Anda di halaman 1dari 5

Community Action Planning: Sebuah Alternatif Pendekatan

Perencanaan Partisipatif
Tanggal 27 Mei 2006 pukul 05.55, ratusan ribu bahkan jutaan penduduk di Jogjakarta dan
sebagian Jawa Tengah terhenyak menyaksikan peristiwa tragis. Suami, istri, anak, bapak, ibu,
saudara mereka meninggal, terluka berat dan ringan tertimpa reruntuhan puing-puing rumah
mereka yang roboh. Pagi itu gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala richter telah
memporakporandakan harta benda dan melayangnya ribuan jiwa. Dalam sekejap semuanya
hancur dan menyisakan kepedihan mendalam bagi masyarakat Jogjakarta dan sebagian Jawa
Tengah saat itu. Namun ternyata tidak semuanya hancur, ada potensi lokal yang tidak hilang
bersama dengan musnahnya harta benda dan jiwa yang melayang. Dalam kepedihan, masyarakat
korban masih memiliki rasa solidaritas, semangat gotong royong dan semangat untuk bangkit
dari keterpurukan. Mereka memang korban, tetapi mereka bukan obyek dari berbagai kegiatan
kepedulian, dan kemanusiaan dari pihak luar. Mereka tetap harus diposisikan sebagai subyek
dalam kegiatan-kegiatan di masa tanggap darurat, rehabilitasi maupun rekonstruksi.
Merespon bencana gempa bumi 27 Mei 2006, Lingkar Pembaruan Pedesaan dan Agraria
(KARSA) salah satu organisasi non pemerintah di Jogjakarta terpanggil untuk peduli. KARSA
hanyalah satu dari sekian banyak organisasi yang peduli pada kondisi ini. Mengawali aksi
kepedulian di masa tanggap darurat, KARSA yang didukung organisasi lain maupun individu
memberikan bantuan logistik pada sebagian kecil masyarakat di empat kecamatan di Klaten.
Pada tahap selanjutnya, proses fasilitasi Karsa lebih ditekankan pada pemberdayaan masyarakat.
Konsep pemberdayaan masyarakat yang dimaksud adalah mendorong masyarakat untuk
mengorganisir diri, menggali dan mengembangkan potensi lokalnya dalam rangka
menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Suatu keniscayaan bahwa untuk
memberdayakan masyakarat harus melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan, termasuk
dalam merencanakan sebuah agenda dusun/desa.
Membuat sebuah perencanaan di tingkat dusun ataupun desa merupakan sesuatu yang lumrah
dilakukan oleh warga dusun/desa. Namun apakah proses dan hasil dari perencanaan tersebut
mencerminkan permasalahan dan kebutuhan riil yang diperlukan oleh masyarakat, jawabannya
masih sangat beragam. Salah satu perencanaan rutin yang dilakukan tiap tahun oleh warga desa
adalah musrenbangdes (musyawarah perencanaan pembangunan desa). Musrenbang berfungsi
sebagai wadah untuk menyelaraskan kesepakatan antara pelaku, baik pemerintah, masyarakat
maupun swasta tentang rencana kerja tahunan di masing-masing desa. Musrenbang juga
digunakan untuk menjabarkan rencana jangka panjang menjadi kegiatan anggaran tahunan.
Dalam prakteknya, pelaksanaan musrenbang di tingkat desa dan kecamatan seringkali hanya
mengumpulkan usulan dan tidak membuat urutan prioritas masalah. Ada banyak kerumitan
dalam musrenbang sehingga hasil yang diharapkan tak kunjung tiba. Pertanyaannya adalah
sejauhmana masyarakat bisa terlibat dalam proses rutin tahunan musrenbang ini? Jawaban atas
pertanyaan ini terkait erat dengan keberanian masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan.

Apa dan mengapa partisipasi penting?


Semboyan bahwa desa itu milik masyarakat desa, masyarakat desa harus merasa handarbeni
desa, masyarakat desalah yang harus membangun desa sudah seharusnya betul-betul dihayati
dan dilaksanakan oleh masyarakat desa. Makna semboyan ini terkait erat dengan partisipasi
masyarakat yang seringkali kita dengar, baik melalui media cetak, radio, televisi maupun mediamedia lainnya. Partisipasi diartikan sebagai suatu kondisi dimana semua komponen masyarakat
mempunyai peluang yang sama dalam kaitannya dengan akses, kontrol dan suara. Partisipasi
merupakan hak dan kewajiban masyarakat yang sebenarnya sudah banyak diatur dalam peraturan
perundang-undangan kita.
Dalam UUD 1945 (pasal 27 dan 28), disebutkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan
landasan penting untuk pelaksanaan pembangunan. Dengan partisipasi masyarakat diharapkan
akan : mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, menciptakan rasa memiliki terhadap
desa, menjamin keterbukaan dan akuntabilitas, mendapatkan aspirasi masyarakat dan sebagai
wahana untuk pertarungan kepentingan dan mobilisasi dana. Pasal 27 dan 28 UUD 1945 tentang
partisipasi ini dijabarkan sampai tingkat surat edaran menteri. Tidak hanya UU, konvensi
internasional pun mengatakan bahwa pembangunan adalah hak asasi manusia. Dengan adanya
sumber-sumber hukum tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan baik di tingkat perencanaan, pelaksanaan maupun pemanfaatan dan
pemeliharaannya.
Pengalaman penulis bersama kawan-kawan dari KARSA dalam upaya memberdayakan
masyarakat melalui pendekatan Community Action Planning dapat dijadikan sebagai bahan
belajar bagi pembaca sekalian untuk mendorong terjadinya perencanaan partisipatif di desa.
Tulisan berikut akan memaparkan bagaimana Community Action Planning dipersiapkan dan
diselenggarakan.
Pemberdayaan Warga Korban Gempa Bumi Melalui Community Action Planning di Desa
Pasung, Tanjungan, Brangkal dan Dengkeng, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Kecamatan Wedi merupakan salah satu dari 26 kecamatan di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa
Tengah. Untuk mencapai ibukota Kecamatan Wedi dapat ditempuh selama 1 jam dari Kota
Jogjakarta, kearah timur dan 15-20 menit dari Kota Klaten, ke barat daya. Letak Kecamatan
Wedi dalam peta Kabupaten Klaten adalah sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini.

Di kecamatan inilah penulis, dkk memfasilitasi sebuah pendekatan perencanaan partisipatif yang
disebut Community Action Planning (CAP). Ada empat desa yang dijadikan sebagai lokasi CAP,
yaitu Dusun (Tanjungan, Karangjoho, Karangduwet, Pule) Desa Tanjungan; Dusun (Karangasem
dan Pengkol) Desa Dengkeng; Dusun Tegalkarangasem, Pule dan Bandungan) Desa Pasung;
Dusun (Gatak, Niten, Tarungan, Bangsalan, dan Ponjongan) Desa Brangkal. Keempat desa yang
termasuk daerah terparah terkena dampak gempa bumi ini saling berbatasan sehingga menjadi
sebuah wilayah pengorganisasian yang terpadu.
Dampak gempa yang membawa kehancuran fisik maupun non fisik di empat desa ini menuntut
sebuah perencanaan ulang, mau kemana desa-desa ini diarahkan dan dibangun. Dengan memiliki

perencanaan sendiri, maka desa-desa tersebut diharapkan memiliki agenda aksi yang merupakan
cerminan dari kebutuhan riil masyarakat. Atas pertimbangan tersebut, menjadi sebuah
keniscayaan bahwa perencanaan haus melibatkan seluruh unsur masyarakat. Perencanaan
pembangunan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat sudah pasti akan menuai persoalan.
Untuk itu diperlukan model perencanaan partisipatif yang bisa diselenggarakan oleh masyarakat
yang bersangkutan. Salah satu model perencanaan partisipatif yang dicoba diterapkan di empat
desa adalah apa yang disebut Community Action Planning (CAP) atau perencanaan tindakan
bersama.
Fungsi CAP adalah memberikan kerangka partisipatif pada berbagai pihak yang berkepentingan
seperti pemerintah daerah, organisasi swasta, ornop, asosiasi atau pun individu untuk mendukung
perencanaan masyarakat. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihannya, metode ini bisa
diterapkan di tingkat dusun, gabungan dusun maupun tingkat desa untuk memperbaiki metode
perencanaan yang selama ini terjadi di desa. Secara keseluruhan, tahapan CAP dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu Pre-CAP, lokakarya CAP, dan Pasca CAP. Kegiatan Pre-CAP merupakan
persiapan-persiapan yang dilakukan untuk menyongsong lokakarya CAP. Kegiatan pre CAP
meliputi survei lokasi, silaturahmi dengan tokoh masyarakat, sosialisasi, pembentukan panitia,
menggambar dusun impian yang diperuntukkan bagi anak-anak, pembuatan profil dusun, dan
pembuatan maket dusun. Menggambar dusun impian dimaksudkan sebagai salah satu wujud
keikutsertaan anak-anak dalam proses perencanaan pembangunan desa. Hasil gambar yang
dibuat oleh anak-anak tentang dusun impiannya diharapkan dapat memberikan inspirasi pada
elemen masyarakat lain yang turut serta dalam lokakarya CAP bahwa anak pun mempunyai
kebutuhannya sendiri. Lebih jauh diharapkan kebutuhan anak-anak ini akan terakomodir dalam
perencanaan pembangunan desa. Pembuatan profil dusun dan maket dusun didudukkan sebagai
alat bantu bagi peserta lokakarya dalam mengidentifikasi masalah, potensi dan solusinya.
Tahapan Lokakarya CAP berupa kegiatan partisipatif dimana warga berkumpul untuk menggali
persoalan, potensi yang dimiliki, upaya pemecahannya dan rencana tindak lanjut. Sedangkan
tahap Pasca CAP diisi dengan kegiatan penyusunan Rencana Anggaran Biaya, Detil Engineering
Design dan pembuatan proposal berdasarkan hasil lokakarya CAP. Proposal ini nantinya
diajukan ke berbagai pihak yang dianggap mampu mendukung agenda desa seperti dinas-dinas
terkait, project-project tertentu, lembaga-lembaga donor dan sebagainya.
Dalam proses lokakarya CAP, peserta berasal dari kelompok-kelompok kepentingan seperti
kelompok petani, buruh dan tukang; wirausaha; pemuda-pemudi; perempuan; perwakilan
pemerintah desa, tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan pemerintah kecamatan dan perwakilan
Pemda cq Bapeda. Dengan komposisi yang demikian diharapkan semua dusun dan kelompok
kepentingan terwakili secara proporsional. Proses inti fasilitasi lokakarya diawali dengan
identifikasi masalah, potensi dan pemecahan masalah. Proses penggalian masalah dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu : Pertama, FGD pada kelompok kepentingan, termasuk kegiatan
menggambar kampung impian yang dilakukan oleh anak-anak. Kedua, pengamatan di lapangan
dan wawancara dengan penduduk setempat. Ketiga, diskusi dalam pembuatan maket dan profil.
Keempat, data-data monografi desa maupun data yang dihimpun oleh tim profil.
Hasil penggalian masalah dengan empat cara tersebut menunjukkan bahwa masalah yang
teridentifikasi di empat desa relatif beragam. Ada masalah yang sama dan tidak sama dengan
berbagai alat bantu yang digunakan itu. Selanjutnya dalam proses lokakarya, hasil sketsa dusun

dan hasil gambar anak-anak dipasang dan dipresentasikan untuk membantu peserta lokakarya
dalam mengimajinasikan kebutuhan anak-anak. Dalam proses ini masalah-masalah yang sudah
tergali sebelumnya dikukuhkan dan dilengkapi oleh peserta. Permasalahan menjadi semakin
berkembang ketika klarifikasi dan diskusi dilakukan pada akhir presentasi masing-masing
kelompok.
Permasalahan yang sudah teridentifikasi kemudian diurutkan prioritasnya. Beberapa
pertimbangan dalam menyusun urutan prioritas adalah pertama analisis dampak, artinya masalah
jika tidak segera ditangani akan berdampak buruk bagi masyarakat. Kedua berdasarkan kegiatan
yang mampu dilakukan secara langsung oleh masyarakat tanpa bantuan tenaga maupun dana dari
pihak luar.
Paralel dengan identifikasi masalah, penggalian potensi juga dilakukan. Penggalian potensi
menjadi satu hal penting dalam pendekatan CAP karena potensi menjadi modal utama bagi
pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Proses penggalian potensi dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu : Pertama, FGD pada kelompok kepentingan. Kedua, pengamatan di
lapangan. Ketiga, penggalian pada proses lokakarya CAP. Keempat, diskusi dalam pembuatan
maket dan profil. Kelima, data-data monografi desa maupun data yang dihimpun oleh tim profil.
Hasil penggalian potensi dengan lima cara tersebut menunjukkan bahwa potensi dusun yang
teridentifikasi juga relatif beragam. Potensi-potensi yang muncul dalam FGD kelompok
kepentingan biasanya sangat spesifik. Misalnya dalam FGD kelompok wirausaha ada potensi
kepercayaan grosir pada pedagang cukup besar, terdapat banyak pelanggan dan sebagainya.
Dalam FGD kelompok petani dan tukang ada potensi ada petani yang memiliki traktor dan
sebagainya. Namun demikian, ada potensi-potensi umum yang dimiliki oleh keempat desa dan
dapat digunakan dalam mendukung upaya pemecahan masalah.
Tahap akhir dari CAP adalah rencana aksi yang disusun berdasarkan urutan prioritas masalah dan
penyelesaiannya. Rencana aksi dirumuskan dengan mempertimbangkan potensi, kemampuan
masyarakat dan dituangkan dalam urutan waktu pelaksanaan. Rencana aksi dipilah mana
kegiatan yang dapat diselesaikan kurang dari <1 bulan, antara 1 bulan hingga 3 bulan, dan lebih
dari tiga bulan tetapi kurang dari 1 tahun.
Pasca terselenggaranya lokakarya CAP warga di empat desa sekarang sudah memiliki agenda
perencanaan mereka sendiri, dimana hal ini belum dimiliki oleh desa-desa lain. Hasil lokakarya
CAP ini menjadi dokumen perencanaan yang bisa difungsikan sebagai alat negosiasi dengan
berbagai pihak yang bersedia membantu desa mereka. Selain sebagai alat negosiasi, dokumen
perencanaan ini mempunyai legitimasi yang cukup kuat karena prosesnya dilakukan secara
partisipatif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Meskipun perencanaan partisipatif
telah dilakukan dan membuahkan sebuah dokumen perencanaan, namun masih ada hal-hal yang
harus diperhatikan pada masa implementasi, diantaranya adalah menjaga komitmen dan
semangat warga untuk tetap konsisten menjalankan hasil dari lokakarya CAP ini.
Dari proses pre CAP sampai pasca CAP, ada banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik oleh
masyarakat maupun mitra pendamping. Adapun beberapa pelajaran yang dimaksud meliputi :
Pertama, Modal sosial berupa solidaritas, semangat gotong royong yang sudah ada di empat desa
lokasi CAP sejak lama tidak hancur bersamaan dengan hancurnya infrastruktur akibat gempa.

Hal ini ditandai dengan berjalannya kegiatan-kegiatan persiapan CAP sampai terselenggaranya
lokakarya CAP yang memerlukan mobilisasi tenaga massa. Kedua, Warga belajar tentang
bagaimana cara menyiapkan sebuah perencanaan partisipatif, mengidentifikasi masalah yang ada
di dusunnya, menggali potensi dusun, mencari sebab akibat dari masalah yang timbul, mencari
solusi dan merumuskan rencana aksinya. Ketiga, Warga biasa pun, dalam arti semua warga baik
laki-laki maupun perempuan yang bukan tokoh masyarakat, kalau difasilitasi dan diberi
kesempatan untuk terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan maupun perawatan hasil-hasil
pembangunan sebenarnya mampu.
Literatur :
1. Pedoman Penyelenggaraan Program CAP GTZ GLG di DIY dan Jawa Tengah
2. JENDELA, Buletin STPMD APMD Yogyakarta, Volume II No 7 September 2003 dan
Volume III No. 9 Mei 2004.
3. Notulensi, dan berbagai catatan di lapangan selama Juni 2006 sampai Desember 2007

Anda mungkin juga menyukai