigmentasi yang tidak berambut dan
hipohidrosis muncul pada daerah posterior dari ekstremitas bawah, dan dapat menjadi satusatunya stigmata penyakit selama masa dewasa.
Kelainan gigi merupakan abnormalitas yang paling sering (90%) dan ditemukan pada
pasien dengan usia lebih dari 1 tahun. Anodontia parsial dari gigi susu atau gigi permanen
dan berbentuk pasak atau gigi berbentuk kerucut (conical teeth) adalah yang kelainan gigi
yang paling sering ditemukan.27 Erupsi gigi dapat inkomplit atau terlambat. Banyak pasien
dilaporkan memiliki caries multipel dan gigi yang rapuh. Pasien IP dengan kelainan gigi,
mengalami perubahan yang signifikan dalam mineralisasi gigi. Caries yang dini dan kualitas
gigi yang buruk, spesifik untuk
Kuku
Rambut
Mata
Keterlambatan dalam erupsi gigi (baik gigi pada saat bayi dan gigi dewasa).
Gigi biasanya berupa bentuk yang tidak lazim, biasanya berbentuk kerucut
Dapat ditemukan pada sekitar 40% pasien
Sistem
saraf
pusat
sangat
membantu untuk lokalisasi lesi pada sistem saraf pusat dan fokus epileptogenik pada pasien
8
dengan kejang.8 Analisis kariotipe dianjurkan pada bayi laki-laki dengan incontinensia
pigmenti untuk mendeteksi sindrom Klinefelter (XXY syndrome).3
2.5 Diagnosis Banding
Incontinentia pigmenti pada neonatus biasanya dapat dibedakan dengan penyakit
infeksi (seperti herpes zoster, varisela atau infeksi virus herpes simpleks) dengan gambaran
anak yang tampak sehat dan pola lesi kulit yang khas. Eosinofilia juga dapat ditemukan dan
pemeriksaan histologik mendukung konfirmasi diagnosis.7 Diagnosis banding pasien yang
dengan lesi kulit fase 3 dan 4 antara lain: hypomelanosis of Ito; IP achromians; X-linked
dominant chondrodysplasia punctata, dan sindrom Franceschetti Jadassohn. 11
Incontinentia pigmenti Achromian ditandai dengan hipopigmentasi kulit disertai
kelainan neurologi yang hampir mirip dengan IP. Namun, pada IP hipopigmentasi sering
ditemukan lambat dalam perjalanan dari beberapa kasus IP. Gangguan ini diwariskan secara
autosomal dominan. Berbagai kelainan perkembangan lain dan/ atau kondisi juga dapat
terjadi bersamaan dengan penyakit ini. Warna kulit cenderung normal seiring bertambahnya
usia.
Sindrom Franceschetti - Jadassohn ditandai dengan perubahan pigmentasi kulit yang
sama dengan incontinentia pigmenti, tetapi gejala dimulai pada masa remaja dan tidak
mengikuti fase perubahan kulit seperti pada IP. Selain itu , dapat ditemukan kulit dapat
menebal pada tangan dan/ atau kaki, gangguan dalam mengeluarkan keringat serta gigi yang
menguning. Gangguan ini tampaknya diwariskan secara autosomal dominan.
Hypomelanosis of Ito merupakan sekelompok gangguan kulit yang ditandai dengan
alur hipopigmentasi dan garis-garis disertai gejala lain seperti retardasi mental, kejang,
kurangnya keringat pada daerah hipopigmentasi, strabismus, rabun jauh, celah sepanjang tepi
bola mata (koloboma), pertumbuhan berlebihan jaringan otak, dan/ atau mikrosefali.
Hipomelanosis Ito mungkin terjadi secara sporadis atau mungkin diwariskan secara
autosomal dominan. 7
2.6 Penatalaksanaan
Kelainan kulit pada IP biasanya hilang pada masa remaja atau dewasa tanpa
pengobatan apapun, meskipun penggunaan tacrolimus topikal dan kortikosteroid topikal telah
dilaporkan mempercepat resolusi tahap inflamasi. Vesikel pada fase vesikulobulosa harus
dibiarkan utuh, dan kulit harus dipantau untuk kemungkinan munculnya infeksi bakteri
sekunder.30 Emolien dan antibiotik topikal dapat digunakan sesuai kebutuhan. Tidak terdapat
9
terapi untuk menghambat evolusi IP, karena itu, pengobatan bersifat simtomatik, dan
ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder pada pasien IP. 16
Pemeriksaan awal dan follow up berkelanjutan untuk neurologis dan oftalmologis
dianjurkan, sebagaimana halnya pemeriksaan gigi. Semua bayi yang dicurigai mengalami IP
sebaiknya dikonsulkan untuk pemeriksaan awal (baseline) oftalmologis, gigi, dan
pemeriksaan perkembangan saraf secara periodik.18 Pemeriksaan ibu dan konseling genetik
sebaiknya dilakukan pada saat pernikahan, perencanaan kehamilan, dan antenatal.
Rehabilitasi pada kasus IP membutuhkan pendekatan multidisiplin yang melingkupi
dokter spesialis anak, dokter spesialis neurologi anak, dokter spesialis ortopedi, bedah saraf,
neonatologis, psikiater anak, dan dokter gigi. Kara et al. melakukan observasi pada anak
dengan IP yang menjalani program fisioterapi yang dimulai segera setelah lahir sampai usia
12 bulan untuk mendukung proses perkembangan. 9 Program fisioterapi terbukti efektif dalam
meningkatkan kemampuan otak, serta membantu adaptasi terhadap kecacatan yang dapat
terjadi pada IP.
Polar body analisis adalah salah satu pilihan untuk diagnosis genetik prekonsepsi.
Polar body merupakan embrio yang dihasilkan dari fertilisasi secara invitro. Pasangan yang
mengalami IP atau karier untuk kelainan genetik lainnya, dapat memilih embrio yang telah
dibiakkan secara in vitro dan telah dipastikan tidak adanya mutasi pada kromosom yang
dibawa dari pasangan tersebut. Sebagian besar negara di Eropa, seperti Jerman, polar body
analisis ini dilakukan pada pasangan yang ingin memiliki keturunan, namun merupakan
karier kelainan genetik, untuk mencegah embrio yang terbentuk setelah konsepsi membawa
gen yang mengalami mutasi.14 Selain metode polar body analisis, juga telah dilakukan
penelitian gene rearrangement yang berfungsi memperbaiki mutasi akibat kelainan lokasi
dari kromosom.23
2.7 Prognosis
Prognosis buruk. Kelainan sistem saraf pusat dan imunodefisiensi menjadi penyebab
kematian tersering pada IP. Prognosis bergantung pada tingkat keparahan manifestasi
ekstrakutaneus terkait. Morbiditas dan mortalitas terutama akibat dari komplikasi neurologi
dan oftalmologi, termasuk retardasi mental, kejang, dan kebutaan. Sashikumar et al. juga
menemukan risiko munculnya keganasan pada bayi dengan IP.5
10
BAB III
SIMPULAN
1. Inkontinensia pigmenti ditandai dengan adanya lesi yang khas sepanjang garis
Blaschko. Lesi yang khas tersebut antara lain berupa ; stage I: Vesicular stage
(dimulai dari lahir sampai beberapa minggu setelahnya), stage II: Verrucous stage
(antara usia 2-8 minggu) , stage III: hyperpigmented stage (usia bulan- dewasa),
stage IV: hypopigmentation stage (bayi sampai dewasa). Kelainan kulit ini diikuti
dengan adanya kelainan lain seperti pada okular, dental, skeletal, dan anomali sistem
saraf pusat.
2. IP disebabkan adanya mutasi pada gen NEMO [nuclear factor B (NF-B) essential
modulator] pada kromosom Xq28, yang menyebabkan terjadinya kelainan pada
proses sinyal
11
Daftar Pustaka:
1. Ardelean D, Pope E. Incontinentia pigmenti in boys: A series and review of the literature.
Pediatric dermatology 2006;23.
2. Lapeere H, Boone B, Schepper SD, Verhaeghe E, Ongenae K, Geel NV, et al.
Hypomelanoses and Hypermelanoses.In: Wolff KG, Lowell A, Katz, Stephen I., Gilchrest,
Barbara A., Paller, Amy S., et al., ed. Fitzpatrick's dermatology in general medicine, 7th
Edition: McGraw-Hill; 2008:631-2.
3. Buinauskaite E, Buinauskiene J, Kucinskiene V, Strazdiene D, Valiukeviciene S.
Incontinentia pigmenti in a male infant with klinefelter syndrome: A case report and
review of the literature. Pediatric dermatology 2010;27.
4. Phan TA, Wargon O, Turner AM. Incontinentia pigmenti case series: clinical spectrum of
incontinentia pigmenti in 53 female patients and their relatives. Clinical and experimental
dermatology 2005.
5. Sashikumar P, Mukherjee S. Neonatal incontinentia pigmenti. BMJ case reports 2010.
6. Heiss NS, Poustka A, Knight SW, Aradhya S, Nelson DL, Lewis RA, et al. Mutation
analysis of the DKC1 gene in incontinentia pigmenti. J Med Genet 1999;36:860-2.
7. Moss C. Mosaicism and linear lesions. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, eds.
Dermatology second edition: Mosby Elsevier; 2008:841-6.
8. Mini S, Trpinac D, Obradovi M. Systematic review of central nervous system anomalies
in incontinentia pigmenti. Orphanet journal of rare diseases 2013.
9. Kara OK, Mutlu A, Gunel MK. The results of early physiotherapy on a child with
incontinentia pigmenti with encephalocele. BMJ case reports 2010.
10. Aradhya S, Courtois G, Rajkovic A, Lewis RA, Levy M, Alain Israel, et al. Atypical
forms of incontinentia pigmenti in male individuals result from mutations of a cytosine
tract in exon 10 of NEMO (IKK-g). Am J Hum Genet 2001.
11. Al-Zuhaibi S, Ganesh A, Al-Waili A, Al-Azri F, Javad H, Al-Futaisi A. A female child
with skin lesions and seizures: case report of Incontinentia pigmenti. SQU medical journal
2009;9.
12
25. Schaller J, Schaller S. A rare variant of incontinentia pigmenti - disseminated papules and
vesicles. Journal of the European academy of dermatology and venereology 1994.
26. Kim BJ, Shin HS, Won CH, Lee JH, Kim KH, Kim MN, et al. Incontinentia pigmenti:
Clinical observation of 40 Korean cases. J Korean Med Sci 2006;21.
27. Kitakawa D, Fontes PC, Augusto F, Magalhes C, Almeida JD, Cabral LAG.
Incontinentia pigmenti presenting as hypodontia in a 3-year-old girl: a case report. Journal
of medical case reports 2009;3.
28. Woffendin H, Jakins T, Jouet M, Stewart H, Landy S, Haan E, et al. X-inactivation and
marker studies in three families with incontinentia pigmenti: implications for counselling
and gene localization. Clinical genetics 1999.
29. Fraitag S, Rimella A, Prost Yd, Brousse N, Hadj-Rabia S, Bodemer C. Skin biopsy is
helpful for the diagnosis of incontinentia pigmenti at late stage (IV): a series of 26
cutaneous biopsies. Journal of cutaneous pathology 2009.
30. Zonana J, Elder ME, Schneider LC, Orlow SJ, Moss C, Golabi M, et al. A novel X-linked
disorder of immune deficiency and hypohidrotic ectodermal dysplasia is allelic to
Incontinentia pigmenti and due to mutations in IKK-gamma (NEMO). Am J Hum Genet
2000.
14