Anda di halaman 1dari 15

Drug induced renal failure: update mengenai pengobatan terbaru dan mekanisme unik

terjadinya toksisitas.
ABSTRAK: Obat-obatan mengakibatkan kejadian gagal ginjal melalui beberapa mekanisme
yang berbeda. Gagal ginjal hemodinamis disebabkan oleh efek dari obat-obatan yang
mempengaruhi prostaglandin sehingga menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal. Hal ini
secara langsung akan menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Obat-obatan yang relatif
baru dan berpotensi mempunyai efek seperti ini adalah penghambat selective cyclooxygenase-2.
Terdapat juga beberapa obat-obatan baru yang menyebabkan direct renal tubular toxicity melalui
efek yang unik terhadap sel epithelial pada ginjal. Obat-obat in termasuklah obat-obat agen
antiviral seperti cidofovir, adefovir, tenofovir dan biphosphonate pamidronate. Selain itu,
deposisi dari Kristal pada ginjal juga merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal. Beberapa
jenis obat telah diidentifikasi menjadi penyebab terjadinya nefropati Kristal (crystal
nephropathy), termasuklah obat antiparasit seperti sulfadiazine dan agen antiviral seperti
acyclovir, dan protease inhibitor indinavir. Gagal ginjal dengan bentuk yang jarang ditemukan
itu mempunyai cirri-ciri seperti pembengkakan, vakuolisasi dari tubulus proksimal pada sel yang
terjadi akibat agen hiperosmolar. Agen-agen yang baru-baru ini diketahui menyebabkan osmotik
nephrosis itu termasuklah immunoglobulin intravena dan plasma expander hydroxyethyl
starch.
Agen-agen terapeutik telah lama
dikaitkan dengan kejadian gagal ginjal
iatrogenik. Mekanisme terjadinya suatu
gagal ginjal akibat obat-obatan in berbeda
tergantung mekanisme kerja, metabolism
dan jalur ekskresi obat-obat yang telah
diberikan. Gangguan hemodinamis ginjal
yang menyebabkan azotemia pre renal
merupakan bentuk umum yang sering
menyebabkan terjadinya nefrotoksisitas.
Kerusakan intrarenal terutamanya pada selsel tubular ginjal, mungkin disebabkan oleh
obat-obatan tertentu. Efek nefrotoksik yang
terjadi di struktur glomerular dan sel epitel
tubulus adalah disebabkan oleh gangguan
fungsi normal dari sel (mitokondria,
integritas membran, etc) yang akhirnya akan
menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal
melalui obstruksi intratubular (deposisi
Kristal), dan seterusnya mengakibatkan

pembengkakan sel dan oklusi dari luminal


tubulus (efek osmotik).
Review ini akan memberi fokus
terhadap beberapa penyebab yang unik yang
menyebabkan drug-induced renal failure.
Review ini bukanlah membahas mengenai
dari setiap obat-obatan yang menyebabkan
gagal ginjal, tetapi hanya membahas
beberapa pengobatan yang telah disebutkan
yang menyebabkan kerusakan ginjal melalui
berbagai mekanisme.
Gagal ginjal hemodinamis.
Penghambat selektif COX-2.
Obat dari golongan non-steroidal
anti-inflammatory drugs (NSAIDs) yang
terbaru telah dibuat berdasarkan temuan dari
dua bentuk isoform dari cyclooxygenase
(COX-1 dan COX-2). COX-2 telah
dipercayai mempunyai efek mengurangkan

end organ injury dengan mempertahankan


homeostatis atau fungsi constitutive
enzim COX-1. Efek teraputik terhasil dari
penghambatan pada inducible enzim
COX-2 yang secara primernya memainkan
peran dalam respon inflamatorik. Oleh yang
demikian, target dari penghambat selektif
COX-2
adalah
terhadap
produksi
prostaglandin proinflamatorik oleh enzim
COX-2 tanpa mengganggu fungsi sel yang
normal yang dimediasi oleh enzim COX-1.
Pardigma ini menunjukan bahwa obat ini
mampu mengurangkan gejala nyeri, demam
dan proses inflamasi tanpa mengganggu
efek fungsi homeostatic dari
COX-1.
Penghambat selektif COX-2 celecoxib dan
rofecoxib telah diperkenalkan pada tahun
1999 untuk memberikan efek analgesic dan
efek antiinfalmatorik di samping dapat
mencegah toksisitas pada end organ. Terapi
menggunakan obat- obat dari golongan
initelah memberikan eek terapeutik yang
baik selain dapat mengurangi toksisitas
gastrointestinal.
Prostaglandin
(PG)
merupakan
produk mayor dari metabolism enzim COX.
Prostaglandin
disintesis
dari
asam
arakhidonat yang dikatalisasi dari 2 isomer
yang berbeda yaitu COX-1 dan COX-2
(table 1). Isoenzim ini mempunyai rantai
asam amino dan target efek katalitik yang
hampir sama. Konservasi dari isoenzim pada
lokasi target menyebabkan enzim-enzim ini
menghasilkan prostaglandin yang sama.
COX-1 adalah gen yang mempunyai 22kilobase terletak pada kromosom 9,
sementara COX-2 merupakan enzim dengan
8-kilobase yang tedapat pada kromosom 1.
Isoform COX ini juga dapat dibedakan
melalui pola transkripsi dari gen masing-

masing. Rantai DNA COX-2 mengenal nya


sebagai induciblegene yang mempunyai
beberapa lokasi target yang berhubungkait
terhadap proses transkripsi dengan adanya
komponen sitokin, faktor pertumbuhan atau
hormon. Perbedaan regulasi gen antara
kedua isomer COX ini adalah telah
memberikan dasar molekuler terhadap peran
dari masing-masing isomer yaitu sebagai
enzim
constitutive
(COX-1)
dan
inducible (COX-2). Namun, isoform
COX-2 dikatakan turut diekspresikan dan di
up-regulasi di ginjal sehingga dapat
disimpulkan bahwa is turut memainkan
peran yang penting terhadap fungsi
homeostatik. Hal ini telah menjadi
pertimbangan oleh berbagai pihak karena
dipercayai dengan menghambat COX-2
akan menyebabkan resiko gangguan fungsi
ginjal, sama halnya seperti pada penggunaan
obat-obat NSAIDs tradisional.
Peran mayor dari prostaglandin yang
dihasilkan melalui enzim COX ini adalah
untuk mempertahankan fungsi ginjal saat ia
mengalami
kondisi
patologis
yang
menginterupsi proses fisiologis pada ginjal.
Deficit
volume
intravaskuler
yang
disebabkan oleh diare, muntah-muntah dan
akibat terapi diuretik akan merangsang
sintesis PG yang berfungsi untuk
mengoptimalisasi aliran darah ke ginjal.
Selain itu, kondisi seperti penurunan aliran
darah efektif ke ginjal pada penyakit jantung
kongestif, cirrhosis dan sindroma nefrotik
juga akan menghasilkan efek kompensatori
dari melalui penghasilan PG.
PGI2 dan PGE2 mempunyai efek
antagonis terhadap efek local dari
vasokonstriktor seperti angiotensin II (AII),

endothelin, vasopressin, katekolamin yang


normalnya
membantu
untuk
mempertahankan aliran darah sistemik
khususnya ke ginjal. Produksi prostaglandin
juga meningkat pada penyakit ginjal kronis
(CKD). Up regulasi dari prostaglandin
pada CKD dicetuskan melalui aktivasi
mekanisme
intrarenal
untuk
mempertahankan perfusi pada sisa nefron
yang masih sehat. Gangguan pada produksi
prostaglandin
dalam konteks ini
dihubungkan dengan penurunan aliran darah
ke ginjal (renal blood flow RBF) dan laju
filtrasi glomerulus (GFR). Prostaglandin
yang dihasilkan di ginjal juga memainkan
peran
penting
dalam
memodulasi
homeostasis garam dan air pada tubuh
manusia. Sebagai respon terhadap volume
overload dan salt loading, inhibisi dari PG
terhadap
reabsorpsi
NaCL
akan
meningkatkan ekskresi garam. Efek
antagonis terhadap vasopressin oleh
autocoids ini juga memfasilitasi terhadap
eksresi cairan(air) dari tubuh. Regulasi
terhadap aliran darah pada daerah medulari
oleh PGE2 juga turut membolehkan
modifikasi ginjal terhadap eksresi larutan
dan
cairan
oleh
ginjal.
Secara
kesimpulannya, efek modulasi yang
dibawakan oleh prostaglandin ini akan
membantu dalam regulasi status volume
intravaskuler dan osmolalitas plasma.
Meskipun inhibisi COX oleh
NSAIDs
akan menghasilkan efek
terapeutik, namun dikatakan hambatan dari
enzim ini juga akan menyebabkan disfungsi
ginjal. Hal ini akan menghasilkan gejala
yang disebut sebagai syndromes of NSAIDsassociated nephrotoxicity (Tabel 2). ARF
dan gangguan keseimbangan cairan serta

elektrolit adalah efek mayor yang akut yang


terjadi ke atas ginjal akibat penggunaan obat
dari golongan ini.
Meskipun
data
sebelumnya
menyatakan bahwa pembentukan inducible
COX-2 hanya terbatas pada jaringan
inflamatorik,
namun
data
terkini
menyatakan bahwa beberapa model binatang
telah diidentifikasi mempunyai isoform
COX-2 pada ginjal yang sehat. COX-2
mRNA dan protein ekspresi pada ginjal dari
golongan mammalian adalah yang terbanyak
didapatkan disbanding dengan jaringan yang
lain. Protein COX-2 telah diisolasi dari sel
thick ascending limbs pada daerah medularis
ginjal dan dihasilkan akibat rangsangan dari
AII pada kultur sel otot polos pembuluh
darah tikus. COX-2 juga ditemukan pada
macula densa pada juxtaglomerulus
apparatus, sel-sel di sekitar thick cortical
ascending limb, dan pada sel-sel interstisial
medulla pada hujung papilla dan di luar
medulla pada tikus percobaan. Peningkatan
ekspresi ginjal terhadap COX-2 dicetuskan
oleh pelbagai maneuvers fisiologis (table 3).
Restriksi garam yang kronis juga akan
meningkatkan ekspresi dari COX-2 pada
korteks renalis dan jumlah sel yang
memproduksi COX-2 pada macula densa
dan sekitar thick ascending limb.
Peningkatan COX-2 pada macula densa di
korteks juga telah diobservasi setelah
pemberian angiotensin converting anzyme
(ACE) inhibitors atau angiotensin receptor
type-1 antagonist. Pada tikus yang dibatasi
dengan garam, renin yang dihasilkan pada
sel macula densa adalah disebabkan
rangsangan
dari prostaglandin yang
dihasilkan oleh COX-2. Dengan hal yang
sama, hambatan produksi renin juga adalah

disebabkan oleh hambatan spesifik terhadap


COX-2. Salt loading menyebabkan ekspresi
dari COX-2 pada daerah medulla pada tikus
percobaan. Hal telah membuktikan peran
dari isoform ini dalam natriuresis. Saat
kekurangan cairan, ekspresi dari COX-2 ini
membantu dalam mempertahankan sel-sel
pada medulla dari stress hipertonik pada
kondisi dehidrasi.up-regulasi dari COX-2
yang diobservasi pada model tikus dengan
gagal jantung kronis telah membuktikan
bahwa produksi prostaglandin hasil dari
isoform ini telah mambantu dalam
mempertahankan sirkulasi pada medulla
dan natriuresis saat terjadnya penurunan
perfusi ginjal pada kondisi CHF.
Peran dari isoform COX-2 dan
hambatan COX-2 secara selektif dan
meregulasi RBF dan GFR, eksresi garam
dan air,serta sekresi renin dan
telah
dibuktikan melalui studi binatang seperti
yang disebutkan di bawah ini. Pada suatu
studi menggunakan anjing yang dibatasi
konsumsi garam dan sebelumnya diberikan
norepinefrine, terlihat adanya penurunan
RBF dan GFR setelah pemberian
penghambat COX-2 selektif dibandingkan
dengan anjing yang tidak mendapat
nimesulide. Pada tikus yang diterapi diuretik
furosmide atau hidroklorotiazid dan
diberikan rofecoxib ternyata attenuated
proses diuresis dan natriuresis yang
dihubungkan dengan obat dibandingkan
dengan tikus yang hanya mendapat vehicle.
Celecoxib
juga
dikaitkan
dengan
peningkatan tekanan darah sistemik dan
menimbulkan retensi cairan pada tikus yang
normotensif dan mengeksaserbasi hipertensi
melalui inhibisi jangka waktu yang lama
pada nitric oxide. Sebagai keseluruhannya,

COX-2 memainkan peran yang penting


dalam mempertahankan fisiologi kardiorenal
pada hewan.
Ekspresi
COX-2
yang
telah
ditemukan pada jaringan ginjal dewasa
melalui
specimen
nefrektomi
telah
membuktikan peran isoform ini pada
fisiologi renal pada manusia. Enzim COX-2
ini telah diotemukan pada podosit
glomerular dan sel endothelial pada arteri
dan vena pada specimen nefrektomi
tersebut. Ekspresi dari COX-2
telah
dibuktikan
melalui
tehnik
immunolocalization pada macula densa pada
ginjal manusia melalui specimen otopsi
yang dilakukan pada 10 orang penderita
lansia. Immunoreaktivitas COX-2 juga
ditemukan pada arteriole aferen dan sel-sel
interstisial medulla serta pada thick loops of
Henle dengan staining yang terbatas.
Jaringan ginjal pada penderita dengan
sindroma Bartter-like dan CHF juga turut
turut terbukti mengekspressikan protein
COX-2 pada macula densa. Sementara pada
pada penderita yang tidak mengalami
gangguan fungsi ginjal dan kardiovaskuler
tidak mengekspresikan protein COX-2 pada
macula densa, sebaliknya mengekspresikan
protein ini pada sel-sel medular interstitial.
Evaluasi penghambat selektif COX-2
terhadap fungsi ginjal pada subjek manusia
telah memperjelaskan peran dari COX-2
isoform pada ginjal manusia dan telah
memberikan pemahaman terhadap efek obat
ini terhadap GFR. Penghambat selektif
COX-2 selektif dan penghambat non selektif
COX telah diteliti pada 40 orang laki-laki
sukarelawan yang sehat( GFR> 100mL/min)
dan yang dibatasi konsumsi garamnya untuk

menginduksi prostaglandin. Responden


dipilih secara rawak dan diberikan 200 mg
celecoxib dua kali perhari, 400 mg celecoxib
dua kali sehari, dan 500 mg naproxifen dua
kali per hari atau placebo selama 7 hari.
Setelah sehari konsumsi obat-obatan yang
diberikan
subyek
yang
mnegalami
penurunan RBF dab GFR yang bersifat
sementara tetapi secara klinis signifikan
adalah pada golongan yang diberikan obat
400 mg celecoxib. Penurunan RBF dan
GFR terjadi pada golongan subyek dengan
pengobatan celecoxib dan naproxifen pada
hari ketujuh. Studi berikutnya dilakukan
pada golongan subyek yang sedikit beresiko
tinggi terhadap gangguan fungsi ginjal.
Studi terhadap efek terhadap ginjal dengan
dosis multiple obat rofecoxib dan
indomethacin telah dilakukan pada subjek
lansia yang dibatasi konsumsi garamnya.
Enam puluh pasien yang mempunyai kadar
kreatinin 30-80 mL/min secara rawak dipilih
dan
dikelompokkan
menjadi
empat
kelompok yang masing-masing mendapat
12.5 mg rofecoxib per hari, 25 mg rofecoxib
per hari, 50 mg indomethacin tiga kali
sehari atau placebo selama 6 hari. Dosis
12.5- dan 25 mg rofecoxib telah
menurunkan GFR masing-masing kepada
10.2 dan 9.6 mL/min, sementara pada
golongan
yang
menerima
dosis
inodmethacin 50 mg, telah terjadi penurunan
sebanyak
7.8
mL/min.
Data
ini
menunjukkan bahwa pada subyek dengan
kekurangan garam dan penderita dengan
CKD derajat ringan hingga sedang akan
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami penurunan
GFR dengan
pengobatan penghambat selektif COX-2 .

Beberapa literatur juga telah


mengemukakan efek nefrotoksik yang
signifikan dari penghambat selektif COX-2.
Celecoxib dan rofecoxib dinyatakan
menyebabkan ARF dan hiperkalemia pada 3
penderita. Penderita pada studi tersebut
mempunyai risiko multiple terhadap druginduced
nephrotoxicity,
termasuklah
penyakit ginjal kronis dan deficit volume
efektif. Deteriorasi akut dari fungsi ginjal ini
kembali
kepada
baseline
setelah
diskontinuitas dari penghambat selektif
COX-2 dan terapi pada gangguan volume
intravaskuler yang turut sama memperparah
fungsi
ginjal.
Satu
pasien
harus
dihemodialisa akibat hiperkalemia berat.
Setelah dibuat rangkuman, studi ini menarik
kesimpulan bahwa ARF, hiperkalemia dan
retensi sodium terjadi pada penderita risiko
tinggi dengan terapi penghambat selektif
COX-2.
Bukti bahwa ekspresi enzim COX-2
pada terdapat pada ginjal hewan dan
manusia bersama dengan data klinis kdari
studi yang dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa isoform COX-2 sangat penting dalam
mempertahankan fungsi ginjal khusunya
pada penderita pada kondisi prostaglandin
dependent state. Penghambat selective
COX-2 ternyata tidak memberikan efek
pemeliharaan terhadap fungsi ginjal dan
harus dipertimbangkan mempunyai efek
nefrotoksik
sama
seperti
NSAIDs
tradisional. Obat-obat ini haruslah diberikan
secara hati-hati pada penderita dengan risiko
gangguan fungsi ginjal terhadap obat-obat
NSAIDs yang nefrotoksik.

ACE inhibitor/angiotensin
blocker.

II

receptor

Gagal ginjal hemodinamis juga dapat


disebabkan oleh terapi yang meregulasi
system renin-angiotensin. Seperti NSAIDs,
obat ini akan menyebabkan sindroma yang
hampir sama denga azotemia prerenal yang
disebabkan oleh kausa yang lain. Oleh
karena literatur yang ada membahas terlalu
banyak mengenai efek obat yang meregulasi
system renin-angiotensin, maka pada review
ini akan hanya membahas secara singkat
mengenai mekanisme dan faktor resiko
kejadian ARF pada obat-obat ini.
Aktivasi dari reseptor angiotensin
tipe-1 terhadap arteriole aferen oleh AII
akan
meningkatkan
tekanan
kapiler
intragolemrular dan akan meningkatkan
GFR, khususnya pada kondisi di mana aliran
darah ke ginjal terganggu. AII juga akan
menyebabkan kontsriksi dari
system
arteriole sistemik , yang seterusnya
meningkatkan tekanan darah dan perfusi ke
ginjal. Pada kondisi di mana tidak terdapat
penyakit renal yang menggnaggu perfusi
pada
ginjal,
hambatan
terhadap
pembentukkan AII dan hambatan terhadap
reseptor angiotensin tipe 1 akan memberikan
efek relatif sedikit terhadap fungsi ginjal.
Keadaan klinis yang turut memperburuk
kondisi pada penderita dengan gangguan
fungsi ginjal misalnya stenosis arteri yang
kronis, kontraksi volume (muntah, diare dan
terapi diuretik) defisit volume efektif
(sirhosis, gagal jantung dekompensata dan
nefrosis) dan nefrosklerosis berat dikatakan
meningkatkan resiko dari ACE inhibitor dan
AII receptor blokers. Penurunan tekanan
darah sistemik dan tekanan kapiler

transglomuler secara bersamaan (tidak


terjadinya vasokonstriksi dari arteriole
aferens) akan menyebabkan penurunan GFR
dan seterusnya mengakibatkan gagal ginjal.
Efek dari kedua obat ini ternyata hampir
sama menyebabkan penurunan tonus
arteriole melalui penurunan sintesis atau
efek AII.
Toksisitas sel epithelial tubulus.
Sama halnya seperti gagal ginjal
hemodinamis, kerusakan langsung terhadap
epitel tubulus umumnya berlaku setelah
pemberian obat-obat tertentu. Bentuk dari
gagal ginjal pada tipe ini dikenal sebagai
nekrosis tubulus akut. Golongan obat-obatan
terbaru
yang
mempunyai
efek
menyembuhkan penyakit infeksi virus juga
dinyatakan mempunyai efek nefrotoksik.
Obat yang dikatakan mempunyai efek
nefrotoksik yang relatif tinggi adalah obatobat
golongan
cyclic
nucleoside
phosphonates cidofovir dan adefovir. Agen
yang mempunyai strukturr yang sama
seperti tenofovir disoproxil fumurate juga
turut memberikan efek ARF dan disfungsi
tubulus. Selain itu, obat yang digunakan
untuk menurunkan hiperkalemia dan
memodulasi penyakit tulang pada kasus
metastasis kanker pada tulang seperti
pamidronate juga turut memberikan efek
toksik terhadap sel epithelial ginjal dan
gagal ginjal. Efek ginjal dari setiap obatobat iniakan dijelaskan secara ringkas dalam
review ini.
Cidofovir, adefovir,dan tenofovir DF.
Obat-obat dari golongan ini akan
menyebabkan kerusakan tubulus proksimal
secara langsung. Spektrum kerusakan yang

disebabkan oleh golongan obat-obatan mulai


dari fanconi-like syndrome (defek pada
tubulus proksimal) hingga nekrosis tubular
akut berat memerlukan terapi pengganti
ginjal. Efek nefrotoksik dari obat-obatan ini
dipercayai akibat dari persamaan dari
structural dari kedua jenis obat ini.
Cidofovir adalah analog nucleotide yang
membentuk
cidofovir-phosphocholine.
Komponen ini juga merupakan analog dari
cytidine 5-diphosphocholine yang terdapat
di dalam sel. Ia dikatakan mengganggu
sintesis normal dan degradasi dari membran
fosfolipid
sehingga
mengakibatkan
kerusakan tubulus proksimal. Adefovir
adalah analog nucleotide pada adenine yang
mengalami mono- dan difosforilasi di dalam
sel. Setelah fosforilasi berlaku, analog ini
akan menyebabkan gangguan berbagai
proses yang berlaku di dalam sel khususnya
pada proses yang memerlukan ATP.
Toksisitas dari obat ini juga menyebabkan
gangguan transpor adenine nucleotide ke
dalam mitokondria dan apparatus golgi.
Sitotoksisitas dari obat-obatan ini
terhadap epitel tubular proksimal adalah
karena ia mempunyai fungsi ekskresi. Sel
epitel tubular proksimal mengekspresikan
berbagai organic anion transporter yang
mengangkut analog nucleotide termasuklah
cidofovir dan adefovir. Transporter ini
terdapat pada bagian lateral dari membran
sel pada tubulus proksimal dan juga turut
memfasilitasi kemasukan zat-zat dari obat
ini ke dalam sel. Apabila zat-zat obat telah
berakumulasi pada sel peritubular, berbagai
proses yang berlaku di dalam sel akan
terganggu dan kemudian setelah itu zat ini
akan disekresi melalui karier yang terdapat
pada bagian apical membran ke lumen

tubular. Jalur eliminasi obat-obatan dari


ginjal inilah yang akan membawa kepada
kerusakan
dari
tubulus
proksimal.
Kerusakan dari ginjal dapat dicegah melalui
guideline yang disebutkan di bawah ini.
Untuk menurunkan efek ARF, sebelum
pemberian
obat-obat
dengan
resiko
nefrotoksik, maka haruslah ditentukan dosis
obat yang sesuai setara dengan derajat
fungsi ginjal. Pemberian cairan ekspansi
volume intravaskuler dan cairan intravena
sangat dianjurkan sebelum memulai
pengoabatan. Selain itu, obat-obatan
nefrotoksik haruslah di hindari pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal
yang signifikan. Selain itu pemberian obat
probenecid dikatakan mampu mengurangi
efek ekskresi tubulus proksimal terhadap
obat analog ini seterusnya mengurangi efek
nefrotoksisitas.
Tenofovir DF adalah nucleotide
analog yang tergolong dalam kelompok
acyclic nucleoside phosphonates. Agen
antiviral terbaru ini adalah reverse
transcriptor inhibitor yang telah disahkan
mampu mengobati infeksi HIV. Beberapa
studi telah dilakukan mengenai keamanan
dalam mengkonsumsi obat ini sebanyak
sekali sehari. Namun, apa yang ditakutkan
adalah efek samping dari obat tersebut
terhadap ginjal. Sturktur dari agen ini
menyerupai agen seperti cidofovir dan
adefovir yang juga tergolong dalam
kelompok nucleotide alami. Hal inilah yang
menjadi faktor yang menyebabkan tenofovir
juga berpotensi merusak fungsi ginjal
dengan mekanisme yang sama terjadi pada
adefovir dan cidofovir. Oleh karena
tenofovir merupakan anion organic, maka ia
juga turut di transport melalui uptake yang

aktif oleh organic anion transporter pada


sel di tubulus proksimal. Suatu studi
farmakokinetik juga membuktikan bahwa
obat ini secara aktifnya disekresikan dari
tubulus ginjal dengan jumlah yang melebihi
nilai creatinine clearance. Studi yang
dilakukan hingga pada saat ini menyatakan
bahwa tenofovir tidak menyebabkan
nefrotoksisitas berat. Dari 18 penderita yang
menerima pengobatan tenefovir, hanya 1
sahaja yang mnegalami peningkatan
creatinine clearance stelah 35 hari
pengobatan.
Sementara
studi
juga
menunjukkan bahwa tidak ada penderita
yang menerima pengobatan tenefovir
dengan dosis rendah yang mengalami
penurunan fungsi ginjal. Data-data yang
diperoleh dari berbagai penelitian terbaru
menunjukkan bahwa obat tenofovir DF ini
mempunyai efek nefrotoksik yang minimal.
Pada penelitian Coca dan Perazella
menyatakan
pasien
pertama
yang
mempunyai penyakit CKD dan menerima
pengobatan tenofovir dengan dosis 300 mg
per hari dikatakan mengalami ARF setelah 6
hari pengobatan. Biopsi menunjukkan
adanya proses nekrosis yang hanya terbatas
pada sel tubulus proksimal. Fungsi renal
kembali ke nilai basal setelah terapi
tenofovir ini dihentikan. Data penelitia
selanjutnya menyatakan bahwa penderita
mengalami ARF setelah 4 bulan terapi
tenofovir dengan dosis yang sama dan
membaik setelah dihentikan pengobatan.
Pada studi tersebut biopsi menunjukkan
adanya nekrosis ekstensif dan vakuolisasi
pada sel tubulus proksimal. Dua data ini
menyimpulkan bahwa pengobatan tenofovir
DF dengan dosis yang direkomendasikan
yaitu sebnyak 300 mg akan menimbulkan

ARF. Pasien dengan CKD harus dihindari


pemberian obat seperti ini dan sekiranya
harus diberikan, monitoring yang ketat
haruslah dilakukan untuk memantau efek
samping dari obat ini.
Pamidronate. Merupakan obat yang saat
ini
digunakan
untuk
mengobati
hiperkalsemia akibat dari malignancy dan
lesi osteolitik. Baru-baru ini agen
bifosfonate ini telah dinyatakan memberi
efek nefrotoksik pada penderita dengan
multiple myeloma, penyakit metastatic
kanker
payudara,
dan
Langerhan
histiocytosis.
Nefrotoksisitas yang bersifat dose
dependent telah dideskripsikan pada
penelitian menggunakan seekor tikus yang
diinfus dengan pramidonate dosis tinggi (550 mg/kg). Pemberian dengan dosis tinggi
telah dikaitkan dengan peningkatan malate
dehidrogenase, marker yang menjadi
petanda kepada nefrotoksisitas. 6 pasien
dengan multiple myeloma, 1 pasien dengan
metastatic kanker payudara, dan 1 pasien
dengan Langerhans histiositosis mengalami
gagal ginjal setelah menerima terapi dengan
obat pramidonate dosis tinggi dan atau
durasi penggunaan yang lama. ARF juga
telah dilaporkan terjadi pada penderita yang
menerima dosis pada rentang 90-360 mg
pramidonate per bulan. Dalam studi ini turut
menyatakan beberapa penderita memerlukan
dialysis setelah konsumsi obat pramidonate
selama
penelitian.
Biopsi
ginjal
menunjukkan adanya kerusakan glomerulus
dan
tubulus,
meskipun
kerusakan
glomerulus
lebih
mendominasi.pada
pemeriksaan
mikroskopis
dinyatakan
kerusakan banyak terjadi pada bagian

tubulus dengan penampakkan atrofi tubulus,


luminal ektasia, dan hilangnya bush border,
vakuolisasi sitoplasmik dan fibrosis derajat
ringan hingga sedang.

terdeposisi pada daerah distal tubulus lumen.


Obat-obat yang dinyatakan pada table 4
merupakan obat-obatan yang mempunyai
potensi menyebabkan nefropati Kristal.

Literatur yang membahas mengenai


efek nefrotoksisitas pamidronate juga relatif
sedikit, maka dengan itu disimpulkan secara
umumnya
pamidronate
aman
untuk
digunakan. Mekanisme terjadinya toksisitas
terhadap sel epitel ginjal adalah disebabkan
oleh hambatan terhadap jalur metabolik
ATP-dependent melalui penggabungan zat
obat ini terhadap analog ATP. Efek ini akan
menyebabkan kehilangan energy sel yang
selanjutnya akan menyebabkan apoptosis
dan kematian sel. Pamidronate juga
dikatakan mampu meningkatkan produksi
berbagai jenis sitokin dan interferon-Y, yang
selanjutnya akan mengakibatkan efek
nefrotoksik local pada sel epithelial.
Bifosfonate ini juga dikatakan merusak sel
epitel glomerular melalui sitoskeleton yang
terdapat di dalam sel. Ini akan mengganggu
kawalan siklus sel dan menyebabkan
dediferensiasi dari podosit dan kejadian
proteinuria seperti yang didapatkan pada
nefropati HIV. Oleh yang demikian
pemberian obat dari golongan ini haruslah
disertai dengan monitoring yang sering. Jika
ternyata
pengobatan
dengan
obat
pamidronate ini menyebabkan gangguan
fungsi ginjal, maka pemberian haruslah
dihentikan.

Faktor penyebab yang meningkatkan


resiko kejadian nefropati Kristal ini adalah
pada kasus kontraksi volume efektif.
Penderita yang menderita diare kronis,
anoreksia dengan nausea dan muntahmuntah, demam, insufisiensi adrenal dan
renal salt wasting
umumnya menjadi
penyebab
terjadinya
deficit
volume
intravaskuler yang efektif. Kondisi-kondisi
kekurangan cairan seperti ini menyebabkan
aliran urin menjadi lebih lambat dan
meningkatkan resiko terjadinya deposisi
pada bagian tubulus ginjal. Faktor lain yang
meningkatkan resiko terjadinya deposisi
Kristal adalah penyakit atau kelainan ginjal
yang sudah dialami sekian lama. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh eksposur dari
sisa nefron yang masih berfungsi terhadap
agen crystal foaming. Selain itu, kondisi lain
yang juga mempresipitasi terhadap kejadian
nefropati Kristal ini adalah pada kondisi
metabolic asidosis dan alkalosis. Hal yang
mempengaruhi pembentukan Kristal di urin
adalah disebabkan pH yang rendah. pH yang
rendah ini akan mempengaruhi keterlarutan
dari obat-obatan yang dikonsumsi misalnya
obat sulfadiazine yang merupakan asam
yang lemah akan berpresipitasi pada urin
yang mempunyai keasaman yang tinggi,
sementara indinavir akan berpresipitasi pada
urine yang lebih alkalis.

Nefropati Kristal.
Deposisi Kristal pada ginjal akan
menyebabkan kerusakan ginjal. Kristal yang
dimaksud menyebabkan kerusakan ginjal
mempunyai ciri-ciri keterlarutan yang lemah
pada urin manusia dan cenderung

Sulfadiazine. Dosis sulfadiazine yang tinggi


dibutuhkan
untuk
mengobati
toksoplasmosis. Agen ini merupakan salah
satu
obat
yang
pertama
terbukti

menyebabkan nefropati Kristal. Oleh karena


obat ini merupakan asam yang lemah, maka
solubilitas obat ini di dalam urin adalah
sangat rendah sehingga mudah membentuk
Kristal dan terdeposisi pada lumen tubulus
terutamanya saat pH urin berada pada sekita
5.5. Deposisi ini akan mengobstruksi lumen
tubulus dan menyebabkan nefropati.
Pemberian obat pada dosis 4-6 g/hari
dikatakan
meningkatkan
resiko
kecenderungan obat ini untuk membentuk
Kristal yang merusak ginjal. Umumnya
penderita akan mengalami gejala nyeri flank
pada belakang punggung atau perasaan tidak
nyaman pada daerah abdomen. Pemeriksaan
sedimen urin pada penderita dengan
kelainan nefropati didapatkan adanya sel
darah merah yang bercampur dengan Kristal
sulfadiazine. Kristaluria juga ditemukan
pada lebih 49% penderita dengan terinfeksi
dengan HIV.
Pencegahan dari nefrotoksisitas
dapat dicapai dengan penanganan segera
hipovolemia dengan cairan isotonis dan
induksi diuresis sekitar 100-150 mL/jam.
Loop diuretik akan membantu meningkatkan
kadar aliran urin dengan target untuk
mencapai
euvolemia
dengan
menyeimbangkan antara intake cairan dan
urin output. Selain itu solubilitas obat ini
dapat ditingkatkan dengan pemberian
sodium bicarbonate. Dosis juga haruslah
diatur sesuai dengan perhitungan GFR.
Monitor terhadap pembentukan Kristal urin
setiap hari akan membantu dalam
pengaturan dosis sulfadiazine
dan
membolehkan pH dan kadar aliran urin
(flow rates) dapat di kawal atur. Pada pasien
yang mengalami ARF akibat deposisi Kristal
pada ginjal, penanganan yang harus

dilakukan adalah dengan pemberian


resusitasi cairan dan induksi diuresis secara
agresif untuk membersihkan Kristal yang
mengobstruksi pada lumen tubulus. Terapi
alkali dapat diberikan saat flow rate urin
dalam kondisi yang baik. Pada situasi
tertentu
pengobatan
menggunakan
sulfadiazine juga harus dihentikan saat
terjadinya nefropati Kristal. Namun pada
flow rate urin yang baik, pemberian
sulfadiazine masih dipertimbangkan aman.
Kateterisasi uretera atau pemasangan selang
nefrostomi yang disertai dengan lavage
dengan 5% cairan bikarbonat akan
membantu
melarutkan
batu
yang
mengobstruksi pelvis renalis dan calyces.
Pada kondisi tertentu, dialysis juga dapat
membantu membersihkan sulfadiazine dari
sirkulasi.
Acyclovir.
Terapi
acyclovir
secara
intravenous dibutuhkan pada pasien
immunodefisiensi yang mengalami infeksi
varicella zoster atau herpes simpleks.
Eksresi dari obat ini pada ginjal adalah
melalui proses filtrasi glomerular dan
sekresi tubulus. Obat ini relatif kurang
solubel dalam urin. Pemberian intravena
secara rapid (500mg/m2) akan meningkatkan
resiko terjadinya kristalisasi. Pada dosis
yang relatif rendah, pemberian acyclovir
dipertimbangkan aman kecuali pada kasus di
mana terjadinya kondisi hipovolemia dan
konsumsi obat ini secara oral yang
berlebihan. Suatu studi terhadap hewan
menyatakan bahwa setelah 30 menit injeksi
50 mg intraperitoneal ternyata menyebabkan
terjadinya deposisi Kristal pada collecting
duct.

Insufisiensi
renal umumnya
asimtomatik, namun penderita kemungkinan
akan mengalami gejala mual/muntah dan
flank atau nyeri abdomen yang biasanya
disertai dengan gagal ginjal. Nefropati
Kristal ini umumnya terjadi dalam waktu 24
hingga 48 jam setelah pemberian acyclovir.
Urinalisis yang dilakukan menunjukkan
adanya hematuria dan pyuria, sementara
bentuk Kristal dari acyclovir ini terlihat
berbentuk seperti jarum di bawah polarizing
microscope.
Pencegahan terjadinya deposisi
Kristal pada pemberian acyclovir ini dapat
dicegah dengan pemberian bolus secara
perlahan lahan. Penggantian cairan pada
kasus deficit cairan dan memperbaiki flow
rate urin sebelum memberikan acyclovir
adalah sangat perlu untuk mencegah
kristalisasi. Meskipun terapi dengan diuretik
sangat bermanfaat dalam memperbaiki flow
rate urin, namun pemberian tetap harus
dengan hati-hati karena dapat menyebabkan
deficit volume. Dosis pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi ginjal juga
haruslah dikurangi. Penanganan pada kasus
gagal ginjal dengan obstruksi dari deposisi
Kristal adalah dengan pemberian diuretik
untuk memperbaiki flow rate. Pada kasus
gagal ginjal berat, hemodialisis dibutuhkan
untuk
mengeliminasi
acyclovir
dari
sirkulasi.
Indinavir.
Obat ini merupakan obat
golongan protease inhibitor yang digunakan
untuk mengobati infeksi HIV. Obat ini telah
dinyatakan mampu menyebabkan nefropati
Kristal,
isolated
crystalluria
dan
nefrolitoasis. Sekitar 20% dari obat ini akan
diekskresikan melalui ginjal. Indinavir

sangat solubel pada pH 3.5 (100mg/mL)


namun relative kkurang solubel pada pH
urin yang lebih besar. Presipitasi dari obat
ini juga dinyatakan sama seperti obat-obat
yang turut menyebabkan terjadinya nefropati
Kristal yaitu di lumen tubulus. Hal ini
menyebabkan obstruksi yang nantinya akan
berakhir dengan gagal ginjal akut atau
kronik. Selain itu, mekanisme lain yang
menyebabkan gangguan fungsi ginjal dari
obat ini adalah dengan terjadinya fibrosis
interstisial dna pembentukan kalkuli yang
mengakibatkan obstruksi.
Gejala yang sering ditemukan pada
penderita yang mendapat terapi indinavir ini
adalah seperti kolik renalis, disuria, nyeri
punggung/
flank
atau
hematuria
makroskopik.
Pada
penderita
yang
asimptomatis, temuan yang didapatkan yang
menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal
adalah peningkatan secara abnormal serum
(ureum dan kreatinin) atau urin (sel darah
merah dan putih serta Kristal). Bentuk yang
terlihat dari Kristal yang dilihat di bawah
polarizing microscope mempunyai banyak
variasi. Ada yang berbentuk platelike
rectangles, fan shaped dan starburst. Batu
dari indinavir ini dapat disingkirkan secara
spontan maupun dengan menggunakan
prosedur urologic untuk menghilangkan
nyeri dan obstruksi urin. Rata-rata kasus
gangguan fungsi ginjal yang disebabkan
oleh indinavir adalah kasus ringan dan
reversible; namun beberapa kasus gagal
ginjal yang berat akibat obstruksi kalkuli
dari indinavir juga turut dilaporkan.
Terapi indinavir juga haruslah
diberikan bersama dengan 2 hingga 3 liter
cairan supaya dapat mempertahankan flow

rate urin yang optimal dan untuk mencegah


deposisi Kristal pada ginjal. Pasien dengan
gangguan fungsi hati juga harus dikurangi
dosis pemberian obat oleh karena obat ini
juga turut dimetabolisme di hati. Penurunan
pH urin dapat meningkatkan solubilitas dari
indinavir, namun sangat sulit untuk
dilakukan dan sangat berbahaya. Oleh
karena itu, terapi dengan metode ini tidak
dianjurkan. Diskontunuitas dari pengobatan
ini dapat mengurangkan nefrotoksisitas,
pada kasus fibrosis interstitial pada CKD
biasanya kejadian nefrotoksisitas lambat
terdeteksi. Ekspansi volume membolehkan
pemberian indinavir secara aman pada
sekitar 75% kasus.
Nefrosis osmotik.
Mekanisme
yang
terlibat
menyebabkan kerusakan tubulus ginjal dari
agen hiperosmolar ini adalah terjadinya
pembengkakan
dan
vakuolisasi
(menyebabkan intergritas sel terganggu)
serta
oklusi
lumen
akibat
dari
pembengkakan sel tubular. Pada tahun 1940,
hal ini terbukti apabila terdapat pasien yang
meninggal akibat gagal ginjal yang
disebabkn terjadinya pembengkakan yang
sangat berat pada sel tubulus proksimal
setelah diberikan sukrosa secara intravena.
Lesi patologis pada tubulus ginjal ini juga
dapat ditimbulkan oleh beberapa agen
makromolekul yang lain misalnya mannitol,
dextran, dan radiokontras. Mekanisme
patologis ini diduga terjadi akibat uptake zat
nonmetabolizable secara pinositosis ke
dalam sel tubulus proksimal disertai
pennumpukkan cairan akibat tekanan
onkotik yang tercipta melewati membran
sel. Penelitian terbaru juga mengatakan

bahwa immunoglobulin intravena (IVIG)


dan hydroxyethyl starch juga turut
menyebabkan nefrosis osmotik.
IVIG. Agen ini awalnya digunakan sebagai
profilaksis pada penyakit infeksi khusus
pada kasus imunodefisiensi immunoglobulin
dan pada kasus-kasus inuodefisiensi yang
lain. Kasus ARf yang dikaitkan dengan agen
ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1987.
Hasil observasi menunjukkan bahwa
kejadian ARF dengan pemberian infuse
IVIG ini banyak terjadi pada penderita
lansia dan pada pasien-pasien yang telah
mengalami
gangguan
fungsi
ginjal
sebelumnya. Dosis per hari dari IVIG ini
ternyata tidak memberikan pengaruh yang
besar terhadap kejadian ARF; namun pada
beberapa penderita, dilaporkan dosis yang
lebih rendah dan interval dosis yang lebih
lama setelah pemebrian ulang IVIG setelah
mengalami penyembuhan dari gagal ginjal
ternyata membawa hasil yang lebih
menguntungkan.
ARF dikatakan terjadi setelah 3 hari
pemberian
IVIG. Kasus gagal ginjal
oligouric
lebih
sering
didapatkan
dibandingkan kasus gagal ginjal nonoligouric. Durasi pada inusfisiensi renalis
berlangsusng selama 2 minggu (3-42 hari)
dan terapi pengganti ginjal diperlukan pada
sepertiga dari pasien-pasien dalam suatu
penelitian yang dilakukan. Pada 84% kasus,
ARF biasanya reversible dan fuungsi ginjal
terlihat mulai kembali ke nilai normal
setelah terapi IVIG dihentikan.
Beberapa
jenis
preparasi
immunoglobulin
dipercayai
menjadi
penyebab kepada terjadinya gagal ginjal

karena bahan tersebut mengandugi agen


penstabil (sukrosa) yang dicurigai turut
memainkan peranan
dalam menjadi
penyebab insufisiensi ginjal.
Biopsi yang dilakukan pada 10
pasien dengan ARF yang terkait dengan
penggunaan IVIG memperlihatkan lesi
histopatologik yang unik. Lesi yang
dimaksudkan adalah adanya pembengkakan
seluler
yang
signifikan,
vakuolisasi
sitoplasmik, dan degenerasi pada epitel
tubular proksimal. Selain itu, lumen tubulus
juga mengalami penyempitan dan pada
sebagian kasus mengalami oklusi total
akibat pebengkakan sel. Glomerulus
umumnya dipertahankan, meskipun pada
satu hasil biopsi menunjukkan adanya
proliferasi mensangial.
Berdasarkan hasil histopatologi yang
didapatkan, dapat disimpulkan bahwa
kerusakan ginjal adalah disebabkan oleh
uptake sukrosa ke dalam sel tubulus
proksimal, uptake seluler ini menyebabkan
pembengkakan dan seterusnya penyempitan
dari lumen tubulus. Pembengkakan dan
vakuolisasi terjadi setelah 1 jam infuse
sukrosa
pada
anjing
percobaan.
Pembengkakan
ini
mancapai
tahap
maksimal sekitar 48 hingga 72 jam. Setelah
hari ketujuh, lesi mulai terjadi resolusi
sehingga membaik secara meyeluruh dalam
jangka waktu 2 minggu. Sel tubulus
proksimal tidak mengandung enzim yang
diperlukan untuk mencerna zat sukrosa.
Sebagai akibatnya sukrosa berakumulasi di
sitoplasma
dan
menyebabkan
pembengkakan yang masif.
Mekanisme terjadinya ARF yang
terkait penggunaan IVIG hampir sama

dengan model hewan yang mendapat


nefropati sukrosa dalam suatu penilitian.
Rata-rata kasus (85%) yang dilaporkan
menyatakan bahwa ARF terkait penggunaan
IVIG ini sering dikaitkan dengan
penggunaan terapi Sandoglobulin yang
mengandungi sukrosa. Sementara pada
preparat lain yang hanya mnegandung
maltosa dan preparat karbohidrat lainnya
tidak banyak yang dikaitkan dengan
kejadian ARF. Hal ini disebabkan maltosa
yang terdapat pada preparat IVIG selain
yang
mengandung
sukrosa
dapat
dimetabolisme oleh sel ginjal sementara
sukrosa tidak. Sebagai tambahan, dikatakan
bahwa penderita yang sebelumnya dirawat
dengan preparat IVIG yang hanya
mengandung maltosa mengalami gagal
ginjal setelah terapi dilanjutkan dengan
preparat IVIG yang mengandung sukrosa.
Lesi yang ditemukan pada hasil biopsi 8 dari
10 penderita yang diterapi dengan IVIG juga
hampir sama dengan lesi yang ditemukan
pada nefropati sukrosa.
Sebagai langkah pencegahan, maka
haruslah menggunakan preparat yang tidak
menggunakan sukrosa sebagai bahan
penstabil. Preparat IVIG seperti ini haruslah
diberikan secara berhati-hati pada penderita
lansia dan penderita yang telah mengalami
gangguan fungsi ginjal sebelumnya.
Pemberian dengan dosis yang rendah dan
durasi interval yang lebih lama akan lebih
menguntungkan pasien.
Hydroxyethyl starch. HES ini merupakan
suatu amylopectin yang disubstitusi dengan
kelompok hydroxyethyl. Zat ini digunakan
sebagai cairan untuk ekspansi volume
plasma
dan
memperbaiki
status

hemodinamik pada penderita ynag hipotensi.


Hal ini dicapai dengan meningkatkan
refilling plasma dari interstisial dan ruang
intraseluler melalui efek onkotik yang
dimiliki oleh zat ini. Efek nefrotoksisitas
dari HES ini diperhatikan saat seorang
penderita yang menerima transplant ginjal
dari seorang pasien dengan brain death
mengalami gagal ginjal setelah diberikan
HES.
Beberapa kasus mengenai kejadian
gagal ginjal post operatif setelah diberikan
HES telah dilaporkan. Antara kasus yang
dilaporkan adalah kejadian gagal ginjal pada
dua orang wanita sehat yang menerima HES
setelah operasi cesarean section. Satu lagi
kasus lain telah dilaporkan terjadi pada
penderita yang diberikan HES (500mL)
setelah mengalami hipotensi intraoperatif
transien. Penderita ini mengalami gagal
ginjal oligourik dan pemeriksaan penunjang
untuk mencari penyebab telah pun
dilakukan, namun tidak berhasil menemukan
penyebab yang pasti. Setelah hari ke-4,
pasien tersebut menjalani biopsi renal dan
didapati adanya lesi seperti yang didapatkan
pada nefrosis osmotik khususnya pada
tubulus proksimal. Studi multicenter telah
melakukan penelitian mengenai efek
HES(6%) dan gelatin (3% fluid-modified)
pada penderita dengan sepsis berat.
Didapatkan bahwa kejadian oliguria, dan
konsentrasi peak serum creatinine lebih
tinggi pada penderita yang diterapi dengan
HES dibandingkan pada penderita yang
dirawat dengan gelatin. Analisis multivariasi
dilakukan dan mendapati bahwa pemberian
HES merupakan meningkatkan resiko
terjadinya ARF.

HES menyebabkan kerusakan ginjal


melalui mekanisme yang sama seperti pada
IVIG dengan penstabil sukrosa yaitu adanya
pembengkakan tubulus proksimal disertai
dengan proses vakuolisasi. Seperti halnya
dengan sukrosa, HES diangkut ke dalam sel
tubulus namun tidak dapat didegradasi
disebabkan oleh tidak adanya enzim yang
diperlukan untuk mendegradasi zat ini. HES
yang terdapat di intraseluler akan
menghasilkan oncotic gradient yang
menyebabkan akumulasi cairan dan
pembengkakan sel. Namun terdapat studi
yang menyatakan bahwa efek nefrotoksisitas
HES
dapat
diminimalkan
dengan
menggunakan HES yang mempunyai berat
molekuler yang lebih rendah di samping
derajat substitusi yang lebih rendah (nomor
posisi karbon C2,C3 atau C6 yang
mengalami hidroksilasi). Oleh yang
demikian,
direkomendasikan
untuk
menghindarkan pemberian HES pada
penderita yang mengalami gangguan fungsi
ginjal sebelumnya. Selain itu, disarankan
untuk menggunakan HES dengan berat
molekuler yang lebih rendah dan
memberikan HES pada dosis yang lebih
rendah dari batas maskimal yang
diperbolehkan (33mL/kg/hari).

Konklusi.
Kerusakan ginjal dan gagal ginjal
secara klinis dapat terjadi melalui pelbagai
mekanisme
setelah
pemberian
agen
terapeutik tertentu. Toksisitas obat timbul
disebabkan oleh efek hemodinamis,
kerusakan tubulus secara langsung akibat
toksin dari sel epithelial, obstruksi
intratubular akibat Kristal yang tidak

solubel, dan pembengkakan sel akibat agen


osmotik. Efek samping dari obat-obatan ini
harus
dipertimbangkan
sewaktu

mengevaluasi
pasien-pasien
mengalami gagal ginjal setelah
dengan obat-obatan tertentu.

yang
terapi

Anda mungkin juga menyukai