Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Appendiks


2.1.1. Anatomi19, 24
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang
kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat
perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans
sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih
akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit
kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia
tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada
bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan
sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendicitis
ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang
sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%,
preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%,
seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.1. Appendiks pada saluran pencernaan 24

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Anatomi appendiks24

Gambar 3.3. Posisi Appendiks24

Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan


limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu
setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah
sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu,
mengalami atropi dan menghilang pada usia 60 tahun.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilikus. Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang
merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end
arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami
ganggren.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Fisiologi25
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid
Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah
penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit
sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.

2.2. Definisi Appendicitis


Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan
Enterobius vermikularis.26
Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50%
ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan
limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.27

Universitas Sumatera Utara

2.3. Patofisiologi Appendicitis


Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua
lapisan dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi
lumen dan ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis.28 Obstruksi
intraluminal appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan
distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada dinding appendiks akan terganggu.
Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada dinding appendiks.
Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar memasuki
luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel
meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan.
Appendicitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa,
dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi
sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi
granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh
fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut supuratif. Edema
dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren,
warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding
appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan
pembuluh darah kongesti.9
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat
mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.24

2.4. Epidemiologi Appendicitis


2.4.1. Distribusi Appendicitis
a. Distribusi Appendicitis Berdasarkan Orang (Person)
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada pada 65.675 penderita appendicitis
didapat 38.143 orang (58%) laki-laki dan 27.532 orang (42%) perempuan.14
Penelitian Khanal (2004) di Rumah Sakit Tribhuvan Nepal pada 99 penderita
appendicitis didapat 76 orang (76,8%) laki-laki dan 23 orang (23,2%) perempuan,
serta kelompok umur 15-24 tahun 41 orang (41,4%), 25-34 tahun 38 orang (38,4%),
35-44 tahun 15 orang (15,2%), 45-54 tahun 3 orang (3,0%), 55-64 tahun 1 orang
(1,0%), dan 65-74 tahun 1 orang (1,0%).29
Penelitian Nwomeh (2006) di Amerika Serikat pada 788 penderita
appendicitis didapat proporsi kulit putih 81%, kulit hitam 12%, dan lainnya 7%.30
Penelitian Salari (2007) di Iran pada 400 penderita appendicitis didapat 287 orang
(71,7%) laki-laki dan 113 orang (28,3%) perempuan, serta kelompok umur
5-14 tahun 58 orang (14,5%), 15-19 tahun 114 orang (28,5%), 20-24 tahun 99 orang
(24,8%), 25-34 tahun 102 orang (25,5%), dan 35 tahun 27 orang (6,8%).31
b. Distribusi Appendicitis Berdasarkan Tempat (Place)
Penelitian Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR appendicitis 5 per
1.000 penduduk di pedesaan, 9 per 1.000 penduduk di periurban, dan 18 per 1.000
penduduk di perkotaan.32 Penelitian Penfold et al (2008) di Amerika Serikat pada

Universitas Sumatera Utara

anak umur 2-20 tahun didapat bahwa perforasi appendicitis lebih cenderung di
pedesaan (69,6%) daripada perkotaan (30,4%) (p=0,042).33
c. Distribusi Appendicitis Berdasarkan Waktu (Time)
Penelitian Dombal (1994) di Amerika Serikat terjadi penurunan kasus
appendicitis dari 100 menjadi 52 per 100.000 penduduk periode tahun 1975-1991.34
Penelitian Walker (1995) di Afrika Selatan terjadi peningkatan kasus appendicitis
dari 8,2 menjadi 9,5 per 100.000 penduduk periode tahun 1987-1994.35
Penelitian Bisset (1997) di Skotlandia terjadi penurunan kasus appendicitis
dari 19,7 menjadi 9,6 per 10.000 penduduk periode tahun 1973-1993.36 Penelitian
Ballester et al (2003) di Spanyol terjadi peningkatan kasus appendicitis dari 11,7
menjadi 13,2 per 10.000 penduduk periode tahun 1998-2003.13
2.4.2. Determinan Appendicitis
a. Faktor Host
a.1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa
muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada usia
10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000
penduduk.37 Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan
limfoid mencapai puncak pada usia pubertas.24
a.2. Jenis Kelamin
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate
(SSMR) pria : wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 : 1.14
Penelitian Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6

Universitas Sumatera Utara

per 100.000 penduduk dengan rasio 1,07: 1.17 Kesalahan diagnosa appendicitis
15-20% terjadi pada perempuan karena munculnya gangguan yang sama dengan
appendicitis seperti pecahnya folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik,
kista ovarium, dan penyakit ginekologi lain.24
a.3. Ras
Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet rendah serat dan
pencarian pengobatan. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, IR
kulit putih : kulit hitam yaitu 15,4 : 10,3 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,5 : 1.37
Penelitian Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR kulit putih : kulit hitam yaitu
2,9 : 1,7 per 1.000 penduduk dengan rasio 1,7 : 1.32
Penelitian Ponsky (2004) di Children's National Medical Center Amerika
Serikat dengan desain Case Control pada anak umur 5-17 tahun didapat penderita
ruptur appendicitis 1,66 kali lebih besar pada anak keturunan Asia (Odds Ratio [OR]:
1,66; 95% Confidence Interval [CI] : 1,24-2,23) dan 1,13 kali lebih besar pada anak
kulit hitam (OR: 1,13; 95% CI: 1,01-1,30) dibandingkan anak bukan penderita ruptur
appendicitis.38 Penelitian Smink (2005) di Boston dengan desain Case Control pada
anak umur 0-18 tahun didapat penderita ruptur appendicitis 1,24 kali lebih besar pada
anak kulit hitam (OR: 1,24; 95% CI: 1,101,39) dan 1,19 kali lebih besar pada anak
hispanik (OR: 1,19; 95% CI: 1,101,29) dibandingkan anak bukan penderita ruptur
appendicitis.39

Universitas Sumatera Utara

b.

Faktor Agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang ada

di usus besar. Pada kultur ditemukan kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan
Eschericia coli, Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan Bacteriodes
splanicus. Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4%.9
c. Faktor Environment
Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola
makan dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi
tinggi lemak dan rendah serat.40 Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
konsumsi rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis.
Kebiasaan konsumsi rendah serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan
obstruksi lumen sehingga memiliki risiko appendicitis yang lebih tinggi.24

2.5. Klasifikasi Appendicitis41, 42


Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai
berikut:
2.5.1. Appendicitis Akut
a.

Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)


Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan

obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi


peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks
jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah
umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis

Universitas Sumatera Utara

kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak
ada eksudat serosa.
b.

Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan

terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.


Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks
dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas
di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
c. Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda
supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks
berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut
gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Appendicitis Infiltrat


Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
2.5.3. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan
pelvic.
2.5.4. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.
2.5.5. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai
proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub
mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

Universitas Sumatera Utara

2.6. Gejala Appendicitis20


Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:
2.6.1. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen
atau di kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini
samar-samar, ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang.
Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang
kemudian beralih ke kuadran bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara
progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak.
2.6.2. Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan
merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.
2.6.3. Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan konstipasi.
2.6.4. Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat
nyeri lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa
nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.
2.6.5. Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan
juga di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal.
Rasa nyeri ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila
posisi appendiks di pelvic. Letak appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri.

Universitas Sumatera Utara

2.7. Diagnosa Banding Appendicitis19,

24

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendicitis


karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
appendicitis, diantaranya:
2.7.1. Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului
rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan appendicitis akut.
2.7.2. Limfadenitis

Mesenterika,

biasanya

didahului

oleh

enteritis

atau

gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan


mual dan nyeri tekan perut.
2.7.3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh
hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang
meningkat.
2.7.4. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendicitis
akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian
bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan
dan infeksi urin.
2.7.5. Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.

Universitas Sumatera Utara

2.7.6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan
yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim
disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa
terjadi syok hipovolemik.
2.7.7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan appendicitis
akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendicitis
akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.
2.7.8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendicitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
2.7.9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai
appendicitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria,
dan terjadi demam atau leukositosis.

2.8. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi komplikasi appendicitis 10-32%, paling sering pada anak
kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan
40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan
orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih

Universitas Sumatera Utara

pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi,


sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.24 Adapun jenis
komplikasi diantaranya:
2.8.1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.20
2.8.2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal
sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.19 Perforasi dapat diketahui praoperatif
pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit,
panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.20
2.8.3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.

Universitas Sumatera Utara

Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.28, 44

2.9. Pencegahan Appendicitis


2.9.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh
kepada masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa
diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran
pencernaan.40 Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa,
dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan
keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding
kolon.45
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.
Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan
makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang
sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.45

Universitas Sumatera Utara

Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang


lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal
sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan
flora normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip
masuk ke saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak
sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan pada appendiks.24
2.9.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat
untuk mencegah timbulnya komplikasi.
a. Diagnosa Appendicitis
Diagnosa yang dilakukan antara lain:
a.1. Pemeriksaan Fisik24, 43
a.1.1. Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan
terlihat distensi perut.
a.1.2. Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan
terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).

Universitas Sumatera Utara

a.1.3. Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk


menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang
meradang terletak di daerah pelvic.
a.1.4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang
meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
a.2. Pemeriksaan Penunjang46
a.2.1. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada
CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

Universitas Sumatera Utara

a.2.2. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed


Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith
dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu
90-100% dan 96-97%.
a.2.3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
a.2.4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
a.2.5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
a.2.6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
a.2.7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis,
tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan
obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

Universitas Sumatera Utara

b. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
b.1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik.47
b.2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).48

2.9.3. Pencegahan Tersier


Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi
luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan
perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan
besar infeksi intra-abdomen.20

Universitas Sumatera Utara

BAB 3
KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep


Berdasarkan latar belakang, tujuan, dan manfaat penelitian maka kerangka
konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:
Karakteristik Penderita Appendicitis
1. Sosiodemografi
Umur
Jenis kelamin
Suku
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
2. Keluhan
3. Lama rawatan rata-rata
4. Jenis Appendicitis
5. Status komplikasi
6. Penatalaksanaan medis
7. Keadaan sewaktu pulang

3.2. Definisi Operasional


3.2.1. Penderita appendicitis adalah orang yang dinyatakan menderita appendicitis
berdasarkan diagnosa dokter dan tercatat pada kartu status.
3.2.2. Sosiodemografi penderita appendicitis dibedakan atas :
a. Umur adalah usia penderita appendicitis sesuai dengan yang tercatat pada
kartu status yang kemudian dikategorikan dengan menggunakan rumus
Sturges:
1.
2.
3.
4.

4-11 tahun
12-19 tahun
20-27 tahun
28-35 tahun

Universitas Sumatera Utara

5.
6.
7.
8.

36-43 tahun
44-51 tahun
52-59 tahun
60-66 tahun

Untuk analisa statistik, umur dikategorikan menjadi:


1. <29 tahun
2. >29 tahun
b. Jenis kelamin adalah ciri tertentu penderita appendicitis sesuai dengan yang
tercatat pada kartu status yang dikategorikan menjadi:
1. Laki-laki
2. Perempuan
c. Suku adalah ras atau etnik penderita appendicitis sesuai dengan yang tercatat
pada kartu status yang dikategorikan menjadi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Batak
Jawa
Minang
Aceh
Melayu
Lain-lain

d. Agama adalah kepercayaan yang dianut penderita appendicitis sesuai dengan


yang tercatat pada kartu status yang dikategorikan menjadi:
1.
2.
3.
4.
5.

Islam
Kristen
Hindu
Budha
Konghucu

Universitas Sumatera Utara

e. Pendidikan adalah sekolah formal yang pernah diikuti oleh penderita


appendicitis sesuai dengan yang tercatat pada kartu status yang dikategorikan
menjadi:
1.
2.
3.
4.
5.

Belum/Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Akademi/ PT

f. Pekerjaan adalah kegiatan utama yang dilakukan oleh penderita appendicitis


sesuai dengan yang tercatat pada kartu status yang dikategorikan menjadi:
1.
2.
3.
4.
5.

Pegawai Swasta/ karyawan


Wiraswasta
Pelajar/mahasiswa
Ibu rumah tangga
Tidak bekerja

3.2.3. Keluhan adalah gejala yang dialami penderita appendicitis sehingga berobat
ke rumah sakit sesuai dengan yang tercatat pada kartu status yang
dikategorikan menjadi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Sakit perut kanan bawah


Anoreksia
Mual
Muntah
Demam
Konstipasi

3.2.4. Lama rawatan rata-rata adalah jumlah hari perawatan penderita appendicitis
sesuai dengan yang tercatat pada kartu status dan kemudian dihitung nilai
rata-rata.

Universitas Sumatera Utara

3.2.5. Jenis Appendicitis adalah klasifikasi appendicitis berdasarkan diagnosa klinik


sesuai dengan yang tercatat pada kartu status yang dikategorikan menjadi:
1.
2.
3.
4.
5.

Appendicitis akut
Appendicitis infiltrat
Appendicitis abses
Appendicitis perforasi
Appendicitis kronis

Untuk analisa statistik dikategorikan menjadi :


1. Appendicitis akut (Appendicitis akut, infiltrat, abses, dan perforasi)
2. Appendicitis kronis
3.2.6. Status komplikasi adalah ada tidaknya penyulit akibat keterlambatan
penanganan appendicitis sesuai dengan yang tercatat pada kartu status yang
dikategorikan menjadi:
1. Ada komplikasi (abses, perforasi, dan peritonitis)
2. Tidak ada komplikasi
3.2.7. Penatalaksanaan medis adalah tindakan medis yang dilakukan terhadap
penderita appendicitis untuk menyelamatkan jiwa penderita sesuai dengan
yang tercatat pada kartu status yang dikategorikan menjadi:
1. Konservatif
2. Operasi
Penatalaksanaan konservatif adalah tindakan non operasi yang dilakukan
terhadap penderita appendicitis untuk memperlambat progesifitas penyakit,
menghilangkan gejala, dan mempersiapkan rencana operasi. Kemudian
dikategorikan menjadi:
1. Konservatif Murni adalah penatalaksanaan konservatif pada penderita
appendicitis sesuai dengan anjuran dokter.
2. Tidak Konservatif Murni adalah penatalaksanaan konservatif pada
penderita appendicitis tidak sesuai dengan anjuran dokter (pulang sebelum
sembuh).

Universitas Sumatera Utara

3.2.8. Keadaan sewaktu pulang adalah kondisi penderita appendicitis sewaktu keluar
dari rumah sakit sesuai dengan yang tercatat pada kartu status yang
dikategorikan menjadi:
1.
2.
3.
4.

Sembuh
Pulang berobat jalan (PBJ)
Pulang atas permintaan sendiri (PAPS)
Meninggal

Untuk analisa statistik dikategorikan menjadi:


1. Sembuh (Sembuh dan PBJ)
2. Tidak sembuh (PAPS dan meninggal)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai