Anda di halaman 1dari 49

ISSN 2303-1433

ISSN 2303-1433

JURNAL ILMU KESEHATAN


Jurnal Ilmu Kesehatan Dharma Husada merupakan Jurnal yang memuat naskah hasil penelitian
maupun artikel ilmiah yang menyajikan informasi di bidang ilmu kesehatan, diterbitkan setiap
enam bulan sekali pada bulan Nopember dan Mei

Penasehat
Pardjono
PenanggungJawab
Magdalena Suharjati
PemimpinRedaksi
Hengky Irawan
RedakturPelaksana
Sucipto
Redaktur/Editor
Dyah Ika
M. Ali Mansur
Didik Susetiyanto A.
Puguh Santoso
Widodo
Usaha
Novita
Enggar Prayoningtyas
Atin Priyanto
DiterbitkanOleh
Akper Dharma Husada Kediri JawaTimur
Jl. Penanggungan No. 41 A Kediri, Telp&Fax (0354) 772628
Email :jurnalakperdharma@yahoo.com

AlamatRedaksi :
BagianHumas
Akper Dharma Husada Kediri
Jln. Penanggungan 41 A Kediri, JawaTimur, Telp&Fax (0354) 772628
Email :jurnalakperdharma@yahoo.com

ISSN 2303-1433

JURNAL ILMU KESEHATAN

DAFTAR ISI

Penyuluhan Dengan Multimedia Untuk Meningkatkan Pengetahuan Tentang P


erilaku Hidup Sehat Dan Bersih Siswa SMA
Ifa Roifah, Agus Novianto

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pasangan Remaja Usia 13-22 Tahun


Untuk Melakukan Sex Bebas Di Kawasan Tretes Kecamatan Prigen
Kabupaten Pasuruan
Iis Fatimawati, S.Kep,Ns.,M.Kes , M. Rijal Febrianto

Pengaruh Terapi Musik Terhadap Perubahan Tanda-Tanda Vital Pada Pasien


Post Operasi Fraktur Yang Mengalami Nyeri
Maksimilianus Lopes, Moh Alimansur, Edi Santoso

12

Pengalaman Perawat Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan Yang Disebabkan


Halusinasi Di Ruang Melati Rsj Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang
Sulistyono , Indah Winarni , Heni Dwi Windarwati

20

Hubungan Keteraturan Ibu Hamil Dalam Melaksanakan Kunjungan Antenatal Care (Anc) Terhadap
Hasil Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu Hamil Di Poli Kia RSUD Gambiran
35
Kota Kediri
Sumy Dwi Antono ,Dwi Estuning Rahayu

ISSN 2303-1433

Penyuluhan dengan Multimedia untuk Meningkatkan Pengetahuan


tentang Perilaku Hidup Sehat dan Bersih Siswa SMA
Ifa Roifah, Agus Novianto
STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto
Abtract
Children are future generations which are the most important asset in order to
achieve Nations success to realize it is needed to apply Clean and Healthy Life Behaviors
(PHBS) by no smoking, right personal hygiene, regular physical exercise, and no drugs by
using multimedia method extension towards students knowledge of Clean and Healthy
Life Behaviors (PHBS) on educational aspect in SMA Negeri 1 Gondang Mojokerto. The
research design is used Pre-Experiment, which is applied One-Group Pre-Post Test Design.
The populations of students which join School Health Program are 101 students, and the
samples are 81 students taken by probability sampling (Simple Random Sampling). The
independent variable is extension through multimedia method and the dependent variable
is students knowledge about Clean and Healthy Life Behaviors (PHBS) on educational
aspect. The data is taken by the using of puzzle game crosswords form which is use after
and before extension. After all of data collected and data processing statistical test followed
by Wilcoxon sign test SPSS17, the result showed Asymp.Sig value (2-tailed) of 0.000 and
of 0.05. Because Asymp.Sig value (2-tailed) < 0.05 then H0is rejected and H1 is
accepted, it means that there is an influence using multimedia method extension towards
students knowledge of Clean and Healthy Life Behaviors (PHBS) on educational aspect in
SMA Negeri 1 Gondang Mojokero.
Keywords : knowledge of Clean and Healthy Life Behaviors (PHBS), multimedia

Pendahuluan
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
merupakan upaya pendidikan kesehatan
yang dilaksanakan secara perpadu, sadar,
berencana, terarah dan bertanggung jawab
dalam menanamkan dan menumbuhkan
sikap hidup sehat dalam kehidupan
peserta didik sehari-hari. kenyataannya
pelaksanaan program UKS pada saat ini
tidak berjalan dengan baik. Hasil Tim
Pembina UKS (2007) Pusat teryata
pelaksanaan UKS sampai saat ini
dirasakan masih kurang sesuai dengan
yang diharapkan. saat ini baru sekitar
30% SLTP dan SMU di Indonesia yang
melaksanakan program UKS. Banyak
program-program UKS yang terdapat
disekolah berhenti atau macet. Hal ini
disebabkan karena kurangnya pemahaman
UKS, bahkan program UKS tersebut tidak
dihiraukan oleh pihak sekolah (Saryono,
2007).

Program UKS diharapkan dapat


menerapkan dan membiasakan siswa
untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
Munculnya berbagai penyakit yang sering
menyerang anak usia sekolah ternyata
umumnya berkaitan dengan PHBS
(KEMENKES RI, 2011).
Hasil penelitian (Pramono, 2011)
menyebutkan bahwa orang yang memiliki
perilaku hidup tidak baik (kebiasaan
sebelum makan, kebiasaan minum,
kebiasaan buang air kecil, kebiasaan
buang air besar dan kebiasaan istirahat)
memiliki resiko 3,5 kali lebih besar
menderita diare dibandingkan dengan
orang yang memiliki PHBS baik.
Responden usia lebih dari 10 tahun
sebanyak 76,8% responden belum benar
dalam perilaku cuci tangan, dan 28,9%
belum benar dalam perilaku buang air
besar.

ISSN 2303-1433

Data yang lain menunjukan 23,7%


responden pernah merokok,. 48,2%
kurang aktivitas fisik (berolahraga), dan
93,6% kurang mengkonsumsi buah dan
sayur (Pramono, 2011). Data harian Jawa
Pos (Kamis, 02 Mei 2013) bahwa rokok
menjadi pintu masuk pertama mengenal
narkoba Badan Narkotika Nasional
(BNN) mengatakan bahwa penyebaran
narkoba menjadi makin mudah karena
anak SD juga sudah mulai mencoba-coba
menghisap rokok.
Data
BNN tahun 2007, kasus
pemakaian narkoba oleh pelaku dengan
tingkat SD hingga tahun 2007 berjumlah
12.305. Data ini begitu mengkhawatirkan
karena seiring dengan meningkatnya
kasus narkoba khususnya dikalangan usia
muda dan anak-anak, penyebaran
HIV/AIDS semakin meningkat dan
mengancam. Hampir 50% penularan
HIV/AIDS menggunakan jarum suntik
atau narkoba (Badan Narkotika Nasional,
2007).
Hasil penelitian siswa di SMA Negeri
1 Gondang Mojokerto didapatkan 101
rerponden yang mengikuti kegiatan UKS
dan sampel 81 hampir semua responden
kedalam perilaku hidup bersih dan sehat
katagori kurang factor utama kurangnya
penyuluhan tentang PHBS tatanan
sekolah yang benar seperti : bahaya napza
bahaya personal hgyne buruk bahaya
malas berolahraga dan bahaya rokok.
Cara mengurangi dampak dari
buruknya PHBS, resiko merokok, dan
penyalahguaan Narkotika maka perlunya
pendidikan kesehatan bagi peserta didik.
Pendidikan Kesehatan merupakan salah
satu program UKS dimana para warga
sekolah
diberikan
pengetahuan
pendidikan kesehatan.
Pendidikan Kesehatan ini bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman warga sekolah tentang
bagaimana cara menjaga kebersihan diri
(personal hygiene) seperti cara mencuci
tangan dan menggosok gigi dengan baik
dan benar, menjaga kesehatan diri
(personal health) dengan mengikuti

kegiatan olahraga dan aktifitas fisik


secara teratur, memberikan pengetahuan
tentang bahaya dan resiko merokok serta
narkoba untuk mengurangi penyebaran
HIV/AIDS. Tidak hanya itu, peserta didik
juga diberikan penyuluhan dengan
menggunakan media-media yang menarik
tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). Sehingga secara mandiri mampu
mencegah
penyakit,
meningkatkan
kesehatannya, serta berperan aktif dalam
mewujudkan
lingkungan
sehat
(KEMENKES RI, 2011).
Sangat penting bagi pendidik untuk
memberikan pelayanan pemeliharaan
kesehatan,dengan mengunakan metode
penyuluhan melalui multimedia dengan
perkembagan zaman multimedia bisa
berupa aplikasi permainan video-vidio
gambar atau animasi untuk meningkatkan
atau mempoermudah pemahaman siswa
dengan cara lansung melihat mengunakan
layar (LCD) atau computer.
Yudi Munadi (2008) dalam Setyowati
(2009)
menyebutkan
Multimedia
pembelajaran adalah media yang mampu
melibatkan banyak indera dan organ
tubuh selama proses pembelajaran
berlangsung.
Ada beberapa kelebihan penggunaan
multimedia presentasi yaitu: (1) Mampu
menampilkan
objek-objek
yang
sebenarnya tidak ada secara fisik atau
diistilahkan dengan imagery. Secara
kognitif
pembelajaran
dengan
menggunakan mental imagery akan
meningkatkan retensi siswa dalam
mengingat materi-materi pelajaran. (2)
Memiliki
kemampuan
dalam
menggabungkan semua unsur media
seperti teks, video, animasi, image.
(3) Sesuai dengan modalitas belajarnya
terutama bagi mereka yang memiliki tipe
visual, auditif, kinestetik atau yang
lainnya. (4) Mampu mengembangkan
materi pembelajaran terutama membaca
dan mendengarkan secara mudah.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahuai
pengaruh
penyuluhan
melalui metode multimedia terhadap
5

ISSN 2303-1433

pengetahuan siswa tentang PHBS tatanan


sekolah di SMA Negri 1 Gondang
Mojokerto.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan desain Pra
eksperimen (one group pre test post test
design). Penelitian ini adalah penelitian
desain yang digunakan untuk meneliti
pada satu kelompok dengan melakukan
satu kali pengukuran di depan (pre test)
sebelum adanya perlakuan (experimental
treatment) dan setelah itu dilakukan
pengukuran lagi (post test). Dengan
kondisi awal diamati maka bisa
digunakan untuk mengevaluasi adanya
perubahan sesudah perlakuan dengan
membandingkan
dengan
hasil
pengamatan
sesudah
perlakuan
(Notoatmodjo, 2012)
Hasil Penelitian
Diagram 4.1
Distribusi frekuensi
pengetahuan siswa sebelum dan sesudah
dilakukan penyuluhan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) melalui metode
Multimedia di SMA Negeri 1 Gondang
Mojokerto Tahun 2014.

Diagram
4.1 pengetahuan siswa
sebelum penyuluhan 65% kurang dan
setelah dilakukan penyuluhan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) tatanan
sekolah 70% siswa meningkat menjadi
baik. Hasil uji wilxoson signed rangks test
diperolah hasil p value sebesar 0,00 <
a0,05 maka Ho ditolak artinya ada
pengaruh penyuluhan melalui metode
multimedia terhadap pengetahuan siswa
tentang perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) tatanan sekolah di SMA Negeri 1
Gondang Mojokerto.
Pembahasan
Sebelum
diberikan
penyuluhan
tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) dapat diketahui bahwa dari 81

sampel penelitian terdapat 65 atau 80,24%


siswa yang pengetahuanya < 56%
dikarnakan siswa kurang mengetahuai
tentang perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) dengan benar seperti tidak
mengunakan napza personal hygine yang
benar, berolahraga teratur dan tidak
merokok dalam pengisian game puzlle
teka-teki silang (TTS) banyak siswa yang
tidak bisa menjawab dikarenakan
kurangnya pengetahuan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) dan ketidak
pahaman game puzlle teka-teki silang
(TTS).
Setelah
dilakukan
penyuluhan
melalui metode multimedia terhadap
pengetahuan siswa tentang perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) 65 atau 80,24%
siswa berpengetauan kurang menjadi 2
atau 2,6% terjadi adanya perubahan,
siswa berpengetahuan cukup dari 8 atau
9,87% mejadi 9 atau 11,1% dan
berpengetahuan baik dari 8 atau 9,87%
menjadi 70 atau 86,41%.
Menurut Smaldino (2005) dikutip
dalam Setyowati (2009) yang menyatakan
bahwa Multimedia sistem terdiri dari
media tradisional dalam kombinasi atau
digabungkan dalam komputer sebagai
gambaran teks, gambar, grafik, suara dan
video. Istilah multimedia didiskripsikan
sebagai
penerapan
untuk
mengkombinasikan berbagai media untuk
mempengaruhi
tingkat
pendidikan.
Multimedia merupakan kombinasi dari
komputer dan video, atau multimedia
merupakan kombinasi dari suara, gambar,
dan teks.
Hasil penelitan akhir menunjukkan
ada pengaruh penyuluhan melalui metode
multimedia terhadap pengetahuan siswa
tentang perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) tatanan sekolah di SMA Negeri 1
Gondang Mojokerto dengan p value 0,000
< 0,05.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
dengan hasil penelitian Mochamad Setyo
Pramono (2011) menunjukkan bahwa
edu-game
ini disukai anak-anak. Isi
cerita dan warna/gambar dari edu-game
6

ISSN 2303-1433

merupakan bagian yang paling disukai


anak-anak. Terdapat perbedaan yang
signifikan
antara
nilai rata-rata
pengetahuan PHBS maupun sebelum dan
sesudah perlakuan. Hal ini menunjukkan
bahwa edu-game ini cukup efektif
untuk digunakan sebagai media bermain
dan belajar tentang PHBS siswa .
Simpulan
1.

2.

3.

Hampir seluruh responden kurang


memahami bahaya napza, bahaya
personal hgyne yang buruk, bahaya
malas berolahraga dan bahaya akibat
merokok
sebelum
diberikan
penyuluhan.
Hamper
seluruh
responden
mempunyai pengetahuan yang baik
tentang perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) setelah diberikan
penyuluhan.
Ada
pengaruh
penyuluhan
mengunakan metode multimedia
terhadap pengetahuan siswa tentang
perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) tatanan sekolah SMA Negeri
1 Gondang Mojokerto.

Saran
1.

2.

3.

Perlu dilakukan penyuluhan lebih


intensif dengan metode multimedia
sesuai dengan topic yang trends saat
ini.
Perlu
pengembangan
penelitian
penyuluhan mengunakan metode
multimedia dengan metode yang lain
seperti permainan ulartangga yang
dimodif dengan PHBS agar para
siswa dapat lebih mengetahui
pentingnya pola hidup bersih dan
sehat (PHBS).
Diharapkan bagi siswa saling
memberikan
informasi
tentang
bahaya napza bahaya rokok bahaya
personal hgyine buruk dan bahaya
jika tidak berolahraga teratur.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur


Penelitian
Suatu
Pendekatan
Peraktek. Yogyakarta PT Rineka
Cipta : Edisi Revisi 2010, 2010.
Citarawati, Yetti Wira. 2009. Media
Penyuluhan Artikel. s.l. : 2009,
2009.
Kementrian Kesehatan RI. 2011.
Intraksi Suplemen PHBS di sekolah.
Jakarta Kemenrian Kesehatan RI :
s.n., 2011.11 april 2014
Kementrian
Pendidikan
dan
Kebudayaan . 2013. Modul ield
Lab Semester V Keterampilan
Pembinaan UKS Kesehatan Jiwa
NAPZA dan Ganguan Belajar .
Uniersitas Sebelas Maret : s.n.,
2013.11 febuari 2014
Kementrian
Pendidikan
dan
Kebudayaan (KEMENDIKBUD
UNS). 2013. Modul Field Lab
Semester V Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS). Universitas
Sebelas Maret : s.n., 2013.11
febuari 2014
Notoatmodjo,
Soekidjo.
2012.
Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta PT RINEKA CIPTA : s.n.,
2012.
Pramono, Mochamad Setyo. 2011. s.l. :
Buletin Penelitian , 2011, Vol. Vol
39 No 4.7 januari 2014
Pos, Jawa. Rokok Menjadi Pintu Masuk
Pertama
Mengenal
Narkoba.
Jakarta : Jawa Pos.7 januari 2014
RI,

Kementrian Kesehatan. 2011.


Peraturan
Mentri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Pedoman
Pembinaan Perilaku Hidup Bersih
7

ISSN 2303-1433

dan
Sehat
(PHBS).
Jakarta
Kementrian Kesehatan RI : s.n.,
2011.
nomor
2269/MENKES/PER/X/2011.11
april 2014

Menengah Pertamadi Wilayah


Kecamatan Purwokerto Kabupaten
Banyumas. Jurnal Keperawatan
Soedirman : Universitas Jendral
Soedirman.23 maret 2014

Setyowati, ida & hasim khoirul. 2009.


Intructional media . STKIP PGRI
JOMBANG : s.n., 2009.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian


Kesehatan (Pendekatan Kuantitatif
Kualitatif dan R&D). Bandung
Alfabeta : s.n., 2011.

Saryono. 2007. Pelaksanaan Trias Usaha


Kesehatan Sekolah di Sekolah

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PASANGAN REMAJA


USIA 13 22 TAHUN UNTUK MELAKUKAN SEX BEBAS
DI KAWASAN TRETES KECAMATAN PRIGEN
KABUPATEN PASURUAN
Iis Fatimawati, S.Kep,Ns.,M.Kes
M. Rijal Febrianto
Stikes Majapahit Mojokerto. Jl. Raya Gayaman Km.2 Mojoanyar Mojokerto,
Email : iis.fatimawati@gmail.com
ABSTRACT
Adolescence is a period of transition from child to adulthood. Many problems
experienced by adolescents in this biological transition, for example is free sex. The purpose
of this study was to determine the factors that influence teenage couples aged 13-22 years for
free sex in the districts Tretes Prigen Pasuruan regency. This study used a cross sectional
analytic design. Independent variable in this study is the family factor, sex education, and
environment. Dependent Variabel is free sex. The sample was mostly couples teenager in
Tretes Pasuruan District Prigen that totaling 34 people. Sampling technique that is
accidental sampling. This study was conducted in June 2014. Results showed the majority of
family factors (55.9%) is less. Factors sex education the majority (67.6%) is less.
Environmental factors most (61.8.%) Is less. Teen couple who are free sex is majority
(64.7%). Analysis using chi square test showed association of family factors, environmental
factors, and the factor of sex education to teen couple sex free.Need for Sex explanation that
correct and proper manner that is based on religious values, culture and ethics, so the
teenager will avoid that are negative things and reprehensible associated with problem-free
sex.
Keywords: adolescent, family, sex education, environment, free sex
Pendahuluan
Masa remaja adalah masa transisi dari
anak-anak menuju dewasa. Banyak
masalah yang dialami oleh para remaja
dalam masa transisi biologis ini, salah
satunya adalah masalah sex bebas. Free
sex atau seks bebas menjadi hal yang
sangat biasa bagi kalangan remaja saat ini.
Tanpa merasa malu mereka meminta
pasangannya untuk melakukan hal itu, hal
yang sebenarnya dianggap tabu oleh
masyarakat sekitar. Bukan hanya wanita
dewasa (> 20 tahun) saja yang
melakukannya, namun sekarang kalangan
remaja sudah melakukannya walaupun
hanya satu kali. Kejadian ini menimpa
remaja-remaja yang justru masih sekolah

SMP dan SMA yang bukan hanya


keberadaannya di kota-kota besar saja
melainkan sudah sampai ke pelosok desa
(BKKBN, 2009).
Perilaku seks bebas didunia saat ini
terus mengalami peningkatan yang sangat
pesat. Pichkel melaporkan bahwa di AS
25% anak perempuan berusia 17 tahun dan
anak laki-laki usia 17 tahun telah
berhubungan intim. Di Inggris lebih dari
20% anak perempuan berusia 16 tahun
rata-rata telah berhubungan seks dengan
tiga laki-laki (Jurnal Medika, 2010).
Fenomena seks bebas di Indonesia
semakin memprihatinkan. Data dari hasil
survey (Komisi Perlindungan Anak
Indonesia) KPAI di 33 provinsi dari
Januari sampai Juli 2013 menunjukkan

62,7% remaja SMP tidak perawan. Badan


koordinasi keluarga berencana nasional
BKKBN tahun 2012 menyebutkan hal
yang sama bahwa terdapat 22,6% remaja
menganut seks bebas.
Faktor penyebab seks bebas antara
lain adalah situasi yang mendukung
dimana ketika pasangan muda mudi
tersebut mengambil tempat untuk bertemu
dan berkencan di tempat yang sepi,
penanaman nilai dan norma agama yang
kurang tepat juga merupakan penyebab
seks bebas dimana sebagian orang tua
kurang menanamkan rasa takut kepada
Tuhan (Panjaitan, 2007). Fenomena yang
saya temui di kawasan Tretes, awalnya
para remaja bertemu untuk mencari tempat
pacaran yang sepi karena jika pacaran
dirumahnya takut dimarahi sama orang
tuanya, akhirnya mereka memutuskan
untuk menyewa vila di kawasan Tretes.
Mereka beranggapan vila merupakan
tempat yang sepi, enak dibuat pacaran, dan
melakukan hubungan sex. Dorongan
perasaan dan keinginan seks sual cukup
pesat pada remaja dapat mengakibatkan
remaja menjadi rentan terhadap pengaruh
buruk dari luar yang mendorong timbulnya
perilaku seksual yang berisiko tinggi.
Untuk mengatasi masalah-masalah ini
diperlukan adanya pemahaman dan
penerangan tentang seks secara benar dan
tepat yang dilandasi oleh nilai-nilai agama,
budaya dan etika yang ada dimasyarakat.
Penyuluhan dan penerangan tentang seks
harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai agama, sehingga seorang
remaja akan mendapatkan informasi yang
benar dan tepat dengan berlandaskan pada
nilai-nilai agama dan keimanan yang kuat
sehingga seorang remaja dapat terhindar
dari hal-hal yang negatif dan tercela terkait
dengan masalah seks. Untuk itu
pendidikan seks dan bimbingan sangat
diperlukan.

Jenis penelitian dalam penelitian ini


menggunakan analitik korelasional dengan
desain analitik croos sectional. Variabel
independent dalam penelitian ini adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi seks
bebas. Yaitu meliputi Faktor keluarga,
Faktor pendidikan seks dalam keluarga,
Faktor lingkungan. Variabel dependent
dalam penelitian ini adalah sex bebas.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
pasangan remaja di Kawasan Tretes
Kecamatan Prigen Kabupaten Pasuruan.
Sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagian pasangan remaja di
Kawasan Tretes Kecamatan Prigen
Kabupaten Pasuruan yang berjumlah 34
orang.
Pengambilan
sampling
dalam
penelitian ini adalah non probability
sampling
dengan
jenis
accidental
sampling yaitu cara pengambilan sampling
yang dilakukan dengan kebetulan bertemu
(Hidayat, 2009).
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Kawasan Tretes Kecamatan Prigen
Kabupaten Pasuruan dalam waktu 2
minggu pada bulan Juni 2014.
Hasil
a. Karakteristik responden berdasarkan
umur
No
1
2
3

Frekuensi

Persentase (%)

0
9
25
34

0
26,5
73,5
100

Berdasarkan tabel 4.1. menunjukkan


bahwa sebagian besar responden berumur
21-22 tahun sebanyak 25 orang (73,5%).

b. Karakteristik responden berdasarkan

pendidikan
N
o
1

Bahan dan Metode

Umur
(Tahun)
13-15
16-20
21-22
Total

2
3

Pendidikan
Pendidikan dasar
(SD, SMP)
Pendidikan
menengah (SMA)
Pendidikan tinggi
Total

Frekuensi

Persentase
(%)

7
27
34

20,6
79,4
100

Berdasarkan tabel 4.2. menunjukkan


bahwa hampir seluruhnya responden
berpendidikan tinggi (PT) sebanyak 27
orang (79,4%).
c. Karakteristik responden berdasarkan

pekerjaan
No
1
2

Pekerjaan Frekuensi
Bekerja
Tidak
bekerja
Total

27
7
34

Persentase
(%)
79,4
20,6

Berdasarkan tabel 4.3. menunjukkan


bahwa hampir seluruhnya
responden
bekerja sebanyak 27 responden (79,4%).
d. Karakteristik responden berdasarkan

informasi tentang sex bebas


No
1
2

Persentase
(%)
23,5

26
34

76,5
100

Informasi Frekuensi
Pernah
Tidak
pernah
Total

Berdasarkan tabel 4.4. menunjukkan


bahwa hampir seluruhnya responden tidak
pernah mendapat informasi sebanyak 26
responden (76,5).

Total

g. Faktor keluarga
Faktor
Persentase
No
Frekuensi
keluarga
(%)
1
Baik
4
11,8
2
Cukup
11
32,4
3
Kurang
19
55,9
Total
34
100

Berdasarkan 4.7. diketahui bahwa


sebagian besar faktor keluarga adalah
kurang sebanyak 19 orang (55,9%).
h. Faktor pendidikan seks
Faktor
Persentase
No pendidikan Frekuensi
(%)
seks
1
Baik
4
11,8
Cukup
7
20,6
3
Kurang
23
67,6
Total
34
100

Berdasarkan 4.8. diketahui bahwa


sebagian besar faktor pendidikan seks
adalah kurang sebanyak 23 orang (67,6%).
i.

Faktor lingkungan
No

pernah mendapatkan sumber informasi

1
2
3
4

Sumber
Informasi
Petugas
kesehatan
Majalah
Radio/TV,
internet
Lain lain
Total

Frekuensi

Persentase
(%)

0
0
8

0
0
100

0
8

0
100

Berdasarkan tabel 4.5. menunjukkan


bahwa seluruhnya responden mendapatkan
sumber informasi dari radio/TV/internet
sebanyak 8 responden (100%).
f.

Karakteristik responden berdasarkan


status
No

Status

Frekuensi

1
2

Sekolah
Kerja

7
27

Persentase
(%)
20,6
79,4

100

Berdasarkan tabel 4.6. menunjukkan


bahwa hampir seluruhnya
responden
bekerja sebanyak 27 responden (79,4).

e. Karakteristik responden berdasarkan


No

34

1
3

Faktor
lingkunga
n
Baik
Cukup
Kurang
Total

Frekuensi

Persentase
(%)

6
7
21
34

17,6
20,6
61,8
100

Berdasarkan 4.9. diketahui bahwa


sebagian besar faktor lingkungan adalah
kurang sebanyak 21 orang (61,8.%).
j.

Melakukan seks bebas


No
1

Melakukan
seks bebas
Tidak seks
bebas
Seks bebas
Total

Frekuensi

Persentase
(%)

12

35,5

22
34

64,7
100

Berdasarkan 4.10 diketahui bahwa


sebagian
besar
pasangan
remaja

melakukan seks bebas sebanyak 22 orang


(64,7%).
Untuk faktor keluarga menunjukkan
Sebagian besar dengan kategori kurang
sejumlah 16 responden (47,1%) dan
sebagian kecil dengan kategori cukup
mempengaruhi
pasangan
remaja
melakukan seks bebas sejumlah 6
responden
(17,6).
Berdasarkan
uji
korelasional chi square diperoleh nilai =
0,004 < 0,05. Hal ini menunjukkan adanya
pengaruh faktor keluarga terhadap
pasangan remaja melakukan seks bebas di
Kawasan Tretes Kecamatan Prigen
Kabupaten Pasuruan.
Untuk Faktor pendidikan seks sebagian
besar dengan kategori kurang yaitu
sejumlah 19 responden (55,9%) dan
sebagian kecil dengan kategori cukup
mempengaruhi
pasangan
remaja
melakukan seks bebas sejumlah 3
responden
(8,8).
Berdasarkan
uji
korelasional chi square diperoleh nilai =
0,002 < 0,05. Hal ini menunjukkan adanya
pengaruh faktor pendidikan seks terhadap
pasangan remaja melakukan seks bebas di
Kawasan Tretes Kecamatan Prigen
Kabupaten Pasuruan.
Untuk faktor lingkungan sebagian
besar dengan kategori kurang sejumlah 18
responden (52,9%) dan sebagian kecil
dengan kategori baik mempengaruhi
pasangan remaja melakukan seks bebas
sejumlah 1 responden (2,9). Berdasarkan
uji korelasional chi square diperoleh nilai
= 0,003 < 0,05. Hal ini menunjukkan
adanya pengaruh faktor lingkungan
terhadap pasangan remaja melakukan seks
bebas di Kawasan Tretes Kecamatan
Prigen Kabupaten Pasuruan.
Pembahasan
1. Faktor

keluarga
yang
mempengaruhi pasangan remaja
melakukan sex bebas
Menurut Panjaitan (2007) Keluarga
berantakan adalah keluarga yang cerai
berai (berserak-serak) tidak terpelihara
dengan baik dan pendidikan anak-anak

terlantar disebabkan karena hubungan


yang tidak baik antara suami dan isteri
serta anak-anaknya. Penyebab utama seks
bebas itu, kemungkinan besar karena
keluarga dalam kondisi berantakan. Kedua
orang tua telah gagal menjadi teladan yang
baik bagi anak-anaknya. anak remaja tidak
hanya mendengar nasihat dari orang tua
saja, tetapi mereka ingin melihat dengan
nyata kehidupan orang tua yang
sepantasnya untuk diteladani. Biasanya
anak-anak belajar dari apa yang mereka
alami dan hayati, oleh sebab itu hendaklah
orang tua berusaha menjadi teladan yang
baik dalam hal kepribadian atas nilai-nilai
yang tinggi. Keluarga berantakan terjadi
ketika telah terjadi perceraian diantara
kedua orang tuanya. Dan hal itu bisa
menjadi suatu hal yang menimbulkan
penderitaan terhadap anak remajanya. Dan
pada akhirnya akan menimbulkan tindakan
amoral seks bebas bagi anak remajanya.
Berdasarkan hasil penelitian untuk
faktor keluarga menunjukkan 16 respoden
dengan kategori kurang mereka melakukan
sex bebas, hal ini dikarenakan kurangnya
kasih sayang dari keluarga dan kurangnya
perhatian dari orang tua bisa membuat para
remaja mencari perhatian dari orang lain
terutama perhatian dari lawan jenisnya, hal
ini biasa membuat para remaja mudah
terjerumus ke dalam perilaku seks bebas.
Selain itu faktor keluarga yang berantakan
seperti sering bertengkar dan perceraian
bisa membuat anak remaja merasa depresi
dan mencari kesenangan sendiri terutama
kesenangan dari lawan jenisnya sehingga
terjerumus ke dalam perilaku seks bebas
dan sebagian kecil responden dengan
kategori cukup faktor keluarga melakukan
sex bebas hal ini di karenakan oleh faktorfaktor lain di antaranya bekerja merasa
punya uang sendiri, adanya calo (makelar
vila) dan harga vila yang murah serta
aman.
2. Faktor pendidikan seks yang

mempengaruhi pasangan remaja


melakukan sex bebas

Informasi mengenai seks ini, yang


paling baik dimulai adalah dalam keluarga.
Sebab yang paling awal bertemu dengan
anak adalah orang tua dan juga yang
paling mengenal anak adalah orang tua.
Namun kenyataan yang dilihat sekarang
ini adalah sebagian keluarga belum
memenuhi tugasnya untuk memberikan
pendidikan seks kepada anak-anaknya.
Pada waktu kecil maupun remaja, hal ini
bukan saja kesalahan keluarga pada masa
kini, tetapi juga dilatarbelakangi tradisi
zaman
dahulu
(Panjaitan,
2007).
Kurangnya pendidikan seks dalam
keluarga, alasan pertama adalah seksual
taboos (menganggap seks hal yang kotor
dan haram). Alasan kedua, ada sebagian
orang tua yang tidak memberikan
pendidikan seks terhadap anak-anaknya
sebab orang tua itu sendiri beranggapan
anaknya akan tahu dengan sendirinya
(Panjaitan, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian 19
responden dengan kategori kurang faktor
pendidikan sex melakukan seks bebas hal
ini di karenakan remaja kurang
mendapatkan pendidikan seks yang
diajarkan oleh orang tua. Ada sebagian
orang tua yang masih menganggap bahwa
seks merupakan hal yang taboo sehingga
tidak berani memberitahukan kepada anak
remaja. Orang tua juga tidak memberikan
informasi bahwa dengan melakukan seks
bebas bisa mengakibatkan kehamilan di
luar nikah, terjadinya penyakit menular
akibat seksual seperti sifilis, HIV dan
sebagian kecil 3 responden dengan
kategori cukup faktor pendidikan sex
melakukan sex bebas hal itu dikarenakan
oleh faktor-faktor lain di antaranya faktor
tidak pernah mendapatkan informasi
tentang
sex
ditunjang
kurangnya
pendidikan agama sejak anak kecil.
lingkungan
yang
mempengaruhi pasangan remaja
melakukan sex bebas
Pergaulan bebas adalah hidup
berteman tanpa terhalang, terganggu

dengan kewajiban, tuntutan, perasaan


takut, tidak terikat atau terbatas. Dalam
pergaulan bebas ini, seorang remaja
merasa bebas pada waktu berteman, tanpa
terganggu dengan sesuatu kewajiban yang
harus dilakukan, tanpa ada tuntutan dari
siapapun, tanpa menimbulkan perasaan
takut, tidak terikat atau terbatas dengan
siapapun (Panjaitan, 2007). Pengaruh
negatif
dari
sebaya
seringkali
menjerumuskan seorang remaja ke dalam
seks bebas. Misalnya seorang remaja yang
menceritakan kepada teman sebayanya
tentang nikmatnya berhubungan seks dan
keuntungan yang diraihnya dan cara hidup
seperti itu, maka teman sebayanya juga
pasti terpengaruh dan bahkan terjerumus
ke dalam seks bebas (Panjaitan, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian 18
responden dengan faktor lingkungan
kategori kurang mereka juga melakukan
sex bebas hal ini di karenakan lingkungan
yang kurang baik membuat remaja
melakukan seks bebas. Pada saat ini
pergaulan bebas sudah menjadi hal yang
biasa bagi para remaja, hal inilah yang
sangat berbahaya bagi remaja yang kurang
kuat pendidikan agamanya sehingga
mudah
terjerumus
oleh
pergaulan
temannya yang suka melakukan seks
bebas. Selain itu remaja melakukan seks
bebas karena diajak oleh temannya untuk
menonton film porno sehingga tertarik
untuk mencoba apa yang dilihat dalam
adegan film porno tersebut yang bisa
membuat para remaja dengan mudah
melakukan seks bebas untuk mencari
kepuasannya dan sebagian kecil 1
responden
dengan
kategori
baik
melakukan sex bebas hal ini dikarenakan
oleh faktor-faktor lain di antaranya
terpengaruh oleh ajakan teman dan tidak
pernah mendapatkan informasi tentang
sex.

3. Faktor

Simpulan
1.
Faktor keluarga dengan kategori
kurang
mempengaruhi
pasangan
remaja melakukan seks bebas

sejumlah 16 responden (47,1%) dan


sebagian kecil dengan kategori cukup
mempengaruhi
pasangan
remaja
melakukan seks bebas sejumlah 6
responden (17,6).
2.
Faktor pendidikan seks dengan
kategori
kurang
mempengaruhi
pasangan remaja melakukan seks
bebas sejumlah 19 responden (55,9%)
dan sebagian kecil dengan kategori
cukup
mempengaruhi
pasangan
remaja melakukan seks bebas
sejumlah 3 responden (8,8).Faktor
pendidikan seks dengan kategori
kurang
mempengaruhi
pasangan
remaja melakukan seks bebas
sejumlah 19 responden (55,9%).
3.
Faktor lingkungan dengan kategori
kurang
mempengaruhi
pasangan
remaja melakukan seks bebas
sejumlah 18 responden (52,9%) dan
sebagian kecil dengan kategori baik
mempengaruhi
pasangan
remaja
melakukan seks bebas sejumlah 1
responden (2,9).
1.

2.

3.

4.

Saran
Bagi masyarakat
Diharapkan masyarakat menanyakan
ktp melihat hubungan dan status
pasangan pengunjung vila
Bagi orang tua
Diharapkan
orang
tua
lebih
meningkatkan pengawasan dengan
carakomunikasi pada anak-anaknya.
Bagi remaja.
Diharapkan
remaja
mampu
meningkatkan pengetahuan tentang
seks bebas dan dampak dari seks
bebas
Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya harus lebih
menggali faktorfaktor lain
yang

mempengaruhi pasangan remaja untuk


melakukan sex bebas seperti adanya
calo dan didukung harga yang murah
DAFTAR PUSTAKA
Asrori. 2011. Psikologi Remaja
Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta. Bumi Aksara.
Arikunto, 2010. Prosedur Penelitian. Edisi
Baru. Jakarta: Rineka Cipta.
BKKBN, 2013. Data Seks Pra bebas.
http://jatim.bkkbn.go.id. Diakses
20/02/2014.
Hidayat. Alimul. 2009. Metode Penelitian
Kebidanan dan Teknik Analisa
Data. Jakarta. Rineka Cipta.
Notoatmodjo. 2010. Metode Penelitian
Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Nizam. 2012. Rata-rata wanita pekerja
seks (WPS) umur 15 23 tahun di
Kabupaten Pasuruan.
http://news.okezone.com/read.
Diakses 20/02/2014.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Panjaitan R. 2007. Solusi Seks Bebas.
Jogjakarta : Percetakan Mandiri.
Potter. 2005. Fundamental Keperawatan.
EGC. Jakarta.
Sarlito. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta.
Rajawali Pres

PENGARUH TERAPI MUSIK TERHADAP PERUBAHAN TANDA-TANDA VITAL


PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR
YANG MENGALAMI NYERI
(The Effect Of Music Therapy On Changes Vital Signs In Patients Postoperative
Fracture Whit Experienced Of Pain)
Maksimilianus Lopes, Moh Alimansur, Edi Santoso
ABSTRACT
One of the factors that affect the frequency of the pulse is the emotion caused by
acute pain and anxiety to increase sympathetic stimulation, it is can increase the frequency
of the pulse, respiration rate, tension of blood. The purpose of this study was to determine
the effect of music therapy on changes vital signs in patients postoperative fracture who
experienced of pain in RSUD dr. Harjono Ponorogo. Design research is a one group pre post test with Pre Experimental approach. The population studied were all patients
postoperative fracture in dr. Harjono Ponorogo, by using a sampling technique accidental
obtained sample was 26 respondents. The instrument used was observation. The results
were analyzed using the Wilcoxon test ( = 0.05). The results showed Effects of music
therapy on blood pressure with a significan p-value (0.002), pulse rate with p-Value
(0.025), Respiratory with p-value (0.014), and that no significant is the body temperature
p-value (0.180). This is because the music therapy can stimulate the production of
serotonin that can stabilize vital signs. The conclusion of this study is blood pressure, pulse
and respiration can be affected by music therapy..Advice for nurses is expected to provide
music therapy to patients by giving the impression that the music is relaxing and beautiful
so as to bring the patient to a state of relaxation.
Keyword : Music Therapy, Vital Signs
Pendahuluan
Terjadinya fraktur akan berpengaruh
besar terhadap
aktifitas
penderita
khususnya yang berhubungan dengan
gerak dan fungsi anggota yang mengalami
cedera akibat fraktur. Berbagai tingkat
gangguan akan terjadi sebagai suatu
dampak dari jaringan yang cedera, baik
yang disebabkan karena patah tulangnya
maupun dikarenakan kerusakan jaringan
lunak disekitar fraktur atau karena luka
bekas infeksi saat dilakukan pembedahan
(Long, 2006). Penyebab terjadinya
pematasan
aktifitas
pasien
yang
mengalami faktur adalah munculnya rasa
nyeri
yang
sangat
tajam
dan
menyebabkan pasien malas bergerak,
padahal hal ini menyebabkan terjadinya
dekubitus,
kelemahan
otot
dan
perpanjangan masa penyembuhan luka
(Smeltzer, 2006).
Menurut WHO (2010), angka
kejadian fraktur akibat trauma mencapai

67 juta kasus. Secara nasional angka


kejadian fraktur akibat trauma pada tahun
2011 mencapai 1,25 juta kasus.
Sedangkan di Propinsi Jawa Timur pada
tahun 2011 tercatat 67.076 ribu kasus
(Haryadi, 2012). Angka kejadian fraktur
di
Indonesia
yang
mendapatkan
penanganan dengan cara fiksasi internal
pada tahun 2011 diperkirakan sebanyak
167.000 tindakan. Sedangkan di Propinsi
Jawa Timur pada tahun 2010 jumlah
penanganan fraktur dengan fiksasi
internal sebanyak 16.101 tindakan. Hasil
studi pendahuluan di RSUD dr. Harjono
Ponorogo menunjukkan bahwa dari 12
orang pasien post operasi fraktur
semuanya menyatakan nyeri, antara nyeri
sedang sampai dengan berat.
Nyeri dapat mempengaruhi tandatanda vital. Tanda-tanda vital meliputi
temperatur / suhu tubuh, denyut nadi, laju
pernafasan / respirasi, dan tekanan darah.
Pengukuran tanda-tanda vital memberikan

informasi yang berharga terutama


mengenai status kesehatan pasien secara
umum (Jones, 2008). Ada beberapa hal
yang dapat mempengaruhi tekanan darah,
frekuensi pernapasan dan frekuensi
denyut nadi. Faktor yang dapat
mempengaruhi tekanan darah salah
satunya adalah nyeri yang mengakibatkan
stimulasi simpatik, yang meningkatkan
frekuensi darah, curah jantung dan
tahanan vaskular perifer. Efek stimulasi
simpatik meningkatkan tekanan darah.
Faktor yang dapat mempengaruhi
frekuensi pernapasan adalah nyeri, hal ini
dapat meningkatkan frekuensi dan
kedalaman pernapasan sebagai akibat
stimulasi simpatik. Kemudian salah satu
faktor yang mempengaruhi frekuensi
denyut nadi adalah emosi yang
diakibatkan oleh nyeri akut, dan
kecemasan
meningkatkan
stimulasi
simpatik, dapat meningkatkan frekuensi
nadi sedangkan nyeri berat yang tidak
hilang
meningkatkan
stimulasi
parasimpatik,
dapat
menurunkan
frekuensi denyut nadi (Guyton, 2010).
Berbagai upaya asuhan keperawatan
dikembangkan
untuk
membantu
memperbaiki tanda vital pasien, antara
lain: oksigenasi, pengaturan posisi kepala,
stimulasi dengan pendekatan komunikasi
baik verbal maupun non verbal serta
terapi musik. Terapi musik akan
memberikan
efek
relaksasi
dan
meningkatkan
produksi
hormon
norepinephrin
sehingga
mendorong
terhadap normalisasi denyut nadi,
menstabilkan
tekanan
darah
dan
meningkatkan
keteraturan
napas
responden. Jenis musik yang dapat
mendorong proses normalisasi tandatanda
vital
adalah
jenis
musik
instrumental yang dapat mendorong rasa
damai pada pasien (Muttaqin, 2008).
Berdasarkan uraian diatas maka
peneliti tertarik untuk melaksanakan
penelitian dengan judul Pengaruh Terapi
Musik terhadap Perubahan Tanda-Tanda
Vital pada Pasien Post Operasi Fraktur
yang Mengalami Nyeri di RSUD dr.

Harjono Ponorogo. Tujuan penelitian ini


untuk menganalisa pengaruh terapi musik
terhadap perubahan tanda-tanda vital pada
pasien post operasi
fraktur yang
mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono
Ponorogo.
Metode Penelitian
Penelitian
yang
dilakukan
menggunakan
pendekatan
Pra
eksperimental dengan desain one group
pre post test design yaitu penelitian
eksperimental yang proses pemberian
perlakuannya tidak dilakukan pembatasan
gangguan dari faktor lain yang tidak
diteliti (Notoatmodjo, 2005). Desain pre
post test bertujuan untuk membandingkan
antara kondisi tanda-tanda vital sebelum
dan setelah pemberian terapi musik.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien post operasi fraktur di
RSUD dr. Harjono Ponorogo. Teknik
analisa data yang digunakan untuk
menguji
hubungan
dua
variabel
menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank
test.
Hasil Penelitian
Data Umum
Karakteristik Responden
Usia

Berdasarkan

Diagram 1
Karakteristik Responden
Berdasarkan Usia Pada Pasien Post
Operasi Fraktur Yang Mengalami Nyeri
Di RSUD dr. Harjono Ponorogo
Berdasarkan diagram 1 diketahui
bahwa hampir setengah dari responden
berusia 26 35 tahun, yaitu 11 responden
(42%).
Karakteristik Responden
Jenis Kelamin

Berdasarkan

Diagram 2
Karakteristik Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pasien
Post Operasi Fraktur Yang Mengalami
Nyeri Di RSUD dr. Harjono Ponorogo

Berdasarkan diagram 2 diketahui


bahwa sebagian besar responden memiliki
jenis kelamin laki-laki, yaitu 20
responden (77%).
Data Khusus
1. Pengaruh pemberian terapi musik
terhadap tekanan darah pada pasien
post operasi fraktur yang mengalami
nyeri
Tabel 1Pengaruh pemberian terapi musik
terhadap tekanan darah pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di
RSUD dr. Harjono Ponorogo
No.
1
2
3
4
5

Pre
Tekanan
Darah

%
Normal
5
19,2
Pre hipertensi 14 53,8
Hipertensi
ringan
6
23,1
Hipertensi
sedang
1
3,8
Hipertensi
berat
0
0,0
Jumlah
26 100
p-value=0,000 =0,05

Post

%
13 50,0
10 38,5
3

11,5

0,0

0
26

0,0
100

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa


sebagian besar responden sebelum
mendapatkan pemberian terapi musik
memiliki tekanan darah dalam kategori
pre hipertensi, yaitu 14 responden
(53,8%) dan setelah pemberian terapi
musik setengah dari responden memiliki
tekanan darah dalam kategori normal
yaitu 13 responden (50,0%). Hasil analisis
data dengan menggunakan uji wilcoxon
signed rank test didapatkan p-value =
0,002 lebih kecil dari pada ( = 0,05)
maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti ada pengaruh pemberian terapi
musik terhadap tekanan darah pada pasien
post operasi fraktur yang mengalami nyeri
di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
2. Pengaruh

pemberian terapi musik


terhadap denyut nadi pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri

Tabel 2
Pengaruh
Pemberian
Terapi Musik Terhadap Denyut Nadi pada
Pasien Post Operasi Fraktur yang
Mengalami Nyeri di RSUD dr. Harjono
Ponorogo
Pre Test
Post Test
No
Denyut
.
Nadi

%
1 Bradikardia
3
11,5
3 11,5
2 Normal
15 57,7 20 76,9
3 Takikardia
8
30,8
3 11,5
Jumlah
26
100
26 100
p-value=0,025 =0,05
Sumber : Hasil Analisa data penelitian
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa
sebagian besar responden sebelum
mendapatkan pemberian terapi musik
memiliki denyut nadi dalam kategori
normal, yaitu 15 responden (57,7%) dan
setelah pemberian terapi musik sebagian
besar responden memiliki tekanan darah
dalam kategori normal yaitu 20 responden
(76,9%). Hasil analisis data dengan
menggunakan uji wilcoxon signed rank
test didapatkan p-value = 0,025 lebih
kecil dari pada ( = 0,05) maka H0
ditolak yang berarti ada pengaruh
pemberian terapi musik terhadap denyut
nadi pada pasien post operasi fraktur yang
mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono
Ponorogo.
3. Pengaruh

pemberian terapi musik


terhadap pernafasan pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri

Tabel 3Pengaruh pemberian terapi musik


terhadap pernafasan pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di
RSUD dr. Harjono Ponorogo
Post Test
No Pernafasa Pre Test
.
n

%
1 Lambat
2
7,7
3 11,5
2 Normal
14 53,8 18 69,2
3 Cepat
10 38,5 5 19,2
Jumlah
26 100 26 100
p-value=0,014 =0,05

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa


sebagian besar responden sebelum
mendapatkan pemberian terapi musik
memiliki irama pernafasan dalam kategori
normal, yaitu 14 responden (53,8%) dan
setelah pemberian terapi musik sebagian
besar responden
memiliki irama
pernafasan dalam kategori normal yaitu
18 responden (69,2%). Hasil analisis data
dengan menggunakan uji wilcoxon signed
rank test didapatkan p-value = 0,014 lebih
kecil dari pada ( = 0,05) maka H0
ditolak artinya ada pengaruh pemberian
terapi musik terhadap pernafasan pada
pasien post operasi fraktur yang
mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono
Ponorogo
.
4. Pengaruh pemberian terapi musik
terhadap suhu tubuh pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri
Tabel 4 Pengaruh pemberian terapi musik
terhadap suhu tubuh pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di
RSUD dr. Harjono Ponorogo
Pre Test
Post Test
Suhu
Tubuh
%

%
Rendah 2
7.7
3 11.5
Normal 11 42.3 12 46.2
Tinggi
13 50.0 11 42.3
Jumlah
26 100 26 100
p-value=0,180 =0,05
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa
sebagian besar responden sebelum
mendapatkan pemberian terapi musik
memiliki suhu tubuh dalam kategori
tinggi, yaitu 13 responden (50,0%) dan
setelah pemberian terapi musik sebagian
besar responden memiliki suhu tubuh
dalam kategori normal yaitu 12 responden
(46,2%). Hasil analisis data dengan
menggunakan uji wilcoxon signed rank
test didapatkan p-value = 0,180 lebih
besar dari pada ( = 0,05) maka H0
diterima artinya tidak ada pengaruh
pemberian terapi musik terhadap suhu
tubuh pada pasien post operasi fraktur
yang mengalami nyeri di RSUD dr.
Harjono Ponorogo.
No
.
1
2
3

Pembahasan
1. Pengaruh
Terapi
Musik
Terhadap Perubahan Tekanan
Darah Pada Pasien Post Operasi
Fraktur Yang Mengalami Nyeri Di
RSUD dr. Harjono Ponorogo
Terapi musik yang dilakukan di
College of Notre Dame, Belmont,
California menggunakan stimulus suara
(bunyi, musik) untuk mengetahui dampak
suara terhadap kondisi stres dan rileks
yang dialami seseorang, sekarang sudah
mendunia (Satiadarma, 2008). Namun
penerapan terapi musik ini masih jarang
ditemukan, karena masih merupakan hal
yang baru, khususnya dalam keperawatan.
Terapi musik dapat berdampak positif
untuk mengatasi stress. Terapi musik
merupakan teknik yang sangat mudah
dilakukan dan terjangkau, tetapi efeknya
menunjukkan betapa besar dan musik
dalam mempengaruhi ketegangan atau
kondisi rileks pada diri seseorang, karena
dapat
merangsang
pengeluaran
endorphine dan serotonin, yaitu sejenis
morfin alami tubuh dan juga metanonin
sehingga kita bisa merasa lebih relaks
pada tubuh seseorang yang mengalami
stres (Mucci, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa terapi musik
memiliki pengaruh yang signifikan untuk
menstabilkan tekanan darah pasien post
operasi fraktur. Kondisi ini disebabkan
karena dengan mendengarkan musik yang
disukai oleh responden maka responden
akan mendapat efek relaksasi karena
dapat
merangsang
pengeluaran
endorphine dan serotonin. Kedua hormon
ini memiliki pengaruh pada kerja jantung
karena dapat membatasi produksi
aldosteron yang merupakan hormon yang
dapat meningkatkan tekanan darah. Saat
produksi aldosteron normal maka jantung
dapat bekerja secara normal dan tekanan
darah menjadi normal. Terapi musik
memberikan rasa nyaman dan rasa tenang
kepada pasien sehingga membawa kondisi

yang lebih baik pada pasien karena fungsi


tubuh
menjadi
lebih
baik
dan
mempercepat proses penyembuhan.
2. Pengaruh

Terapi
Musik
Terhadap Perubahan Denyut Nadi
Pada Pasien Post Operasi Fraktur
Yang Mengalami Nyeri Di RSUD
dr. Harjono Ponorogo
Hasil analisis data menunjukkan
adanya pengaruh pemberian terapi musik
terhadap denyut nadi pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di
RSUD dr. Harjono Ponorogo.
Musik adalah suara yang keluar dari
dalam
jiwa
manusia,
mampu
mengekspresikan emosi atau gairah yang
jauh lebih naik daripada kata kata hal ini
tidak dapat ditawar lagi (Frohnmayer
dalam Kirkland, 2007). Dengan musik,
remaja dapat bernyanyi, menari, menulis
syair sambil mendengarkan musik. Musik
menyentuh emosi yang mendalam di
dalam jiwa (Satiadarma, 2008). Musik
memiliki elemen elemen berupa ; ritme,
irama nada, melodi, timbre, tempo, pitch,
dan dinamika yang dapat menstimulasi
seseorang untuk berekspresi, berkreasi
dalam suatu interaksi sosial dengan penuh
rasa yang menyenangkan. Terapi musik
bermanfaat untuk memberikan rasa
nyaman, menurunkan stres, kecemasan
dan kegelisahan, melepaskan tekanan
emosional yang dialami, meningkatkan
kontrol diri dan perasaan berharga klien.
Tujuan tersebut dapat dicapai melalui
berbagai kegiatan yang dapat dilakukan
dalam terapi musik, seperti menyanyi,
bermain musik, mendengarkan musik,
menyaksikan video musik, menulis lagu
atau aransemen musik, dan berdiskusi
tentang musik (Lindberg, 2007).
Penelitian ini menunjukkan bahwa
setelah mendapatkan terapi musik
responden dapat memberikan rasa
nyaman sehingga detak jantung responden
menjadi teratur dengan jumlah detak per
menit dalam kategori normal. Di samping
musik dapat menyelaraskan iklim
emosional seseorang dengan cara

mempengaruhi suasana hati, pikiran,


emosi
dan
perilaku
seseorang.
Penyelarasan yang dimaksud adalah
menyelaraskan tipe musik dengan
keadaan batin seseorang, kemudian secara
berangsur-angsur
menggeser
musik
tersebut untuk mencerminkan suasana
emosional yang dikehendaki atau
diharapkan. Musik dan suara menyentuh
manusia dengan cara merambat melalui
udara sebagai penghantar. Perambatan
musik memiliki potensi untuk; meresonan
perasaan pendengar dengan perubahan
dari negatif ke positif dan meningkatkan
kondisi kegembiraan dan ketenangan.
Pada usia SMA maka responden
dapat memahami setiap permasalahan
dengan lebih baik sehingga responden
memiliki pemahaman terhadap perubahan
yang dialaminya dalam menghadapi
perubahan kondisi tubus pasca operasi
fraktur. Kondisi ini menyebabkan
responden lebih tenang, sehingga ketika
diberikan terapi musik, maka responden
dapat menikmatinya dan terbawa dalam
keselarasan nada yang didengarkannya
sehingga jantung responden turut berdetak
normal.
Bekerja sebagai karyawan swasta
berarti responden dalam menjalani operasi
fraktur
tidak
perlu
memikirkan
pekerjaannya, sebagai pegawai swasta
banyak kawan responden yang dapat
membantu pekerjaannya, berbeda dengan
wisraswasta yang harus mengerjakan
segala sesuatunya sendiri. Kondisi ini
meberikan dampak pada munculnya rasa
tenang pada responden sehingga detak
jantung responden adalah normal.
3. Pengaruh

Terapi
Musik
Terhadap Perubahan Pernafasan
Pada Pasien Post Operasi Fraktur
Yang Mengalami Nyeri Di RSUD
dr. Harjono Ponorogo
Hasil analisis data menunjukkan ada
pengaruh pemberian terapi musik
terhadap pernafasan pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di
RSUD dr. Harjono Ponorogo.

Kondisi ini ditunjang oleh kondisi


usia responden dimana hampir setengah
dari responden berusia 26 35 tahun,
yaitu 11 responden (11%).
Musik juga dapat mempengaruhi
pernafasan, denyut jantung, denyut nadi,
tekanan darah, mengurangi ketegangan
otot dan memperbaiki gerak dan kordinasi
tubuh,
dan
memperkuat
ingatan,
meningkatkan produktivitas suhu tubuh,
serta mengatur hormon-hormon yang
berkaitan dengan stres. Sedangkan secara
psikologis, musik dapat membuat
seseorang
menjadi
lebih
rileks,
mengurangi stres, efektif, efisien, dapat
meningkatkan asmara dan seksualitas,
menimbulkan rasa amandan sejahtera,
melepas rasa gembira dan sedih,
menegaskan kemanusiaan bersama, dan
membantu serta melepaskan rasa sakit.
(Satiadarma, 2007). Selain itu, melalui
musik juga seseorang dapat berusaha
untuk menemukan harmoni internal (inner
harmony). Jadi, musik adalah alat yang
bermanfaat
bagi
seseorang
untuk
menemukan harmoni di dalam dirinya.
Hal ini dirasakan perlu, karena dengan
adanya harmoni di dalam diri seseorang,
ia akan lebih mudah mengatasi stres,
ketegangan, rasa sakit, dan berbagai
gangguan atau gejolak emosi negatif yang
dialaminya. Selain itu musik melalui
suaranya dapat mengubah frekuensi yang
tidak harmonis tersebut kembali ke
vibrasi yang normal, sehat, dan dengan
demikian memulihkan kembali keadaan
yang normal (Merrit, 2008).
Nafas
seseorang
dipengaruhi
efektifitas transportasi oksigen kedalam
paru-paru dan kemudian jantung, semakin
efektif transportasi oksigen maka semakin
tenang napas seseorang. Hasil penelitian
menunjukkan seseorang yang sedang
mendengarkan musik dapat lebih tenang
sehingga proses pertukaran oksigen dapat
berjalan dengan lancar dan nafas memiliki
ritme dan irama yang stabil.
Pada usia ini responden terhitung
masih cukup muda, dan permaslahan
fraktur yang dialaminya setelah menjalani

operasi relatif lebih lancar dan tidak


menimbulkan permasalahan yang berarti
sehingga responden dapat beradaptasi
dengan kondisi dengan lebih baik. Hal ini
semakin baik
ketika responden
mendapatkan
perlakuan
dengan
mendengarkan musik sehingga responden
dapat lebih tenang dan pola nafasnya
berjalan lebih baik.
4. Pengaruh

Terapi
Musik
Terhadap Perubahan Suhu Tubuh
Pada Pasien Post Operasi Fraktur
Yang Mengalami Nyeri Di RSUD
dr. Harjono Ponorogo
Hasil analisis data menunjukkan
tidak ada pengaruh pemberian terapi
musik terhadap suhu tubuh pada pasien
post operasi fraktur yang mengalami nyeri
di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
International Union of Physiological
Sciences Commission for Thermal
Physiology
mendefinisikan
demam
sebagai suatu keadaan peningkatan suhu
inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya)
merupakan
bagian
dari
respons
pertahanan organisme multiselular (host)
terhadap invasi mikroorganisme atau
benda mati yang patogenik atau dianggap
asing oleh host. Suhu tubuh dipengaruhi
oleh faktor individu dan lingkungan,
meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik
dan suhu udara ambien. Oleh karena itu,
tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh
normal (Rahdi, 2008).
Termoregulasi adalah proses fisiologis
yang merupakan kegiatan integrasi dan
koordinasi yang digunakan secara aktif
untuk mempertahankan suhu inti tubuh.
Mekanisme pengaturan suhu tubuh
merupakan penggabungan fungsi dari
organ-organ
tubuh
yang
saling
berhubungan. didalam pengaturan suhu
tubuh mamalia terdapat dua jenis sensor
pengatur suhu, yautu sensor panas dan
sensor dingin yang berbeda tempat pada
jaringan sekeliling (penerima di luar) dan
jaringan inti (penerima di dalam) dari
tubuh.Dari kedua jenis sensor ini, isyarat
yang diterima langsung dikirimkan ke

sistem saraf pusat dan kemudian dikirim


ke syaraf motorik yang mengatur
pengeluaran panas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terapi musik yang
diberikan tidak berpengaruh terhadap
suhu tubuh, hal ini disebabkan karena
suhu tubuh pasien lebih banyak
dipengaruhi
oleh
upaya
untuk
mempertahankan suhu tetap normal dan
tidak tergantung dengan upaya pemberian
kondisi relaks pada pasien.
Kesimpulan
1. Pemberian

terapi
musik
berpengaruh terhadap tekanan darah
pada pasien post operasi fraktur yang
mengalami nyeri di RSUD dr.
Harjono Ponorogo.
2. Pemberian
terapi
musik
berpengaruh terhadap denyut nadi
pada pasien post operasi fraktur yang
mengalami nyeri di RSUD dr.
Harjono Ponorogo.
3. Pemberian
terapi
musik
berpengaruh terhadap pernafasan
pada pasien post operasi fraktur yang
mengalami nyeri di RSUD dr.
Harjono Ponorogo.
4. Pemberian terapi musik tidak
berpengaruh terhadap suhu tubuh
pada pasien post operasi fraktur yang
mengalami nyeri di RSUD dr.
Harjono Ponorogo.
Saran
1. Bagi Pasien

Diharapkan dapat mendengarkan


musik yang digemarinya untuk
menjaga kondisi tanda-tanda vitalnya
tetap normal dan rileks sehingga
dapat mencegah terjadinya penyulit.
2. Bagi Perawat

Diharapkan dapat memberikan terapi


musik
kepada
pasien
dengan
memberikan musik yang memiliki

kesan santai dan indah sehingga


dapat membawa pasien pada kondisi
relaksasi.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat mengembangkan


penelitian ini dengan meneliti faktor
lainnya yang berpengaruh terhadap
TTV pasien post operasi fraktur
sehingga dapat dijadikan sebagai
masukan bagi pihak rumah sakit
dalam pengambilan kebijakan
Daftar Pustaka
Alimul, A. H. 2008. Metode penelitian
keperawatan dan teknik analisa
data,Jakarta: Salemba Medika.
Carpenito,
L.J.
2009.
Diagnosa
Keperawatan: Aplikasi Pada
Pasien Klinis. Jakarta : EGC.
Djohan. 2006. Terapi Musik: Teori dan
Aplikasi.
Yogyakarta
:
Galangpress.
Erika, Jenny. 2011. Pengukuran TandaTanda Vital. http://jannyerikamkes.blogspot.com/2011/06/pen
gukuran-tanda-tanda-vital.html
[Diakses tanggal 6 Nopember
2013]
Guyton, A.C, dan Hall, J.E. 2008. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta: EGC
Jones,

J. Christoper. 2008. Design


Methods : Seeds of Human
Futures, dalam Cross, Nigel,
Developments
in
Design
Methodology. New York : John
Wiley & Sons.

Judha, Mohamad, dkk. (2012). Teori


Pengukuran Nyeri & Nyeri
Persalinan. Yogyakarta : Nuha
Medika.

Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan


Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Penerbit
Salemba Medika

Kurniawan, Tomy. 2011. Teknologi EM-4.


Jakarta : Custom Community

Potter, P.A & Perry, A.G. 2005. Buku Ajar


Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, dan Praktik.
Jakarta : EGC.

Lab. Ketrampilan Medik PPD Unsoed,


2007. Pemeriksaan Tanda Vital.
Purwokerto : Modul SkillabAJilid I.
Long, Barbara C. 2009. Perawatan
Medikal
Bedah,
suatu
pendekatan proses keperawatan.
Bandung : Yayasan IAPK.
Muttaqin,
arif.
2008. Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta :
EGC
Niven, Neil. 2002. Psikologi Kesehatan :
Pengantar Untuk Perawat &
Profesional Kesehatan Lain.
Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi
penelitian kesehatan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta

Prasetyo, Sigit Nian. 2010. Konsep dan


Proses Keperawatan Nyeri.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Smeltzer,
S.
2004.
Buku
Ajar
Keperawatan Medikal Bedah
Brunner Suddarth. Volume 2
Edisi 8. Jakarta : EGC.
Surilena. 2008. Pengaruh Musik Klasik
Pada
Kecerdasan
Anak.
Diperoleh
dari
www.pdfqueen.com/pdf/hu/hubu
ngan-memori-dan-visual/
[Diakses tanggal 5 Nopember
2013]
Young. C & Cyndie Koopsen. 2007.
Spirituality, Health and Healing.
United State : Bartlett Publisher.

PENGALAMAN PERAWAT DALAM MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN YANG


DISEBABKAN HALUSINASI DI RUANG MELATI RSJ Dr. RADJIMAN WEDIODININGRAT
LAWANG
Sulistyono , Indah winarni , Heni Dwi Windarwati

ABSTRACT
The high numbers of patients with an angry expression of asertif with a history of
violent behavior that average caused hallucinations, need to get attention and serious
handling for all parties concerned especially the nurse on duty in rsj dr. Radjiman
wediodiningrat lawang. This is because the patients in acute conditions as mentioned
above. may harm or threaten the safety of the patient or the safety of others. Research
purposes which is to dig experience nurse in giving an orphanage nursing in patients
behavior violence caused hallucinations in melati room rsj dr. Radjiman wediodiningrat
lawang. The method of this research is to use qualitative research designs with descriptive
phenomenology of approach. Participants who participated in this research as many as four
people room nurse melati rsj dr. Radjiman wediodiningrat lawang. The result of analisi
with the methods colaizzi against the transcript verbatim produce three themes the steps
the preformance of the process of nursing, self-awareness, and empathy. A conclusion that
obtained from the results of this research is a nurse in to treating a patient behavior
violence caused hallucinations there has been a cycle is turning which is that of selfawareness, empathy, and carry out steps in the process of nursing. The institution clinic
should increase the capability of perawatnya especially in treating patients in the condition
of acute or crisis
Key words: patients with violent behavior, nurse experience, qualitative
PENDAHULUAN
Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Dewa Gede Anom di RSJ
Dr. Radjiman Wdiodiningrat lawang
(2005), didapatkan data bahwa dari
kapasitas rumah sakit 600 orang, pasien
yang masuk rumah sakit dirawat inap
dengan ekspresi marah yang tak asertif
dengan riwayat perilaku kekerasan yang
rata-rata disebabkan halusinasi cukup
banyak yaitu 41,6%, sedangkan sisanya
mengalami
gangguam
kemauan,
gangguan proses pikir, mental organik,
gangguan proses degeneratif, gangguan
sosial, distres spiritual, gangguan afek
emosi, penyalahgunaan napza, tidak
tergolongkan.
Tingginya angka pasien dengan
ekspresi marah yang tak asertif dengan
riwayat perilaku kekerasan yang rata-rata
disebabkan halusinasi (dalam kondisi
akut), perlu mendapatkan perhatian serta
penanganan yang serius bagi semua pihak
yang terkait khususnya perawat yang
berdinas
di
RSJ
Dr.
Radjiman

Wediodiningrat
Lawang.
Hal
ini
dikarenakan pasien yang dalam kondisi
akut seperti yang tersebut diatas, dapat
membahayakan
atau
mengancam
keselamatan pasien sendiri maupun
keselamatan orang lain.
Realita dilapangan sering ditemukan
bahwa tindakan
perawat dalam
menangani pasien perilaku kekerasan
yang disebabkan karena halusinasi selalu
mengedepankan tindakan managemen
krisis khususnya dilakukan tindakan
manset atau pengekangan pada pasien.
Ada
juga
perawat
yang
dalam
penanganannya
mengedepankan
kemampuan
komunikasinya
dengan
pasien, dan ada juga yang tetap
melakukan
tindakan
keperawatan
managemen halusinasi atau memaksakan
melakukan
tindakan
keperawatan
membimbing
pasien
mengontrol
halusinasi. Artinya setiap perawat
mempunyai cara yang berbeda dalam
merawat pasien perilaku kekerasan yang
disebabkan halusinasi.

Tujuan penelitian yaitu untuk


menggali pengalaman perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pada
pasien
perilaku
kekerasan
yang
disebabkan halusinasi di ruang Melati
RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat
Lawang.
Manfaat dari penelitian ini diharapkan
dapat menambah wawasan dan dijadikan
masukkan terhadap teman sejawat dalam
merawat
pasien
dengan
perilaku
kekerasan, dan dapat memberikan
pemahaman kepada pasien tentang
perilaku / cara mengontrol marah yang
efektif serta meningkatkan pengetahuan
pasien tentang masalah yang dialaminya
sehingga nanti diharapkan pasien mampu
secara
mandiri
mengatasi
permasalahannya.
Hasil penelitian ini dapat juga
digunakan sebagai informasi untuk
pengembangan
ilmu
keperawatan
terutama dalam hal memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien perilaku
kekerasan yang disebabkan halusinasi,
serta menghasilkan teori baru yang
mungkin dapat mendukung teori yang
sudah ada atau bahkan memberikan
perspektif yang berbeda, sehingga
nantinya akan mempermudah perawat
dalam melaksanakan perannya dalam
merawat pasien gangguan jiwa khususnya
pasien
yang
mengalami
perilaku
kekerasan yang disebabkan halusinasi.
METODE
Penelitian ini menggunakan desain
riset kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi
deskriptif.
Lokasi
penelitian di ruang Melati RSJ Dr.
Radjiman
Wediodiningrat
Lawang.
Penelitian dilakukan selama tujuh bulan.
Partisipan yang ikut dalam penelitian ini
sebanyak empat orang perawat dengan
tingkat
pendidikan
minimal
D3
keperawatan dan dengan pengalamn kerja
minimal 5 tahun.
Data dikumpulkan dengan metode
wawancara semi terstruktur dengan waktu
kurang lebih 20-40 menit dan direkam

dengan alat perekam. Pertanyaan yang


diajukan
antara
lain:
bagaimana
pengalaman saudara dalam melakukan
pengkajian,
bagaimana
pengalaman
saudara dalam menentukan diagnosa
keperawatan, bagaimana pengalaman
saudara dalam menentukan rencana
keperawatan, bagaimana pengalaman
saudara dalam melaksanakan tindakan
keperawatan dan bagaimana pengalaman
saudara dalam melakukan evaluasi. Hasil
wawancara dibuat transkrip kemudian
dianalisis
menggunakan
pendekatan
collaizi untuk mendapatkan tema.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini mengungkapkan
tiga tema antara lain: melaksanakan
tahapan-tahapan
dalam
proses
keperawatan, kesadaran diri, empati.
Melaksanakan tahapan-tahapan dalam
proses keperawatan.
Tahapan proses keperawatan yang
dilakukan oleh perawat dalam merawat
pasien
perilaku
kekerasan
yang
disebabkan halusinasi adalah semua
tahapan yang ada dalam proses
keperawatan, hal ini didapat dari hasil
penelitian yang mana dalam tema
melaksanakan tahapan-tahapan dalam
proses keperawatan didapatkan sub tema
mulai dari melakukan pengkajian,
menentukan diagnosa, membuat rencana
keperawatan, melaksanakan tindakan
keperawatan dan melakukan evaluasi.
Pengkajian
Pada pengkajian yang dilakukan pada
pasien perilaku kekerasan harus ada
identifikasi penyebab pasien melakukan
perilaku kekerasan, dalam penelitian ini
pada sub tema pengkajian ditemukan subsub tema identifikasi penyebab marah dan
didalamnya didapatkan katagori tanya
penyebab
marah,
seperti
yang
diungkapkan oleh partisipan sebagai
berikut:
Ya jika pasien itu masih ...apa ya....
marah-marah ya mungkin marah-marah
bisa dikendalikan istilahnya itu bisa kita

bimbing, kita tanya penyebabnya itu,


seperti halusinasinya itu... (P1)
...maka sementara difiksasi dulu nanti
kalau sudah tenang fiksasinya akan
dilepas...itu, dan nanti ketika pasien
sudah tenang kita tanyakan faktor
penyebab dia marah apa... (P2)
Iya....yang kita lihat, kita observasi dari
pasien, kemudian selain observasi kita
juga menannyakan pada pasien juga
untuk
mengetahui
dia
marahnya
kenapa...begitu (P3)
Pada pengkajian yang dilakukan pada
pasien
perilaku
kekerasan
yang
disebabkan halusinasi selain harus
dilakukan identifikasi penyebab marah
juga harus diketahui faktor-faktor
penyebab halusinasi. Pada penelitian ini
juga didapatkan sub-sub tema identifikasi
penyebab
halusinasi
yang
mana
didalamnya
didapatkan
katagori
halusinasi karena apa, seperti yang
diungkapkan oleh partisipan sebagai
berikut:
Pastinya untuk perilaku kekerasan yang
karena halusinasi ee..ya kita cari dulu
halusinasi karena apa, halusinasi apa...
(P1)
Kemudian juga harus dilakukan
eksplorasi perasaan pasien. Dari hasil
penelitian ini didapatkan yang mana
didalamnya
didapatkan
katagori
menanyakan keadaan pasien, menanyakan
perasaan, menanyakan apa yang dialami,
dan yang diinginkan sekarang seperti
yang diungkapkan partisipan sebagai
berikut:
Katagori menanyakan keadaan pasien
seperti yang diungkapkan oleh partisipan
sebagai berikut:
menanyakan keadaan pasien kondisinya
saat ini juga apa yang dirasakan.. (P1).
Sedangkan katagori
menanyakan
perasaan seperti yang diungkapkan oleh
partisipan sebagai berikut:
ya menanyakan perasaannya (P1)
... yang ditanyakan....ya perasaan dia
saat itu bagaimana, terus faktor
penyebabnya dia marah kenapa, teruse..
(P2)

Sedangkan katagori yang diinginkan


sekarang seperti yang diungkapkan oleh
partisipan sebagai berikut:
Apa yang diinginkan sekarang apa
(P1).
Pada tahap pengkajian, seorang
perawat harus mengerti bagaimana cara
dalam melakukan pengkajian. Pengkajian
dapat dilakukan dengan wawancara ,
observasi dan melihat data yang ada di
rekam medik. Pada sub-sub tema cara
mengkaji didapatkan katagori observasi,
observasi dan wawancara, melihat rekam
medik, serta interaksi dan tanya jawab.
Pada katagori observasi seperti yang
diungkapkan oleh pasrtisipan sebagai
berikut:
... Dan kita ketahui dan apa....
(menunduk) observasi perilaku atau
penampilan klinis klien masih memori
tanda tanda e...kemungkinan munculnya
perilaku kekerasan... (P4)
Sedangkan pada katagori observasi
dan wawancara yang diungkapkan oleh
partisipan sebagai berikut:
... jadi mulai dari pengkajian, dari
pengkajian kita lakukan dengan cara
observasi dan wawancara ... (P4)
Sedangkan untuk katagori melihat
rekam medik telah diungkapkan oleh
partisipan sebagai berikut:
... untuk menggali data selain
menanyakan pasien kita juga melihat
rekam medik pasien juga... (P3)
Untuk katagori interaksi dan tanya
jawab diungkapkan oleh partisipan
sebagai berikut:
... Ya kita interaksi dengan pasien,
interaksi dan tanya jawab apa....? (P1)
Pada saat seorang perawat yang akan
melakukan pengkajian harus membina
hubungan saling percaya dulu dengan
pasien. Dalam penelitian sub tema
melakukan pengkajian ini didapatkan
katagori membina hubungan saling
percaya dan melakukan pengkajian.
Untuk katagori membina hubungan saling
percaya seperti yang diungkapkan
partisipan sebagai berikut:

...ya kita sebelumnya kita harus


membina hubungan saling percaya dulu
dengan pasien tersebut... (P2)
Menentukan diagnosa
Dari hasil penelitian ini pada sub tema
menentukan
diagnosa
keperawatan
didapatkan sub-sub tema mengumpulkan
data, mengelompokan data, analisa data,
standart, memilih diagnosa, dan cara
memperioritaskan. Sedangkan pada subsub tema cara mengumpulkan data
didapatkan katagori mencari data yang
sesuai, data didapatkan dari pengkajian,
ditentukan dari data mayor disertai data
minor, analisa data, mendengar lewat
telinga, SOP, dan ada acuannya, seperti
yang diungkapkan partisipan sebagai
berikut:
...cara mengetahui diagnosa pasien itu
dengan mencari data yang sesuai
diagnosa tersebut.. (P2)
... kemudian kita ada acuannya,
ya...kalau data subyektifnya seperti ini
obyektifnya seperti ini..oh ini adalah
diagnosanya ini . (P4)
Dalam
penelitian
ini
diagnosa
keperawatan yang sering muncul adalah
diagnosa krisis, perilaku kekerasan,
halusinasi dan diagnosa gangguan proses
pikir, seperti katagori diagnosa krisis,
diagnosa halusinasi, gangguan proses
pikir, dan perilaku kekerasan yang
didapatkan dalam sub-sub tema jenis
diagnosa, yang mana seperti yang
diungkapkan oleh partisipan, yaitu
sebagai berikut:.
Pada katagori diagnosa krisis :
jika memang perilaku kekerasannya
yang saya katakan tadi tidak bisa saya
kontrol maka diagnosa yang kita
tegakkan pertama diagnosa krisis (P3)
Katagori diagnosa halusinasi:
untuk mengatasi perilaku kekerasannya
tersebut jika sudah mulai tenang kita
mulai dengan diagnosa halusinasi...
(P3)

Katagori gangguan proses pikir:


...pasien juga kebanyakan itu juga
mengalami gangguan proses pikir... (P3)
Dan untuk katagori perilaku kekerasan:
....yang pertama pasien yang pindahan
dari ruang intensive tadi yang memang
dari sana diagnosanya adalah perilaku
kekerasan... (P4)
Kemudian dalam melaksanakan tahapantahapan dalam proses keperawatan setelah
diketahui jenis diagnosa keperawatan
yang muncul pada pasien perilaku
kekerasan yang disebabkan halusinasi,
seorang perawat harus menentukan
prioritas diagnosa. Dalam penelitian ini
telah didapatkan sub-sub tema cara
memperioritaskan yang mana didalamnya
terdapat katagori perioritaskan yang
utama
seperti
yang
diungkapkan
partisipan sebagai berikut:
... tapi yang kita utamakan kita
prioritaskan yang utama dulu jadi yang
kita atasi yang utama dulu... (P3)
Rencana keperawatan
Dalam penelitian ini partisipan
khusunya dalam sub tema menentukan
rencana keperawatan didapatkan dua subsub tema yaitu, sub-sub tema kondisi
perawatan dalam merencanakan tindakan
dan sub-sub tema cara merencanakan
tindakan.
Didalam sub-sub tema kondisi
perawatan dalam merencanakan tindakan
didapatkan beberapa katagori, yaitu
terdapat rencana tindakan, pada kondisi
marah tidak direncanakan, membuat
rencana tindakan, dan merencanakan
tindakan keperawatan, seperti yang
diungkapkan oleh partisipan sebagai
berikut:
Ada terdapat rencana tindakan seperti
untuk halusinasi itru (P1)
Pada sub tema menentukan rencana
keperawatan juga didapatkan sub-sub
tema cara merencanakan tindakan, yang
mana
terdiri
dari
katagori
ada
pedomannya, ada SOP, merencanakan
sifatnya individual, menetapkan tujuan,
melibatkan yang bertanggung jawab pada
pasien, perencanaan berasal dari diagnosa,

seperti yang diungkapkan partisipan


sebagai berikut:
... caranya kalau di rumah sakit khan
sudah ada apa. e...pedomannya.. (P2)
Melakukan tindakan keperawatan
Dalam penelitian ini, pada sub tema
melakukan tindakan keperawatan ini
didapatkan beberapa sub-sub tema, yaitu:
tindakan fiksasi, tindakan pengamanan,
tindakan isolasi, managemen halusinasi,
orientasi realita, dan persiapan pasien
pulang.
Dalam merawat pasien perilaku
kekerasan yang disebabkan halusinasi
kadang kala pada saat-saat tertentu
perawat harus melakukan tindakan fiksasi
atau pengikatan. Dalam penelitian ini
pada sub-sub tema tindakan fiksasi
didapatkan katagori: dimanset, dilakukan
restrain, tidak perlu direstrain, fiksasi,
fiksasi
psikologis,
seperti
yang
diungkapkan partisipan sebagai berikut:
... jadi saat pasien itu marah-marah
dan tidak bisa diatasi kita melakukan
itu...pasien di manset untuk sementara
biar tidak mengancam, mencederai diri
sendiri dan juga temannya... (P1)
ya perlu di manset (P1).
... yang perilaku kekerasannya
memang
kira-kira
merusak,
membahayakan diri sendiri dan orang
lain itu perlu saya lakukan restrain ...
(P3)
Disamping tindakan fiksasi perawat
dalam merawat pasien perilaku kekerasan
ini juga harus melakukan pengamanan
pada pasien, dalam penelitian ini, Sub-sub
tema tindakan pengamanan didapatkan
beberapa katagori, yaitu: managemen
krisis dan menjaga keamanan pasien. Hal
tersebut didapatkan dari ungkapan
partisipan sebagai berikut:
untuk perilaku kekerasan itu ya mungkin
managemen krisis (P1)
...ya...pokoknya kita ya itu tadi menjaga
keamanan pasien dan kita jadi apa
ya...cara untuk merawat pasien... (P1)
Selain perawat dalam hal ini
partisipan harus melakukan tindakan

fiksasi, tindakan pengamanan, partisipan


juga melakukan tindakan isolasi. Dalam
penelitian ini pada sub-sub tema tindakan
isolasi didapatkan dua katagori, yaitu:
katagori dimasukkan kamar dan katagori
dimasukkan sampai reda marahnya.
Seperti yang diungkapkan partisipan
sebagai berikut:
Kan dimasukkan kamar (P1)
Iya...iya dimasukan sampai dia itu
sudah reda marahnya sudah lepas lagi...
(P1)
Perawat dalam merawat pasien
perilaku kekerasan yang disebabkan
halusinasi, selain dituntut harus mampu
mengatasi perilaku kekerasannya juga
dituntut harus mengatasi penyebabnya
dalam hal ini adalah halusinasi. Dalam
penelitian ini pada sub-sub tema
managemen
halusinasi,
didapatkan
beberapa katagori, yaitu: mengontrol
halusinasi, dibantu untuk mendistraksi,
dan mengenal halusinasi.
Untuk katagori mengontrol halusinasi
didapatkan dari ungkapan partisipan,
sebagai berikut:
.... ya kita coba latih mengontrol
halusinasinya itu kalau itu tidak nyata
dan ... (P1)
Seorang perawat selain dituntut untuk
memberikan asuhan keperawatan selama
pasien dirawat di rumah sakit, perawat
juga harus melakukan persiapan pasien
pulang, yang mana hal tersebut bertujuan
untuk persiapan perawatan mandiri di
rumah. Dalam penelitian ini dalam sub
tema melakukan tindakan keperawatan
didapatkan sub-sub tema persiapan pasien
pulang yang didalamnya terdapat katagori
cepat pulang, seperti yang diungkapkan
oleh partisipan sebagai berikut:
kalau marah-marah terus tidak bisa
pulang tidak bisa cepat pulang(P1)
Melakukan evaluasi
Dalam penelitian ini pada sub tema
melakukan evaluasi ini didapatkan
beberapa sub-sub tema, yaitu: evaluasi
obyektif,
evaluasi
subyektif,
cara

evaluasi, menganalisa, rencana tindak


lanjut, dan format evaluasi.
Evaluasi obyektif ini bertujuan untuk
mengetahui respon perilaku pasien setelah
dilakukan tindakan keperawatan. Dalam
penelitian ini dalam Sub-sub tema
evaluasi obyektif didapatkan beberapa
katagori yaitu: katagori observasi posisi
manset, observasi restrain, observasi
posisi dan pemenuhan ADL, melihat
perubahan tingkah laku.
Untuk katagori observasi posisi
manset, dalam penelitian ini ditemukan
bahwa posisi pasien dimanset harus
diperhatikan ini dibuktikan dengan
ungkapan partisipan sebagai berikut:
apa...mengobservasi posisi manset
(P1)
Kemudian untuk katagori observasi
restrain, dalam penelitian ini ditemukan
bahwa pasien yang direstrain harus
dilakukan obsrvasi, hal ini seperti yang
diungkapkan oleh partisipan sebagai
berikut:
kita mengobservasi restrain (P3)
Kemudian untuk katagori observasi
posisi dan pemenuhan ADL, dalam
penekitian ini ditemukan bahwa pasien
yang dimanset atau direstrain harus
diperhatikan posisi dan pemenuhan ADL
nya atau pemenuhan kebutuhan sehariharinya, seperti yang diungkapkan
partisipan sebagai berikut:
... diobservasi nggih istilahnya
posisinya bagaimana terus pemenuhan
ADLnya bagaimana gitu... (P1)
Sedangkan untuk katagori melihat
perubahan tingkah laku, ditemukan bahwa
setiap kali kita melakukan tindakan
keperawatan harus dilakukan evaluasi
perubahan tingkah laku pasien, seperti
yang diungkapkan pasrtisipan berikut ini:
... kemudian secara obyektif kita lihat
melihat perubahan tingkah lakunya
bagaimana? (P2)
Sub-sub tema evaluasi subyektif,
dalam penelitian ini ditemukan katagori
mengakaji perasaan pasien. Dalam
evaluasi khusunya dalam evaluasi
subyektif salah satu komponennya adalah

megkaji perasaan pasien setelah dilakukan


tindakan itu bagaimana, hal ini seperti
yang diungkapkan partisipan, yaitu:
mengevaluasinya ya...dari subyektif kita
e....mengkaji bagaimana perasaan pasien
saat itu, kemudian... (P2)
Sub-sub tema cara evaluasi, dalam
penelitian
ini
ditemukan
katagori
dilakukan menanyakan dan observasi.
Cara untuk melakukan evaluasi memang
menggunakan dua cara yaitu dengan
menanyakan
dan
juga
dengan
pengamatan, hal ini seperti yang
diungkapkan partisipan sebagai berikut:
Evaluasi kita lakukan kepada pasien
bagaimana kita lakukan secara verbal,
kita juga melakukan observasi .. (P3)
... menanyakan pada pasien kondisinya
bagaimana, perasaan saat ini apakah
sudah bisa menjawab, sudah kooperatif
dengan kita, selain itu kita juga
mengobservasi restrain yang kita
lakukan, semacam itu...apakah juga ADL
nya juga terpenuhi.. (P3)
Sub-sub tema menanalisa. Dalam
penelitian
ini
ditemukan
katagori
membandingkan dengan tujuan dan
kriteria hasil dan menarik kesimpulan.
Dalam evaluasi ada komponen yang mana
perawat harus menganalisa dengan cara
menarik kesimpulan dan membandingkan
dengan kriteria hasil yang ada pada tujuan
di rencana keperawatan, hal ini seperti
yang diungkapkan partisipan sebagai
berikut:
... kita tarik kesimpulan apakah
rencana kita sudah berhasil atau
belum...: (P2)
Tema kesadaran diri
Hubungan terapeutik perawat
pasien merupakan pengalaman belajar
timbal balik dan pengalaman emosional
bagi pasien, dan dalam hubungan ini
perawat menggunakan diri dan teknikteknik klinik tertentu dalam bekerja
dengan pasien untuk meningkatkan
perubahan perilaku pasien. Perangkat
pembantu utama yang dapat digunakan
oleh perawat jiwa dalam praktik adalah
dirinya.

Analisis diri merupakan aspek yang


penting untuk memberikan asuhan
keperawatan yang terapeutik, dan
eksplorasi perasaan merupakan aspek
yang sangat penting untuk perawat dalam
usaha untuk menjalin hubungan terapeutik
ini. Dari hasil pengumpulan data yang
didapatkan melalui wawancara dengan
partisipan dan dilakukan analisa tema ini
telah didapatkan sub tema tidak mampu
mengatasi sendiri, waspada terhadap
kondisi
pasien,
kepuasan
dengan
pekerjaan, dan kepercayaan diri.
Tidak mampu mengatasi sendiri
Dalam merawat pasien perilaku
kekerasan yang disebabkan halusinasi
sering kali muncul berbagai permasalahan
yang muncul terutama berkaitan dengan
kemampuan seorang perawat. Dalam
penelitian ini telah didapatkan sub tema
tidak mampu mengatasi sendiri yang
mana didalamnya didapatkan sub-sub
tema mencari bantuan, merasa kesulitan,
dan merasa takut.
Didalam sub-sub tema mencari
bantuan didapatkan katagori bantuan
teman dinas, bantuan satpam,
dan
kolaborasi dengan dokter seperti yang
diungkapkan partisipan sebagai berikut:
... pasien di manset untuk sementara
biar tidak mengancam, mencederai diri
sendiri dan juga temannya. Pasien itu
kita manset dengan bantuan teman kita
otomatis ya...jadi jika saat dinas tidak
ada orang kita bisa memanggil satpam .
(P1)
PEMBAHASAN
Melaksanakan tahapan-tahapan dalam
proses keperawatan.
Pengkajian
Semua partisipan telah melakukan
pengkajian, hal tersebut dinyatakan oleh
partisipan dalam bentuk mengidentifikasi
penyebab
marah,
mengidentifikasi
penyebab halusinasi, eksplorasi perasaan,
dan melakukan cara-cara yang ada di
pengkajian.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa


semua partisipan dalam pengkajian hanya
fokus kepada masalah yang terjadi saat itu
dan penyebabnya saja dan lebih banyak
melakukan pengkajian secara observasi,
dan untuk pengkajian penyebabnya
partisipan hanya menanyakan jenis
halusinasi saja. Hal ini disebabkan karena
menurut partisipan kondisi pasien yang
tidak memungkinkan untuk diwawancarai
sebab pasien masih dalam kondisi marah
dan agresif, disamping itu juga
dikarenakan
partisipan
lebih
mengutamakan mengamankan pasien
dulu dari pada melakukan wawancara
sehingga tidak memungkinkan partisipan
melakukan
pengkajian
secara
menyeluruh. Tetapi disini partisipan juga
mengatakan bahwa setelah pasien
diamankan, baru dilakukan eksplorasi
perasaan
dan
dalam
melakukan
pengkajian selain dari hasil observasi juga
berdasarkan atau melihat dari data rekam
medik.
Tetapi harus diketahui bahwa
pengkajian untuk pasien gangguan jiwa
khususnya yang dirawat di RSJ Dr.
Radjiman
Wediodingrat
lawang
menggunakan format yang sudah
dilegalkan oleh pihak rumah sakit, hal
tersebut diungkapkan oleh salah satu
partisipan, dan pengkajiannya sifatnya
harus menyeluruh mulai dari pengkajian
alasan masuk, faktor predisposisi, faktor
presipitasi, pemeriksaan fisik, pengkajian
psikososial, status mental, kebutuhan
persiapan pulang, mekanisme koping,
tingkat pengetahuan.
Pengkajian merupakan tahap yang
paling menentukan bagi tahap berikutnya,
disamping itu dalam merawat pasien
perilaku kekerasan yang disebabkan
halusinasi, sebelum menentukan tingkat
kegawat daruratannya, perawat harus
melakukan pengkajian dulu terutama
berkaitan dengan isi halusinasi, respon
pasien
terhadap
halusinasi,
wktu
terjadinya dan situasi pencetus terjadinya
halusinasi.

Menurut
Iyus
bahwa
asuhan
keperawatan yang kompeten bagi perawat
jiwa salah satunya adalah melakukan
pengkajian biopsikososial yang peka
terhadap budaya (Iyus. 2009). Hal
tersebut selaras dengan apa yang
dijelaskan oleh Gail W, Stuart bahwa
pengkajian dilakukan dengan wawancara,
observasi, perilaku, tinjauan catatancatatan data dasar, dan pengkajian
komprehensif terhadap klien dan sistem
yang relevan (Gail W, Stuart. 2007)
Menentukan diagnosa keperawatan.
Dari hasil penelitian ini semua
partisipan dalam merawat pasien perilaku
kekerasan yang disebabkan halusinasi ini
telah melakukan tahap menentukan
diagnosa keperawatan, yang dinyatakan
dalam
bentuk
mengumpulkan
data,mengelompokkan data, analisa data,
sesuai
standart,
dan
cara
memeperioritaskan diagnosa.
Dalam menentukan prioritas belum
sepenuhnya sesuai dengan konsep yang
ada. partisipan dalam menentukan
prioritas hanya berdasar diagnosa yang
sering muncul atau yang tampak saat itu,
padahal dalam konsep seperti yang
disebutkan dalam Budi Anna Keliat
(2005) bahwa dalam memperioritaskan
suatu masalah keperawatan adalah dengan
mengutamakan yang mengancam nyawa
atau keselamatan pasien. Kemudian untuk
jenis diagnosa dari hasil penelitian ini
partisipan menyatakan bahwa diagnosa
yang sering muncul pada pasien perilaku
kekerasan yang disebabkan halusinasi
adalah diagnosa krisis, halusinasi,
gangguan proses pikir, dan perilaku
kekerasan. Hal ini sebenarnya juga kurang
tepat karena sesuai dengan keunikan
pasien gangguan jiwa yang mana
mempunyai sifat unik yaitu satu individu
pasien bisa memiliki masalah atau
diagnosa keperawatan yang banyak dalam
artian sangat komplek, dan hal tersebut
dapat terjadi dikarenakan partisipan dalam
melakukan pengkajian tidak secara
menyeluruh. hal yang berkaitan dengan

jenis diagnosa yang muncul pada pasien


perilaku kekerasan yang disebabkan
halusinasi dinyatakan Iyus Yosep (2009),
bahwa diagnosa yang menyertai pasien
perilaku kekerasan diantaranya adalah
perilaku kekerasan, perubahan persepsi
sensori halusinasi, gangguan proses pikir,
harga diri rendah, mekanisme koping
individu, mekanisme koping keluarga
(Iyus, 2009). Tetapi sebaliknya apa yang
dikatakan Anna keliat bahwa Khusus
untuk pasien perilaku kekerasan yang
dalam kondisi akut diagnosa yang muncul
adalah diagnosa krisis yaitu perilaku
kekerasan (Kelliat, 2007).
Menentukan rencana keperawatan.
Pada penelitian ini dalam hal
menentukan
rencana
keperawatan,
partisipan menyatakan bahwa rencana
keperawatan untuk pasien perilaku
kekerasan yang disebabkan halusinasi ini
sudah tersedia dan dalam bentuk SOP
(standart operasional prosedur), sehingga
dalam menentukan rencana keperawatan
harus berdasarkan SOP, kemudian waktu
menentukan rencana keperawatan ini
dilakukan sebelum interaksi dengan
pasien
dan
setelah
ditemukan
diagnosanya, selain itu dalam membuat
rencana keperawatan harus ditetapkan
tujuannya juga, dalam membuat rencana
keperawatan ini sasaranya individu dan
seharusnya juga melibatkan penanggung
jawab pasien dalam hal ini keluarga. Dari
hasil penelitian juga didapatkan bahwa
tindakan
keperawatan
khususnya
managemen krisis sebelumnya tidak
direncanakan, hal ini dikarenakan pasien
dalam kondisi marah dan sifatnya secara
tiba-tiba, sehingga tindakan keperawatan
yang
dilakukan
lebih
banyak
mengandalkan instuisi dan tidak rencana.
Walaupun tindakan tersebut hanya
mengandalkan instuisi petugas tetapi
sudah sesuai dengan SOP yang ada hal
tersebut mungkin dikarenakan rencana
keperawatan yang ada di SOP sudah
terbiasa dilakukan.

Selaras dengan apa yang dikatakan


Budi Anna Kelliat (2010) bahwa setelah
menegakan diagnosa perawat menentukan
rencana tindakan keperawatan baik
kepada pasien maupun keluarganya.
Tetapi dalam penelitian ini partisipan
belum
memahami
bagaimana
pendokumentasian rencana keperawatan,
hal ini dibuktikan dengan semua
partisipan
dalam
merencanakan
keperawatan tidak secara tertulis tetapi
hanya berdasar SOP, apa yang dipikirkan,
dan apa yang dirasakan. Hal ini selaras
dengan apa yang dijelaskan Kelliat (2005)
bahwa kebanyakan perawat belum
terbiasa menggunakan rencana tertulis
dalam
melaksanakan
tindakan
keperawatan, yang biasa adalah rencana
tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan,
dirasakan, itu yang dilaksanakan.
Melakukan tindakan keperawatan.
Hasil penelitian ini khusunya dalam
hal melakukan tindakan keperawatan
dinyatakan oleh partisipan dalam bentuk
melakukan tindakan pada fase akut,
managemen halusinasi, dan orientasi
realita. Dari hasil tersebut membuktikan
bahwa perawat dalam melakukan
tindakan keperawatan pada pasien
perilaku kekerasan yang disebabkan
halusinasi hanya bertujuan bagaimana
agar pasien tidak melakukan perilaku
kekerasan, begitu juga untuk mengatasi
halusinasinya hanya berdasarkan buku
teori saja tidak menyesuaikan dengan
situasi dan kondisi pasien, juga tidak
melakukan pengembangan dari teori yang
ada .
Pelaksanaan tindakan keperawatan
dalam aplikasinya disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan pasien. Dalam
merawat pasien mengontrol halusinasi
memang harus dilakukan pendampingan,
karena dengan pendampingan dapat
memberikan rasa kontrol dan aman
kepada pasien untuk belajar mengurangi
rasa takut, campur tangan dari halusinasi
tersebut, dan juga cara mengatasi apabila
halusinasi tersebut kembali muncul.

Lakerman (2001) menjelaskan bahwa


membantu pasien yang mengalami
halusinasi dengan mendampingi dan
menciptakan rasa aman jauh lebih baik
dari
pada
sekedar
memberikan
pengawasan terhadap obat-obatan yang
harus diminum pasien, obat-obatan yang
terbaikpun
masih
belum
bisa
menghilangkan gangguan halusinasi dari
pasien, tetapi pasien yang mengalami
halusinasi harus dilakukan pendampingan
dalam rangka mengontrol halusinasi.
Pada
aplikasinya
tindakan
keperawatan untuk pasien halusinasi yang
dapat menimbulkan efek perilaku
kekerasan atau tidak, masalahnya sama
dengan rencana keperawatan yang mana
tidak selalu bisa diterapkan seutuhnya
tetapi perlu dilakukan pengembangan dan
modifikasi
terutama
tindakan
keperawatan yang berkaitan dengan cara
mengenal dan mengontrol halusinasi,
misalnya tidak jarang pula pasien
mempunyai cara sendiri dalam mengontol
halusinasi, yang mana cara tersebut
dianggap yang paling pas atau paling
disukai pasien. Hal tersebut seperti yang
dijelaskan dalam Model Konseptual
Hildegard E. Peplau bahwa Individu
adalah suatu organisme yang berjuang
dengan caranya sendiri untuk megurangi
ketegangan yang disebabkan oleh
kebutuhan (Merritt & Procter. 2010).
Melakukan evaluasi.
Dari penelitian ini didapatkan hasil
bahwa partisipan dalam melakukan
evaluasi tindakan dinyatakan dalam
bentuk evaluasi obyektif atau evaluasi
hasil pengamatan, evaluasi subyektif atau
evaluasi
hasil
wawancara,
cara
mengevaluasi, menganalisa, rencana
tindak lanjut, dan menggunakan teknik
yang sesuai yaitu SOAP. Hal tersebut
sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh
Budi Anna Keliat (2005) bahwa evaluasi
adalah proses yang berkelanjutan untuk
menilai efek dari tindakan keperawatan
pada klien. evaluasi dilakukan terus
menerus pada respon klien terhadap

tindakan keperawatan yang dilakukan.


Evaluasi
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
pendekatan
SOAP
(subyektif, obyektif, analisa, perencanaan
atau tindak lanjut).
Hal tersebut juga selaras dengan apa
yang dijelaskan Gail W. Stuart (2007)
bahwa evaluasi merupakan suatu proses
penilaian berkesinambungan tentang
pengaruh intervensi keperawatan dan
regimen pengobatan terhadap status
kesehatan klien dan hasil kesehatan yang
diharapkan.
Perasaan perawat dalam menjalin
hubungan terapeutik pada saat merawat
pasien
perilaku
kekerasan
yang
disebabkan halusinasi
Perasaan perawat dalam menjalin
hubungan terapeutik pada saat merawat
pasien
perilaku
kekerasan
yang
disebabkan halusinasi terjawab dalam dua
tema yaitu tema menyadari potensi diri
dan tema emapati. Pembahasan secara
terinci tentang tema-tema
tersebut
sebagai berikut:
Tema : kesadaran diri.
Dalam penelitian ini didapatkan tema
kesadaran diri, yang mana didalamnya
didapatkan sub tema tidak mampu
mengatasi sendiri, waspada terhadap
kondisi
pasien,
kepuasan
dengan
pekerjaan, dan kepercayaan diri. Disini
peneliti akan membahas satu persatu sub
tema yang membangun tema kesadaran
diri.
Tidak mampu mengatasi sendiri.
Dalam penelitian ini untuk sub tema
tidak mampu mengatasi sendiri, oleh
partisipan dinyatakan dalam bentuk
mencari bantuan, merasa kesulitan,
merasa takut.
Perawat khususnya partisipan dalam
merawat pasien gangguan jiwa khususnya
pasien
perilaku
kekerasan
yang
disebabkan halusinasi pada saat-saat
tertentu kadang kala tidak mampu
melakukan sendiri dalam melaksanakan
suatu tindakan keperawatan, sehingga
dalam
melaksanakan
tindakan

keperawatan tersebut mereka mencari


bantuan ke orang lain.
Dalam penelitian ini didapatkan data
bahwa partisipan dalam merawat pasien
perilaku kekerasan yang disebabkan
halusinasi ini pada saat menghadapi
situasi pasien yang menunjukkan perilaku
kekerasan dimana partisipan harus
melakukan tindakan fiksasi atau manset,
mereka mencari bantuan kepada teman
dinas atau satpam, hal ini dikarenakan
partisipan merasa takut kalau perilaku
kekerasan pasien tidak terkontrol dan
menyerang petugas.
Sedangkan
partisipan
lainnya
menyatakan bahwa mereka merasa tidak
aman dan takut kalau pada saat bekerja
dalam kondisi cuman sendiri atau cuman
berdua, ada juga partisipan yang
menyatakan bahwa dia merasa tegang
dalam melakukan tindakan fiksasi karena
sering kali pasien memberontak dan
berusaha melawan petugas sehingga pada
saat melakukan tindakan fiksasi pada
pasien perilaku kekerasan membutuhkan
bantuan satpam. Disamping itu perlu
diketahui juga bahwa partisipan dalam
penelitian ini adalah perempuan semua
sehingga dikarenakan keterbatasan fisik
juga mereka merasa tidak mampu
mengatasi sendiri sehingga muncul
perasaan takut, tidak aman, tegang dan
berusaha mencari bantuan ke orang lain
dalam melakukan tindakan fiksasi.
Dalam melaksanakan suatu tindakan
keperawatan seorang perawat selain harus
bekerja sama dengan perawat yang lain
dan juga harus bekerja sama dengan
profesi lain dalam hal ini dengan profesi
dokter. Dalam tindakan keperawatan ada
istilah tindakan kolaboratif, yang mana
yang
dimaksud
dengan
tindakan
kolaboratif
adalah
tindakan
yang
dilakukan hasil kerja sama dengan tim
kesehatan lain.
Dalam penelitian ini tindakan
kolaboratif dengan tim dokter dalam
merawat pasien perilaku kekerasan yang
disebabkan halusinasi ini adalah dalam
menenangkan pasien yaitu dengan

pemberian terapi psikofarmaka atau terapi


kimiawi bisa juga dikatakan fiksasi
kimiawi. hal tersebut dibuktikan dengan
beberapa partisipan menyatakan bahwa
dalam merawat pasien perilaku kekerasan
perlu dilakukan kolaborasi dengan dokter
dalam hal pemberian fiksasi kimiawi.
dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa
dalam menenangkan pasien perilaku
kekerasan sangat perlu diberikan terapi
psikofarmaka, dan ini bukan wewenang
seorang perawat, sehingga dalam
pemberian fiksasi kimiawi ini perawat
tidak mampu melakukannya dikarenakan
keterbatasan peran.
Hal tersebut selaras dengan teknik
managemen krisis, yang mana disebutkan
bahwa dalam melakukan prosedur
tindakan managemen krisis diharapkan
membentuk tim krisis yang terdiri dari
perawat, dokter, dan konselor dan
memberi tahu petugas keamanan jika
perlu (Iyus, 2009).
Selain hal-hal tersebut diatas, dalam
penelitian ini juga didapatkan data bahwa
ada partisipan yang merasa sulit dalam
merawat pasien perilaku kekerasan ini.
Perasaan merasa sulit ini oleh partisipan
dinyatakan dalam bentuk merasa sulit,
terasa berat, dan merasa gagal atau
kecolongan. Partisipan merasa sulit dan
berat ini dikarenakan pasien perilaku
kekerasan yang pernah dia rawat
mengalami
kesulitan
dalam
berkomunikasi dan sulit diarahkan yang
disebabkan pasien masih dalam kondisi
marah. Disini bisa disimpulkan bahwa
perawat
berusaha
untuk
menjalin
komunikasi dua arah dengan pasien yang
masih dalam kondisi marah. Dalam
menentukan intervensi keperawatan pada
pasien perilaku kekerasan terdapat tiga
intervensi yaitu strategi preventif, strategi
antisipatif, dan strategi pengurungan. Bila
kondisi pasien dalam masih kondisi
marah maka strategi yang dilakukan
adalah strategi pengurungan, sehingga
komunikasi yang dilakukan adalah
komunikasi sepihak dan perawat tidak
memaksakan
untuk
melakukan

komunikasi dua arah sehingga perasaan


sulit, perasaan berat dan gagal
dikarenakan sulit menjalin komunikasi
tidak dirasakan perawat (Iyus, 2009).
Kemudian perasan takut, tidak aman,
tegang, merasa sulit, terasa berat, dan
merasa gagal atau kecolongan seharusnya
tidak boleh dirasakan perawat secara terus
menerus,
karena
perasaan-perasaan
tersebut dapat mempengaruhi psikologis
perawat dan akan menyebabkan stres.
Menurut Robin (2003 dalam Sanjaya
2009) tugas dan tanggung jawab perawat
bukan hal yang ringan untuk dipikul, hal
inilah yang bisa menimbulkan stres kerja
pada perawat. Stres yang dihadapi oleh
perawat di dalam bekerja akan sangat
mempengaruhi
kualitas pelayanan
keperawatan yang diberikan kepada
pasien. Stres kerja akan berpengaruh pada
kondisi fisik, psikologis dan sikap
perawat
Waspada pada kondisi pasien
Dalam penelitian ini dalam sub tema
waspada pada kondisi pasien dinyatakan
oleh
partisipan
dalam
bentuk
kewaspadaan
dan
antisipasi.
Kewaspadaan perawat disini dirasakan
karena
pasien
perilaku
kekerasan
khususnya yang disebabkan halusinasi ini
sifatnya tidak bisa diduga apalagi pasien
yang halusinasinya berisi suatu perintah
karena halusinasi ini sifatnya selalu
destruktif dan bisa membahayakan
keselamatan pasien maupun orang lain.
Kemudian yang berkaitan dengan
antisipasi dilakukan perawat karena
perawat merasa kuatir terjadi hal-hal yang
membahayakan pasien maupun orang lain
termasuk membahayakan keselamatan
diri petugas, sehingga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan ini perawat
selalu
bersikap
antisipasi.
Dalam
penelitian ini sikap antisipasi ini
dinyatakan dalam bentuk mengamankan
pasien dan juga menjaga jarak dengan
pasien agar aman. Hal tersebut sesuai
dengan apa yang dinyatakan Iyus bahwa
perawat dalam merawat pasien perilaku
kekerasan ini diharuskan mempunyai

sikap waspada atau berjaga-jaga terhadap


adanya peningkatan peningkatan agitasi
pada klien, disamping itu perawat harus
mengkaji pula afek klien yang
berhubungan dengan perilaku agresif
(Iyus, 2009).
Tetapi perlu diketahui bahwa sikap
waspada dan tindakan antisipasi tidak
boleh dilakukan secara berlebihan hal ini
dapat merugikan pasien maupun perawat
sendiri. Pasien perilaku kekerasan dalam
penanganannya tidak selalu harus
dilakukan tindakan fiksasi atau manset
karena tindakan perilaku kekerasan tidak
selalu destruktif, dan tindakan fiksasi
dilakukan bukan untuk hukuman bagi
pasien yang kurang bisa diarahkan.
Kemudian perasaan waspada yang
berlebihan akan sangat mempengaruhi
kondisi psikologis perawat, sehingga
perawat akan selalu curiga pada pasien
juga akan menyebabkan perawat sulit
untuk bersikap empati dan sulit menjalin
hubungan terapeutik dengan pasien.
Kemudian sikap selalu curiga pada pasien
akan sangat mempengaruhi perawat
dalam mengambil sikap dalam bekerja
dan ini menjadi salah satu penyebab
utama terjadinya stres kerja, seperti Hasil
penelitian Widodo (2010), menunjukkan
kemampuan individu dalam mengambil
sikap di tempat kerja memberi pengaruh
yang cukup besar sebagai penyebab stres
kerja. Faktor sikap kerja merupakan
faktor yang dominan dalam menyebabkan
stres pada perawat mungkin disebabkan
karena kondisi yang dihadapi individu
dalam kehidupan sehari-hari, baik yang
berkaitan dengan pekerjaan maupun
kehidupan pribadi
Kepuasan dengan pekerjaan.
Dalam penelitian ini sub tema
kepuasan dengan pekerjaan dinyatakan
partisipan dalam bentuk merasa puas dan
merasa tidak puas dengan hasil pekerjaan.
Dalam penelitian ini partisipan merasa
puas bila
pasien mampu menyadari
bahwa tindakannya selama ini salah dan
juga merasa puas bila tampak tanda-tanda
keberhasilan
dari
pekerjaan
yang

dilakukan partisipan. Kemudian partisipan


merasa lega bila pasiennya sudah tidak
marah lagi, selain itu partisipan berpikiran
bahwa pasien yang dirawat disini
membutuhkan pertolongan sehingga
partisipan merasa harus membantu pasien
dalam menyelesaikan masalahnya. Tetapi
dari penelitian ini juga didapatkan hasil
bahwa partisipan dalam melaksanakan
perannya sebagai perawat kadang kala
juga merasa tidak puas bila pasiennya
sulit diarahkan atau sudah dikasih
pengertian tapi tidak mau mengerti.
Dari hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa partisipan memiliki
sifat altruisme atau perhatian terhadap
kesejahteraan
orang
lain
tanpa
memperhatikan diri sendiri. Altruisme
lebih menitikkan pada kesejahteraan
orang lain. Tidak diartikan secara
altruistik diri juga tidak menampilkan
kompensasi
yang
adekuat
dan
pengulangan atau pengingkaran secara
praktis atau pengorbanan diri. Akhirnya,
altruisme juga dapat diasumsikan sebagai
bentuk perubahan sosial yang dibuat
untuk manusia dalam bentuk kebutuhan
akan kesejahteraan. Salah satu tujuannya
adalah semua profesional harus dapat
membantu orang lain dalam pemberian
pelayanan
dan
mengembangkan
kemampuan sosial. Secara legitimasi
diperlukan
peran
perawat
dalam
melakukan
pekerjaannya
untuk
mengadakan perubahan struktur yang
besar dan proses perubahan sosial dalam
meningkatkan kesehatan individu dan
kemampuan dirinya (Stuart, G.W., and
Laraia, M.T. 2001)
Kepuasan dan penyelesain dari
pekerjaan yang dilakukan bisa dicapai
maka dapat menumbuhkan motivasi
dalam
menyelesaikan
pekerjaan
berikutnya. Seseorang selama hidupnya
membutuhkan kepuasan dan penyelesaian
dari kerja yang dilakukan. Tujuannya
mempertahankan keseimbangan antara
kedua kebutuhan tersebut.

Kepercayaan diri
Dalam penelitian ini sub tema
kepercayaan diri dinyatakan partisipan
dalam bentuk menilai kemampuan diri
dan perasaan aman. Partisipan merasa
yakin bahwa apa yang dia lakukan saat itu
dia memang harus dia lakukan. Di dalam
penelitian ini diantara empat partisipan
yang ada hanya satu partisipan yang
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi,
hal tersebut dapat dibuktikan dengan
pernyataan-pernyataan partisipan tersebut
tentang alasan dia melakukan suatu
prilaku itu apa dan pernyataan-pernyataan
partisipan tersebut tentang perasaan dia
saat melakukan perilaku tersebut. Dari
sini bisa kita nilai bahwa partisipan
tersebut adalah orang yang mengetahui
bahwa dirinya mampu berdasarkan
pengalaman dan perhitungannya dalam
melakukan suatu tindakan.
Sedangkaan untuk partisipan lain
tidak ditemukan pernyataan-pernyataan
yang menunjukan rasa percaya diri, tetapi
hal tersebut belum bisa kita nilai bahwa
mereka tidak percaya dir. Menurut
penilaiian
peneliti
berdasarkan
pernyataan-pernyataan
mereka
saat
dilakukan wawancara, mereka merasa
kurang percaya diri ketika menghadapi
situasi atau keadaan tertentu. Berdasarkan
praktek hidup, kita bisa mengatakan
bahwa yang terakhir itu normal dalam arti
dialami oleh semua manusia.
Menurut Thantaway dalam Kamus
istilah
Bimbingan
dan
Konseling
(2005:87), percaya diri adalah kondisi
mental atau psikologis diri seseorang
yang memberi keyakinan kuat pada
dirinya untuk berbuat atau melakukan
sesuatu tindakan. Orang yang tidak
percaya diri memiliki konsep diri negatif,
kurang percaya pada kemampuannya,
karena itu sering menutup diri.
Tema :Empati .
Menurut Bullmer (dalam sanjaya,
2009) empati adalah suatu proses ketika
seseorang merasakan perasaan orang lain
dan menangkap arti perasaan itu,
kemudian
mengkomunikasikannya

dengan kepekaan sedemikian rupa hingga


menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh
mengerti perasaan orang lain itu. Bullmer
menganggap empati lebih merupakan
pemahaman
terhadap
orang
lain
ketimbang suatu diagnosis dan evaluasi
terhadap orang lain.
Empati menekankan kebersamaan
dengan orang lain lebih daripada sekadar
hubungan yang menempatkan orang lain
sebagai obyek manipulatif. Empati
dibangun pada lingkup self-awareness
(kesadaran diri). Makin terbuka terhadap
emosi kita sendiri, makin terampil kita
dalam memahami perasaan orang lain.
Emosi tidak banyak diekspresikan dalam
kata-kata, justru ia lebih banyak
diekspresikan
dalam
isyarat-isyarat
nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan
bagian tubuh, ekspresi wajah. Maka
kemampuan empati terutama melibatkan
kemampuan seseorang untuk membaca
perasaan lewat pemahaman terhadap
isyarat-isyarat nonverbal orang lain.
Berdasarkan pernyataan tersebut
diatas, dari hasil penelitian bisa
disimpulkan bahwa partisipan mempunyai
empati pada saat merawat pasien perilaku
kekerasan. Hal ini dibuktikan dengan sub
tema yang ditemukan, yaitu kemauan,
menyadari kebutuhan pasien, menerima
pasien apa adanya, dan menyadari
keunikan pasien.
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa kesadaran diri
seorang perawat yang dibangun dari
perasaan tidak mampu menyebabkan
perasaan waspada dan menimbulkan sikap
antisipasi, kemudian muncul rasa aman
akan menyebabkan kepercayaan diri
perawat meningkat, hal inilah yang
mendukung perawat untuk bersikap
empati pada pasien dan sikap empati
inilah yang mendorong seorang perawat
untuk melakukan tahapan-tahapan proses
keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien perilaku
kekerasan yang disebabkan halusinasi,
setelah itu partisipan kembali lagi pada
tahap kesadaran diri, jadi antara kesadaran

diri, sikap empati, dan melaksanakan


proses keperawatan merupakan suatu
siklus yang terus berputar.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian didapatkan hasil
bahwa
semua
partisipan
telah
melaksanakan semua tahapan-tahapan
yang ada dalam proses keperawatan tetapi
ada
beberapa
komponen,
tidak
dilaksanakan, dengan alasan kondisi
pasien. Juga didapatkan hasil tema
kesadaran diri dan empati. Hubungan
antara ketiga tema tersebut diatas telah
membentuk suatu siklus. Yang mana
siklus tersebut terus berputar, mulai dari
Kesadaran Diri Empati - Melaksanakan
Tahapan-Tahapan
Dalam
Proses
Keperawatan.
SARAN
Perlunya untuk melakukan penelitian
lanjutan dengan metode kulaitatif
sehingga pengalaman perawat dapat
dieksplorasi lebih mendalam
DAFTAR PUSTAKA
Analysis of the Work of Hildegard E.
Peplau. Journal of advanced
Nursing. 1998. 28(6), 13121319.
Baihaqi MIF, dkk. 2005. Psikiatri Konsep
Dasar Dan Gangguan-Gangguan.
Bandung: Refika Aditama. Hal
68
Birchwood. 2009. Cognitive behaviour
therapy
for
commend
hallucination.
http//publications.cpaapc.org/media.php?mid=503,
diunduh tanggal 11 Februari
2013
Chariri, A. 2009. Landasan Filsafat dan
Metode Penelitian Kualitatif,
Paper disajikan pada Workshop
Metodologi
Penelitian
Kuantitatif
dan
Kualitatif,
Laboratorium
Pengembangan

Akuntansi
(LPA),
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Diponegoro Semarang, 31 Juli
1 Agustus 2009
Cherill Stockmann, PhD, MSN(R), RN,
Assistant Professor. A Literature
Review Of The Progress Of The
Psychiatric
Nurse-Patient
Relationship As Described By
Peplau. Bradley University,
Department
of
Nursing,
Peoria,Illinois, USA
Creswell, J.W. 2010. Quality inquiry and
research design choosing among
5th ed.Thousand Oaks: Sage
Pub. Inc
Dewa Gede, A. 2005. Pengaruh Teapi
Aktivits Kelompok Latihan
Asertif
Terhadap
Ekspresi
Kemarahan Pada Klien Dengan
Riwayat Perilaku Kekerasan Di
RSJ
Dr.
Radjiman
Wediodiningrat Lawang, Tugas
Akhir. Universitas Brawijaya
Malang
Djaman Satori dan Aan Komariah . 2011.
Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfa Beta.
Fontaine, K.L. 2009. Mental Health
Nursing. New Jersey. Pearson
Education. Inc
Gastmans
C.
1998.
Interpersonal
Relations
in
Nursing:
a
Philosophical-Ethical. Journal of
advanced nursing, 1998. 28 (6).
1312 - 1319
Gail Wiscarz. Sandra J Sundeen. 1998.
Keperawatan Jiwa. Terjemahan.
Edisi IV. Jakarta: EGC.
Gail W, Stuart. 2007. Keperawatan Jiwa.
Edisi 5. Jakarta: EGC. Hal 2, 247-249,
Hidayat. 2004. Pengantar Konsep dasar
Keperawatan. Salemba Medika.
Jakarta
Isaacs
Ann.
2005.
Keperawatan
Kesehatan Jiwa & Psikiatrik.
Edisi 3. Jakarta: EGC. Hal 151166
Iyus Yosep. 2009. Keperawatan Jiwa,
Edisi Revisi. Bandung: Refika Aditama

Kelliat

Budi Anna. 2006. Asuhan


Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia. Tidak
Dipublikasikan.
Kelliat Budi Anna & Akemat. 2010.
Model Praktek Keperawatan
Profesional Jiwa. Jakarta: EGC
Kelliat Budi Anna, dkk. 2005. Proses
Keperawatan kesehatan jiwa.
Jakarta: EGC
LoBiondo-Wood, G., & Haber, J. 2006.
Nursing Research; Methods and
Critical Appraisal for EvidenceBased Practice, St. Louis
Missouri : Mosby, Inc.
Michael K Merritt & Nicholas Procter.
2010.
Conceptualising
The
Functional Role Of Mental
Health
ConsultationLiaison
Nurse In Multi-Morbidity, Using
Peplaus
Nursing
Theory.
Copyright

Econtent
Management
Pty
Ltd.
Contemporary Nurse (2010)
34(2): 158166. Jakarta.
Moleong,
L.
J.2006.
Metodologi
penelitian kualitatif. Ed revisi.
Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Nanda, I. 2012. Nursing Diagnoses :
Definitions and Classification
2002-2014. T.Heather Herdman
(editor), 2010. EGC. Made
Sumarwati. Dwi Widiarti. Estu
Tiar.
Monica
Ester
(penterjemah). 2010. Diagnosis
Keperawatan : definisi dan
Klasifikasi 2009-2011. p. 193
Polit, D.F. & Beck, C.T. 2010. Essenstials
of nursing research methods,
appraisal, & practice. 4th Ed.
Philadelphia: Mosby.
Potter & Perry. 2005. Buku ajar
Fundamental keperawatan. Volume 1.
EGC.
Prijana. 2005. Metode Sampling Terapan,
Bandung: Humaniora
Sanjaya, B. (2009.) Pasien Juga Butuh
Empati. Diperoleh tanggal 14

agustus
2013,
dari
http://.www.koran-jakarta.com./
berita-detail.php?id.
Sarwono. 2003. Perbedaan Dasar Antara
Pendekatan
Kualitatif
Dan
Kuantitatif,
http://www.w3.org/TR/REChtm1
40. dikunjungi 10 Juli 2012
Sugiyono.
2007.
Statistika
untuk
penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Steven J. Frucht and Lorin Bernsohn
(2012).
Neurology.
Visual
Hallucinations In PD. Neurology
is the official journal of the
American
Academy
of
Neurology.
Published
continuously since 1951, it is
now a weekly with 48 issues per
year. Copyright 2002 by AAN
Enterprises, Inc. All rights
reserved. Print ISSN: 0028-3878.
Online
ISSN:
1526-632X.
http://www.neurology.org/conten
t/59/12/1965.full.html
Sill. 2007. Hildegard Peplau 1909-1999
Streubert, H.J. & Carpenter, D.R.1999.
Qualitative research in nursing
advancingthe
humanistic
imperative. 2nd Ed. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkin.
Stuart, G.W., and Laraia, M.T. (2001).
Principles and practice of
psychiatric nursing. Seventh
edition. St. Louis: Mosby Inc.
Tristiadi, AA. 2008. Psikiatri Islam.
Malang: UIN Press. Hal: 46
Varcarolis, E.M. 2006. Psychiatric
Nursing
Clinical
Guide;
Assesment. Tools And Diagnosis.
Philadelphia: W.B Saunders.Co
Wahyuningsih, D. 2009. Pengaruh asertif
training
terhadap
perilaku
kekerasan
pada
klien
schizoprenia. Tesis. Jakarta. FIK
UI. Tidak dipublikasikan
Widodo, 2010. Perbedaan Tingkat Stres
Kerja Perawat Kritis dan Perawat
Gawat Darurat. Diperoleh pada

Hubungan Keteraturan Ibu Hamil Dalam Melaksanakan Kunjungan Antenatal Care (ANC)
Terhadap Hasil Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu Hamil di Poli KIA RSUD Gambiran Kota
Kediri
Sumy Dwi Antono ,Dwi Estuning Rahayu
ABSTRACT
Each pregnancy can develop normally, but it is difficult to know before that the pregnancy
would be a problem, Antenatal care is an important way to monitor and support the
normal maternal health and to detect any abnormalities in normal pregnancy. This study
aims to determine the correlation of Pregnant mothers Regularity in visiting Antenatal Care
(ANC) on the Results from Early Detection of High Risk Pregnancy in Poli KIA RSUD
Gambiran Kediri. This research is analytic correlation using a case-control study design.
The populations in this study were all third trimester pregnant mother with high risk in
Poli KIA RSUD Gambiran Kediri. The number of samples is 28 people who were taken
with simple random sampling technique. Measuring instruments used KIA books and
Antenatal care documentation. The results will be analyzed using Chi Square test with one
2
sample with a standard error 5% (0,05). Based on the analysis results obtained values
=

14,28 > 3,841 so it can be stated that there is the correlation of Pregnant mothers Regularity
in visiting Antenatal Care (ANC) on the Results from Early Detection of High Risk Pregnancy in
Poli KIA RSUD Gambiran Kediri. The results are mostly high-risk pregnant mother are
irregular in implementing Antenatal care. The recommendations of this research is needed
to conduct counseling from a health counselor to all pregnant mother about the
importance of prenatal care regularly to add the knowledge about pregnancy and also to
allows health workers to detect early if there is a complication of pregnancy and as an
effort to increase utilization of health services for mother pregnant.
Key words : regularity of ANC, Antenatal Care (ANC), Early Detection of High Risk
Pendahuluan
Setiap kehamilan dapat berkembang
dengan normal, namun ini kadang tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Sulit
sekali diketahui sebelumnya bahwa
kehamilan akan menjadi masalah. Oleh
karena itu pelayanan antenatal merupakan
cara penting untuk memonitor dan
mendukung kesehatan ibu hamil normal
dan mendeteksi adanya kelainan pada
kehamilan normal (Kusmiyati, 2009).
Kehamilan dapat berlangsung normal
sekitar 80-90% dan hanya 10-12%
kehamilan yang disertai penyulit yang
akan menjadi kehamilan patologis.
Deteksi dini gejala dan tanda bahaya
kehamilan merupakan upaya terbaik yang

dilakukan guna mencegah terjadinya


gangguan yang serius pada kehamilan dan
keselamatan bagi ibu. Faktor predisposisi
dan adanya penyakit penyerta juga
dikenali sejak awal sehingga dapat
dilakukan
upaya
maksimal
untuk
mencegah gangguan berat yang terjadi
baik
pada
ibu
maupun
janin
(Prawiroharjo, 2009).
Menurut data Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007,
Angka Kematian Ibu (AKI) 228 per
100.000 kelahiran hidup (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Intervensi sektor kesehatan esensial untuk
kesehatan ibu diantaranya Keluarga
Berencana, pelayanan pasca keguguran,

pelayanan antenatal, persalinan aman,


pelayanan masa nifas, dan pelayanan
obstetri esensial. Terkait hal ini, maka
program pemeriksaan kehamilan pada ibu
hamil minimal 4 kali kunjungan, 1 kali
pada Trimester pertama (K1), 1 kali pada
Trimester dua dan dua kali pada Trimester
ketiga (K4) ( Mufdlilah, 2009)
Capaian K1(kunjungan ibu hamil
yang pertama pada tenaga kesehatan pada
TM I) di Indonesia pada tahun 2010
sebesar 95,26% meningkat dibandingkan
tahun 2009 yaitu sebesar 94,51%,
sedangkan cakupan K4 ( kunjungan ibu
hamil lengkap dari TM I, TM II, dan TM
III) pada tahun 2010 sebesar 85,56%
(Profil Kesehatan Indonesia, 2010).
Capaian K1 di Jawa Timur pada tahun
2011 sebesar 96,63% sedangkan capaian
K4 sebesar 92,85% (Profil Data
Kesehatan Indonesia, 2011). Cakupan K1
dan K4 di Jawa Timur sudah cukup tinggi,
namun bila keduanya disandingkan maka
terlihat adanya kesenjangan. Hal tersebut
menunjukan masih adanya masalah
ditingkat pelayanan sehingga masih
dibutuhkan peningkatan komunikasi,
informasi dan edukasi oleh tenaga
kesehatan agar ibu hamil mempunyai
kesadaran akan pentingnya pemeriksaan
rutin bagi kehamilaannya sesuai standar
yang ada (Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Timur, 2009). Menurut data dari dinas
kesehatan Kota Kediri tahun 2012,
capaian K1 sebesar 99,09% sedangkan
cakupan K4 sebesar 99,04%.
Berdasarkan hasil Riskesdas 2010
menunjukkan terdapat 92,7% ibu berumur
10-59 tahun yang melakukan pemeriksaan
kehamilan minimal 1 kali pada kehamilan
anak terakhir, tanpa melihat waktu
pemeriksaan. Sedangkan yang melakukan
pemeriksaan kehamilan K1 pada trimester
1 adalah 72,3%. Subjek yang sama
melakukan pemeriksaan kehamilan K4
hanya sebesar 61,4%. Hal itu berarti
terdapat hampir 11% ibu yang melakukan
pemeriksaan kehamilan K1 pada trimester
1, namun tidak melakukan pemeriksaan
sampai K4. Sebaliknya, sebagian besar

ibu yang melakukan pemeriksaan sampai


minimal 4 kali pada trimester 3.
Berdasarkan riset, terdapat kesenjangan
persentase pemeriksaan kehamilan K4
antara perkotaan dan di pedesaan.
Diperkotaan pemeriksaan kehamilan K4
mencapai 76,2% dan pedesaan 55,7%
(Profil Kesehatan Indonesia, 2010).
Persentase ibu hamil dengan kondisi
risiko tinggi yang dirujuk secara nasional
pada tahun 2004 mengalami peningkatan
menjadi 23,83% bila dibandingkan
dengan keadaan tahun 2003 sebesar
16,43% (Profil Kesehatan Indonesia,
2004). Pada tahun 2009 di Jawa Timur
ada 112.926 ibu hamil risiko tinggi yang
ditemukan (Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Timur, 2009). Menurut data dari
dinas kesehatan Kota Kediri, terdapat 815
ibu hamil risiko tinggi di kota kediri pada
tahun 2012, ini tersebar dari berbagai
wilayah. Dan menurut studi pendahuluan
yang dilakukan peneliti di RSUD
Gambiran pada tanggal 20 Februari 2013,
terdapat 32 ibu hamil trimester III dengan
risiko tinggi pada bulan desember 2012.
Karakteristik ibu hamil risiko tinggi
antara lain, ibu hamil dengan preeklamsia
ringan sebanyak 8 orang, ibu hamil
dengan penyulit kehamilan dan persalinan
sebanyak 6 orang, ibu hamil dengan
kehamilan lewat bulan sebanyak 14 orang
dan lain sebagainya.
Untuk itu Antenatal care juga
mempunyai kedudukan yang sangat
penting salah satunya dalam upaya
menurunkan AKI, maka dianjurkan bagi
ibu
hamil
untuk
memeriksakan
kehamilannya secara teratur sesuai jadwal
yang berlaku. Tujuan antenatal care
adalah untuk mengetahui data kesehatan
ibu hamil dan perkembangan bayi
sehingga kesehatan yang optimal dapat
dicapai. Keuntungan antenatal care cukup
besar karena dapat diketahui berbagai
penyakit,
risiko,
dan
komplikasi
kehamilan (Manuaba, 2004).
Jadwal
kunjungan
pemeriksaan
kehamilan yaitu sampai usia 28 minggu
setiap 4 minggu, 28-36 minggu setiap 2

minggu, kehamilan 36 minggu sampai


saat melahirkan setiap minggu. Bila
taksiran partus lebih dari 40 minggu,
setiap 2x seminggu (Morgan, 2009). Jika
dipatuhi,
total
jadwal
kunjungan
antenatal care sebanyak 12-13 kali
selama kehamilan (Manuaba, 2009).
Tujuan
penelitian
ini
untuk
mengetahui Hubungan Keteraturan Ibu
Hamil Dalam Melaksanakan Kunjungan
Antenatal Care (ANC) Terhadap Hasil
Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu Hamil.
Metode Penelitian
Desain penelitian adalah analitik
korelasi dengan menggunakan pendekatan
retrospective. yaitu case contro. Populasi
dalam penelitian ini adalah ibu hamil
Trimester TII dengan risiko tinggi di Poli
KIA RSUD Gambiran Kota Kediri. teknik
sampling yang digunakan adalah teknik
simple random sampling. Penelitian ini
dilakukan di Poli KIA Rumah Sakit
Umum Daerah Gambiran Kota Kediri.
Waktu Penelitian penelitian dilakukan
tanggal 13 Mei 7 Juni 2013, Variabel
independen
penelitian
ini
adalah
keteraturan
ibu
hamil
dalam
melaksanakan kunjungan antenatal care
dan Variabel dependen adalah hasil
deteksi dini risiko tinggi ibu hamil. Alat
ukur menggunakan buku KIA, lembar
observasi Antenatal care dan KSPR.
Analisis data digunakan uji Chi Kuadrat
dengan 1 sampel.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Data Umum
a. Umur
Umur ibu yang menjadi responden
penelitian di poli KIA RSUD Gambiran
Kota Kediri akan diuraikan dalam
diagram batang berikut ini.

Diagram batang ibu yang menjadi


responden penelitian di poli KIA RSUD

Gambiran Kota Kediri berdasarkan umur


tahun 2013.
Berdasarkan diagram diatas dapat
diketahui bahwa hampir seluruhnya ibu
yang menjadi responden penelitian
berumur 20-35 tahun, yaitu sebanyak 86%
(24 orang), yang lainnya berumur >35
tahun sebanyak 7% (2 orang) dan yang
berumur < 20 tahun sebanyak 7% (2
orang).
b. Pendidikan Terakhir
Pendidikan terakhir ibu yang menjadi
responden penelitian di poli KIA RSUD
Gambiran Kota Kediri akan diuraikan
dalam diagram batang berikut ini.

Diagram batang ibu yang menjadi


responden penelitian di poli KIA RSUD
Gambiran Kota Kediri berdasarkan
pendidikan terakhir tahun 2013.
Berdasarkan diagram diatas dapat
diketahui bahwa ibu yang menjadi
responden penelitian mempunyai riwayat
pendidikan terakhir SMP sebanyak 57%
(16 orang) dan pendidikan terakhir SMA
sebanyak 43% (12 orang).
c. Pekerjaan
Pekerjaan
ibu
yang
menjadi
responden penelitian di poli KIA RSUD
Gambiran Kota Kediri akan diuraikan
dalam diagram batang berikut ini.
Diagram batang ibu yang menjadi
responden penelitian di poli KIA RSUD
Gambiran Kota Kediri berdasarkan
pekerjaan tahun 2013.
Berdasarkan diagram diatas dapat
diketahui bahwa ibu yang menjadi
responden penelitian yang bekerja sebagai
IRT sebanyak 96% (27 orang) dan sebagai
karyawan sebanyak 4% (1 orang).
d. Riwayat Kehamilan
Riwayat Kehamilan ibu yang menjadi
responden penelitian di poli KIA RSUD

Gambiran Kota Kediri akan diuraikan


dalam diagram batang berikut ini.
Diagram batang ibu yang menjadi
responden penelitian di poli KIA RSUD
Gambiran Kota Kediri berdasarkan
Riwayat Kehamilan tahun 2013.
Berdasarkan diagram diatas ketahui
bahwa ibu yang menjadi responden
penelitian mempunyai riwayat kehamilan
primigravida sebanyak 14% (4 orang) dan
multigravida sebanyak 86% (24 orang).
e. Faktor Risiko
Faktor Risiko ibu yang menjadi
responden penelitian di poli KIA RSUD
Gambiran Kota Kediri akan diuraikan
dalam diagram batang berikut ini.

Berdasarkan diagram diatas dapat


diketahui bahwa ibu dengan PER sebesar
10% (3 orang), ibu dengan gemelli 14%
(4 orang), ibu dengan post date 17% (5
orang), ibu dengan riwayat SC 21% (6
orang), ibu dengan HIV 3% (1 orang), ibu
dengan Hipertensi 14% (4 orang), ibu
dengan suspect CPD 7% (2 orang), ibu
dengan letak sungsang 3% (1 orang), ibu
dengan asma 3% (1 orang), ibu dengan
penyakit jantung 7% (2 orang), ibu
dengan IUGR 3% (1 orang), ibu dengan
diabetes 3% (1 orang).
Data Khusus
a. Keteraturan Ibu Hamil Dalam
Melaksanakan
Kunjungan
Antenatal Care (ANC) Terhadap
Hasil Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu
Hamil di Poli KIA RSUD Gambiran
Kota Kediri.
Keteraturan Ibu Hamil Dalam
Melaksanakan Kunjungan Antenatal Care
(ANC) Terhadap Hasil Deteksi Dini
Risiko Tinggi Ibu Hamil dinilai
berdasarkan jumlah pemeriksaan yang
telah dilakukan sesuai dengan jadwal

yang sudah ditetapkan. Frekuensi


kunjungan antenatal care tersebut dilihat
dari buku KIA ibu hamil.
Hasil Keteraturan Ibu Hamil Dalam
Melaksanakan Kunjungan Antenatal Care
(ANC) Terhadap Hasil Deteksi Dini
Risiko Tinggi Ibu Hamil disajikan dalam
tabel di bawah ini :
Tabel Distribusi Frekuensi Keteraturan
Ibu Hamil Dalam Melaksanakan Kunjungan
Antenatal Care Terhadap Hasil Deteksi Dini
Resiko Tinggi Ibu Hamil.
Keteraturan ANC
Teratur
Tidak Teratur
Jumlah

Jumlah
4
24
28

Persentase
14%
86%
100%

Berdasarkan tabel diatas


menunjukkan bahwa dari 28 responden
didapatkan 14% (4 orang) teratur dalam
Melaksanakan Kunjungan Antenatal care
dan 86% (24 orang) tidak teratur Dalam
Melaksanakan Kunjungan Antenatal care.
b. Hasil Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu

Hamil di RSUD Gambiran Kota


Kediri.
Hasil Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu
Hamil dinilai berdasarkan jumlah faktor
risiko yang terdapat pada ibu hamil
tersebut melalui KSPR.
Hasil Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu
Hamil disajikan dalam tabel di bawah ini :
Tabel Distribusi Frekuensi Hasil Deteksi
Dini Resiko Tinggi Ibu Hamil berdasarkan
jumlah skor pada KSPR.
Hasil Deteksi Dini Risiko
Tinggi Ibu Hamil
Skor KSPR 6-10
Skor KSPR >12
Jumlah

Jumlah

Persentase

19
9
28

68%
32%
100%

Berdasarkan tabel diatas


menunjukkan bahwa dari 28 responden
didapatkan 68% (19 orang) dideteksi
dengan skor KSPR 6-10 dan 32% (9
orang) dideteksi dengan skor KSPR >12.
Tabel Distribusi Frekuensi Hasil
Deteksi Dini Resiko Tinggi Ibu Hamil
berdasarkan faktor risiko.

Hasil Deteksi Dini


Risiko Tinggi Ibu Hamil
PER
Gemelli
Payah Jantung
Post date
Riwayat SC
IUGR
HIV
Hipertensi
Diabetes
Letak Lintang
Letak sungsang
Suspect CPD
Asma
Jumlah

Jumlah

Persentase

3
4
2
4
6
1
1
4
1
1
1
2
1
28

10%
14%
7%
14%
21%
3%
3%
14%
3%
3%
3%
7%
3%
100%

Berdasarkan
tabel
diatas
menunjukkan bahwa dari 28 responden
dapat diketahui bahwa ibu dengan PER
sebesar 10% (3 orang), ibu dengan
gemelli 14% (4 orang), ibu dengan post
date 17% (5 orang), ibu dengan riwayat
SC 21% (6 orang), ibu dengan HIV 3% (1
orang), ibu dengan Hipertensi 14% (4
orang), ibu dengan suspect CPD 7% (2
orang), ibu dengan letak sungsang 3% (1
orang), ibu dengan asma 3% (1 orang),
ibu dengan penyakit jantung 7% (2
orang), ibu dengan IUGR 3% (1 orang),
ibu dengan diabetes 3% (1 orang).
c. Hubungan Keteraturan Ibu Hamil

Dalam Melaksanakan Kunjungan


Antenatal Care (ANC) Terhadap
Hasil Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu
Hamil di Poli KIA RSUD Gambiran
Kota Kediri.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 28
orang responden yang teratur dalam
Melaksanakan Kunjungan Antenatal Care
(ANC) sebanyak 14% (4 orang).
Sedangkan yang tidak teratur dalam
melaksanakan kunjungan Antenatal Care
(ANC) sebanyak 86% (24 orang).
Berdasarkan table diatas yaitu Hubungan
Keteraturan
Ibu
Hamil
Dalam
Melaksanakan Kunjungan Antenatal Care
(ANC) terhadap Hasil Deteksi Dini
Risiko Tinggi Ibu Hamil di Poli KIA

RSUD Gambiran Kota Kediri, untuk


mengetahui adanya hubungan variabel
bebas dan variabel terikat yang berskala
nominal maka digunakan uji Chi Kuadrat
dengan 1 sampel, yaitu :
2 =

Dari hasil uji statistik dengan


menggunakan uji Chi Kuadrat dengan 1
2
sampel didapatkan nilai
= 14,28 dan

2
nilai ini lebih besar dari
tabel = 3,841.

2
2
Dengan ketentuan bila nilai

tabel.

Maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya


ada hubungan antara Keteraturan Ibu
Hamil dalam Melaksanakan Kunjungan
Antenatal Care (ANC) terhadap Hasil
Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu Hamil di
Poli KIA RSUD Gambiran Kota Kediri.
Pembahasan
Keteraturan dalam Melaksanakan
Kunjungan Antenatal Care
Berdasarkan hasil penelitian,
menunjukkan bahwa dari 28 orang
responden di Poli KIA RSUD Gambiran
Kota Kediri, didapatkan hasil 14% (4
orang) teratur dalam melaksanakan
kunjungan antenatal care (ANC), dan
86% (24 orang) tidak teratur dalam
melaksanakan kunjungan Antenatal Care
(ANC).

Dari 4 orang ibu hamil yang teratur,


75% adalah ibu multigravida dan 25%
adalah ibu primigravida. Norwood (1994)
dalam buku Reeder (2011) menyatakan,
pada ibu multipara mereka cenderung
menunda pemeriksaan kehamilan dan
lebih tidak menepati janji pertemuan
pemeriksaan kehamilan, apalagi jika pada
kehamilan sebelumnya ibu mengalami
sedikit masalah. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Fauziah (2012)
salah satu faktor yang mempengaruhi ibu
untuk antenatal care adalah ibu dengan
paritas sedikit.
Pada ibu primigravida kehamilan
merupakan hal yang pertama bagi mereka,
sehingga secara tidak langsung mereka
lebih memperhatikan kehamilannya,
mereka menganggap kalau antenatal care
merupakan suatu hal yang baru sehingga
ibu memiliki motivasi tinggi dalam
memeriksakan
kehamilannya
pada
fasilitas kesehatan. Sedangkan pada ibu
multigravida, mereka sudah mempunyai
pengalaman memeriksakan kehamilan
dan riwayat melahirkan anak, mereka
menganggap memiliki pengalaman yang
cukup sehingga kurang termotivasi untuk
memeriksakan
kehamilannya
yang
berikutnya.
Kegiatan ANC
terpadu
perlu
dilakukan pada ibu hamil karena ibu
hamil minimal pernah satu kali diperiksa
oleh dokter selama kehamilannya.
Dari 4 orang ibu hamil yang teratur
melaksanakan kunjungan antenatal care
berdasarkan
usia
didapatkan
usia
terbanyak adalah 20-35 tahun sebanyak
16%. Fauziah (2012) dalam penelitiannya,
usia ibu hamil yang paling banyak
melakukan ANC adalah rentang 20-35
tahun.
Pada usia tersebut mereka lebih
memanfaatkan pelayanan antenatal care
lebih baik daripada kategori umur yang
lainnya. Usia ibu hamil mempengaruhi
kesehatan dan kualitas bayi yang nanti
akan dilahirkannya. Pada usia dibawah 20
tahun, alat-alat reproduksi wanita belum
berkembang dengan sempurna sehingga

rentan
terjadi
komplikasi
seperti
perdarahan selama kehamilan. Pada usia
<20 tahun kebanyakan adalah remaja
yang memilih menikah muda yang
dimana mereka juga merasa bahwa masih
terlalu muda untuk hamil sehingga
mereka malu dan akhirnya tidak pergi
memeriksakan kehamilannya.
Sedangkan pada usia >35 tahun, organ
reproduksi telah mengalami penuaan
dimana telah terjadi kemunduran pada
organ reproduksi sehingga sangat
berpengaruh pada kehamilan dan proses
kelahiran. Pada usia ini juga akan
membuat
ibu
kurang
termotivasi
memeriksakan kehamilan karena dari
umur, ibu termasuk cukup berumur dan
kebanyakan juga ibu yang hamil di usia
>35 tahun adalah kegagalan dalam ber
KB,
dimana
anak-anak
mereka
sebelumnya sudah besar sehingga juga
timbul rasa tidak nyaman dengan usia
tersebut sedang hamil dan untuk
memeriksakan kehamilan ibu takut
dengan petugas kesehatan karena usia ibu
sebenarnya sudah tidak dianjurkan untuk
hamil dengan alasan kesehatan.
Pengetahuan yang baik tentang
kehamilan akan mendukung sikap ibu
kapan dia siap untuk menikah,
merencanakan kehamilan dan mengatur
jarak
kehamilan
sehingga
untuk
kehamilan dibawah usia 20 tahun dan
diatas 35 tahun dapat diminimalisir
dimana petugas kesehatan juga ikut
berperan aktif dalam memberikan arahan.
Sedangkan pada ibu hamil yang tidak
teratur
melaksanakan
kunjungan
antenatal care sebesar 86% (24 orang),
hal tersebut dapat disebabkan karena
beberapa faktor, salah satunya tingkat
pendidikan ibu. Dari hasil penelitian,
responden memiliki latar belakang
pendidikan SMP sebesar 57% (16 orang)
dan SMA sebesar 43% (12 orang).
Anies (2006) menyatakan, alasan
pokok yang menyebabkan seseorang
berperilaku atau tidak berperilaku adalah
Pemikiran dan perasaan (thoughts and
feeling), dalam bentuk pengetahuan

terhadap obyek kesehatan. Pada Profil


Kesehatan Indonesia (2010) ibu hamil
yang melaksanakan kunjungan antenatal
care dengan tingkat pendidikan SMP
sebesar 63,7% lebih rendah dibandingkan
dengan yang berpendidikan SMA sebesar
74,8%.
Pendidikan merupakan hal yang
penting karena tingkat pendidikan ibu
dapat mendukung pengetahuan dan
informasi yang di milikinya. Rendahnya
pendidikan ibu hamil menyebabkan
kurangngnya pengetahuan ibu hamil
terhadap pentingnya antenatal care secara
teratur.
Pendidikan kesehatan harus selalu
diberikan
pada
ibu
hamil
saat
memeriksakan kehamilan agar ibu selalu
termotivasi untuk pergi ke fasilitas
kesehatan
untuk
memeriksakan
kehamilannya.
Selanjutnya adalah dari hasil penelitian
sebesar 4% (1 orang) bekerja sebagai
karyawan
dengan
latar
belakang
pendidikan terakhir SMP. Pada profil
Kesehatan Indonesia (2010) ibu hamil
yang
bekerja
sebagai
petani/nelayan/buruh hanya 45,6% yang
melaksanakan kunjungan ANC rutin,
sebaliknya ibu yang bekerja sebagai
PNS/TNI/POLRI/pegawai
81%
melakukan pemeriksaan kehamilan secara
rutin.
Pada ibu hamil yang bekerja, mereka
terlalu di sibukkan dengan pekerjaannya
sehingga ibu hamil tidak melakukan
pemeriksaan kehamilan karena sibuk
bekerja dan menunggu disaat ada waktu
libur baru biasanya ibu akan melakukan
pemeriksaan kehamilan.
Penempatan tenaga kesehatan pada
tempat
bekerja
juga
perlu
dipertimbangkan
untuk
memantau
kesehatan ibu hamil yang tidak bisa atau
tidak ada waktu untuk melakukan
pemeriksaan kehamilan diluar.
Pada hasil penelitian ini sebanyak 21
orang dari 28 ibu hamil dengan risiko
tinggi merupakan multigravida (75%).
Hal ini sesuai dengan Norwood (1994)

dalam buku Reeder (2011), pada ibu


multipara mereka cenderung menunda
pemeriksaan kehamilan dan lebih tidak
menepati janji pertemuan, apalagi jika
pada
kehamilan
sebelumnya
ibu
mengalami sedikit masalah. Hasil
penelitian yang dilakukan Fauziah (2012)
salah satu faktor yang mempengaruhi ibu
antenatal care adalah paritas sedikit.
Pada ibu multigravida, mereka sudah
mempunyai pengalaman memeriksakan
kehamilan dan riwayat melahirkan anak,
mereka
menganggap
memiliki
pengalaman yang cukup sehingga kurang
termotivasi
untuk
memeriksakan
kehamilannya yang berikutnya.
Kegiatan ANC terpadu perlu dilakukan
pada ibu hamil karena ibu hamil minimal
pernah satu kali diperiksa oleh dokter
selama kehamilannya.
Hasil Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu
Hamil
Berdasarkan hasil penelitian
berdasarkan jumlah skor pada KSPR, dari
28 responden didapatkan 68% (19 orang)
dideteksi dengan skor KSPR 6-10 dan
32% (9 orang) dideteksi dengan skor
KSPR >12.
Mufdlilah (2009) menyatakan, Ibu
hamil yang jarang memeriksakan
kehamilannya dapat meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi kehamilan.
Pada antenatal care di setiap usia
kehamilan akan dilakukan intervensi
kebidanan yang berbeda- beda sesuai
dengan kebutuhan, ibu yang sejak
pertama sudah dideteksi risiko tinggi dan
ibunya melakukan pemeriksaan secara
teratur maka risiko ibu akan semakin
rendah karena kehamilan ibu terus di
pantau oleh petugas kesehatan, sehingga
jika terjadi komplikasi selanjutnya dapat
dilakukan intervensi yang sesuai dan tidak
mendadak.
Konseling tentang kehamilan risiko
tinggi pada ibu hamil dengan risiko tinggi
perlu tetap disampaikan agar ibu
mengetahui dan bagaimana harus
bertindak atas kehamilannya itu.

Dan dari 28 responden berdasarkan


faktor risiko didapatkan hasil yaitu ibu
dengan PER sebesar 10% (3 orang), ibu
dengan gemelli 14% (4 orang), ibu
dengan post date 17% (5 orang), ibu
dengan riwayat SC 21% (6 orang), ibu
dengan HIV 3% (1 orang), ibu dengan
Hipertensi 14% (4 orang), ibu dengan
suspect CPD 7% (2 orang), ibu dengan
letak sungsang 3% (1 orang), ibu dengan
asma 3% (1 orang), ibu dengan penyakit
jantung 7% (2 orang), ibu dengan IUGR
3% (1 orang), ibu dengan diabetes 3% (1
orang).
Dari uraian hasil penelitian diatas,
persentase terbanyak untuk faktor risiko
kehamilan risiko tinggi adalah ibu hamil
dengan riwayat SC sebesar 21% (6
orang).
Anies (2006) menyatakan, ibu hamil
akan teratur memeriksakan kehamilan
dilihat dari Keparahan yang dirasakannya
(perceived seriousness) yaitu persepsi
seseorang terhadap tingkat keparahan
penyakit yang dideritanya. Seseorang
akan bertindak mencari pengobatan dan
pencegahan penyakit karena ancaman
penyakit tersebut.
Pada faktor risiko tersebut dapat
dideteksi dari awal, sejak pertama kali
memeriksakan kehamilan, sehingga ibu
mengetahui itu sejak awal dan karena ibu
tahu bahwa kehamilannya berisiko maka
ibu akan terus memantau kehamilannya
itu dengan pergi ke fasilitas kesehatan
secara teratur. Sedangkan ibu dengan
PER, gemelli, kelainan letak, dan suspect
CPD itu baru bisa di deteksi pada usia
kehamilan tertentu, jika ibu sejak pertama
memeriksakan kehamilan mengetahui
tidak terdapat faktor risiko pada
kehamilannya
maka
ibu
akan
menganggap bahwa kehamilannya akan
tetap berlangsung baik-baik saja nantinya.
Penyuluhan tentang kehamilan risiko
tinggi pada setiap ibu hamil perlu
diberikan agar ibu termotivasi untuk
memeriksakan kehamilan pada fasilitas
kesehatan secara berkala.

Hubungan Keteraturan Ibu Hamil


Dalam
Melaksanakan
Kunjungan
Antenatal Care (ANC) Terhadap Hasil
Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu Hamil di
Poli KIA RSUD Gambiran Kota Kediri
Dari hasil uji statistik dengan
menggunakan uji Chi Kuadrat dengan 1
sampel didapatkan

2
nilai
= 14,28

3,841 dimana dapat dinyatakan bahwa


terdapat Hubungan antara Keteraturan Ibu
Hamil Dalam Melaksanakan Kunjungan
Antenatal Care (ANC) terhadap Hasil
Deteksi Dini Risiko Tinggi Ibu Hamil.
Hasil penelitian yaitu dari 4 orang
yang teratur melaksanakan kunjungan
antenatal care 15% (3 orang) didapatkan
hasil skor KSPR 6-10, sebaliknya dari
86% (24 orang) ibu hamil yang tidak
teratur melaksanakan antenatal care 88%
(8 orang) didapatkan hasil skor KSPR
>12.
Mufdlilah (2009) menyatakan, Ibu
hamil yang jarang memeriksakan
kehamilannya dapat meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi kehamilan, karena
dengan pelayanan perawatan kehamilan
yang teratur dapat dilakukan deteksi
secara dini terhadap kemungkinan adanya
penyakit yang timbul pada masa
kehamilan.
Pada antenatal care di setiap usia
kehamilan akan dilakukan intervensi
kebidanan yang berbeda- beda sesuai
dengan kebutuhan, ibu yang sejak
pertama sudah dideteksi risiko tinggi dan
ibunya melakukan pemeriksaan secara
teratur maka risiko ibu akan semakin
rendah karena kehamilan ibu terus di
pantau oleh petugas kesehatan, sehingga
jika terjadi komplikasi selanjutnya dapat
dilakukan intervensi yang sesuai dan tidak
mendadak. Berbeda dengan ibu hamil
yang tidak memeriksakan kehamilan
secara teratur, jika ibu sudah dideteksi
risiko tinggi kemudian ibu jarang
memeriksakan kehamilan maka jika

terjadi komplikasi baru intervensi yang


dilakukan akan mendadak.
Konseling tentang pemeriksaan
kehamilan secara teratur dan kehamilan
risiko tinggi sangat penting untuk
menambah pengetahuan ibu hamil, dan
juga sebagai pemanfaatan fasilitas
kesehatan oleh ibu hamil.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian ini adalah :hampir
keseluruhan ibu hamil risiko tinggi tidak
teratur Dalam Melaksanakan Kunjungan
Antenatal care, sebagian besar responden
tidak di deteksi dengan kehamilan risiko
sangat tinggi, dan ada hubungan
Keteraturan
Ibu
Hamil
Dalam
Melaksanakan Kunjungan Antenatal Care
(ANC) Terhadap Hasil Deteksi Dini
Risiko Tinggi Ibu Hamil di RSUD
Gambiran Kota Kediri
Saran
bagi
tempat
penelitian
diharapkan berdasarkan penjelasan pada
bab
sebelumnya,
maka
peneliti
memberikan saran: bagi tempat penelitian
dapat dijadikan sebagai data awal guna
meningkatkan jumlah cakupan ibu hamil
agar ibu hamil melaksanakan kunjungan
antenatal secara teratur untuk mendeteksi
komplikasi kehamilan yang ada secara
dini, sehingga tidak terlambat dalam
merencanakan tindakan, bagi Institusig
iharapkan hasil penelitian dijadikan
sebagai bahan kepustakaan untuk
pembelajaran dan digunakan sebagai
referensi untuk penelitian selanjutnya, dan
bagi peneliti selanjutnya diharapkan
penelitian ini dapat dilanjutkan dengan
mengembangkan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ibu dalam melaksanakan
kunjungan antenatal care yaitu faktor
geografis, ekonomi, dan sosial budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adenin, Irvan. (2013) Senam Hamil.
Diakses tanggal 05/02/2013 pukul
09:54
WIB

<http://www.rsiatambak.com/layana
n/layanan-lain/senam-hamil>
Anna, Lusia K. (2011) 8 Perubahan
Tubuh yang Terjadi Selama
Kehamilan.
Diakses
tanggal
28/02/2013
WIB
<http://health.kompas.com/read/201
1/11/11/10314730/8.
Perubahan.Tubuh.yang.Terjadi.Sela
ma.Kehamilan>
Anwar, I. (2012) Kebidanan &
Kandungan Keluhan Keluhan
Selama Hamil. Diakses tanggal
04/02/2013 pukul 11:11 WIB
<http://www.klikdokter.com/medisa
z/read/2010
/07/05/135/keluhankeluhan-selama-kehamilan>
Arikunto, S. (2006) Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek, Ed.
Revisi Jakarta: Rineka Cipta
Aulia, dkk. (2010) Pengaruh Senam
Hamil Terhadap Proses Persalinan
Normal Di Klinik YK Madira
Palembang. Jurnal Kedokteran
Kesehatan: ISSN 0-853-1773. 4:
Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya
Ayu, Sekar. (2012) Kursus Kilat Senam
Hamil. Yogyakarta: Araska
Bull, Eleanor & Archard, Graham. (2007)
Nyeri Punggung. Jakarta: Erlangga
Brayshaw, E. (2008) Senam Hamil &
Nifas. Jakarta: EGC
Corwin, E.J. (2009) Buku Saku
Patofisiologi. Jakarta: EGC
Departemen Pendidikan Nasional. (2008).
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Diakses tanggal 07/02/2012 pukul
05:17
WIB
<http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi
/index.php>
Dewi, dkk. (2010) Studi Diskriptif
Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Partus Lama Di Rumah
Sakit Roemani Semarang Tahun
2009. Diakses tanggal 07/02/2013
pukul
11.16
WIB
<digilib.unimus.ac.id/download.php
?id=5493>

Hidayat, A.A.A. (2009) Ketrampilan


Dasar Praktik Klinik Untuk
Kebidanan.
Jakarta:
Salemba
Medika
_____________.
(2010)
Metode
Penelitian Kebidanan dan Teknik
Analisa Data. Jakarta: Salemba
Medika
Huliana, M. (2007) Panduan Menjalani
Kehamilan Sehat. Jakarta: Puspa
Swara
Indivara, N. (2009) The Moms Secret
Rahasia Melahirkan Selamat &
Tidak Sakit. Yogyakarta: Pustaka
Anggrek
Jannah, N. (2012) Buku Asuhan
Kebidanan Kehamilan. Yogyakarta:
Andi
Judha, dkk. (2012) Teori Pengukuran
Nyeri
&
Nyeri
Persalinan.
Yogyakarta: Muha Medika
Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia. (2012) Buku Kesehatan
Ibu Dan Anak. Jakarta: Kementerian
Kesehatan
Kozier, Barbara. (2009) Buku ajar praktik
keperawatan klinis KOZIER & ERB
Ed.5. Jakarta: EGC
Kurniasih, dkk. (2005) Bugar Saat Hamil
Sehat Kala Nifas Langsing Usai
Bersalin.________: Gramedia
Kusmiyati, dkk. (2009) Perawatan Ibu
Hamil. Yogyakarta: Fitramaya
Leveno, Kenneth J. (2009) Obstetri
Williams. Jakarta: EGC
MacDougall, Jane. (2003) Kehamilan
minggu demi Minggu. Jakarta:
Erlangga
Mander, R. (2004) Nyeri Persalinan.
Jakarta: EGC
Mardiyah, S. (2012) Manfaat Senam
Hamil. Diakses tanggal 10/07/2013
pukul
11.16
WIB
<http://www.perkembanganbayi.net
/465/manfaat-senam-hamil.html>
Medforth, et al. (2012) Kebidanan
Oxford. Jakarta: EGC
Michael F, Roizen. (2010) Having a
Baby: Panduan Modern Kehamilan

Yang Bahagia, Sehat, Dan Cerdas.


Bandung: Qanita
Mufdhlilah. (2009) Panduan Asuhan
Kebidanan Ibu Hamil. Yogyakarta:
Nuha Medika
Muhimah, N. (2010) Panduan Lengkap
Senam Sehat Khusus Ibu Hamil.
Yogyakarta: POWER BOOKS
Notoatmodjo, S. (2010)
Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta
Nurdiansyah, N. (2011) Buku Pintar Ibu
& Bayi. Jakarta: Bukune
Nursalam. (2011) Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi,
Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Prawirihardjo, S. (2008) Ilmu Kebidanan.
Jakarta: PT Bina Pustaka
Prodia. (2010) Tips Senam Hamil. Diakses
tanggal 25/03/2013 pukul 21:09
WIB
<httpp://prodia.co.idtipskesehatantips-senam-hamil>
Purwanto,
T.P.
(2012)
Masalah
Kesehatan Umum Pada Wanita
Hamil. Diakses tanggal 28/02/2013
pukul
21:09
WIB
<http://edisicetak.joglosemar.co/beri
ta/masalah-kesehatan-umum-padawanita-hamil-65544.html>
Risti, Aisah. (2013) Hubungan Senam
Hamil dengan Nyeri Punggung
pada Ibu Hamil Trimester III di
Rumah Sakit Ibu dan Anak
Kendangsari Surabaya. Diakses
tanggal 10/07/2013 pukul 13.45
WIB
Riyanti. (2007) Pentingnya Menjalankan
Aktivitas Fisik Bagi Ibu Hamil.
Diakses tanggal 28/02/2013 pukul
22:10
WIB
<http://www.danonenutrindo.org/
prinsip3 _ibu_hamil. php>
Saminem, Hajjah. (2009) Kehamilan
Normal. Jakarta: EGC
Setiawan, A & Saryono. (2011) Metode
Penelitian Kebidanan D III, D IV,

S1, dan S2. Yogyakarta: Nuha


Medika
Sindhu, Pujiastuti. (2009) Yoga Untuk
Kehamilan Sehat, Bahagia, Dan
Penuh Makna. Bandung: Qanita
Sipahutar, A.M. (2007) Tingkat Nyeri.
Diakses tanggal 20/02/2013 pukul
20:59
WIB
<http://keperawatanadil.blogspot.co
m/2007/11/tingkatan-nyeri.html>
Sulistiana, dkk. (2011) Pengaruh Senam
Hamil Terhadap Penurunan Nyeri
Punggung Bawah Pada Ibu Hamil
di BPS Ny. Widya Suroso
Kecamatan Turi Lamongan. Surya:
Vol.02. No IX
Sugiyono. (2010) Statistika Untuk
Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sujiono & Yuliani. (2004) Seri
Mengembangkan Potensi Bawaan
Anak
Persiapan
Dan
Saat
Kehamilan. Jakarta: Elex Media
Komputindo
Wahyuningsih, M. (2011) Agar Tak
Tersiksa Sakit Punggung Saat
Hamil. Diakses tanggal 04/02/2013
pukul
13:29
WIB
<http://health.detik.com/read/2011/0
6/11/140335 /1658215/764/>

Widyastuti, dkk. (2011) Hubungan Tingat


Kepatuhan Ibu Hamil Trimester III
Yang Menjalankan Program Senam
Hamil Dengan Lama Persalinan Di
RS Panti Wilasa Citarum Semarang.
Jurnal Ilmu Keperawatan Dan
Kebidanan: Vol 1. No 1
Yuliarti, N. (2010) Panduan Lengkap
Olahraga Bagi Wanita Hamil Dan
Menyusui. Yogyakarta: ANDI

Anda mungkin juga menyukai