Anda di halaman 1dari 176

PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI

MATA KULIAH
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A

BUKU AJAR I
Kekuatan dan Keutamaan Karakter,
Filsafat, Logika, dan Etika

Bagus Takwin
Fristian Hadinata
Saraswati Putri

UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012

BUKU AJAR I
Filsafat, Logika, Etika, dan
Kekuatan dan Keutamaan Karakter

ii

Pengantar Buku Ajar MPKT A


Pendidikan yang Mengembangkan Kapabilitas dan
Memerdekakan Manusia Indonesia
Bagus Takwin

1. Pendahuluan
Konsep pendidikan yang memadai mensyaratkan konsep manusia yang memadai.
Manusia sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik merupakan ihwal atau
isu sentral dalam pendidikan. Berbicara tentang pendidikan pada dasarnya adalah berbicara
tentang manusia.
Siapa manusia dalam konsep pendidikan Indonesia dan apa yang ditujunya?
Pertanyaan ini jarang dibahas dewasa ini. Sudah beberapa kali sistem pendidikan Indonesia
diubah tetapi konsep tentang manusia yang semestinya mendasarinya malah makin kabur.
Idealnya, pendidikan adalah proses menjadi dan menentukan diri sebagai pribadi.
Pengertian ini mengindikasikan adanya penguatan daya-daya subjektif dalam pendidikan.
Subjektivitas adalah potensi khas manusia, yang hanya mungkin muncul pada manusia.
Subjektivitas adalah syarat kemerdekaan. Orang yang merdeka, ketika ia secara subjektif
menentukan tindakan-tindakannya, menginterupsi status quo dan mampu mempertanggungjawabkan dirinya.
Ki Hadjar Dewantara1 mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan
manusia merdeka. Sejalan dengan Ki Hadjar, Slamet Iman Santoso2 mengemukakan bahwa
tugas pendidikan adalah pembinaan watak atau karakter (Santoso, 1979). Sebagai kepribadian
yang dievaluasi berdasarkan nilai dan norma tertentu, watak juga mengandung unsur
subjektivitas. Karakter adalah hasil aktualisasi subjektivitas.
Kita teringat kepada Muhammad Hatta (1932/1998) yang menyatakan bahwa
pendidikan nasional Indonesia diselenggarakan untuk menuju Indonesia Merdeka. Ia

1
2

Tokoh pergerakan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional Indonesia.
Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia dan pemrakarsa IKIP Jakarta.

iii

menganggap pendidikan sebagai ikhtiar pembentukan karakter di tataran individual dan


pembangunan bangsa di tataran kolektif. Meskipun tak mengabaikan perlunya kecakapan dan
keterampilan untuk menafkahi hidup, Hatta sangat mementingkan pembentukan karakter
melalui pendidikan. Orang yang berkarakter kuat adalah orang yang memiliki keutamaan
dan mampu menggunakan kekuatan-kekuatan pribadinya untuk memutuskan dan mengambil
tindakan yang baik untuk dirinya dan sekaligus untuk lingkungannya. Dengan kata lain,
orang yang berkarakter kuat adalah orang yang merdeka, orang yang memanfaatkan dayadaya subjektifnya, karena dia memiliki keleluasaan dan pilihan-pilihan dalam hidupnya dan
mampu mencari alternatif-alternatif baru dari apa yang sedang terjadi. Itulah sebabnya
mengapa Hatta menekankan bahwa pendidikan nasional Indonesia mendidik rakyat supaya
insaf akan kedaulatan dirinya dan paham akan makna dan maksud dasar kedaulatan rakyat.
Istilah Bildung dalam bahasa Jerman, yang dalam bahasa Inggris berarti becoming
and being somebody dapat mewakili pendidikan secara lebih memadai. Dalam Bahasa,
Indonesia, Bildung dapat diartikan mengembangkan dan menjaga kesatuan diri, serangkaian
proses yang juga mensyaratkan subjektivitas. Dengan demikian, pendidikan lebih dari
sekadar pemerolehan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan adalah proses yang
bertujuan memfasilitasi individu untuk membentuk dan mengembangkan dirinya.
Kemampuan membentuk dan mengembangkan diri sendiri hanya mungkin dilakukan oleh
orang-orang yang merdeka.
Universitas Indonesia3 melalui program-program pendidikannya berusaha untuk
mencapai tujuan pendidikan, memfasilitasi mahasiswanya menjadi manusia-manusia yang
merdeka, menjadi orang-orang yang mempunyai karakter yang kuat. Kekuatan itu dapat
digolongkan atas enam kelompok, yakni rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, rasa cinta
pemelajaran, pikiran yang kritis dan terbuka, orisinalitas dan kecerdasan praktis, kecerdasan
sosial atau kecerdasan emosional, dan perspektif atau kemampuan memahami beragam
perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk pencapaian hidup yang
baik. Keenam kekuatan itu sekaligus juga merupakan nilai yang mendasari, memandu dan
menjadi patokan penyelenggaraan pendidikan di UI.
Salah satu wujud usaha UI untuk menghasilkan orang-orang yang berkarakter kuat
adalah penyelenggaraan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadiaan Terintegrasi.4 Tulisan ini
merupakan pengantar yang sekaligus memuat kerangka pikir dari penyelenggaraan MPKT di
UI.
3
4

Untuk selanjutnya disingkat menjadi UI.


Untuk selanjutnya disingkat menjadi MPKT.

iv

2. Memerdekakan dan Meningkatkan Kapabilitas


Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara (2004) adalah aktivitas untuk menghasilkan
manusia merdeka, dalam pengertian tidak hidup terperintah; berdiri tegak karena kekuatan
sendiri; dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Merdeka di sini mencakup pengertian
merdeka secara fisik, mental, dan rohani. Namun kemerdekaan pribadi itu dibatasi oleh tertib
damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan,
kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin.
Lebih khusus lagi, yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah orang yang
mampu berkembang secara utuh dan selaras dalam segala aspek kemanusiaannya, serta
mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu, bagi Ki
Hadjar, dalam konteks pendidikan, pepatah educate the head, the heart, and the hand
sangat tepat (Dewantara, 2004).
Kita dapat menelururi konsep manusia yang mendasari konsep pendidikan Ki Hadjar
Dewantara. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya.
Pengembangan

manusia

menuntut

pengembangan

semua

daya

secara

seimbang.

Pengembangan yang terlalu menitikberatkan satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Pendidikan yang menekankan aspek intelektual belaka
hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Payung pendidikan mencakup
payung nasionalistik, yaitu budaya nasional, bangsa yang merdeka dan mandiribaik secara
politis, ekonomis, maupun spiritual; dan payung universal, yaitu hukum alam yang berlaku
atas segala sesuatu yang merupakan wujud dari kehendak Tuhan.
Konsep manusia merdeka dari Ki Hadjar Dewantara memiliki implikasi dalam
ranah pendidikan. Ia menyatakan bahwa prinsip dasar pendidikan adalah kemerdekaan,
merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian yang tumbuh
dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana
yang berprinsip kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap
setiap orang yang terlibat di dalamnya. Dengan dasar itu maka hak setiap individu hendaknya
dihormati.
Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan tidak boleh hanya mengembangkan
aspek intelektual sebab hal itu akan memisahkan peserta didik dari orang kebanyakan.
Pendidikan juga hendaknya memperkaya setiap individu, memperkuat rasa percaya diri, dan
v

mengembangkan harga diri. Dalam pada itu, perbedaan di antara pribadi-pribadi harus tetap
dipertimbangkan. Lulusan didik yang dihasilkan adalah lulusan yang berkepribadian
merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dengan kata lain,
pendidikan menghasilkan pribadi yang berkarakter kuat.
Metode pendidikan yang memerdekakan didasari oleh kepedulian, dedikasi, dan
kecintaan kepada sesama manusia. Pendidikan harus dapat memfasilitasi siswa untuk
memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pemelajaran yang mencakup
pemelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakansesuai dengan hukum sebab-akibat
dan kesadaran akan pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka.
Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan,
melainkan menciptakan sendiri pengertian.
Sejalan dengan pandangan pendidikan Ki Hadjar, pendidikan di UI menekankan
pentingnya mahasiswa menyadari alasan dan tujuan dia belajar. Ia perlu dihindarkan dari
pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah.
Dari Ki Hadjar Dewantara (2004) kita mendapat pemahaman bahwa mendidik merupakan
daya-upaya yang sengaja dilakukan untuk memajukan hidup dan menumbuhkan budi-pekerti
(yang mencakup rasa, pikiran, dan roh) dan badan peserta didik dengan jalan pengajaran,
teladan dan pembiasaan. Menurutnya, tidak boleh ada perintah dan paksaan dalam
pendidikan.
Pemikiran yang lebih operasional tentang pendidikan adalah pemikiran Amartya Sen.5
Menurut Sen, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan kapabilitas (capability) pada peserta
didik (Walker dan Unterhalter, 2007). Meskipun istilah yang digunakan Sen adalah
kapabilitas, implikasi logisnya sama dengan istilah merdeka dalam pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, yaitu orang yang berkarakter kuat.
Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai a persons ability to do valuable acts or
reach valuable states of being; [it] represents the alternative combinations of things a person
is able to do or be (Sen 1993:30). Kapabilitas merujuk kepada kemampuan pribadi untuk
melakukan tindakan berharga atau mencapai keadaan diri yang berharga. Kapabilitas
mewakili adanya kemungkinan atau keleluasaan pada diri seseorang untuk menemukan
kombinasi alternatif dari hal-hal yang dapat dilakukan atau dicapainya. Dengan demikian,
kapabilitas adalah kesempatan atau kemerdekaan untuk mencapai apa yang secara reflektif

Ekonom India kelahiran Bengali, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998.

vi

dinilai berharga oleh individu. Kapabilitas dalam terminologi Sen merupakan inti dari
kemerdekaan (Dreze dan Sen 1995).
Dalam pemikiran awalnya, Sen (1985) mengajukan lima komponen yang terkait erat
dengan kapabilitas:
1. kemerdekaan nyata, yaitu adanya pilihan dan alternatif bagi setiap orang yang
membuatnya leluasa menjalani dan mencapai tujuan hidupnya
2. kemampuan mengelola dan mengubah sumber daya menjadi kegiatan-kegiatan yang
bernilai
3. kegiatan-kegiatan yang menghasilkan kebahagiaan
4. keseimbangan faktor materialistik dan nonmaterialistik dalam mencapai kesejahteraan, dan
5. distribusi kesempatan dalam masyarakat.
Pendekatan ini menekankan kapabilitas fungsional, yaitu kemerdekaan substantif
seperti kemampuan untuk hidup sampai hari tua, keterlibatan dalam transaksi ekonomi, atau
partisipasi dalam kegiatan politik. Hal-hal yang terkandung dalam makna kemerdekaan
substantif, menurut pendekatan ini, lebih beralasan untuk dinilai berharga ketimbang
kegunaan (utility) seperti kesenangan, pemenuhan hasrat atau pilihan. Kemerdekaan subtantif
juga dinilai lebih berharga daripada akses ke sumber daya seperti penghasilan, komoditi, dan
aset.
Kemiskinan dipahami sebagai kapabilitas yang tercerabut (deprived capability). Patut
dicatat, penekanan pendekatan ini tidak hanya pada bagaimana orang secara aktual berfungsi,
melainkan juga pada kapabilitasnya, yaitu pilihan praktis untuk berfungsi dalam hal-hal
penting jika ia menginginkannya. Seseorang dapat mengalami kapabilitas yang tercerabut,
misalnya dalam hal pengabaian, penindasan oleh pemerintah, kurangnya sumber daya
finansial, atau kesadaran palsu. Sebaliknya, perlu ditekankan pula, kesejahteraan seseorang
juga dipengaruhi oleh keberadaan orang lain. Sen (1993) menekankan, kebebasan memilih
cara hidup yang memungkinkan seseorang mencapai kesejahteraan, dalam banyak hal
dibantu oleh pilihan-pilihan orang lain. Salah jika kita berpikir bahwa pencapaian prestasi
kita masing-masing merupakan hasil pilihan pribadi semata. Pencapaian prestasi setiap orang
membutuhkan kebersamaan dengan orang lain.
Signifikansi dari ide Sen ini terletak pada kontrasnya dengan ide lain tentang
bagaimana kita memutuskan apa yang adil (fair) dalam distribusi sumber daya. Kapabilitas
atau kemerdekaan dan keadilan adalah setali tiga uang. Keadilan hanya bermakna pada orang
yang merdeka, pada orang yang memiliki kapabilitas untuk menentukan apa yang penting
dan berharga baginya.
vii

Ki Hadjar dan Sen sama-sama melihat pendidikan dari hal yang paling mendasar,
yakni dari konsep manusia, tujuan akhir pendidikan, dan apa yang terbaik bagi kehidupan
bersama. Ini membedakan pendekatan mereka dengan pendekatan lainnya yang tampaknya
memisahkan pendidikan dari aspek-aspek lain dari kemanusiaan.
Sebagai contoh dari perbedaan itu, konsep pendidikan lain menggunakan ide tentang
distribusi yang diletakkan pada apa yang ditentukan oleh pihak luar sebagai yang terbaik
untuk menciptakan kesempatan maksimum atau mencapai hasil yang memadai. Umpamanya,
menurut konsep ini, sekolah bagi siswa adalah alat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dunia
kerja. Sementara menurut Ki Hadjar dan Sen, pendidikan merupakan proses yang
memfasilitasi pertemuan peserta didik dengan dunia, khususnya dengan masyarakat, sehingga
nantinya ia dapat hidup di masyarakatnya secara bermakna dan memberikan kontribusi dalam
pengembangan masyarakat itu. Peserta didik juga difasilitasi untuk dapat memberi makna
kepada dirinya sendiri dan kepada dunia. Keberfungsiannya dalam masyarakat didasari oleh
kebebasan kesempatan yang meleluasakannya memilih cara hidup dan kontribusinya dalam
masyarakat (Unterhalter 2003).

3. Kapabilitas dan Fungsi


Kapabilitas berbeda dengan fungsi. Fungsi bertujuan untuk memperoleh manfaat sedangkan
kapabilitas adalah potensi untuk mencapai fungsi (Sen 1980). Membaca, berbicara
menyampaikan gagasan, mengambil peran dalam masyarakat, menjawab pertanyaan,
bertindak hati-hati dan cermat, serta menggunakan alat untuk membuat kerajinan tangan
adalah fungsi. Mendapat kesempatan untuk belajar dan keleluasaan untuk berpikir,
kesempatan untuk bekerja dengan kondisi yang memungkinkan untuk menjadi produktif dan
memperoleh penghargaan merupakan contoh dari kapabilitas. Secara konseptual, kapabilitas
dapat dipahami sebagai refleksi kebebasan untuk mencapai fungsi-fungsi yang bernilai (Sen,
1992). Perbedaan fungsi dan kapabilitas dapat juga dipahami sebagai perbedaan antara
pencapaian prestasi aktual dan kesempatan untuk berprestasi.
Pembedaan fungsi dari kapabilitas sangat penting terutama dalam evaluasi pendidikan
(Walker dan Unterhalter, 2007). Evaluasi hanya atas fungsi dari pendidikan saja memberikan
terlalu sedikit informasi tentang seberapa baik seseorang berlaku dalam kehidupannya.
Pencapaian yang sama oleh dua orang yang berbeda bisa saja memiliki cerita yang berbeda di
belakangnya. Misalnya, yang satu mencapainya dengan mudah karena kesempatan dan
fasilitasnya tersedia, sedangkan yang lain mengorbankan banyak hal untuk mencapai itu.
Sebagai contoh, untuk mencapai nilai ujian nasional di atas standar kelulusan, boleh jadi
viii

siswa-siswa di satu sekolah mencapainya dengan cara belajar seperti yang biasa mereka
lakukan sehari-hari, sementara di sekolah lain para siswa dipaksa mengabaikan pelajaran lain
yang tidak disertakan dalam ujian nasional agar dapat memperoleh nilai yang baik dalam
ujian nasional.
Kemerdekaan dan keagenan (agency) merupakan dua konsep sentral dalam
pendekatan kapabilitas (Walker dan Unterhalter, 2007). Dua konsep ini perlu diperjelas
dalam kerangka pendekatan kapabilitas. Dalam kerangka ini, orang dipahami sebagai
partisipan aktif dalam perkembangan ketimbang sebagai pengamat yang pasif. Keagenan
berarti bahwa setiap orang adalah manusia yang terhormat, yang bertanggung jawab
membentuk hidupnya dalam arahan tujuan yang berarti. Dengan kata lain, orang tidak
dibentuk atau diinstruksikan untuk berpikir, melainkan membentuk dan mengelola dirinya
sendiri untuk menjalani hidup yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuannya.
Tujuan-tujuan itu boleh jadi tidak niscaya membuat individu lebih senang atau lebih nyaman,
tetapi hal itu dicapai melalui penalaran reflektif. Dalam pendidikan, setiap orang
diperlakukan sebagai agen dari pemelajarannya, menjadi agen atau instrumen bagi
pemelajaran orang lain, dan menjadi penerima dari keagenan orang lain.
Sebagai agen, peserta didik layak memperoleh perhatian dari pendidik dan sekolah
dalam ikhtiar-ikhtiar untuk mengembangkan mereka sebagai manusia yang merdeka. Bagi Ki
Hadjar dan Sen, keterlibatan siswa dalam pembentukan kehidupan dan perolehan kesempatan
untuk merefleksikan keagenannya merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan sosial
yang positif. Keagenan pada dirinya sendiri penting untuk kemerdekaan individu, juga secara
instrumental dibutuhkan untuk tindakan kolektif dan partisipasi demokrasi. Dengan kata lain,
keagenan pada individu diperlukan untuk perkembangan masyarakat (Sen, 1990). Orang
melatih dan mengembangkan keagenannya secara individual serta lewat kerja sama dengan
orang lain (Walker dan Unterhalter, 2007). Melalui kesempatan pendidikan dan proses yang
memadai, setiap orang dapat belajar menguatkan keagenan dan kemerdekaannya.
Keagenan juga merupakan kunci bagi kebahagiaan atau kesejahteraan (well-being)
seseorang (Alkire, 2002). Sama halnya dengan pemelajaran, pemahaman diri sendiri sebagai
agen, yang tindakan-tindakan dan kontribusinya diperhitungkan dalam dunia pendidikan,
tidak berlangsung sekali jadi dalam waktu yang cepat. Pembentukan kesadaran tentang diri
sendiri sebagai agen berlangsung dalam proses yang panjang dan lama, proses yang sekaligus
meng-ada (being) dan menjadi (becoming). Dengan membangun keagenan di dalam dan
melalui praktik pendidikan, kita membuka kemungkinan untuk menginterupsi hubungan yang

ix

dipaksakan dalam pendidikan yang cenderung mengaitkan sumber-sumber yang dimiliki


pemelajar dengan manfaat (Walker dan Unterhalter, 2007).

4. Pendekatan Yang Digunakan Penyelenggara Pendidikan di UI


Dengan dasar pertimbangan keagenan, perlu dipertanyakan apakah pemelajar yang berbeda
diakuisecara sosial dan edukasionalmemiliki klaim yang setara terhadap sumber daya
dan kesempatan. Ini merupakan persoalan yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. UI
berusaha menyelesaikan persoalan ini. Marilah kita cermati apa yang berlangsung umum
dalam proses pendidikan di Indonesia.
Pada kenyataannya, di Indonesia terdapat perbedaan akses ke sumber dan
kesempatan, di antara para lulusan dari sekolah yang dianggap bermutu dan yang kurang
bermutu, terutama lulusan perguruan tinggi. Secara sosial tuntutan fungsional terhadap para
lulusan perguruan tinggi jauh lebih tinggi daripada tuntutan terhadap kapabilitas mereka.
Mereka diharapkan sudah siap berfungsi begitu mereka memasuki dunia kerja. Fungsi yang
dituntut dari lulusan itu adalah fungsi yang sudah ditentukan oleh pemberi kerja. Mereka
harus siap bekerja dengan fungsi yang sangat khusus. Ternyata, tidak semua lulusan
perguruan tinggiseperti juga lulusan SMAdapat diserap oleh dunia kerja yang
membutuhkan fungsi khusus. Di sisi lain, selama dalam pendidikan mereka tidak
dipersiapkan untuk memiliki kapabilitas sehingga mereka seperti tak punya kesempatan dan
tak mampu melihat kemungkinan lain di luar menjadi orang bayaran, yakni orang yang
bekerja pada orang lain, misalnya pemerintah atau perusahaan.
Perguruan tinggi di Indonesia umumnya menjadikan keterserapan lulusannya oleh
dunia kerja sebagai salah satu indikasi keberhasilan mereka mendididik. Semakin banyak dan
semakin cepat lulusan mereka terserap oleh perusahaan atau lembaga pemberi kerja, semakin
besar rasa keberhasilan mereka mendidik mahasiswa-mahasiswanya. Dari situ dapat kita lihat
bahwa kebanyakankalau tidak dapat dikatakan semuaperguruan tinggi di Indonesia
masih menggunakan pendekatan utilitarian yang mementingkan pengajaran fungsi dan
mengejar manfaat yang spesifik. Pendidikan yang berikhtiar untuk menghasilkan kapabilitas
atau kemerdekaan pada siswa-siswanya masih sangat langka.
Dalam kajian penelusuran (tracer study) atas sejauh mana efektivitas proses
pendidikan melalui identifikasi kegiatan-kegiatan para lulusannya, informasi yang digali ialah
sejauh mana fungsi-fungsi dimiliki oleh lulusan. Umumnya dalam kajian itu hanya
ditanyakan waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama, besarnya gaji pertama,
posisi

atau jabatan di tempat kerja awal dan saat ini, kesesuaian ilmu dengan bidang
x

pekerjaan, kebutuhan keilmuan dalam melaksanakan pekerjaannya, serta saran dan kritik
untuk kebutuhan pengembangan jurusan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
kapabilitas sangat jarang.
UI berupaya mengubah kecenderungan itu. Pemikiran tentang pengembangan
kapabilitas dan bukan melulu pembentukan fungsi yang menjadi tujuan pendidikan tinggi
diindikasikan oleh kajian penelusuran yang dilakukan oleh UI. Dari kuesioner dan laporan
hasil kajian itu, ada indikasi bahwa pendidikan di UI menekankan juga pentingnya
pengembangan kapabilitas dalam pendidikan. Mahasiswanya diberi kesempatan dan
difasilitasi untuk meningkatkan kapabilitasnya melalui berbagai pengalaman belajar: selain
pengalaman belajar di dalam kelas dan di laboratorium, ada juga pengalaman belajar di
masyarakat, di perusahaan atau di instansi pemerintah; belajar dalam organisasi dan dalam
pergaulan; serta belajar mandiri. Pendidikan yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
hidup, keterampilan generik atau keterampikan lunak (soft-skill) pun dilakukan oleh UI.
Beberapa pelajaran juga disajikan dengan metode yang memungkinkan mahasiswa
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kapabilitasnya, seperti keterlibatan dalam
penelitian sebagai bagian dari mata ajar metodologi penelitian, pengalaman bekerja sama
dalam tim, fasilitasi keterampilan komunikasi lisan dan tertulis, kepemimpinan, manajemen
organisasi, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Metode pemelajaran yang digunakan pun beragam dan memungkinkan pengembangan
kapabilitas mahasiswa. Melalui kajian penelusuran, UI mencoba melihat sejauh mana
pendidikan yang bertujuan meningkatkan kapabilitas itu berpengaruh dan berperan dalam
kehidupan lulusannya di masyarakat. Kini usaha untuk menekankan pengembangan
kapabilitas pada mahasiswa UI dalam keseluruhan kurikulumnya semakin besar porsinya.
Sebagai wacana, pendidikan yang bertujuan meningkatkan dan menyetarakan
kapabilitas sudah sering dikemukakan di Indonesia. Namun pada praktiknya, belum banyak
penyelenggara

pendidikan

yang

sungguh-sungguh

berikhtiar

meningkatkan

dan

menyetarakan kapabilitas. Umumnya pendidikan di Indonesia belum ditujukan untuk


menghasilkan manusia yang merdeka atau berkarakter kuat. Dalam banyak hal pendidikan
dilakukan semata-mata untuk menghasilkan penguasaan fungsi oleh para siswa; itu pun
masih belum efektif.
Di tingkat pendidikan yang lebih rendah (SMA, SMP, dan SD), bahkan pendidikan
yang menghasilkan fungsi pun, pengembangan kapabilitas belum berjalan. Kecenderungan
guru-guru mencekoki murid dengan informasi yang harus dihafal, atau menunjukkan caracara tertentu yang tak boleh ditawar atau dikritik mendorong siswa untuk sekadar menghafal,
xi

menjadi orang yang pasif menyerap informasi, dan kurang memiliki inisiatif, apalagi
kreativitas. Praktik pendidikan, baik penyekolahan, pembiasaan, maupun peneladanan, jauh
dari pencapaian tujuan menghasilkan manusia merdeka. Bahkan, kapabilitas terkesan tak
terpikirkan oleh kebanyakan penyelenggara sekolah, guru, dan orang tua.

5. UI Memperjuangkan Kapabilitas dan Kemerdekaan


Untuk mengubah kecenderungan pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan fungsi
ketimbang kapabilitas, UI memulainya dengan evaluasi yang menekankan pentingnya
pengembangan kapabilitas, misalnya melalui kajian penelusuran. Kemudian, pemelajaran
diarahkan kepada usaha pengembangan kapabilitas dengan menggunakan pelbagai metode
pembelajaran. Metode-metode itu ialah kolaborasi (collaborative learning) dalam
membentuk pengetahuan dan menyelesaikan masalah; pemelajaran berdasarkan masalah
(problem-based

learning);

pemagangan;

penyelesaian

proyek

bersama;

penugasan

(internship) di beberapa lembaga atau komunitas di masyarakat seperti kuliah kerja nyata
(KKN); fasilitasi untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, seminar dan diskusi lainnya;
pelibatan mahasiswa dalam kegiatan riset; serta pemanfaatan mahasiswa dalam
penyelenggaraan administrasi pendidikan.
Evaluasi terhadap pemelajaran pun mulai ditekankan pada sejauh mana kapabilitas
mahasiswa berkembang. Penekanan evaluasi pada kapabilitas ketimbang pada fungsi
merupakan kontribusi berarti untuk pembahasan keadilan sosial dalam pendidikan, termasuk
peningkatan perhatian kepada gagasan keagenan dan identitas. Dengan evaluasi terhadap
kapabilitas, kita dapat menemukan hal-hal yang memperlemah dan memperkuat kapabilitas.
Temuan-temuan dalam kajian penelusuran yang dilakukan telah memberikan banyak
masukan bagi perbaikan kualitas pendidikan di UI. Temuan itu memungkinkan UI untuk
memikirkan strategi, metode, dan teknik peningkatan kapabilitas yang sekaligus merupakan
peningkatan keagenan dan kemerdekaan.
Evaluasi kapabilitas juga memungkinkan penyelenggara pendidikan memahami
persoalan-persoalan yang ada pada para peserta didik dengan identitas tertentu, baik
individual maupun kolektif. Pemahaman terhadap permasalahan identitas itu dapat membantu
penentuan strategi dan rancangan pendidikan yang sesuai dengan identitas peserta didik.
Dengan demikian persoalan identitas mereka dapat diselesaikan bersamaan dengan
peningkatan penghargaan mereka terhadap identitas kolektif dan identitas diri mereka
masing-masing.

xii

Bagaimana evaluasi itu dilakukan? Dengan kerangka apa? UI belajar dari para
pemikir yang bergulat dengan persoalan pendidikan dan evaluasinya. Pelbagai pemikiran
tentang pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua arus. Pertama, arus pemikiran yang
fokus pada bagaimana sekolah mereproduksi ketaksetaraan dan ketakadilan sosial melalui
maldistribusi dan pembungkaman (di antaranya Bowles dan Gintis, 1976, Bourdieu dan
Passeron, 1977; Aikman, 1999; Bowles dan Gintis, 2002; Kwesiga, 2002; Ball 2003). Kedua,
mereka yang menyadari bagaimana kondisi di sekolah atau situs pemelajaran lainnya
menawarkan sumber daya atau kondisi yang melaluinya pemelajar dapat melawan atau
mengubah ketaksetaraan (di antaranya Stromquist, 1998; Brighouse, 2002; Lynch dan Baker
2005; McLeod, 2005).
UI memadukan kedua pendekatan itu dengan satu tujuan yang memiliki dua sisi.
Tujuan itu, yang mensyaratkan kesetaraan dan keadilan sosial, adalah kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia yang di dalamnya tercakup kapabilitas dan kemerdekaan. Tidak
tercapainya kesejahteraan, juga kapabilitas dan kemerdekaan, boleh jadi karena ada
ketidaksetaraan dan ketidakadilan, tetapi bisa juga karena upaya-upaya untuk mencapai
kesetaraan dan keadilan memang tidak dilakukan. Perlu ditekankan di sini, hilangnya
ketidaksetaraan dan ketidakadilan tidak dengan sendirinya berarti tercapainya kesetaraan dan
keadilan. Oleh karena itu, usaha untuk menghilangkan ketaksetaraan dan ketidakadilan usaha
untuk menghadirkan kesetaraan dan keadilan harus dilakukan secara bersama-sama. Di satu
sisi, tujuan itu dicapai dengan mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Di sisi
lain, hal itu dicapai dengan meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial.
Sejalan dengan beberapa pemikir yang mengedepankan kapabilitas (di antaranya Sen,
1992, 1993; Nussbaum, 1997, 2002, 2004, 2006), di tataran individu, pendidikan di UI dan
evaluasinya diselenggarakan dengan dasar kesejahteran dan kebahagiaan manusia sebagai
tujuan. Secara operasional, kapabilitas dan kemerdekaan dapat ditingkatkan melalui
pendidikan dengan memfasilitasi peserta didik menjadi orang yang belajar sepanjang hayat,
memiliki gairah menjalani kehidupan, berani mengambil risiko, mampu berpikir kritis, dan
memecahkan masalah, mampu melihat sesuatu secara berbeda, mampu bekerja (baik secara
independen maupun bersama orang lain), kreatif, peduli dan rela memberikan kontribusi
kepada komunitas, merawat hal-hal yang baik, memiliki integritas dan menghargai diri
sendiri, memiliki keberanian moral, mampu menggunakan dunia di sekelilingnya secara
konstruktif, mampu berbicara, menulis, membaca dan bekerja secara baik, serta sungguhsungguh menikmati hidup dan pekerjaannya. Semua itu merupakan kapabilitas yang

xiii

diperlukan manusia untuk dapat menjadi sejahtera dan bahagia. Evaluasi pendidikan di
tataran individu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hal itu semua telah dicapai.
UI mendorong berkembangnya kapabilitas para mahasiswa dan dosennya. Di
antaranya dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu secara
finansial, menyediakan pelayanan kesehatan dan fasilitas fisik dengan dasar kesetaraan,
memberlakukan sistem biaya operasional pendidikan (BOP) berkeadilan yang menggunakan
prosedur subsidi silang, melibatkan mahasiswa dalam riset, dan mendorong dan memfasilitasi
dosen-dosen melakukan riset sesuai dengan bidang minatnya.
Dasar dari kebijakan itu adalah kesadaran bahwa meskipun setiap orang memiliki
potensi untuk memperoleh kapabilitas dan kemerdekaan, aktualisasinya memerlukan
perjuangan yang tak ringan. Dengan kata lain, kapabilitas dan kemerdekaan harus
diperjuangkan. Pendidikan yang merupakan bagian dari aktivitas mengembangkan dan
menjaga kesatuan diri setiap pribadi dalam rangka partisipasi mengembangkan dunia pun
harus diperjuangkan. UI mengupayakan agar kesetaraan pendidikan itu dapat dicapai secara
aktual. Pembedaan BOP, sebagai contoh, dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan
mahasiswa yang kurang mampu secara finansial dengan memberikan keringanan biaya kuliah
atau beasiswa penuh kepada mereka.
UI juga mengupayakan kemerdekaan dari tuntutan dan penindasan rezim manfaat,
kekuasaan industri, dan pasar tenaga kerja dengan meleluasakan dosen-dosennya melakukan
riset-riset sesuai dengan minat dan bidang keahliannya, terlepas dari apakah riset-riset itu
dibutuhkan oleh pasar atau tidak. Lalu, dengan bekal hasil riset mereka, para dosen itu
mengajar dan mengembangkan kapabilitas mahasiswa. UI, tentu saja, juga mementingkan
manfaat, bekerja sama dengan industri, dan ikut mendukung tersedianya tenaga kerja yang
kompeten. Namun, di atas semua itu, UI terutama mendidik mahasiswa agar berkarakter kuat,
mempunyai kapabilitas, dan merdeka sebagai tujuan utamanya.

6. MPKT Sebagai Usaha Pengembangan Kapabilitas Mahasiswa UI


Dengan dasar konsep pendidikan sebagai usaha pengembangan kapabilitas dan bertujuan
menghasilkan manusia merdeka, maka MPKT diselenggarakan. Penyelenggaraannya
merupakan wujud dari komitmen UI untuk mengembangkan kapabilitas mahasiswanya.
Buku ajar yang memuat bahan-bahan bacaan ini merupakan satu alat pendidikan yang
dimaksudkan untuk menjadi salah satu rujukan yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa,
khususnya dalam bagian MPKT A yang lebih menekankan dasar-dasar ilmu pengetahuan
xiv

sosial dan humaniora. Bahan bacaan ini hanyalah salah satu alat yang melengkapi metode
pemelajaran yang mengutamakan keaktifan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar. Ada
banyak alat bantu lain seperti disain instruksional dalam bentuk buku rancangan
pembelajaran, formulir evaluasi, peralatan pendukung presentasi, laboratorium, peralatan
komputer dan internet, serta alat-alat lain yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk
pemelajaran mahasiswa. Selain itu, buku ajar ini hanya memuat informasi yang terbatas dan
oleh karena itu mahasiswa diharapkan dan didorong untuk juga memanfaatkan sumbersumber bacaan lain untuk memperkaya pengetahuan mereka.
Buku ajar ini memuat bahan-bahan bacaan mengenai kekuatan dan keutamaan
karakter, filsafat, logika yang sekaligus juga memuat materi berpikir kritis, etika,
pengembangan diri individu, kehidupan sosial yang mencakup masyarakat dan bangsa, dan
kebudayaan. Bahan-bahan itu dimasukkan ke dalam tiga buku. Buku I memuat dasar-dasar
yang dibutuhkan dalam usaha perolehan dan penerapan pengetahuan, yaitu Filsafat, Logika,
Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan Karakter. Buku II berisi pokok-pokok Manusia,
Masyarakat, dan Kesadaran Lingkungan.

Buku III memuat materi tentang Bangsa dan

Negara, khususnya Bangsa dan Negara Indonesia.


MPKT A sebagai bagian dari MPKT keseluruhan merupakan usaha untuk
mengembangkan kapabilitas mahasiswa UI. Pelajaran-pelajaran yang dapat diperoleh di
dalamnya bukan hanya mengenai fungsi yang harus dimiliki mahasiswa dalam memenuhi
tuntutan masyarakatnya, melainkan lebih daripada itu, yakni pelajaran tentang bagaimana
kapabilitas mahasiswa dapat dikembangkan sehingga ia dapat mengembangkan dirinya
sendiri dan masyarakatnya.

xv

DAFTAR PUSTAKA
untuk Pengantar

Aikman, S. 1999. Intercultural Education and Literacy: An Ethnographic Study of


Indigenous Knowledge and Learning in the Peruvian Amazon Studies in Written
Language and Literacy 7. Amsterdam: John Benjamins.
Alkire, S. 2002. Valuing Freedoms: Sens Capability Approach and Poverty Reduction.
Oxford: Oxford University Press.
Ball, S. 2003. Class Strategies and the Education Market: The Middle Classes and Social
Advantage. London: Routledge Falmer.
Bourdieu, P. dan Passeron, J.-C. 1977 (cet. ke-2). Reproduction in Education, Society and
Culture. London: Sage.
Bowles, S. dan Gintis, H. 1976. Schooling in Capitalist America. New York: Basic Books.
. 2002. Schooling in Capitalist America Revisited. Dalam Sociology of Education,
75 (2): 118.
Brighouse, H. 2002. What Rights (if any) Do Children Have? Dalam The Moral and
Political Status of Children (suntingan A. Archard dan C. MacLeod). Oxford:
Oxford University Press.
Brighouse, H. dan Swift, A. 2003. Defending Liberalism in Education Theory. Dalam
Journal of Education Policy, 18:355373.
Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dreze, J. dan Sen, A. 1995. India: Economic Development and Social Opportunity. Oxford:
Oxford University Press.
Hatta, M. 1932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka: Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 1:
Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 2130. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES
Indonesia.
Kwesiga, J. 2002. Womens Access to Higher Education in Africa: Ugandas Experience.
Kampala: Fountain Publishers.
Lynch, K. dan Baker, J. 2005. Equality in Education: An Equality of Condition
Perspective. Dalam Theory and Research in Education 3:131164.

xvi

McLeod, Julie. 2005. Feminists Re-reading Bourdieu: Old Debates and New Questions
about Gender Habitus and Gender Change. Dalam Theory and Research in
Education, 3:79.
Nussbaum, M. C. 2000. Women and Human Development: The Capabilities Approach.
Cambridge: Cambridge University Press.
Robeyns, I. 2005. The Capability Approach: A Theoretical Survey. Dalam Journal of
Human Development, 6(1) 93-114.
Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Univeritas
Indonesia.
Sen, Amartya. 1979. Utilitarianism and Welfarism. Dalam The Journal of Philosophy,
LXXVI, 463-489.
. 1980. Equality of What? Dalam The Tanner Lectures on Human Values (suntingan
S. McMurrin). Salt Lake City: University of Utah Press.
. 1985. Commodities and Capabilities. Oxford: Oxford University Press
. 1992. Inequality Re-examined. Oxford: Oxford University Press.
. 1993. Capability and Well-being dalam Nussbaum dan Sen, The Quality of Life.
. 1999. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.
. 2002. Rationality and Freedom. Cambridge, MA: Harvard University Press.
. 2004. Capabilities, Lists and Public Reason: Continuing the Conversation. Dalam
Feminist Economics, 10:7780.
Stromquist, Nelly. 1998. Empowering Women through Knowledge: Politics and Practices
dalam International Cooperation in Basic Education. Stanford, CA: SIDEC.
Unterhalter, E. 2003. The Capabilities Approach and Gendered Education: An Examination
of South African Complexities. Dalam Theory and Research in Education, 1 (1):
722.
Walker, M. dan Unterhalter, E. (editor). 2007. Amartya Sens Capability Approach and
Social Justice in Education. New York: Palgrave MacMillan.

xvii

DAFTAR ISI

PENGANTAR .. iii
DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar ... xvi
DAFTAR ISI.. xviii
BAB I: KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER
1. Pendahuluan... 1
2. Kepribadian dan Karakter...... 2
3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter.... 4
4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional. 4
5. Kriteria Karakter yang Kuat. 6
6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter yang Membentuknya. 7
7. Karakter dan Spiritualitas.. 12
8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan. 15
DAFTAR PUSTAKA untuk Bab I....................................................................

17

BAB II: DASAR-DASAR FILSAFAT


1. Pendahuluan ...... 18
2. Pengertian Filsafat...... 20
3. Cabang dan Aliran Filsafat..... 26
4. Alternatif Langkah Belajar Filsafat.... 34
DAFTAR PUSTAKA untuk Bab II ............................................................. 38

BAB III: DASAR-DASAR LOGIKA.... 39


1. Apakah Logika Itu?...................................... 39
2. Kategori......... 43
3. Term, Definisi dan Divisi... 48

xviii

3.1 Term..... 48
3.2 Definisi. 49
3.2.1 Penggolongan Definisi 50
3.2.2 Aturan Membuat Definisi 51
3.3 Divisi. 52
3.3.1 Divisi Real atau Aktual 52
3.3.2 Divisi Logis.. 53
3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi. 53
4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi.... 54
4.1 Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi... 54
4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks 56
4.3 Jenis-Jenis Pernyataan Kompleks. 58
4.3.1 Negasi... 58
4.3.2 Konjungsi. 59
4.3.3 Disjungsi.. 61
4.3.4 Kondisional.. 62
4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang
Mencukupi 64
4.4 Hubungan Antar-pernyataan..... 65
4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dan Proposisi 66
4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi. 68
4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis. 68
5. Penalaran.... 70
5.1 Penyimpulan Langsung...... 70
5.2 Penyimpulan Tak Langsung..... 71
5.3 Dua Jenis Penalaran.. 72
5.4 Kesalahan Penyimpulan 72
5.5 Argumentasi.. 73
6. Argumen Deduktif... 74
6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi). 74
6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif.. 74
6.3 Silogisme... 75
6.3.1 Silogisme Kategoris. 76
6.3.2 Delapan Hukum Silogisme.. 76
xix

6.3.3 Silogisme Hipotetis. 79


6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih. 79
7. Argumen Induktif... 81
7.1 Definisi Induksi 81
7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif). 84
7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal.. 88
7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik.. 92
8. Sesat Pikir.... 100
8.1 Pengertian Sesat Pikir (Fallacies).. 100
8.2 Sesat Pikir Formal. 101
8.3 Sesat Pikir Nonformal.. 104
9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif. 109
9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif.. 110
9.2 Kesalahan Generalisasi. 112
9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan
Kecelakaan). 112
9.2.2 Kesalahan Kecelakaan. 113
9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah. 116
9.3.1 Kesimpulan yang Tidak Relevan. 116
9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan 117
9.4 Kesalahan Statistikal 119
9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias). 119
9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Ststistik yang Tidak Cukup). 120
9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gamblers Fallacy)...... 122
9.5 Kesalahan Kausal. 123
9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat. 124
9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama 125
9.5.3 Kesalahan Penyebab yang Salah (Kesalahan Post Hoc). 126
9.5.4 Mengacaukan Penyebab yang Berupa Necessary Condition dengan
Sufficient Condition 127
9.6 Kesalahan Analogi 129
DAFTAR PUSTAKA untuk Bab III................................................... 132

BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA. 133


xx

1. Perbedaan Etika dan Moralitas...................................................................... 133


2. Klasifikasi Etika.. 135
2.1 Etika Normatif.. 136
2.2 Etika Terapan 137
2.3 Etika Deskriptif. 138
2.4 Metaetika.. 140
3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis.... 141
3.1 Realisme Etis. 141
3.2 Nonrealisme Etis... 142
4. Empat Jenis Pernyataan Etika. 143
5. Kegunaan Etika... 145
6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban. 146
7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian.. 149
8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban.. 152
DAFTAR PUSTAKA untuk Bab IV ........................................ 156

xxi

BAB I
KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER

Bagus Takwin

1. Pendahuluan
Persoalan karakter belakangan ini mencuat kembali. Ada banyak pembahasan tentang
karakter di dalam diskusi dan seminar. Bermunculan juga lembaga pendidikan yang diberi
label pendidikan karakter. Program-program pendidikan dari pemerintah pun mulai banyak
memberi penekanan pada pendidikan karakter. Kecenderungan ini adalah kecenderungan
yang baik jika memang persoalan karakter dibidik secara tepat, dan juga jika pendidikan
karakter yang dimaksud bukan label saja.
Pembentukan karakter memang menjadi salah satu kunci dari kemajuan dan
pembangunan bangsa. Jauh-jauh hari Bung Hatta (1932/1988) sudah menekankan pentingnya
pembentukan karakter bersama dengan pembangunan rasa kebangsaan dan peningkatan
pengetahuan serta keterampilan (Hatta, 1988). Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa
tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia
dengan karakter yang kuat (Dewantara, 2004). Pembentukan karakter juga merupakan isu
penting dalam pendidikan mengingat tujuan pendidikan adalah pembentukan watak atau
karakter (Santoso, 1979).
Dalam psikologi, khususnya psikologi positif, belakangan ini pembahasan tentang
karakter dengan kekuatan dan keutamaannya cukup menonjol. Dalam rangka memahami
kebahagiaan, mereka sampai pada pengertian bahwa kebahagiaan yang otentik adalah
perpaduan perasaan-perasaan positif dan penilaian-penilaian terhadap hidup yang memuaskan
berdasarkan kekuatan dan keutamaan karakter. Kebahagian otentik bersumber pada diri
sendiri dan pada kekuatan dan keutamaan karakter, tetapi bukan berasal dari hal-hal lain di
luar diri sendiri. Dengan kekuatan dan keutamaan karakter, orang dapat menghasilkan
perasaan-perasaan positif dalam situasi apa pun. Ia juga dapat melihat sisi-sisi baik dari
hidupnya sehingga ia dapat memberikan penilaian positif pula kepada hidupnya. Oleh sebab
itu, pendidikan karakter juga merupakan usaha untuk membantu peserta didik mencapai
kebahagiaan.

Jika kita pikirkan dengan lebih mendalam lagi, kekuatan karakter bersumber pada
keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual. Manusia memiliki daya-daya spiritual yang
memberikan kebebasan kepadanya untuk melampaui apa yang ada di sini dan saat ini.
Dengan spiritualitasnya, manusia mengatasi dan melampaui keterbatasannya sebagai
makhluk alamiah. Spiritualitas manusia merupakan dasar dari kekuatan karakter.
Kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan dunianya dari waktu ke waktu bersumber
pada daya-daya spiritualnya.
Dalam bab ini akan dibahas pengertian karakter dengan merujuk kepada Allport
(1937;1961). Selanjutnya akan dibahas kekuatan dan keutamaan karakter yang sudah
dihimpun oleh Peterson dan Seligman (2004) dari pendekatan psikologi positif. Kemudian
dibahas spiritualitas sebagai dasar kekuatan karakter.

2. Kepribadian dan Karakter


Karakter bukan kepribadian meskipun keduanya berkaitan erat. Perlu dibahas lebih
dulu apa yang dimaksud dengan kepribadian mengingat istilah ini sering dipertukarkan
dengan karakter. Selain itu, penjelasan tentang karakter akan lebih mudah dilakukan dengan
menjelaskan kepribadian terlebih dahulu.
Allport (1937:48) mendefinisikan kepribadian sebagai ...the dynamic organization
within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustment to
his environment (organisasi dinamis dari keseluruhan sistem psiko-fisik dalam diri
individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya).
Dari definisi itu dapat dipahami bahwa kerpibadian manusiasebagai hal yang
terorganisasitidak acak, dan unsur-unsurnya tidak bekerja sendiri-sendiri. Kepribadian
manusia adalah kesatuan yang teratur dengan unsur-unsur yang berkaitan satu sama lain.
Allport juga memandang kepribadian manusia sebagai sesuatu yang dinamis. Artinya,
kepribadian manusia terus bergerak dan berkembang, tidak berhenti atau terhenti pada satu
titik. Kepribadian manusia tampil dalam perilaku yang melibatkan aspek psikis seperti
berpikir, mempercayai dan merasakan sesuatu. Kepribadian juga tampil dalam perilaku yang
melibatkan aspek fisik manusia seperti berjalan, berbicara dan melakukan tindakan-tindakan
motorik.
Organisasi, dinamika, dan interaksi antara psikis dan fisik manusia dalam
kepribadiannya menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya. Di sini
terkandung pengertian bahwa baik faktor internal diri manusia maupun faktor eksternal
(lingkungan)-nya mempengaruhi kepribadian manusia. Manusia memiliki otonomi dalam
2

dirinya tetapi, di sisi lain, ia juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara unik.
Dengan keunikan itu, seorang manusia berbeda dari manusia lainnya.
Allport (1937; 1961) menambahkan beberapa pengertian yang menyangkut kepribadian
sebagai berikut. Pertama, kepribadian dapat dipahami sebagai perpaduan dari sifat-sifat
(traits) mayor dan minor yang masing-masing dapat berdiri sendiri dan dikenali. Kedua, sifat
kepribadian (personality trait) merupakan suatu mekanisme paduan antara faktor-faktor
biologis, psikologis, dan sosial yang mengarahkan individu kepada kegiatan-kegiatan spesifik
dalam suatu keadaan yang spesifik. Ketiga, seorang ahli psikologi dapat mengatakan bahwa
dirinya memahami orang lain hanya jika keseluruhan sejarah hidup orang itu telah
ditelitinya, hanya jika hidup orang itu diamati, dan hanya jika orang itu sendiri ikut
berkontribusi dalam proses penilaian terhadap dirinya sendiri (self-evaluation).
Allport cenderung untuk tidak memilah-milah dan menganalisis motif, keinginan, dan
perilaku sebagai hal yang terpisah satu sama lain, melainkan menganggapnya sebagai hal-hal
yang saling mempengaruhi. Allport (1961) melihat manusia sebagai keseluruhan yang utuh
berdasarkan pembentukan sifat-sifat dasarnya. Oleh karena itu, dalam memahami kepribadian
seseorang perlu diketahui sejarah hidup, latar belakang budaya, ambisi, cita-cita, karakter,
motif, dan sifatnya serta keterkaitan semua itu dalam pembentukan kepribadiannya.
Pemahaman tentang unsur-unsur kepribadian berdasarkan analisis terhadap unsur-unsurnya
masing-masing itu baru merupakan langkah awal untuk membantu pemahaman tentang
keseluruhan kepribadian. Pada akhirnya, sintesis dari unsur-unsur itulah yang merupakan
gambaran kepribadian.
Allport (1937) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dievaluasi. Artinya,
karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari, dan disesuaikan dengan
nilai dan norma tertentu. Karakter, dengan demikian, adalah kumpulan sifat mental dan etis
yang menandai seseorang. Kumpulan ini menentukan orang seperti apa pemiliknya. Karakter
juga menentukan apakah seseorang akan mencapai tujuan secara efektif, apakah ia apa
adanya dalam berurusan dengan orang lain, apakah ia akan taat kepada hukum, dan
sebagainya.
Karakter diperoleh melalui pengasuhan dan pendidikan meskipun potensialitasnya ada
pada setiap orang. Untuk membentuk karakter yang kuat, orang perlu menjalani serangkaian
proses pemelajaran, pelatihan dan peneladanan. Seperti yang sudah disebutkan di atas,
pendidikan pada intinya merupakan proses pembentukan karakter.

3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter


Identifikasi karakter yang merupakan pengenalan terhadap keutamaan tertentu pada
diri seseorang dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap ciri-ciri keutamaaan yang tampil
dalam perilaku khusus dan respons secara umum dari orang itu. Peterson dan Seligman
(2004) mengembangkan klasifikasi keutamaan beserta pendekatan metodik untuk
mengidentifikasinya. Mereka mengatakan bahwa karakter yang kuat adalah karakter yang
bercirikan keutamaan-keutamaan yang merupakan keunggulan manusia. Di sini keutamaan
sebagai kekuatan karakter dibedakan dari bakat dan kemampuan. Mereka juga menjelaskan
kondisi situasional yang dapat memunculkan atau menyurutkan kekuatan-kekuatan itu,
pelatihan atau pembinaan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter yang kuat,
serta hasil-hasil positif yang dapat diperoleh seseorang yang memiliki keutamaan.
Penggalian, pengenalan, dan pengukuran keutamaan dapat dilakukan melalui teknik
inventori, skala sikap, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah (focus-group
discussion) dan simulasi. Pada prinsipnya, semua teknik itu membutuhkan ahli yang
memahami konstruk karakter dan keutamaan, terutama dalam proses penafsiran dan
pemaparan keseluruhan karakter subjek yang diteliti. Tetapi, dalam pelaksanaannya, beberapa
teknik dapat digunakan oleh lebih banyak orang yang terlebih dahulu dilatih dalam waktu
singkat.

4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional


Peterson dan Seligman (2004) mengemukaan tiga level konseptual dari karakter, yaitu
keutamaan, kekuatan dan tema situasional dari karakter. Pembedaan ini berguna untuk
kepentingan pengenalan, pengukuran dan pendidikan karakter. Komponen karakter yang baik
tampil dalam level abstraksi yang berbeda sehingga pengenalannya dalam kenyataan praktis
pun memerlukan pendekatan yang berbeda. Cara mengenali keutamaan berbeda dengan cara
mengenali kekuatan karakter, juga berbeda dengan cara mengenali tema situasional.
Hubungan antara keutamaan, kekuatan dan tema situasional karakter bersifat
hierarkis. Keutamaan berada di level atas, lalu kekuatan di level tengah, dan tema situasional
di level bawah. Dalam keseharian, kita terlebih dahulu mengenali tema situasional dari
karakter. Ketika orang menampilkan serangkaian perilaku dalam situasi tertentu, kita dapat
mengenai tema situasional tertentu dari karakter, tetapi kita belum dapat menyimpulkan
bahwa orang itu memiliki kekuatan tertentu. Kita dapat lebih memastikan kekuatan apa yang
dimiliki orang itu jika kita dapat mengenali bahwa orang itu juga menampilkan perilakuperilaku sesuai tema situasional tertentu dalam beberapa situasi. Kemudian, jika dalam
4

berbagai situasi dan dalam rentang waktu yang relatif lama, seseorang menunjukkan berbagai
kekuatan tertentu secara konsisten, baru kita dapat mengenali keutamaan orang itu.
Keutamaan merupakan karakteristik utama dari karakter (Peterson & Seligman,
2004). Para filsuf dan agamawan menjadikan keutamaan sebagai nilai moral oleh karena itu
keutamaan dianggap sebagai dasar dari tindakan yang baik. Berbagai perilaku dapat dinilai
berdasarkan keutamaan yang secara umum terdiri dari: kebijaksanaan, courage (kesatriaan),
kemanusiaan, keadilan, pengendalian atau pengelolaan diri, dan transendensi. Enam kategori
besar keutamaan ini muncul secara konsisten dalam survei sejarah sehingga dinilai sebagai
keutamaan universal. Peterson dan Seligman (2004) pun menegaskan bahwa enam
keutamaan ini universal dan mungkin memiliki dasar pada manusia secara biologis. Enam
keutamaan ini harus ada di atas batas nilai standar pada individu yang dipercaya sebagai
orang yang memiliki karakter yang baik.
Kekuatan

karakter

adalah

unsur

psikologis,

lebih

tepatnya,

proses

yang

mendefinisikan keutamaan. Dengan kata lain, keutamaan dapat dicapai melalui pencapaian
kekuatan karakter. Untuk kepentingan pengukuran dan pendidikan karakter, kekuatan
karakter adalah karakteristik yang dijadikan indikator untuk mengenali adanya satu atau lebih
keutamaan pada diri seseorang. Peterson dan Seligman (2004) memberi contoh berikut ini.
Keutamaan kebijaksanaan dapat dicapai melalui kekuatan seperti kreativitas, rasa ingin tahu,
cinta pembelajaran, keterbukaan pikiran, dan perspektif (memiliki gambaran besar
mengenai kehidupan). Untuk memiliki keutamaan kebijaksanaan, orang harus memiliki
kekuatan-kekuatan ini. Kekuatan karakter ini memiliki kesamaan peran dan pengaruh dalam
keterlibatannya menghasilkan pengetahuan. Perolehan dan penggunaan pengetahuan
melibatkan kekuatan-kekuatan ini. Tetapi, kekuatan-kekuatan ini juga berbeda satu sama lain.
Sekali lagi, kita mengenali semua kekuatan ini di setiap tempat dan dihargai meski jarang
orang menampilkannya. Selain itu, tidak harus semua kekuatan tampil untuk dapat menyebut
seseorang berkarakter baik. Orang yang memiliki satu atau dua kekuatan ini saja dapat
dikatakan berkarakter baik, bahkan dapat disebut memiliki keutamaan kebijaksanaan.
Tema situasional dari karakter adalah kebiasaan khusus yang mengarahkan orang
untuk mewujudkan kekuatan karakter dalam situasi tertentu. Pengenalan rinci terhadap tema
situasional membutuhkan pengenalan terhadap situasi dari satu tempat ke tempat lain.
Sebagai contoh, survei oleh The Gallup Organization mengenali ratusan tema yang relevan
dengan kinerja prima di tempat kerja, di antaranya empati, inklusivitas (menghargai
perbedaan dan terbuka pada siapa saja), dan positivitas (berpikir positif) yang mencerminkan
kebaikan hati yang tercakup dalam kekuatan cinta dan kecerdasan sosial, serta tercakup
5

dalam keutamaan kemanusiaan (Peterson dan Seligman, 2004). Munculnya tema situasional
bergantung pada karakteristik tempat beradanya seseorang. Tema situasional dapat muncul
dalam lingkungan yang meleluasakan individu tampil apa adanya, jujur dan tulus. Dari sini
dapat dipahami bahwa lingkungan juga berperanan penting dalam memfasilitasi munculnya
kekuatan karakter melalui pemunculan tema situasional. Semakin banyak dan sering tema
situasional ditampilkan semakin terbentuk kekuatan karakter. Dalam pendidikan karakter,
perancangan lingkungan yang memfasilitasi tampilnya tema situasional menjadi faktor
penting untuk pembentukan karakter yang baik.

5. Kriteria karakter yang kuat


Apa yang menjadi kualitas dari kekuatan karakter pribadi dan bagaimana
mengenalinya?
Peterson dan Seligman (2004) mengemukakan kriteria dari karakter yang kuat
sehingga kita dapat mengenalinya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ialah kriteria dari
karakter yang kuat.
1. Karakter yang ciri-cirinya (keutamaan yang dikandungnya) memberikan sumbangan
terhadap pembentukan kehidupan yang baik untuk diri sendiri dan sekaligus untuk orang
lain.
2. Ciri-ciri atau kekuatan yang dikandungnya secara moral bernilai sebagai sesuatu yang
baik bagi diri sendiri dan orang lain, bahkan walaupun tak ada keuntungan langsung yang
dihasilkannya.
3. Penampilan ciri-ciri itu tidak mengganggu, membatasi atau menghambat orang-orang di
sekitarnya.
4. Kekuatan karakter tampil dalam rentang tingkah laku individu yang mencakup pikiran,
perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi dan diperbandingkan derajat kuatlemahnya.
5. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya.
6. Kekuatan karakter diwadahi oleh model atau kerangka pikir ideal.
7. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain tetapi yang saling terkait
secara erat.
8. Dalam konteks dan ruang lingkup tertentu, kekuatan karakter tertentu menjadi ciri yang
mengagumkan bagi orang-orang yang mempersepsinya.
9. Boleh jadi tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang, tetapi kebanyakan
dari ciri-ciri karakter yang kuat tampil pada orang itu.
6

10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada dalam diri sendiri, dan
aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Peterson (2006) percaya bahwa orang memiliki tanda kekuatan yang sama dengan
yang disebut Allport sebagai personal traits (sifat pribadi) satu dekade lalu. Kekuatan
karakter itu yang dimiliki, dihargai, dan seringkali dilatih orang. Dalam penelitian Peterson,
ditemukan bahwa hampir setiap orang dapat secara cepat mengenali sekumpulan kekuatan
yang mereka ia miliki, sekita 2 sampai 5 kekuatan pada setiap orang.

6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter Yang Membentuknya


Dalam usaha membentuk karakter, diperlukan pemahaman mengenai apa yang saja
keutamaan dan kekuatan karakter yang sejauh ini sudah dikembangkan oleh manusia.
Peterson dan Seligman (2004) berusaha untuk membuat daftar kekuatan karakter pribadi.
Daftar ini masih terus dilengkapi dan tidak tertutup terhadap penambahan. Seperti teori
ilmiah lainnya, teori tentang kekuatan karakter adalah subyek yang siap untuk diubah sesuai
dengan bukti yang ditemukan dari waktu ke waktu. Berikut ini 24 kekuatan karakter yang
tercakup dalam 6 kategori keutamaan.

Kebijaksanaan dan Pengetahuan


Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi
kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Ada enam
kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini, yaitu (1) kreativitas, orisinalitas dan
kecerdasan praktis, (2) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (3) cinta akan
pembelajaran, (4) pikiran yang kritis dan terbuka, dan (5) perspektif atau kemampuan
memahami beragam perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk
pencapaian hidup yang baik.
Kreativitas memberikan kemampuan untuk berpikir dengan cara baru dan produktif
dalam membuat konsep dan menyelesaikan pekerjaan. Bersama dengan kekuatan orisinalitas
dan kecerdasan praktis, kreativitas memungkinkan orang yang memilikinya untuk dapat
menemukan solusi atau produk orisinal serta mampu menemukan cara-cara yang cerdik
untuk untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Keingintahuan mencakup minat, dorongan untuk mencari kebaruan, keterbukaan
terhadap pengalaman. Kekuatan ini menjadikan orang memiliki minat dalam pengalaman

yang sedang berlangsung baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, serta
melakukan penjelajahan dan penemuan.
Keterbukaan pikiran mencakup kemampuan membuat penilaian dan berpikir kritis.
Kekuatan ini memampukan orang yang memilikinya untuk berpikir mendalam dan
menyeluruh tentang berbagai hal, memeriksa mereka dari semua sisi, serta menimbang semua
bukti memadai.
Cinta pembelajaran memampukan orang yang memilikinya menguasai keterampilan,
topik, dan cabang pengetahuan baru, baik dengan cara belajar sendiri maupun secara formal
dalam lembaga pendidikan. Dengan kekuatan ini, orang mau terus belajar dan terus menerus
mengembangkan dirinya menjadi lebih.
Kekuatan perspektif menjadikan orang yang memilikinya mampu memberikan nasihat
bijak kepada orang lain serta memiliki cara untuk melihat dunia yang masuk akal bagi diri
sendiri dan orang lain. Dengan keutamaan ini, orang dapat memahami berbagai perspektif
yang ada dan menemukan benang merah di antara perspektif.

Kemanusiaan dan Cinta


Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan
interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Keutamaan ini terdiri
atas kekuatan (1) baik dan murah hati, (2) selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu
orang lain, mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai, serta (3) kecerdasan sosial
dan kecerdasan emosional.
Kekuatan

Kemanusiaan

adalah

kekuatan

interpersonal

yang

melibatkan

kecenderungan dekat dan berteman dengan orang lain. Kekuatan cinta membuat orang
mampu menjalin hubungan dekat dengan orang lain, khususnya yang bercirikan kegiatan
berbagi dan peduli yang saling membalas.
Kekuatan kebaikan hati mencakup kedermawanan, pemeliharaan, perawatan, kasih
sayang, dan altruistik menjadikan orang mau berbagi kesenangan dan kebaikan dengan orang
lain. Orang dengan kekuatan ini menjadi berbuat baik sebagai bagian dari pengembangan
dirinya.
Kecerdasan sosial mencakup kecerdasan emosional dan kecerdasan intrapersonal
memampukan orang yang memilikinya memahami motif dan perasaan orang lain, serta
memahami motif dan perasaan diri sendiri. Orang dengan kekuatan ini dapat menempatkan
diri sesuai dengan kebutuhan orang lain tanpa mengorbankan kebutuhan diri sendiri. Mereka
mengembangkan dirinya sekaligus juga mengembangkan orang lain.
8

Kesatriaan (Courage)
Keutamaan kesatriaan (courage) merupakan kekuatan emosional yang melibatkan
kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan,
baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup empat kekuatan, yaitu (1) untuk
menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, (2) ketabahan atau kegigihan, tegus dan keras

hati, (3) integritas, kejujuran, dan penampilan diri dengan wajar, serta (4) vitalitas,
bersemangat dan antusias.

Kekuatan Keberanian mencakup kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan


kehendak untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi eksternal dan internal membuat
orang tahan menghadapi ancaman dan tantangan. Orang dengan kekuatan ini kehendaknya
tidak menyusut ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi seperti rasa nyeri
atau keletihan. Kekuatan ini memampukan orang bertindak atas keyakinan meskipun tidak
populer.
Ketabahan atau kegigihan mencakup ketekunan dan kerajinan adalah kekuatan yang
memampukan orang untuk menyelesaikan apa sudah dimulai, bertahan dalam suatu
rangkaian pencapaian tindakan meskipun ada hambatan. Orang dengan kekuatan ini mampu
menyesuaikan kata-kata dan perbuatan, serta berpegang pada prinsip dalam berbagai situasi,
bahkan situasi yang menghambat dan mengancam.
Integritas yang mencakup otentisitas (keaslian), kejujuran dan penampilan diri yang
wajar adalah kekuatan yang membuat orang mampu menampilkan diri secara tulus. Orang
dengan kekuatan ini mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakannya. Ia mau
bertanggung jawab untuk semua perbuatannya dan menjalankan tugas-tugas secara jujur.
Vitalitas mencakup semangat, antusiasme, semangat, dan penuh energi adalah
kekuatan yang membuat orang dapat menjalani kehidupan penuh dengan kegembiraan,
semangat dan energi. Orang dengan kekuatan ini merasa hidup, aktif dan penuh daya juang.

Keadilan
Keutamaan keadilan (justice) mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu
masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup di sini, yakni 1) kewarganegaraan atau
kemampuan mengemban tugas, dedikasi dan kesetiaan demi keberhasilan bersama, 2)
kesetaraan (equity dan fairness) perlakuan terhadap orang lain atau tidak membeda-bedakan
perlakuan yang diberikan kepada satu orang dengan yang diberikan kepada orang lain, dan 3)

kepemimpinan. Keadilan adalah kekuatan sipil yang mendasari kehidupan masyarakat yang
sehat.
Kewarganegaraan mencakup tanggung jawab sosial, loyalitas dan kesiapan kerja
dalam tim membuat orang dapat bekerja dengan baik sebagai anggota kelompok yang setia
kepada kelompok.
Kesetaraan adalah kekuatan yang membuat orang memperlakukan semua orang sama
di hadapan keadilan, bukan membiarkan keputusan atau perasaan pribadi yang bias tentang
orang lain. Kekuatan ini menghindarkan orang dari prasangka primordial seperti rasisme dan
stereotipe. Orang dengan kekuatan ini mementingkan kesejahteraan orang lain seperti
kesejahteraannya sendiri.
Kepemimpinan adalah kekuatan yang mendorong orang sebagai anggota kelompok
atau sebagai pemimpin untuk menyelesaikan tugas dan pada saat yang sama menjaga
hubungan yang baik dengan orang lain dalam kelompok. Orang dengan kekuatan ini dapat
menempatkan diri dan bekerja secara prima baik sebagai pemimpin maupun sebagai
bawahan.

Pengelolaan Diri
Pengelolaan diri (temperance) adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala
akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya
tercakup kekuatan (1) pemaaf dan pengampun, (2) pengendalian diri, (3) kerendahan hati, dan
(4) kehati-hatian (prudence). Keutamaan ini melindungi terhadap kemungkinan hidup
berlebihan atau berkurangan, serta menjaga orang berada di situasi yang tepat. Kata lain yang
dapat digunakan untuk keutamaan ini adalah ugahari.
Pengampunan dan belas kasihan adalah kekuatan yang memberikan orang
kemampuan untuk mengampuni mereka yang telah berbuat salah, menerima kekurangan
orang lain, memberikan orang kesempatan kedua, dan tidak pendendam. Kekuatan ini
membuat orang percaya kepada kemampuan manusia untuk berbuat baik dan menghindarkan
diri dari pesimisme terhadap kebaikan manusia.
Pengendalian diri adalah kekuatan yang memampukan orang mengetahui apa yang
masuk akal dan tidak masuk akal untuk dilakukan sehingga dapat memilih hal-hal yang
masuk akan untuk dilakukannya. Kekuatan ini membuat orang dapat disiplin, mengendalikan
selera dan emosi mereka. Orang dengan kekuatan ini dapat menentukan tindakan-tindakan
yang tepat bagi dirinya sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

10

Kerendahan hati atau kesederhanaan adalah kekuatan yang membuat orang


mengedepankan prestasi daripada pengakuan atas keberhasilan. Orang dengan kekuatan ini
tidak melakukan kebaikan hanya untuk diri mereka sendiri. Prestasi bagi orang dengan
kekuatan ini bukan tentang diri sendiri, melainkan untuk sebanyak mungkin orang. Mereka
tida menilai diri sendiri sebagai lebih atau khusus dibandingkan orang lain.
Kehati-hatian adalah kekuatan yang membuat orang selalu berhati-hati dalam memilih
seseorang, tidak mengambil risiko yang tidak semestinya, tidak mengatakan atau melakukan
hal-hal yang nantinya mungkin akan disesali.

Transendensi
Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia
dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Di dalam keutamaan
ini tercakup kekuatan (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2)
kebersyukuran (gratitude) atas segala hal yang baik, (3) penuh harapan, optimis, dan
berorientasi ke masa depan, semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari;
(4) spiritualitas: memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta,
serta (5) menikmati hidup dan selera humor yang memadai. Keutamaan Transendensi adalah
kekuatan yang menempa orang untuk dapat memahami koneksi yang ada di alam semesta,
memahami daya-daya yang lebih besar dari manusia, serta memperoleh dan memberikan
makna.
Penghargaan terhadap keindahan dan keunggulan yang mencakup kekaguman,
keheranan, peningkatan kesadaran adalah kekuatan yang membuat orang mampu menghargai
keindahan, keunggulan, keterampilan, dan kinerja yang baik dalam berbagai ranah
kehidupan. Pada diri sendiri, orang dengan kekuatan ini terdorong juga untuk menghasilkan
keindahan, keunggulan, keterampilan dan kinerja yang baik. Kekuatan ini juga membuat
orang mampu menangkap inspirasi atau gugahan untuk menampilkan diri lebih baik.
Syukur adalah kekuatan yang menbuat orang dapat menyadari dan berterima kasih
atas hal baik yang terjadi, serta meluangkan waktu untuk mengungkapkan terima kasih.
Orang dengan kekuatan ini menerima apa yang ada dalam kehidupan sebagai anugrah dan
berkah sehingga selalu berusaha menampilkan perilaku yang baik sebagai ungkapan terima
kasihnya.
Harapan mencakup optimisme, menjalani hidup secara positif dari waktu ke waktu,
dan pikiran yang berorientasi ke masa depan adalah kekuatan yang membuat orang selalu
mengharapkan yang terbaik di masa depan dan bekerja untuk mencapainya. Orang dengan
11

kekuatan ini selalu optimistik menjalan hidup, berusaha terus menerus untuk lebih baik, dan
percaya bahwa yang baik selalu dapat dicapai dalam hidup.
Spiritualitas mencakup religiusitas, iman, dan adanya tujuan hidup adalah kekuatan
yang membuat orang memiliki keyakinan koheren tentang tujuan yang lebih tinggi, makna
hidup, dan makna alam semesta. Orang dengan kekuatan ini menampilkan perilaku yang
konsisten dan koheren sebagai bagian dari usaha mencapai tujuan hidupnya dan berusaha
menyesuaikan diri dan aktivitasnya dengan daya-daya yang lebih besar di alam semesta.
Kekuatan menikmati hidup dan humor membuat orang dapat menjalani hidup yang
penuh suka-cita, menyukai tertawa dan menggoda orang untuk menghasilkan keceriaan,
membawa dirinya dan orang lain kepada situasi yang membuat tersenyum, serta melihat sisi
terang dari kehidupan. Orang dengan kekuatan ini menjalani hidup secara ringan meski
dalam situasi-situasi yang sulit dan berat.

Tabel 4.1: Kekuatan dan Keutamaan Karakter


No.

Keutamaan

1.

Kognitif: Kebijaksanaan dan


pengetahuan

2.

Interpersonal: Kemanusiaan

3.

Emosional: Kesatriaan

4.

Kewarganegaraan (Civic):
Berkeadilan

5.

Menghadapi dan mengatasi


hal-hal yang tak
menyenangkan: Pengelolaandiri (Temperance)
Spiritual: Transendensi

6.

Kekuatan
kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, mencintai
kegiatan belajar, perspektif (memiliki gambaran besar
mengenai kehidupan).
cinta kasih, kebaikan hati (murah hati, dermawan, peduli,
sabar, penyayang, menyenangkan dan cinta altruisitik),
serta memiliki kecerdasan sosial.
keberanian untuk menyatakan kebenaran dan mengakui
kesalahan, teguh dan keras hati, integritas (otentisitas,
jujur), serta bersemangat dan antusias.
citizenship (tanggung jawab sosial, kesetiaan, mampu
bekerjasama), fairness (memperlakukan orang setara dan
adil), serta kepemimpinan.
pemaaf dan pengampun, kerendahatian, hati-hati dan penuh
pertimbangan, serta regulasi-diri.

apresiasi keindahan dan kesempurnaan, penuh rasa terima


kasih, harapan (optimis, berorientasi ke masa depan),
spritualitas (religiusitas, keyakinan, tujuan hidup), serta
menikmati hidup dan humor,

7. Karakter dan Spiritualitas


Manusia memiliki kemampuan untuk memahami keterkaitan dirinya dengan seluruh
alam semesta, juga keterkaitan semua hal yang ada di alam semesta. Kekuatan-kekuatan yang
12

tercakup dalam keutamaan karakter transendensi memungkinkan manusia memahami


keterkaitan itu. Dengan kekuatan-kekuatan itu manusia dapat memaknai apa yang ada di
dunia dalam hubungannya dengan hal lain dan dalam konteks keseluruhan semesta.
Pemaknaan terhadap keseluruhan alam ini dimungkinkan adanya pada manusia meskipun
secara fisik ia terbatas dan tak pernah dapat mengenali keseluruhan dunia secara empirik.
Kekuatan dalam keutamaan transendensi ditandai oleh kemampuan untuk
membayangkan apa yang mungkin ada di luar situasi yang dialami kini dan di sini.
Pembayangan itu dapat menggerakkan manusia untuk melampaui situasi kini dan di sini,
mewujudkan apa yang dibayangkannya itu menjadi situasi nyata yang memberikan kebaruan
bagi dunia. Kemampuan membayangkan apa yang mungkin ada dan kemampuan melampaui
situasi kini dan di sini mensyaratkan adanya kemampuan memahami keterkaitan semua unsur
alam semesta. Daya yang memungkinkan manusia untuk melakukan itu semua disebut
spiritualitas.
Istilah spiritualitas mempunyai pengertian yang luas dan menghasilkan penafsiran
yang berbeda-beda. Meskipun tak ada kesatuan pengertian, secara umum kita dapat
memahami fenomena spiritualitas dari berbagai pengertian yang ada dan pernah diajukan
oleh beberapa ahli. Dengan pertimbangan itu, pemaparan beberapa pengertian spiritualitas di
sini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang apa itu spiritualitas. Dalam salah satu
pengertiannya, spiritualitas merujuk kepada sesuatu yang teramat religius, sesuatu yang
berkaitan dengan roh (spirit) dan hal-hal yang sakral. Pembicaraan tentang spiritualitas
merujuk kepada hal-hal yang berhubungan dengan roh dan hal-hal sakral lainnya yang
dianggap berkaitan dengan roh, misalnya Tuhan dan makhluk-makhluk di luar manusia yang
memiliki sifat dan kekuatan gaib. Di dalamnya juga terkandung pengertian tentang
bagaimana kita bersikap dan memperlakukan hal-hal yang gaib dan sakral itu.
Pandangan lain menunjukkan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari kehidupan seharihari. Ia adalah pengalaman yang terjadi di tengah keseharian hidup manusia. Spiritualitas
memberikan kedalaman dan integritas kepada kehidupan manusia sebagai makhluk yang
hidup dalam kebudayaan, tempat, dan waktu tertentu. Perbedaan-perbedaan yang ada
antarmasyarakat hanya gejala yang tampil di permukaan. Di bagian yang lebih dalam, setiap
masyarakat memiliki dasar spiritualitas yang universal. Spiritualitas terpancar dari dalam
semua struktur sosial yang ada dalam setiap masyarakat dan dalam tampilan fisik. Setiap
peristiwa fisik dapat membawa manusia kepada aspek spiritual jika manusia meningkatkan
kepekaannya. Dengan menghayati kehidupan sehari-hari, seseorang dapat merasakan
pengalaman spiritual yang mendalam.
13

Narayanasamy (dalam McSherry, 1998) menegaskan bahwa tidak ada satu pun
definisi dari spiritualitas yang otoritatif. Burnard (1988, dalam McSherry, 1998) melihat
spiritualitas dapat merujuk kepada pengertian yang berbeda pada orang yang berbeda.
Menurutnya semua individu memiliki spiritualitas yang khas dan khusus bagi diri mereka,
terlepas dari orientasi religius dan kepercayaan yang dianutnya. Meskipun begitu, Burnard
menilai definisi spiritualitas yang dikemukakan oleh Murray dan Zentner (1989, dalam
McSherry, 1998) mendekati pengertian yang universal dan komprehensif. Mereka
mendefinisikan spiritualitas demikian:
. . . a quality that goes beyond religious affiliation, that strives for inspirations,
reverence, awe, meaning and purpose, even in those who do not believe in any god.
The spiritual dimension tries to be in harmony with the universe, and strives for
answers about the infinite, and comes into focus when the person faces emotional
stress, physical illness or death.
Definisi Murray dan Zentner tersebut mengusulkan spiritualitas harus ditempatkan
dalam konteks keseluruhan alam semesta dan keterkaitan isi dunia ini. Spiritualitas
melampaui afiliasi terhadap agama tertentu. Spiritualitas merupakan suatu kualitas yang juga
dapat dicapai bahkan oleh mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Pada intinya, dimensi
spiritual manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan dengan alam semesta dan
menjawab pertanyaan tentang yang tak terbatas. Definisi ini menunjukkan spiritualitas
sebagai hal yang kompleks dan memiliki kaitan dengan banyak variabel. Segala hal yang ada
di alam semesta ini terkait dengan spiritualitas.
Dengan demikian, spiritualitas dapat dipahami sebagai dasar kekuatan dan keutamaan
karakter manusia. Kekuatan yang terkandung dalam keutamaan transendensi merupakan
kekuatan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan
memberi makna kepada kehidupan. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam keutamaan
transendensi ada penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan. Penghargaan ini
memberikan dasar bagi manusia untuk menjalani hidup secara bermakna, optimis, dan selalu
memperjuangkan kebaikan. Penghargaan ini juga menyebabkan kekuatan karakter yang lain
menjadi penting dalam rangka memperjuangkan kehidupan yang indah dan sempurna. Tanpa
penghargaan akan kehidupan yang indah dan sempurna, kita tidak dapat mengembangkan
kekuatan karakter pada diri kita sebab kita akan cenderung pesimis, masa bodoh, semenamena, dan membiarkan saja hal-hal buruk terjadi, jika kita memaknai hidup sebagai hal yang
buruk, jelek, dan kacau-balau. Kita memperjuangkan kehidupan yang baik jika kita percaya
bahwa dalam hidup kita ada yang baik, indah, dan sempurna yang perlu diperjuangkan terus.
14

Dengan pemaknaan terhadap hidup yang baik, indah dan mengandung kesempurnaan,
kita membangun rasa syukur dan terima kasih atas segala hal baik, indah dan sempurna itu.
Kita pun dapat hidup dengan penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan. Dengan
itu kita memaknai adanya tujuan kehidupan di masa depan. Kita meningkatkan spiritualitas,
menambah daya untuk mencapai tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam
semesta. Harapan, rasa optimis, dan rasa syukur memberi kita kemampuan untuk memaafkan
dan mengampuni sebab kita tetap dapat melihat kemungkinan segala sesuatu akan menjadi
lebih baik lagi di masa depan. Kita pun dapat menikmati hidup dan mempunyai selera humor
yang memadai sebab pikiran-pikiran positif yang kita hasilkan selalu membantu kita
menemukan hal yang baik, indah, dan sempurna dalam hidup kita. Dengan kenikmatan dan
kepuasan hidup, kita menghasilkan semangat dan gairah besar dalam diri kita untuk
menyongsong hari demi hari. Integritas yang mencakup kejujuran dan kesiapan menghadapi
berbagai situasi secara teguh menjadi benang yang menjalin semua keutamaan lain dalam
menjalani kehidupan agar terus bergerak ke arah yang lebih baik.
Karakter selalu didasari oleh spirtualitas. Daya-daya spiritual menjadi kekuatan kita
untuk bertahan dan setia menuju satu tujuan. Daya-daya itu menghindarkan kita dari godaan
dan menguatkan kita saat berada dalam situasi yang sulit. Pikiran bahwa apa yang kita hadapi
saat ini dan di sini selalu dapat kita lampaui memberikan harapan kepada kita untuk menjadi
lebih baik dan lebih baik lagi. Dengan daya-daya spiritual, manusia dapat melampaui dirinya,
berkembang terus sebagai makhluk yang self-trancendence (selalu mampu berkembang
melampaui dirinya). Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang karakter maka kita juga
berbicara tentang spiritualitas, tentang daya-daya yang menguatkan dan mengembangkan
manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan


Pembentukan karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada
akhirnya, orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia,
mandiri, dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Peterson dan Seligman
(2004) memaparkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan potensi setiap
keutamaan karakter itu pada diri manusia. Dengan demikian, setiap orang memiliki potensi
untuk mencapai kebahagiaan, dan potensi untuk menjalani hidup yang baik; tinggal
bagaimana mengaktualisasikannya. Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu
memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan, mengetahui kekuatan tertinggi, dan
menggunakan kekuatan tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal yang
15

lebih besar dari diri sendiri. Jelaslah bahwa ketiga bentuk kebahagiaan ini berkaitan erat
dengan keutamaan dan kekuatan karakter manusia. Jelas juga bahwa ketiga hal itu merupakan
kategori spiritual. Ketiganya dimungkinkan oleh daya-daya spiritual manusia. Singkatnya,
kebahagiaan manusia mensyaratkan pemanfaatan daya-daya spiritualnya.
Menurut Seligman, tidak ada jalan pintas untuk mempersingkat pencapaian
kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang
bermakna dan berharga, mengenali diri sendiri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu
memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk kepentingan yang lebih besar. Jadi, jika kita
ingin bahagia, maka kita harus mulai dengan belajar berpikir positif, memandang hidup dan
orang lain sebagai hal yang baik, serta memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang
dianugerahkan kepada kita.
Pendidikan harus diarahkan kepada ketiga kebahagiaan itu. Peserta didik difasilitasi
dan dilatih untuk selalu memaknai setiap tindakan yang dilakukannya. Mereka juga
difasilitasi untuk memahami kekuatan dan keutamaan tertinggi yang dimiliki manusia. Lalu
mereka difasilitasi dan dibiasakan untuk melayani atau mengerjakan hal-hal yang lebih besar
dari mereka sendiri. Perpaduan dari tiga kebahagiaan dan keutamaan-keutamaan karakter
merupakan bahan dari pendidikan karakter. Materi-materi itu yang diajarkan kepada peserta
didik dengan berbagai cara yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan dan
keterampilan, bahkan, lebih jauh lagi, sampai terbentuknya sifat-sifat yang merupakan
keutamaan.
Jika dipahami bahwa inti pendidikan adalah pembentukan karakter maka
seharusnyalah dicamkan pula bahwa setiap pendidikan adalah pembentukan karakter. Dengan
demikian tidak diperlukan pendidikan karakter khusus di luar pendidikan secara
keseluruhan; juga tak diperlukan pelatihan pembentukan karakter. Tetapi belakangan kita
menyaksikan pendidikan secara umum seperti dipisahkan dari pembentukan karakter
sehingga diperlukan usaha khusus untuk menyelenggarakan pendidikan karakter sebelum
nanti pembentukan karakter kembali menjadi inti dari pendidikan.

16

DAFTAR PUSTAKA
Allport, G. W. 1937. Personality: A Psychological Interpretation. New York: Holt.
Allport, G. W. 1961. Becoming: Basic Consideration for a Psychology of Personality. New
Haven: Yale University Press.
Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Hatta, M. 19932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka. Dalam Karya Lengkap Bung Hatta
(Buku 1): Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 21130. Jakarta: Penerbit PT
Pustaka LP3ES Indonesia.
McSherry, W. 1998. Nurses Perceptions of Spirituality and Spiritual Care Nursing
Standard. 13, 4, 36-40. Situs Web: http://www.nursingstandard.co.uk/archives/vol13-04/research.htm.
Peterson, C. (2006). A Primer in Positive Psychology. New York: Oxford University Press
Peterson, C. dan Seligman, M. E. P. 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook and
Classification. Oxford: Oxford University Press.
Radhakrishnan, Sarvepalli, dll. (ed.). 1957. History of Philosophy: Eastern and Western, Vol.
I. London: George Allen & Unwin.
Ross, L. 1995. The Spiritual Dimension: Its Importance to Patients Health, Well-being and
Quality of Life and Its Implications for Nursing Practice. Dalam International.
Journal of Nursing Studies, 32, 5, 451-468.
Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Seligman, M. P. E. 2004. Interview with Martin Seligman. Dalam Edge, 23 Maret 2004.

17

BAB II
DASAR-DASAR FILSAFAT
Bagus Takwin

1. Pendahuluan
Tulisan ini menyajikan secara singkat hal-hal yang mendasar atau prinsip-prinsip dasar
tentang filsafat. Dengan demikian, materi yang disajikan di sini boleh dikatakan hanya berupa
pengantar filsafat disertai identitas utamanya sebagai perkenalan. Pokok bahasan yang termuat
dalam bab ini terdiri atas pengertian, cabang, dan aliran filsafat, serta alternatif langkah belajar
dan manfaat filsafat.
Sebelum masuk ke pembahasan topik-topik tersebut, terlebih dahulu akan dibahas alasan
perlunya kita yang mendalami ilmu pengetahuan atau sains belajar filsafat. Di pendahuluan ini
juga dibahas hubungan filsafat dengan kekuatan dan keutamaan karakter.
Mengapa ilmuwan masih perlu filsafat?
Penjelasan tentang hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dapat kita temui dalam
literatur filsafat ilmu. Filsafat ilmu berkaitan dengan asumsi, fondasi, metode, dan implikasi dari
ilmu pengetahuan. Kajian ini juga berkaitan dengan penggunaan dan manfaat ilmu pengetahuan,
serta eksplorasi apakah hasil ilmiah sungguh-sungguh menghasilkan kebenaran. Filsafat ilmu
juga mempertimbangkan masalah yang berlaku untuk ilmu tertentu (misalnya filsafat biologi
atau filsafat fisika). Beberapa filsuf ilmu juga menggunakan hasil kontemporer ilmu pengetahuan
untuk memperoleh kesimpulan tentang filsafat. Di sisi lain, filsafat ilmu berurusan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan.

18

Ada alasan karya pemenang Hadiah Nobel fisika 1932, Weiner Heisenberg, mengenai
fisika abad ke-20 diberi judul Physics and Philosophy (Fisika dan Filsafat). Juga ada alasan hasil
karya Karl Popper disebut filsafat ilmu. Keduanya memberikan indikasi yang kuat bahwa filsafat
dan ilmu pengetahuan saling membutuhkan. Meski ada pertentangan pendapat mengenai
hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat, dewasa ini hubungan keduanya erat lagi dewasa
ini. Setidaknya, ada tiga bidang kajian filsafat yang dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjadi
dasar bagi aktivitas-aktivitasnya mencari pengetahuan.
1. Etika. Ilmuwan dituntut bertindak secara etis, baik dalam aktivitas mencari pengetahuan
maupun dalam penerapan pengetahuan. Sejarah menunjukkan bahwa tanpa dasar etis,
ilmu pengetahuan dapat menghasilkan kerugian dan kerusakan di dunia.
2. Epistemologi. Sebagai bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan, epistemologi
diperlukan oleh ilmu pengetahuan untuk memberi dasar bagi perolehan pengetahuan.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan epistemologi juga merupakan pertanyaan yang
perlu diajukan ilmu pengetahuan. Bagaimana kita mengetahui apa yang kita ketahui?
Sejauh mana ilmu pengetahuan dapat bekerja tanpa mengkaji pengetahuan? Apa itu
pengetahuan?

Apa

yang

membuat

pengetahuan

benar

dan

bagaimana

kita

mengetahuinya? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab baik oleh filsafat maupun ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan membutuhkan jawaban, setidaknya pendekatan kerja
yang akan digunakan dalam penelitian, yang biasanya tampil dalam bentuk paradigma
ilmiah.
3. Logika. Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita peroleh dihasilkan dari
metode rasional? Apa itu metode rasional? Bagaimana kita memastikan pikiran yang
digunakan dalam usaha perolehan pengetahuan yang benar adalah pikiran yang tepat?

19

Untuk dapat menjawab ini semua dibutuhkan filsafat logika. Tanpa logika, filsafat dan
ilmu pengetahuan tidak dapat memastikan langkah-langkah perolehan pengetahuan yang
benar.
Lalu, mengapa filsafat dibahas beriringan dengan pengembangan kekuatan dan keutamaan
karakter? Apa hubungan antara keduanya?
Karakter dan filsafat memiliki hubungan yang saling menguatkan. Filsafat memang
mengandalkan pikiran karena untuk mencapai kebenaran diperlukan pikiran. Tetapi berfilsafat
tidak hanya menggunakan pikiran. Berfilsafat berarti juga melibatkan keseluruhan diri untuk
terlibat dalam pencarian kebenaran. Ada syarat-syarat berfilsafat yang melibatkan sifat-sifat baik
manusia.
Dari sini dapat dipahami bahwa berfilsafat membutuhkan kekuatan dan keutamaan
karakter. Filsafat yang berarti cinta kebenaran menuntut orang yang menekuninya memiliki
keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan beserta kekuatan-kekuatan yang tercakup di
dalamnya. Tetapi, berfilsafat juga merupakan sebuah cara untuk membangun karakter. Aktivitas
dalam filsafat mencakup kegiatan berpikir, mencari kemungkinan lain dari situasi, menjaga
kesetiaan, berani mengambil risiko, dan sebagainya merupakan aktivitas yang dapat menguatkan
karakter. Dengan dasar itu, maka filsafat dipelajari beriringan dengan pengembangan karakter.

2. Pengertian Filsafat
Kata filsafat pertama kali ditemukan dalam tulisan sejarawan Yunani Kuno, Herodotus
(484-424 SM). Ia menggunakan kata kerja berfilsafat dalam percakapannya dengan Croesus
yang kemudian menyampaikan kepada Solon bahwa ia mendengar Solon telah melakukan
perjalanan melalui berbagai negeri untuk berfilsafat digerakkan oleh hasrat akan pengetahuan.

20

Kata berfilsafat di situ mengindikasikan bahwa Solon mencari pengetahuan untuk pengetahuan
semata. Kata filosof atau filsuf berasal dari kata philosophos yang berati pencinta kebijaksanaan;
philos berarti kebijaksanaan, dan sophos berarti pecinta dari kata dasar sophia yang berarti cinta.
Ada dugaan yang tak dapat dilacak catatan tertulisnya bahwa kata filsafat dapat dilacak
lebih jauh lagi asalnya pada Pythagoras (sekitar 582-500 SM). Dugaan itu didasarkan pada
tulisan Cicero (106-43 SM), Diogenes Laertes dan Iamblichus. Sebagaimana dikatakan oleh
Cicero (terjemahan King, 1945), cerita tentang penggunaan kata filsafat itu terdapat dalam
percakapan Pythagoras dengan Leon, penguasa Phlius di Peloponnesus. Pythagoras menjelaskan
dirinya sebagai filsuf, dan berkata bahwa urusannya adalah menyelidiki hakikat benda-benda.
Penjelasan Cicero diperkuat oleh Laertes (terjemahan Hicks, 1931) dan Iamblichus (terjemahan
Burch, 1965). Dari ketiganya, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari orang-orang kebanyakan
yang mencari ketenaran atau kemasyuran (doxa), filsuf mencari kebenaran (aletheia, kalliston
theorian).
Penggunakan kata filsuf selanjutnya digunakan oleh beberapa penulis Yunani, di antaranya
Xenophon (430-354 SM) dan Plato (427-347 SM). Pengertian filsuf dalam tulisan-tulisan mereka
adalah orang yang mencurahkan diri dan hidupnya untuk mencari kebijaksanaan atau untuk
melakukan pembelajaran. Dalam arti sempitnya, filsuf adalah orang yang menyelidiki dan
mendiskusikan sebab-sebab benda dan kebaikan tertinggi (Thayer, 2011).
Dalam dialog Plato, Phaedrus, ditemukan penggunaan kata filsuf melalui paparan
Socrates:
to all of them we are to say that if their compositions are based on knowledge of the
truth, and they can defend or prove them, when they are put to the test, by spoken
arguments, which leave their writings poor in comparison of them, then they are to be
called, not only poets, orators, legislators, but are worthy of a higher name, befitting
the serious pursuit of their life Wise, I may not call them; for that is a great name

21

which belongs to God alone,lovers of wisdom or philosophers is their modest and


befitting title. (Plato, terjemahan Jowett, 1892: 488)
Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran
dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka
adalah pencinta kebijaksanaan.
Apa yang dilakukan oleh filsuf kemudian disebut filsafat. Dari asal katanya dalam bahasa
Yunani Kuno yaitu philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan) maka artinya adalah cinta akan
kebenaran atau kebijaksanaan (wisdom). Definisi ini masih terlalu umum sebab ada banyak juga
usaha untuk memperoleh kebenaran yang bukan filsafat. Untuk itu perlu dirumuskan sebuah
definisi filsafat yang lebih spesifik. Jika kita pelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran filosofis
sejak Yunani Kuno hingga abad ke-21, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia
untuk memahami segala perwujudan kenyataan secara kritis, radikal dan sistematis.
Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah usaha. Sebuah usaha adalah
sebuah proses, bukan semata produk. Dengan demikian, yang pertama-tama memiliki sifat
sistematis, kritis dan radikal adalah proses memperoleh pengetahuan. Filsafat sebagai sebuah
upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung
terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan
kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan
mungkin ada. Apa yang hendak diketahui filsafat tak terbatas, oleh karena itu proses pemahaman
itu berlangsung terus menerus.
Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis mencerminkan proses pencariannya dan
merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita hanya fokus pada
produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi, sesuatu yang telah
selesai. Bisa jadi, jika kita lihat produknya saja kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai
22

resep, ibarat resep masakan, tinggal diikuti petunjuknya mulai dari bahan sampai cara memasak,
jadilah makanan yang siap santap. Atau sebaliknya kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai
kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan
orang kebanyakan. Itu bisa

terjadi jika kita tidak memahami prosesnya. Padahal, filsafat

semestinya ditujukan kepada siapa saja, kepada semua orang. Filsafat mengupayakan
pengetahuan universal. Lebih penting lagi, filsafat mengupayakan berlangsungnya proses
pencarian pengetahuan universal.
Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai, maka akan terjadi
kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin
merupakan barang yang jadi. Setidaknya, sebagai produk filsafat adalah pemikiran yang perlu
dikaji, direfleksikan dan dikritik lagi.
Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah latin kritein yang berarti memilahmilah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Sifat kritis filsafat mengandung dua
pengertian ini. Berfilsafat berarti memilah-milah obyek yang dikaji dan memberi penilaian
terhadap obyek itu. Dalam berfilsafat, para filsuf memilah satu hal dari hal lainnya untuk
diperbandingkan. Hasil perbandingan kemudian dinilai guna mengetahui hubungan antara hal.
Penilaian diberikan dalam bentuk yang paling sederhana seperti lebih kecil atau lebih besar
hingga bentuk yang kompleks seperti hubungan sebab-akibat dan dialektika (perpaduan dua
hal yang berlawanan dengan dasar pemikiran yang lebih abstrak).
Secara lebih khusus lagi kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada kemungkinankemungkinan baru, dialektis (menjajaki kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan),
tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan
waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir

23

kritis. Lebih khusus lagi, yang dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan
secara aktif untuk memahami dan mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah
informasi itu diterima, ditolak atau belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas.
Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang
berarti akar. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin
diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis
memungkinkan orang untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan
mendalam, orang tidak begitu saja menerima apa yang ada, melainkan mencermati, menemukan
masalah dan lubang-lubang pada pengetahuan yang sudah ada, lalu mencari pejelasan baru
yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa jadi menggantikan penjelasan terdahulu,
membongkar dasar dan mencabut akar-akar pemikiran sebelumnya. Sifat radikal pada filsafat
memungkinkannya memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan
yang mendasar.
Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti
keteraturan, tatanan dan saling keterkaitan. Sistematis di sini memiliki pengertian bahwa upaya
memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta
hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula. Sifat sistematis itu disertai dengan
jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain, sifat sistematis dalam filsafat
sekaligus mencakup sifat logis. Dari sini dapat dipahami bahwa filsafat mencakup logika.
Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Logika yang
digunakan dalam filsafat merupakan logika baru untuk jamannya. Jika kita cermati pemikiran
para filsuf besar dunia, maka kita temukan di sana logika yang mereka gunakan untuk
memahami perwujudan kenyataan yang dikaji.

24

Berdasarkan pengertian filsafat yang sudah dipaparkan di sini, dapat disimpulkan bahwa
berpikir filosofis berarti merenung yang bukan mengkhayal atau melamun. Merenung yang
dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir mendalam, kritis, dan universal dengan
konsentrasi tinggi yang terfokus atau menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu.
Seorang filsuf bernama Jacques Maritain mengatakan, Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan
sifatnya pada hakikatnya berupa usaha mengetahui. Mengetahui dalam arti paling penuh serta
paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian berdasarkan sebab-sebabnya mengapa barang
sesuatu itu seperti keadaannya, tidak bisa lain dari itu (Kattsoff, 2004:65). Usaha mengetahui
yang dilakukan melalui filsafat dengan cara berpikir, harus mengikuti kriteria yang sekaligus
merupakan ciri berpikir filosofis yang disarikan berikut ini. Filsafat merupakan pemikiran yang
sistematis. Perenungan filosofis ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang
rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri.
Perenungan itu dapat dilakukan oleh perseorangan, sama seperti cara bertanya kepada diri
sendiri, dan bisa juga secara berkelompok yang diisi dengan dialog yang bersifat analitis dan
kritik secara timbal balik.
Hasrat filosofis ialah berpikir secara ketat. Kegiatan filosofis sesungguhnya merupakan
perenungan atau pemikiran yang sifatnya kritis, tidak begitu saja menerima sesuatu, mengajukan
pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan mengapa,
dan mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban pertama (pandangan awal). Suatu perenungan
filosofis harus bersifat koheren atau runtut (tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan yang
saling bertentangan alias tidak runtut (inconsistent)). Dua pernyataan yang saling bertentangan
(contradictory), tidak mungkin kedua-duanya benar.

25

Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian konsepsional yang


merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses,
satu demi satu. Di antara yang dibicarakan itu adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan
hasil menjadi sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi kritisnya
manusia terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Jadi,
seorang filsuf pada hakikatnya membicarakan tiga hal, yaitu dunia di sekitarnya, dunia yang ada
dalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri. Dalam filsafat tidak boleh ada misteri. Misteri
adalah sesuatu yang gelap, belum terpecahkan, bahkan bisa jadi tidak akan pernah terpecahkan
karena gaib. Misteri yang telah terpecahkan turun statusnya menjadi problem. Problem adalah
sesuatu masalah yang dapat dipecahkan (ada ilmu untuk itu: how to solve the problem). Objek
filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Pada dasarnya filsafat menelaah
segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Namun, masalah yang dipikirkan itu harus
jelas, bukan yang misterius. (Kattsoff, 2004:15.)

3. Cabang dan Aliran Filsafat


Ada berbagai cara untuk membagi filsafat menjadi cabang-cabang yang memiliki obyek
kajian khusus. Kita dapat menemukan pembagian filsafat berdasarkan sistematika permasalahan
(Gazalba, 1979) atau area kajian filsafat yang secara garis besar terdiri dari ontologi,
epistemologi dan axiologi. Kita juga bisa menemukan pembagian filsafat berdasarkan obyek
kajian dengan cabang-cabang di antaranya filsafat alam, filsafat matematika, filsafat ilmu,
filsafat sejarah, filsafat ketuhanan, filsafat bahasa, filsafat agama dan filsafat politik.
Di sini kita akan fokus pada pembagian filsafat berdasarkan sistematika permasalahannya.
Seperti yang sudah disebut, filsafat secara sistematis terbagi menjadi 3 bagian besar:

26

1) Ontologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being) atau tentang apa yang
nyata;
2) Epistemologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji hakikat dan ruang lingkup
pengetahuan; dan
3) Axiologi yaitu bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang
seharusnya dilakukan manusia.

Ontologi
Epistemologi
dlm arti sempit
Metafisika

1
2

Filsafat Ilmu

3
Metodologi

Etika
Estetika

Logika

Gambar 1. Diagram pembagian bidang filsafat

Ontologi
Istilah ontologi berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu onta yang berarti ada dan logia
yang berarti ilmu, kajian, prinsip atau aturan. Ontologi secara umum didefinisikan sebagai
studi filosofis tentang hakikat ada (being), eksistensi, atau realitas, serta kategori dasar
keberadaan dan hubungan mereka. Ontologi secara tradisional dianggap sebagai cabang utama
filsafat. Tetapi belakangan, banyak filsuf modern dan pascamodern yang mengabaikan ontologi
dan tidak memiliki pemikiran ontologis, atau menganggap ontologi bukan bagian penting dari
filsafat. Meskipun demikian, masih banyak filsuf yang masih menganggap penting ontologi.
27

Sebagai bidang kajian filsafat tentang ada, ontologi dalam arti umum dibagi dua menjadi
dua subbidang, yaitu ontologi (dalam arti khusus) dan metafisika. Ontologi dalam arti khusus
mengkaji ada yang keberadaannya tidak disangsikan lagi. Dalam ontologi kita berfilsafat
tentang sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra. Sedangkan
metafisika mengkaji ada yang masih disangsikan kehadirannya.
Kata metafisika berasal dari kata tameta dan taphysika. Tameta berarti di balik atau
dibelakang. Taphysika berarti sesuatu yang bersifat fisikal, dapat ditangkap bentuknya oleh
indra. Berdasarkan asal katanya itu, metafisika diartikan sebagai kenyataan di balik fisika atau
kenyataan yang bentuknya tak terjangkau oleh indra. Metafisika berhubungan dengan obyekobyek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena obyek itu melampaui sesuatu yang
bersifat fisik. Secara fisik ada itu tidak tampak namun oleh sebagian orang dianggap ada,
misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, pengertian metafisika bergeser menjadi suatu cabang filsafat
yang mengkaji hal-hal (being) yang masih disangsikan kehadirannya. Metafisika berhubungan
dengan objek-objek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena objek itu melampaui
sesuatu yang bersifat fisik. Secara fisik hal itu tidak tampak namun oleh sebagian orang
dianggap ada, misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya. Dapat dikatakan pula
bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji realitas yang supra-inderawi dibalik
gejala-gejala fisik.
Beberapa ahli filsafat memberi pengertian yang berbeda-beda terhadap metafisika. Salah
satunya Whiteley (1977) yang mendefinisikan metafisika sebagai The theory of the nature of
the universe as a whole, and of those general prinsiples which are true of everything that exist.
Menurutnya metafisika adalah teori tentang sifat-sifat alamiah keberadaan dunia sebagai suatu

28

keseluruhan, dan teori yang merupakan prinsip umum itu dapat menjelaskan secara benar segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini.

Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji teori-teori tentang sumber-sumber,
hakikat, dan batas-batas pengetahuan. Oleh karenanya kajian ini masuk juga dalam ruang
lingkup epistemologi. Pertanyaan epistemologis yang hendak dijawab di sini adalah bagaimana
proses perolehan pengetahuan pada diri manusia dan sejauh mana ia dapat mengetahui. Dalam
epistemologi terdapat empat cabang yang lebih kecil (1) epistemologi dalam arti sempit; (2)
filsafat ilmu; (3) metodologi; dan (4) logika.
Epistemologi dalam arti sempit merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat
pengetahuan yang ditelusuri melalui 4 pokok, yaitu 1) sumber pengetahuan, 2) struktur
pengetahuan, 3) keabsahan pengetahuan, dan 4) batas-batas pengetahuan. Pengetahuan di sini
adalah pengetahuan umum atau pengetahuan sehari-hari (knowledge) atau pengetahuan yang
berguna bagi manusia secara praktis (eksistensial pragmatis).
Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji ciri-ciri dan cara-cara
memperoleh ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan yang dikaji berbeda dengan pengetahuan
pada epistemologi dalam arti sempit. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, yang menjadi obyek
adalah pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (science). Berbeda dengan pengetahuan
sehari-hari (knowledge), pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sistematis, diperoleh
dengan menggunakan metode-metode tertentu, logis dan teruji kebenarannya.
Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu
pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih (valid), dan teruji. Di sini

29

cara dan metode ilmu pengetahuan dikaji sejauh mana kesahihannya dalam kegiatan menemukan
ilmu pengetahuan. Di dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja
dan metode ilmu pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada,
dalam metodologi dikaji pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru.
Seperti yang sudah disinggung terdahulu, logika adalah kajian filsafat yang mempelajari
teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Yang menjadi satuan penalaran dalam
logika adalah argumen yang merupakan ungkapan dari putusan (judgment). Penalaran
berlangsung lewat argumen sebagai kelompok proposisi. Proposisi tersusun dari premis ke
kesimpulan lewat proses penyimpulan (inference). Logika berkaitan dengan filsafat ilmu dan
metodologi ilmu. Proposisi adalah pernyataan untuk mengiyakan (afirmasi) atau menyangkal
(negasi) sesuatu yang dapat diujicoba, di dalamnya termasuk bahasa kognitif. Proposisi terdiri
dari pokok yang dibicarakan (subyek), apa yang disangkal atau diiyakan (predikat), dan
hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula). Secara umum ada dua jenis
argumen: 1) induktif dan 2) deduktif. Argumen induktif bergerak dari premis-premis khusus ke
kesimpulan atau premis umum. Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis atau
kesimpulam khusus. Penilaiannya adalah valid atau invalid. Induksi menghasilkan pengetahuan
yang tidak niscaya, melainkan boleh jadi. Kadar kebolehjadiannya dapat diukur lewat statistik
dengan penilaian kuat atau lemah.

Axiologi
Axiologi adalah bidang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan Apa yang dilakukan
manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia? Di sini yang dibicarakan adalah nilainilai (kata axiologi sendiri dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi sumbu perilaku

30

penghayatan dan pengamalan manusia). Axiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari
perilaku-perilaku manusia. Di dalamnya dibahas tentang nilai apa yang berkaitan dengan
kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicarakan tentang nilai rasa manusia
yang dikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika
dan estetika.
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan
apakah itu perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang
yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata etika menunjuk
dua hal. Pertama: disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok
permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan
hukum-hukum tingkah laku manusia. Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasanalasan yang lebih abstrak mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah
sekedar kumpulan perintah dan larangan (harus dan jangan) tetapi merupakan satu sistem
nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu secara teratur untuk mencapai masyarakat yang
berbudaya dan hidup bahagia. Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam
menanggapi apakah sesuatu itu indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan
yang dipersepsi oleh manusia.
Pada dasarnya, pembahasan tentang nilai menyangkut banyak cabang pengetahuan yang
berkaitan atau bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus seperti ekonomi, estetika, etika,
agama, dan epistemologi. Dari lima cabang ilmu tersebut, ada tiga nilai yang berbeda namanya,
tetapi mempunyai persamaan dalam penafsiran. Etika berkaitan dengan masalah kebaikan;
epistemologi dengan masalah kebenaran; dan estetika dengan masalah keindahan. Kebaikan,

31

kebenaran, dan keindahan merupakan tiga serangkai yang bertalian dan saling melengkapi. Dari
sudut pandang filsafat, baik, benar, dan indah membentuk kesatuan makna.
Kattsoff (2004:324) berpendapat bahwa istilah nilai mempunyai bermacam makna,
yakni mengandung nilai (artinya, berguna); merupakan nilai (artinya, baik atau benar atau
indah); mempunyai nilai (artinya, merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat
menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sikap nilai tertentu); dan
memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang
menggambarkan nilai tertentu). Pembicaraan tentang nilai mempunyai spektrum atau jangkauan
yang sangat luas. Penjelasan Kattsoff tentang cara penggunaan kata nilai dapat kita jadikan
pedoman dalam pemakaiannya. Menurut Kattsoff, sesuatu benda atau perbuatan dapat
mempunyai nilai, dan karena itu dapat dinilai. Hal-hal tersebut di bawah ini dapat mempunyai
nilai karena mengandung nilai atau menggambarkan suatu nilai. Suatu pernyataan mengandung
nilai kebenaran, dan karena itu bernilai sebagai pemberitahuan. Suatu lukisan mempunyai nilai
keindahan, dan karena itu bernilai bagi mereka yang menghargai seni. Seorang ilmuan memberi
nilai kepada pernyataan-pernyataan yang benar, dan pencinta keindahan memberi nilai kepada
karya-karya seni.

Aliran Filsafat
Pemahaman terhadap filsafat dapat juga dilakukan melalui pemahaman terhadap tokohtokoh dan aliran-alirannya. Seorang filsuf biasanya terfokus pada satu atau dua wilayah
sistematika saja. Hanya Immanuel Kant yang menjelajahi ketiga wilayah sistematika filsafat
secara lengkap lewat tiga bukunya: Critic of Pure Reason, Critic of Practical Reason, dan Critic
of Judgement. F.W. Nietzsche, seorang filsuf Jerman, hanya menelaah wilayah epistemologi,

32

metafisika, estetika dan etika. Filsuf-filsuf lain yang cukup terkenal dan berpengaruh di
antaranya Rene Descartes, David Hume, F.G.W. Hegel, Edmund Husserl, Karl Marx dan
Bertrand Russell.
Dalam perkembangan filsafat, berbagai aliran, berbagai isme bermunculan. Berikut
adalah beberapa aliran yang cukup berpengaruh dalam sejarah perkembangan filsafat:
a. Rasionalisme: aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber
dari akal (rasio), ditegaskan di sini bahwa akal yang mampu mendapatkan pengetahuan
secara jernih (clear) dan lugas/terpilah (distinct) tentang realitas.
b. Empirisme: aliran dalam filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
c. Kritisisme: aliran filsafat yang dibangun oleh filsuf besar: Imanuel Kant. Aliran ini pada
dasarnya adalah kritik terhadap rasionalisme dan empirisme yang dianggap terlalu ekstrem
dalam mengkaji pengetahuan manusia. Akal menerima bahan-bahan yang belum tertata dari
pengalaman empirik, lalu mengatur dan menertibkannya dalam kategori-kategori.
d. Idealisme: aliran filsafat yang berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental
ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif. Materi tidak memiki kedudukan
yang independen melainkan hanya merupakan materialisasi dari pikiran manusia.
e. Vitalisme: aliran filsafat yang memandang hidup tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara
mekanis karena pada hakikatnya manusia berbeda dengan benda mati. Manusia memiliki
kehendak yang mampu mengubah keadaannya yang statis menjadi lebih dinamis.
f. Fenomenologi: aliran filsafat yang mengkaji penampakan (gejala-gejala) dan memandang
gejala dan kesadaran selalu saling terkait.

33

4. Alternatif Langkah Belajar Filsafat


Ada banyak cara untuk belajar filsafat sesuai dengan pesatnya perkembangan filsafat
sehingga sekarang kini. Para filsuf mengembangkan cara belajar filsafat sesuai dengan
pendekatan yang digunakannya. Dalam tulisan ini dikemukakan satu alternatif langkah belajar
filsafat yang umum dipakai oleh para filsuf, juga oleh ahli filsafat dan ilmuwan untuk
memecahkan masalah filsafat secara umum dan mengkaji aliran filsafat tertentu.
Secara umum, filsuf berusaha memperoleh makna istilah-istilah dengan cara melakukan
analisis terhadap istilah-istilah itu berdasarkan pengenalan obyeknya dalam kenyataan. Analisis
didefinisikan sebagai pemilahan bagian-bagian satu satu hal berdasarkan kategori yang relevan.
Analisis terhadap istilah dilakukan dengan memilah-milah bagian makna atau isi pikiran dari
istilah berdasarkan kategori tertentu. Meski pada dasarnya para filsuf memulai filsafat dari
benda-benda dan bukan dari kata atau istilah, pemakaian istilah yang tepat harus dilakukan.
Bahasa adalah medium filsafat dan oleh karena itu istilah dan pernyataan yang merupakan
bagian dari bahasa menjadi penting dalam filsafat. Analisis terhadap istilah merupakan langkah
penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan makna yang tepat dan memadai.
Setelah analisis istilah, filsuf berusaha untuk memadukan hasil-hasil penyelidikannya
melalui aktivitas sintesis. Dalam aktivitas sintesis, filsuf membanding-bandingkan bagian-bagian
dari makna istilah yang dihasilkan dari aktivitas analisis. Lalu ia mencari benang merah antarbagian untuk kemudian menemukan kesamaan makna di antara mereka. Dari situ diperoleh satu
makna istilah yang komprehensif yang memayungi semua bagian sekaligus menjelaskan
hubungan antar-bagian istilah.
Penggunaan analisis dan sintesis dalam filsafat ini disebut metode analisis-sintesis.
Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh filsuf. Menganalisis adalah

34

melakukan pemeriksaan konsepsional terhadap istilah-istilah yang digunakan atau pernyataanpernyataan yang dibuat. Tujuannya adalah (1) memperoleh makna baru yang terkandung dalam
istilah-istilah yang bersangkutan, dan (2) menguji istilah-istilah itu melalui penggunaannya, atau
dengan melakukan pengamatan terhadap contoh-contohnya. Analisis istilah berarti perincian
istilah atau pernyataan ke dalam bagiannya sedemikian rupa sehingga orang dapat melakukan
pemeriksaan terhadap makna yang dikandungnya. Tujuan pemeriksaan ini adalah penentuan
makna apa yang akan diberikan.
Menurut Kattsoff (2004), secara filosofis analisis adalah pengumpulan semua
pengetahuan yang dapat dikumpulkan oleh manusia untuk menyusun suatu pandangan tentang
dunia. Sedangkan sintesis dapat didefinisikan sebagai aktivitas menemukan benang merah antarbagian yang dipilah berdasarkan kategori tertentu untuk kemudian menemukan kesamaan makna
di antara bagian-bagian itu.
Secara ringkas, Kattsoff (2004:34-38) mengemukakan langkah-langkah umum yang
disarankan dalam menganalisis dan sintesis.
1. Memastikan adanya masalah yang diragukan kesempurnaan atau kelengkapannya.
2. Masalah umumnya terpecahkan dengan mengikuti dua langkah, yakni menguji prinsip-prinsip
kesahihannya dan menentukan sesuatu yang tak dapat diragukan kebenarannya (untuk
menyimpulkan kebenaran yang lain).
3. Meragukan dan menguji secara

rasional segala hal yang ada sangkut pautnya dengan

kebenaran.
4. Mengenali apa yang dikatakan orang lain mengenai masalah yang bersangkutan dan menguji
penyelesaian-penyelesaian mereka.
5. Menyarankan suatu hipotesis yang kiranya memberikan jawaban atas masalah yang diajukan.

35

6. Menguji konsekuensi-konsekuensi dengan melakukan verifikasi terhadap hasil-hasil


penjabaran yang telah dilakukan.
7. Menarik simpulan mengenai masalah yang mengawali penyelidikan.

Metode belajar filsafat sebenarnya bukan hanya dapat digunakan untuk belajar filsafat,
melainkan juga dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran di bidang ilmu pengetahuan lain.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan filsuf untuk menemukan pengetahuan diperlukan juga oleh
bidang ilmu lain. Selain sifat filsafat, kritis, radikal dan sistematis, cara filsuf menemukan
pengetahuan juga dimanfaatkan oleh ilmuwan untuk menemukan pengetahuan. Hanya saja, para
ilmuwan sangat mementingkan juga bukti empirik dari penjelasan tentang gejala. Bagi ilmuwan,
cara berpikir filosofis, yaitu kritis, radikal dan sistematis ditambah dengan bukti empirik harus
muncul bersama untuk menghasilkan solusi permasalahan yang dianggap paling tepat atau paling
benar.
Secara umum, disadari atau tidak, filsafat digunakan manusia untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Jika orang menyadarinya, maka lebih banyak lagi manfaat berpikir
filosofis yang dapat diperoleh. Dengan berpikir filosofis orang dapat berpikir mendalam dan
mendasar. Orang juga dapat memperoleh kemampuan analisis, berpikir kritis dan logis sehingga
ia mampu juga berpikir secara luas dan menyeluruh. Berpikir filosofis juga membuat orang dapat
berpikir sistematis dalam mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin secara tertata. Berpikir
filosofis juga membantu orang untuk menjajaki kemungkinan baru sehingga dapat memperoleh
pengetahuan baru. Orang dapat terus menerus menambah pengetahuannya dengan berpikir
filosofis. Di sisi lain, berpikir filosofis juga memberikan kesadaran kepada orang mengenai
keterbatasan pengetahuannya. Kesadaran akan masih banyaknya hal yang tidak diketahui

36

membuat orang menjadi rendah hati, terbuka dan siap untuk memperbaiki pengetahuannya.
Dengan demikian, berpikir filosofis merupakan satu cara untuk membangun keutamaan
pengetahuan dan kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang dikandungnya.

37

DAFTAR PUSTAKA
Diogenes Laertes, Lives of Eminent Philosophers, VIII, 8 (Loeb Classical Library, trans. R.D.
Hicks, Harvard University Press, 1931, Vol II. pp. 327 & 329)
Gazalba, Sidi. (1979). Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Kattsoff, Louis O. (2004). Dasar-dasar Filsafat (terjemahan Soejono Soemargono). Cetakan ke9. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Iamblichus, The Life of Pythagoras, chap. XII. (translated by R. Burch from De vita Pythagorica
liber, ed. [A.M. Hakkert, 1965], pp. 39-41).
Jowett, B. (1892). The Dialogues of Plato, 3rd Edition. Oxford: Clarendon.
Thayer, J.H. (2011). Thayers Greek Lexicon. Electronic Database. Biblesoft, Inc.
Whiteley, C.H. (1977). An Introduction to Metaphysics. Hassocks Eng. and Atlantic Highlands,
N.J: Harvester Press.

38

BAB III
DASAR-DASAR LOGIKA
Bagus Takwin

1. Apakah Logika Itu?


Secara umum, logika dikenal sebagai cabang filsafat, tetapi ada juga ahli yang
menempatkannya sebagai cabang matematika. Kedua bidang kajian ini menempatkan logika
sebagai dasar berpikir dalam memperoleh, mencermati dan menguji pengetahuan. Logika
dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum, metode, dan cara berpikir yang benar
untuk memperoleh pengetahuan yang benar.
Jika ditempatkan sebagai cabang filsafat, logika dapat diartikan sebagai cabang dari
filsafat yang mengkaji prinsip, hukum dan metode berpikir yang benar, tepat dan lurus. Jika
ditempatkan sebagai matematika maka logika merupakan cabang matematika yang mengkaji
seluk-beluk perumusan pernyataan atau persamaan yang benar, khususnya pernyataan yang
menggunakan bahasa formal. Bahasa formal adalah bahasa buatan yang dibedakan dari
bahasa alamiah. Bahasa formal di sini merujuk kepada rangkaian simbol matematis seperti
yang biasa kita jumpai dalam literatur matematika. Sedangkan bahasa alamiah, atau bahasa
non-formal, adalah bahasa yang umumnya kita gunakan sehari-hari dalam berkomunikasi.
Dari sejarah filsafat kita mengenal Aristoteles sebagai filsuf yang pertama kali
membeberkan hal-ihwal logika secara komprehensif. Sebelumnya ada beberapa filsuf Yunani
Kuno yang sudah mengemukakan prinsip-prinsip berpikir dan pemerolehan pengetahuan
seperti Parmenides, Zeno, dan Pythagoras. Tetapi penjelasan khusus dan menyeluruh tentang
bagaimana pikiran manusia bekerja dan dapat memperoleh pengetahuan yang benar baru
ditulis secara sistematis oleh Aristoteles.
Penggunaan istilah logika untuk menyebut cabang filsafat yang mengkaji prinsip,
aturan, dan metode berpikir yang benar bukan berasal dari Aristoteles melainkan dari
Alexander Aphrodisias sekitar permulaan abad ke-3 M. Sebelumnya istilah logika dipakai
oleh Cicero (abad ke-1 M) yang menggunakan kata logika dalam arti seni berdebat.
Aristoteles sendiri menggunakan istilah analitika untuk merujuk kepada penyelidikan
terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang sudah
dipastikan kebenarannya, serta dialektika untuk penyelidikan terhadap argumentasi39

argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang belum pasti kebenarannya
(Bertens, 1999).
Dalam matematika, logika dikaji dalam kaitannya dengan upaya menyusun bahasa
matematika yang formal, baku, dan jernih maknanya, serta dalam kajian tentang penyimpulan
dan pembuatan pernyataan yang benar. Tradisi penggunaan dan pengkajian logika dalam
matematika sudah sangat lama dilakukan sehingga matematika tak dapat dipisahkan dari
logika, dan keduanya saling melengkapi. Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead
bahkan menyatakan bahwa matematika adalah logika murni. Istilah logika klasik (classical
logic, classical elementary logic, atau classical first-order logic) merujuk kepada kajian
tentang logika dalam matematika. Kata klasik di situ mengindikasikan betapa sudah
menyatunya logika dan matematika, yang sudah dianggap sebagai dua sisi dari satu keping
mata uang.
Terlepas dari latar belakang kajian dan penemuannya serta klasifikasinya dalam
penggolongan ilmu, logika merupakan alat yang dibutuhkan dalam kajian berbagai ilmu
pengetahuan dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Logika, di samping etika, dapat dipahami
sebagai asas pengaturan alam dan isinya yang dikembangkan manusia. Alam yang pada
awalnya tampil di hadapan manusia sebagai sesuatu yang tak termaknai dan sebagai
ketidakteraturan mendorong manusia untuk memaknainya dan untuk memberikan arti kepada
unsur-unsurnya dan penjelasan kepada dinamikanya. Alam, yang awalnya tak terpahami dan
terkesan tak teratur, pelan-pelan namun pasti mulai terpahamkan. Pemaknaan dan pengaturan
itu dari waktu ke waktu berkembang semakin sistematis dan komprehensif. Logika berperan
di sana, mulai dari penamaan benda-benda berdasarkan prinsip identitas (X = X) hingga
penemuan beragam hubungan antara unsur alam melalui penalaran analogis, deduktif, dan
induktif. Logika memungkinkan manusia memahami seluk-beluk dan dinamika alam berserta
isinya, menerangkan, meramal, dan menata alam. Berbagai persoalan manusia terselesaikan
dengan bantuan logika. Meskipun belum semua persoalan selesai sementara berbagai
persoalan baru sudah muncultermasuk persoalan yang disebabkan oleh penggunaan (dan
penyalahgunaan) logikatak dapat dimungkiri bahwa logika sudah membantu manusia
meningkatkan kualitas hidupnya dan mengembangkan peradabannya seperti yang kita
saksikan sekarang. Sebagai asas pengaturan, logika menjelaskan bahwa alam yang awalnya
tampak sebagai kekacau-balauan (chaos) sebenarnya merupakan jagat raya (cosmos) yang
teratur.
Kembali lagi ke logika sebagai cabang filsafat. Secara filosofis, logika adalah kajian
tentang berpikir atau penalaran yang benar. Penalaran merupakan aktivitas mental yang
40

bertujuan memperoleh pengetahuan; dengan kata lain, penalaran merupakan aktivitas


epistemik. Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan alasan yang relevan.
Dalam logika dikaji bagaimana berlangsungnya proses penarikan kesimpulan yang mencakup
unsur-unsur dari proses, langkah-langkah, serta hukum, prinsip dan aturan-aturannya.
Untuk dapat menjelaskan karakteristik penaralan yang benar serta mengapa dan
bagaimana itu dapat dihasilkan, logika menggunakan pemahaman tentang standar kebenaran
yang diperoleh dari epistemologi yang merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat
pengetahuan. Di samping itu, sebagai bagian dari epistemologi dalam arti luas, logika juga
memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang dikaji oleh epistemologi, yang mencakup segisegi sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan
pengetahuan. Sebuah sistem logika didasari oleh asumsi tentang sumber pengetahuan, apakah
pengetahuan itu dianggap bersumber dari pikiran, pengalaman atau dari hal-hal lain. Dalam
sistem logika yang komprehensif juga ditentukan batas-batas kemampuan manusia untuk
mengetahui, jenis pengetahuan yang dapat diperoleh, dan syarat-syarat dari pengetahuan
sehingga dapat dipahami manusia. Struktur pengetahuan yang berkaitan dengan bagaimana
pengetahuan terkumpul, tersusun, dan tertata sedemikian rupa dalam diri manusia juga
mendasari sebuah sistem logika. Lalu, untuk menentukan benar atau tidaknya sebuah
penalaran sebuah sistem logika perlu didasari oleh syarat-syarat dari keabsahan pengetahuan.
Dapat dikatakan bahwa logika merupakan dasar filosofis dari matematika. Ini
disebabkan oleh asas epistemologis matematika yang berakar pada filsafat. Belakangan,
mereka yang membahas matematika kebanyakan adalah filsuf, seperti Bertrand Russell,
Alfred North Whitehead dan Gottlob Frege. Di sisi lain, matematika juga banyak memberi
masukan kepada logika, bahkan dianggap sebagai logika murni oleh Russell dan Whitehead
dalam buku mereka yang berjudul Principia Mathematica (1925). Dalam pengertiannya
sebagai kajian tentang penalaran yang benar, logika memunculkan pertanyaan-pertanyaan
yang relevan dengan aspek matematis dari logika. Dua di antaranya ialah bagaimana
pembuatan kesimpulan dari prinsip-prinsip umum yang sudah ada dan validitasnya
berhubungan dengan penalaran yang benar? Dan bagaimana matematika sebagai proses
pembuatan kesimpulan khusus berdasarkan hukum-hukum umum dapat dipahami dari segi
logis; dan, sebaliknya, bagaimana logika dipahami dari sudut pandang matematika?
Sebagai kajian tentang penalaran, logika juga berhubungan erat dengan bahasa
alamiah yang sehari-hari dipakai oleh manusia. Untuk berkomunikasi, orang bernalar dengan
menggunakan bahasa alamiah. Ini juga berkaitan dengan matematika. Hal ini menimbulkan
sejumlah pertanyaan: bagaimana matematika dapat diterapkan di dalam kenyataan non41

matematik? Bagaimana matematika dapat menjelaskan realitas sehari-hari? Bagaimana


matematika dapat digunakan untuk melakukan penalaran yang benar? Apa dasar
epistemologis dari matematika sehingga dapat digunakan untuk membuat penalaran yang
benar?
Buku ini tidak akan menjelaskan bagaimana logika dan matematika saling
berhubungan, dan juga tidak menjelaskan secara khusus dan rinci hubungan antara bahasa
dan penalaran sehari-hari dengan logika. Uraian tadi hanya sekadar menunjukkan secara
singkat bahwa logika berkaitan erat dengan matematika sehingga beberapa simbol
matematika digunakan di dalam logika. Logika juga berkaitan dengan pemahaman manusia
dalam kesehariannya karena sama-sama menggunakan bahasa sebagai medianya.
Di atas sudah dibahas secara umum tentang dua pengertian logika, yakni sebagai
cabang filsafat dan sebagai cabang matematika. Sebelum pembahasan lebih khusus tentang
logika, di sini dikemukakan dua pengertian lain dari logika, yakni logika sebagai kajian
tentang kebenaran khusus atau fakta dan logika sebagai kajian ciri-ciri atau bentuk umum
dari putusan (bahasa Inggris: judgment). Sebagai kajian tentang kebenaran khusus, logika
merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menjelaskan kebenaran atau fakta tertentu,
sama halnya dengan ilmu pengetahuan lain yang bertujuan menjelaskan kebenaran lainnya.
Kebenaran logis dapat dipahami sebagai kebenaran paling umum, satu kebenaran yang
dikandung oleh semua kumpulan kebenaran lain yang hendak dijelaskan oleh ilmu
pengetahuan. Dalam pengertian ini logika berbeda dari biologi karena logika lebih umum;
tetapi, di pihak lain, sama dengan biologi, yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan
mencapai kebenaran tertentu. Pengertian logika ini sering kali diasosiasikan dengan Gottlob
Frege (1848-1925), ahli matematika dan filsuf dari Jerman. Konsepsi logika ini secara dekat
diasosiasikan dengan satu pernyataan yang diperoleh dengan menggunakan logika secara
fundamental tentang kesimpulan-kesimpulan tertentu dan tentang semua konsekuensi logis
dari tiap kesimpulan itu. Pengertian logika di sini dapat dipulangkan kepada asal katanya,
logos, dari Herakleitos yang berarti aturan, prinsip, atau kata-kata yang menjelaskan
realitas.
Kebenaran logis dalam pengertian ini merupakan satu kebenaran yang diungkapkan
dengan representasi yang secara logis tidak mengikuti asumsi apa pun. Kebenaran logis ini
dapat dipahami juga sebagai asumsi dasar atau postulat atau prinsip pertama yang mencukupi
dirinya sendiri (self-sufficient reason). Dalam pengertian lain, kebenaran logis adalah satu
pernyataan yang kebenarannya dijamin sejauh makna dari konstanta logisnya tetap, terlepas
dari apa makna bagian lain yang menyertainya.
42

Dalam arti kajian ciri-ciri atau bentuk umum dari putusan atau bentuk pikiran dari
putusan, logika dapat dipahami sebagai kajian yang mempelajari unsur-unsur putusan dan
susunannya dengan tujuan untuk memperoleh pola atau bentuk umum dari proses pembuatan
putusan. Satu contoh bentuk kegiatan dari logika ini adalah penyelidikan tentang struktur
hubungan antara subjek dan predikat dari berbagai putusan yang ada; penelitian tentang jenis
putusan, dan bagaimana pikiran manusia menggunakan bentuk-bentuk pernyataan tertentu
untuk membuat kesimpulan. Fokus kajian dari logika ini adalah pikiran, representasi
linguistik, meskipun pikiran dan bahasa saling terkait erat. (Putusan terdapat dalam pikiran
dan diungkapkan dengan tanda-tanda konvensional yang dapat diinderai.) Kajian ini
berurusan dengan berbagai bentuk putusan, bukan bentuk kalimat seperti yang dipelajari oleh
linguistik meskipun dalam praktiknya keduanya mirip karena sama-sama menggunakan
bahasa sebagai alat ekspresi utamanya. Berbeda dengan bentuk dari bahasa sebagai
representasi linguistik yang konstan terlepas dari apa pun isinya, bentuk pikiran diperoleh
melalui abstraksi dari isi pikiran.

2. Kategori
Manusia berpikir dengan menggunakan kategori. Contohnya, kita mengenal kursi
sebagai perabot, kucing sebagai makhluk hidup, mobil sebagai kendaraan, dan rumah sebagai
tempat tinggal. Perabot, makhluk hidup, kendaraan, dan tempat tinggal adalah contoh
kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda. Sejak anak
dapat mengenali dunia, kategori digunakan untuk mengenali obyek-obyek di dunia.
Pada awalnya kategori yang digunakan sangat sederhana dan umum seperti lebih
besar dan lebih kecil, atau lebih jauh dan lebih dekat, atau lebih keras atau lebih lembut.
Kemudian kategori yang lebih kompleks dikemba

ngkan, seperti makhluk hidup

yang bernafas dengan paru-paru, tempat tinggal yang layak huni dan nyaman, dan
sebagainya.
Selain itu, ada hierarki kategori, baik berdasarkan sifat umum atau khusus, maupun
sifat kompleks atau simpleks. Makhluk hidup, contohnya, merupakan kategori yang lebih
umum dari hewan yang didefinisikan sebagai makhluk hidup yang berindera. Contoh lain, zat
merupakan kategori yang lebih umum dari zat cair dan zat padat. Dilihat dari
kompleksitasnya, hotel lebih adalah kategori yang lebih kompleks daripada rumah karena
pada hotel ada karakteristik yang lebih banyak daripada pada rumah, seperti memiliki

43

fasilitas ruang tidur yang dapat disewakan, ruang makan bersama, lobi, tempat parkir,
pegawai hotel, tarif menginap, dan lain-lain.
Para filsuf membantu kita untuk mengenali benda-benda secara lebih sistematis dan
koheren dengan mengajukan kategori-kategori dasar dari semua yang ada dan mungkin ada di
dunia. Aristoteles adalah filsuf pertama yang menggunakan istilah kategori dalam filsafat dan
mengajukan jenis-jenis kategori yang menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang
ada di dunia. Untuk memahami secara lengkap apa yang dimaksud dengan kategori oleh
Aristoteles kita perlu membaca dua kutipan berikut ini.
We should distinguish the kinds of predication (ta gen tn katgorin) in which the four
predications mentioned are found. These are ten in number: what-it-is, quantity, quality,
relative, where, when, being-in-a-position, having, doing, undergoing. An accident, a
genus, a peculiar property and a definition will always be in one of these categories.
(Topics I.9, 103b20-25 dalam Owen (ed.), 1968; Smith, 2000)
Of things said without any combination, each signifies either substance or quantity or
quality or a relative or where or when or being-in-a-position or having or doing or
undergoing. To give a rough idea, examples of substance are man, horse; of quantity:
four-foot, five-foot; of quality: white, literate; of a relative: double, half, larger; of where:
in the Lyceum, in the market-place; of when: yesterday, last year; of being-in-a-position:
is-lying, is-sitting; of having: has-shoes-on, has-armor-on; of doing: cutting, burning; of
undergoing: being-cut, being-burned. (Categories 4, 1b25-2a4, tr. Ackrill, 1961)
Dari dua kutipan tersebut, diketahui bahwa Aristoteles membagi segala sesuatu dalam
sepuluh kategori mencakup (1) substansi (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi
(relatio), (5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu
(kapan), (8) lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10)
memiliki atau mengenakan (habitus).
Bagi Aristoteles, ke-10 kategori yang diajukannya bukan hanya berkaitan dengan
logika tetapi lebih jauh lagi berkaitan dengan segala hal yang ada dan mungkin ada di dunia
ini. Penentuan kesepuluh kategori itu berangkat dari penggolongan dari seluruh ada (being).
Ia membagi ada menjadi ada bagi diri sendiri dan ada bagi yang lain. Dari dua jenis ada
ini lalu diturunkan lagi hingga diperoleh sepuluh kategori tempat setiap hal dapat dimasukkan
ke dalam salah satu kategori itu (lihat gambar 3. Skema kategori menurut Aristoteles dalam
Bittle, 1950: 55). Dari sini dapat dipahami bahwa dasar dari kategori adalah pengetahuan
tentang ada yang menjadi pembahasan utama dalam metafisika dan ontologi. Dengan
penentuan sepuluh kategori, Aristoteles telah mengklaim bahwa ia memahami segala hal
sebagai ada (being).
Filsuf setelah Aristoteles yang mengemukakan pemikiran mengenai kategori adalah
Immanuel Kant. Kant (dalam Takwin, 2005) memandang manusia sebagai agen aktif dengan
44

pikiran sebagai pusat aktivitasnya. Menurut Kant pikiran manusia sudah memiliki
pengetahuan bawaan dalam bentuk kategori-kategori.
Pengetahuan bawaan yang secara tegas tak dapat ditolak keberadaannya adalah
kerangka pemahaman ruang dan waktu. Menurut Kant, setiap pemahaman tentang sesuatu
selalu dalam kerangka ruang dan waktu. Pengetahuan apa pun selalu terkait dengan kualitaskualitas serta kuantitas-kuantitas ruang dan waktu. Sejauh berkaitan dengan pengalaman,
manusia selalu berpikir dalam kerangka ruang dan waktu. Setiap benda yang diperoleh dari
pencerapan indrawi selalu dipahami dalam kerangka ruang dan waktu. Benda-benda sendiri
pada dirinya tidak mengandung kualitas dan kuantitas ruang dan waktu. Manusialah yang
menempatkan mereka dalam kerangka ruang dan waktu. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pemahaman tentang ruang dan waktu tidak diperoleh dari pengalaman. Pengetahuan
tentang ruang dan waktu sudah ada pada diri manusia, dibawanya sejak lahir. Pemahaman
tentang ruang dan waktu sudah ada dalam pikiran manusia sebagai pengetahuan bawaan.
Selain ruang dan waktu, menurut Kant, manusia juga memiliki pengetahuan bawaan
berupa kategori-kategori. Dari analisis dan abstraksinya terhadap berbagai macam putusan
dan bentuk-bentuk intelektualnya, Kant menemukan bahwa fungsi berpikir manusia yang
tetuang dalam putusan-putusan dapat dikategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas
(quantity), kualitas (quality), relasi (relation) dan modalitas (modality). Masing kelompok
terdiri dari tiga momenta yang biasa disebut sebagai kategori. Kuantitas mencakup kategori
universal, partikular dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif dan infinit.
Relasi mencakup kategori kategorikal, hipotetikal dan disjunktif. Modalitas mencakup
kategori problematik (problematical), asertorik (assertorical) dan apodeiktik (apodeictical).
Dari segi kuantitasnya, setiap pernyataan atau putusan selalu dapat digolongkan
sebagai universal atau partikular. Kuantitas universal atau partikular dari sebuah pernyataan
ditentukan oleh ekstension (keluasan) dari term (istilah) subjek pernyataan. Jika ekstension
term subjek mencakup keseluruhan individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan
yang menyertakan term subjek ini adalah universal. Jika ekstension term subjek hanya
mencakup sebagian individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan
term subjek ini adalah partikular. Contoh: Semua manusia adalah makhluk hidup.
Pernyataan ini adalah pernyataan universal karena term manusia yang dalam pernyataan ini
merupakan subjek memiliki ekstension yang mencakup semua individu yang tergolong
sebagai manusia. Contoh lain: Beberapa filsuf adalah rasionalis. Pernyataan in adalah
pernyataan partikular karena term filsuf yang dalam pernyataan ini merupakan subjek
memiliki ekstension yang hanya mencakup sebagain filsuf. Jika term subjek memiliki
45

ekstension yang hanya mencakup satu saja maka term ini adalah term ini masuk dalam
kategori singular. Dalam logika umum (general logic) ketika term singular digunakan dalam
pernyataan maka pernyataan itu adalah pernyataan universal. Namun bagi Kant pernyataan
dengan term subjek singular perlu dibedakan dari pernyataan universal dan pernyataan
partikular. Contoh: pernyataan Tuhan mendasari hukum moral. Term Tuhan dalam
pernyataan ini adalah term singular karena merujuk hanya pada satu hal saja, Tuhan. Dengan
memahami bahwa term Tuhan sebagai term singular, bahwa hukum moral yang dimaksud
dalam pernyataan tersebut adalah hukum moral tertentu dan bukan hukum moral yang lain.
Dari segi kualitasnya, setiap pernyataan dapat dibedakan apakah itu afirmatif, negatif
atau infinit. Sebuah pernyataan memiliki kualitas afirmatif jika itu mengafirmasi atau
mengiyakan suatu hal. Contoh: Hari ini hujan. Sebuah pernyataan memiliki kualitas negatif
jika itu menegasi atau menidakkan/membukankan suatu hal. Contoh: Hari ini tidak hujan.
Sebuah pernyataan memiliki kualitas infinit jika pernyataan itu mengungkapkan sesuatu yang
tak terbatas. Contoh: Jiwa manusia abadi. Dari segi waktu, keberadaan jiwa manusia tak
terbatas. Perlu dipahami di sini bahwa dalam logika umum pernyataan infinit ini digolongkan
sebagai pernyataan afirmatif karena secara logis itu mengafirmasi sesuatu, misalnya
mengafirmasi bahwa jiwa adalah abadi. Pernyataan jiwa manusia abadi secara logis
memiliki pengertian yang definit karena dapat dibedakan dengan pernyataan-pernyataan lain
yang mengungkap hal-hal yang terbatas seperti Daya ingat manusia terbatas. Namun Kant
membedakan pernyataan-pernyataan infinit dari pernyataan afirmatif untuk memahami
pernyataan-pernyataan a priori sintetik. Sesuatu yang infinit, tak terbatas ruang dan waktu,
perlu diandaikan ada untuk kepentingan praktis menjaga keteraturan dunia.
Dari segi relasi, pernyataan-pernyataan yang ada dapat digolongkan sebagai
kategorikal, hipotetikal atau disjunktif. Sebuah pernyataan termasuk dalam kategori
kategorikal jika pernyataan itu dapat langsung dinilai benar salahnya tanpa tergantung pada
kondisi dan situasi tertentu, juga tidak tergantung pada tempat dan waktu. Contoh: Makhluk
hidup bernafas. Sejauh sesuatu itu adalah makhluk hidup, maka di mana pun dan kapan pun,
dalam keadaan bangun atau tidur, ia pasti bernafas, tidak mungkin tidak. Sebuah pernyataan
termasuk kategori hipotetikal jika benar atau salahnya tergantung pada kondisi atau situasi
tertentu. Contoh: Jika hari ini turun hujan maka jalan basah. Basah tidaknya jalan
ditentukan oleh hujan-tidaknya hari ini. Penyataaan disjunktif ditentukan berdasarkan
hubungan oposisi logis yang saling meng-ekslusi atau saling meniadakan antara satu dan
lainnya. Contoh: Dunia terjadi kalau tidak karena kebetulan semata atau karena ada yang
menciptakan. Pernyataan ini mengandung dua kemungkinan yang satu sama lain saling
46

meniadakan yaitu kebetulan belaka dan ada yang menciptakan. Tidak mungkin keduanya
sekaligus benar, salah satu pasti salah. Jika yang satu benar maka yang lain salah. Pernyataan
disjunktif mengandung seluruh hubungan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran karena
setiap kemungkinan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran dapat dinyatakan dengan
pernyataan disjunktif lepas dari apakah kemungkinan-kemungkinan itu secara logis
berhubungan satu sama lain atau tidak. Semua hal yang tak dapat diungkapkan baik secara
kategorikal maupun hipotetikal dapat diungkapkan secara disjunktif.
Dari segi modalitas, setiap pernyataan dapat digolongkan sebagai pernyataan
problematik, asertorik atau apodeiktik. Sebuah pernyataan adalah problematik jika apa yang
diungkap dengan pernyataan itu masih berupa kemungkinan. Contoh: Manusia dapat hidup
di bulan. Apa yang dikemukakan pernyataan ini masih berupa kemungkinan. Sejauh ini
manusia belum dpaat hidup di bulan tetapi hal itu mungkin karena sudah ada manusia yang
mendarat di bulan. Sebuah pernyataan adalah asertorik jika apa yang diungkap dengan
pernyataan itu nyata dan sudah terjadi. Contoh: Manusia mampu membuat pesawat ulangalik. Sebuah pernyataan adalah apodeiktik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu
merupakan sesuatu yang pasti terjadi, dengan kata lain apa yang diungkapkan oleh
pernyataan itu merupakan keharusan atau keniscayaan. Contoh: Manusia harus makan agar
dapat bertahan hidup.
Dalam pandangan Kant, kategori-kategori yang sudah diuraikan di atas merupakan
ide bawaan. Kategori-kategori itu terkandung dalam pikiran manusia dan menjadi kerangka
bagi rasionalitas manusia.
Filsuf berikutnya yang mengemukakan mengenai kategori adalah Georg Wilhelm
Friedrich Hegel. Hegel (Takwin, 2005) mengartikan kategori sebagai ide-ide yang
menjelaskan realitas. Ia menggunakan skema triadik sebagai prinsip bagi penentuan kategori
dan menemukan sekitar 272 kategori. Berbeda dari Aristoteles dan Kant, Hegel menyatakan
bahwa jenis-jenis kategori dan jumlahnya yang tepat tidak dapat ditentukan sebelum sistem
realitas dijelaskan secara lengkap. Ia lalu mengubah arti kategori menjadi sekedar pernyataan,
konsep atau prinsip dasar dalam sistem filsafat.
Di awal abad ke-20, kita temukan Charles Sanders Pierce (10 September 1839-19
April 1914) memahami kategori sebagai istilah-istilah paling umum yang dapat digunakan
untuk membagi-bagi atau menggolong-golongkan pengalaman. Kategori-kategori, dalam
pandangan Pierce (Takwin, 2005), mencerminkan tiga predikat atau hubungan. Tiga kategori
utama menurutnya adalah (1) firstness; (2) secondness; dan (3) thirdness. Masing-masing
kategori ini berperan dalam pola pemaknaan monadic, dyadic dan polyadic. Whitehead
47

menggunakan pernyataan tradisional tentang kategori dan mengelaborasi satu set kategori
yang berisi 37 kategori yang menjadi dasar bagi penjelasan semua pengalaman.
Pendapat tentang kategori yang mengkritik penggolongan kategori dari filsuf-filsuf
sebelumnya dikemukakan oleh Gilbert Ryle. Ryle (1949) berpendapat bahwa kategori
berjumlah tak terhingga dan tak teratur. Totalitas dari kategori tidak terletak pada prinsip
yang menentukan hirarki dari jenis-jenis hal yang tak terbatas. Totalitas kategori tidak dapat
ditentukan polanya. Jumlah kategori yang tak terhingga dan sifatnya yang tak beraturan
menjadikan mereka tak terangkum dalam satu prinsip. Dengan ketidakteraturannya itu, maka
secara tegas kesalahan kategori terutama bukan terletak pada ketidaktepatan menempatkan
suatu hal dalam kategori tertentu tetapi lebih pada memaksakan sesuatu dalam kategori
tertentu. Kesalahan kategorikal bagi Ryle dimulai dari penentuan sejumlah kategori yang
diklaim sebagai fundamental, dasar dan mutlak. Dari sini kesalahan-kesalahan pemahaman
selanjutnya terjadi. Bagi Ryle, siapa pun dapat menentukan kategori apa pun tetapi tak ada
yang berhak mengklaim satu sistem kategori sebagai benar dan mutlak sementara sistem yang
lain salah. Saat ini kata kategori digunakan kebanyakan filsuf untuk merujuk pada jenisjenis fundamental tanpa menentukan apa saja jenis-jenis itu. Padahal kategori-kategori yang
ada, menurut Ryle, tidak terbatas pada apa yang dirumuskan oleh filsuf-filsuf itu dan tidak
terbatas pula jumlahnya.
Pada dasarnya, pemikiran mengenai kategori dari berbagai filsuf memberi pelajaran
kepada kita bahwa dalam mengenali dan memahami benda-benda, kita perlu cermat dan hatihati. Kita tidak dapat sembarangan mengartikan satu hal dan tidak dapat mencampuradukan
kategori yang satu dengan kategori yang lain. Meski, seperti yang dinyatakan oleh Ryle, jenis
kategori tak terbatas, kita perlu tetap menggunakan aturan dan disiplin dalam menggunakan
kategori. Kita dapat menggunakan kategori yang kita anggap sesuai dengan kebutuhan kita
dalam mencari pengetahuan, tetapi kita harus konsisten dan koheren dalam menggunakannya.
3. Term, Definisi dan Divisi1
3.1 Term
Setiap hal yang diinderai dan dipersepsi dibentuk oleh pikiran menjadi ide. Hasil dari
pembentukan ini adalah konsep. Setiap konsep ditandakan dalam bentuk term. Rangkaian
term yang bermakna adalah pernyataan. Term dan pernyataan merupakan bagian dari bahasa.

Sebagian dari pasal yang menjelaskan term, definisi dan divisi disadur dari C.N. Bittle, The Science of Correct
Thinking: Logic (Milwaukee, 1950).

48

Bahasa adalah sarana bagi manusia untuk menyampaikan kepada orang lain dan menerima
ide dari orang lain.
Term merupakan tanda untuk menyatakan suatu ide yang dapat diinderai (sensible)
sesuai dengan pakat (conventional). Tanda itu dapat bersifat formal dan instrumental. Tanda
formal digunakan berdasarkan kesamaan antara tanda dan yang ditandai seperti gambar,
potret, film, dan huruf hieroglif. Tanda instrumental digolongkan atas dua, yakni tanda
alamiah dan tanda konvensional. Tanda alamiah digunakan berdasarkan kaitan alamiah antara
tanda dan yang ditandai, misalnya asap menandai api, rasa sakit menandai gangguan pada
tubuh, dan tangis menandai kesedihan. Tanda konvensional

digunakan berdasarkan

kesepakatan sejumlah orang tertentu pada waktu tertentu, misalnya sandi Morse, tanda lalulintas, dan bahasa.
Secara umum term adalah tanda yang didasarkan pada kelaziman, bukan tanda alamiah.
Hal ini terlihat dari adanya berbagai bahasa di dunia. Jika semua term bersifat alamiah maka
akan terdapat hanya satu bahasa di dunia. Tetapi kita melihat bahwa untuk hal yang sama,
bahasa-bahasa menggunakan term-termnya sendiri. Sebagai contoh, untuk term kursi
bahasa Indonesia memakai kursi, bahasa Inggris chair, dan bahasa Belanda stuhl.
Suatu term sering kali mempunyai bermacam-macam arti. Jika dikelompokkan,
setidaknya ada tiga jenis makna term dan penggabungannya dalam kalimat, yakni makna
denotatif, makna kesan (sense), dan makna emotif. Makna denotatif merujuk kepada satu arti
yang tertera dalam kamus; sering disebut makna sesungguhnya, namun penentuan makna
sesungguhnya ini dilakukan berdasarkan kesepakatan. Makna kesan (sense) ialah makna
term berdasarkan penggabungannya dengan kata lain; dalam hal ini term dapat memiliki
makna lain, misalnya penggunaan term hati pada kalimat Saya sakit hati berbeda dengan
Semur hati itu enak sekali. Makna emotif ialah makna term yang didasarkan pada perasaan
atau emosi, sikap--baik secara tersurat maupun secara tersirat. Term keras hati secara
denotatif memiliki makna yang sama dengan keras kepala, namun keras hati sering kali
diartikan sebagai teguh atau tahan godaan, sedangkan keras kepala sering diartikan
sebagai tidak mau mengalah atau tidak mau mendengarkan orang lain.

3.2 Definisi
Untuk menyamakan pengertian dan menghindari kesalahan penafsiran terhadap term
diperlukan definisi. Di samping itu, definisi juga diperlukan untuk dapat memahami sebuah
kalimat secara jelas dan sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Definisi adalah
pernyataan yang menerangkan hakikat suatu hal. Definisi menjawab pertanyaan, Apakah
49

itu? Untuk dapat mendefinisikan suatu term kita harus tahu persis tentang hal yang
didefinisikan.
Kendala yang sering muncul dalam pembuatan definisi adalah keterbatasan
pengetahuan dan keterbatasan term. Keterbatasan pengetahuan sering menghasilkan definisi
yang terlalu luas. Keterbatasan term memungkinkan penggunaan term yang sama untuk
mewakili hal yang berbeda. Kedua kendala ini menyebabkan sulit dicapai definisi yang
100% menjelaskan hal yang hendak didefinisikan.

3.2.1 Penggolongan definisi


Menurut kesesuaiannya dengan hal atau kenyataan yang diwakilinya ada dua jenis
definisi, yakni definisi nominal (definisi sinonim) dan definisi real (definisi analitik). Definisi
nominal ialah definisi yang menerangkan makna kata seperti yang dimuat dalam kamus,
misalnya introspeksi berarti menilai diri sendiri, inspeksi memeriksa, dan kursi tempat
duduk. Definisi real adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri. Pembuatannya
menuntut dilakukannya analisis terhadap hal yang akan didefinisikan terlebih dahulu. Sebagai
contoh, sikap adalah kecenderung memberikan tanggapan secara positif atau negatif
terhadap objek tertentu dan HP adalah daya gerak yang ada dalam mesin yang dinyatakan
dengan daya gerak seekor kuda.
Definisi real dibedakan atas dua, yakni definisi esensial dan definisi deskriptif. Definisi
esensial menerangkan inti (esensi) dari suatu hal dengan menyebutkan genus dan diferentianya. Genus adalah kelompok besar atau kelas dari hal yang akan dijelaskan, sedangkan
diferentia adalah ciri khas yang hanya ada pada hal yang didefinisikan. Ciri khas inilah yang
membedakan suatu hal dengan hal lain dalam genus atau kelompok yang sama. Sebagai
contoh, dalam Manusia adalah makhluk rasional, makhluk adalah genusnya dan rasional
adalah diferentia spesifiknya.

Definisi ini adalah definisi yang ideal dan mendekati

pengertian hal yang hendak didefinisikan.


Definisi deskriptif mengemukakan segi-segi yang positif tetapi belum tentu esensial
mengenai suatu hal. Definisi deskriptif dibedakan atas empat, yakni definisi distingtif,
definisi genetik, definisi kausal, dan definisi aksidental. Definisi distingtif menunjukkan
properti, misalnya Oksigen adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, tak mempunyai rasa,
1105 kali dari berat udara, dan mencair pada suhu di bawah -115 derajat C. Definisi
genetik menyebutkan asal mula atau proses terjadinya suatu hal, misalnya Air adalah zat
yang terjadi dari gabungan 2 atom Hidrogen dan 1 atom oksigen, dan Lingkaran adalah
bentuk geometris yang terdiri dari garis-garis lurus yang sama panjang yang terletak pada
50

bidang datar dan berawal dari satu titik pusat. Definisi kausal menunjukkan penyebab atau
akibat dari sesuatu hal, misalnya Lukisan adalah gambar yang dibuat oleh seorang
seniman, dan Arloji adalah alat penunjuk waktu. Definisi aksidental tidak mengandung
hal-hal yang esensial dari suatu hal, misalnya Dijual rumah. Luas tanah 170 m2. Bangunan
bertingkat dan pekarangan tertata rapi. Lokasi: Jln. Macan No. 30 Jakarta Pusat.
Dilengkapi telepon dan AC. Lingkungan nyaman, aman, dan tentram.
Definisi real jarang dapat tercapai sepenuhnya karena sering kali ada karakteristik yang
tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang perumusannya terkendala karena
kurangnya pengetahuan si pembuat definisi. Ada term yang tidak dapat didefinisikan karena
berhubungan langsung dengan indera, misalnya manis, pahit, dan sakit. Ada juga term yang
sulit didefinisikan karena sangat umum, misalnya ada (hanya dapat didefinisikan dengan
cara membandingkannya dengan tidak ada yang merupakan term di luar term yang
didefinisikan). Contoh lain ialah satu, benda, dan hal.
Di samping definisi yang telah diuraikan di atas, ada juga definisi yang dibuat dengan
menggunakan contoh, misalnya Minuman yang sehat itu, di antaranya ialah air dan hasil
perasan buah segar. Pernyataan seperti ini sebenarnya kurang memadai sebagai definisi
karena tidak mencakup keseluruhan ide yang terkandung dalam term atau hal yang
didefinisikan.
3.2.2 Aturan membuat definisi
Pembuatan definisi yang memadai untuk digunakan dalam pemikiran logis harus
mengikuti aturan-aturan berikut ini. Pertama, definisi harus lebih jelas dari yang
didefinisikan; jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya. Untuk itu harus
diperhatikan catatan-catatan berikut ini. Term-term yang muluk seperti contoh berikut,
Manusia adalah alam semesta yang mengejawantah dan Kewibawaan adalah pancaran
nurani dan kedigjayaan manusia harus dihindari. Demikian pula term-term yang sulit
dimengerti (tidak lazim), misalnya definisi pemimpin berikut ini yang diberikan kepada orang
yang bukan penutur bahasa Jawa, Pemimpin adalah orang yang bersifat ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani.
Kedua, definisi tidak boleh mengandung ide atau term dari yang didefinisikan seperti
pada contoh Binatang adalah hewan yang mempunyai indera dan Emosi adalah gejolak
perasaan. Definisi semacam ini disebut definisi sirkular (circular definition).
Ketiga, definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas, misalnya
Buku adalah sejumlah kertas yang terjilid. Kalau dibalik, Sejumlah kertas yang terjilid
51

adalah buku. Contoh yang salah ialah Kecap adalah penyedap masakan. Jika urutannya
dibalik menjadi, Penyedap masakan adalah kecap maka pernyataan itu menjadi salah
karena penyedap makanan belum tentu kecap.
Keempat, definisi harus dinyatakan dalam kalimat positif. Kalimat ingkar atau negatif
seperti Gembira adalah keadaan tidak sedih atau Manusia bukan binatang tidak
memenuhi syarat definisi.
Dalam tulisan jenis sastra ada kekecualian dalam pembuatan definisi karena
pendefinisian di situ umumnya bukan dalam rangka menjelaskan hal tertentu secara harafiah,
melainkan untuk memberi kesan tertentu. Sastra juga memakai teknik gaya bahasa yang tidak
harus mengikuti tata cara pembuatan definisi tersebut di atas. Tulisan-tulisan retorika yang
mementingkan makna sense dan pengaruh tulisan terhadap pembaca atau pendengar juga
tidak harus mengikuti tata cara pembuatan definisi itu.
3.3 Divisi
Selain dapat dijelaskan apa artinya, term juga dapat diuraikan dengan kriteria tertentu
menjadi bagian-bagian. Penguraian term itu biasa disebut divisi. Divisi adalah uraian suatu
keseluruhan ke dalam bagian-bagian berdasarkan satu kesamaan karakteristik tertentu.
Pembagian dalam bentuk divisi merupakan upaya lain untuk menjelaskan term. Ada beberapa
jenis divisi, yakni divisi real (atau aktual) dan divisi logis.

3.3.1 Divisi real atau aktual


Penguraian dengan divisi real atau aktual dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang
ada pada objek itu sendiribaik fisik maupun metafisikterlepas dari aktivitas mental
manusia. Divisi berdasarkan bagian fisik dilakukan berdasarkan faktor-faktor fisik yang dapat
dipisahkan, satu dari yang lain. Bagian itu dapat berupa bagian yang esensial atau bagian
yang integral. Bagian-bagian yang essensial ialah bagian-bagian yang harus lengkap. Jika
salah satu di antaranya hilang maka hilang pula eksistensi keseluruhannya, misalnya
Manusia terdiri dari badan dan jiwa, air terdiri dari oksigen dan hidrogen, garam
dapur terdiri dari sodium dan klorin, dan mobil terdiri dari mesin dan tubuh. Bagianbagian yang integral ialah bagian-bagian yang tidak harus lengkap. Jika salah satu
anggotanya hilang, hal itu tidak mlenyapkan eksistensi atau esensi halnya. Bagian yang
integral terbagi atas dua, yakni yang homogen dan yang heterogen. Bagian-bagian yang
homogen ialah segolongan unsur yang menjadi bagian dari sesuatu hal, misalnya Air terdiri
dari titik-titik, Api terdiri dari percikan-percikan, dan Pasir terdiri dari butir-butir.
52

Sementara itu, bagian-bagian yang heterogen ialah bagian-bagianyang tidak segolongan


dari sesuatu hal, misalnya Manusia terdiri dari kaki, tangan, dan mata, dan Masyarakat
terdiri dari golongan kaya dan miskin.
Divisi berdasarkan bagian metafisik dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang
merupakan esensi dari sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam
kenyataannya bagian-bagian itu merupakan ketunggalan, misalnya Manusia terdiri dari
rasio, indera, nyawa, dan tubuh. Bagian-bagian ini tidak terpisahkan. Dalam pembuatan
divisi real sebaiknya dilakukan observasi, analisis, dan abstraksi terhadap hal yang akan
diuraikan. Observasi, analisis, dan abstraksi ini diperlukan untuk memahami hal yang akan
diuraikan sehingga penguraiannya tidak bertentangan dengan kenyataan dari hal itu.

3.3.2 Divisi Logis


Dalam divisi logis mental manusialah yang membagi keseluruhan hal

menjadi bagian-

bagian. Kita menambahkan unsur-unsur tertentu kepada suatu hal untuk menjadikannya kelas
atau sub-kelas, misalnya Hal, Hal yang hidup, Hal hidup yang berindera (= hewan),
Hal hidup yang berindera dan berakal (= manusia). Kegiatan menambahkan elemenelemen ini, yang merupakan kegiatan dari divisi logis, disebut sintesis.

3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi


Divisi harus dibuat memadai; artinya, jumlah semua bagian harus sama dengan keseluruhan.
Ada sejumlah aturan yang harus diikuti dalam pembuatan divisi.
1) Tidak boleh ada bagian yang terlewati.
2) Bagian tidak boleh melebihi keseluruhan.
3) Tidak boleh ada bagian yang meliputi bagian yang lain.
4) Divisi harus jelas dan teratur.
5) Jumlah bagian harus terbatas; kalau kebanyakan akan kacau. Jika diperlukan, dibuat subbagian.
Berikut adalah contoh divisi yang salah, Pengguna terminal terdiri dari pengendara
kendaraan bermotor, supir kendaraan umum, pengendara kendaraan tak bermotor,
mahasiswa/pelajar, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, pejalan kaki, penumpang
kendaraan umum, dan karyawan. Pembagian divisi ini salah karena hal-hal berikut ini.
Pertama, ada bagian yang terlewati (petugas terminal juga menggunakan terminal sebagai
tempat kerjanya). Kedua, ada bagian yang meliputi bagian yang lain (mahasiswa bisa saja
sekaligus pengendara kendaraan bermotor atau tak bermotor; penumpang kendaraan umum
53

bisa saja sekaligus mahasiswa/pelajar, ibu rumah tangga, dan karyawan). Ketiga, dasar
pembagiannya tidak jelas (apakah berdasarkan jenis pekerjaan, lama atau sebentarnya di
jalan, atau penggunaan kendaraan?). Keempat, jumlah bagian terlalu banyak.
4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi2
4.1. Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi
Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut. (1) Hari ini cuaca cerah. (2) Apakah kamu
sudah sarapan tadi pagi? (3) Jawab pertanyaan saya. Kalimat-kalimat itu merupakan tiga
kalimat yang berbeda. Kalimat (1) adalah kalimat berita, yaitu kalimat yang memberitakan
hal tertentu. Kalimat (2) adalah kalimat tanya; isinya merupakan pertanyaan tentang hal
tertentu. Kalimat (3) adalah kalimat perintah yang isinya menyerukan atau memerintahkan
orang untuk melakukan hal tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk berkomunikasi kita
menggunakan kalimat, baik kalimat berita, kalimat perintah, maupun kalimat tanya. Secara
umum, kalimat didefinisikan sebagai: serangkaian kata yang disusun berdasarkan aturanaturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan,
menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal.
Benar atau salahnya struktur suatu kalimat ditentukan berdasarkan kaidah atau aturan
tata bahasa suatu bahasa. Penilaian terhadap kalimat terutama dalam hal apakah susunan atau
bangunan kata yang membentuk kalimat tepat atau tidak. Secara umum, struktur kalimat
berita terdiri dari subjek-predikat-objek, misalnya, Saya memakai baju. Dalam kalimat itu,
saya adalah subjek, memakai predikat, dan baju objek. Kalimat tanya umumnya dibuat
dengan menggunakan kata yang dilengkapi dengan bentuk akhir -kah, seperti apakah,
adakah, sudahkah, pernahkah, dan maukah. Bisa juga kalimat tanya hanya terdiri dari satu
kata, seperti Mau? atau Ada? Dalam bahasa lisan kalimat tanya ditandai dengan intonasi
tertentu; dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda tanya [?]. Kalimat perintah umumnya
dimulai dengan kata kerja, seperti Pergi kau!, atau dengan kata larangan seperti Jangan
datang lagi. Kalimat perintah bisa saja hanya terdiri dari satu kata. Dalam bahasa lisan,
kalimat perintah dengan satu kata ditandai dengan intonasi yang menunjukkan ketegasan,
sedang dalam bahasa tulisan kalimat ini diakhiri dengan tanda titik [.] dan kadang-kadang
dengan tanda seru [!].

2
Sebagian dari pasal yang membahas kalimat, pernyataan, dan proposisi ini disadur dari buku A. K.Bierman
dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan
bantuan dari Judithia A. Wirawan.

54

Salah satu jenis kalimat adalah pernyataan (bahasa Inggris statement) yang dalam
praktiknya sama dengan kalimat berita. Tetapi, pernyataan memiliki pengertian yang lebih
khusus. Pernyataan adalah kalimat yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau
menyampaikan sesuatu yang bisa benar atau salah.
Kalimat yang berupa pertanyaan atau perintah berbeda dari pernyataan karena
pertanyaan dan perintah tidak bisa benar dan sekaligus salah. Pernyataan memiliki nilai
kebenaran (truth value). Artinya, suatu pernyataan bisa dinilai benar atau salah, misalnya
pernyataan

Hari ini hujan turun benar jika sesuai dengan kenyataan bahwa hari ini

memang hujan. Tetapi jika kenyataan menunjukkan bahwa hari ini tidak hujan, maka
pernyataan itu salah. Suatu pernyataan tidak bisa benar dan salah sekaligus. Jika ada
pernyataan yang mengandung benar dan salah sekaligus, maka itu adalah paradoks yang
merupakan satu bentuk kesalahan dalam berpikir.
Dalam literatur logika dan ilmu pengetahuan, kita juga menemukan term proposisi
(dari kata bahasa Inggris proposition). Proposisi ialah makna yang diungkapkan melalui
pernyataan, atau dengan kata lain arti atau interpretasi dari suatu pernyataan. Sebagai analogi,
jika kata mengungkapkan konsep atau ide (konsep/ide = makna kata), maka pernyataan
mengungkapkan proposisi (proposisi = makna pernyataan). Proposisi juga dapat dipahami
sebagai makna dari kalimat berita, mengingat bahwa pernyataan merupakan kalimat berita
yang dapat dinilai benar atau salah.
Berikut ialah tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan dan
proposisi tersebut. Pertama, kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak
mengungkapkan proposisi apa pun. Misalnya, deretan kata penerangan tapi kecepatan
membaca tidak mengungkapkan proposisi apa pun karena penerangan dan kecepatan
membaca di sini tidak mempunyai hubungan yang jelas dan penggunaan kata tapi di sini
tidak tepat. Kedua, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat mengungkapkan proposisi
yang sama, misalnya, Rina adalah adik Yanto merupakan proposisi yang sama dengan
Yanto adalah kakak Rina. Ketiga, kalimat atau pernyataan yang sama dapat
mengungkapkan proposisi yang berbeda, misalnya, Masyarakat Jakarta adalah masyarakat
yang majemuk dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda-beda, antara lain Masyarakat
Jakarta terdiri dari banyak etnis atau Masyarakat Jakarta terdiri dari banyak agama dan
Masyarakat Jakarta merupakan keturunan dari perpaduan suku tertentu. Lalu, bagaimana
kita dapat mengetahui apa proposisi yang ingin diungkapkan suatu kalimat atau pernyataan?
Kita dapat memastikannya melalui pencermatan terhadap informasi non-bahasa atau konteks
atau dengan menggunakan kalimat lain yang lebih jelas dan khusus.
55

Kalimat atau pernyataan yang boleh ditafsirkan lebih dari satu makna (multi-tafsir)
dapat menyebabkan kita salah dalam memahami dan menanggapinya. Jika kita menggunakan
hasil pemaknaan itu dalam pembuatan keputusan, maka kita pun bisa salah membuat
keputusan dan menanggung kerugian akibat kesalahan itu. Oleh karena itu, perlu dihindari
penggunaan kalimat atau pernyataan yang multi-tafsir dengan membuat pernyataan yang
baik, yang jelas maknanya. Untuk membuat suatu pernyataan yang baik, perlu dilakukan halhal berikut. Pertama, membangun suatu kalimat yang mengungkapkan suatu proposisi.
Kedua, mengusahakan supaya proposisi yang ingin diungkapkan menjadi jelas. Akhirnya,
membuat pernyataan mengenai nilai kebenaran kalimat itu.
Biasanya langkah-langkah itu tidak disadari ketika seseorang menyusun suatu
pernyataan. Oleh karena itu orang perlu berlatih membuat pernyataan yang baik agar terbiasa.
Tanpa latihan, orang cenderung membuat kalimat yang multi-tafsir atau tidak jelas
maknanya. Bahkan orang bisa saja membuat kalimat atau pernyataan yang tidak koheren
sehingga sama sekali tidak dapat dimaknai.
Kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kalimat atau pernyataan adalah
yang berikut. 1) Kalimatnya tidak koheren sehingga tidak dapat dimaknai oleh pendengar
atau pembaca. 2) Kalimatnya sudah koheren tetapi proposisi apa yang dimaksudkan tidak
jelas sehingga dapat menyebabkan salah tafsir. 3) Tidak menunjukkan dengan jelas bahwa
kita sedang menyatakan nilai kebenaran dari kalimat kita (dan bukannya sedang bertanya,
mencoba sound system, berspekulasi, atau berlatih drama). Dalam bahasa lisan, kesalahan ini
seringkali disebabkan oleh salah intonasi. Dalam bahasa tulis, hal ini seringkali timbul karena
kesalahan penggunaan tanda baca.

4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks


Secara umum, berdasarkan proposisi yang dikandung, ada dua jenis pernyataan, yaitu
pernyataan sederhana dan pernyataan kompleks. Pernyataan sederhana adalah pernyataan
yang hanya mengandung satu proposisi, misalnya, Anak itu menangis. Pernyataan
kompleks adalah pernyaataan yang mengandung lebih dari satu proposisi, misalnya, Selain
gemar membaca buku, Adi juga senang menulis cerita pendek. Pernyataan ini mengandung
dua proposisi, yaitu Adi gemar membaca buku dan Adi senang menulis cerita pendek.
Proposisi yang dikandung oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari
pernyataan. Komponen logika adalah komponen yang turut menentukan benar atau salahnya
suatu pernyataan. Oleh karena sebuah pernyataan ditentukan benar-salahnya berdasarkan

56

makna yang diungkapkannya atau proposisinya, maka komponen logika suatu pernyataan
dapat dipahami dari proposisi pernyataan itu.
Tidak semua kalimat kompleks (kalimat yang mengandung lebih dari satu komponen)
merupakan pernyataan kompleks, karena komponen itu belum tentu merupakan komponen
logika. Sebagai contoh, Saya harap kamu belajar giat memang merupakan kalimat
kompleks tetapi termasuk jenis pernyataan sederhana karena hanya mengandung satu
proposisi atau satu komponen logika. Yang menentukan benar atau tidaknya pernyataan itu
adalah saya harap. Jika kenyataannya saya berharap kamu belajar giat maka pernyataan
itu benar. Tetapi jika kenyataannya saya tidak berharap kamu belajar giat maka pernyataan
itu salah.
Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
(1) Tidak benar bahwa anak itu nakal.
(2) Rani pikir anak itu nakal.
Pernyataan yang dikandung dalam kalimat (1) adalah [Hal] itu (anak itu nakal) tidak
benar dan Anak itu nakal. Dalam pernyataan pertama, anak itu nakal merupakan
komponen logika karena benar atau salahnya komponen itu turut menentukan benar atau
salahnya pernyataan itu: jika kenyataannya benar bahwa anak itu nakal, maka pernyataan itu
adalah salah, sedangkan jika kenyataannya tidak benar bahwa anak itu nakal, maka
pernyataan itu adalah benar. Kalimat ini mengandung dua proposisi.
Pernyataan yang terkandung dalam kalimat (2) adalah Rani pikir [x] dan Anak itu
nakal. Dalam pernyataan itu, anak itu nakal bukan komponen logika karena benar atau
salahnya hal itu tidak menentukan benar atau salahnya pernyataan: apakah kenyataan anak
itu nakal atau tidak nakal, tidak menentukan apakah benar bahwa Rani berpikir anak itu
nakal. Nilai kebenaran pernyataan kedua ada pada: apakah benar bahwa Rani pikir anak itu
nakal, ataukah Rani tidak berpikir bahwa anak itu nakal. Kalimat ini hanya mengandung satu
proposisi. Demikianlah anak itu nakal merupakan komponen logika dalam kalimat (1), tetapi
bukan komponen logika dalam kalimat (2). Jadi, kalimat (1) merupakan pernyataan
kompleks, sedangkan kalimat (2) merupakan pernyataan sederhana.
Biasanya, komponen yang mengikuti kata-kata yang menunjukkan sikap atau
pendapat pribadi, seperti pikir, harap, kira, dan percaya bukan merupakan komponen logika.
Dalam percakapan sehari-hari, komponen-komponen dalam pernyataan kompleks sering kali
tidak diungkapkan secara lengkap, seperti diperlihatkan oleh contoh-contoh berikut.
(1) Kalau kamu tidak mau pergi, tidak usah. (Lengkapnya: Kalau kamu tidak mau pergi,
kamu tidak usah pergi.)
57

(2) Mengingat kamu punya kehendak sendiri, kamu boleh memilih untuk ikut atau tidak.
(Lengkapnya: Kamu punya kehendak sendiri, jadi kamu boleh memilih untuk ikut atau
kamu boleh memilih untuk tidak ikut.)
(3) Kuda tidak satu spesies dengan keledai. (Lengkapnya: Tidak benar bahwa kuda satu
spesies dengan keledai.)

4.3 Jenis-jenis Pernyataan Kompleks


Hubungan di antara proposisi atau pernyataan sederhana dalam pernyataan kompleks
ditunjukkan oleh penggunaan kata penghubung seperti tidak, dan, atau, jika, dan maka. Katakata yang menghubungkan pernyataan-pernyataan sederhanasehingga terbentuk satu
pernyataan kompleksdan menjelaskan hubungan-hubungan yang terdapat di antara
pernyataan-pernyataan sederhana itu disebut kata penghubung logis atau kata penghubung
kalimat. Kata penghubung itu digunakan untuk membangun struktur logika dari pernyataan
kompleks.
Berdasarkan hubungan di antara proposisi-proposisi yang terkandung dalam
pernyataan kompleks, ada empat jenis pernyataan kompleks, yaitu:
1) Negasi (bukan P)
2) Konjungsi (P dan Q), dan
3) Disjungsi (P atau Q)
4) Kondisional (Jika P maka Q)
Secara umum struktur logika terdiri atas empat jenis seperti yang sudah disebutkan di atas.
Dalam praktiknya, tidak mudah menemukan struktur logika suatu pernyataan atau
suatu argumen. Hal itu dapat terjadi karena 1) ada lebih dari satu cara untuk mengungkapkan
keempat jenis pernyataan kompleks tersebut di atas, dan 2) struktur logika suatu pernyataan
sering kali tersembunyi. Untuk dapat menemukan struktur logika dari pernyataan-pernyataan,
kita perlu mempelajari struktur logika dari keempat pernyataan kompleks itu.

4.3.1 Negasi
Negasi dari suatu pernyataan sederhana adalah pengingkaran atas pernyataan itu. Jika
A adalah suatu pernyataan, negasinya adalah Tidak benar bahwa A. Ini disingkat menjadi
Bukan-A atau Bukan (A). Suatu pernyataan dan negasinya tidak mungkin benar keduaduanya, atau salah kedua-duanya. Benar atau salahnya (nilai kebenaran) suatu negasi
tergantung pada nilai kebenaran komponen logikanya. Karena itu, negasi termasuk
pernyataan kompleks, bukan pernyataan sederhana.
58

Dalam percakapan sehari-hari, kita jarang menyatakan negasi dalam kalimat, Tidak
benar bahwa melainkan kita cukup menyingkatnya dengan kata tidak, misalnya:
(1) Orang jujur tidak bisa berbohong. (Tidak benar bahwa orang jujur bisa berbohong.)
(2) Kamu tidak pernah mengajak saya makan-makan. (Tidak benar bahwa kamu mengajak
saya makan-makan.)
Perhatikan bahwa penafsiran dari contoh (2) sebenarnya agak kurang tepat. Untuk
menafsirkan Kamu tidak pernah mengajak saya jalan-jalan diperlukan teknik logika lebih
lanjut, yang akan dijelaskan kemudian.
Kata-kata yang maknanya berlawanan (antonim) tidak berarti bahwa kata-kata saling
menegasikan. Misalnya, Brian membenci Ratih, bukan negasi dari Brian mencintai
Ratih. Negasi dari Brian membenci Ratih adalah Brian tidak membenci Ratih. Bisa saja
terjadi bahwa Brian tidak mencintai Ratih tetapi juga tidak membenci Ratih. Umpamanya,
jika Brian tidak mengenal Ratih sama sekali, atau Brian dan Ratih berteman, maka mereka
tidak saling mencintai dan juga tidak saling membenci. Dengan kata lain, Brian membenci
Ratih menunjukkan bahwa Brian mempunyai sikap negatif terhadap Ratih. Sementara itu,
Brian tidak mencintai Ratih hanya menunjukkan bahwa Brian tidak mempunyai afeksi
positif terhadap Ratih, namun itu tidak harus berarti Brian membenci Ratih. Brian membenci
Ratih merupakan suatu pernyataan sederhana.
Negatif ganda pada umumnya membentuk pernyataan positif seperti pada contohcontoh berikut.
(1) Pikiran manusia tidak tak terbatas. (Pikiran manusia terbatas.)
(2) Jangan sekali-sekali tidak membayar pajak. (Bayarlah pajak.)

4.3.2 Konjungsi
Suatu pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata dan
disebut konjungsi atau kalimat konjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan
komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah P dan Q. Komponen-komponennya
(masing-masing P dan Q) disebut konjung. Sebagai contoh, pernyataan kompleks Indonesia
dan Malaysia berasaskan demokrasi terbentuk dari dua pernyataan sederhana, masingmasing Indonesia berasaskan demokrasi dan Malaysia berasaskan demokrasi.
Jumlah konjung dalam suatu kalimat konjungsi tidak harus dua, tapi bisa juga lebih,
misalnya, Indonesia, Malaysia dan Australia berasaskan demokrasi. Pernyataan kompleks
ini terdiri dari tiga pernyataan sederhana, yaitu Indonesia berasaskan demokrasi,
Malaysia berasaskan demokrasi, dan Australia berasaskan demokrasi.
59

Suatu konjungsi benar bila semua konjungnya benar, dan salah jika salah satu
konjungnya salah. Sebagai contoh, pernyataan Indonesia dan Malaysia berasaskan
demokrasi benar jika dalam kenyataannya memang Indonesia berasaskan demokrasi dan
Malaysia berasaskan demokrasi. Jika semua salah atau salah satu pun konjungnya salah,
maka konjungsi salah. Pernyataan Manusia dan burung adalah makhluk rasional salah
karena pernyataan Burung adalah makhluk rasional salah.
Ada kata lain di samping dan yang fungsinya kurang lebih sama. Perhatikanlah
contoh-contoh berikut.
(1) Saya mau nasi dan daging, tetapi sayur tidak. (Saya mau nasi, dan saya mau daging, tapi
saya tidak mau sayur.)
(2) Walaupun miskin, dia bahagia. (Dia miskin dan dia bahagia.)
(3) Anto datang ke rapat itu, begitu pula Yana. (Anto datang ke rapat itu dan Yana datang ke
rapat itu.)
(4) Kami berhasil; namun demikian, kami menyadari kekurangan kami. (Kami berhasil, dan
kami menyadari kekurangan kami.)
Penggunaan tapi, walaupun, dan lain-lain itu mengandung arti lebih dari sekadar dan.
Tetapi, secara logis, nilai kebenaran Dia miskin dan dia bahagia sama dengan nilai
kebenaran Walaupun dia miskin, dia bahagia. Artinya, jika Dia miskin dan dia bahagia
benar, maka Walaupun dia miskin, dia bahagia juga benar. Sebaliknya, jika Dia miskin
dan dia bahagia salah, maka Walaupun dia miskin, dia bahagia juga salah.
Penggunaan kata dan kadang-kadang taksa atau ambigu (ambiguous). Contohnya,
Joko

dan

Patmo

memenangkan

perlombaan

maraton.

Pernyataan

ini

dapat

diinterpretasikan menjadi:
1) Joko memenangkan perlombaan maraton dan Patmo memenangkan perlombaan maraton
(konjungsi), atau
2) Pasangan Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton (pernyataan sederhana).
Untuk mengetahui interpretasi mana yang benar, digunakan konteks atau informasi lain
yang tersedia. Jika kita yang menyampaikan pernyataan itu, sebaiknya kita menggunakan
pernyataan yang lebih lengkap dan jelas. Meskipun ada konteks, kemungkinan salah tafsir
tetap besar. Oleh sebab itu, penggunaan pernyataan yang taksa atau bertafsir ganda harus
dihindari.
Menurut logika, urutan konjungsi boleh dibolak-balik tanpa mempengaruhi nilai
kebenarannya, misalnya Saya ingin makan nasi dan minum teh dapat dibalik menjadi
Saya ingin minum teh dan makan nasi. Kedua pernyataan ini sama saja arti dan nilai
60

kebenarannya. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, urutannya tidak dapat dibalik. Sebagai
contoh, pernyataan Made meninggal dunia dan dibakar berbeda maknanya dengan Made
dibakar dan meninggal dunia karena urutannya berbeda.

4.3.3 Disjungsi
Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata atau
disebut disjungsi atau pernyataan disjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan
komponen pernyataan kompleks, bentuk standar dari disjungsi adalah P atau Q, misalnya
Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis. Komponenkomponennya (masing-masing P dan Q) disebut disjung. Jumlah disjung dalam suatu
disjungsi tidak harus dua, tetapi bisa juga lebih, misalnya, Joko atau Padmo atau Riski yang
memenangkan pertandingan bulu tangkis. Urutan disjung dalam suatu disjungsi tidak
mempengaruhi nilai kebenarannya. A atau B secara logis ekuivalen dengan B atau A.
Umpamanya, Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis sama
maknanya dengan Padmo atau Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis.
Suatu disjungsi benar bila paling sedikit salah satu disjungnya benar, dan salah jika
semua disjungnya salah. Jadi, A atau B benar jika A benar, B benar, atau A dan B benar.
Sedangkan A atau B salah jika A dan B salah. Disjungsi Joko atau Padmo yang
memenangkan pertandingan bulu tangkis benar jika salah satu konjungnya benar, misalnya
Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis. Disjungsi Joko atau Padmo yang
memenangkan pertandingan bulu tangkis salah jika baik pernyataan Joko yang
memenangkan

pertandingan

bulu

tangkis

maupun

Padmo

yang

memenangkan

pertandingan bulu tangkis salah. Penggunaan kata atau seperti ini disebut atau-inklusif.
Dalam percakapan sehari-hari, kadang-kadang kata atau digunakan sebagai ataueksklusif, yang berarti bahwa hanya salah satu dari disjungnya yang benar, misalnya Anto
ada di Jakarta atau di Bandung (tidak mungkin kedua disjungnya benar). Dalam teori-teori
logika, yang dipakai adalah atau-inklusif. Jika dalam teori logika, kita ingin mengungkapkan
suatu hubungan atau -eksklusif, maka struktur logikanya menjadi A atau B dan bukan (A
dan B), misalnya Anto ada di Jakarta atau dia ada di Bandung dan tidak benar bahwa dia
ada di Jakarta sekaligus dia ada di Bandung.
Perhatikan penulisan struktur logika, jika kita menggunakan bentuk negasi tanpa
tanda kurung, maka hasilnya menjadi ambigu seperti ini: A atau B dan bukan -A dan B.

61

4.3.4 Kondisional
Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan jika, maka
disebut pernyataan kondisional atau hipotetisis. Jika P dan Q adalah pernyataan yang
merupakan komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah Jika P maka Q. Pernyataan
dalam anak kalimat yang mengandung kata jika disebut anteseden, dan pernyataan dalam
anak kalimat yang mengandung kata maka disebut konsekuen.
Nilai kebenaran suatu pernyataan kondisional agak rumit penentuannya. Hal ini
menyebabkan timbulnya pandangan yang berbeda-beda. Salah satu di antaranya (yang dianut
oleh para ahli logika formal) ialah pandangan kondisional material, yang menyatakan bahwa
suatu pernyataan kondisional dianggap salah hanya jika antesedennya benar dan
konsekuennya salah. Perhatikan pernyataan hari hujan dan tanah basah yang masing-masing
benar. Menurut syarat kondisional material, hal itu berarti bahwa jika hari hujan maka tanah
basah adalah benar, semrntara jika hari hujan maka tanah kering salah; jika hari cerah, maka
tanah basah adalah benar, dan jika hari cerah maka tanah kering benar. Nilai kebenaran
kondisional material tidak tergantung pada hubungan antara komponen-komponennya karena
kondisional material tidak melihat isi dari pernyataan yang menjadi komponennya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan pernyataan kondisional untuk
menggambarkan hubungan antara komponen-komponennya, misalnya jika Maulana minum
alkohol 1 liter, maka ia akan mabuk untuk menunjukkan hubungan kausal; jika binatang itu
termasuk mamalia, maka dia pasti menyusui untuk menunjukkan hubungan konseptual; dan
jika seseorang termasuk mahasiswa, maka dia pasti terdaftar secara resmi sebagai orang
yang belajar di perguruan tinggi untuk menunjukkan hubungan definisional. Kebenaran
pernyataan-pernyataan itu tergantung pada hubungan antara anteseden dengan konsekuennya
juga. Tetapi dari sudut pandang logika murni, maka yang dianut adalah kondisional material.
Secara logika, jika A, maka B ekuivalen dengan jika tidak B, maka tidak A. Kedua bentuk ini
disebut kontrapositif.
Pernyataan kondisional yang mempunyai anteseden yang salah disebut kondisional
yang berlawanan dengan kenyataan. Dari sudut pandang kondisional material, nilai
kebenaran kondisional seperti ini adalah benar.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang orang menggunakan bentuk kondisional
bukan untuk menggambarkan hubungan kondisional, misalnya jika saya jadi kamu, saya
akan minta melamar (kamu sebaiknya melamar); di gudang ada payung, kalau kamu mau
(kamu boleh ambil payung di gudang); kalau laki-laki itu kamu bilang ganteng, maka saya
adalah Arjuna (laki-laki itu tidak ganteng). Untuk membedakan mana pernyataan kondisional
62

yang sesungguhnya dan mana yang bukan, digunakan akal sehat dan ingatan tentang
kenyataan-kenyataan yang dirujuk dalam pernyataan.
Ada banyak cara untuk mengungkapkan pernyataan kondisional, yang semuanya
dapat dikembalikan ke bentuk standar Jika A, maka B. Kadang-kadang jika suatu bentuk
kondisional yang tidak standar diterjemahkan ke bentuk standar, maka artinya berubah,
misalnya Saya senang hanya jika saya berhasil menjadi juara 1. Jika diubah ke bentuk
standar menjadi Jika saya senang, maka saya berhasil menjadi juara 1, maka artinya pun
berubah jika kita menerjemahkan Kesenangan saya menyebabkan saya menangke dalam
bentuk kontrapositifnya menjadi Jika saya tidak menang, maka saya tidak senang maka
artinya menjadi lebih masuk akal. Oleh sebab itu, dalam mengubah suatu bentuk kondisional
menjadi bentuk standarnya, kita harus melihat apakah bentuk standar ataukah bentuk
kontrapositifnya yang lebih dapat menangkap arti sesungguhnya dari pernyataan asalnya.
(Periksa Tabel 2.1.)
Tabel 2.1: Pernyataan Kondisional dan Bentuk Standarnya
Pernyataan Kondisional
Hanya manusia yang dapat menggunakan
simbol.
Di mana ada api, di situ ada oksigen.
Saya tidak mau pergi kecuali dibiayai.

Kamu boleh menyetir mobil hanya jika


kamu sudah punya SIM A.
Tidak mungkin kamu datang ke rapat itu
tapi tidak melihat aku.
Syarat untuk hidup sejahtera adalah sehat.

Bentuk Standar
Jika suatu makhluk menggunakan simbol,
maka makhluk itu adalah manusia.

Jika MS, maka M.


Jika ada api, maka ada oksigen.
Jika A, maka O.
Jika saya tidak dibiayai, saya tidak mau
pergi.
Jika tidak D, tidak P.
Jika kamu belum punya SIM A, kamu tidak
boleh menyetir mobil.
Jika tidak SA, tidak MM.
Jika kamu pergi ke rapat itu, maka kamu
melihat aku.
Jika R, maka M.
Jika tidak sehat, maka tidak bisa hidup
sejahtera.
Jika tidak S, maka tidak S.

Pengenalan terhadap kontrapositif dari suatu pernyataan akan berguna pada saat kita
berusaha mengenal struktur logika dari suatu pernyataan atau argumen yang rumit. Ada
aturan informal yang mengatakan bahwa kita boleh mengganti kata kecuali dengan jika tidak.
63

Namun karena mengandung negasi, maka kalimat yang baru bisa jadi sangat rumit. Sebagai
contoh, jika kalimat Dodo tidak akan mengaku kecuali tidak ada sanksi atas perbuatannya
kita ubah sesuai dengan aturan informal itu, maka kita akan memperoleh Dodo tidak akan
mengaku jika tidak ada sanksi atas perbuatannya. Kemudian, kalimat yang baru itu dibalik
susunannya menjadi bentuk standar, Jika tidak tidak ada sanksi atas perbuatannya, Dodo
tidak akan mengaku, sehingga kita memperoleh dua bentuk negasi (tidak [ada...] dan tidak
[akan ...]). Jika kedua negasi itu diubah menjadi positif, maka pernyataan itu menjadi Jika
ada sanksi atas perbuatannya, Dodo tidak akan mengaku. Demikian pula, jika kita mau,
kita dapat mengubahnya menjadi kontrapositifnya, Jika Dodo mengaku, maka [itu berarti]
tidak ada sanksi atas perbuatannya.

4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi


Ada dua kondisi yang merupakan bentuk khusus dari hubungan kondisional, yaitu
yang mencukupi (sufficient condition, S) dan kondisi niscaya (necessary condition, N). Hanya
jika pernyataan kondisional Jika S maka N adalah benar. Contoh:
1. Menghasilkan sperma merupakan kondisi yang mencukupi untuk membuktikan bahwa
seseorang adalah laki-laki.
2. Jenis kelamin laki-laki merupakan kondisi niscaya untuk menghasilkan sperma.
3. Jika seseorang menghasilkan sperma, maka dia laki-laki.
Oleh karena pernyataan kondisional digunakan untuk menggambarkan hubungan
tertentu antara komponennya, maka kondisi yang mencukupi dan niscaya juga demikian. Ada
lima jenis hubungan itu, yang berikut ini didaftarkan beserta contohnya.
1) Kausal
a. Mencabut jantung Dul merupakan kondisi yang mencukupi untuk membunuhnya.
b. Jika kita mencabut jantung Dul, maka kita membunuhnya.
2) Konseptual
a. Kondisi niscaya untuk tergolong manusia adalah mampu menggunakan simbol.
b. (i) Jika B adalah manusia, maka dia pasti mampu menggunakan simbol.
c. (ii) Jika B tidak mampu menggunakan simbol, maka dia pasti bukan manusia.
3) Definisional
a. Kondisi niscaya dan mencukupi untuk disebut mahasiswa adalah orang yang
terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.
64

b. Jika seseorang adalah mahasiswa, maka dia adalah orang yang terdaftar secara
resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi, dan jika ia adalah orang yang terdafatar
secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi maka ia adalah seorang
mahasiswa. Seseorang adalah mahasiswa jika dan hanya jika dia adalah orang yang
terdafatar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.
4) Regulatori
a. Lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi merupakan kondisi niscaya untuk kuliah di
universitas negeri.
b. (i) Jika seseorang dapat kuliah di universitas negeri secara sah, maka ia lulus Ujian
Masuk Perguruan Tinggi.
c. (ii) Jika seseorang tidak lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi, maka dia tidak dapat
kuliah di universitas negeri secara sah.

5) Logis
a. Menjadi kucing hitam adalah kondisi niscaya untuk berwarna hitam.
b. Jika seekor binatang adalah kucing hitam, maka warnanya hitam.
Ada kondisi yang niscaya sekaligus mencukupi untuk suatu situasi. Kondisi ini
diungkapkan dalam bentuk X jika dan hanya jika Y, misalnya, Makhluk hidup jika dan
hanya jika bernafas. Ini bisa dibalik menjadi, Bernafas jika dan hanya jika makhluk
hidup. Contoh lain, Mahkluk adalah manusia jika dan hanya jika makhluk itu adalah
makhluk rasional. Ada juga kondisi niscaya dan mencukupi yang berlaku hanya dalam
konteks tertentu. Umpamanya, dalam suatu ruangan yang penuh oksigen dan hidrogen,
menyalakan korek api merupakan kondisi yang mencukupi untuk terjadinya ledakan, namun
tidak dalam konteks lain.

4.4 Hubungan Antar-pernyataan


Ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan dari suatu pernyataan.
Oleh para ahli logika, ini disebut hubungan langsung. Misalnya, jika benar bahwa semua
manusia pasti akan mati maka dapat disimpulkan bahwa Sokrates, seorang manusia, pasti
akan mati. Ada beberapa jenis hubungan seperti itu yang masing-masing diterapkan di bawah
ini.

65

4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dari Proposisi


Pernyataan kategorikal adalah pernyataan yang terdiri dari subjek dan predikat yang
membenarkan atau menidakkan bahwa individu adalah anggota suatu kelompok. Ada empat
jenis pernyataan kategorikal, yakni yang berikut.
A:
E:
I:
O:

Semua S adalah P. (Universal-afirmatif)


Tidak ada S yang P. (Universal-negatif)
Beberapa S adalah P. (Partikular-afirmatif)
Beberapa S bukan P. (Partikular-negatif)
Hubungan antara keempat jenis pernyataan kategorikal dapat digambarkan dalam

segi-empat oposisi pada Bagan 2.1.

Bagan 2.1: Segiempat Oposisi

A: Semua S adalah P.

Kontrari

Kontradiktori

Sub-alternasi

I: Beberapa S adalah P.

E: Tidak ada S yang P.

Subkontrari

O: Beberapa S bukan P.

Kontradiksi (A dan O; E dan I)


Dalam hubungan ini, tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah
(Salah satu pasti benar). Umpamanya, Makhluk hidup bernafas adalah benar, dan
Beberapa makhluk hidup tidak bernafas adalah salah.

Kontrari (A dan E)
Dalam hubungan ini tidak mungkin keduanya benar, tapi mungkin saja keduanya salah.
Sebagai contoh, jika Semua melati berwarna putih adalah benar, maka Tidak ada mawar
66

berwarna merah adalah salah. Akan tetapi, apabila Semua mawar berwarna merah adalah
salah, dan Tiada mawar berwarna merah juga salah.

Subkontrari (I dan E)
Dalam hubungan ini mungkin saja keduanya benar, tetapi tidak mungkin keduanya salah,
misalnya Beberapa orang sedang sedih adalah benar, dan Beberapa orang tidak sedang
sedih juga benar.
Subalternasi (A dan I; E dan O)
Jika superalternasinya (A atau E) benar, maka subalternasinya (I atau O) benar. Umpamanya,
jika Semua manusia bernafas (A) adalah benar, maka Beberapa manusia bernafas (I)
juga benar. Jika subalternasinya (I atau O) benar, maka superalternasinya (A atau E) belum
tentu benar: jika Beberapa orang tidak terpelajar (O) adalah benar, maka Semua orang
tidak terpelajar (E) bisa benar, bisa salah. Jika subalternasinya (I atau O) salah, maka
superalternasinya (A atau E) pasti salah.
Dalam logika tradisional, yang disebut kontrari adalah pernyataan bentuk A terhadap
pernyataan bentuk E. Namun, di sini setiap dua pernyataan yang memenuhi definisi di atas
dapat dianggap sebagai kontrari. Kontradiksi dan kontrari cukup sering disebut lawan dari
suatu pernyataan, namun keduanya berbeda satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari,
memang cukup sering orang mengacaukan keduanya. Untuk lebih memahami perbedaan di
antara keduanya, perhatikanlah contoh pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2: Perbedaan dan Bentuk Kontrari dengan Kontradiksinya
Pernyataan
Semua mawar berwarna
merah.
Semua angsa berwarna
putih.
Tidak ada orang yang
bermoral.
Rumah saya hijau.
Dia selalu jujur.
Beratnya lebih dari 50 kg.

Kontrari
Semua mawar berwarna
kuning.
Tiada angsa mawar
berwarna putih.
Semua orang bermoral.

Kontradiksi
Beberapa mawar tidak
berwarna merah.
Beberapa angsa tidak berwarna
putih.
Beberapa orang bermoral.

Rumah saya putih.


Dia tidak pernah jujur.
Beratnya kurang dari 50 kg.

Rumah saya tidak hijau.


Dia kadang-kadang jujur.
Beratnya 50 kg atau kurang.

Secara logis, kontradiksi suatu pernyataan sama dengan negasi dari pernyataan itu.
Oleh sebab itu, semua pernyataan yang merupakan kontradiksi dari pernyataan X (misalnya
67

Semua melati berwarna putih), pada dasarnya adalah ekuivalen dari pernyataan bukan-X
(Tidak benar bahwa semua melati berwarna putih). Sedangkan ada banyak pernyataan yang
merupakan kontrari dari pernyataan X namun tidak saling ekuivalen, misalnya Semua melati
berwarna kuning, Semua melati berwarna hijau, dan Tiada melati berwarna putih.
Pernyataan kompleks juga memiliki kontradiksi dan kontrari. Kontradiksi pernyataan
Ia orang yang baik hati dan [ia] orang yang terpelajar ialah Ia bukan orang yang baik
hati sekaligus terpelajar, yang secara logis ekuivalen dengan Ia bukan orang yang baik
hati atau [ia] bukan orang yang terpelajar. Sedangkan kontrarinya adalah Ia bukan orang
yang baik hati dan [ia] bukan orang yang terpelajar, yang secara logis ekuivalen dengan
Tidak benar bahwa ia orang yang baik hati ataupun orang yang terpelajar.

4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi


Dua pernyataan disebut inkonsisten jika, dan hanya jika keduanya tidak mungkin benar pada
saat yang bersamaan. Pada kondisi yang sebaliknya, dua pernyataan itu disebut konsisten;
artinya, kedua pernyataan itu mungkin sama-sama benar pada saat bersamaan. Pernyataan
Saya adalah laki-laki dan Saya bukan laki-laki merupakan contoh dua pernyataan yang
inkonsisten dan Saya adalah laki-laki dan Saya adalah dosen merupakan contoh dua
pernyataan yang konsisten.Pernyataan yang termasuk inkonsisten adalah kontrari dan
kontradiksi. (Lihat Tabel 2.3.)
Tabel 2.3: Pernyataan yang Konsisten dan yang Inkonsisten
Pernyataan
Ada anyelir
Dia harus belajar.
Dia X dan Y.
Jika A maka B.

Konsisten
Ada anggrek.
Dia harus belajar logik.
Dia X.
Jika B maka A.

Inkonsisten
Tidak ada anyelir.
Dia tidak boleh belajar.
Dia bukan Y.
A dan bukan-B.

4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis


Tiga jenis hubungan antar-pernyataan adalah implikasi, ekuivalensi dan independensi
logis. Ketiga jenis hubungan ini sering muncul dalam keseharian kita dan sering pula
dipertukarkan pengertiannya; tidak jarang orang memperlakukan hubungan yang satu sebagai
hubungan yang lain. Misalnya, independensi logis diperlakukan seolah-olah implikasi, dan
sebaliknya. Untuk memahami ketiga jenis hubungan itu, dan untuk menghindari kesalahan

68

dalam penggunaannya, kita perlu memahami pengertian masing-masing dan bagaimana


penggunaannya.
Implikasi
Pernyataan P mengimplikasikan pernyataan Q ketika secara logis tidak mungkin P benar dan
Q salah pada waktu yang bersamaan. Perhatikan contoh-contoh berikut.
Pernyataan P
Semua melati berwarna putih.
Aten adalah seorang guru.
Saya gemuk dan pendek.
Joko adalah laki-laki.

mengimplikasikan

Pernyataan Q
Beberapa melati berwarna putih.
Aten mempunyai murid.
Saya gemuk.
Joko menghasilkan sperma.

Ekuivalensi
Dua pernyataan secara logis ekuivalen bila keduanya saling mengimplikasikan. Jadi
dua pernyataan yang secara logis ekuivalen memiliki makna yang sama. Begitu pula
sebaliknya, dua pernyataan yang memiliki makna yang sama berarti secara logis keduanya
ekuivalen. Berikut ini adalah beberapa pernyataan yang secara logis ekuivalen.
1. Negasi dari suatu konjungsi [Bukan (P dan Q)] ekuivalen dengan disjungsi dari negasi
konjung-konjungnya [Bukan-P atau Bukan-Q], misalnya Kita tidak akan pergi ke
perpustakaan sekaligus ke pertandingan basket ekuivalen dengan Kita tidak pergi ke
perpustakaan atau kita tidak pergi ke pertandingan basket.
2. Negasi dari suatu disjungsi [Bukan-(P atau Q)] ekuivalen dengan konjungsi dari negasi
disjung-disjungnya [Bukan-P dan Bukan-Q], misalnya Tidak benar bahwa Doni atau
Yanto akan gagal ekuivalen dengan Doni tidak akan gagal dan Yanto juga tidak akan
gagal.
3. Suatu pernyataan kondisional [Jika P maka Q] ekuivalen dengan pernyataan yang
menolak bahwa antesedennya benar dan konsekuennya salah [Bukan-(P dan bukan-Q)],
misalnya Jika orang itu melahirkan anak, maka dia pasti perempuan ekuivalen dengan
Tidak mungkin orang itu melahirkan anak namun bukan perempuan.
4. Suatu disjungsi [P atau Q] ekuivalen dengan pernyataan kondisional yang antesedennya
merupakan negasi dari salah satu disjung dan konsekuennya adalah disjung yang lain
[Jika Bukan-P maka Q, atau Jika Bukan-Q maka P], misalnya Kita pergi ke Bangkok

69

atau ke Bali ekuivalen dengan Jika kita tidak pergi ke Bangkok maka kita pergi ke
Bali, atau Jika kita tidak pergi ke Bali maka kita pergi Bangkok.
Independensi Logis
Dua pernyataan disebut secara logis independen jika secara logis tidak berhubungan; jadi,
kedua pernyataan maupun negasinya tidak saling mengimplikasikan. Umpamanya,
pernyataan Ratno sedang belajar dan Anti tahu tempat membeli sepatu yang murah
secara logis independen karena keduanya tidak saling berhubungan. Contoh lain, pernyataan
Embun menetes di pagi hari secara logis independen dengan pernyataan Aku sedang
bersedih.

5. Penalaran
Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-asalan yang relevan. Alasanalasan itu dapat berupa bukti, data, informasi akurat, atau penjelasan tentang hubungan antara
beberapa hal. Penalaran berlangsung dalam pikiran. Ungkapan verbal dari penalaran adalah
argumentasi.
Dalam pasal ini akan diuraikan dua jenis penalaran, syarat penalaran yang benar, dan
kesalahan dalam penalaran. Sebelum itu, penyimpulan langsung dan prinsip-prinsip logika
yang mendasari penalaran akan dijelaskan terlebih dahulu.

5.1 Penyimpulan Langsung


Fungsi akal manusia adalah mencapai kebenaran. Proses pencapaian kebenaran dimulai dari
pengenalan terhadap gejala dan pembentukan ide itu sendiri. Tetapi kebenaran tidak terdapat
dalam Ide. Kebenaran terdapat dalam putusan (judgement). Kalau putusan kita sesuai dengan
kenyataan, maka kita mencapai kebenaran objektif. Atas dasar kebenaran-kebenaran
semacam inilah pengetahuan mengalami kemajuan.
Kebenaran pertama-tama dapat dicapai melalui penyimpulan langsung (immediate
inference), yaitu penyimpulan yang ditarik sesuai dengan prinsip-prinsip logika. Prinsipprinsip logika terdiri atas prinsip identitas, prinsip kontradiksi, dan prinsip tanpa nilai tengah
(excluded middle). Prinsip identitas menyatakan bahwa X = X; artinya, sesuatu adalah
sesuatu itu sendiri. Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa jika X = X maka tidak mungkin X
tidak sama dengan X; artinya, sesuatu adalah dirinya sendiri, tidak mungkin sesuatu itu
sekaligus bukan dirinya sendiri. Prinsip tanpa nilai tengah menyatakan bahwa untuk proposisi

70

apa pun, proposisi itu hanya dapat benar atau salah; tidak mungkin diperoleh sebuah
proposisi yang benar sekaligus salah, atau setengah salah atau setengah benar.
Penyimpulan langsung dilakukan melalui indera, umpamanya memberikan putusan
bahwa mawar berwarna merah (putusannya: mawar merah), hari sedang hujan, matahari
bersinar, atau saat ini pagi hari. Penyimpulan langsung menghasilkan pengetahuan dasar bagi
manusia. Pengalaman empirik yang menjadi sumber pengetahuan itu. Akan tetapi
penyimpulan langsung tidak membawa kita beranjak jauh dari informasi-informasi asal
sehingga tidak dapat menambah pengetahuan lebih banyak lagi. Kita perlu mengetahui
kebenaran-kebenaran dari berbagai hal yang tidak dapat dibuktikan dengan penyimpulan
langsung maupun pembuktian melalui panca indera, seperti contoh-contoh berikut. Apakah
matahari mengelilingi bumi atau bumi mengelilingi matahari? Apakah jiwa manusia berbeda
dengan jiwa binatang? Apakah matahari itu jauh atau dekat? Apakah bulan besar atau
kecil? Benarkah jiwa itu kekal?

5.2 Penyimpulan Tak Langsung


Untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar tentang hal-hal yang tidak dapat
dibuktikan dengan penyimpulan langsung atau indera, kita perlu membandingkan ide-ide.
Penyimpulan melalui perbandingan ide-ide adalah penyimpulan tak langsung. Putusan yang
dihasilkan bukan hasil dari pengenalan langsung terhadap gejala, melainkan hasil dari
mempertemukan dua ide yang diperbandingkan dengan perantaraan ide ketiga yang sudah
diketahui sebelumnya.
Di atas (pasal 4.1) telah kita bahas cara membenarkan atau mengingkari suatu ide atas
dasar satu ide yang lain (negasi, oposisi dari proposisi, dan lain-lain).

Tetapi dalam

kenyataannya kita tidak selalu dapat membuat putusan hanya berdasarkan dua ide (kita dalam
keadaan ragu). Untuk itu diperlukan ide ketiga. Proses membandingkan dua ide dengan
melibatkan ide ketiga untuk menghubungkan dua ide itulah yang disebut penalaran. Dengan
kata lain, penalaran adalah penyimpulan tak langsung atau penyimpulan dengan
menggunakan perantara (mediate inference).
Berdasarkan prinsip identitas kita dapat menyimpulkan bahwa
Jika ide 1 = ide 3, dan
ide 2 = ide 3, maka
ide 2 = ide 1.
Berdasarkan prinsip kontradiksi kita dapat menyimpulkan bahwa
Jika ide 1 ide 3, dan
71

ide 2 = ide 3, maka


ide 1 ide 2.
Kedua prinsip dan turunannya yang menjadi dasar-dasar dari penalaran.

5.3 Dua Jenis Penalaran


Ada dua jenis penaralan, yaitu deduksi atau penalaran deduktif dan induksi atau penalaran
induktif. Kedua jenis penalaran ini diperlukan dalam proses pencapaian kebenaran.
Pemanfaatan keduanya telah menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi manusia dan
membawa peradaban manusia menjadi semaju yang kita saksikan saat ini.
Deduksi adalah proses penalaran yang dengannya kita membuat suatu kesimpulan
dari suatu hukum, dalil, atau prinsip yang umum kepada suatu keadaan yang khusus yang
tercakup dalam hukum, dalil, atau prinsip yang umum itu. Umpamanya, kita meragukan
apakah putri malu mempunyai indera atau tidak. Tetapi ilmu pengetahuan sudah menetapkan
dalil bahwa hakikat suatu tanaman adalah tidak berindera. Maka kita dapat melakukan
inferensi berikut.
Semua tanaman tak berindera.
Puteri malu adalah tanaman.
Jadi: Puteri malu tak berindera.
Kita juga dapat mulai dengan proposisi hipotetis, misalnya:
Penjahat itu sehat atau gila.
Ia sehat.
Jadi: Ia tidak gila.
Penyimpulan melalui deduksi disebut juga silogisme.
Induksi adalah proses penalaran yang dengannya kita menyimpulkan hukum, dalil,
atau prinsip umum dari kasus-kasus khusus (individual).
Contoh:
Air, di mana pun, di muka bumi atau di laut, pada tingkat permukaan laut
akan membeku pada nol derajat Celcius.
Tetapi air di mana pun adalah air belaka.
Jadi: Semua air pada tingkat permukaan laut membeku pada nol derajat Celcius.
5.4 Kesalahan Penyimpulan
Manusia tidak jarang memperoleh pengetahuan yang tidak benar karena adanya
kesalahan dalam proses penyimpulan. Kesalahan penyimpulan digolongkan atas dua, yakni
kesalahan material dan kesalahan formal. Kesalahan material adalah kesalahan putusan yang
72

digunakan sebagai pertimbangan yang seharusnya memberikan fakta atau kebenaran. Mari
kita lihat contoh berikut. Berdasarkan pengamatan orang melihat setiap hari matahari tampak
bergerak dari timur ke barat, dulu orang menyimpulkan bahwa matahari mengelilingi bumi.
Lalu kesimpulan ini digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta. Oleh karena
putusan (kesimpulan) yang digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta salah, maka
penjelasan tentang alam semesta pun salah.
Kesalahan formal ialah kesalahan yang berasal dari urutan penyimpulan yang tidak
konsisten. Sebagai contoh, untuk menjelaskan perilaku korupsi digunakan penalaran berikut
ini yang merupakan penalaran sirkular.
Tanya: Mengapa petugas hukum dapat disogok?
Jawab: Karena gaji mereka kecil.
Tanya: Mengapa gaji petugas hukum kecil?
Jawab: Karena ekonomi tidak tumbuh secara baik.
Tanya: Mengapa ekonomi tidak tumbuh secara baik?
Jawab: Karena hukum tidak berjalan dengan baik.
Tanya: Mengapa hukum tidak berjalan dengan baik?
Jawab: Karena petugas hukum dapat disogok.
Kesalahan penalaran ini muncul dalam beragam bentuk. Bentuk-bentuk kesalahan
penyimpulan dan penalaran akan dibahas di pasal 8.

5.5 Argumentasi
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ungkapan verbal dari penalaran atau
penyimpulan tak langsung adalah argumentasi. Di dalam argumentasi terkandung term yang
merupakan ungkapan verbal dari ide dan proposisi yang merupakan ungkapan verbal dari
putusan.
Proposisi yang dijadikan dasar dari kesimpulan disebut premis atau anteseden. Subjek
(S) dan Predikat (P) dari kesimpulan masing-masing disebut ekstrem minor dan ekstrem
mayor yang cakupannya lebih luas dari subjek. Ungkapan dari ide ketiga yang
menghubungkan ide pertama dan ide kedua yang diperbandingkan dalam argumentasi disebut
term tengah (middle term, disingkat M). Premis yang mengandung term mayor disebut
premis mayor. Premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Ketentuan ini
baku, terlepas dari posisi premis-premis itu dalam argumentasi. Perhatikan contoh berikut.
(1) Premis mayor: Semua hewan (M) adalah mahluk (P).
Premis Minor: Semua belut (S) adalah hewan (M).
Ergo
: Semua belut (S) adalah mahluk (P).
(2) Premis Minor: Semua besi (S) adalah logam (M).
73

Premis Mayor: Semua logam (M) adalah unorganik (P).


Ergo
: Semua besi (S) adalah unorganik (P).
Term tengah (M) harus muncul di premis mayor maupun premis minor sebagai
perbandingan, tetapi tidak boleh muncul dalam kesimpulan.
Ada dua macam argumentasi yang umum digunakan dalam logika, yaitu silogisme
kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah argumentasi yang menggunakan
proposisi kategoris yang oleh Aristoteles disebut analitika. Silogisme hipotetis adalah
argumentasi yang menggunakan proposisi hipotetis (silogisme hipotetis) yang oleh
Aristoteles disebut dialektika.

6. Argumen Deduktif
6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi)
Deduksi adalah bentuk argumen yang kesimpulannya niscaya mengikuti premispremisnya. Lazimnya deduksi juga dipahami sebagai pembuatan pernyataan khusus
berdasarkan pernyataan-pernyataan yang lebih umum. Pernyataan khusus itu disebut
kesimpulan dan pernyataan-pernyataan yang lebih umum disebut premis. Dalam deduksi
kesimpulan diturunkan dari premis-premisnya. Menerima premis tetapi menolak kesimpulan
adalah tidak konsisten.
Penalaran deduktif adalah proses perolehan kesimpulan yang terjamin validitasnya
jika bukti yang tersedia benar dan penalaran yang digunakan untuk menghasilkan kesimpulan
tepat. Kesimpulan juga harus didasari hanya oleh bukti yang sudah ada sebelumnya.
Kesimpulan tidak boleh mengandung informasi baru tentang materi.

6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif


Penalaran deduktifyang sering digunakan untuk menulis esai argumentatif
diawali dengan generalisasi yang dianggap benar (self-evident) yang menghasilkan premispremis, lalu dari situ diturunkan kesimpulan yang koheren dengan premis-premisnya. Premis
dan kesimpulan harus berkesesuaian dan tertata dalam bentuk argumentasi tertentu. Bentuk
deduksi yang paling umum digunakan adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor,
premis minor, kesimpulan. Bentuk argumentasi ikut menentukan sahih (valid) atau tidaknya
penalaran deduktif. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, dalam penalaraan deduktif
kesimpulan bersifat lebih khusus daripada premis-premisnya. Penalaran deduktif bertujuan

74

untuk menentukan putusan yang sahih tentang hal khusus tertentu berdasarkan pemahaman
tentang hal-hal yang lebih umum.

6.3 Silogisme
Silogisme berasal dari kata Yunani syllogismos yang berarti kesimpulan. Silogisme
adalah jenis argumen logis yang kesimpulannya diturunkan dari dua proposisi umum
(premis) yang berbentuk prosisi kategoris.
Dilihat dari bentuknya, penilaian terhadap silogisme adalah sahih (valid) atau tidak
sahih (invalid). Silogisme sahih jika kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-premisnya
dengan bentuk-bentuk yang tepat. Sedangkan penilaian benar (true) diberikan jika silogisme
valid dan klaimnya akurat (informasinya sesuai dengan fakta). Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Premis Mayor : Semua politikus adalah laki-laki.
Premis Minor : Sri adalah politikus.
Kesimpulan : Maka, Sri adalah laki-laki.
Sahih atau tidak sahihkah silogisme ini? Jawabnya sahih. Jika kita tahu bahwa Sri adalah
perempuan maka silogisme itu tidak benar karena pernyataan tidak sesuai dengan kenyataan.
(2) Premis Mayor: Semua ayah adalah laki-laki.
Premis Minor: Dino adalah laki-laki.
Kesimpulan : Maka, Dino adalah ayah.
Silogisme ini tidak sahih karena term tengahnya yaitu term yang muncul di kedua premis,
dalam hal ini laki-laki merujuk kepada semua anggota dari kelompok laki-laki, bukan hanya
kepada ayah atau Dino.
(3) Premis Mayor: Tidak ada seorang pun yang ditolak menjadi mahasiswa
karena ketidakmampuan fisik.
Premis Minor: Tunarungu adalah ketidakmampuan fisik.
Kesimpulan : Maka, tunarungu akan ditolak menjadi mahasiswa karena
ketidakmampuan fisik.
Silogisme ini juga tidak sahih karena salah satu premisnya negatif sehingga hanya dapat
memiliki kesimpulan negatif.
(4) Premis Mayor : Mahasiswa yang tidak belajar bisa jadi akan lulus ujian.
Premis Minor : Dono adalah mahasiswa yang belajar.
Kesimpulan : Maka, Dono bisa jadi akan lulus ujian.
Silogisme ini sahih karena memenuhi hukum-hukum silogisme.
75

6.3.1 Silogisme Kategoris


Bentuk dasar silogisme kategoris ialah: Jika A adalah bagian dari C maka B adalah bagian
dari C (Adan B adalah anggota dari C). Silogisme kategoris ini mengikuti hukum Semua
atau Tidak Sama Sekali (All or None atau Dictum de Omni et Nullo); artinya, berlaku untuk
seluruh anggota kelas, atau tidak sama sekali. Tidak dikenal ada sebagian dan tidak ada
sebagian. Sebagai contoh, kalau kelas ikan memiliki insang, maka tidak mungkin ada
anggotanya yang tak berinsang; dan kalau kelas merpati adalah burung, maka tak mungkin
ada merpati yang bukan burung.
Dengan mengikuti hukum Semua atau Tidak Sama Sekali itu dapat dibuat silogisme
seperti berikut:
(1)

Semua makhluk hidup (M) bernafas (P).


Semua burung (S) adalah makhluk hidup (M).
Jadi: Semua burung (S) bernafas (P).

yang dirumuskan menjadi


Semua M adalah P.
Semua S adalah P.
Jadi: Semua S adalah P.
atau silogisme berikut:
(2)

Tiada hewan (M) berkaki tiga (P).


Semua beruang (S) adalah hewan (M).
Jadi: Tiada beruang (S) berkaki tiga (P).

yang dirumuskan menjadi


Tiada M yang P.
Semua S adalah M.
Jadi: Tiada S yang P.
6.3.2 Delapan Hukum Silogisme
Silogisme tunduk kepada delapan hukum yang masing-masing diterapkan berikut ini.
(Keterangan: P = Predikat/mayor; S = Subjek/minor; M = Term tengah (Middle term); u =
Universal; p = partikular; + = afirmatif; dan = negatif.)
Hukum 1: Silogisme hanya mengandung tiga term.
Semua tanaman (M1) adalah hidup (P).
76

Semua batu (S) adalah mineral (M2).


Jadi: Semua batu (S) adalah/tidak (?) hidup (P).
Buku (P) mempunyai halaman (M).
Rumah (S) mempunyai halaman (M).
Jadi: Rumah (S) adalah buku (P).
Halaman di sini bermakna ganda (equivocal), silogisme di atas mempunyai empat term.

Hukum 2: Term mayor atau term minor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan
jika dalam premis hanya bersifat pertikular.
uM + pP
uS uM
uS uP

Semua manusia adalah hewan.


Tak ada binatang yang manusia.
Tak ada binatang yang hewan.

Yang salah adalah P (disebut illicit mayor).


uM uP
uM + pS
uS uP

Tiada burung yang menyusui.


Semua burung adalah hewan berkaki dua.
Tiada hewan berkaki dua yang menyusui.

Yang salah adalah S (disebut illicit minor).

Hukum 3: Term tengah tidak boleh muncul dalam kesimpulan.


M
M
M

+ P
+ S
+ S/P

Aristoteles adalah filsuf.


Aristoteles adalah misikin.
Aristoteles adalah filsuf yang miskin.

M dalam silogisme itu tidak lagi berfungsi sebagai pembanding, melainkan menjadi salah
satu bagian dari kesimpulan.

Dengan demikian, kesimpulan yang terjadi bukanlah

merupakan putusan baru.

Hukum 4: Term tengah harus digunakan sebagai proposisi universal dalam premispremis, setidak-tidaknya satu kali.
uP
uS
uS

+ pM Semua orang mati.


+ pM Semua artis mati.
+ pP Semua artis adalah orang.

Silogisme ini seakan-akan benar, oleh karena kebetulan posisi term-term itu adalah
sebagai berikut:
77

M (mati) mempunyai ekstensi yang paling benar.


P (orang) mempunyai ekstensi yang lebih kecil dan termasuk dalam M.
S (artis) mempunyai ekstensi yang paling kecil dan termasuk dalam P.
Tetapi perhatikanlah silogisme berikut:
uP
uS
uS

+ pM Semua orang mati.


+ pM Semua kucing mati.
+ pP Semua kucing adalah orang.

Dalam silogisme ini, kesalahannya sangat nyata karena walaupun P (orang) dan S
(kucing) sama-sama termasuk dalam ekstensi dari M (mati), tetapi P dan S tidak saling
meliputi (berdiri sendiri-sendiri). Pelanggaran hukum 4, seperti yang terdapat dalam kedua
silogisme di atas, disebut Undistributed Middle

Hukum 5: Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan juga afirmatif.


M + P Semua mamalia menyusui.
S + M Beberapa kuda adalah mamalia.
S P Beberapa kuda tidak menyusui.
Hukum 6: Tidak boleh kedua premis negatif, setidaknya salah satu harus afirmatif.
M P Tiada binatang yang batu.
S M Tiada intan yang binatang.
S P Tiada intan yang batu.
Hukum 7: Kalau salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Kalau salah satu
premis partikular, kesimpulan harus partikular.
Fase I.
P
S
S

+
+

M Tiada perokok yang bebas nikotin.


M Balita bebas nikotin.
P
Balita adalah perokok.

Fase II.
M + P Semua manusia adalah mahluk rasional.
pS + M Sebagian hewan adalah manusia.
uS + P Semua hewan adalah mahluk rasional.
M P Tiada karbon yang putih.
pS + M Sebagian zat padat adalah karbon.
uS P Tiada zat padat yang putih.

78

Hukum 8: Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya salah satu harus universal.
pM + pP Beberapa orang adalah tukang becak.
pS + pM Beberapa bule adalah orang.
pS + pP Beberapa bule adalah tukang becak.
Silogisme itu dapat benar walaupun kedengarannya agak janggal (mungkin saja ada orang
bule yang bekerja sebagai tukang becak). Tetapi kalau kata-kata tukang becak diganti dengan
berkulit hitam, maka kesalahan karena pelanggaran hukum ke-8 ini akan sangat nyata.
pM + pP Beberapa pakar agama adalah orang Indonesia.
pS uM Beberapa penduduk Depok bukan pakar agama.
pS uP Beberapa penduduk Depok bukan orang Indonesia.
6.3.3 Silogisme Hipotetis
Dalam logika, silogisme hipotetis memiliki dua penggunaan. Dalam logika proposisional,
silogisme mengungkapkan aturan-aturan penyimpulan, sedangkan dalam sejarah logika ia
berperan sebagai teori konsekuensi.
Silogisme hipotetis berbeda dengan silogisme kategoris dan tunduk kepada aturan
tersendiri. Dalam silogisme hipotetis, premis pertama (premis mayor) menampilkan kondisi
yang tak tentu (jika P, maka Q) atau masalah (atau P atau Q; P dan Q tidak dapat
benar dua-duanya). Premis pertama itu harus diselesaikan secara memadai oleh premis
kedua (premis minor) sehingga kesimpulan yang sahih dapat dihasilkan. Penyelesaian
masalah selalu dalam bentuk afirmasi atau negasi.
Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa premis mayor silogisme hipotetis
adalah proposisi hipotetis sedangkan premis minor dan kesimpulannya adalah proposisi
kategoris. Dalam silogisme hipotetis, tidak term mayor, term minor atau term tengah. Premis
mayor terdiri atas anteseden dan konsekuen. Sebagai contoh, dalam pernyataan Jika hari
hujan, maka tanah basah, hari hujan adalah anteseden dan tanah basah adalah konsekuen.

6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih


Ada tiga bentuk dasar dari silogisme hipotetis, yaitu modus ponens yang mengafirmasi
anteseden, modus tollens yang menolak konsekuen, dan silogisme hipotetis dengan rantai
kondisional. Berikut ini ketiga bentuk dasar silogisme hipotetis.
1) Mengafirmasi anteseden (modus ponens)
PQ
P
79

Q
Contoh:
Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan.
Psikologi menggunakan metode.
2) Menolak konsekuensi (modus tollens)
PQ
-Q
-P

Contoh:
Jika astrologi adalah ilmu pengetahuan maka astrologi menggunakan metode.
Astrologi tidak menggunakan metode.
Astrologi bukan ilmu pengetahuan.
3) Silogisme Hipotetis (Rantai Kondisional)
PQ
QR
PR
Contoh:
Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode.
Jika psikologi menggunakan metode maka psikologi sistematis.
Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi sistematis.
Selain ketiga bentuk itu, ada bentuk-bentuk lain yang lebih kompleks. Berikut ini
adalah tiga di antaranya.
1) Silogisme Disjungtif
PVQ
- P
Q
Contoh:
Psikologi adalah ilmu ramal atau psikologi bersifat ilmiah.
Psikologi bukan ilmu ramal.
Psikologi bersifat ilmiah.
2) Dilema Konstruktif
(P Q) & (R S)
80

PVR
QVS
Contoh:
(Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebabakibat.) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas
adalah objek kajian psikologi.)
Psikologi adalah ilmu pengetahuan atau manusia dikaji oleh psikologi
Psikologi didasari prinsip sebab-akibat atau kehendak bebas adalah kajian psikologi

3) Dilema Destruktif
(P Q) & (R S)
~ Q V ~R
~PV~R
Contoh:
(Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebabakibat) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas
adalah objek kajian psikologi).
Psikologi tidak didasari prinsip sebab-akibat atau manusia tidak dikaji oleh
psikologi.
Psikologi bukan ilmu pengetahuan atau kehendak bebas bukan objek psikologi.

7. Argumen Induktif3
7.1. Definisi Induksi
Istilah argumen induktif atau induksi biasanya mencakup proses-proses inferensial dalam
mendukung atau memperluas keyakinan kita pada kondisi yang mengandung risiko atau
ketidakpastian. Argumen induktif dapat dipahami sebagai hipotesis yang mengandung risiko
dan ketidakpastian.
Ketidakpastian dalam argumen induktif muncul dalam dua area yang berhubungan,
yaitu dalam premis-premis argumen dan dalam asumsi-asumsi inferensial argumen. Mari kita
ambil sebuah contoh kasus: Jono mati tertembak. Argumen berikut ini merupakan argumen
deduktif yang sahih yang dapat diberikan untuk mendukung pernyataan bahwa Andi
membunuh Jono.
3

Pasal tentang induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook
(New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A. Wirawan.

81

Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.


Siapa pun yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol
pasti membunuh Jono.
Andi membunuh Joon.
Jika kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, maka kita juga harus
menerima bahwa kesimpulannya benar. Informasi dalam premis-premis itu secara logis tidak
mencakup pernyataan apa pun yang merupakan kontradiksi dari kesimpulan. Para ahli logika
menggambarkan hal ini sebagai berikut: isi informasi dari premis-premis mencakup isi
informasi dari kesimpulan. Tidak ada informasi dalam kesimpulan di luar apa yang sudah ada
dalam premis-premisnya.
Seandainya orang yang mengajukan argumen itu merasa tidak pasti akan kebenaran
premis pertama, yaitu dia tidak merasa benar-benar pasti bahwa Andi yang lari dari kamar itu
(mungkin saksi matanya tidak sepenuhnya dapat dipercaya), maka dia hanya dapat
mengeluarkan argumen induktif (Garis dua berarti jadi, ada kemungkinan bahwa.)
Kemungkinan besar, Andilah yang lari dari kamar Jono
dengan membawa pistol.
Siapa pun yang lari dari kamar Jono pasti membunuh Jono.
Andi membunuh Jono.
Jelas bahwa kalaupun kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, kita tidak
harus menerima bahwa kesimpulannya benar. Bisa saja orang yang mengajukan argumen ini
punya alasan-alasan yang tidak dapat dibantah mengenai kebenaran premis kedua, namun
argumen ini tetap tidak dapat menjamin bahwa Andilah yang membunuh Jono. Kesimpulan
bahwa Andi membunuh Jono telah melebihi apa yang dapat dideduksi dari premis-premisnya.
Kemungkinan lain, asumsi inferensialnyalah yang tidak pasti benar sehingga orang
yang mengajukan argumen terpaksa membuat argumen induktif. Misalnya, dia melihat
sendiri Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Hanya itu bukti yang dimilikinya.
Berdasarkan bukti itu, dia menyimpulkan bahwa Andi membunuh Jono. Ini berarti dia
mengambil kesimpulan terlalu cepat karena dia tidak merasa pasti akan kebenaran asumsi
inferensialnya, padahal asumsi ini dibutuhkan untuk dapat menarik kesimpulan dari bukti
yang ada. Argumennya menjadi seperti ini:
Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.
Kemungkinan, orang yang lari dari kamar Jono dengan membawa
pistol telah membunuh Jono.
Andi telah membunuh Jono.
82

Premis-premis dalam argumen ini juga tidak menjamin kebenaran kesimpulannya. Karena
orang yang mengajukan argumen masih merasa tidak pasti akan kebenaran asumsi yang
menjembatani bukti (pada premis pertama) dengan kesimpulan, maka dia hanya menyatakan
bahwa asumsi itu mungkin terjadi. Sama seperti contoh argumen induktif yang pertama,
dalam argumen ini pun informasi pada kesimpulan melampaui apa yang dapat dideduksi dari
premis-premisnya.
Dalam semua argumen induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah yang
mencerminkan ketidakpastian karena informasi ada yang kurang lengkap. Pada contoh yang
pertama, argumen tidak memiliki bukti yang kuat untuk menjamin kebenaran kesimpulannya.
Pada contoh yang kedua, argumen tidak memiliki jembatan inferensial yang kuat untuk
mendeduksi kesimpulan dari bukti yang ada.
Jadi, karakteristik semua argumen induktif adalah bahwa dalam kondisi
ketidakpastian atau kurangnya informasi, kita langsung mengambil kesimpulan dengan risiko
bahwa kita mengambil kesimpulan yang salah. Penalaran induktif yang baik berusaha
meminimalkan risiko sehingga kita lebih sering mengambil kesimpulan yang benar daripada
yang salah, dan berusaha memperhitungkan risiko itu dengan akurat. Panduan umum untuk
melakukan penalaran induktif yang baik adalah yang berikut. 1) Usahakanlah mengumpulkan
semua informasi yang tersedia yang berhubungan dengan topik argumen sebelum mengambil
kesimpulan mengenai topik itu. Kita menginginkan kesimpulan yang kecil kemungkinannya
menjadi batal jika ada informasi baru. 2) Cobalah mengeliminasi kesimpulan lain yang juga
konsisten dengan bukti yang ada sebelum meyakini kesimpulan pilihan kita. 3) Jangan
membuat kesimpulan jika kita menilai bahwa premis-premis yang kita miliki terlalu lemah.
Karena argumen induktif mempunyai karakteristik ketidakpastian, kesimpulan dari
suatu argumen induktif sering disebut hipotesis. Suatu hipotesis adalah suatu proposisi yang
diterima secara tentatif untuk menjelaskan fakta-fakta atau bukti-bukti tertentu. Kesimpulan
dari suatu argumen induktif sering kali merupakan pernyataan yang dapat menjelaskan
mengapa informasi dalam premis-premisnya benar. Misalnya, hipotesis bahwa Andi
membunuh Jono dapat menjelaskan mengapa Andi lari dari kamar Jono dengan membawa
pistol.
Sejalan dengan itu, strategi untuk membangun dan mengevaluasi argumen induktif
adalah menentukan apakah kesimpulan yang diambil dari premis-premis yang ada merupakan
penjelasan terbaik mengapa premis-premis bukti benar. Para ahli logika menggambarkan hal
ini sebagai berikut: argumen induktif yang baik sebagai kesimpulan yang merupakan
83

penjelasan terbaik dari bukti. Sayang sekali, tidak ada metode yang sederhana untuk
mengevaluasi argumen induktif jika dibandingkan dengan pengukuran validitas argumen
deduktif. Terlebih lagi, ada banyak kesulitan filosofis di sekitar konsep dukungan induktif,
dan apakah induksi dapat dijadikan alat untuk mendapatkan pengetahuan.
Walaupun ada masalah-masalah teoretis, para ahli logika sering kali setuju mana yang
termasuk dalam penalaran induktif yang baik. Kita dapat membedakan kapan bukti-bukti
yang ada sudah cukup untuk mengambil kesimpulan dan kapan tidak, jika kita mempunyai
akal sehat dan pengalaman, dan berefleksi dengan teliti.
7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)
Induksi enumeratif, atau generalisasi induktif, adalah proses yang menggunakan premispremis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil kesimpulan umum
mengenai kelompok asal sampel itu. Induksi jenis argumen ini merupakan argumen induktif
yang paling terkenal. Begitu terkenalnya jenis argumen ini sampai-sampai beberapa penulis
mendefinisikan argumen induktif sebagai argumen yang bergerak dari premis-premis
partikular ke kesimpulan umum. Namun, sebenarnya bentuk ini hanyalah salah satu bentuk
saja dari argumen induktif.
Perhatikanlah contoh-contoh argumen berikut ini dan polanya:
(1) Kami mengobservasi 27.830 ekor angsa di Inggris dan menemukan bahwa setiap angsa
tersebut berwarna putih. Kami menyimpulkan dari bukti ini bahwa semua angsa putih.
Pola Argumen 1:
X1 mempunyai karakteristik P.
X2 mempunyai karakteristik P.
X3 mempunyai karakteristik P.
:
Xn mempunyai karakteristik P.

Dasar bukti atau


tabel konfirmasi
(n=27.830)

Semua X mempunyai karakteristik P.


(2) Saya pergi ke New York untuk pertama kalinya minggu lalu. Orang pertama yang saya
tanyai tentang jalan ke Carnegie Hall bersikap sangat kasar dan menyuruh saya mundur.
Saya bertanya kepada orang kedua, dan dia juga kasar dan menyumpahi saya supaya
pergi. Saya bertanya kepada tujuh orang lagi, dan setiap orang mengusir saya tanpa
menolong saya. Akhirnya, orang kesepuluh yang saya tanya memberi tahu saya jalan ke
Carnegie Hall. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa hampir semua orang New York
bersikap kasar kepada pendatang yang menanyakan jalan.
84

Pola Argumen 2:
X1 mempunyai karakteristik R.
X2 mempunyai karakteristik R.
X3 mempunyai karakteristik R.
:
X10 tidak mempunyai karakteristik R.

Tabel konfirmasi

Kebanyakan X mempunyai karakteristik R.


(3) Dari 200.000 cip (chip) yang dibuat dengan proses baru kami bulan lalu, diambil secara
acak (random) 1.000 buah untuk diuji. Hanya 50 buah dari sampel itu yang cacat, yang
berarti 95% buah sampel lainnya sempurna. Kita menyimpulkan bahwa proses
pembuatan cip yang baru ini menghasilkan sekitar 95% cip yang sempurna, dan hanya
5% yang cacat.
Pola Argumen 3:
X1 mempunyai karakteristik G.
X2 mempunyai karakteristik G.
X3 mempunyai karakteristik G.
:
X950 mempunyai karakteristik G.
Tabel konfirmasi
X951 tidak mempunyai karakteristik G.
X952 tidak mempunyai karakteristik G.
X953 tidak mempunyai karakterisitk G.
:
X1000 tidak mempunyai karakteristik G.
Sekitar 95% X mempunyai karakteristik G.
Dalam

masing-masing argumen itu, premis-premisnya merupakan contoh dari

individu-individu

yang

mempunyai

karakteristik

tertentu.

Kesimpulannya

menggeneralisasikan bahwa individu dari kelompok itu mempunyai karakteristik itu sampai
dengan batas tertentu. Pada contoh (1), batasnya adalah 100%, dan kesimpulannya
merupakan generalisasi universal, yaitu semua individu mempunyai karakteristik tersebut.
Pada dua contoh lainnya, korelasinya tidak mencapai 100%. Kesimpulannya berupa
generalisasi statistikal yang memperkirakan persentase individu yang mempunyai
karakteristik tersebut. Perkiraan ini masih belum jelas pada contoh (2), tetapi jauh lebih jelas
pada contoh (3).

85

Secara umum induksi enumeratif dapat dianggap sebagai argumen dari sampel.
Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar,
yang kebanyakan anggotanya belum diobservasi. Berdasarkan karakteristik yang diobservasi
pada sampel, kesimpulan dibuat mengenai populasi secara keseluruhan.
Dalam pola-pola argumen yang digambarkan di atas, pernyataan-pernyataan yang
menggambarkan hasil observasi individual didaftarkan. Ini disebut tabel konfirmasi. Secara
lebih umum, karena premis-premis ini mengandung data yang digunakan sebagai bukti dalam
membuat kesimpulan, maka premis-premis ini disebut dasar induksi atau dasar bukti atau,
lebih sederhana lagi, data atau bukti.
Tabel konfirmasi tidak selalu dibuat. Kalaupun dibuat, hal itu dilakukan pada proses
pengumpulan bukti dan jarang sekali dicantumkan pada pernyataan argumen. Namun, bukti
lebih sering diringkas dalam bentuk statistik mengenai sampel yang diobservasi. Agar dapat
diterima, argumen yang berdasarkan sampel harus mempunyai asumsi bahwa sampel itu
representatif terhadap populasi dan cukup besar sehingga dapat menyediakan perkiraan yang
terandalkan (reliable). Kalaupun tidak disebutkan, asumsi ini selalu merupakan premis atau
asumsi inferensial yang implisit dalam argumen induktif yang baik. Oleh sebab itu, pola
generalisasi induktif yang baik adalah sebagai berikut:
N persen dari sampel S yang diambil dari F yang diobservasi
mempunyai karakteristik G.
Sampel S cukup besar dan representatif terhadap F.
Kira-kira N persen dari F mempunyai karakteristik G.
Induksi enumeratif sangat bervariasi dalam hal kualitas pengumpulan dan presentasi
datanya, dan dalam kekuatan kesimpulannya. Karena itu, kita dapat menggunakan pola
argumen ini sebagai perkiraan kasar untuk mengevaluasi argumen jenis ini secara cepat. Kita
dapat menggunakan model ini untuk melakukan rekonstruksi kekuatan suatu induksi
enumeratif. Dari sini terlihat bagaimana suatu argumen dapat ditingkatkan kekuatannya.
Dalam argumen (1) di atas, N=100% sehingga kesimpulannya merupakan generalisasi
universal untuk semua angsa. Rekonstruksi kekuatan argumen (1) adalah sebagai berikut:
100% dari sampel yang diobservasi sejumlah 27.830 angsa
di Inggris berwarna putih.
Sampel sebesar 27.830 cukup besar dan representatif terhadap
semua angsa.
Semua angsa berwarna putih.
86

Kebenaran premis pertama dari argumen ini dapat dipertanyakan, misalnya seseorang dapat
meragukan apakah semua unggas yang diobservasi memang benar-benar angsa. Namun jika
bukti dikumpulkan dengan hati-hati, fokus kritik terhadap argumen ini terletak pada premis
kedua.
Dalam semua argumen yang didasarkan pada suatu sampel, selalu harus
dipertanyakan apakah sampelnya cukup besar dan representatif terhadap populasi sehingga
kesimpulannya dapat dipercaya. Mengambil kesimpulan yang terlalu kuat berdasarkan
sampel yang terlalu kecil berarti melakukan percontoh salah (error sampel) yang tidak cukup.
Membuat kesimpulan berdasarkan sampel yang tidak representatif berarti melakukan
percontoh salah yang bias.
Dalam kasus ini, percontoh atau sampelnya nampaknya cukup besar untuk menjamin
kesimpulan mengenai semua angsa. Namun kita dapat melihat bahwa observasi hanya
dilakukan pada angsa di Inggris sementara kesimpulannya mengenai semua angsa. Jadi, jika
kita menduga bahwa angsa di Inggris berbeda dari angsa pada umumnya, dapat
dipertanyakan apakah sampelnya representatif. Argumen ini akan lebih kuat jika lebih
dimiripkan dengan pola di atas, yaitu dengan melemahkan kesimpulannya sampai dengan
batas semua angsa di Inggris saja. Dengan demikian, argumen (2) dapat direkonstruksi
kekuatannya menjadi:
Sebanyak 9 dari 10 orang New York sampel yang diobservasi (90%)
bersikap kasar pada pendatang yang menanyakan jalan.
10 orang itu merupakan sampel yang cukup besar dan representatif
dari orang New York.
Kira-kira 9 dari 10 (90%) orang New York bersikap kasar pada
pendatang yang menanyakan jalan.
Jelas bahwa kesimpulan ini bukanlah hasil dari penyelidikan yang sistematis. Kemungkinan
besar, seperti yang terjadi pada banyak argumen sehari-hari, tidak diduga atau diharapkan
bahwa argumennya akan dianalisis dan dievaluasi secara detil.
Kelemahan argumen kedua tampak jelas setelah direkonstruksi. Percontoh sejumlah
10 orang terlalu kecil untuk membuat kesimpulan secara meyakinkan mengenai orang New
York pada umumnya. Di samping itu, juga tidak disebutkan bagaimana percontohnya dipilih
sehingga kita tidak tahu apakah percontoh itu representatif. Lagi pula, premis yang satunya
lagi, yakni bahwa 9 dari 10 orang sampel yang diobservasi dan bersikap kasar kepadanya
ketika dia menanyakan jalan baru diduga saja sebagai orang New York. Kita membutuhkan
87

bukti tambahan apakah orang-orang itu memang orang New York dan apakah mereka
menganggapnya pendatang. Singkatnya, argumen kedua itu belum memenuhi pola argumen,
dan premis-premisnya tidak sepenuhnya relevan dengan kesimpulannya.
Jadi, dengan memeriksa argumen berdasarkan pola induksi enumeratif, kita
mengungkapkan kemungkinan bahwa suatu argumen ternyata tidak kuat. Dengan demikian,
argumen (3) dapat direkonstruksi menjadi:

95% dari 1000 cip yang dipilih secara acak dari semua cip yang dibuat
bulan lalu dengan proses baru merupakan cip yang baik.
1000 cip itu merupakan percontoh yang cukup besar dan representatif
dari semua cip yang dibuat dengan proses baru.
Kira-kira 95% dari cip yang dibuat dengan proses baru merupakan
cip yang baik.
Argumen (3) cukup mendekati pola induksi enumeratif. Dengan asumsi bahwa premis
pertama benar, argumen ini boleh dikatakan kuat. Memilih cip secara acak berarti
kemungkinannya sangat besar bahwa percontoh itu representatif terhadap populasi.
Berdasarkan teori statistik, sampel sebesar itu cukup besar untuk mendukung kesimpulan
dengan probabilitas 99%, dan kira-kira 95% dianggap sebagai interval di sekitar 95%, plus
atau minus 3% (jadi, dari 92% sampai 98%).
Satu masalah dalam argumen (3) adalah bahwa sampel dipilih dari cip yang dibuat
bulan lalu, dan kesimpulannya mengenai cip yang dibuat dengan proses baru. Pola di atas
menuntut bahwa populasi yang disebutkan di kesimpulan sama dengan populasi asal sampel.
Ini berarti cip yang dibuat dengan proses baru harus merupakan cip yang dibuat dengan cara
yang sama dengan cip yang dibuat bulan lalu.
7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal
Silogisme statistikal merupakan argumen yang menggunakan generalisasi statistik tentang
suatu kelompok untuk mengambil kesimpulan mengenai suatu sub-kelompok atau anggota
individual dari kelompok itu. Silogisme statistikaljenis spesifikasi induktif yang paling
umum digunakan sehari-harimerupakan kebalikan dari proses generalisasi induktif. Dalam
konteks profesional atau ilmiah yang menggunakan teori-teori matematika untuk menarik
kesimpulan mengenai sampel dari informasi mengenai populasi yang lebih besarspesifikasi
statistik jauh lebih kompleks..

88

Penyimpulan dalam silogisme statistikal bergerak dari generalisasi mengenai suatu


kelompok ke kesimpulan yang lebih spesifik mengenai satu anggota kelompok itu atau lebih.
Bentuk standar silogisme statistikal ialah yang berikut:
N persen dari M adalah P.
Semua S adalah M.
(Kira-kira) N persen dari S adalah P.
Argumen jenis ini dapat atau tidak dapat diterima, tergantung pada seberapa tepat
generalisasi statistikalnya dinyatakan. Mari kita perhatikan contoh Hampir semua M adalah
P atau Kebanyakan M adalah P. Jelas bahwa silogisme statistikal yang menggunakan
generalisasi yang samar-samar seperti ini tidak layak diyakini sepenuhnya.
Apakah suatu argumen dapat diterima atau tidak juga tergantung pada apa yang kita
ketahui mengenai anggota S dan sejauh mana anggota S itu representatif terhadap M. Jika
situasi anggota S itu tidak sama, maka penerapan generalisasi itu pada percontoh S patut
dipertanyakan. Bila S sangat kecil jika dibandingkan dengan M, atau S adalah individu
tunggal, maka dapat atau tidak dapat diterimanya argumen tergantung pada ukuran N selain
pada ketepatan premis statistiknya. Misalnya, jika hanya 55% siswa di suatu kelas adalah
murid baru, maka kesimpulan kita bahwa seorang siswa tertentu di kelas itu adalah murid
baru dapat dikatakan lemah. Jika N sama dengan 100%, argumen jenis ini menjadi silogisme
kategorial, dan kesimpulannya menjadi deduktif.
Contoh-contoh berikut akan memperjelas uraian di atas:
Sembilan dari 10 orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi. Jadi,
kemungkinannya sangat besar bahwa sekitar 90% suku Sioux tinggal di daerah
reservasi.
90% dari orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi.
Suku Sioux adalah orang Indian. (implisit)
Kira-kira 90% suku Sioux tinggal di daerah reservasi.
Karena hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang dan karena
Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington, maka kemungkinannya
sangat besar bahwa dia dapat mengeja kata itu.
Hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang.
Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington.
Wakil Presiden dapat mengeja kata kentang.

89

Pada pandangan pertama, kedua argumen itu tampak cukup kuat. Dalam argumen (1),
generalisasi bahwa 90% orang Indian tinggal di daerah reservasi dihubungkan dengan suku
Sioux, suatu sub-kelompok dari kelompok orang Indian. Namun, kesimpulan ini masih goyah
sebelum kita yakin bahwa tidak ada perbedaan yang relevan antara suku Sioux dengan
populasi orang Indian secara keseluruhan. Walaupun kita berasumsi bahwa statistik 90%
didapatkan dari sampel yang representatif, tetap ada masalah dalam menerapkan persentase
ini pada suku Sioux. Statistik dalam premis itu mungkin didapatkan dari hasil sensus: berapa
rasio jumlah orang Indian yang tinggal di daerah reservasi terhadap perkiraan jumlah
populasi orang Indian keseluruhan. Jika memang demikian, berarti data ini mengabaikan
kenyataan bahwa suku-suku Indian sangat berbeda dalam adat dan kebiasaan hidup. Ada
kemungkinan lain juga, yakni misalnya, suku Sioux tidak wajib tinggal di reservasi khusus
sehingga banyak yang tinggal di tempat lain.
Argumen (2) tampak sangat kuat. Memang ada masalah kecil, yaitu ketidakspesifikan
premis pertama, namun argumen ini masih dapat diterima karena sangat kecil
kemungkinannya ada penelitian mengenai kemampuan mengeja para politisi. Argumen ini
menggunakan akal sehatyaitu bahwa hampir semua politisi atau orang dewasa yang
berpendidikan dapat mengeja kata yang sederhana seperti kentang. Jadi, kita dapat
mengganggap pernyataan hampir semua politisi di Washington berarti tidak kurang dari 90%,
sehingga kesimpulan mengenai Wakil Presiden termasuk sangat kuat (kecuali ada alasan
untuk meyakini bahwa Wakil Presiden mempunyai masalah khusus dalam hal mengeja).
Dua contoh berikut menyajikan masalah yang menarik, yang tampaknya lebih mirip
prediksi daripada silogisme statistikal.
Karena 9 dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati, kartu berikutnya
yang diambil pasti bergambar hati.
90% dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati.
Kartu berikutnya yang diambil merupakan salah satu dari 10 kartu
yang tersisa di tumpukan itu. (implisit)
Kartu berikutnya yang diambil bergambar hati.
Setiap pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Karena orang yang akan kita
temui adalah pengacara, kemungkinan besar dia juga agresif.
100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif.
Orang yang akan kita temui adalah pengacara.
Orang yang akan kita temui bersifat agresif.

90

Argumen (3) tampaknya memprediksi kejadian di masa depan dan bukannya mengambil
kesimpulan mengenai anggota suatu kelompok berdasarkan generalisasi mengenai kelompok
itu secara keseluruhan. Namun, kartu berikutnya yang diambil dari tumpukan merupakan
anggota tumpukan yang sudah mempunyai karakteristik yang relevan (yakni, bergambar hati)
sejak sebelum kartu itu diambil. Jadi, kita dapat mengabaikan aspek prediktif dari kesimpulan
itu. Argumen (3) merupakan argumen silogisme statistikal yang sangat kuat. Jika kita tahu
bahwa tumpukan itu tidak diatur dan kocokannya jujur, maka tidak ada masalah atau pun
informasi yang dapat memperlemah argumen itu. Kemungkinannya 9 berbanding 1 bahwa
kesimpulannya benar.
Contoh (4) bukanlah silogisme statistik, walaupun tampak mirip contoh (3). Orang
yang akan kita temui yang tercantum dalam premis dan kesimpulan bukanlah anggota dari
kelompok pengacara yang pernah kita temui yang tercantum dalam generalisasi. Jadi,
argumen ini bukanlah contoh langsung dari spesifikasi statistikal. Argumen ini tampaknya
merupakan prediksi mengenai seorang pengacara yang belum ditemui berdasarkan sampel
pengacara yang pernah ditemui.
Satu bentuk rekonstruksi dari contoh (4) mungkin ialah argumen dua langkah yang
terdiri dari generalisasi induktif yang diikuti oleh silogisme statistikal:
100% dari sampel pengacara yang diobservasi bersifat agresif.
Sampel yang diobservasi cukup besar dan representatif terhadap
semua pengacara. (implisit)
Kira-kira 100% pengacara bersifat agresif.
Orang yang akan kita temui adalah pengacara.
Orang yang akan kita temui bersifat agresif.
Di sini kita juga menghilangkan aspek prediktif dari silogisme statistikalnya. Jelas bahwa
dapat atau tidak dapat diterimanya argumen ini tergantung pada kebenaran premis implisitnya
dan pada hal lain yang kita ketahui mengenai orang yang akan kita temui.
Masalah yang timbul adalah kita tidak dapat yakin apakah rekonstruksi di atas
memang merupakan apa yang dimaksud si pembicara. Ada kekemungkinan lain, yaitu si
pembicara tidak memaksudkan observasinya mengenai pengacara yang pernah mereka temui
sebagai generalisasi mengenai semua pengacara, melainkan hanya mengenai pengacara yang
mereka temui. Jadi, rekonstruksinya mungkin seperti ini.
100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif.
Sampel yang kita observasi cukup besar dan representatif terhadap semua
pengacara yang kita temui (atau akan kita temui).
91

Kira-kira 100% pengacara yang (akan) kita temui bersifat agresif.


Orang yang akan kita temui adalah pengacara yang (akan) kita temui.
Orang yang akan kita temui bersifat agresif.
Rekonstruksi initampaknya merupakan rekonstruksi yang aneh dan rumitdari
argumen (4). Pertama, mengapa pembicara membatasi kesimpulannya hanya pada pengacara
yang pernah atau yang akan dia temui. Mungkin sejauh itu dia baru bertemu dengan
pengacara pengadilan New York saja dan semuanya cenderung agresif. Namun jika
demikian, argumen ini gugur dan kita masih membutuhkan informasi lebih jauh mengenai
orang yang akan mereka temui untuk menentukan apakah dia adalah seorang pengacara
pengadilan New York.
Kedua, keanehan rekonstruksi yang kedua ini menunjukkan bahwa mungkin argumen
(4) memang merupakan prediksi yang mencoba memprediksi kejadian di masa depan
berdasarkan bukti observasi di masa lalu. Prediksi ini menyangkut seorang pengacara yang
belum diobservasi, yang bukan merupakan anggota kelompok yang sudah diobservasi. Jika
memang demikian, maka pernyataan ini bukanlah argumen dua langkah yang terdiri dari
generalisasi induktif dan silogisme statistikal, melainkan sebuah prediksi.

7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik


Argumen

induktif

eliminatif

atau

diagnostik

mempunyai

premis-premis

yang

menggambarkan suatu konfigurasi fakta atau data yang berbeda-beda, yang merupakan bukti
dari kesimpulannya. Kesimpulan ini didukung oleh bukti-bukti diagnostik yang ada, yang
menghapus adanya kemungkinan kesimpulan lain sebagai penjelasan terbaik atas bukti-bukti
itu. Induksi jenis ini menghasilkan kesimpulan yang merupakan penjelasan terbaik, tetapi
tidak statistikal.
Dengan induksi enumeratif kita menyimpulkan bahwa semua burung gagak berwarna
hitam berdasarkan observasi bahwa gagak ini hitam, gagak itu hitam, begitu juga gagakgagak lain, dan seterusnya. Dalam argumen eliminatif atau diagnostik, datanya tidak berupa
repetisi dari jenis observasi yang sama. Umpamanya kita mendengar suara orang berteriakteriak marah, barang-barang pecah, dan pintu dibanting di apartemen sebelah. Kita
menyimpulkan bahwa tetangga kita sedang bertengkar. Kita memutuskan bahwa ini adalah
penjelasan yang paling mungkin dari apa yang kita dengar, karena kita tahu bahwa mereka
bukan aktor yang sedang berlatih akting, dan juga tidak mempunyai sound system yang
sangat baik yang mungkin menipu kita.
92

Bukti-bukti

dalam

argumen

induktif

mana

pun

tidak

pernah

menjamin

kesimpulannya. Premis-premis dari argumen induktif dapat mendukung beberapa kesimpulan


yang berbeda dan bertentangan. Kesimpulan-kesimpulan itu disebut kesimpulan rival atau
hipotesis rival. Dalam induksi diagnostik, orang yang mengajukan argumen meneliti buktibukti untuk membuat kesimpulan berupa hipotesis yang paling mungkin menjelaskan buktibukti itu. Argumen diagnostik yang kuat harus mempunyai cukup bukti untuk menghapuskan
semua kecuali satu hipotesis rival. Hipotesis yang tersisa itu merupakan kesimpulan yang
paling mungkin.
Tidak seperti pada penyimpulan deduktif, kemampuan membuat kesimpulan induktif
yang merupakan penjelasan terbaik biasanya tergantung pada keahlian dan pengetahuan si
pembicara mengenai topik yang dibahas, dan bukan pada pengetahuan mengenai bahasa dan
aturan pengambilan kesimpulan. Contoh kasus yang merupakan paradigma dari induksi
diagnostik adalah diagnosis dokter mengenai penyakit pasien dari konfigurasi gejala, hasil
pemeriksaan laboratorium, dan bukti-bukti lain. Penalaran diagnostik atau eliminatif
barangkali merupakan jenis penalaran induktif sehari-hari yang paling umum. Walaupun
biasanya tidak dilakukan seteliti dokter, induksi jenis ini merupakan dasar dari pengetahuan
sehari-hari kita mengenai dunia di sekitar kita. Perhatikanlah contoh berikut.
1. Jimmy demam, dia kelihatan lemah, dan ada bintik-bintik kecil berwarna merah di
wajahnya. Karena dia belum pernah kena cacar air sebelumnya, kemungkinan dia
kena cacar air sekarang.
Jimmy demam.
Dia kelihatan lemah.
Ada bintik-bintik kecil berwarna merah di wajahnya.
Dia belum pernah kena cacar air.
Orang dengan gejala seperti itu, yang belum pernah
kena cacar air sebelumnya, barangkali kena cacar air.
Jimmy kena cacar air.

Bukti
Kondisi pembatas
Hipotesis bantuan
(implisit)

2. Kita yakin bahwa akan ada serangan musuh di sektor selatan karena ada
pengumpulan pasukan di sektor itu dan komandan mereka ada di situ. Terlebih lagi,
mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan terbaik mereka untuk menang
adalah dengan menyerang sektor selatan sekarang. Ini adalah kesempatan yang
kemungkinannya kecil untuk mereka lewatkan.
Ada pengumpulan pasukan di sektor selatan.
Komandan mereka ada di sektor itu.
Mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan
terbaik mereka untuk menang adalah dengan menyerang

Bukti

93

Hipotesis
bantuan

sektor selatan sekarang.


Kecil kemungkinannya musuh melewatkan kesempatan untuk
menang.
Akan ada serangan musuh di sektor selatan.

3. Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya, dan wajahnya memerah.


Mereka mengatakan dia sering malu bila berada dekat perempuan yang tidak
dikenalnya. Karena dia sedang berbicara dengan Harriet dan dia tidak mengenal
Harriet, kita dapat menyimpulkan bahwa dia mungkin sedang malu. Hal itu juga
dapat menjelaskan mengapa dia terus mencari pintu keluar.
Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya.
Wajahnya memerah.
Dia terus mencari pintu keluar.
Jethro sedang berbicara dengan Harriet.
Harriet adalah perempuan yang tidak dikenal Jethro.
Dia sering malu bila berada di dekat perempuan yang
tidak dikenalnya.

Bukti
Kondisi pembatas
Hipotesis bantuan

Jethro malu.
Contoh-contoh itu mengandung unsur-unsur yang merupakan ciri khas dari argumen
diagnostik, yaitu premis-premis yang mengungkapkan bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis
bantuan.
a. Bukti
Bukti dalam suatu argumen diagnostik adalah informasi dalam premis yang harus dapat
dijelaskan oleh kesimpulan dari argumen tersebut. Bukti disebut juga data diagnostik.
Informasi lain dalam premis dapat dibedakan dari bukti; informasi itu tidak harus dapat
dijelaskan oleh kesimpulan.
Pada contoh (1), bukti atau data diagnostiknya adalah Jimmy demam, tampak lemah,
dan ada bintik-bintik kecil warna merah di wajahnya. Kesimpulan apa pun yang diambil dari
bukti ini harus dapat menjelaskannya. Jadi, hipotesis bahwa Jimmy kena cacar air
menjelaskan mengapa dia demam, tampak lemah, dan ada bintik-bintik di wajahnya. Jika
hipotesis itu tidak dapat menjelaskan bukti yang ada, maka kita tidak dapat mengambil
kesimpulan bahwa dia kena cacar air berdasarkan bukti ini. Tetapi kesimpulan ini tidak perlu
menjelaskan semua informasi dalam premis. Misalnya, kesimpulan tidak perlu menjelaskan
mengapa Jimmy belum pernah kena cacar air sebelumnya. Itu bukan bagian dari data
diagnostik.
94

Pada contoh (2), kesimpulan bahwa musuh akan menyerang di sektor selatan dapat
menjelaskan mengapa ada pengumpulan pasukan di sana dan mengapa komandan mereka ada
di sana. Informasi itu adalah bukti. Namun kesimpulan tidak dapat digunakan untuk
menjelaskan mengapa saat itu adalah kesempatan terbaik mereka untuk menang dan mengapa
mereka tidak akan melewatkan kesempatan itu. Premis-premis yang disebut terakhir ini
membantu mengeliminasi hipotesis rival, namun tidak termasuk bukti.
Informasi dalam premis, di samping data diagnostik, dapat berfungsi mengeliminasi
hipotesis rival. Informasi seperti ini dapat menjelaskan kondisi atau konteks tempat bukti
dipahami sebagai bukti dari kesimpulan. Ini disebut kondisi pembatas.
Bukti untuk pengambilan kesimpulan induktif bukan berupa informasi yang sudah
diberi label, atau terisolasi, sehingga kita tinggal menggunakannya, melainkan informasi
yang sangat banyak yang harus dipilih sebagai data yang kita yakini relevan untuk
mendukung kesimpulan kita. Jadi, data yang terpilih menjadi bukti bagi kesimpulan dalam
konteks yang kita batasi. Konteks ini hampir selalu mengandung informasi faktual yang
bukan merupakan bagian dari data diagnostik.
b. Kondisi Pembatas
Kondisi pembatas dalam suatu argumen induktif diagnostik terdiri dari premis-premis faktual
tambahan yang membatasi konteks argumen dan digunakan untuk menunjukkan bagaimana
bukti mengarah ke kesimpulan. Kondisi pembatas secara logis berbeda dari bukti karena
tidak harus dijelaskan oleh kesimpulan. Kondisi pembatas adalah keadaan faktual yang
membantu menunjukkan mengapa kesimpulan itu adalah penjelasan yang paling mungkin
dari bukti dan bukannya kesimpulan rival.
Beda contoh (1), misalnya, pembicara menyatakan fakta bahwa Jimmy belum pernah
kena cacar air sebelumnya dalam menyimpulkan bahwa Jimmy kena cacar air. Fakta ini
bukan bukti menurut definisi kita. Namun, fakta ini mendukung kesimpulan karena
mengeliminasi kemungkinan bahwa Jimmy sudah mempunyai kekebalan terhadap cacar
airkemungkinan yang akan menggugurkan kesimpulan bahwa Jimmy sekarang kena cacar
air. Informasi lain yang diketahui dapat juga berfungsi sebagai fakta yang membantu
menunjuk ke arah cacar air sebagai penjelasan yang paling mungkin dari bukti. Misalnya,
jika Jimmy baru-baru ini bertemu dengan anak-anak yang sedang menderita cacar air, maka
fakta ini adalah kondisi pembatas yang penting. Dengan hipotesis pembantu bahwa cacar air
menular, fakta ini dapat membantu menunjukkan mengapa cacar air merupakan penjelasan
terbaik atas bukti yang ada.
95

Pembicara pada contoh (3) memilih fakta bahwa Jethro sedang berbicara dengan
Harriet sebagai informasi yang relevan dengan kesimpulannya bahwa Jethro sedang malu.
Fakta ini bukan bukti atau data diagnostik untuk kesimpulan itu karena kesimpulan bahwa
Jethro malu tidak menjelaskan mengapa dia berbicara dengan Harriet. Namun fakta ini
menerangkan keadaan Jethro. Begitu pula, fakta bahwa Jethro tidak mengenal Harriet tidak
dapat dijelaskan oleh kesimpulan. Fakta-fakta ini adalah kondisi pembatas, yang dengan
bantuan hipotesis pembantu turut menunjukkan mengapa malu adalah penjelasan yang
paling mungkin dari bukti-bukti yang ada. Singkatnya, kondisi pembatas menggambarkan
keadaan faktual atau konteks di mana bukti dapat mendukung kesimpulan.
Bukti dan kondisi pembatas adalah fakta atau pernyataan yang dianggap benar oleh
pembicara dalam mengambil kesimpulan. Kedua hal ini tidak termasuk hipotesis karena
dianggap tentatif atau teoretis, tetapi dianggap sebagai fakta dan benar.
c. Hipotesis Bantuan
Hipotesis bantuan dalam suatu argumen adalah hipotesis yang membantu menunjukkan
bagaimana bukti, dalam kondisi pembatas, dapat diyakini mengarah pada kesimpulan. Dalam
argumen diagnostik, hipotesis pembantu juga dapat membantu menunjukkan bagaimana
kesimpulan, dalam kondisi pembatas, merupakan penjelasan yang paling mungkin dari bukti
yang ada. Hipotesis pembantu dapat berupa generalisasi, hukum alam, atau pernyataan
tentatif yang digunakan pembicara untuk menarik kesimpulan berupa penjelasan terbaik.
Hipotesis pembantu mungkin mengandung pernyataan spekulatif atau interpretatif yang
menunjukkan mengapa si pembicara yakin kesimpulannya mungkin benar, dan mengapa
kesimpulan rival mungkin tidak benar.
Pada contoh (2), misalnya, kedua hipotesis pembantu tidak dianggap sebagai fakta.
Keduanya tidak termasuk bukti maupun kondisi pembatas. Hipotesis pertama, yang
didasarkan pada bukti dan keahlian pembicara, berspekulasi bahwa kesempatan terbaik bagi
musuh untuk menang adalah dengan menyerang sektor selatan. Hipotesis kedua berspekulasi
mengenai motivasi musuh untuk menang dengan menyatakan bahwa kemungkinannya kecil
mereka akan melewatkan kesempatan terbaik mereka untuk menang. Hipotesis ini membantu
mengikat bukti pada kesimpulan bahwa musuh akan menyerang sektor selatan, dan juga
membantu membatalkan kemungkinan kesimpulan lain. Jadi, misalnya, jika menyerang
sektor selatan merupakan kesempatan terbaik mereka untuk menang, kemungkinannya kecil
bahwa mereka mengumpulkan pasukan di sektor itu untuk menyamarkan serangan di sektor
lain.
96

Pada contoh (1), pembicara menganggap bukti dan kondisi pembatasnya sebagai
sesuatu yang benar, dan dia tidak mengemukakan hipotesis pembantu. Dari sudut
pandangnya, fakta-fakta yang mendukung kesimpulannya bahwa Jimmy kena cacar air sudah
jelas dan tidak ada masalah. Kita menambahkan pernyataan implisit bahwa orang yang
berada dalam kondisi seperti Jimmy mungkin sedang menderita cacar air. Pernyataan implisit
ini merupakan generalisasi yang membantu menunjukkan mengapa bukti itu dapat diyakini
mengarah ke kesimpulan.
Argumen induktif sehari-hari tidak berupa unsur-unsur yang diberi label seperti contoh
di atas. Argumen ini biasanya dinyatakan secara tidak lengkap, lebih tidak lengkap daripada
argumen deduktif. Dalam penalaran induktif, di mana ketidakpastian sering kali dominan,
kesimpulan sering kali tergantung pada pengambilan kesimpulan tanpa menyebutkan banyak
detil-detil. Keahlian dan pengalaman pembicara, intuisi, aturan umum, dan spekulasi sering
kali berperan dalam pengambilan kesimpulan. Ini membuat rekonstruksi argumen menjadi
sulit.
Namun, biasanya, kita dapat mengkategorikan premis-premis dalam kebanyakan
argumen induktif ke dalam tiga tipe di atas, yakni bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis
pembantu. Dalam mengemukakan argumen diagnostik atau eliminatif, bukti adalah apa yang
dianggap benar oleh pembicara. Dia harus menyatakan bukti ini secara eksplisit; tidak
mungkin ada bukti yang implisit.
Sebaliknya, kondisi pembatas dan hipotesis pembantu sering kali tidak dinyatakan dan
dibiarkan implisit. Dalam kasus seperti itu, kita harus menggunakan pengetahuan kita
mengenai topik argumen, imajinasi kita dalam memikirkan kesimpulan-kesimpulan rival
yang mungkin, dan logika kita dalam memutuskan kondisi pembatas dan hipotesis pembantu
apa saja yang diperlukan pembicara untuk membuat kesimpulan induktif yang dapat diterima.
Singkatnya, kita perlu tahu banyak mengenai topik argumen atau tahu banyak pengetahuan
umum jika kita ingin menjadi evaluator penalaran induktif yang efektif.

Latihan 7.1 (Hipotesis Induktif dan Ketidakpastian)


Perhatikan informasi yang diberikan dalam masing-masing soal berikut. Rumuskanlah suatu
hipotesis yang dapat ditarik dari informasi yang ada. Kemudian, susunlah argumen untuk
hipotesis itu dalam pola standar. Selanjutnya, sebutkan informasi lain apakah yang harus
Anda cari untuk mengkonfirmasi hipotesis Anda. Akhirnya, bayangkan dan tuliskan

97

informasi yang akan membuat Anda mempertayakan atau menolak hipotesis yang telah Anda
buat.
Contoh: Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi berlari dari kamar
tempat Jono ditembak dan dia memegang pistol di tangannya. Kesepuluh saksi mata
mendengar Andi berteriak bahwa dia senang Jono sudah mati.

Jawaban:
Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi
berlari dari kamar tempat Jono ditembak.
Kesepuluh saksi mata menyatakan bahwa dia memegang pistol
di tangannya.
Kesepuluh saksi mata mendengar Andi berteriak bahwa dia
senang Jono sudah mati.
Andi menembak dan membunuh Jono.
1) Informasi yang mengkonfirmasi: Pistol yang dipegang Andi memang merupakan pistol
yang digunakan untuk membunuh Jono. Perhatikan informasi tambahan yang berikut.
Laporan forensik mengenai waktu Jono meninggal bersamaan dengan waktu Andi dilihat
lari dari kamar itu. Andi mempunyai motif membunuh Jono. Tidak ada orang lain yang
terlihat meninggalkan tempat kejadian.
2) Informasi yang mendiskonfirmasi: Laporan polisi menunjukkan bahwa Jono ditembak
dengan pistol yang berbeda dari yang dipegang Andi. Kesepuluh saksi mata adalah
anggota suatu geng yang bermusuhan dengan Andi dan telah bersumpah untuk
mencelakainya.

Soal pertanyaan:
1. Dua puluh orang yang makan di Rumah Makan Joe pada hari Kamis malam sakit parah
dan harus dirawat di rumah sakit. Kedua puluh orang itu makan kerang mentah.
2. Enam jawaban dari sepuluh soal di lembar ujian John dan Tammy sama persis.
3. Nilai ulangan Jimmy di sekolah sangat jelek. Dia sering bersikap cemas dan terlalu
bersemangat. Dia sering bersama Mark, seorang siswa yang tahun lalu diskors dari
sekolah karena ketahuan menggunakan obat-obatan terlarang.

98

Latihan 7.2 (Induksi Enumeratif)


Jawablah soal-soal berikut. Buatlah struktur induksinya jelas dan usahakan semirip mungkin
dengan bentuk generalisasi induktif yang sudah dijelaskan dalam uraian di atas. Kemudian
diskusikanlah sejauh mana kesimpulannya didukung oleh bukti-bukti yang ada. Dalam
berdiskusi, jangan lupa membahas masalah-masalah apa sajaseperti relevansi, cukup atau
tidaknya data, dan apakah data representatif atau tidakyang ada sehingga Anda sulit
menerima kesimpulan itu berdasarkan bukti-bukti yang ada. Jika mungkin, buatlah
kesimpulan yang lebih lemah yang lebih sesuai dengan data yang ada.
1. Hanya dua puluh persen dari 1000 orang California yang dipilih secara acak mengatakan
bahwa mereka percaya presiden telah berusaha mencoba merangsang pertumbuhan
ekonomi. Berdasarkan itu, kita menyimpulkan bahwa pemeringkat (rating) positif
terhadap presiden di bidang ekonomi turun hingga di bawah 25%.
2. Memang benar apa yang mereka dikatakan tentang pengendara sepeda motor. Mereka
adalah orang yang paling antisosial dan sopan santunnya sangat buruk serta cenderung
melakukan tindak kekerasan. Kami pergi ke pertemuan kelompok Bay Area Marauders,
suatu kelompok sepeda motor Hell Angel yang berpusat di San Fransisco. Dari dua puluh
orang yang kami wawancarai, lima orang mengaku pernah masuk penjara. Sepuluh orang
menjawab secara kasar dan menyuruh kami pergi sebelum mendapat masalah. Empat
orang terakhir menolak menjawab pertanyaan dan memaksa kami keluar dari tempat itu.

Latihan 7.3 (Silogisme Statistikal)


Jika mungkin, buatlah rekonstruksi dari argumen dalam soal-soal berikut ini sehingga
menjadi silogisme statistikal. Jika argumen itu tidak dapat direkonstruksi menjadi bentuk
silogisme statistikal, jelaskan mengapa demikian. Akhirnya, diskusikanlah secara kritis
mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu dan diskusikan juga alasannya.
1. Kebanyakan orang yang tinggal di Bell Air kaya raya. Jadi, keluarga yang tinggal di
sebelah rumah keluarga Reagan kemungkinan besar kaya raya.
2. Begini, Joe. Orang tua mencintai anak-anaknya. Jadi, walaupun tampaknya orang tuamu
bertingkah laku seolah-olah tidak mencintaimu, ingatlah bahwa mereka mencintaimu.

99

3. Setiap kali kita pergi ke rumah keluarga Quigley, mereka pasti sedang bertengkar.
Mungkin mereka juga akan bertengkar hari Minggu besok ketika kita ke sana. Barangkali
sebaiknya kita tidak usah ke sana.

Latihan 7.4 (Induksi Diagnostik)


Gambarkanlah struktur argumen-argumen induktif dalam soal-soal berikut. Dalam gambaran
Anda itu, tunjukkan premis mana yang berisi bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis
pembantu. Jika Anda mengalami kesulitan dalam menentukan kategori yang tepat untuk salah
satu premis, jelaskan mengapa. Selanjutnya, sebutkan satu asumsi implisit yang menurut
Anda dapat memperkuat argumen itu, dan tentukan apakah asumsi itu berfungsi sebagai
kondisi pembatas atau hipotesis pembantu jika diikutsertakan dalam argumen. Akhirnya,
diskusikan secara singkat mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu.
1. Wajah Jimmy berbintik-bintik merah. Tony, anak tetangga, sedang menderita cacar air.
Mungkin Jimmy juga menderita penyakit itu. Cacar air, kan, menular?
2. Kami tahu bahwa pasien itu merasa mual, muntah-muntah, dan rambutnya rontok selama
tiga minggu sebelum dirawat di rumah sakit. Di beberapa bagian tubuhnya ada luka-luka
menganga. Kami juga tahu bahwa dia bekerja di suatu reaktor nuklir selama setahun
terakhir. Bukti ini mengarah kepada kesimpulan bahwa dia menderita keracunan radiasi.
Tentu saja, kami masih harus melakukan beberapa tes.

8. Sesat Pikir
8.1. Pengertian Sesat Pikir (Fallacies)
Sesat pikir menurut logika tradisional adalah kekeliruan dalam penalaran berupa
penarikan kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah, yang disebabkan
oleh dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Menurut Copi, sesat pikir adalah perbincangan yang
mungkin terasa betul, tetapi yang setelah diuji terbukti tidak betul. Perhatikanlah contoh
berikut.
(1) Kalau hujan turun, maka tanah basah.
Tanah basah.
Jadi hujan turun.
(2) Kalau manusia mati tak bernafas.
Susi, seorang manusia, tak bernafas
Jadi Susi mati.
100

Argumentasi di atas salah karena dalam kedua argumentasi itu, hujan dan tak
bernafas masing-masing adalah kondisi yang mencukupi (sufficient condition), bukan
kondisi niscaya (necessary condition); dengan kata lain, hubungannya asimetris. Hujan
memang menyebabkan tanah basah, tetapi tanah basah belum tentu karena hujan. Mati sudah
tentu tak bernafas, tetapi tak bernafas belum tentu mati.
Sebetulnya tidak ada penggolongan sesat pikir yang sempurna, tetapi penggolongan
dari Copi (1986) dapat digunakan sebagai pegangan untuk mengenali sesat pikir.

8.2. Sesat Pikir Formal


A. Dalam Deduksi
Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh bentuknya. Jika sebuah penalaran bentuknya tidak
sesuai dengan bentuk deduksi yang baku, maka penalaran itu tidak sahih dan tergolong sesat
pikir.
1. Empat Term (Four Terms)
Seperti namanya, sesat pikir jenis empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan
dalam silogisme padahal silogisme yang sahih hanya mempunyai tiga term. Contoh berikut
ini mengandung kesalahan empat term.
Rumah mempunyai halaman.
Buku mempunyai halaman.
Jadi: Buku adalah rumah.
Kesalahan terletak pada kata halaman yang mempunyai makna ganda sehingga ada tambahan
term. Halaman rumah dan halaman buku berbeda maknanya karena merujuk kepada dua ide
yang berbeda. Jadi, terdapat empat term dalam silogisme di atas, yang seharusnya hanya tiga.
2. Term tengah yang tidak terdistribusikan (undistributed middle terms)
Pengertian dari term tengah yang tidak terdistribusikan adalah silogisme kategoris yang term
tengahnya tidak memadai menghubungkan term mayor dan term minor, misalnya
Kucing makan daging.
Anto makan daging.
Jadi: Anto adalah kucing.
3. Proses Ilisit (Illicit process)
Proses ilisit adalah perubahan tidak sahih dari term mayor atau term minor seperti pada
contoh berikut.
101

Banyak orang Indonesia pemalas.


Pemalas tidak bisa maju.
Jadi: Orang Indonesia tidak bisa maju.
Kesalahan silogisme ini terletak pada peralihan dari banyak orang Indonesia yang merujuk
kepada sebagian orang Indonesia (partikular) ke orang Indonesia yang merujuk kepada
semua orang Indonesia (universal).

4. Premis-premis afirmatif tetapi kesimpulannya negatif


Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi afirmatif (pernyataan yang
menyatakan sesuatu secara positif) tetapi dalam kesimpulan digunakan proposisi negatif
(pernyataan yang menegasi sesuatu). Perhatikanlah contoh berikut.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Sebagian orang Indonesia adalah ahli logika.
Jadi: Sebagian orang Indonesia bukan ahli logika.
Meskipun diketahui bahwa sebagian orang Indonesia adalah ahli logika, tidak ada informasi
yang menyebutkan sebagian lagi bukan ahli logika. Kesimpulan Sebagian orang Indonesia
bukan ahli logika tidak dapat diturun dari dua premis dalam silogisme ini. Kesimpulan yang
dapat dibuat adalah Sebagian ahli logika adalah manusia. Dalam deduksi, yang dijadikan
dasar penilaian sahih atau tidaknya argumen adalah bentuknya. Bentuk yang benar harus
benar untuk semua argumen, apa pun isi materialnya. Memang dalam silogisme di atas
terkesan argumennya tetapi jika kita gunakan untuk silogisme berikut, maka dapat diketahui
bahwa bentuk itu tidak sahih.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Sebagian orang Indonesia bernafas.
Jadi: Sebagian orang Indonesia tidak bernafas.
5. Premis negatif dan kesimpulan afirmatif
Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi negatif tetapi dalam kesimpulan
digunakan proposisi afirmatif, misalnya
Tiada hewan yang berkaki tiga.
Semua hewan peka terhadap rangsang.
Jadi: Semua yang peka terhadap rangsang berkaki tiga.

102

6. Dua premis negatif


Sesat pikir dua premis negatif terjadi jika dalam silogisme kedua premis yang digunakan
adalah proposisi negatif. Perhatikanlah contoh-contoh berikut.
(1)

Tiada hewan yang berkaki tiga.


Tiada hewan dapat membuat alat.
Jadi: Semua yang dapat membuat alat bukan hewan.

Meskipun terkesan benar, silogisme ini tidak sahih karena tidak ada kesimpulan yang dapat
diturunkan dari dua proposisi negatif. Kesimpulan dalam silogisme ini tidak memberi
tambahan pengetahuan baru. Berikut ini dua contoh lain sesat pikir berbentuk dua premis
negatif.
(2)

Tiada hewan yang berpikir.


Semua hewan tidak dapat membuat alat.
Jadi: Semua yang dapat membuat alat berpikir.

(3)

Tiada buku Jono yang mudah dibaca.


Tiada buku yang mudah dibaca bermutu.
Jadi: Semua buku Jono bermutu.

7. Mengafirmasi konsekuensi
Sesat pikir mengafirmasi konsekuensi adalah pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari
pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi
diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Perhatikan contoh berikut.
Kalau lampu menyala, perabot-perabot di rumah saya nampak.
Perabot-perabot di rumah saya nampak.
Jadi: Lampu menyala.
Bentuk penalaran ini salah sebab perabot-perabot rumah saya nampak bukan hanya karena
diterangi oleh cahaya lampu, melainkan dapat juga karena hal lain, misalnya diterangi oleh
sinar matahari. Jadi dapat saja terjadi perabot-perabot di rumah saya nampak tetapi lampu tak
menyala, misalnya pada siang hari.
8. Menolak anteseden
Sesat pikir menolak anteseden juga merupakan pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari
pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi
diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Tetapi dalam bentuk ini yang
ditolak adalah antesedennya. Perhatikan contoh berikut.
Jika guru pandai maka murid pandai.
103

Murid tidak pandai.


Jadi: Guru tidak pandai.
Murid tidak pandai bisa saja karena tidak cerdas atau tidak pernah masuk kelas. Hubungan
antara guru pandai dan murid pandai berlaku dalam situasi dengan kondisi-kondisi tertentu.
Jika kondisi itu tidak dipenuhi maka hubungan itu tidak berlangsung. Jadi murid tidak pandai
belum tentu karena guru tidak pandai.
9. Mengiyakan suatu pilihan dalam suatu susunan argumentasi disjungsi subkontrer (atau)
Sesat pikir ini terjadi jika hubungan atau di antara dua hal diperlakukan sebagai
pengingkaran oleh hal yang satu terhadap hal yang lain. Atau belum tentu menunjukkan suatu
pengingkaran. Perhatikan contoh berikut.
Hari hujan atau panas.
Hari hujan.
Jadi: Hari tidak panas.
Hari hujan belum tentu tidak panas karena hari hujan dan panas tidak saling mengingkari.
10. Mengingkari suatu pilihan dalam suatu disjungsi yang kontrer (dan)
Bentuk sesat pikir ini terjadi jika dua hal yang dihubungkan dengan kata dan diperlakukan
seolah-olah nilai kebenaran (benar atau tidak benar) dari gabungan keduanya sama dengan
nilai kebenaran dari setiap hal yang digabungkan, atau nilai tidak benar dari gabungan dari
dua hal itu seolah-olah disebabkan oleh salah satunya. Perhatikan contoh berikut.
Nativisme dan empirisme tidak benar.
Nativisme benar.
Empirisme tidak benar.
Jika tidak digabungkan, baik nativisme maupun empirisme bisa saja sama-sama benar. Yang
membuat tidak benar adalah penggabungan keduanya.

8.3. Sesat Pikir Nonformal


1. Perbincangan dengan ancaman
Dalam sesat pikir ini kebenaran dari kesimpulan didasarkan kepada ancaman, misalnya Saya
menerima penyataan bahwa bumi ini pusat dunia karena jika tidak maka nyawa saya
terancam.

104

2. Salah guna (Abusive)


Sesat pikir salah guna adalah penyalahgunaan pertimbangan-pertimbangan yang secara logis
tidak relevan, misalnya
Parpol dan Golkar mendukung Orde Baru.
Golkar yang melahirkan Orde Baru.
Jadi: Golkar yang paling mendukung Orde Baru.
3. Argumentasi berdasarkan kepentingan (circumstantial)
Sesat pikir ini timbul sebagai akibat dari penarikan kesimpulan secara logis melainkan untuk
kepentingan pihak yang termaksud seperti pada contoh berikut.
Agar persatuan pemuda dapat dipertahankan, maka si X harus menjadi ketua
organisasi pemuda. Karena X sudah berumur 40 tahun, maka dalam anggaran
dasar organisasi pemuda itu, definisi pemuda ditetapkan sampai umur 45
tahun.
4. Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan
Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan adalah argumentasi yang menilai sesuatutindakan
atau pernyataanbenar berdasarkan ketidaktahuan, bukan berdasarkan isi dan bentuk
argumentasinya. Orang membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan
alasan ia tidak tahu. Lalu orang lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan
alasan bahwa orang yang membuat keputusan tidak tahu. Perhatikanlah contoh berikut.
Kami memilih Suyadi sebagai dekan meskipun ia belum memenuhi syarat
karena kami tidak tahu bahwa ia tak memenuhi syarat, jadi kami tak bisa
disalahkan.
5. Argumentasi berdasarkan belas kasihan
Argumentasi belas kasihan adalah argumentasi yang menilai benar atau salahnya sesuatu
berdasarkan belas kasihan, bukan berdasarkan isi dan bentuk argumennya. Orang
membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan alasan kasihan. Lalu orang
lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan alasan orang yang membuat
keputusan merasa belas kasihan. Perhatikanlah contoh berikut.
Andi memang salah dan menurut peraturan ia harus dihukum, tetapi kasihan
jika ia dihukum, hidupnya sudah susah, jadi kami tak dapat menyalahkannya
dan tak menghukumnya.

105

6. Argumentasi yang disangkutkan dengan orang banyak


Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang menjadikan apa yang dipercaya oleh
kebanyakan orang sebagai dasar penentuan benar atau salahnya argumentasi. Orang
membenarkan sebuah keputusan dengan alasan semua orang berpendapat demikian.
Perhatikanlah contoh berikut.
Semua orang juga tahu Muhidin bersalah, oleh karena itu Muhidin pasti salah.
7. Argumentasi dengan kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan
Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang membenarkan kesimpulan berdasarkan
kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan. Isi dan bentuk argumentasi tidak
dicermati dan tidak dijadikan dasar penentuan benar atau salahnya kesimpulan. Misalnya,
menerima kesimpulan tentang perilaku seseorang yang dinilai melanggar kejahatan karena
beberapa profesor sosiologi menyalahkan perilaku itu. Contoh berikut ini merupakan sesat
pikir jenis ini.
Internet berbahaya bagi generasi muda. Hal ini disampaikan oleh Prof. Herdin.
Apa yang dikatakan profesor benar karena dia ahli. Jadi internet memang
berbahaya bagi generasi muda.
8. Accident atau argumentasi berdasarkan ciri-ciri tak esensial
Sesat pikir accident adalah argumentasi yang menjadikan satu sifat yang berbeda atau yang
sama sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa dari dua hal semuanya sama atau semuanya
berbeda. Perhatikan contoh berikut.
Bangsa Indonesia tidak sama dengan bangsa Jepang. Jadi, semua orang Indonesia
tidak sama dengan semua orang Jepang.
9. Perumusan yang tergesa-gesa (converse accident)
Sesat pikir perumusan yang tergesa-gesa adalah pembuatan kesimpulan yang didasari oleh
alasan tak memadai atau tanpa alasan sama sekali. Berikut ini dua contohnya.
(1) Semua pegawai negeri adalah koruptor karena kita menemui banyak koruptor
dalam keseharian kita.
(2) Semua mahasiswa malas membaca.
10. Sebab yang salah
Sesat pikir sebab yang salah adalah pembuatan kesimpulan berdasarkan satu dugaan yang tak
terbukti dan tetap dipertahankan meskipun bukti menunjukkan bahwa kesimpulan itu salah.
Misalnya pernyataan bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan setan. Lalu setannya diusir,
106

penyakitnya tetap ada. Tetapi tetap dipercaya bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan
setan.
11. Penalaran sirkular
Sesat pikir penalaran sirkular menjadikan kesimpulan sebagai alasan. Alasan yang digunakan
secara substansial tidak berbeda dengan keseimpulan. Sesat pikir ini juga dapat muncul
dalam argumentasi yang menggunakan kesimpulan yang masih harus dibuktikan sebagai
pangkal pikir. Periksalah dua contoh berikut.
(1) Petugas hukum dapat disogok karena penghasilannya rendah. Penghasilan
hakim rendah karena ekonomi buruk. Ekonomi buruk karena hukum
tidak berfungsi. Hukum tidak berfungsi karena petugas hukum dapat
disogok.
(2) A adalah orang yang jujur. Itu terbukti dari ucapan-ucapannya sendiri kemarin.
12. Sesat pikir karena terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab sehingga jawaban tak
sesuai dengan pertanyaan
Ketika seseorang menerima banyak pertanyaan dan tak sempat mencermati pertanyaan itu
satu per satu, ia bisa saja menjawab sekenanya sehingga terjadi kekeliruan dalam
penalarannya. Argumentasi yang dibangunnya menjadi sesat pikir. Sesat pikir jenis ini
menghasilkan kesimpulan yang tak jelas dan tak berkaitan dengan alasan yang digunakan.
Umpamanya, seorang polisi ditanya oleh banyak wartawan setelah peristiwa meledaknya
bom di sebuah hotel, lalu menjawab bahwa pelakunya adalah orang-orang yang anti NKRI
dan ingin menjatuhkan pemerintahan tanpa ada bukti dan tak ada koherensi dalam
argumentasinya.
13. Kesimpulan tak relevan.
Sesat pikir kesimpulan tak relevan adalah argumentasi yang kesimpulannya tidak sejalan
dengan alasannya, misalnya
(1) Rumah di ujung jalan itu sering kemalingan karena warna catnya hijau.
(2) Orang tua lebih tahu dan lebih pintar dari anak-anaknya karena anak-anak itu
dilahirkan orang tuanya.

107

14. Makna ganda (equivocation)


Sesat pikir makna ganda adalah argumen yang menggunakan term yang bermakna ganda
sehingga kesimpulannya tidak jelas dan dapat diubah-ubah berdasarkan pemaknaan terhadap
term itu. Argumentasi dengan makna ganda merupakan sesat pikir karena makna kata dapat
dipilih untuk maksud-maksud tertentu. Perhatikanlah contoh berikut.
Politisi yang dituduh menjelek-jelekkan presiden itu diamankan oleh pemerintah
sebab jika dibiarkan akan mengganggu stabilitas keamanan. Oleh
karena itu, pemerintah tidak melanggar HAM.
Kata diamankan dapat berarti ditangkap, dipenjarakan, atau dilarang berbicara di muka
umum. Contoh kata lain yang bermakna ganda ialah ditindak yang dapat berarti dipukuli,
ditangkap atau ditembak.
15. Makna ganda ketata-bahasaan (amphiboly)
Sesat pikir dapat juga terjadi karena argumentasi yang dikemukakan menggunakan term-term
yang bermakna ganda jika dilihat dari tata bahasa, misalnya kata mata yang dapat digunakan
dengan makna yang lain seperti dalam matahari, mata kuliah, mata sapi, mata hati, mata
kaki, dan mata-mata. Berikut ini contoh argumentasi yang merupakan sesat pikir makna
ganda ketata-bahasaan.
Diri seseorang tercermin dari hatinya.
Hati yang baik mencerminkan diri yang baik.
Hati yang buruk mencerminkan diri yang buruk.
Kata hati dalam argumentasi di atas dapat bermakna ganda. Term hati di situ tidak merujuk
kepada organ hati, melainkan kepada perasaan, intuisi, atau nurani. Argumentasi itu menjadi
sesat pikir karena hati yang dimaksud tak dapat dikenali secara jelas merujuk kepada
objeknya sehingga tak dapat dibuktikan benar atau salah. Argumentasi yang dicontohkan di
atas tidak bermakna karena proposisi-proposisinya tidak jelas maknanya.
16. Sesat pikir karena perbedaan logat atau dialek bahasa
Sesat pikir dapat terjadi karena adanya perbedaan logat atau dialek bahasa atau cara menamai
sesuatu tetapi perbedaan itu tidak disadari. Sebagai contoh, mobil di Medan disebut motor
dan motor dinamakan kereta, sedangkan di Jakarta kereta berarti kereta api. Perbedaan ini
dapat menghasilkan sesat pikir jika tidak diklarifikasi.

108

17. Kesalahan komposisi


Sesat pikir kesalahan komposisi adalah argumentasi yang memperlakukan kebenaran pada
bagian sebagai kebenaran keseluruhan. Dalam membuat keputusan, misalnya, manusia sering
kali dirugikan oleh perasaan, lalu disimpulkan bahwa perasaan pasti merugikan manusia.
Intinya, benar pada bagian dianggap benar pada keseluruhan.
18. Kesalahan divisi
Sesat pikir kesalahan divisi adalah argumen yang serta-merta menyimpulkan bahwa
karakteristik dari keseluruhan pasti ada pada bagian-bagiannya. Dalam sesat pikir ini,
kebenaran keseluruhan dianggap sebagai kebenaran pada bagian-bagiannya. Umpamanya,
manusia adalah makhluk yang berpikir, oleh karena itu kaki dan tangan manusia pun berpikir.
19. Generalisasi tak memadai
Sesat pikir generalisasi yang tak memadai adalah argumentasi yang kesimpulannya
didasarkan pada data atau fakta yang tak memadai. Misalnya, generalisasi berdasarkan
sampel yang terlalu kecil atau menggunakan sampel tertentu untuk membuat kesimpulan
tentang populasi yang berbeda.
9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif4
Kesalahan-kesalahan yang dibahas di pasal ini merupakan ringkasan dari jenis-jenis
kesalahan yang dapat terjadi dalam pengambilan kesimpulan secara induktif. Kesalahankesalahan itu sering disebut dengan nama yang cukup umum dalam percakapan sehari-hari
mengenai argumen induktif dan statistik. Namun perlu diingat bahwa memberi nama pada
jenis-jenis kesalahan dalam suatu argumen tidak sama dengan menganalisis dan
mengevaluasi argumen itu. Tidak semua orang tahu nama kesalahan. Selain itu, nama
kesalahan juga tidak selalu digunakan secara tepat dan konsisten.
Anda harus selalu siap memberikan kritik dengan cara melakukan teknik-teknik
rekonstruksi dan evaluasi yang telah dijelaskan pasal-pasal sebelumnya. Jika Anda
menyebutkan bahwa suatu argumen mengandung kesalahan tertentu, Anda harus siap untuk
menjelaskan apa arti nama kesalahan yang Anda sebutkan itu, dan untuk menunjukkan letak
premis atau kesimpulan yang patut dipertanyakan.
4
Pasal tentang kesalahan umum dalam penalaran induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali,
The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A.
Wirawan.

109

9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif


Kita tahu banyak hal tentang dunia ini. Dari semua pengetahuan yang kita miliki, sebagian
besar kita peroleh dari pengalaman dan dokumentasi mengenai pengalaman orang lain. Tanpa
pengetahuan empiris, kita tidak mungkin bertahan hidup. Pada akhirnya, kita mendasarkan
pengetahuan empiris kita pada penalaran induktif. Untungnya, dunia kita cukup seragam dan
tearatur sehingga pengetahuan yang kita peroleh dengan cara ini cukup kokoh. Misalnya, kita
tahu bahwa kita tidak dapat terbang ke luar angkasa, bahwa roti yang kita makan tidak bisa
tiba-tiba berubah menjadi kodok, bahwa tanah yang kita injak akan tetap diam di bawah kaki
kita. Ini semua adalah bagian dari dunia yang kita kenal baik.
Deduksi memungkinkan kita memastikan kebenaran pengetahuan kita hanya jika kita
yakin akan kebenaran premis-premisnya. Informasi yang terdapat dalam kesimpulan deduksi
tidak melampaui informasi yang terdapat dalam premis-premis asal kesimpulan itu. Pada
akhirnya, agar dapat mendukung premis-premis dalam argumen deduktif dan untuk
menambah informasi empiris kita, kita harus mengandalkan induksi.
Kita tidak perlu menolak suatu kesimpulan induktif semata-mata karena buktibuktinya tidak dapat menjamin kebenaran kesimpulan itu. Jaminan memang bukan
karakteristik induksi, dan kita jangan menilai argumen induktif dengan standar deduktif. Kita
jangan terlalu skeptis dalam menghadapi suatu argumen induktif, cukup kalau kita
menerapkan keraguan yang masuk akal (reasonable doubt). Batasan suatu keraguan yang
masuk akal tergantung pada konteks argumen, dan terutama pada konseksuensi dari diterima
atau ditolaknya kesimpulan dari argumen itu. Standar keraguan yang masuk akal dalam
menerima suatu gosip yang tidak berbahaya, atau bertaruh kecil-kecilan pada balap kuda,
jangan dibuat setinggi standar pada saat memutuskan apakah seseorang bersalah dalam suatu
pengadilan kriminal.
Jadi, jika kita sudah secara berhati-hati mengevaluasi bukti-bukti dalam suatu
argumen dan telah mempertimbangkan hipotesis-hipotesis rival yang paling mungkin, dan
jika argumen itu lolos semua tes yang kita lakukan, maka kita boleh menerima
kesimpulannya. Jika kita mau, kita dapat mengawali pernyataan kita dengan kata-kata seperti
sejauh pengetahuan saya atau kecuali ada tambahan bukti yang bertentangan. Dengan
melakukan hal itu, tidak ada orang yang dapat mengatakan pemikiran kita salah. Mereka
boleh saja mengkritik kita karena telah mengabaikan hipotesis rival yang mungkin atau
karena kurang banyak mempertanyakan bukti yang ada. Tetapi kita tidak dapat dituduh

110

melakukan penalaran yang buruk ketika kita menarik suatu kesimpulan yang didukung
dengan baik namun tidak dijamin oleh premis-premisnya.
Jika ada yang mengkritik kita dengan mengatakan bahwa kita telah melakukan
penalaran yang buruk, maka kritik itu sendiri sudah merupakan pemikiran yang buruk. Harus
dicamkan bahwa menilai induksi dengan standar deduksi adalah suatu kesalahan. Standar itu
tidak mungkin dicapai. Jika kita terus mengikuti standar itu, kita tidak akan pernah memiliki
banyak pengetahun yang dapat kita yakini.
Satu latihan yang baik agar kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan ini adalah
dengan memikirkan kembali keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Kita akan mendapati
bahwa kebanyakan dari keyakinan kita tidak didukung oleh argumen deduktif yang baik dan
kuat. Keyakinan-keyakinan itu belum terbukti sepenuhnya, tetapi kita tetap bertindak atas
dasar itu dengan cukup percaya diri.
Tuntutan yang keterlaluan biasanya muncul ketika kita menilai pernyataan orang lain.
Ini adalah kesalahan yang umum pada orang yang baru belajar logika. Kesalahan ini dapat
menyangkut penalaran induktif apa pun, dan dari jenis yang mana pun. Kesalahan-kesalahan
induktif yang akan dibahas selanjutnya dalam pasal ini akan berlaku lebih spesifik.

Latihan 8.1 (Mendukung Pernyataan dengan Deduksi dan Induksi)


1. Sebutkan lima pernyataan penting tentang dunia yang Anda yakini kebenarannya tanpa
keragu-raguan, tetapi yang Anda yakin tidak dijamin dengan penalaran deduktif.
2. Untuk masing-masing pernyataan berikut, jika Anda yakin bahwa pernyataan itu benar,
sebutkan apakah Anda akan membuat argumen yang mendukungnya dengan dasar
deduksi atau induksi, dan gambarkan secara singkat bagaimana Anda membuat argumen
itu. Sebaliknya, jika Anda yakin pernyataan itu salah, pilih dan buatlah argumen untuk
negasi dari pernyataan tersebut. Jika Anda merasa bahwa pernyataan itu tidak benar dan
tidak salah, jelaskan mengapa.
(1) Ratu Inggris adalah seorang perempuan.
(2) Paus Yohanes Paulus menentang aborsi.
(3) Sinterklas benar-benar ada.

111

9.2 Kesalahan Generalisasi


9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan Kecelakaan)
Kesalahan ini merupakan kesalahan yang sering dilakukan. Kita seringkali senang
merapikan dunia dengan memasukkannya dalam kategori-kategori dan menggeneralisasi
pengalaman kita. Namun generalisasi harus dilakukan dengan berhati-hati. Bahkan
generalisasi dalam ilmu pengetahuan yang dibuat dengan sangat hati-hati pun sering kali
salah.
Karena bukti-bukti dalam suatu argumen induktif sejalan dengan lebih dari satu
kesimpulan, kita menarik kesimpulan yang lebih lemah atau lebih kuat, atau bahkan
kesimpulan yang bertentangan, berdasarkan bukti yang sama. Kesimpulan mana yang kita
tarik tergantung pada interpretasi kita mengenai data dan sejauh mana kita berhati-hati. Kita
melakukan kesalahan generalisasi yang terburu-buru jika kita memilih untuk menarik
kesimpulan yang umum dari data yang kurang. Kita juga melakukan kesalahan yang sama
jika kita membuat generalisasi yang lebih kuat atau lebih luas daripada yang diijinkan oleh
bukti-bukti yang ada, atau membuat generalisasi dari informasi yang tidak lengkap.
Kesalahan itu merupakan akibat dari pembuatan generalisasi berdasarkan bukti yang
tidak cukup, tidak lengkap, atau bias. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Ya, saya tahu Mike baru dioperasi. Tapi itu, kan, sudah lebih dari sebulan yang
lalu, dan dia tentunya sudah sembuh sekarang. Masalahnya adalah dia
seharusnya menyerahkan laporannya sekarang. Ini cukup menunjukkan bahwa
kita tidak akan pernah dapat mengandalkan Mike untuk melakukan pekerjaannya
dengan benar.
(2) Saya sudah bertemu dengan hampir setengah dari anggota perkumpulan itu
waktu saya mau mendaftar di sana. Semuanya pemabuk dan memakai obat. Ya,
saya yakin mereka semua pasti seperti itu. Makanya, kamu jangan banyak
bergaul dengan Sam. Dia, kan, anggota perkumpulan itu.
Dalam masing-masing contoh itu, si pembicara menarik kesimpulan yang tidak tepat.
Pada contoh (1), si pembicara menggeneralisasi bahwa berdasarkan satu kesalahan yang
dilakukan Mike kita tidak akan pernah dapat mengandalkannya. Ini saja sudah merupakan
generalisasi yang terburu-buru. Namun seandainya si pembicara mempunyai lebih banyak
contoh mengenai ketidakbertanggungjawaban Mike pun, kesimpulannya tetap tidak tepat
karena dia tidak memperhatikan kondisi Mike. Dia tahu bahwa Mike baru dioperasi, tapi
tidak mencari tahu apakah Mike mengalami komplikasi yang memperlama masa
penyembuhannya. Ini merupakan informasi yang relevan, dan si pembicara seharusnya tidak
112

menarik kesimpulan mengenai keterandalan Mike dengan informasi yang tidak lengkap. Dia
belum mengetahui semua faktanya.
Pada contoh (2), hampir setengah populasi memang merupakan sampel yang cukup
besar untuk mengambil kesimpulan mengenai perkumpulan itu. Tetapi si pembicara
menggeneralisasi semua anggota perkumpulan itu pemabuk dan pemakai obat. Ini penting
karena dia lalu mencela anggota lain berdasarkan kesimpulan ini. Jelas bahwa pernyataan
universal mengenai semua anggota tidak tepat. Kesimpulan ini terlalu kuat, walaupun
sampelnya cukup besar. Terlebih lagi, dia bertemu dengan anggota yang mengurus
pendaftaran. Ini mungkin merupakan informasi yang relevan. Orang-orang ini mungkin
melebih-lebihkan kebiasaan mereka agar dapat menarik perhatian calon anggota baru. Jadi,
bukti yang didasarkan pada perilaku anggota yang sedang melakukan rekrutmen mungkin
kurang dapat diandalkan. Si pembicara seharusnya tidak menggunakannya untuk melompat
ke kesimpulan yang universal.

Menanggapi Generalisasi yang Terburu-buru


Cara terbaik untuk mengalahkan generalisasi yang terburu-buru adalah dengan menemukan
bukti yang berlawanan atau argumen yang berlawanan untuk menunjukkan bahwa
kesimpulan si pembicara salah. Generalisasi universal merupakan generalisasi yang paling
mudah digugurkan. Tetapi bukti yang berlawanan tidak selalu tersedia, dan orang yang
melakukan generalisasi yang terburu-buru sering kali menolak bukti yang berlawanan itu jika
generalisasi yang mereka lakukan tidak universal (tetapi terburu-buru). Jadi, kita harus
mencoba meyakinkan si pembicara bahwa kesimpulannya tidak tepat dengan cara
mengomentari kesalahan bukti atau sampelnya yang bias.
Kita mungkin perlu mengajarinya mengenai bagaimana membuat kesimpulan yang
lebih tepat atau yang lebih lemah. Lalu kita dapat mengajaknya menerima kesimpulan yang
lebih lemah berdasarkan bukti yang ada, kemudian menunjukkan bahwa ada alternatif
kesimpulan lain yang mungkin benar. Jika kesimpulannya sama sekali mengawur, proses
yang gradual ini mungkin dapat membantu kita mengajaknya meninggalkan kesimpulan itu.
9.2.2 Kesalahan Kecelakaan
Kita

hidup

berdasarkan

aturan

dan

generalisasi

yang

mengatur

perilaku

kita,

mengorganisasikan pengalaman kita, dan membantu kita meringkas pengetahuan kita. Tetapi
generalisasi sering kali mempunyai kekecualian. Bahkan hukum yang paling tepat pun

113

mempunyai batas-batas penerapan, dan untuk menentukan kapan hukum itu dapat diterapkan
dan kapan tidak, dibutuhkan keterampilan profesional.
Kesalahan ini muncul ketika suatu prinsip umum salah diterapkan pada contoh atau
situasi yang sebenarnya tidak termasuk dalam prinsip umum tersebut. Si pembicara
menerapkan generalisasi atau aturan secara salah supaya kesimpulannya yang kurang tepat
dapat diterima, atau untuk memaksakan kepatuhan pada aturan itu. Si pembicara sering kali
menganggap bahwa aturan atau prinsip itu tanpa kekecualian dan menolak, untuk
mempertimbangkan bahwa mungkin ada kasus yang sangat luar biasa sehingga jatuh di luar
jangkauan prinsip itu.
Sebagian orang menganggap ini merupakan kebalikan dari kesalahan generalisasi
yang terburu-buru. Generalisasi yang terburu-buru bergerak dari kasus yang tidak umum atau
tidak representatif ke generalisasi yang tidak tepat. Kesalahan kecelakaan menerapkan suatu
generalisasi pada kasus yang tidak umum atau kecelakaan yang sebenarnya tidak termasuk
dalam generalisasi itu. Kesalahan ini dapat terjadi, baik pada argumen deduktif maupun
induktif. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Begini, Bu. Saya tahu anak Ibu berusia 12 bulan. Tapi aturan di bioskop ini jelas.
Tidak ada orang yang berusia di bawah 18 tahun yang boleh menonton film untuk
orang dewasa. Jadi, Ibu lebih baik pulang saja.
(2) Orang tua sebaiknya tidak menipu anaknya dengan mengatakan hal-hal yang tidak
benar. Jadi, Anda bersalah jika mengatakan pada anak Anda bahwa Sinterklas
membawa hadiah untuk mereka sementara sebenarnya Andalah yang membeli hadiah
itu.
Dalam masing-masing kasus di atas, si pembicara menerapkan prinsip umum pada kasus
kekecualian yang sebenarnya tidak termasuk. Pada contoh (1), kita tahu bahwa larangan
menonton film orang dewasa berlaku bagi anak-anak di bawah umur yang sudah bisa
menonton film dan yang mungkin mendapat pengaruh buruk dengan melihat film itu. Bayi
sebenarnya tidak termasuk di dalamnya, tetapi si penjaga bioskop memberlakukan aturan itu
secara kaku. Berdasarkan penerapan aturan secara salah, dia mengambil kesimpulan yang
tidak tepat, yaitu bahwa ibu itu harus pergi dengan bayinya.
Pada contoh (2), aturan moral yang melarang kita untuk berbohong diterapkan secara
salah pada mitos anak-anak tentang Sinterklas. Kita memperkaya hidup kita dengan mitos,
permainan, cerita, dan drama. Kita biasanya tidak menerapkan prinsip bahwa berbohong itu
salah pada fiksi anak-anak yang menyenangkan. Namun, si pembicara bersikukuh

114

melakukannya. Dia menerapkan prinsip yang baik pada kasus yang tidak tepat. Kesalahan ini
sering kali dilakukan oleh orang yang dogmatis dan birokrat.

Menanggapi Kesalahan Kecelakaan


Sayangnya, orang yang melakukan kesalahan ini mungkin akan bersikeras dan tidak mau
mendengarkan penjelasan kita. Tanggapan terbaik adalah mencoba membuat si pembicara
paham bahwa aturan atau prinsip itu sengaja dibuat samar-samar. Kebanyakan aturan atau
hukum tidak dapat mencakup semua keadaan yang mungkin terjadi. Pembuat hukum
memperhitungkan hal ini dengan cara sengaja menyediakan ruang untuk interpretasi si
penerap hukum pada waktu membuat hukum tertulis.
Kemudian kita dapat mencoba membuat si pembicara memahami tujuan yang
diinginkan oleh aturan tersebut. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan bahwa dia
menghalangi dicapainya tujuan itu, atau dia menghalangi dicapainya tujuan lain yang lebih
penting, jika dia bersikeras menerapkan aturan itu secara salah. Untuk itu mungkin Anda
perlu mengemukakan prinsip lain yang lebih tinggi, yang tujuannya harus didahulukan
daripada tujuan aturan yang diperdebatkan.
Cara lain adalah mencoba menemukan situasi yang sangat tidak umum sehingga dia
terpaksa menerima kekecualian untuk aturannya. Misalnya, si pembicara memegang prinsip
bahwa orang harus menghindari obat terlarang, khususnya morfin. Ajukan kasus seseorang
yang jantungnya harus dioperasi: apakah pasien itu tidak boleh mendapatkan morfin sebagai
obat bius? Jika dia setuju bahwa morfin boleh dipakai dalam kasus itu, kita dapat mulai
mendiskusikan kapan aturan itu dapat diterapkan dan kapan tidak. Ini adalah sebuah langkah
besar.
Jika hal itu sulit dilakukan, carilah contoh aturan lain yang disetujuinyatetapi ada
kekecualiannya yang jelasyang pasti akan diterimanya. Ini dapat menunjukkan kepadanya
melalui analogi bahwa dalam aturan yang begitu keras dipegangnya itu pun mungkin ada
kekecualian. Jika dia tidak mengakui adanya kekecualian pada aturan mana pun,
menyerahlah!

Latihan 9.2 (Kesalahan Generalisasi)


Untuk masing-masing soal berikut ini, coba cari si pembicara ingin membujuk kita untuk
meyakini apa? Lalu jelaskan apakah ada kesalahan dalam soal itu dan apa kesalahannya.
Akhirnya, sebutkan nama kesalahan yang terjadi.
115

1. Saya sudah minta Dorothy pergi dengan saya dua kali. Dia selalu menolak dengan
mengatakan bahwa dia ingin pergi dengan teman-teman kelas baletnya. Jelaslah bahwa
dia dan teman-teman baletnya tidak suka dekat-dekat dengan laki-laki.
2. Jelas bahwa sebagian besar orang California setuju dengan aborsi. Pada survei di daerah
perumahan West Hollywood, 89% menjawab bahwa perempuan seharusnya punya hak
untuk meminta aborsi, dan negara harus menyediakan dana bagi perempuan yang tidak
mampu membayar.
3. Memang benar, Pak. Saya tahu istri Bapak sakit dan Bapak merasa harus mengemudi
dengan cepat sampai-sampai melanggar batas kecepatan maksimal. Tetapi tugas saya
adalah menegakkan hukum. Hukum kita jelas. Jadi, saya terpaksa menilang Bapak karena
mengebut. Tolong tanda tangani formulir tilang ini, Pak, lalu Bapak boleh pergi. Istri
Bapak kelihatannya sudah parah.
9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah
9.3.1 Kesimpulan Yang Tidak Relevan
Kesalahan karena kesimpulan yang tidak relevan muncul ketika orang menarik kesimpulan
yang salah dari bukti yang ada. Biasanya bukti yang ada itu dapat digunakan untuk
mendukung kesimpulan yang berhubungan atau mirip, sehingga kesalahan ini sulit dilacak.
Walaupun dapat terjadi, baik dalam penalaran deduktif maupun penalaran induktif, kesalahan
ini lebih sering muncul pada penalaran induktif karena konteksnya lebih rumit sehingga kita
lebih mungkin menarik kesimpulan yang salah. Perhatikanlah contoh kasus berikut ini.
(1) Buktinya jelas. Mark selalu bekerja keras. Dia adalah seorang pemuda yang
tegas dan cinta tanah air. Dia sopan, tulus, dan tidak pernah berpikiran buruk
tentang orang lain. Jadi, dia pasti cocok masuk ke fakultas kedokteran.
(2) Masyarakat Amerika pasti senang dengan pemerintah yang sekarang. Lima
puluh lima persen responden kami menjawab Ya ketika ditanya Apakah
Anda merasa lebih sejahtera sekarang daripada empat tahun yang lalu?
Dalam masing-masing kasus, si pembicara menarik kesimpulan yang sangat tidak
relevan dengan bukti yang tersedia. Pada contoh (1), karakteristik pribadi Mark yang
disebutkan sebagai bukti mungkin membuat Mark termasuk kategori orang baik, tapi tidak
cukup dan bahkan tidak perlu untuk membuatnya calon mahasiswa kedokteran yang berhasil.
Jika kita tidak mempunyai bukti tentang nilai dan bakat Mark di bidang kedokteran, kita
jangan menerima ajakan si pembicara untuk menarik kesimpulan yang salah.
116

Pada contoh (2), tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang ada. Pertama,
kata senang merupakan kesimpulan yang buruk jika tidak tercakup di dalam pertanyaan
survei. Kedua, kalaupun pertanyaan survei itu Apakah Anda merasa lebih senang, term
itu tetap terlalu luas untuk digunakan. Yang lebih parah lagi, kita tidak tahu siapa yang
menjadi percontoh survei itu. Siapa tahu, mereka adalah keluarga presiden semua, sementara
si pembicara membuat pernyataan tentang seluruh masyarakat.
Walaupun informasinya dapat diandalkan dan percontohnya baik, kita sebaiknya tidak
menarik kesimpulan mengenai seorang individu berdasarkan jawaban kuesioner. Bukti ini
hanya dapat menjamin satu kesimpulan, yaitu bahwa 55% dari populasi yang diwakili oleh
sampelnya yang menjawab Ya atas pertanyaaan yang diajukan itu. Singkatnya,
kesimpulannya sama sekali tidak relevan dengan premisnya.
Menanggapi Kesalahan Kesimpulan yang Tidak Relevan
Kalau kita dapat mengidentifikasi adanya kesalahan itu dalam suatu argumen, tanggapannya
mudah. Kita tinggal berkeras bahwa si pembicara tetap pada buktinya. Jika dia ingin kita
menerima kesimpulannya, dia harus memberikan argumen. Dengan melakukan kesalahan ini,
berarti dia tidak memberikan argumen yang logis. Masalahnya adalah bagaimana
mengidentifikasi kesalahan ini. Satu-satunya cara agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan
ini adalah dengan melatih ketelitian dalam menilai bukti.

9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan


Kesalahan karena bukti yang ditahan terjadi ketika pembicara menarik kesimpulan yang tidak
tepat dengan mengabaikan, menahan, atau meminimalkan derajat pentingnya suatu bukti
yang

bertentangan

dengan

kesimpulan.

Kesalahan

ini

tidak

hanya

mencakup

disembunyikannya suatu bukti secara sengaja supaya kesimpulannya diterima, tetapi juga
yang tidak disengaja. Kasus tidak sengaja sering terjadi ketika keyakinan sudah sedemikian
kuatnya sehingga kita menolak mempertimbangkan bukti apa pun yang mungkin
bertentangan. Kesalahan ini juga termasuk tidak ditelitinya berbagai sudut pandang dari
sebuah topik sehingga kesimpulan ditarik secara tidak adil bagi pihak-pihak tertentu.
Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Tidak ada orang waras yang akan mau tinggal di San Fransisco. Di situ
banyak kabut dan lembab. Lalu tempatnya berbukit-bukti curam sehingga
menyetir menjadi berbahaya sekali. Belum lagi gempa bumi yang selalu siap

117

menyerang. Jadi, jelas bahwa sama sekali tidak ada alasan mengapa orang
akan senang tinggal di San Fransisco.
(2) Frank, kita akan menghadapi jaksa penuntut yang keras. Kita akan kalah
kalau dia tahu bahwa ada saksi yang melihat perampokan ini. Kita memang
sudah tahu, tapi itu tugas dia untuk mencari tahu. Jadi, argumen kita tidak
akan menyinggung-nyinggung kemungkinan adanya saksi mata, ya?
Pada contoh (1), si pembicara, baik sengaja ataupun tidak, hanya berfokus pada aspek
yang tidak menyenangkan dari San Fransisco. Jika memang cuma itu yang ada di San
Fransisco, maka dia mempunyai argumen yang kuat. Tetapi dia tidak mempertimbangkan
kelebihan hidup di San Fransisco. Dari akal sehat saja kita tahu bahwa tidak mungkin kota itu
hanya mempunyai kejelekan melulu. Jadi, kita belum dapat menerima kesimpulannya; kita
masih membutuhkan informasi lebih lanjut untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang lebih
tepat.
Pada contoh (2), si pengacara menyatakan bahwa dia akan menahan suatu bukti. Orang
mungkin berpikir bahwa argumen apa pun yang dihasilkan dalam kondisi seperti ini pasti
mengandung kesalahan bukti yang ditahan. Tetapi dalam sistem peradilan kita, hal itu tidak
salah. Jaksa penuntut harus membuktikan kesalahan terdakwa. Tugas mereka adalah
mengumpulkan bukti-bukti. Jika si pengacara mengungkapkan bukti yang memberatkan
kliennya, maka si pengacara justru telah melanggar kewajibannya terhadap kliennya. Maka,
dalam keadaan ini, si pengacara tidak bersalah menahan bukti.
Menanggapi Kesalahan Bukti yang Ditahan
Dalam situasi yang kooperatif, lebih baik kita mengajukan semua bukti yang relevan
sehingga suatu kesimpulan yang logis dapat ditarik. Untuk memperoleh kebenaran, memang
diperlukan semua bukti yang relevan. Dalam situasi seperti ini, bukti yang tertahan lebih
mungkin merupakan akibat kecerobohan dan sudut pandang yang terlalu sempit. Diskusi
yang jujur, terbuka, dan terstruktur biasanya dapat menunjukkan hal apa yang masih terlewat.
Memang sulit sekali untuk tetap rasional tanpa terpengaruh oleh emosi pada saat
bertentangan pendapat dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam situasi demikian, kita harus
berusaha mempertanyakan pandangan kita sendiri. Kita harus berusaha keras menemukan
bukti yang bertentangan yang mungkin dapat menggugurkan kesimpulan kita. Kita juga harus
mencoba menemukan argumen yang paling kuat yang mendukung sudut pandang lawan kita.
Usaha ini dapat membantu memastikan bahwa tidak ada bukti yang tertahan dan penalaran
yang salah dapat diminimalkan.
118

9.4 Kesalahan Statistikal


Metodologi statistik dikembangkan terutama untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang
dibahas di sini. Jadi, kemungkinannya kecil bahwa seorang ahli statistik yang kompeten dan
profesional akan melakukan kesalahan ini. Namun, dunia adalah suatu tempat yang rumit.
Dan bahkan seorang profesional yang sangat berhati-hati pun kadang-kadang tanpa sengaja
mengabaikan kondisi yang sebenarnya membuat data mereka menjadi bias atau menarik
kesimpulan yang melampaui data yang ada. Kesalahan ini lebih umum dibuat dalam
penelitian yang dilakukan oleh para amatiran atau mereka yang kekurangan dana sehingga
tidak dapat melakukan penelitian secara mendetil. Kesalahan ini pun sering muncul dalam
argumen sehari-hari, yaitu yang mengambil kesimpulan secara terburu-buru dari pengalaman
pribadi saja. Dalam usaha kita untuk memahami dunia, kita sering kali kurang teliti. Dua
kesalahan pertama dari tiga yang akan kita bahas sering disebut kesalahan pemercontohan
(sampling error).
9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias)
Kesalahan ini dilakukan ketika data yang digunakan untuk menarik kesimpulan statistik
diambil dari sampel yang tidak representatif terhadap populasi. Ahli statistik profesional
mencoba menghilangkan bias ini melalui pemercontohan acak (random sampling) dan teknik
pemercontohan lain. Percontoh yang tidak dipilih secara acak merupakan percontoh yang bias
dan tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai populasi.
(1) Kami yakin bahwa kebanyakan akademisi akan lebih senang jika mereka
mempunyai akses ke komputer pribadi mereka dari universitas. Kesimpulan ini
kami dapatkan karena 90% dari responden kuesioner yang kami sebarkan
melalui e-mail menjawab Ya atas pertanyaan, Apakah Anda akan lebih
senang jika ada komputer pribadi di kantor Anda?
(2) Waktu saya di Paris, saya hampir selalu diperlakukan dengan kasar oleh
pelayan ketika makan di restoran. Ya, orang Perancis memang sangat kasar
pada orang Amerika. Saya sangat tidak menyarankan kamu berlibur ke
Perancis musim panas ini.
Semua argumen pada contoh di atas kelihatannya didasarkan pada prosedur penelitian
yang sangat amatir. Kesimpulannya ditarik berdasarkan percontoh yang sangat bias. Pada
contoh (1), sampelnya bias karena tidak semua akademisi mempunyai e-mail. Jadi, tidak
semua akademisi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Selain itu,
akademisi yang menggunakan e-mail kemungkinan besar akan bias ke arah menyukai akses
119

komputer yang lebih banyak. Jadi, sampel berupa pengguna e-mail tidak representatif untuk
semua akademisi. Kesimpulan ini seharusnya diperlemah menjadi populasi akademisi
pengguna e-mail saja.
Pembicara pada contoh (2) melakukan kesalahan berupa perumusan argumen yang
lebih didasarkan pada prejudis dan emosi pribadi daripada penalaran. Kesimpulannya tentang
semua orang Perancis didasarkan pada percontoh sejumlah pelayan Paris yang melayaninya
di restoran. Percontoh ini bias dalam beberapa aspek. Pertama, sebagian dari populasi orang
Perancis, misalnya yang bukan penduduk Paris, tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi
sampel. Kedua, percontoh ini bias, bahkan untuk penduduk Paris sekalipun karena tidak
semua penduduk Paris menjadi pelayan, dan otomatis tidak termasuk sampel. Karena kita
tidak tahu batasan perilaku yang kasar menurut pembicara, dan kita juga tidak tahu di
restoran seperti apa dan bagaimana perilaku si pembicara sendiri ketika dia memperoleh data
itu, maka sampelnya sama sekali tidak berguna, bahkan untuk populasi pelayan Paris.
Akhirnya, karena kita tidak tahu berapa banyak pelayan yang kasar kepadanya, sampelnya
bisa saja terlalu kecil. Dan ini mengarahkan kita ke kemungkinan sumber kesalahan
pemercontohan (sampling) berikutnya.
9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Statistik yang Tidak Cukup)
Kesalahan ini terjadi ketika pembicara menggunakan sampel yang terlalu kecil sehingga
kesimpulannya tidak dapat dipercaya. Kesalahan ini juga terjadi ketika kesimpulannya sangat
dipercayai sementara ukuran sampelnya sedang-sedang saja. Dalam penelitian statistik yang
profesional, ukuran sampel ditentukan sedemikian rupa untuk mengurangi batas kesalahan
yang mungkin terjadi pada kesimpulan.
Dalam situasi sehari-hari, sampel yang besar biasanya membantu mengurangi
kemungkinan bias. Makin banyak observasi yang kita lakukan, makin kecil kemungkinan
observasi yang kita lakukan menjadi bias. Tetapi kita sering kali terlalu tidak sabar dan
ceroboh sehingga tidak menarik kesimpulan hanya dengan sampel yang tidak cukup besar
dan bias, melainkan juga berdasarkan bukti yang terlalu sedikit. Di pihak lain, kita sering kali
terpaksa membuat keputusan secara cepat sementara kita tidak mempunyai cukup waktu
untuk melakukan penelitian yang mendalam. Kita harus bertindak berdasarkan informasi
yang ada. Dalam situasi seperti itu, hal yang terbaik adalah bertindak berdasarkan informasi
yang kita miliki walaupun tidak lengkap. Hanya saja harus disadari bahwa kesimpulan kita
itu sangat mungkin lemah. Perhatikanlah contoh berikut.

120

(1) Saya bertemu Larry kemarin, dan dia sangat menyebalkan. Dua kali saya
mencoba bercakap-cakap dengannya, dan dia selalu cemberut dan menggerutu.
Kemudian ketika saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya, dia mengabaikan
saya dan pergi. Jelas bahwa kepribadiannya sangat tidak menyenangkan. Saya
tidak mau berurusan apa pun dengannya lagi.

(2) Saya bertemu Larry hari ini, dan dia menyebalkan. Dua kali dia bersikap kasar
kepada saya, dan pada kesempatan ketiga dia mengabaikan saya ketika saya
mengajukan satu pertanyaan kepadanya. Mungkin dia sedang tidak enak hati.
Jadi, saya tidak akan mendekatinya lagi hari ini. Tetapi saya perlu bantuannya
segera, jadi saya akan coba lagi besok, mungkin mood-nya sudah bagus. Saya
akan mendekatinya dengan sangat hati-hati. Dia sedang punya masalah, ya?
Atau dia memang selalu begitu?
(3) Ya, penelitian ilmiah yang dilakukan para ahli dengan sampel anak-anak SD
menunjukkan bahwa 95% dari kelompok uji kami ternyata lubang giginya lebih
sedikit setelah menggosok gigi dengan Grit secara teratur. Jadi, pastikan bahwa
anak-anak Anda menggunakan pasta gigi Grit.

Pada contoh (1), pembicara melakukan kesalahan yaitu menarik kesimpulan yang
terlalu kuat berdasarkan sampel yang terlalu kecil. Tiga kali observasi atas perilaku seseorang
tidak cukup untuk menarik kesimpulan mengenai populasi yang mencakup seluruh
perilakunya secara umum. Karena observasinya berlangsung pada waktu yang sangat
berdekatan dan dua kejadian yang pertama mungkin mempengaruhi yang ketiga, maka si
pembicara juga mungkin melakukan kesalahan percontoh yang bias.
Kesalahan pada contoh (1) menjadi jelas ketika kita membahas contoh (2). Di sini
pembicara tidak menarik kesimpulan umum mengenai semua perilaku Larry. Dia membatasi
kesimpulannya hanya pada populasi perilaku Larry hari ini. Dengan sampel yang ada,
kesimpulannya lebih dapat dipercaya. Dan dia memang masih berencana untuk membuat
lebih banyak observasi pada hari berikutnya. Karena dia perlu berinteraksi dengan Larry, dia
menggunakan data-data yang sudah dimilikinya untuk membuat keputusan mengenai
bagaimana dia harus berperilaku terhadap Larry di kemudian hari. Dia juga mencari
informasi mengenai Larry untuk membantunya menginterpretasi hasil observasinya dan
menarik kesimpulan yang lebih dapat dipercaya. Jadi, dia menarik kesimpulan yang tentatif
atau yang lebih lemah dulu untuk menentukan bagaimana dia harus bertindak dan mencoba
mengumpulkan lebih banyak data. Ini merupakan cara yang baik jika kita hanya mempunyai
data yang terbatas dengan sampel yang tidak cukup sementara kita harus bertindak sebelum
ada lebih banyak data.

121

Pada contoh (3), kita melihat jenis iklan yang cukup umum. Masalah pertama, si
pembicara tidak memberi tahu ukuran sampelnya. Dengan asumsi bahwa adanya undangundang periklanan telah memaksa perusahaan itu benar-benar melakukan penelitian dan
bukannya mengada-ada tentang data itu, kita tetap harus meragukan laporan hasilnya karena
sangat mungkin kesimpulan ini didasarkan pada sampel yang tidak cukup besar dan yang
telah dipilih supaya hasilnya menguntungkan perusahaan.
9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gamblers Fallacy)
Peristiwa yang terjadinya hanya secara kebetulan, misalnya hasil lemparan koin atau dadu,
merupakan hal yang berdiri sendiri. Artinya, hasil lemparan suatu koin tidak mempengaruhi
hasil lemparan berikutnya. Kita sudah melempar koin lima ratusan sepuluh kali misalnya, dan
keluarnya selalu gambar garuda, meskipun sebenarnya probabilitas lemparan koin itu (yang
tidak berat sebelah) menghasilkan gambar garuda dan gambar melati, masing-masing 0,50.
Kesalahan penjudi mengabaikan kaidah probabilitas. Nama kesalahan ini berasal dari
kepercayaan para penjudi, yaitu bahwa keberuntungan akan berbalik kepadanya jika dia
sudah mengalami kesialan berturut-turut. Kesalahan ini terjadi ketika seseorang
menyimpulkan bahwa suatu kejadian yang sebenarnya berdiri sendiri dipengaruhi atau
probabilitas kemunculannya diubah oleh sederatan kejadian yang mendahuluinya.
Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Joe sudah menebak 20 kali dengan benar. Kali ini, dia akan salah menebak. Saya
akan bertaruh melawannya.
(2) Kita menghadapi perampok yang cukup cerdik. Dia beraksi lima atau enam kali di
satu tempat, lalu pindah ke kota lain. Ini adalah perampokannya yang keenam di
San Diego. Setelah ini dia pasti beraksi di tempat lain.
Dalam contoh (1), si pembicara melakukan kesalahan penjudi. Dua puluh kali menebak
dengan benar memang jarang terjadi. Suatu saat Joe akan salah menebak kecuali dia main
curang. Tetapi kemungkinan dia menebak benar atau salah pada lemparan dadu berikutnya
tetap sama. Si pembicara melakukan kesalahan jika dia menyimpulkan bahwa Joe pasti akan
salah kali ini, kalau pun Joe ternyata benar-benar salah menebak.
Contoh (2) kelihatannya merupakan argumen yang baik. Si pembicara mengandalkan
suatu keteraturan yang dilihatnya dalam perilaku kriminal si perampok. Dia mempunyai
alasan yang cukup baik untuk meyakini bahwa enam perampokan yang telah terjadi di San
Diego akan mempengaruhi tempat kejadian perampokan yang ketujuh. Jadi, dia tidak
122

melakukan kesalahan penjudi karena kejadian yang diprediksinya bukan kejadian yang
tergantung pada kebetulan.
Menanggapi Kesalahan Penjudi
Satu-satunya tanggapan yang dapat dikemukakan untuk menghadapi orang yang melakukan
kesalahan penjudi adalah mencoba mengajarinya tentang teori probabilitas. Kita dapat
menggunakan pengalamannya yang sudah-sudah yang menyangkut kesalahan ini, tetapi
kemungkinan besar perilakunya tetap tidak akan berubah. Jadi, hal terbaik yang dapat kita
lakukan adalah berhati-hati supaya jangan terpengaruh oleh argumen yang mengandung
kesalahan penjudi.

Latihan 8.3 (Kesalahan Statistik dan Penggunaan Bukti secara Salah)


Pada masing-masing soal berikut, tentukan si pembicara sedang mencoba mempengaruhi kita
untuk menerima apa. Jelaskan kesalahan dalam soal itu, jika ada, dan sebutkan namanya.
1. Saya pernah mencoba makan seekor kerang. Terus terang saja, kawan, tidak akan pernah
lagi, tidak akan pernah lagi.
2. Harapan hidup perempuan Amerika adalah 76 tahun. Harapan hidup laki-laki Amerika 72
tahun. Jadi, harapan hidup orang Amerika secara umum adalah 74 tahun.
3. Sudah ada jutaan orang yang meninggal, dan belum ada satu pun yang kembali untuk
memberi tahu kita tentang kehidupan setelah mati. Jadi, tunggu saja, cepat atau lambat
seseorang pasti akan datang kembali untuk memberi tahu kita tentang hal itu.
9.5 Kesalahan Kausal
Jika terdapat hubungan kausal di antara dua kejadian X dan Y, ada tiga kasus yang mungkin,
yaitu (1) X menyebabkan Y; (2) Y menyebabkan X; dan (3) X dan Y sama-sama disebabkan
oleh Z.
Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y, sementara sebenarnya Y yang
menyebabkan X, maka kita melakukan kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Jika kita
menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y atau Y menyebabkan X, sementara yang benar
ialah bahwa keduanya sama-sama disebabkan oleh Z, maka kita mengabaikan penyebab
bersama. Kedua kesalahan ini kadang-kadang disebut kesalahan penyebab-gejala.
Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y semata-mata berdasarkan fakta
bahwa X mendahului Y, maka kita melakukan kesalahan penyebab yang salah (post hoc).
123

Penyebab sering kali dibedakan menjadi necessary condition atau sufficient condition
bagi akibatnya. Jika kita salah menganggap suatu penyebab yang berupa necesarry condition
dengan penyebab yang berupa sufficient condition, atau sebaliknya, maka kita telah
mengacaukan necessary condition dengan sufficient condition.

9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat


Kesalahan ini terjadi ketika suatu hubungan kausal salah diinterpretasi. Si pembicara salah
menginterpretasi bukti sehingga menyimpulkan bahwa Y disebabkan oleh X sementara
sebenarnya Y-lah yang menyebabkan X, Kesalahan ini sering kali merupakan akibat dari
interpretasi yang ceroboh atas bukti yang tersedia dan kemalasan untuk menyelidiki lebih
lanjut sebelum menarik kesimpulan. Perhatikanlah contoh berikut.
Jika Sam mulai minum, dia jadi tidak menyenangkan. Dia tidak gembira, ingin
berhenti bekerja dan dia mengatakan dia tidak punya alasan untuk hidup.
Sungguh, dia harus berhenti minum. Minum-minum membuatnya jadi orang yang
depresi.
Dalam contoh ini, korelasi antara minum-minum yang dilakukan Sam dengan
ketidakgembiraannya belum menunjukkan bahwa minum-minumlah yang menyebabkan
ketidakgembiraannya itu. Kemungkinannya sama besar bahwa karena tidak gembira dia
minum-minum. Si pembicara perlu menyelidiki dan mencari bukti lebih lanjut untuk
mencoret kesimpulan rival ini. Kesalahan ini lebih mudah dihindari jika akibatnya jelas
terpisah dari sebab, dan timbulnya setelah sebab. Kita paling mungkin melakukan kesalahan
ini ketika sebab dan akibatnya merupakan kondisi yang terjadi bersamaan atau ketika akibat
timbul dalam jangka panjang. Situasi yang kompleks membutuhkan analisis yang hati-hati
dan cermat sebelum kita dapat mengambil kesimpulan yang paling mungkin.

Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Sebab dan Akibat


Jika si pembicara hanya ceroboh dalam menilai bukti yang ada, kita cuma perlu menunjukkan
kepadanya bahwa bukti yang ada juga dapat mendukung hubungan kausal yang sebaliknya.
Lalu usulkan bahwa dia perlu melakukan penelitian lebih lanjut sebelum menarik
kesimpulan. Jika dia menolak usulan itu dan mengajukan argumen kausal yang spekulatif
untuk mendukung interpretasinya atas data yang ada, coba tunjukkan bahwa hubungan kausal
yang diajukannya itu memang hanya spekulasi saja yang tidak didukung oleh data empiris.

124

Mintalah dia memberikan data empiris, lalu nilailah data yang diberikannya. Siapa tahu,
mungkin kesimpulannya dapat diterima.
9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama
Kesalahan karena mengabaikan penyebab bersama terjadi ketika seorang pembicara
menyimpulkan bahwa X adalah penyebab Y sementara sebenarnya keduanya merupakan
akibat dari sebab lain. Kesalahan ini dan pengacauan sebab dan akibat juga disebut kesalahan
penyebab-gejala. Contoh berikut akan menunjukkan mengapa disebut demikian.
Jimmy demamnya sangat tinggi. Itu yang menyebabkan wajahnya berbintik-bintik
merah.
Dalam contoh itu, si pembicara menyimpulkan bahwa demam Jimmy menyebabkan bintikbintik merah di wajahnya. Walaupun mungkin saja hal itu benarkarena memang ada orang
yang kulitnya jadi berbintik-bintik merah jika dia demamnamun kesimpulan ini tidak dapat
dipercaya tanpa bukti lebih lanjut. Jika Jimmy menderita cacar air, maka baik demam
maupun bintik-bintiknya merupakan akibat atau gejala dari penyakit Jimmy. Jadi, sama
seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, tanggapan kita selalu adalah bahwa
kita membutuhkan lebih banyak bukti dan analisis dalam suatu situasi yang kompleks
sebelum kita dapat mempercayai kesimpulan apa pun.
Menanggapi Kesalahan Mengabaikan Penyebab Bersama
Sama seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, kesalahan ini sering kali
merupakan akibat dari kurang sadarnya pembicara bahwa hubungan dan kondisi kausal boleh
jadi merupakan masalah yang rumit, dan bahwa kita seharusnya menarik kesimpulan hanya
setelah menilai data dengan sangat hati-hati. Namun, bahkan dengan berhati-hati pun, tetap
ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam situasi kausal yang kompleks sehingga
kesimpulan kita harus tetap tentatif.
Oleh sebab itu, tanggapan kita atas kesalahan ini seharusnya sama dengan tanggapan
atas kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Kita mencoba untuk memaksa si pembicara
menilai kembali buktinya atau memberi bukti empiris yang mendukung analisisnya. Kita
menyediakan alternatif hubungan kausal untuk menjadi tandingan bagi kesimpulannya.
Perbedaannya adalah, kita bukan memaksanya mengakui kemungkinan bahwa hubungan
kausalnya terbalik, tapi bahwa ada faktor penyebab yang terabaikan.

125

9.5.3 Kesalahan Penyebab Yang Salah (Kesalahan Post Hoc)


Cukup sering kita jumpai satu contoh kejadian kausal saja sudah cukup bagi kita untuk
menarik kesimpulan yang benar mengenai apa yang terjadi. Kita melihat sebuah bom jatuh
dengan akibat ada ledakan. Kita menyentuh kompor yang menyala dan tangan kita terbakar.
Dalam kasus-kasus seperti ini, kita bahkan tidak mempertanyakan hubungan kausal antara
kejadian-kejadian itu. Pengetahuan umum kita tentang dunia dapat digunakan untuk
menjelaskan hubungan kausal pada kejadian-kejadian itu.
Kesalahan penyebab yang salah juga disebut kesalahan post hoc, ergo propter hoc. Ini
merupakan kata-kata dalam bahasa Latin yang artinya sesudah ini, maka, karena ini. Orang
yang melakukan kesalahan ini sering disebut melakukan penalaran post-hoc. Kita melakukan
kesalahan penalaran post hoc ketika kita menyimpulkantanpa dasar yang cukup kuat
semata-mata hanya karena Y mengikuti X, maka X pasti penyebab Y. Kesalahan dalam
argumen seperti ini adalah bahwa kesimpulannya merupakan pernyataan kausal yang kurang
didukung oleh bukti, dan tidak ada informasi tambahan maupun hipotesis pembantu yang
membuat hubungan kausal itu masuk akal. Memang, kita sering kali menentang penalaran
seorang pembicara dengan mengajukan alternatif analisis kausal dari situasi yang
diperdebatkan. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Ya, anak muda, begitu mereka mulai menambahkan fluor pada air minum di kota
ini, teman-teman saya mulai meninggal kena serangan jantung. Tidak boleh itu.
Memang, kita tidak boleh bermain-main dengan alam. Delapan puluh tahun
makan asam garam dunia sudah menunjukkan itu padaku.
(2) Setan kulit putih itu punya kekuatan untuk membunuh dengan suara. Kemarin,
saya melihat salah satu dari mereka mengangkat sebuah tongkat. Setelah suara
yang sangat keras, timbul lubang pada kijang itu yang mengeluarkan darah
sehingga kijang itu mati. Seorang setan kulit putih lain mengangkat tongkat,
mengeluarkan suara keras, dan seekor kijang lain jatuh mati. Ini terjadi berulangulang, selain pada kijang juga pada hewan ternak. Saya mencoba mengangkat
tongkat dan berteriak Dor! sekeras-kerasnya. Sayangnya, suara saya tidak
cukup keras untuk membunuh seekor laba-laba pun, apalagi salah satu dari setan
kulit putih itu.
Dalam masing-masing kasus, si pembicara menemukan korelasi yang positif antara dua
kondisi atau kejadian. Apa yang terjadi sebelum akibat dianggap sebagai sebab, dan itu
menjadi satu-satunya bukti yang diberikan untuk menarik kesimpulan.
Pada contoh (1), si pembicara secara implisit menyimpulkan bahwa minum air yang
mengandung fluor telah menyebabkan teman-temannya meninggal kena serangan jantung.
Namun, tanpa bukti lebih lanjut, kesimpulannya belum dapat dipercaya. Dia melakukan
126

kesalahan penalaran post hoc. Karena dia berusia 80 tahun, barangkali teman-temannya pun
sudah tua juga, dan mereka meninggal karena memang sudah lanjut usia. Tentu saja,
mungkin ada hubungan kausal antara minum air yang menandung fluor dengan serangan
jantung pada orang lanjut usia, tetapi tanpa penelitian dan bukti lebih lanjut, hipotesis ini
tidak dapat diterima.
Dalam contoh (2), si pembicara sudah benar menghubungkan suara senjata dengan
kematian. Tetapi hubungan itu adalah korelasi, bukan kausal. Karena kita tahu bagaimana
sebuah senjata dapat membunuh, dengan mudah kita dapat menerangkan kepadanya bahwa
dia telah salah menginterpretasikan bukti yang dimilikinya.

Menanggapi Kesalahan Penyebab yang Salah


Tanggapan atas kesalahan tentang penyebab sama dengan cara menghadapi kesalahankesalahan kausal sebelumnya. Kita meminta si pembicara menilai kembali data yang ada
untuk membuatnya menyadari bahwa dia mungkin telah salah menginterpretasikannya. Jika
dia cuma ceroboh dan jika kita tahu penyebab yang sebenarnya, kita cukup menjelaskan
kepadanya letak kesalahannya. Ini yang terjadi pada contoh (2). Cara lain adalah kita dapat
menjelaskan padanya mengapa korelasi tidak sama dengan hubungan kausal. Lalu, mintalah
kepadanya untuk memberikan lebih banyak bukti yang menunjukkan hubungan kausal antara
kejadian-kejadian itu.
9.5.4. Mengacaukan Penyebab Yang Berupa Necessary Condition dengan Sufficient
Condition
Kesalahan ini terjadi ketika seseorang salah menganggap atau mengacaukan suatu penyebab
yang merupakan necessary condition dengan penyebab yang merupakan sufficient condition
bagi akibatnya. Ini paling mungkin terjadi jika pembicara tidak memahami term-term
kondisional seperti yang telah dijelaskan di pasal 1. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Donna, kamu bilang jika saya ingin membuat kue yang bagus, saya harus
menggunakan telur segar. Saya sudah mencobanya. Tapi kue yang saya buat
jadi bantat dan tidak enak. Pesta saya jadi berantakan. Saya tidak akan pernah
mengikuti nasehatmu lagi.
(2) Profesor, Bapak mengatakan bahwa saya tidak akan dapat A untuk mata kuliah
ini kecuali saya mendapat nilai 80 pada ujian akhir. Dan saya memang dapat
80. Tetapi Bapak berbohong. Bapak hanya memberi saya nilai B. Saya ingin
protes.

127

Pada contoh (1), maksud pernyataan Donna adalah bahwa telur segar merupakan bahan
yang diperlukan (necessary) untuk membuat kue yang baik. Kita tidak tahu apakah si
pembicara melaksanakan juga necessary condition lainnya seperti oven yang panas. Dalam
kasus ini, ia menyimpulkan bahwa telur yang segar sudah memadai (sufficient) untuk
menghasilkan kue yang baik. Ini jelas salah. Orang sering salah paham mengenai term
kondisional. Kata-kata seperti hanya dan kecuali sering kali digunakan untuk mewakili
kondisi yang perlu (necessary) sekaligus memadai (sufficient). Penggunaan kata-kata secara
kacau seperti ini menunjukkan bahwa mereka tidak memahami secara jelas struktur bahasa.
Pada contoh (2), si pembicara juga melanggar hal ini. Dia beranggapan bahwa sang
profesor berkata bahwa mendapat nilai 80 pada ujian akhir merupakan syarat yang memadai
untuk memperoleh nilai A untuk mata kuliah itu. Pernyataan sang profesor memaksudkan
nilai 80 sebagai syarat yang perlu (necessary condition). Mungkin sang profesor harus
mengungkapkan maksudnya dengan lebih jelas jika dia tahu bahwa orang sering
menyalahartikan term kondisional. Karena kita tidak tahu apa lagi yang sebenarnya dikatakan
oleh sang profesor, kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak. Namun berdasarkan buktibukti yang ada, protes si pembicara tidak dapat diterima.

Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Syarat yang Perlu dengan Syarat yang Memadai
Cara terbaik untuk menghadapi kesalahan ini adalah mencoba mencegahnya. Harus
dipastikan bahwa kita menggunakan term-term secara benar dan bahwa orang lain memahami
apa yang kita katakan. Karena orang sering kali tidak memahami term kondisional, harus
digunakan cara lain untuk membuat maksud kita jelas. Jika kesalahan ini terjadi, kita perlu
menerangkan arti term kondisional. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah
menunjukkan contoh yang jelas di mana kesalahan seperti ini terjadi. Contoh (1) merupakan
contoh yang cukup jelas. Coba pikirkan contoh lain juga. (Lihat kembali pasal 1 yang
membahas term kondisional. )

Latihan 9.4 (Kesalahan Kausal)


Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah si pembicara sedang ingin mempengaruhi
kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan namanya.
1. Tentu saja Tanya mendapat nilai bagus. Dia, kan, anak emas guru.

128

2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 90% dari mereka yang merokok berat juga
minum paling sedikit 5 gelas kopi setiap hari. Menurut saya cukup jelas bahwa banyak
merokok menyebabkan orang banyak minum kopi.
3. Mati aku. Aku tadi melakukan apa, ya? Begitu aku masuk ke restoran itu, Jill berdiri dan
pergi dengan terburu-buru lewat pintu belakang. Aku pasti melakukan suatu kesalahan
sehingga dia pergi seperti itu.
9.6 Kesalahan Analogi
Kesalahan analogi terjadi ketika orang menggunakan analogi yang tidak tepat atau yang
menyesatkan dalam argumennya. Dari sudut pandang logika, argumen analogi bukanlah
argumen yang paling baik. Analogi dapat merupakan cara pandang yang original, kreatif, dan
menohok pikiran. Namun analogi tidak dapat menggantikan argumentasi langsung mengenai
suatu sudut pandang. Ketika pembicara menggunakan analogi yang buruk atau tidak cocok,
argumennya seharusnya ditolak. Sayangnya, orang-orang tetap saja mungkin terpengaruh.
Perhatikanlah contoh berikut.
Negara itu seperti sebuah kapal, dengan presiden sebagai kapten kapalnya.
Seperti juga seorang kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan, demikian pula
seorang presiden harus mendapat kesetiaan dan kepatuhan dari kabinetnya.
Analogi dalam contoh ini merupakan analogi yang buruk. Pertama, ada banyak aspek
yang membuat sebuah negara sangat berbeda dengan sebuah kapal. Salah satu aspek yang
paling penting adalah: kapal selalu berada dalam situasi yang berubah dengan cepat, penuh
stres dan bahaya. Ini menuntut tindakan yang terpadu dan segera. Negara tidak demikian,
kecuali dalam keadaan perang atau ketika menghadapi masalah seperti bencana alam atau
masalah-masalah mendesak lainnya. Biasanya, kita mempunyai waktu untuk mendiskusikan
dan merefleksikan situasi yang ada sehingga keputusan yang diambil pun lebih bijaksana.
Karena itulah kapten diberi kekuasaan yang mirip diktator sementara presiden lebih baik
tidak. Jadi, kesimpulan yang diperoleh dari argumen di atas lemah.
Kedua, dasar analogi itu lemah. Bahkan dalam situasi yang sangat berbahaya pun, tidak
benar bahwa kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan; misalnya, apakah si pembicara akan
tetap meyakini pendapatnya jika kaptennya mabuk atau gila. Lalu, apakah presiden harus
dipatuhi jika dia gila, atau jika dia memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan
kriminal atau tindakan yang melawan undang-undang dasar? Seperti juga seorang anak buah
kapal wajib melawan perintah kapten, begitu juga kabinet wajib melawan presiden dalam
kasus seperti itu. Jadi, kesimpulan di atas tidak dapat diterima.
129

Menanggapi Analogi yang Salah


Secara umum, ada dua cara menanggapi analogi yang salah. Pertama, dengan menunjukkan
bahwa hal-hal yang dianalogikan mempunyai terlalu banyak perbedaan yang relevan
sehingga kesimpulannya tidak meyakinkan. Ini seperti respon pertama kita pada contoh di
atas. Kedua, dengan menunjukkan kelemahan analogi itu, dengan cara melanjutkan analogi
itu hingga mencapai kesimpulan yang tidak dapat diterima si pembicara. Ini seperti kritik
kedua kita pada contoh di atas. Si pembicara mungkin menjawab bahwa kita tidak boleh
terlalu serius menanggapi analogi ini. Ini, kan, hanya analogi. Kita dapat menyetujui bahwa
ini memang hanyalah analogi. Lalu, mintalah alasan lain yang lebih langsung untuk
meyakinkan kita akan kebenaran kesimpulannya.

Latihan 9.5 (Analogi yang Salah)


Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi
kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan jelaskan juga bagaimana Anda
akan menyerang analogi ini.
1. Kalau kamu memancung kepala seseorang, maka organnya yang lain tidak akan dapat
lagi berfungsi, dan orang itu akan mati. Begitu pula kalau kamu memenggal kepala suatu
negara, maka negara itu akan mengalami kekacauan untuk beberapa waktu, dan sudah
pasti negara itu akan hancur dengan berjalannya waktu atau menjadi sasaran empuk bagi
negara-negara tetangganya. Jadi, mengkudeta pemerintah yang sudah mapan tidak akan
pernah menguntungkan negara mana pun.
2. Menghisap rokok sama saja dengan menelan arsenik. Keduanya sudah terbukti
menyebabkan kematian. Jadi, jika kamu tidak ingin menelan sesendok arsenik, maka
kamu pun seharusnya tidak ingin terus merokok.
3. Dunia ini seperti sebuah jam. Keduanya merupakan sistem yang terdiri dari bagian-bagian
yang bergerak, yang diatur secara sangat tepat, mempunyai keseimbangan dan gerakan
yang seragam dan berulang-ulang. Karena jam diciptakan oleh seseorang, maka dunia
juga pasti mempunyai pencipta. Pencipta itu kita sebut Tuhan.

Latihan 9.6 (Kesalahan Induksi)


Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi
kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan nama kesalahan itu.
130

1. Saya minum vodka dicampur air pada hari Senin, dan saya mabuk. Saya minum scotch
dicampur air pada hari Selasa, dan saya mabuk. Saya minum wiski dicampur air pada hari
Rabu, dan saya mabuk. Nah, jelas, bukan? Minum air membuat kita mabuk.
2. Jenny merokok berat, dan ketika dia tidak merokok, dia mengunyah tembakau.
Kemungkinan dia akan menderita kanker paru-paru atau kanker mulut.
3. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mendapat nilai baik belajar sekitar tiga jam
setiap hari. Kamu ingin mendapat nilai baik, kan? Yang perlu kamu lakukan cuma
belajar sekitar tiga jam setiap hari.

131

DAFTAR PUSTAKA
Ackrill, J. L. 1961. Aristotles Categories and De Interpretatione. Clarendon Aristotle Series.
Oxford: Clarendon Press.
Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Bierman, A. K. dan Assali, R. N. 1994. The Critical Thinking Handbook. New Jersey:
Prenctice Hall.
Bittle, C. N. 1950. The Science of Correct Thinking: Logic. Milwaukee: The Bruce
Publishing Company.
Copi, I. M. dan Cohen, C. 1990 (ed. ke-8). Introduction to Logic. Ohio: Macmillan.
Dolhenty, J. 2001 (ed. ke-9). The Problem of Knowledge: A Brief Introduction to
Epistemology. Oregon: The Radical Academy.
Owen, G. E. L., ed. 1968. Aristotle on Dialectic: The Topics. Proceedings of the Third
Symposium Aristotelicum. Cambridge: Cambridge University Press.
Ryle, G. 1949. The Concept of Mind, London: Hutchinson.
Smith, Robin. 2000. Aristotles Logic rasmith@aristotle.tamu.edu dalam situs web
Stanford Encyclopedia of Philosophy.
Takwin, B. 2005. Kesadaran Plural: Sebuah Sintesis Rasionalitas Dan Kehendak Bebas.
Yogyakarta: Jalasutra.

132

BAB IV
DASAR-DASAR ETIKA

Fristian Hadinata dan L.G. Saraswati Putri

1. Perbedaan Etika dan Moralitas


Ada dua kata yang seringkali rancu penggunaanya, yaitu etika dan moralitas. Etika
dan moralitas memang dua kata berhubungan erat dan seringkali orang mengunakan
dua kata tersebut secara bergantian, tetapi tidak tepat (Graham, 2010, 1). Kita dapat
memahami perbedaan antara dua kata tersebut dengan cara yang lebih baik, jika kita
mencoba untuk memahami apa makna dua kata tersebut dari interpretasi yang paling
dasar.

Gambar 1 Perbedaan Etika dan Moralitas

Secara etimologis, istilah etika berasal dari kata Yunani " thikos" yang bearti "adat",
"kebiasaan", atau "watak" (Pritchard, 2012, 1). Dalam perkembangannya, etika
mengacu kepada seperangkat aturan-aturan, prinsip-prinsip atau cara berpikir yang
menuntun tindakan dari suatu kelompok tertentu. Akan tetapi, kata etika spesifik
mengacu kepada studi sistematis dan filosofis tentang bagaimana kita seharusnya
bertindak (Borchert, 2006, 279). Dalam pengertian yang terakhir ini, etika adalah

133

cabang ilmu filsafat yang menyelidiki suatu sistem prinsip moral dan berusaha untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan radikal seperti:
Apa artinya baik?
Apa itu keputusan moral?
Apakah moral itu subjektif atau objektif?
Bagaimana menjalani kehidupan yang baik?

Tidak heran jika etika disebut juga filsafat atas moral. Etika punya fokus tentang
bagaimana kita mendefinisikan sesuatu itu baik atau tidak. Dalam rangka untuk
melihat perilaku yang dapat diterima atau tidak dalam situasi tertentu, maka perilaku
etis didefinisikan.
Lain halnya dengan moralitas berasal dari kata Latin "moralis" yang berarti "tata
cara", "karakter", atau "perilaku yang tepat" (Pritchard, 2012, 1). Secara terminologis
moralitas sering kali dirujuk sebagai diferensiasi dari keputusan dan tindakan antara
yang baik atau yang tidak baik. Moralitas mengacu pada nilai baik atau tidak baik
yang disepakati dan diadopsi dalam suatu lingkungan tertentu (Borchert, 2006, 280).
Moralitas biasanya didefinisikan melalui otoritas tertentu. Artinya, moralitas lebih
dipahami sebagai suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang baik. Karena itu sistem
moralitas seringkali sangat bergantung dengan komutitasnya, misalnya agama atau
budaya tertentu. Lebih lanjut, konsep tentang moral bisa berubah dari waktu ke waktu
dan mengambil makna baru.
Moralitas sangat berhubungan dengan etika karena hal itu adalah objek kajiannya.
Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau mendefinisikan moral dengan
melakukan refleksi atasnya. Etika membahas persoalan moral pada situasi tertentu
dengan pendekatan tertentu pula. Sedang moralitas tergantung pada pilihan individu,
keyakinan atau agama dalam menentukan hal yang benar atau salah, baik atau buruk.

134

Ada asumsi penting terkait masalah penjelasan moral tentang tanggung jawab etis.
Asumsi tersebut di dalam etika, yaitu pentingnya kehendak bebas di dalam
pertanggungjawaban etis (Sidgwick, 2004, 10), sedang dalam soal moralitas hal ini
biasanya tidak terlalu dipentingkan. Jika pengandaian tentang kehendak bebas tidak
ada maka pertanggungjawaban etis tidak bisa diajukan. Hal ini karenakan apa yang
dilakukan seseorang tidak lebih dari sesuatu yang dikontrol. Dengan kata lain,
seseorang tidak bisa diminta pertanggung jawaban etis ketika seseorang itu tidk punya
kehendak bebas --seperti yang boneka yang dikontrol seorang dalang. Asumsi seperti
ini yang menjadi kajian-kajian etika.
2. Klasifikasi Etika
Etika bisa dibagi menjadi berberapa bidang sebagai berikut:

Gambar 2 Pembagian Bidang Etika

135

Jika kita sederhanakan maka akan menjadi sebagai berikut:

Gambar 3 Empat Bidang Etika Utama

2. 1. Etika Normatif
Etika normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan
pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak
secara etis. Dengan kata lain, etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau
keputusan etis. Di samping itu, etika normatif berhubungan dengan pertimbanganpertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus dijalankan agar sautu
tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2).
Dalam etika normatif ini muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika
deontologis, etika kebajikan dan lain-lain. Suatu teori etika dipahami bahwa hal
tersebut mengajukan suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus
bertindak dalam situasi-situasi etis (Williams, 2006, 72). Dalam pengajukan kriteria
norma tersebut, teori etika akan memberikan semacam pernyataan yang secara
normatif mengandung makna seperti "Fulan seharusnya melakukan X" atau "Fulan
seharusnya tidak melakukan X".
Harus dipahami bahwa setiap teori etika didasarkan pada sebuah kriteria tertentu
tentang apa yang etis untuk dilakukan. Kriteria ini disusun berdasarkan prioritas, di
mana dari kriteria umum bisa diturunkan menjadi prinsip-prinsip etis yang lebih
konkret. Dengan begitu, suatu tindakan dapat disebut etis jika ada kondisi-kondisi

136

tertentu yang memenuhi prinsip-prinsip etis yang diturunkan dari kriteria umum
dalam sebuh teori etika normatif tersebut.
Misalnya pada teori etika utilitarian, kriteria umum itu adalah suatu tindakan dianggap
benar atau baik jika menghasilkan utilitas paling besar bagi semua orang yang
terpengaruh oleh tindakan atau keputusan tersebut, termasuk orang yang melakukan
tindakan. Lain halnya dengan teori etika deontologis Kant yang punya kriteria umum
sebagai berikut: "Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan
Anda sendiri dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang Universal" (Tnnsj, 2008,
56-58).
2. 2. Etika Terapan
Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik
kepada topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang,
hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi
etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Secara umum ada dua fitur yang
diperlukan supaya sebuah permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika
terapan.
Pertama, permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada kelompokkelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral. Masalah
pembunuhan, misalnya tidak menjadi masalah etika terapan karena semua orang
setuju bahwa praktik tersebut memang dinilai tidak bermoral. Sebaliknya, isu kontrol
senjata akan menjadi masalah etika terapan karena ada kelompok yang mendukung
dan kelompok yang menolak terhadap isu kontrol senjata.
Kedua, sebuah permasalahan menjadi permasalahan etika terapan ketika hal itu punya
dimensi dilema etis. Meskipun ada masalah yang kontroversial dan memiliki dampak
penting terhadap masyarakat, hal itu belum tentu menjadi permasalahan etika terapan.
Kebanyakan masalah yang kontroversial di masyarakat adalah masalah kebijakan
sosial. Tujuan dari kebijakan sosial adalah untuk membantu suatu masyarakat tertentu
berjalan secara efisien yang dilegitimasinya disandarkan pada konvensi tertentu,
seperti undang-undang, peraturan-peraturan dan lain-lain (Debashis, 2007, 28-30).

137

Berbeda dengan permasalahan etis yang lebih bersifat universal, seperti kewajiban
untuk tidak berbohong, dan tidak terbatas pada suatu masyarakat tertentu saja.
Seringkali memang isu-isu kebijakan sosial tumpang tindih dengan isu-isu moralitas.
Namun, dua kelompok isu tersebut bisa dibedakan dengan mengunakan kedua
pendekatan yang dilakukan di atas.
Dengan begitu bisa dimengerti bahwa istilah etika terapan digunakan untuk
menggambarkan upaya untuk menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apa
saja yang benar secara moral terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang
kehidupan manusia. Misalnya, bioetika yang berhubungan dengan mengidentifikasi
pendekatan yang benar untuk persoalan-persoalan seperti euthanasia, penggunaan
embrio manusia dalam penelitian dan lain-lain.
2.3. Etika Deskriptif
Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu
atau masyarakat. Dengan begitu, etika deskriptif bukan sebuah etika yang mempunyai
hubungan langsung dengan filsafat tetapi merupakan sebuah bentuk studi empiris
terkait dengan perilaku-perilaku individual atau kelompok. Tidak heran jika etika
deskriptif juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara
apa yang dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau
masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa
sekarang. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan tentang apa yang
dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis
yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000, 3).
Penyelidikan etka deskriptif juga melibatkan tentang apa yang dianggap oleh
seseorang atau masyarakat sebagai sesuatu yang ideal. Artinya, kajian ini melihat apa
yang bernilai etis dalam diri seseorang atau masyarakat merupakan bagian dari suatu
kultur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Akan tetapi, etika
deskriptif juga memberikan gambaran tentang mengapa satu prinsip etika bisa
ditinggalkan oleh genarasi berikutnya.

138

Oleh karena itu, etika deskriptif melibatkan stud-studi empris seperti psikologi,
sosiologi dan antropologi untuk memberikan suatu gambaran utuh. Di sini antropologi
dan sosiologi mampu memberikan segala macam informasi mengenai bagaimana
masyarakat di masa lalu dan sekarang menciptakan standar moral dan bagaimana
masyarakat itu ingin orang bertindak. Sedang, psikologi bisa melakukan sebuah studi
tentang bagaimana seseorang punya kesadaran tentang apa itu baik dan buruk serta
bagaimana seseorang membuat keputusan moral dalam situas nyata dan situasi
hipotetis (Kitchener, 2000, 3).
Akan tetapi, etika deskriptif bisa digunakan dalam argumentasi filosofis terkait
dengan masalah etis tertentu. Observasi yang dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris dalam
etika deskripsi seringkali menjadi argumen untuk relativisme etis. Beragamnya
fenomena dan perilaku etis di antarbudaya memberikan pemahaman bahwa apa yang
baik dan buruk tidaklah absolut, tetapi relatif. Dalam konteks ini, moralitas dianggap
relatif pada tingkat antarbudaya. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa
moralitas merupakan sebuah konstruksi sosial sehingga sangat tergantung kepada
subjek etis dalan lingkungannya.
Ringkasnya, etika deskriptif mempertanyakan dua hal berikut:
1. Apa yang seseorang atau masyarakat klaim sebagai "baik"?
2. Bagaimana orang bertindak secara nyata ketika berhadapan dengan masalahmasalah etis?

2. 4. Metaetika
Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti
atau makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain,
metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Artinya, pertanyaan yang
diajukan dalam metaetika adalah apa makna jika kita berkata bahwa sesuatu itu baik?
Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi
pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk
dari pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan
sebagai sesuatu yang bermakna.
139

Perkembangan metaetika awalnya merupakan jawaban atas tantangan dari Positivisme


Logis yang berkembang pada abad 20-an (Lee, 1986, 8). Kalangan pendukung
Positivisme Logis berpendapat bahwa jika tidak bisa memberikan bukti yang
menunjukkan sebuah pernyataan itu benar, maka pernyataan itu tidak bermakna.
Ketika prinsip dari Positivisme Logis juga diujikan kepada pernyataan-pernyataan
etis, maka pernyataan-pernyataan itu harus berdasarkan bukti. Ringkasnya, jika tidak
ada bukti, maka tidak ada makna.
Di sini kata kuncinya adalah apa yang dikenal dengan "naturalistic fallacy", yaitu
dianggap akan melakukan kesalahan jika kita menarik suatu pernyataan tentang apa
yang seharusnya dari pernyataan tentang apa yang ada. Kesulitan dari bahasa etika
adalah penyataan-pernyataannya tidak selalu berupa fakta. Disinilah peran sentral dari
metaetika yang mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang dimaksud
dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis punya makna.
Dalam pembahasan ini metaetika biasanya terbagi menjadi dua, yaitu realisme etis
dan nonrealisme etis.
3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis
Ada satu persoalan penting di dalam etika, yaitu pernyataan etika itu objektif atau hal
itu bergantung kepada subjek etika itu sendiri. Persoalan ini menghasilkan dua aliran
besar terkait dengan cara melihat pernyataan etika atau kualitas etis tersebut, yaitu
realisme etis dan nonrealisme etis (Callcut, 2009, 46).
3.1. Realisme Etis
Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis yang
memiliki eksistensi independen di luar dirinya. Konsekuensinya, realisme etis ini
mengajarkan bahwa kualitas etis atau tidak ada secara independen dari manusia dan
pernyataan etis memberikan pengetahuan tentang dunia objektif. Dengan kata lain,
properti etis terlepas dari apa yang orang pikirkan atau rasakan. Hal ini disebut
dengan fakta etis tentang fakta sebuah tindakan. Artinya, jika seseorang mengatakan
bahwa tindakan tertentu salah, maka hal itu adalah kualitasnya yang salah dan itu
harus ada di sana dan bersifat independen.
140

Apa yang diungkapkan di atas biasanya dikenal juga dengan istilah absolutisme etis.
Gagasannya bersandar pada adanya aturan-aturan universal yang tidak berubah dan
berlaku setiap bagi semua orang. Absolutisme etis berpendapat bahwa ada beberapa
aturan moral yang selalu benar dan aturan-aturan tersebut dapat ditemukan serta
berlaku untuk semua orang. Dengan kata lain, tindakan tidak etis atau tindakan yang
melanggar aturan-aturan yang ditemukan itu berkualitas salah di dalamnya sendiri,
terlepas dari keadaan atau konsekuensi dari tindakan-tindakan itu sendiri.
Absolutisme etis mengambil pandangan kemanusiaan universal dan berkeyakinan
bahwa ada satu perangkat aturan untuk semua orang, misalnya seperti Deklarasi Hak
Asasi Manusia.
Masalah bagi etika realis adalah manusia mengikuti keyakinan etis yang berbedabeda. Jika memang ada kebenaran etis yang nyata di luar sana, maka manusia
seharusnya bisa menemukannya dan punya keyakinan etis yang sama. Artinya,
realisme etis dalam bentuk absolutisme etis tidak sesuai dengan keragaman budaya
dan tradisi. Di samping keberatan itu, absolutisme moral yang tidak memperhitungkan
konsekuensi dari suatu tindakan atau keadaan etis untuk menghasilkan fakta etis.
Padahal konsekuensi dan keadaan etis itu sangat relevan dengan dengan kategori
tindakan itu baik atau buruk.
3.2. Nonrealisme Etis
Keberatan terhadap realisme etis di atas menimbulkan cara melihat persoalan etis
yang disebut dengan nonrealisme etis. Gagasan utama dari nonrealisme etis adalah
manusia yang menciptakan kebenaran etis (Callcut, 2009, 46). Nonrealisme etis ini
sangat terkait dengan relativisme etis. Relativisme etis yang mengatakan bahwa jika
Anda melihat budaya yang berbeda atau melihat periode yang berbeda dalam sejarah,
Anda akan menemukan bahwa hal itu memiliki aturan etis yang berbeda pula. Oleh
karena itu, masuk akal untuk mengatakan bahwa apa yang "baik" mengacu pada
kelompok tertentu di mana orang-orang menyetujuinya menjadi sesuatu yang "baik"
(Williams, 2006, 157). Dengan kata lain, relativisme menghormati keragaman budaya
dan tindakan manusia yang berbeda pula dalam cara merespon situasi yang berbeda.

141

Akan tetapi, ada persoalan juga di dalam relativisme etis. Diantaranya adalah kita
merasa bahwa aturan etis memiliki nilai kualitas yang lebih tinggi daripada sekedar
kesepekatan umum dari sekelompok orang. Terkadang kita berpikir bahwa kita bisa
menjadi "baik tanpa sesuai dengan semua aturan masyarakat. Misalnya, keputusan
untuk menjadi seorang vegetarian terkait dengan hak-hak hewan dinilai "baik", walau
masyarakata melihat hal itu bukanlah suatu perkara yang terkait dengan masalah etis,
bahkan memakan daging dianjurkan.
Lebih jauh, relativisme memiliki masalah dengan persoalan tirani mayoritas. Dalam
relativisme etis, jika kebanyakan orang dalam suatu masyarakat setuju dengan aturan
tertentu, itulah akhir dari masalah etis. Apa yang diabaikan dari relativisme etis adalah
banyaknya perbaikjan yang terjadi di dunia dikarenakan orang menentang pandangan
etika yang berlaku --relativisme etis punya kecenderungan untuk menganggap orangorang seperti

itu berperilaku "buruk".

Persoalan yang paling mendasar dari

relativisme etis adalah setiap pilihan "etis atau tidak" menjadi sewenang-wenang
dikarenakan terkait dengan keelompok sosial atau budaya itu sendiri sebagai landasan
etika. Artinya, relativisme moral tidak menyediakan cara untuk mengatasi perbedaan
moral antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
4. Empat Jenis Penyataan Etika
Pengkajian terhadap permasalahan etis pada dasarnya bisa dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Ketika seseorang mengatakan "pembunuhan
itu tidak baik" apa yang dimaksudkannya sesungguhnya? Pertanyaan ini adalah
pertanyaan sederhana, tetapi hal ini adalah cara yang sangat berguna untuk
mendapatkan gagasan yang jelas tentang apa yang terjadi ketika orang berbicara
tentang isu-isu etis.
Kita bisa melihat ketika orang mengucapkan pernyataan "pembunuhan itu tidak baik",
orang merujuk pada hal yang berbeda. Perbedaan ini memberikan pendekatan yang
berbeda pula untuk melihat persoalan etis (Johnson dan Reath, 2011, 472). Kita dapat
menunjukkan beberapa hal yang berbeda ketika Anda mengatakan 'pembunuhan
adalah tidak baik' dengan menulis ulang pernyataan tersebut untuk menunjukkan apa
yang benar-benar dimaksud oleh Anda sebagai berikut:

142

1. Saya mungkin bermaksud membuat pernyataan tentang fakta etis, seperti


"pembunuhan itu adalah salah". Hal ini adalah realisme moral. Realisme moral
didasarkan pada gagasan bahwa ada fakta-fakta nyata dan objektif terkait
masalah etis di alam semesta. Pernyataan etis dinilai memberikan informasi
faktual tentang kebenaran.
2. Saya mungkin bermaksud hendak menyatakan tentang perasaan saya sendiri
seperti, "saya tidak menyetujui pembunuhan". Hal ini adalah subjektivisme.
Subjektivisme mengajarkan bahwa penilaian etis tidak lebih dari pernyataan
perasaan atau sikap seseorang. Di sini, pernyataan etis tidak mengandung
kebenaran faktual tentang kebaikan atau keburukan. Artinya, Jika seseorang
mengatakan sesuatu itu baik atau buruk, apa yang dia maksudkan tidak lebih
dari perasaan positif atau negatif yang dia miliki terkait sesuatu itu. Jadi, jika
seseorang mengatakan 'pembunuhan adalah tidak baik, apa yang dia apa yang
dia maksud adalah dia tidak menyetujui pembunuhan. Dalam konteks ini,
pernyataan dinilai benar jika orang tersebut memegang sikap yang tepat atau
memiliki perasaan yang tepat seperti yang diungkapkannya. Dengan kata lain,
pernyataan akan salah, jika ternyata orang tesebut tidak memiliki perasaan
tersebut.
3. Saya mungkin bermaksud untuk mengekspresikan perasaan saya saja
"tidak ada kompromi dengan pembunuhan". Hal ini adalah emotivisme.
Emotivisme adalah pandangan bahwa klaim moral adalah tidak lebih dari
ekspresi persetujuan atau ketidaksetujuan. Hal ini seperti subjektivisme, tetapi
dalam emotivisme pernyataan moral tidak memberikan informasi tentang
perasaan pembicara tentang topik tetapi ungkapan perasaan itu sendiri. Ketika
sebuah emotivis mengatakan "pembunuhan adalah salah" apa yang dimaksud
seperti mengatakan "tidak ada kompromi pembunuhan" atau hanya
mengekspresikan wajah ngeri ketika mendengar kata "pembunuhan" dan lainlain. Dengan kata lain, jika dilihat dari emotivisme ketika seseorang membuat
penilaian moral apa yang ditunjukkan adalah perasaan tentang sesuatu.
4. Saya mungkin bermaksud ingin memberikan instruksi atau larangan, seperti
"jangan melakukan pembunuhan". Hal ini adalah preskriptivisme. Gagasan
preskriptivisme berfokus pada pernyataan etis adalah petunjuk atau
rekomendasi. Jadi jika saya mengatakan sesuatu itu baik, artinya saya
143

merekomendasikan kepada Anda untuk melakukannya. Sedang, jika saya


mengatakan sesuatu itu buruk, apa yang saya katakan sebenarnya adalah Anda
jangan melakukannya. Hampir selalu ada unsur preskriptif dalam suatu
pernyataan etis. Misalnya, "menghina itu tindakan yang buruk" dapat ditulis
sebagai "orang tidak boleh menghina".

5. Kegunaan Etika
Etika sebenarnya tidak secara langsung mengharuskan orang mengikuti hasil
analisisnya. Hal ini dikarenakan etika sebagai bagian dari filsafat menekankan jika
seseorang menyadari bahwa secara etis lebih baik untuk melakukan sesuatu, maka
akan menjadi tidak rasional untuk orang tidak melakukannya. Artinya tidak ada
intensi dari etika untuk menekan orang untuk melakukan suatu tindakan atau
keputusan etis sesuai dengan pedoman-pedoman tertentu. Akan tetapi, ada kegunaan
dari etika dapat dirumuskan.
Etika menyediakan alat-alat analisis untuk berpikir tentang isu-isu moral.
Dalam konteks ini etika dapat menyediakan sebuah gambaran utuh dan lebih
mengedepankan rasionalitas ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut. Memnag
sebagian besar masalah moral yang sering terjadi melibatkan persoalan emosional.
Dalam situasi seperti itu, kita sering membiarkan perasaan-perasaan yang menentukan
keputasan moral kita, sedang nalar kita hanya mengikuti arus perasan-perasaan
tersebut. Di sinilah peran etika, yaitu menawarkan suatu prinsip-prinsip yang
memungkinkan kita untuk mengambil pandangan yang lebih jernih dalam melihat isuisu moral. Dengan kata lain, etika memberikan sebuah peta moral atau kerangka
berpikir yang bisa digunakan untuk menemukan jalan keluar dari masalah-masalah
moral yang sulit.
Di satu sisi, melalui menggunakan kerangka etika, dua orang yang saling
berdebat mengenai masalah moral dapat menemukan apa yang mereka tidak sepakat
tentang sesuatu, bisa menyadari bahwa mereka hanyalah tidak sepakat pada salah satu
bagian tertentu dari masalah tersebut. Artinya kedua orang tersebut secara umum
setuju pada sesuatu yang lain yang lebih luas mengenai masalah moral tersebut. Di
sisi lain, ada ekspektasi tersedianya jawaban yang benar dan tunggal untuk satu
pertanyaan etis. Bahkan ketika kita tidak bisa mengetahui apa yang benar, kita tetap
144

menyukai gagasan bahwa untuk satu masalah etis, ada satu jawaban yang tepat. Akan
tetapi, sering tidak ada satu jawaban yang benar. Apa yang ditawarkan etika biasanya
adalah beberapa jawaban yang tepat, atau hanya beberapa jawaban sedikit lebih baik
daripada jawaban yang lain. Setidaknya, seseorang dapat memilih antara jawabanjawaban tersebut.
Memang harus dimengerti bahwa etika tidak selalu memberi jawaban yang
tepat untuk masalah moral. Hal ini karenakan masalah-masalah moral, seringkali tidak
ada jawaban yang tunggal. Dalam hal ini, seperangkat prinsip etika hanya dapat
diterapkan untuk kasus-kasus tertentu saja. Akan tetapi pada dasarnya semua jenis
prinsip-prinsip etika dapat menghilangkan kebingungan dan memperjelas masalah.
Hal ini dikarenkan persoalan moral sangat sulit dan komplek (Hinman, 2012, 1-6).
Persoalan etis sangat sulit dikarenakan hal itu memaksa kita untuk mengambil
tanggung jawab atas pilihan dan tindakan kita sendiri daripada langsung kembali pada
aturan-aturan dan adat istiadat.
Satu masalah etika adalah hal itu sering digunakan sebagai senjata. Jika
sebuah kelompok percaya bahwa aktivitas tertentu adalah "salah", kemudian dengan
prinsip-prinsip etika digunakan sebagai pembenaran untuk menyerang mereka yang
melakukan aktivitas tersebut.Akan tetapi, etika bukan soal sekedar mencari
pembenaran atas apa yang kita yakin tentang soal benar atau salah dalam suatu
tindakan atau keputusan. Etika memberikan pertimbangan untuk yang melampaui
kepentingan diri sendiri. Dengan kata lain etika sangat memperhitungkan bukan
hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain. Dalam konteks ini, etika berkaitan dengan
kepentingan orang lain secara lebih luas.
6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban
Dalam karyanya Critique of Practical Reason, Immanuel Kant membahas secara
filosofis tentang apa yang dimaksud dengan moral. Prinsip moral dapat muncul dari
berbagai sumber, diserap dari nilai-nilai agama, kaidah norma masyarakat, maupun
dari hukum yang dibuat oleh negara. Hal-hal ini dapat menjadi referensi bagaimana
seseorang bertingkah laku dan membedakan manakah baik dan buruk. Tetapi bagi
Immanuel Kant, sikap etis tidak datang dari luar individu tersebut. Mengapa
demikian? Ini berkaitan erat dengan era dimana Kant mempopulerkan filsafatnya, ia
145

selalu berkata Sapere Aude! Bila diterjemaahkan, berarti beranilah berpikir secara
mandiri, semangat ini tercermin juga didalam filsafatnya.
Sapere Aude dalam pengertian Kant mendorong individu bahkan dalam urusan
bersikap etis, individu harus dapat memikirkan dan bertindak atas kehendaknya
sendiri. Berbicara tentang tindakan etis, tentunya kita membicarakan tentang agen
moral itu sendiri. Telah dijelaskan sekilas, bahwa untuk Kant, individu harus memiliki
kehendak sendiri untuk berkarakter baik serta bertindak sesuai moral. Namun agen
moral yang dibicarakan oleh Kant, darimanakah ia tahu prinsip mana yang harus ia
jalankan atau tidak? Tentunya ini tidak semudah bila seseorang mematuhi ajaran
agama atau aturan yang sudah ditetapkan masyarakat. Prinsip moral dari Kant
mengharuskan adanya kesadaran untuk bersikap etis.
Meskipun prinsip moral datang dari rasio praktis individu tersebut sebagai agen
moral, Immanuel Kant menekankan bahwa sifat dari prinsip moral itu bukanlah
sesuatu yang partikular, karena untuknya ada hukum universal dimana hukum
tersebut merupakan muara dari segala tujuan etis. Kant menekankan bahwa prinsip ini
bekerja bila setiap orang memperlakukan orang lain dengan prinsip bahwa yang
diperbuat secara individual berdampak serta perlu diperhitungkan dalam tataran
universal, aku harus melakukan tindakan moral yang dapat diterima sebagai prinsip
moral yang universal. Uniknya dari prinsip Kant ini, walaupun tujuan besar dari
sikap moral adalah untuk mencapai kebaikan bersama tetapi tujuan itu dicapai secara
kesadaran individual yang memiliki otonomi.
Dalam prinsip moral Kant, ia menekankan betapa mendasarnya konsep kewajiban
sebagai dasar dari segala perbuatan etis. Konsep kewajiban inilah yang kemudian
dikenal sebagai prinsip deontologis, yakni yang menyatakan bahwa suatu tindakan
memiliki nilai moral yang baik bila tindakan itu terlepas dari kepentingan individu,
dan hanya bertujuan terhadap prinsip kewajiban tersebut, kehendak baik tidak
menjadi baik karena apa yang diakibatkan ataupun yang dicapainya,--ataupun
kesesuaiannya untuk mencapai suatu tujuan akhir: kehendak baik itu dinyatakan baik
karena ia menginginkan kebaikan itu sendiri.1
Pertanyaan yang timbul adalah; darimanakah kita mengetahui perbuatan mana yang
memiliki nilai kebaikan yang intrinsik secara universal? Bagi Kant, pengetahuan akan
1

.lih (ed) John Cottingham, bagian Immanuel Kant, hlm. 382

146

kebaikan itu datang dari rasio praktis kita. Apa yang dimaksud dengan rasio praktis?
Rasio praktis adalah kecerdasan yang datang dari individu sebagai agen moral, yakni
ketika pemahaman tentang kebaikan dan mampu menyesuaikan pilihan-pilihannya
dengan apa yang dipertimbangkan baik secara universal. Tetapi akal tidak cukup bagi
suatu perbuatan yang sesuai moral, untuk Kant, akal harus dijalani dengan kehendak,
tetapi kehendak ini hanya memusatkan pada kewajiban, tidak pada motif untuk
menguntungkan dirinya atau tujuan akhir tertentu.
Prinsip moral oleh Kant, tidak lagi menjadi argumen etis, tetapi menjadi keharusan,
karena itulah dinyatakan sebagai Imperatif Kategoris. Ada unsur mengikatnya, dan
mengharuskan kita untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut.
Contoh yang bisa disimak adalah tentang berbohong. Dalam perspektif Kant
berbohong adalah suatu tindakan yang melanggar kebaikan, mengapa? Karena
berbohong secara umum dapat menyebabkan ketidaknyamanan, berbohong kita
ketahui sebagai sesuatu hal yang tidak baik, ini bisa disepakati secara universal
menurut Kant. Tetapi problem filosofis yang muncul adalah bagaimana bila
berbohong untuk suatu tujuan yang baik, benarkah tindakan tersebut? Dalam prinsip
kewajiban, tentunya meskipun berbohong itu untuk suatu hasil akhir yang baik tetap
tidak bisa dikatakan sebagai tindakan yang memiliki nilai moral.
Hal lain yang disampaikan oleh Kant adalah bagaimana ketika melakukan tindakan
etis meski terlepas dari motif individual, hal ini tetaplah dianggap sebagai tindakan
yang bernilai moral. Kant memberikan contoh misalnya seseorang yang tidak
menyukai kehidupannya, karena kehidupannya sangat menyengsarakan, bila
mengikuti keinginannya ia ingin segera mengakhiri kehidupannya, tetapi ia menolak
melakukan hal itu karena membunuh diri dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik
secara universal. Meski seseorang yang tidak menyukai prinsip-prinsip kewajiban
tetapi tetap menjalankannya, bagi Kant tindakan itu memiliki nilai moral. Ini untuk
menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan individu haruslah datang dari kesadaran
akan kewajiban untuk berbuat baik, karena hal ini bukanlah pilihan yang berdasarkan
motif atau kesenangan, tetapi atas dasar kewajiban, maka ada penekanan pada
keharusan itu.
Contoh lainnya adalah perbuatan menolong orang lain, meskipun menolong orang
lain adalah tindakan yang baik, bagi Kant, tindakan ini tidak terlalu relevan apakah
147

datang dari rasa belas kasih, maupun empati. Suatu tindakan menolong orang lain
haruslah datang dari rasa kewajiban, terlepas dari motif pribadi individu tersebut.
Bagi Kant, contoh ini menekankan bahwa prinsip moral dilaksanakan bukan karena
prinsip tersebut sesuai dijalankan untuk suatu tujuan akhir semata, tetapi demi
kewajiban atas kebaikan itu sendiri. Kewajiban itu sifatnya mengingkat dan terlepas
dari kepentingan dari individual tersebut.
Etika kewajiban dari Kant mengingatkan kita betapa pentingnya perbuatan moral
yang patuh pada suatu prinsip moral bahwa kebaikan tersebut intrinsik adanya. Bahwa
suatu tindakan dinyatakan benar atau baik dapat diperiksa oleh rasio praktis kita.
Sebagai agen moral yang bebas dan memiliki kecerdasan, Kant menjelaskan bahwa
melalui kecerdasaannya manusia dapat mencapai pada pemahaman tentang konsep
kebaikan universal. Dimana pemahamannya ini mewajibkannya untuk bersikap etis,
dan melakukan tindakan etis tanpa melibatkan perasaan atau memikirkan tentang
hasilnya saja, tetapi tegas untuk mematuhi suatu prinsip moral, Kewajiban adalah
tindakan yang dilaksanakan atas dasar keharusan yang dilakukan dikarenakan ada rasa
hormat terhadap hukum.2
7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian
Teori moral dalam filsafat dapat dipahami menjadi dua aliran besar, yang pertama
adalah deontologis, seperti yang telah dibahas pada bagian Immanuel Kant, yang
kedua

adalah

kaum

konsekuensialis.

Apa

yang

dimaksud

dengan

etika

konsekuensialis? Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan


dianggap bernilai secara moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan
tersebut. Tentunya pendekatan konsekuensialis kaum utilitarian sangat bertolak
belakang dengan konsep imperatif dari Immanuel Kant. Konsekuensialis justru
menegaskan bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai baik bila menyebabkan
kebahagiaan bagi individu serta orang-orang disekitarnya. Motif terhadap apa yang
dianggap menyebabkan kebahagiaan dianggap oleh kaum konsekuensialis menjadi
dasar dari suatu perbuatan moral.
Adapula tokoh yang mengembangkan paham etis utilitarian adalah John Stuart Mill.
Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti kegunaan, menganggap bahwa
dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis adalah untuk mencapai
2

Ibid. hlm. 384

148

kebahagiaan, Kredo yang menerima prinsip moral utility, atau kebahagiaan sebagai
fondasi moral meyakini bahwa tindakan dianggap sebagai suatu kebenaran sejauh
tindakan itu memproduksi serta mempromosikan kebahagiaan, akan menjadi
kesalahan bila berlaku terbalik dari kebahagiaan itu. 3 Cukup jelas dalam pernyataan
ini, bahwa apa yang dianggap secara moral baik adalah keadaan yang menimbulkan
kebahagiaan. Tetapi seringkali pernyataan kaum utilitarian disalahartikan menjadi
pandangan yang secara general memperbolehkan apapun untuk mencapai kebahagian,
inilah kritik terutama bagi kaum utilitarian.
Mill membantah argumen ini dengan mengatakan bahwa seolah-olah pandangan etis
kaum utilitarian terlampau meninggikan kesenangan ragawi semata. Mill menyatakan
bahwa pandangan utilitarian tidak sesederhana itu dalam menggunakan kata
kebahagiaan. Konsep kebahagiaan sebagai suatu tujuan seseorang sesungguhnya
bukanlah murni milik Mill, seorang pemikir Yunani kuno yang bernama Epikurus
yang pertama kali mengutarakan gagasan tersebut. Untuk Mill ada perbedaan
mendasar antara paham Utility yang ia gagas, dan miliki pendahulunya Epikurus,
kelalaian utama dari Epikurus adalah tidak membahas konsep kebahagiaan secara
mendetil. Dikemudiannya Mill mengkoreksi pandangan dari Epikurus, dengan
menyebutkan bahwa jenis kenikmatan atau kebahagiaan ada yang tinggi dan rendah.
Hirarki ini menjadi penting dalam konsep etis kaum utilitarian, karena Mill berupaya
menyampaikan bahwa ada tingkatan dalam kebahagiaan, dimana pengejaran etis
berurusan dengan kebahagiaan yang bertingkat tinggi, karena itulah kebahagiaan itu
memiliki nilai moral. Klarifikasi ini menunjukan bahwa kebahagiaan yang memiliki
nilai moral atau yang bertujuan etis bagi Mill adalah jenis kebahagiaan yang utama
atau tertinggi, misalnya, kebahagiaan disaat melakukan aktivitas hobi, dengan
kebahagiaan yang didapatkan ketika melakukan kebaikan untuk orang lain bertempat
di tingkatan yang amat berbeda. Itulah konteks kata kebahagiaan sebagai suatu tujuan
etis. Permasalahan yang timbul adalah bila kebahagiaan yang kita tuju sebagai
tindakan yang bermoral, harus dilalui dengan sesuatu yang menyengsarakan kita?
Bukankah prinsip utility menjadi berkontradiksi?
Tentunya problem filosofis ini memberatkan logika dari argumen etis para utilitarian,
tetapi Mill menjawab, bahwa selain adanya tingkatan-tingkatan dari kebahagiaan, atau
3

Ibid. bagian John Stuart Mill, hlm. 388

149

klasifikasi kebahagiaan, tentunya tingkatan ini mengimplikasikan suatu anggapan


bahwa tidak semua kebahagiaan itu memuaskan kita secara sempurna. Mill secara
gamblang menyatakan bahwa kita harus menyadari bahwa tidak ada kepuasan yang
sempurna itu, meskipun demikian kita harus berupaya untuk memaksimalisasikan
kebahagiaan. Misalnya dalam satu contoh, ketika seseorang harus mengalami rasa
sakit mendonorkan darah demi membantu seorang temannya yang sedang sekarat,
tindakan ini pada dasarnya memang menyengsarakannya, tetapi kebahagiaan untuk
melihat temannya sembuh, atau untuk menolong temannya memberikan kebahagiaan
yang melampaui rasa sakitnya.
Contoh ini juga dapat digunakan untuk memahami pandangan etis kaum utilitarian
yang sangat berbeda dengan deontologi Kantian. Mill mengkritik bagaimana Kant
dengan mudahnya meniadakan peran individu yang memiliki kesadaran untuk
bermotif moral. Pada filsafat moral Kant, ia menekankan bahwa individu tidak boleh
memiliki kepentingan disaat ia berbuat kebaikan, tujuannya adalah kewajiban
terhadap kebaikan itu sendiri. Mill menganggap prinsip deontologi ini sangatlah tidak
realistis, karena mengabaikan aspek kepekaan individu untuk berkendak serta
menginginkan kebaikan. Menginginkan kebaikan dalam arti utilitarian adalah
keinginan kebaikan tidak saja untuk individu itu sendiri, tetapi mencakup orang-orang
yang mungkin mendapatkan dampak dari perbuatan itu. Atas alasan inilah Mill
menekankan niat baik serta pertimbangan kebahagiaan untuk sebanyak mungkin
orang-orang.

Prinsip etis utilitarian ini untuk mengenyahkan anggapan bahwa bila prinsip terutama
manusia adalah kebahagiaan maka ia hanya akan melakukan sesuatu hal yang
menguntungkan bagi dirinya sendiri, sebaliknya karena ia menyadari bahwa
kebahagiaan itu untuk kebahagiaan semuanya, maka ia terdorong untuk bersikap etis.
Mengapa motif menjadi sedemikian penting untuk kaum utilitarian? Mill menjelaskan
bahwa hanya ketika seseorang berkeinginan untuk bertindak etis maka ia dapat
mempertanggung jawabkan pilihan yang telah ia lakukan. Ia tidak dapat mengelak
dengan mengatakan bahwa, ia hanya menjalankan suatu perintah, atau ia hanya
mengikuti hukum tanpa memikirkan akibatnya. Motif dan konsekuensi menjadi dua
hal yang sangat penting dalam prinsip etis utilitarian, karena seseorang bermotif untuk
150

berbuat baik, maka ia diharuskan untuk mempertimbangkan hasil akhir dari pilihan
yang akan ia ambil.
Penjelasan dari John Stuart Mill memberikan kita perspektif yang berbeda tentang
suatu tindakan moral. Bila pandangan yang mendominasi adalah pandangan yang
mengatakan bahwa prinsip moral itu didasari atas kewajiban, Mill mengkritik dengan
mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari kita bertindak yang bernilai moral.
Sebagai konsekuensialis, Mill menjelaskan bahwa dalam melakukan apapun kita
terpaut dengan hasil akhir dari suatu pilihan, dan bagi kaum utilitarian, konsekuensi
yang dipikirkan adalah bagaimana multiplikasi suatu kebahagiaan, dan menghindari
kesengsaraan. Seperti yang telah ditekankan oleh Mill, kebijaksanaan yang utama
serta memiliki nilai moral adalah mengejar kebahagiaan, Dengan demikian,
meningkatkan kebahagiaan, menurut etika utilitarian, merupakan objek dari
kebijaksanaan 4
8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban
Telah dibahas dua aliran besar dalam filsafat moral, yakni pandangan deontologi
dengan pandangan konsekuensialis. Dalam bagian ini akan dibahas tentang
bagaimana pandangan moral intuitif dari seorang etikus bernama W.D Ross. Bila
Kant menegaskan bahwa rasio praktis memungkinkan kita memisahkan mana
kebaikan dan mana keburukan, atau maxim kewajiban yang harus kita lakukan, dalam
pandangan Ross, ia menggunakan penjelasan intuisi. Apa yang dimaksud dengan
intuisi?
Ross berargumen bahwa seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa yang
bernilai baik maupun buruk. Ia mengkritik pandangan utilitarian yang terlalu
menekankan pada konsep kebahagiaan, bahkan mensejajarkan kebahagiaan sebagai
kebaikan. Bagi Ross, kebahagiaan tidak dapat secara mudah disamakan dengan
kebaikan, justru kebaikan adalah bentuk nilai moral yang lebih tinggi. Jadi tujuan
moral adalah mencapai kebaikan bukan kebahagiaan. Ross mengkritik pandangan etis
dari kaum utilitarian sebagai pandangan hedonistik, yakni bertujuan hanya pada
kebahagiaan tanpa membedah lebih tajam perbedaan mendasar antara kebahagiaan
dan kebaikan. Meskipun ketika seseorang berbuat kebaikan dan kebaikan itu
menyebabkan rasa senang, kesenangan itu tidak relevan dengan suatu prinsip moral.
4

Ibid. hlm. 390

151

Justru untuk Ross, yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang signifikan adalah
benarnya tindakan individu itu.
Senada dengan Kant, Ross adalah seorang filosof moral yang menekankan bahwa
tindakan etis haruslah terlepas dari kepentingan individual. Bila dalam argumen
utilitarian ditekankan bahwa motif merupakan hal yang mendasar, bagi Ross, motif
menunjukan bahwa seseorang bertindak etis bukan karena tindakan itu benar secara
prinsipil, tapi tindakan itu menguntungkan baginya. Ross berargumen bahwa di luar
dari kebahagiaan terdapat berbagai hal yang menurutnya lebih tepat untuk dijadikan
prinsip tindakan moral yakni kebaikan melalui karakter yang mulia, atau berdasarkan
intelegensia. Sehingga untuk Ross premis yang mengatakan bahwa kebenaran moral
adalah memperbanyak kebahagiaan bagi semakin banyak orang dikoreksi menjadi
kebenaran moral adalah memperbanyak kebaikan bagi semakin banyak orang.
Pembedaan antara kebahagiaan dan kebaikan bagi Ross menjadi pembeda penting,
bahwa dari kedua hal tersebut kebaikan adalah yang tertinggi.
Meskipun terdapat keserupaan dalam filsafat moral Ross dengan Kant, ada perbedaan
penting antara Ross dan Kant. Ross mengkritik kewajiban sempurna dari Kant. Ia
mendebat bahwa kewajiban sempurna mengandaikan bahwa tidak ada perselisihan
menyangkut tindakan moral mana yang harus diprioritaskan. Bagi Ross, kita kerap
dibenturkan dengan dilema moral yang tidak dapat secara sederhana diselesaikan
dengan prinsip mengikat imperatif Kant. Di satu sisi Ross menyetujui adanya
kewajiban, tetapi kewajiban yang ia maksudkan bukanlah kewajiban sempurna yang
dijelaskan oleh Kant, melainkan kewajiban dengan syarat atau kondisional.
Untuk mempermudah pembedaan kewajiban imperatif Kant dengan kewajiban
kondisional dari Ross adalah melalui contoh berikut. Prinsip moral dari Kant akan
melarang kita dari tindakan berbohong karena menurut Kant berbohong melanggar
prinsip kewajiban imperatif yang universal. Tetapi bagaimana bila keadaannya,
seseorang harus memilih antara berbohong atau mengatakan kejujuran, tetapi hasil
dari kejujurannya akan menyebabkan kematian orang lain? Dari contoh semacam ini
Ross memaparkan bahwa secara intuitif kita memahami mana prioritas dalam dilema
moral semacam ini. Jika kita menggunakan perspektif Kant maka secara imperatif
individu itu harus menyampaikan kejujuran, meski kejujuran itu menyebabkan
kematian orang lain, karena prinsip moral dari Kant mengandalkan kewajiban yang
152

mengikat dan bukan didasarkan pada hasil akhir dari tindakan. Ross mengkritik
konsep kewajiban menurut Kant. Dari perspektif Ross, justru dari pilihan antara
kejujuran dan kematian, kita memiliki pemahaman bahwa nyawa seseorang jauh lebih
mendesak untuk didahulukan.
Ide moral semacam ini disebut oleh Ross sebagai Prima Facie. Menurut Ross,
Prima facie menunjukan bahwa sesungguhnya pada pandangan awal yang muncul
adalah situasi moral yang hanya kemunculan semata, tetapi apa yang dimaksud
dengan Prima Facie adalah situasi moral yang dapat ditelaah secara objektif.5
Penelaahan secara objektif yang dimaksud oleh Ross adalah bahwa pada faktanya
manusia memiliki kecerdasan untuk membandingkan pilihan moral manakah yang
paling menyebakan kebaikan utama. Melalui cara ini, menurut Ross, maka kita dapat
menghindarkan generalisasi yang dapat mengakibatkan keburukan, seperti dalam
contoh menyampaikan kejujuran yang mengakibatkan kematian bagi orang lain.
Prima Facie menekankan tentang bagaimana seseorang merefleksikan pilihan-pilihan
moralnya, sebelum ia bertindak.
Ross menyebutkan tentang berbagai macam kewajiban yang membutuhkan
pertimbangan individu dalam kejadian-kejadian aktual, ia menyusunya sebagai
berikut: (1) fidelitas (kesetiaan) atau yang menyangkut perihal bagaimana seseorang
memegang janji atau komitmennya; (2) kewajiban atas rasa terimakasih ketika kita
berkewajiban atas jasa yang sudah ditunjukan oleh orang lain; (3) kewajiban
berdasarkan keadilan; hal ini menyangkut perihal pembagian yang merata yang
berhubungan dengan kebaikan orang banyak, (4) kewajiban beneficence, atau
bersikap dermawan, dan menolong orang lain sebagai tanggung jawab sosial, (5)
kewajiban untuk merawat dan menjaga diri sendiri, (6) kewajiban untuk tidak
menyakiti orang lain.
Enam tipe dari Prima Facie yang dijelaskan oleh Ross menunjukan bahwa dalam
kondisi-kondisi tertentu kita kerap terbentur untuk memutuskan di antara pilihanpilihan moral. Dalam suatu situasi yang amat mendesak, Ross menekankan pada
kemampuan intuitif manusia untuk mengambil keputusan. Keputusan ini ditujukan
untuk mencari tahu pilihan manakah yang dimungkinkan menyebabkan kebaikan
yang tertinggi. Pertimbangan intuitif ini bagi Ross sangat vital karena intuisi bukanlah
5

Ibid. bagian W.D Ross, hlm. 407

153

pertimbangan yang serampangan, tetapi pertimbangan yang menggunakan segala


aspek kecerdasan dan sensibilitas individu. Dengan demikian maka ia dapat
menghindarkan dirinya dari pilihan yang menyebabkan keburukan untuk dirinya
maupun terhadap orang disekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA
Borchert, Donald M (Ed.). 2006. Encyclopedia of Philosophy Vol. III. Farmington
Hills: Thomson Gale
Callcut, Daniel. 2009. Reading Bernard Williams. London dan New York:
Routledge
Debashis, Guha. 2007. Practical and Professional Ethics Vol. 1: The Primer of
Applied Ethics. New Delhi: Concept Publishing Co
Graham, Gordon. 2010. Theories of Ethics: An Introduction to Moral Philosophy with
a Selection of Classic Readings. London dan New York: Routledge
Hinman, Lawrence M. 2012. Ethics: A Pluralistic Approach to Moral Theory.
California: Wadsworth Publishing
154

Johnson, Oliver A. dan Reath, Andrews. 2011. Ethics: Selections from Classic
and Contemporary Writers. California: Wadsworth Publishing
Kagan, Shelly. 1997. Normative Ethics. New York: Dimensions of Philosophy
Kitchener, Karen Strohm. 1999. Foundations of Ethical Practice, Research, and
Teaching in Psychology and Counseling. London: Lawrence Erlbaum
Associates
Lee, Keekok. 1985. A New Basis for Moral Philosophy (International Library of
Philosophy). London: Routledge Kegan & Paul
MacIntyre, Alasdair. 1997. A Short History of Ethics: A History of Moral Philosophy
from the Homeric Age to the Twentieth Century. London dan New York:
Routledge
Pritchard, Michael S. 2012. What is Ethics?. Michigan: Department of Philosophy,
Western Michigan University & Theodore Goldfarb
Sidgwick, Henry. 2004. Outlines of the History of Ethics. Montana: Kessinger
Publishing
Tnnsj, Torbjrn. 2008 Understanding Ethics: Introduction to Moral Theory.
Edinburgh: Edinburgh University Press
Williams, Bernard. 2006. Ethics and the Limits of Philosophy. London dan New
York: Routledge
Cottingham, John. 1996. An Anthology: Western Philosophy. UK: Blackwell
Publisher
Singer, Peter. 1993. Practical Ethics. New York: Cambridge University Press.

155

Anda mungkin juga menyukai