Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Incontinensia Pigmenti (IP) atau Sindrom Bloch-Sulzberger merupakan suatu kelainan
herediter / genetik yang bersifat autosomal dominan, dengan kelainan pada kromosom Xq28,
dimana terjadi mutasi NEMO (nuclear factor B (NF-B) essential modulator).1-5 Penyakit
ini sering dilaporkan pada perempuan, dan letal pada laki-laki sejak masa embrio. Pada
banyak kasus, terjadinya mutasi pada gen NEMO, dalam kromosom Xq28 diduga menjadi
penyebab incontinensia pigmenti.,7 Kasus IP ini sangat jarang terjadi. Prevalensi IP
diperkirakan 0,2 dalam 100.000 populasi. 8
Incontinentia pigmenti pertama kali dilaporkan oleh Garrod et al. pada tahun 1906,
dilanjutkan dengan penelitian lebih lanjut oleh Bloch pada tahun 1926 dan Sulzberger pada
tahun 1928, yang lebih dikenal sampai saat ini. Inkontinentia pigmenti merupakan suatu
kelainan multisistem yang jarang terjadi, namun membutuhkan pendekatan yang holistik,
baik dari neonatologis, neurologis, oftalmologis, dokter gigi, ataupun bedah ortopedi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tampilan klinis dermatologik. 7
Selain insidennya yang jarang, sampai saat ini belum ada terapi yang dapat memberikan
dampak pada perkembangan IP, sehingga terapi masih simtomatik.7
1.2 Batasan masalah
Pada tinjauan kepustakaan ini akan dibahas mengenai patogenesis, dan penegakan
diagnosis pada Incontinentia pigmenti.

BAB II
INCONTINENTIA PIGMENTI

2.1 Definisi
Incontinensia pigmenti (IP) adalah suatu kelainan herediter / genetik yang bersifat
autosomal dominan, dengan kelainan pada kromosom Xq28, dimana terjadi mutasi pada gen
NEMO (Nuclear Factor-kB Essential Modulator). Penyakit ini ditandai dengan ditandai
1

dengan kelainan pada jaringan dan organ yang berasal dari ektoderm, seperti kulit, mata, gigi
dan saraf. Istilah incontinentia pigmenti berasal dari observasi terhadap inkontinensia/
ketidak mampuan menahan melanin dalam sel basal epidermis dan melanofag dalam dermis
bagian atas.
2.2 Epidemiologi
Kasus IP ini sangat jarang terjadi. Prevalensi IP diperkirakan 0,2 dalam 100.000
populasi.8 IP termasuk gangguan multisistem neurokutaneus yang diturunkan dengan insiden
yang rendah (1% dari semua gangguan neurokutaneus).11 Incontinentia pigmenti sering
ditemukan terutama pada perempuan, dan letal pada laki-laki. Sampai tahun 1987, hanya 700
kasus telah dilaporkan dalam literatur. Penyakit ini mungkin tidak dilaporkan karena banyak
kasus ringan atau tanpa komplikasi yang mungkin tidak dikenal.12 Inkontinensia pigmenti
tampaknya lebih sering mengenai ras berkulit putih, tetapi juga telah dilaporkan pada ras kulit
gelap dan Asia.13
2.3 Etiopatogenesis
2.3.1 Pola penurunan autosomal dominan
Inkontinensia pigmenti (IP) adalah penyakit terkait kromosom X yang bersifat
dominan. Gen IP abnormal terletak di salah satu kromosom X, yang menentukan jenis
kelamin anak (XY = laki-laki, XX = perempuan).13 Penyakit terkait kromosom X dominan
berarti bahwa seorang wanita hanya dengan satu gen yang abnormal akan menunjukkan
penyakit, meskipun memiliki gen normal pada kromosom X mereka yang lain. Pria yang
mewarisi gen abnormal tidak dapat bertahan, sehingga terjadi abortus atau bayi lahir mati
(letal). 2
Perempuan yang mengalami IP, memiliki 1 kromosom X yang normal, dan satu
kromosom X yang membawa gen yang abnormal. 13 Setiap kehamilan, perempuan yang
mengalami mutasi ini, akan menurunkan setengah kromosomnya pada keturunannya. Dalam
setiap kehamilan, terdapat 50% kemungkinan perempuan tersebut menurunkan kromosom X
dengan gen IP yang abnormal. Sebagian dari anak perempuannya, akan mengalami IP dan
sebagiannya lagi tidak. Sebagian anak laki-laki akan mendapat kromosom X normal, dan
tetap hidup. Sedangkan sebagiannya lagi mendapatkan kromosom X abnormal, sehingga
terjadi abortus atau bayi lahir mati.13-15

Gambar 1. Pedigree penurunan kelainan terkait kromosom X dominan


Dikutip sesuai asli dari kepustakaan nomor 3

Incontinentia pigmenti sangat jarang terjadi, namun pernah dilaporkan pada laki-laki
dengan sindrom Klinefelter (XXY syndrome). Tekin et al. menyimpulkan bahwa penjelasan
yang paling memungkinkan untuk kasus laki-laki IP yang bertahan hidup adalah adanya
46XY/XXY, mutasi half-chromatid.16 Aradhya et al. mengungkapkan hipotesis munculnya
laki-laki dengan IP yang bertahan hidup, disebabkan karena mutasi yang bersifat ringan
(hipomorfik), dan tidak menyebabkan kematian pada sel tersebut.10
Perempuan dengan mutasi yang hipomorfik, akan menunjukkan inaktivasi kromosom
X yang random atau minimal, dibandingkan yang mengalami mutasi abnormal komplit yang
ditemukan pada kasus IP klasik pada perempuan. Mutasi postzigotik dan alel hipomorfik
dapat menyebabkan IP dengan mutasi yang hipomorfik.
2.3.2 Fisiologi protein NF-kB dan kaitannya dengan gen NEMO
Nuclear Factor Kappa B (NF-kB) adalah suatu protein yang berfungsi untuk
merespon atau memberi sinyal pada inti sel, melakukan transkripsi gen, melindungi sel dari
apoptosis berlebihan, dan berperan dalam mengeluarkan sinyal proinflamasi seperti sitokin,
kemokin, dan molekul adhesi. Aktivasi NF-kB ini diregulasi oleh gen NEMO yang dikenal
juga dengan inhibitor of nuclear factor kappa-B kinase gamma (IKBKG). Gen NEMO
merupakan pusat pengaturan beberapa jalur sinyal penting seperti sistem imun, respon
proinflamasi, dan apoptosis,

fungsi sel epitel. Apabila NF-kB aktif, maka akan terjadi

peningkatan respon inflamasi, dan berkurangnya apoptosis sel. Dalam hal ini, NEMO
berperan menghambat aktivasi NF-kB yang berlebihan, yang akhirnya menyebabkan
berkurangnya respon inflamasi dan meningkatnya apoptosis.21
2.3.3 Mutasi pada gen NEMO dan hubungannya dengan gejala klinis
Incontinentia pigmenti disebabkan mutasi dalam gen NEMO, dalam kromosom Xq28.
Gen NEMO berfungsi mengaktifkan NF-kB mengatur aktivasi gen yang terlibat dalam
3

inflamasi, sistem imun, kelangsungan hidup sel, dan jalur lainnya, serta melindungi sel-sel
terhadap TNF- yang menginduksi apoptosis. Berkurangnya NEMO, menyebabkan
berkurangnya NF-kB yang aktif, sehingga membuat sel-sel lebih rentan terhadap apoptosis.
Apabila tidak terdapat NEMO atau terjadi mutasi pada NEMO, NF-B tidak dapat
melakukan translokasi pada nukleus yang mengaktifkan transkripsi gen. Pada banyak kasus
(85%) IP disebabkan suatu mutasi pada exon 4-10.
Peningkatan respon inflamasi yang berlebihan akibat aktifnya NF-kB dan
ketidakmampuan gen NEMO yang mengalami mutasi untuk menghambat respon inflamasi
tersebut menyebabkan manifestasi kulit fase 1 dari Incontinensia pigmenti, berupa kulit yang
eritem disertai vesikel. Hiperproliferasi sel keratinosit mengakibatkan munculnya lesi
verukosa seperti yang terlihat pada fase 2 Incontinensia pigmenti.15
Patofisiologi munculnya kelainan kulit berupa hiperpigmentasi yang tampak pada fase
3 dan manifestasi hipopigmentasi / atrofi pada fase 4 masih belum diketahui.
Hiperpigmentasi ini, diduga muncul akibat inkontinensia/ ketidakmampuan menahan pigmen
melanin dari sel basal epidermis sehingga masuk ke dermis.15 Secara histologi, area
pigmentasi menunjukkan banyaknya melanin yang kaya akan melanofag dalam lapisan basal
dan dermis. Biasanya, hiperpigmentasi berkurang secara bertahap setelah beberapa tahun dan
menjadi hipopigmentasi (stage 4), yang menunjukkan skar pasca inflamasi pada dermis. Fase
hipopigmentasi ditandai oleh skar yang linear, atrofi mengikuti garis Blaschko.

2. 4 Diagnosis Incontinentia Pigmenti


2.4.1 Anamnesis
Riwayat keluarga, terutama riwayat orang tua dan saudara (first degree relatives)16
dan riwayat abortus janin laki-laki, mendukung untuk kemungkinan diagnosis IP.11 Selain itu,
pada anamnesis juga harus ditanyakan mengenai kemungkinan kelainan kulit khas pada IP
sesuai fase klinis, dan kelainan neurologis, kelainan oftalmologis, dan kelainan
perkembangan gigi.16
2.4.2 Pemeriksaan Fisik
Diagnosis IP ditegakkan berdasarkan klinis. Lesi kulit khas ditemukan pada 100%
pasien IP.11 Manifestasi lain yang ditemukan termasuk dental (90%), skeletal (40%), sistem
saraf pusat (40-50%) dan okular (35%).
Lesi kulit pada IP terdiri dari 4 fase, yang mungkin dapat overlap atau mungkin tidak
terjadi salah satu fase (skip) .11 Lesi kulit mengikuti distribusi sesuai garis Blaschko dan
4

gejala awal dari lesi kulit dapat terlihat segera setelah lahir, atau selama awal periode
neonatus.24 Lesi kulit pada IP bermanifestasi dalam 4 fase, yang biasanya muncul secara
berurutan.25 Onset dan durasi dari masing-masing fase bervariasi pada masing-masing
individu, namun tidak semua individu akan mengalami keempat fase.26
Empat fase manifestasi kulit yang khas ditemukan pada IP:
1) Fase vesikulobulosa; ditemukan pada saat lahir, atau beberapa saat setelah lahir (periode
neonatus), ditandai dengan eritema yang linear

dan bula dengan eosinophilia pada

pemeriksaan histopatologi dan darah tepi. Lesi ini paling sering ditemukan, terutama pada
ekstremitas dan kulit kepala, badan, dan jarang pada wajah. Dalam hitungan hari sampai
beberapa minggu, lesi-lesi ini menyembuh dan meninggalkan garis verukosa (fase 2).

Gambar 1. Fase vesikulobulosa (fase 1) IP pada bayi perempuan berusia 3 hari


Dikutip sesuai asli dari kepustakaan nomor 5

2) Fase verukosa: ditemukan pada usia 2-8 minggu, ditandai dengan erupsi lesi berupa garisgaris hiperkeratotik, krusta dan verukosa. Garis-garis verukosa ini nantinya akan digantikan
oleh garis hiperpigmentasi seperti pada fase 3.

Gambar 2. Fase verukosa (fase 2) IP


Dikutip sesuai asli dari kepustakaan no. 9

3) Fase hiperpigmentasi: ditemukan pada beberapa bulan kehidupan sampai dewasa muda,
ditandai dengan garis hiperpigmentasi dengan pinggir lesi yang berlekuk-lekuk sesuai dengan
pertumbuhan keratinosit normal ke dalam daerah yang mengalami kerusakan, sepanjang garis
Blaschko. Selama masa kanak-kanak, garis hiperpigmentasi memudar, meskipun beberapa
daerah pigmentasi biru keabu-abuan dapat menetap seumur hidup (fase 4).
4) Fase hipopigmentasi: dapat dialami dari bayi sampai dewasa muda, yang ditandai dengan
dermal scarring. Semenjak remaja, garis linear hipopigmentasi yang tidak berambut dan
hipohidrosis muncul pada daerah posterior dari ekstremitas bawah, dan dapat menjadi satusatunya stigmata penyakit selama masa dewasa.
Kelainan gigi merupakan abnormalitas yang paling sering (90%) dan ditemukan pada
pasien dengan usia lebih dari 1 tahun. Anodontia parsial dari gigi susu atau gigi permanen
dan berbentuk pasak atau gigi berbentuk kerucut (conical teeth) adalah yang kelainan gigi
yang paling sering ditemukan.27 Erupsi gigi dapat inkomplit atau terlambat. Banyak pasien
dilaporkan memiliki caries multipel dan gigi yang rapuh. Pasien IP dengan kelainan gigi,
mengalami perubahan yang signifikan dalam mineralisasi gigi. Caries yang dini dan kualitas
gigi yang buruk, spesifik untuk

kelainan gigi yang ditemukan oleh dentisi. Diagnosis

kelainan gigi tidak dapat ditentukan sebelum usia 1 tahun.18

Manifestasi lain yang dapat ditemukan pada IP antara lain:


Gigi

Kuku

Rambut

Mata

Abnormalitas ditemukan pada > 80% pasien

Keterlambatan dalam erupsi gigi (baik gigi pada saat bayi dan gigi dewasa).

Beberapa gigi mungkin tidak tumbuh

Gigi biasanya berupa bentuk yang tidak lazim, biasanya berbentuk kerucut
Dapat ditemukan pada sekitar 40% pasien

Kuku dapat bergerigi, menebal atau sangat rusak

Biasanya mengenai semua atau beberapa jari tangan dan kaki


Kelainan rambut pada sekitar 50% pasien.

Hilangnya atau kurangnya rambut pada puncak kepala

Tidak adanya alis atau bulu mata

Rambut dapat kasar, atau tipis dan kusam


Defek pada mata terjadi pada 20-35% pasien

Khususnya terjadi sebelum usia 5 tahun

Penyakit menyebabkan abnormalitas dalam pertumbuhan kapiler darah pada


6

mata, dan menyebabkan skar.

Dapat menyebabkan kebutaan namun dapat di tata laksana jika ditemukan

Sistem

pada tahap awal.


Komplikasi neurologis dapat terjadi pada 30% pasien

saraf

Komplikasi tersering adalah kejang yang biasanya muncul pada beberapa

pusat

minggu pertama kehidupan.

Manifestasi lain termasuk perkembangan motorik yang lambat, retardasi


mental, paralisis spastik, atrofi serebral.

Tabel 1. Manifestasi lain yang dapat ditemukan pada IP


Dikutip sesuai asli dari kepustakaan no. 6

Patogenesis terjadinya abnormalitas sistem saraf pusat pada IP belum diketahui,


namun ekspresi tertinggi NEMO ditemukan pada sistem saraf pusat. 8 Kelainan sistem saraf
pusat yang sering ditemukan pada pasien IP antara lain kejang, ketelambatan perkembangan
psikomotor, retardasi mental, dan hemiplegia spastik. Pemeriksaan brain imaging, seperti
MRI (magnetic resonance imaging) dan MRA (magnetic resonance angiogram), telah
membantu dalam memahami patologi sistem saraf pusat, dimana pemeriksaan dengan teknik
ini menunjukkan neuron kortikal yang tersebar dan nekrosis pada substansia alba, hipoplasia
korpus callosum, periventricular white-matter cystic lesions, neuronal heterotopia, dan atrofi
serebral.11
Kelainan okular terjadi pada 35% pasien dan 19% berisiko untuk mengalami
kebutaan pada satu atau kedua mata. Kelainan okular yang paling sering ditemukan adalah
strabismus (18.2%) dan suatu massa retrolental atau retinal pseudoglioma (15.4%). Holstrom
et al. mengajukan suatu skema untuk pasien IP dengan kelainan okular, dan
merekomendasikan bahwa mata sebaiknya diperiksa segera setelah lahir, dan diperiksa
setidaknya sebulan sekali selama 3-4 bulan, dan sekali 3 bulan selama 1 tahun, dan 2 kali
setahun selama 3 tahun, dengan frekuensi yang lebih sering dilakukan pada anak-anak
dengan kelainan retina. Apabila dalam usia 3 tahun tidak ditemukan kelainan, kelainan
refraktif ataupun strabismus, follow-up dapat dihentikan. Selama follow up, fungsi visual
juga harus diperiksa, baik klinis dan pemeriksaan elektrofisiologis seperti VEP dan
electroretinography (ERG). Kelainan refraktif yang signifikan dan ambliopia sebaiknya
diterapi, seperti halnya pada strabismus. 11 Cryotherapy atau laser photocoagulation
sebaiknya dilakukan untuk pasien dengan kelainan retinal perifer dan tractional retinal
detachment sebaiknya diterapi dengan pembedahan.11
7

Kriteria diagnosis Incontinensia pigmenti mencakup ditemukannya kelainan kulit


khas (empat fase) yang dianggap kriteria mayor, sedangkan anomali gigi, anomali okular,
anomali sistem saraf pusat, alopesia atau kelainan rambut, kelainan kuku, anomali palatum,
riwayat abortus pada janin laki-laki, dan gambaran khas pada histologi kulit dianggap kriteria
minor.16 Jika status mutasi NEMO pasien tidak diketahui, dan IP tidak ditemukan pada
saudara perempuan, maka minimal 2 kriteria mayor (riwayat mengalami dua dari empat fase)
atau 1 kriteria mayor dan minimal 1 kriteria minor, diperlukan untuk membuat diagnosis IP.
Apabila status mutasi NEMO pasien tidak diketahui, tetapi IP ditemukan pada saudara
perempuan, maka 1 kriteria mayor atau 2 kriteria minor diperlukan untuk menegakkan
diagnosis IP. Jika status mutasi NEMO telah diketahui, maka ditemukannya 1 kriteria mayor
atau 1 kriteria minor, cukup untuk menegakkan diagnosis.
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis dan eosinofilia kadang ditemukan. Pada saat fase inflamasi akut,
eosinofilia ( 80%) dapat ditemukan dalam darah tepi. Bukti disfungsi neutrofil (kerusakan
pada kemotaksis), disfungsi limfosit (penurunan proliferasi dalam merespon rangsangan
mitogen), telah dilaporkan pada beberapa pasien. Kadar imunoglobulin kuantitatif dan jumlah
subpopulasi limfosit normal.26
Untuk menyingkirkan diagnosis banding, sebaiknya dilakukan biopsi terutama pada
fase vesikular awal dan fase verukosa (fase 1 dan 2). Pada pemeriksaan histopatologi fase
vesikular awal IP tampak spongiosis, vesikel intra epidermal, infiltrasi dermis. Fase 2
ditemukan diskeratotik keratinosit, hiperkeratosis, akantosis, dan papilomatosis. Pada fase 3,
terdapat inkontinesia pigmen dengan ditemukannya perubahan vakuolar pada sel basal dan
melanofag pada beberapa bagian dermis. Fase 4 ditandai dengan tidak ditemukannya jaringan
adneksa, atrofi epidermis ringan, dan melanosit yang mungkin dalam jumlah normal,
berkurang atau dengan ukuran melanosit yang mengecil. Epidermis yang menipis disertai
berkurangnya jaringan adneksa pada dermis menimbulkan kesan hipopigmentasi. 2 Sering
juga ditemukan tanda-tanda hipohidrosis, dengan berkurangnya kelenjar keringat ekrin, dan
folikel rambut pada daerah ini.
CT scan kepala dan MRI otak dapat menunjukkan edema serebral, hidrosefalus,
kelainan otak struktural, infark serebral, dan daerah hypointense atau hypoattenuation.11
Spektroskopi resonansi magnetik angiografi dan telah menunjukkan berkurangnya aliran
darah otak dan kadar laktat serebrospinal cairan tinggi, konsisten dengan iskemia serebral
sekunder terhadap kejadian oklusi serebrovaskular. Elektroensefalografi (EEG)

sangat

membantu untuk lokalisasi lesi pada sistem saraf pusat dan fokus epileptogenik pada pasien
8

dengan kejang.8 Analisis kariotipe dianjurkan pada bayi laki-laki dengan incontinensia
pigmenti untuk mendeteksi sindrom Klinefelter (XXY syndrome).3
2.5 Diagnosis Banding
Incontinentia pigmenti pada neonatus biasanya dapat dibedakan dengan penyakit
infeksi (seperti herpes zoster, varisela atau infeksi virus herpes simpleks) dengan gambaran
anak yang tampak sehat dan pola lesi kulit yang khas. Eosinofilia juga dapat ditemukan dan
pemeriksaan histologik mendukung konfirmasi diagnosis.7 Diagnosis banding pasien yang
dengan lesi kulit fase 3 dan 4 antara lain: hypomelanosis of Ito; IP achromians; X-linked
dominant chondrodysplasia punctata, dan sindrom Franceschetti Jadassohn. 11
Incontinentia pigmenti Achromian ditandai dengan hipopigmentasi kulit disertai
kelainan neurologi yang hampir mirip dengan IP. Namun, pada IP hipopigmentasi sering
ditemukan lambat dalam perjalanan dari beberapa kasus IP. Gangguan ini diwariskan secara
autosomal dominan. Berbagai kelainan perkembangan lain dan/ atau kondisi juga dapat
terjadi bersamaan dengan penyakit ini. Warna kulit cenderung normal seiring bertambahnya
usia.
Sindrom Franceschetti - Jadassohn ditandai dengan perubahan pigmentasi kulit yang
sama dengan incontinentia pigmenti, tetapi gejala dimulai pada masa remaja dan tidak
mengikuti fase perubahan kulit seperti pada IP. Selain itu , dapat ditemukan kulit dapat
menebal pada tangan dan/ atau kaki, gangguan dalam mengeluarkan keringat serta gigi yang
menguning. Gangguan ini tampaknya diwariskan secara autosomal dominan.
Hypomelanosis of Ito merupakan sekelompok gangguan kulit yang ditandai dengan
alur hipopigmentasi dan garis-garis disertai gejala lain seperti retardasi mental, kejang,
kurangnya keringat pada daerah hipopigmentasi, strabismus, rabun jauh, celah sepanjang tepi
bola mata (koloboma), pertumbuhan berlebihan jaringan otak, dan/ atau mikrosefali.
Hipomelanosis Ito mungkin terjadi secara sporadis atau mungkin diwariskan secara
autosomal dominan. 7
2.6 Penatalaksanaan
Kelainan kulit pada IP biasanya hilang pada masa remaja atau dewasa tanpa
pengobatan apapun, meskipun penggunaan tacrolimus topikal dan kortikosteroid topikal telah
dilaporkan mempercepat resolusi tahap inflamasi. Vesikel pada fase vesikulobulosa harus
dibiarkan utuh, dan kulit harus dipantau untuk kemungkinan munculnya infeksi bakteri
sekunder.30 Emolien dan antibiotik topikal dapat digunakan sesuai kebutuhan. Tidak terdapat
9

terapi untuk menghambat evolusi IP, karena itu, pengobatan bersifat simtomatik, dan
ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder pada pasien IP. 16
Pemeriksaan awal dan follow up berkelanjutan untuk neurologis dan oftalmologis
dianjurkan, sebagaimana halnya pemeriksaan gigi. Semua bayi yang dicurigai mengalami IP
sebaiknya dikonsulkan untuk pemeriksaan awal (baseline) oftalmologis, gigi, dan
pemeriksaan perkembangan saraf secara periodik.18 Pemeriksaan ibu dan konseling genetik
sebaiknya dilakukan pada saat pernikahan, perencanaan kehamilan, dan antenatal.
Rehabilitasi pada kasus IP membutuhkan pendekatan multidisiplin yang melingkupi
dokter spesialis anak, dokter spesialis neurologi anak, dokter spesialis ortopedi, bedah saraf,
neonatologis, psikiater anak, dan dokter gigi. Kara et al. melakukan observasi pada anak
dengan IP yang menjalani program fisioterapi yang dimulai segera setelah lahir sampai usia
12 bulan untuk mendukung proses perkembangan. 9 Program fisioterapi terbukti efektif dalam
meningkatkan kemampuan otak, serta membantu adaptasi terhadap kecacatan yang dapat
terjadi pada IP.
Polar body analisis adalah salah satu pilihan untuk diagnosis genetik prekonsepsi.
Polar body merupakan embrio yang dihasilkan dari fertilisasi secara invitro. Pasangan yang
mengalami IP atau karier untuk kelainan genetik lainnya, dapat memilih embrio yang telah
dibiakkan secara in vitro dan telah dipastikan tidak adanya mutasi pada kromosom yang
dibawa dari pasangan tersebut. Sebagian besar negara di Eropa, seperti Jerman, polar body
analisis ini dilakukan pada pasangan yang ingin memiliki keturunan, namun merupakan
karier kelainan genetik, untuk mencegah embrio yang terbentuk setelah konsepsi membawa
gen yang mengalami mutasi.14 Selain metode polar body analisis, juga telah dilakukan
penelitian gene rearrangement yang berfungsi memperbaiki mutasi akibat kelainan lokasi
dari kromosom.23
2.7 Prognosis
Prognosis buruk. Kelainan sistem saraf pusat dan imunodefisiensi menjadi penyebab
kematian tersering pada IP. Prognosis bergantung pada tingkat keparahan manifestasi
ekstrakutaneus terkait. Morbiditas dan mortalitas terutama akibat dari komplikasi neurologi
dan oftalmologi, termasuk retardasi mental, kejang, dan kebutaan. Sashikumar et al. juga
menemukan risiko munculnya keganasan pada bayi dengan IP.5

10

BAB III
SIMPULAN
1. Inkontinensia pigmenti ditandai dengan adanya lesi yang khas sepanjang garis
Blaschko. Lesi yang khas tersebut antara lain berupa ; stage I: Vesicular stage
(dimulai dari lahir sampai beberapa minggu setelahnya), stage II: Verrucous stage
(antara usia 2-8 minggu) , stage III: hyperpigmented stage (usia bulan- dewasa),
stage IV: hypopigmentation stage (bayi sampai dewasa). Kelainan kulit ini diikuti
dengan adanya kelainan lain seperti pada okular, dental, skeletal, dan anomali sistem
saraf pusat.
2. IP disebabkan adanya mutasi pada gen NEMO [nuclear factor B (NF-B) essential
modulator] pada kromosom Xq28, yang menyebabkan terjadinya kelainan pada
proses sinyal

nuclear factor B (NF-B). NF-B mengeluarkan sinyal yang

memberikan efek terhadap inflamasi, apoptosis, perkembangan dan imunitas.


3. Tidak terdapat terapi yang pasti untuk mempengaruhi sifat evolusi dari IP, karena itu,
pengobatan bersifat simtomatik.

11

Daftar Pustaka:
1. Ardelean D, Pope E. Incontinentia pigmenti in boys: A series and review of the literature.
Pediatric dermatology 2006;23.
2. Lapeere H, Boone B, Schepper SD, Verhaeghe E, Ongenae K, Geel NV, et al.
Hypomelanoses and Hypermelanoses.In: Wolff KG, Lowell A, Katz, Stephen I., Gilchrest,
Barbara A., Paller, Amy S., et al., ed. Fitzpatrick's dermatology in general medicine, 7th
Edition: McGraw-Hill; 2008:631-2.
3. Buinauskaite E, Buinauskiene J, Kucinskiene V, Strazdiene D, Valiukeviciene S.
Incontinentia pigmenti in a male infant with klinefelter syndrome: A case report and
review of the literature. Pediatric dermatology 2010;27.
4. Phan TA, Wargon O, Turner AM. Incontinentia pigmenti case series: clinical spectrum of
incontinentia pigmenti in 53 female patients and their relatives. Clinical and experimental
dermatology 2005.
5. Sashikumar P, Mukherjee S. Neonatal incontinentia pigmenti. BMJ case reports 2010.
6. Heiss NS, Poustka A, Knight SW, Aradhya S, Nelson DL, Lewis RA, et al. Mutation
analysis of the DKC1 gene in incontinentia pigmenti. J Med Genet 1999;36:860-2.
7. Moss C. Mosaicism and linear lesions. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, eds.
Dermatology second edition: Mosby Elsevier; 2008:841-6.
8. Mini S, Trpinac D, Obradovi M. Systematic review of central nervous system anomalies
in incontinentia pigmenti. Orphanet journal of rare diseases 2013.
9. Kara OK, Mutlu A, Gunel MK. The results of early physiotherapy on a child with
incontinentia pigmenti with encephalocele. BMJ case reports 2010.
10. Aradhya S, Courtois G, Rajkovic A, Lewis RA, Levy M, Alain Israel, et al. Atypical
forms of incontinentia pigmenti in male individuals result from mutations of a cytosine
tract in exon 10 of NEMO (IKK-g). Am J Hum Genet 2001.
11. Al-Zuhaibi S, Ganesh A, Al-Waili A, Al-Azri F, Javad H, Al-Futaisi A. A female child
with skin lesions and seizures: case report of Incontinentia pigmenti. SQU medical journal
2009;9.
12

12. Balbas GMa, Gonzalez-Ensenat MA, Vicente A, Creus-Vila L, Anton J, Umbert-Millet


P. Incontinentia pigmenti and bipolar aphthosis: An unusual combination. International
scholarly research network dermatology 2011;2011.
13. Consortium TII. Survival of male patients with Incontinentia pigmenti carrying a lethal
mutation can be explained by somatic mosaicism or klinefelter syndrome. In: Am J Hum
Genet; 2001:1210-7.
14. Griesinger G, Bndgen N, Salmen D, Schwinger E, Gillessen-Kaesbach G, Diedrich K.
Polar body biopsy in the diagnosis of monogenic diseases. Deutsches rzteblatt
International 2009.
15. Happle R. X-chromosome inactivation: role in skin disease expression. Acta pdiatrica
2006.
16. Tekin N, Uar B, Saraoglu ZN, Koak AK, rer S, Yakut A. Diagnosis and follow up
in four cases of incontinentia pigmenti. Pediatrics International 2000;42.
17. Puel A, Reichenbach J, Bustamante J, Ku C-L, Jacqueline Feinberg, Doffinger R, et al.
The NEMO mutation creating the most-upstream premature stop codon is hypomorphic
because of a reinitiation of translation. The American journal of human genetics 2006;78.
18. Afshar H, Daneshpazhooh M, Kiani A, Aref P, Baniameri Z. Abnormal dentition in a boy
with Incontinentia pigmenti: Case report. Journal of dentistry, Tehran university of
medical sciences 2012;9.
19. Alikhan A, Lee AD, Swing D, Carroll C, Yosipovitch G. Vaccination as a probable cause
of Incontinentia pigmenti reactivation. Pediatric dermatology 2010;27.
20. Makris C, Roberts JL, Karin M. The carboxyl-terminal region of Ik-B Kinase (IKK) is
required for full IKK activation. Molecular and cellular biology 2002;22.
21. Chung W-K, Lee D-W, Chang S-E, Lee M-W, Choi J-H, Moon K-C. A case of
Incontinentia pigmenti associated with multiorgan abnormalities. Ann Dermatol 2009;21.
22. J J Cox STH, Dee S, Burbridge JI, Raymond FL. Identification of a 650 kb duplication at
the X chromosome breakpoint in a patient with 46,X,t(X;8)(q28;q12) and non-syndromic
mental retardation. J Med Genet 2003;40:169-74.
23. Song M-J, Chae J-H, Park E-A, Ki C-S. The common NF-B essential modulator
(NEMO) gene rearrangement in Korean patients with Incontinentia pigmenti. The Korean
academy of medical sciences 2010;25.
24. Lee Y, Kim S, Kim K, Chang M. Incontinentia pigmenti in a newborn with NEMO
mutation. The Korean academy of medical sciences 2011;26.
13

25. Schaller J, Schaller S. A rare variant of incontinentia pigmenti - disseminated papules and
vesicles. Journal of the European academy of dermatology and venereology 1994.
26. Kim BJ, Shin HS, Won CH, Lee JH, Kim KH, Kim MN, et al. Incontinentia pigmenti:
Clinical observation of 40 Korean cases. J Korean Med Sci 2006;21.
27. Kitakawa D, Fontes PC, Augusto F, Magalhes C, Almeida JD, Cabral LAG.
Incontinentia pigmenti presenting as hypodontia in a 3-year-old girl: a case report. Journal
of medical case reports 2009;3.
28. Woffendin H, Jakins T, Jouet M, Stewart H, Landy S, Haan E, et al. X-inactivation and
marker studies in three families with incontinentia pigmenti: implications for counselling
and gene localization. Clinical genetics 1999.
29. Fraitag S, Rimella A, Prost Yd, Brousse N, Hadj-Rabia S, Bodemer C. Skin biopsy is
helpful for the diagnosis of incontinentia pigmenti at late stage (IV): a series of 26
cutaneous biopsies. Journal of cutaneous pathology 2009.
30. Zonana J, Elder ME, Schneider LC, Orlow SJ, Moss C, Golabi M, et al. A novel X-linked
disorder of immune deficiency and hypohidrotic ectodermal dysplasia is allelic to
Incontinentia pigmenti and due to mutations in IKK-gamma (NEMO). Am J Hum Genet
2000.

14

Anda mungkin juga menyukai