TANAH (TSL511)
Genesis dan Klasifikasi Tanah-Tanah di Daerah Sekitar
Kabupaten Bogor
Disusun Oleh:
GILANG SUKMA PUTRA
A151140041
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pedogenesis adalah ilmu yang mempelajari proses pembentukan tanah.
Dalam prosesnya, berbagai faktor pembentuk tanah seperti bahan induk, iklim,
topografi, bahan organik, dan waktu saling berinteraksi membentuk jenis tanah
yang berbeda-beda. Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang
bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi
di bagian selatan. Selain itu, kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar
berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya
didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tuff dan basalt.
Secara umum wilayah Bogor terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat
piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi,
yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Endapan permukaan umumnya
berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan
endapan.
Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis
sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan
rata-rata curah hujan tahunan 2,5005,000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian
utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun.
Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20- 30C, dengan rata-rata
tahunan sebesar 25C. Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup
rendah, dengan ratarata 1.2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata
rata sebesar 146.2 mm/bulan. Sedangkan secara hidrologis, wilayah Kabupaten
Bogor terbagi ke dalam 7 buah Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: (1) DAS
Cidurian; (2) DAS Cimanceuri; (3) DAS Cisadane; (4) DAS Ciliwung; (5) Sub
DAS Kali Bekasi; (6) Sub DAS Cipamingkis; dan (7) DAS Cibeet. Selain itu
juga terdapat 32 jaringan irigasi pemerintah, 900 jaringan irigasi pedesaan, 95
situ dan 96 mata air.
Tingginya heterogenitas faktor-faktor pembentuk tanah yang ada di
Kabupaten Bogor menghasilkan berbagai jenis tanah yang berbeda-beda pula.
Tanah-tanah yang terbentuk dari hasil pedogenesis dapat berupa tanah yang
sudah terlapuk lanjut, ataupun tanah-tanah yang masih muda hasil dari
pembentukan baru dari sedimen sungai. Terdapat juga jenis tanah tertentu pada
ekosistem yang khas seperti karst. Menjadi sangat penting untuk mengetahui
sifat dan karakteristik setiap jenis tanah yang terbentuk agar mampu
menyesuaikan dengan penggunaan lahan yang akan diterapkan pada tanah
tersebut untuk mencegah salah penggunaan dan menekan laju degradasi tanah
dan lahan.
Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui dan
mempelajari proses pembentukan dan klasifikasi tanah pada berbagai kondisi
geografis dan bentang alam (landscape) yang berbeda-beda di Daerah Bogor.
Melakukan perbadingan serta menunjukkan keterkaitan antara jenis tanah yang
terbentuk dengan faktor pembentuk tanahnya masing-masing.
IA
IC
IC
IIA
IIA
IIC
IIC
Gambar 1. Penampang profil tanah dengan horizon tertimbun (kanan); dan lapisan
padas (hardpan) yang berada di antara batas horizon IC dan IIA (kanan)
5
Secara pedogenesis, dalam proses pembentukanya horizon IIA dan IIC
lebih dulu terbentuk dibanding horizon di atasnya. Letusan Gunung Salak pada
zaman dahulu melepaskan berbagai bahan piroklastik termasuk tuff yang
diendapkan dan membentuk tanah. Hal ini dibuktikan bahwa pada horizon IIA
memiliki tekstur yang lebih halus dibanding IA. Selanjutnya terjadi proses
pedogenesis lebih lanjut dimana terdapat luapan sungai di atas tanah yang
terbentuk dari tuff volkan tadi dan membentuk endapan sedimen pada horizon
IC. Bahan sedimen tersebut menutupi sebagian besar permukaan horizon IIA
dan kemudian akan menjadi bahan induk baru pembentuk tanah dan membentuk
horizon IA. Sedimen sungai kaya akan unsur Besi (Fe) dan Mangan (Mn)
terlarut, ketika terjadi pengeringan pada sungai, Fe dan Mn menjadi teroksidasi
dan bereaksi dengan Oksigen membentuk senyawa Fe2O3 dan MnO2 yang
mengendap di dasar sungai membentuk lapisan padas (hardpan) yang terletak
antara horizon IC dan IIA. Lokasi singkapan ditemukan agak jauh dari daerah
karst Ciampea. Proses pedogenesis tidak dipengaruhi oleh bahan-bahan
berkapur. Struktur tanah kurang berkembang dan diduga pH tanah agak masam.
2. Tanah yang dipengaruhi kalsium karbonat
Tanah ini ditemukan di sekitar lokasi perkebunan jati di kaki bukit kapur
(Karst) Ciampea. Berdasarkan indikator vegetasi yang ditanam, dapat diketahui
bahwa tanah-tanah yang terbentuk memiliki pH yang cukup tinggi. Dalam
proses pedogenesisnya, tanah ini memiliki bahan induk yang berasal dari tuff
volkan Gunung Salak dan dipengaruhi oleh senyawa kapur (karbonat) dari bukit
kapur. Tanah-tanah yang terbentuk akan memiliki kejenuhan basa tinggi, pH
tinggi, dan kadar Ca-dd tinggi. Tingginya kadar Ca-dd berpengaruh pada
pembentukan struktur yang baik. Tingginya curah hujan di daerah Bogor
menyebabkan terjadinya pencucian klei dan terakumulasi pada horizon bagian
bawah dan membentuk horizon Argilik. Terdapat selaput liat tipis berwarna
kemerahan yang membatasi lapisan antar struktur yang disebut kutan (Gambar
2). Oleh karena itu, tanah ini digolongkan ke dalam order Alfisol menurut sistem
Taksonomi Tanah (2009), Major Soil Group Luvisols menurut FAO (1988), dan
Jenis Tanah Mediteran menurut sistem PPT (1983).
Gambar 2. Profil Tanah yang terbentuk dipengaruhi bahan berkapur (kiri) memiliki
struktur tanah yang baik (kanan) karena adanya unsur Ca dalam tanah
Tanah ini tergolong tanah yang subur dan berstruktur baik, cocok untuk
tanaman yang membutuhkan pH tinggi seperti tanaman jati. Namun tingginya
curah hujan di Bogor menyebabkan kayu jati yang dihasilkan kurang baik karena
6
kandungan air yang tinggi pada serat-serat kayu menyebabkan kayu menjadi
lebih lunak dibanding kayu jati di daerah Jawa tengah dan Jawa Timur yang
lebih kering.
3. Tanah dangkal (terdapat lapisan batuan)
Hipotesis tentang asal bahan tanah yang berkembang di atas batuan kapur
(karbonat) dikenal dengan Residual Theory yang menyakini bahwa tanahtanah di lingkungan batuan kapur merupakan hasil pelarutan batu gamping
(limestone), serta akumulasi dan transformasi residu batu gamping tersebut (Gal,
1967; Moresi dan Mongelli, 1988; Bronger dan Bruhn-Lobin, 1997; dalam
Mulyanto et.al., 2011). Bila batu gamping sebagai bahan induk tanah, maka
dibutuhkan bahan dengan volume yang sangat besar. MacLeod, (1980) dalam
Foster et.al., (2004) menghitung bahwa diperlukan ketebalan 130 m batu
gamping untuk membentuk lapisan tanah setebal 40 cm. Selanjutnya residu yang
terlepas dari pelarutan batu gamping selama proses denudasi akan terakumulasi
dan membentuk tanah.
Gambar 3. Profil Tanah yang memiliki lapisan tanah (epipedon) tipis, biasa ditemukan
di daerah dengan batuan induk dari batu kapur
7
terdapat bahan-bahan kasar. Tanah bagian atas (topsoil) belum tentu terbentuk
dari material batuan induk di bawahnya.
Gambar 4. Profil Tanah yang memiliki tekstur kasar dan terdiri dari bahan-bahan
kerikil dan kerakal
Tanah ini memiliki material kasar berukuran lebih dari 35%, kandungan
Kalsium Karbonat tinggi (berbuih ketika ditetesi HCl), dan pH tinggi. Maka
tanah jenis ini diklasifikasikan ke dalam subgroup Vintrandic Udorthents
menurut sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (2009) dan Famili kelas mineralogi
karbonatik, kelas reaksi calcareous dengan pH 6 6.5, dan kelas suhu
isohipertermik. Sedangkan menurut sistem FAO (1988) masuk ke dalam Soil
Group Haplic Regosols, dan menurut sistem PPT (1983) tergolong ke dalam
macam tanah Kalkarik Regosol.
8
sampai berpasir, belum terbentuk struktur yang baik kecuali pada lapisan bagian
atas tanah sudah sedikit terbentuk agregasi tanah namun belum mantap. Dapat
dilihat pada Gambar 5 nampak bahwa tiap lapisan belum memiliki perbedaan
sifat morfologi yang jelas. Warna tanah hampir seragam antar lapisan di 7.5 YR
3/3 sampai 7.5 YR 3/4. Jenis epipedon ochric dan belum terbentuk horizon
penciri. Menurut sistem Taksonomi Tanah (2009) tanah ini digolongkan ke
dalam suborder Psamments/Fluvents, sedangkan menurut FAO (1988) masuk
ke dalam Major Soil Group Fluvisols, dan menurut sistem klasifikasi tanah PPT
(1983) dimasukkan ke dalam jenis tanah Aluvial.
Gambar 5. Profil Tanah yang berasal dari sedimen sungai Cisadane, bertekstur pasir
dan belum mengalami perkembangan tanah lebih lanjut
Jenis tanah ini pada umumnya tergolong tanah subur dengan drainase baik.
Memiliki kadar bahan organik yang tidak beraturan antar lapisan karena
pengaruh proses sedimentasi dari sungai yang berulang-ulang.
2. Tanah dari bahan tuff volkan Gunung Salak
Tanah di daerah Darmaga sebagian besar berasal dari bahan induk tuff
volkan Gunung Salak. Bahan tuff Gunung Salak bersifat masam ditambah lagi
tingginya curah hujan di daerah bogor menyebabkan tanah-tanah menjadi miskin
kation-kation basa, penjenuhan ion Al, pH rendah, dan pencucian liat. Tanah
yang terbentuk merupakan tanah tua yang telah melapuk lanjut dan memiliki
solum yang dalam. Di Darmaga sendiri dapat ditemukan jenis tanah Podsolik
dan Latosol (Gambar 6).
Gambar 6. Profil Tanah yang berasal dari bahan induk tuff volkan Gunung Salak;
menurut PPT (1983) diklasifikasikan sebagai tanah Podsolik (kiri), dan Latosol (kanan)
9
tinggi. Hanya saja, yang menjadi pembeda adalah pada tanah Podsolik terjadi
pencucian liat ke lapisan tanah bagian bawah lebih intensif sehingga terjadi
penumpukkan liat minimal 1.2 kali lipat lebih tinggi dibanding lapisan atasnya,
atau biasa disebut sebagai horizon argilik. Sedangkan pada Latosol terjadi
pencucian liat namun tidak terlalu intensif dan penumpukan liat pada horizon
penumpukan masih kurang dari 1.2 kali lipat dibanding horizon di atasnya,
horizon ini dikenal sebagai horizon penciri kambik. Menurut sistem Taksonomi
Tanah (2009) Tanah Podsolik dan Latosol masing-masing diklasifikasikan
sebagai order Ultisols dan Inceptisols. Sedangkan menurut sistem FAO (1988)
kedua tanah ini dikelompokkan ke dalam Major Soil Group Acrisols dan
Cambisols.
Tanah di Daerah Gunung Bunder
Tanah di daerah Bogor bagian selatan, terutama di sekitar lereng dan kaki
Gunung Salak didominasi oleh tanah-tanah yang bersifat andik. Dari hasil
pengamatan profil tanah yang berlokasi di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak, Desa Gunung Bunder terdapat tanah yang menurut Soil Taksonomi Tanah
(2009) diklasifikasikan ke dalam subgroup Pachic Melanudands. Tanah ini
memiliki epipedon melanic dengan kandungan bahan organik lebih dari 6%
dengan warna epipedon yang gelap seperti epipedon mollic pada lapisan 50 cm
tanah. Gambar 7 mengilustrasikan tanah Andisol dengan epipedon melanic.
Bahan induk berasal dari batuan masam erupsi Gunung Salak sehingga KB tanah
rendah, bertekstur klei, kelas butir amorf, kelas KTK aktif, dan kelas regime
suhu termik. Berdasarkan sistem FAO (1988) tanah ini tergolong ke dalam
Melanic Andosols, dan menurut sistem PPT (1983) termasuk ke dalam Andosol
Melanik.
10
isohipertermik. Penamaan jenis tanah swah dapat berbeda-beda jika ada
penggenangan yang permanen membentuk warna glei, atau jika terdapat lapisan
padas seperti fragipan atau duripan.
Tanah di Daerah Bogor Bagian Barat
Daerah bogor bagian barat ditemukan banyak persebaran tanah-tanah
dengan tingkat pelapukkan lanjut seperti Podsolik dan Latosol tua. Tanah-tanah
melapuk lanjut dicirikan oleh solum yang dalam, Kejenuhan Basa rendah, dan
pH masam.
Lokasi pengamatan pertama terletak di Desa Galuga, Kec Cibungbulang,
dilakukan pengamatan terhadap singkapan tanah (Gambar 8). Tanah ini
memiliki ciri solum yang dalam, warna tanah merah, tekstur tanah lempung
berliat sampai liat, dan pH sekitar 5 (Kejenuhan Basa rendah). Tanah ini berasal
dari bahan induk tuff volkan Gunung Salak, telah mengalami pencucian lanjut
menyisakan oksida-oksida besi yang memberikan warna merah pada tanah (sifat
oksik). Distribusi kadar liat antar lapisan masih seragam dan belum
menunjukkan adanya penumpukkan liat. Oleh karena itu, Tanah ini menurut
sistem Taksonomi Tanah (2009) dikelompokkan ke dalam subgroup Oxic
Dystrudepts dengan Famili kelas butir klei, kelas mineralogi kaolinitk, bereaksi
asam, dan regime temperatur isohipertermik. Sedangkan menurut sistem FAO
dikategorikan ke dalam Chromic cambisols karena warna yang kemerahannya
atau Dystric Cambisols karena Kejenuhan basa yang rendah. Dan pada sistem
PPT (1983) tanah ini dikategorikan ke dalam Latosol Oksik.
Gambar 8. Tanah Inceptisols; Oxic Dystrudepts (kiri), dan Typic Dystrudepts (kanan)
Tanah Latosol juga dijumpai di daerah Jasinga. Pada daerah ini terdapat
dua jenis tanah Latosol yang sedikit berbeda. Latosol pertama (Gambar 8;
kanan) dijumpai di daerah cekungan dimana kondisi drainase buruk dan sering
terjadi banjir. Dibuktikan dengan adanya warna glei pada lapisan horizon.
Menurut Sistem Taksonomi Tanah dikelompokkan ke dalam subgroup Typic
Dystrudepts dengan Famili kelas besar butir klei, kelas mineralogi kaolinitik,
dan kelas aktifitas KTK subaktif. Padanannya menurut sistem FAO adalah tanah
Gleic Cambisols, dan menurut sistem PPT adalah tanah Kambisol Gleik. Tanah
Latosol berikutnya tak jauh dari lokasi Latosol pertama namun lokasinya berada
di sekitar landskap karst (kapur). Memiliki solum tipis, bereaksi dengan HCl,
kadar Kalsium, Kejenuhan Basa, dan pH cukup tinggi. Maka tanah Latosol ini
11
dikelompokkan ke dalam subgroup Lithic Eutrudepts menurut sistem Taksonomi
Tanah (2009), Eutric Cambisols (FAO, 1988), dan Kambisol Eutrik (PPT, 1983).
Lokasi pengamatan berikutnya mengambil lokasi di daerah Gajrug, Kec.
Cipanas. Pada lokasi ini ditemukan tanah Podsolik Gajrug yang sangat khas atau
dinamakan Typic Hapludults menurut sistem Taksonomi Tanah (2009). Juga
ditemukan tanah Podsolik di daerah Cigudeg, namun ada beberapa perbedaan
yaitu kandungan Al yang tinggi pada tanah Podsolik Cigudeg. Menurut sistem
Taksonomi Tanah dinamakan Typic Kandiudults dengan Famili pada kelas butir
klei, kelas mineralogi kaolinitik, kelas aktifitas KTK subaktif, dan regime
temperatur isohipertermik. Menurut FAO, tanah Podsolik Gajrug dinamakan
Haplic Podzolic, sedangkan tanah Podsolik Cigudeg dinamakan Haplic Alisols.
Gambar 9. Profil Tanah Ultisol; Typic Kandiudult (kiri), dan Typic Hapludult (kanan),
KESIMPULAN
Daerah Bogor memiliki persebaran jenis tanah yang beragam. Kondisi
Geografis menentukan persebaran jenis-jenis tanah di daerah Bogor. Bogor
bagian selatan yang dekat dengan daerah Gunung Salak memiliki jenis tanah
yang bersifat andik, bahan induk berasal dari abu volkan yang bersifat amorf dan
memiliki bobot isi yang ringan. Sebagian besar daerah bogor bagian tengah dan
barat memiliki jenis tanah dari bahan induk tuff volkan. Curah hujan yang tinggi
menyebabkan pencucian dan pelapukkan yang intensif terhadap tanah. Hal ini
yang menyebabkan banyaknya persebaran tanah-tanah masam seperti Latosol
dan Podsolik di bagian barat dan tengah Bogor. Jenis tanah juga ditentukan oleh
keadaan khas suatu landskap setempat, sebagai contoh beberapa daerah di Bogor
yang memiliki bentang alam yang khas seperti daerah Gunung Kapur Ciampea
memiliki sebaran jenis tanah yang memiliki kandungan Kalsium tinggi, pH
tinggi, dan kejenuhan basa tinggi. Hal ini dikarenakan dalam proses
pedogenesisnya dipengaruhi oleh bahan kapur. Selain itu daerah-daerah
pinggiran/sempadan sungai juga memiliki sebaran jenis tanah yang khas. Tanahtanah yang terbentuk berasal dari bahan sedimen berpasir dan masih tergolong
tanah muda karena belum mengalami pelapukkan lanjut.
12
DAFTAR PUSTAKA
FAO. 1998. World Reference Base for Soil Resources. Rome: Food and
Agriculture Organization oh The United Nations. 91 pp.
Foster, J., D.J. Chittleborough, and K. Barovich. 2004. Genesis of Terra Rossa
over Marble and the Influence of a neighbouring texture Contrast Soil at
Delamere, South Australia. 3rD Australian New Zealand Soil Conference, 5
9 Desember 2004. University of Sydney, Australia. [25-10-2011]
Mulyanto, Djoko et al. 2011. Genesis pedon tanah yang berkembanga di atas
batuan karbonat Wonosari Gunung Kidul. Dalam Forum Geografi, Vol. 25,
No. 2, Desember 2011. Hlm. 100 - 115
USDA. 2009. Key to Soil Taxonomy eleventh ed.. United States: National
Resource Conservation Service. 331 pp.
White, W.B. 1988. Geomorphology and Hidrology of Karst Terrains. Oxford
University Press.New York, 406 pp.