SISTEM TRANSPORTASI
DISUSUN OLEH:
M. GEVIN ARDI
( 1207121334 )
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
BAB 3
BAB 4
...
...
22
DAFTAR PUSTAKA
52
56
BAB 1
PENDAHULUAN
Pelabuhan memainkan peran yang sangat strategis dalam kebijakan ekonomi
yang mengandalkan surplus perdagangan luar negeri (ekspor) dari sektor non migas.
Dilihat dari berbagai perspektif, pelabuhan memainkan fungsi strategis seperti: as an
industry, as a service to trade, as a security dan fungsinya sebagai a market for
subsidiary services.
1.1. Peran strategis pelabuhan juga dapat dilihat dalam menciptakan efisiensi usaha
melalui kontribusi pelabuhan dalam melakukan penekanan terhadap distribution
cost yang akan berdampak pada daya beli, daya saing, dan multiplier effect
terhadap pertumbuhan dan pendapatan nasional. Pelabuhan merupakan sarana
penghubung utama antara pusat distribusi, produksi dan pasar baik untuk skala
global maupun regional. Pemisahan yang tegas antara fungsi produksi dengan
distribusi dan transportasi yang mengarah pada spesialisasi akan dapat
meningkatkan daya saing produk. Konsentrasi masing-masing bidang sesuai
dengan kompetensi keahlian akan menjadikan sistem produksi, distribusi dan
transportasi menjadi lebih efisien, cepat, terkoordinir dan efektif, sehingga barang
dapat diterima tepat waktu.
1.2. Sistem
pengelolaan
pelabuhan
di
Indonesia
dilakukan
dalam
upaya
pelabuhan.
Sasaransasaran
pengelolaan
pelabuhan
seperti
3
peningkatan efisiensi dan produktivitas akan sulit tercapai jika peranan antar subsistem pengelolaan pelabuhan tidak diatur dengan sebaik-baiknya.
Oleh karenanya, pemerintah telah berupaya memberikan jaminan kepastian
hukum atas pelaksanaan pengelolaan pelabuhan dengan memberikan payung hukum
melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sampai digantinya
undang-undang pelayaran tersebut menjadi UU No. 17 Tahun 2008, serta berbagai
ketentuan pelaksanaannya dalam berbagai level peraturan, mulai dari Peraturan
Pemerintah sampai kepada level Keputusan Menteri dan peraturan teknis lainnya.
Banyak perkembangan baru dalam bidang kepelabuhanan yang diatur dalam
UU 17 Tahun 2008 yang satu sisi menguntungkan ekonomi nasional namun tidak pula
berdampak negatif terhadap pengusaha pelayaran nasional, misalnya dalam UU
Pelayaran baru, adanya pemisahan antara fungsi regulator dan operator dalam
pengelolan pelabuhan, yang selama ini berada pada satu tangan, yaitu PT. Pelindo.
Pemerintah membentuk Badan Pengelola Pelabuhan (BPP) sebagai regulator di
pelabuhan komersial.
Sedangkan pelabuhan non komersial akan dikelola Unit Penyelenggaraan
Pelabuhan (UPP). Sementara, fungsi operator diberikan kepada perusahaan BUMN
(Pelindo), BUMD, atau perusahaan swasta. Selanjutnya menurut pemerintah peran
swasta asing yang dibatasi dalam undang-undang pelayaran yang baru ini, dengan
penerapan asas cabotage. Namun hal tersebut berdampak pula menjadi akan banyak
pengusaha pelayaran nasional yang justru menaruh bendera asing pada kapalkapalnya,
karena bendera Indonesia identik dengan mahal.
Hal ini pada tahap selanjutnya memungkinkan terjadinya capital flight yang
seharusnya masuk ke devisa Indonesia tetapi justru terbang ke negara lain. Bagi para
Pengusaha
Pelayaran
Nasional
Payung
regulasi
undang-undang
ini
dapat
menguntungkan. Namun itu hanya bersifat sementara. Dalam jangka pendek pengusaha
bisa mendapatkan keuntungan yang berlipat. Mereka akan mengalihkan kapal mereka
dari berbendera asing ke bendera dalam negeri.
Selanjutnya untuk investasi swasta asing, misalnya, akan dibatasi penguasaan
sahamnya maksimal 49 persen dengan konsesi pengelolaan selama 30 tahun. Dengan
4
BAB 2
KEPASTIAN DAN KETIDAKPASTIAN HUKUM
USAHA BONGKAR MUAT
Selain itu, pembangunan oleh swasta juga harus mengikuti rencana induk
pelabuhan nasional yang tengah disusun pemerintah. Dari sekian banyak peraturan di
atas tentunya yang diharapkan seluruh stakeholder adalah peraturan yang tegas,
menjamin kepastian hukum dan tidak overlapping. Seperti di dalam UU No. 17 Tahun
2008 adanya indikasi bahwa penghapusan monopoli PT. Pelindo akan menyebabkan
terbukanya peran swasta yang lebih luas dibanding sebelumnya, karena investor bias
menjadi operator di pelabuhan-pelabuhan yang belum dikuasai oleh PT. Pelindo.
Walaupun pemerintah berdalih, bahwa pemerintah masih memiliki fungsi kontrol dan
regulator, misalnya dalam hal penentuan tarif. Jadi, banyak peraturan pelaksana dari
Undang-Undang sering menimbulkan overlapping dan kekaburan dalam penataan
tugas dan fungsi pihak-pihak yang terkait pada tingkat instansi, Badan Usaha Pelabuhan
(BUP) dan Badan Hukum Indonesia (BHI), sehingga tidak mendukung iklim usaha di
pelabuhan. Berikut ini beberapa pandangan yang berkaitan dengan kepastian hukum
usaha bongkar muat, yaitu:
2.1. Dukungan Hukum dan Peran Dunia Usaha Bongkar Muat dalam
Pembangunan Nasional
Outward looking policy yang diterapkan Indonesia sejak lebih kurang tahun
1986 telah mendorong cukup signifikan pertumbuhan volume bongkar muat di
pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Pada tahun 1986 total kegiatan muat barang
(loading) untuk kegiatan pelayaran antar pulau dan internasional masing-masing
sebesar 45.816.405 ton untuk kegiatan antar pulau dan sebesar 63.588.649 ton
untuk internasional. Sedangkan kegiatan bongkar (unloading) sebesar 56.290.479
ton untuk kegiatan perdagangan antarpulau dan sebesar 20.302.445 ton untuk
perdagangan internasional.
Jumlah ini meningkat terus, sampai pada tahun 2003 jumlah total kegiatan
bongkar untuk kegiatan antar pulau sebesar 170.201.242 ton dan kegiatan
bongkar untuk kegiatan pengangkutan internasional sebesar 53.776.870 ton.
Sementara untuk kegiatan muat sebesar 137.949.398 ton untuk antar pulau dan
untuk internasional kegiatan muat mencapai angka sebesar 163.339.487 ton.
Peran usaha bongkar muat dalam hal ini sangat strategis karena bagaimana
pun juga kelancaran arus keluar masuknya barang baik untuk kegiatan antar pulau
maupun untuk kegiatan perdagangan internasional akan terganggu jika tidak
didukung oleh kegiatan unit usaha bongkar muat. Iklim usaha perdagangan
nasional menjadi kurang menarik jika unit usaha bongkar muat mengalami
sejumlah kendala.
Ironisnya peran strategis unit usaha bongkar muat tersebut dijalankan justru
dalam keadaan kurang mendukungnya piranti hukum yang mengatur usaha
bongkar muat di Indonesia. Kurang mendukungnya piranti hokum dalam hal ini
bukanlah dalam pengertian kuantitatif, karena secara factual banyak sekali
peraturan-peraturan yang mengatur eksistensi unit usaha bongkar muat.
Namun secara kualitatif, berbagai peraturan tersebut justru menciptakan
keadaan ketidakpastian bagi dunia usaha bongkar muat. Peraturan yang silih
berganti dengan membawa sejumlah persyaratan dan kondisi yang berubah-ubah
mengaburkan dimensi stability dan predictability dari unit usaha bongkar muat.
Keadaan yang demikian sangat menyulitkan pelaku usaha untuk memahami arah
pergerakan pembangunan sector angkutan laut pada umumnya, khususnya untuk
sektor usaha bongkar muat yang ingin dituju oleh pemerintah.
Konsekuensinya pelaku usaha dalam sektor usaha ini mengalami
kesulitan menyusun business plan untuk pengembangan usaha, karena adanya
keragu-raguan sebagai akibat dari kondisi dunia usaha yang sulit diprediksi.
Kondisi ini semakin diperburuk pula oleh substansi antar level peraturan yang
tidak sinkron satu dengan yang lain, bahkan menunjukkan gejala pertentangan
substansi antara level peraturan yang lebih tinggi dengan tingkatan yang lebih
rendah.
7
PPSA yang baik, sehingga sering kali terjadi penempatan kapal yang tidak sesuai
dengan kesiapan barang yang mengakibatkan terjadinya biaya long distance dan
kecenderungan angkutan langsung.
kapal, baik untuk kapal nasional maupun kapal asing yang diageni oleh Perusahaan
Angkutan Laut Nasional. Sedangkan untuk Perusahaan Angkutan Pelayaran di
dalam pasal 3 ayat (3) dinyatakan bahwa: Perusahaan angkutan laut nasional dapat
melakukan kegiatan bongkar muat barang terbatas hanya untuk kapal milik dan
atau kapal yang dioperasikan secara nyata/charter terhadap barang milik
penumpang, barang curah cair yang dibongkar atau dimuat dilakukan melalui pipa,
barang curah kering yang dibongkar atau dimuat melalui conveyor atau sejenisnya,
barang yang diangkut melalui kapal Ro-Ro dan semua jenis barang di pelabuhan
yang tidak terdapat pada Perusahaan Bongkar Muat, sehingga pemisahan antara
Perusahaan Pelayaran dan Perusahaan Bongkar Muat (PMB) mulai terlihat.
2.4. Ketidakpastian Hukum Usaha Jasa Bongkar Muat.
2.4.1. Pertentangan Substansi antar Peraturan
UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran berupaya menciptakan
profesionalisme pengelolaan pelabuhan dengan menetapkan fungsi yang
tegas dari instansi pemerintah, penyelenggara pelabuhan (BUP) dan badan
hukum Indonesia (BHI)/Perusahaan Bongkar Muat. Kemudian dilakukan
pemisahan yang tegas antara fungsi pokok dan fungsi usaha penunjang,
sehingga terdapat batasan yang jelas tentang hak dan kewajiban
masingmasing aktor yang terlibat dalam usaha pengelolaan pelabuhan.
Dengan model spesialisasi seperti ini BHI/Perusahaan Bongkar Muat
memiliki kemungkinan untuk dikembangkan secara profesional, karena
didukung oleh jaminan kepastian terhadap eksisten dan kemandirian usaha.
PP No. 70 Tahun 1996 sebagai peraturan pelaksana kemudian
menempatkan peran aktif dan partisipasi BHI (baca PBM) melalui
kerjasama saling menguntungkan dalam posisi yang sejajar dengan BUP.
Namun dengan dikeluarkannya SK Menhub No. 26 Tahun 1998
sebagai tindak lanjut dari PP No.70 Tahun 1996, maka sebagian besar
kaidah-kaidah hukum yang mengatur peran dan fungsi BHI, bentuk
kerjasama, ganti rugi dan pelayanan pelabuhan menjadi rancu dan kabur.
Kekaburan ini berasal dari ketentuan Pasal 1911 dan Pasal 2012 SK
Menhub yang justru telah memberikan peran dan fungsi yang sangat
dominan dari BUP sebagai pemegang lisensi dan konsesi atas pengelolaan
14
pelabuhan umum. Bagi BHI (baca PBM) hal ini sangat berdampak, karena
hampir semua usaha di pelabuhan dimonopoli oleh BUP, termasuk usaha
bongkar muat. Akibatnya semakin kabur kepastian hukum dalam
menjalankan usaha bagi PBM di pelabuhan.
Partisipasi PBM dan kegiatan operasional pelabuhan berdasarkan
PP No. 70 Tahun 1996 dan Kepmenhub RI No. 26 Tahun 1998 hanya
mungkin dilakukan apabila disetujui oleh BUP dengan dasar kerjasama
yang saling menguntungkan. Dalam keadaan yang demikian seluruh bidang
usaha di pelabuhan dimungkinkan dikelola oleh BUP secara monopoli, dan
dengan demikian status BHI tidak lebih berperan hanya sebagai subsistem
BUP yang bisa berperan aktif jika dibutuhkan BUP (pola operating port).
Tendensi adanya usaha monopoli oleh Pihak BUP yang
mengambil captive market yang dibangun dan dibina secara susah payah
dan sudah berlangsung sejak lama oleh BHI secara bertahap akan diambil
alih oleh BUP dengan sejumlah program-program yang dijanjikan kepada
pemakai jasa/atau investor yang datang ke pelabuhan dengan membawa
modal, tetapi belum memiliki pasar yang tetap. Dalam keadaan seperti ini
akan sangat memungkinkan bahwa lambat laun BHI akan semakin
tersingkir dari usaha kepelabuhanan.
Dengan demikian kondisi yang diciptakan oleh PP No. 70 Tahun
1996 dan Kepmenhub RI No. 26 Tahun 1998, yang memungkinkan peran
dominan dari BUP bertentangan dengan semangat atau jiwa dari UU No.
21 Tahun 1992 yang didasarkan pada prinsip profesionalitas dengan
penataan yang tegas peran dan fungsi aktor-aktor di pelabuhan (Pemerintah,
BUP dan BHI).
Ketentuan yang bertentangan dengan jiwa UU No. 21 Tahun 1992
juga dapat ditemukan dalam PP No. 82 Tahun 1999 tentang Angkutan Di
Perairan. PP ini membenarkan usaha pelayaran dalam dan luar negeri
melakukan usaha bongkar muat penumpang dan barang. Dengan kata lain
PP
ini
telah
memunculkan
kembali
sistem
pengelolaan
yang
15
b) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
c)
f)
g) Tally mandiri.
h) Depo peti kemas.
i)
j)
16
kesempatan
dan
kemudahan
berusaha,
terlihat
dari
19
21
BAB 3
PENGEMBANGAN SISTEM TRANSPORTASI INTERMODA
3.1. Pertumbuhan sektor ekonomi dan sektor-sektor lain di Indonesia akan terus
didorong oleh laju industri dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Dalam
hubungan ini sektor transportasi berperan sangat penting dan menentukan sebagai
urat nadi kehidupan dan perkembangan ekonomi, sosial, politik dan menunjang
mobilitas barang dan manusia, yang terus tumbuh sebagai akibat perkembangan
berbagai sektor. Pengembangan
Hal ini
23
I.
Pengertian Umum
1.
atau
pengi-rim ke
pelabuhan asal.
b. Truk dari lokasi pengirim ke dry port untuk konsolidasi, kemudian
dengan truk/ kereta api diteruskan ke pelabuhan asal
I.1.2. Dari pelabuhan asal dilakukan handling (muat) dan diangkut dengan
kapal ke pelabuhan tujuan.
I.1.3. Di pelabuhan tujuan
skala
mikro
Pemakai jasa
Perhitungan Biaya
Dalam
hubungan
barang seperti bahan mentah, bahan baku atau barang jadi, tidak terbatas
dilakukan dalam satu negara, tetapi menyangkut lebih dari satu negara dan
meliputi lebih dari satu fungsi atau kegiatan ialah : transportasi, pengemasan,
penyimpanan/ pergudangan, asuransi, order processing, komunikasi dan
inventory.
Berkaitan dengan hal ini maka penghitungan biaya angkutan
intermoda dilakukan secara total cost approach, untuk meminimalkan biaya
door to door (bukan biaya angkutan murni). Total cost menyangkut monetery
cost dan juga time related cost. Dalam memilih kombinasi moda transport
25
Manfaat
Transportasi intermoda sebagaimana dikemukakan terdahulu dapat
memberikan manfaat/ keuntungan baik bagi pemilik barang, operator
angkutan maupun pemerintah, sebagai berikut :
I.3.1. Bagi Pemilik Barang (shipper,consignee) :
I.3.1.1. Jangka waktu penyerahan barang relatif pendek
I.3.1.2. Biaya total relatif rendah
I.3.1.3. Keselamatan barang, jadual angkutan dan biaya terkendali
I.3.1.4. Hanya satu penanggungjawab dalam arti reponsibility
terhadap pemilik barang.
I.3.2. Bagi Operator Angkutan
I.3.2.1. Mempermudah perhitungan biaya transport serta menghemat
biaya-biaya tertentu seperti packaging cost, biaya bunga dan
premi asuransi
I.3.2.2. Menyederhanakan administrasi dokumen arus barang
I.3.2.3. Menghemat waktu pada kegiatan transit meliputi antara lain
transhipment/ bongkar muat, penyimpanan/ pergudangan dan
menyederhanakan handling serta meminimalkan kerusakan
barang.
I.3.3.
Bagi Pemerintah
I.3.3.1. Memperlancar distribusi barang dan jasa ke seluruh wilayah
Negara
I.3.3.2. Mendorong peningkatan daya saing produk nasional dan
ekspor serta meningkatkan penerimaan devisa
I.3.3.3. Meningkatkan penggunaan infrastruktur nasional serta
pengawasan terhadap rantai transportasi
I.3.3.4. Mempermudah pelaksanaan prosedur pajak pada kegiatan
perdagangan.
I.4.
Penyelenggaraan
26
Carrier (NVOCC).MTO-VOCC
umumnya
berstatus BUMN, perusahaan swasta dan koperasi. Salah satu BUMN yang
menyandang predikat perusahaan jasa pengurusan transportasi atau Freight
Forwarder ialah PT. Varuna Tirta Prakasya . Penyelenggaraan transportasi
intermoda pada umumnya melibatkan beberapa pihak sebagai berikut :
I.4.1. Carrier, meliputi pemilik/ pengelola angkutan jalan raya, kereta api,
pelayaran,
penerbangan,
dan
angkutan
sungai
danau
dan
penyeberangan (ASDP).
I.4.2. Non Carrier, meliputi pergudangan, terminal peti kemas CFS
(Container
Freight
Station),
pengepakan, pengurusan
Depo
konsolidasi,
perusahaan
Memberikan kepuasan
termasuk
diperlukan
bagi
operasinya.
28
I.5.2.2.
I.5.2.3.
I.5.2.4.
Dokumen Angkutan
Dokumen
yang
dimaksud
membuktikan
adanya
kontrak
III.
30
II.1.1.
II.1.2.
Tuntutan ganti rugi atas barang yang diangkut oleh moda transport
darat dalam praktek sulit diselesaikan secara memuaskan, terutama
pada angkutan truk.
II.1.3.
II.1.4.
pertumbuhan rata-rata pada tahun 1995 s.d 1997 tercatat 19,9 % per
tahun , sebagaimana tampak pada Tabel-2.
Hal ini menunjukan bahwa walaupun peraturan perundangundangan tentang intermoda dan lembaganya belum ada di Indonesia,
namun freight forwarder nasional telah melakukan kegiatan
transportasi intermoda dan bertindak sebagai operator transportasi
internasional, dengan menggunakan berbagai dokumen atau kontrak
yang berlandaskan hukum dan konvensi internasional.
Sejalan dengan situasi belum adanya perundang-undangan
serta penyelenggaraan serta pemantauan khusus terhadap kegiatan
transportasi intermoda maka belum dirasakan kebutuhan adanya
penanganan khusus untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan
serta pengembangan sistem transportasi intermoda di Indonesia.
Dari pengalaman di negara maju yang telah melaksanakan STI
nampaknya diperlukan adanya suatu badan/ komite bersama
(pemerintah, penyelenggara, pemakai jasa) untuk membina dan
mengawasi penyelengggaraan dan pengembangan STI secara
mantap.
31
II.2.2.
II.2.3.
II.2.4.
hinterland masih diperlukan penambahan jalan dan sarana trucking dan kereta
api secara selektif sesuai asal tujuan dan komoditas yang diangkut.
Di
samping itu dry port yang telah ada di Gedebage, Solo Jebres dan lain-lain
masih perlu pula ditingkatkan dan ditambahkan di daerah lain.
II.3. Kepabeanan dan Asuransi
Fungsi kepabeanan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Kantor Bea
dan Cukai pada umumnya dapat dikatakan cukup siap dalam menunjang
pelakasanaan STI. Berdasarkan kajian Badan Litbang Dephub, Bea dan Cukai
secara konsisten dan berkesinambungan terus mengikuti perkembangan
perdagangan dan transportasi internasional khususnya dalam penyelenggaraan
transportasi intermoda. Beberapa hal perlu dikemukakan antara lain :
32
II.3.1.
II.3.2.
Peningkatan pelayanan
II.3.4.
II.3.5.
II.3.6.
Tenaga administrasi dalam berbagai bidang antara lain perundangundangan internasional, pengorganisasian segmen operasi, akuntansi
biaya, pengurusan jasa transportasi/ freight forwarding, asuransi,
33
Tenaga operasi
yang
memiliki
peranan
dalam
menjalin
hubungan
ini
transportasi
intermoda/
multimoda
diharapkan
Dalam
dapat
II.5.2.
II.5.3.
II.5.4.
35
penyelenggaraan
dan
penyediaan
jasa
transportasi
serta
Dalam
transportasi
laut
memiliki
karakteristik
antara
lain
37
III.2.2. Penentuan pangsa pelayanan antar moda transport untuk tiap lintasan
transportasi ditentukan berdasarkan variabel dan volume angkutan
agar tercapai biaya angkutan yang minimal.
III.2.3. Pengembangan dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan atau
prinsip dasar hierarkhis,
pengembangan wilayah.
III.2.4. Dalam
jangka
menengah
dan
jangka
panjang
perlu
fasilitas
finansial,
tarif,
pengurangan
intervensi,
38
Melaksanakan
Pentarifan
sesuai
mekanisme
pasar
secara
bertahap
-
mutu
kehidupan
masyarakat
serta
39
Keselamatan (safety) :
Mengupayakan keselamatan dan kesehatan
masyarakat dengan cara kerja yang secara
konsisten menuju penghapusan/pengurangan
kecelakaan, kerusakan dan kematian dalam
penyelenggaraan transportasi.
III.3.1.2.2.
Mobilitas (mobility) :
Menjamin
terselenggaranya
system
transportasi
yang
efisien
dan
fleksibel.
III.3.1.2.4.
III.3.1.2.5.
serta
transportasi
kemungkinan
untuk
mobilisasi
keperluan
bank.
strategis
sektor
transportasi
lain
sasaran
dengan
strategis
berpedoman
yang
telah
program-program
yang
secara
dalam
penyusunan
renstra
tekad/komitmen
bersama terhadap beberapa nilai dasar yang akan dianut dalam upaya
mewujudkan penyelenggaraan Sistranas. Nilai-nilai dasar berikut ini
dapat dipertimbangkan, antara lain :
III.3.2.1. Menjamin bahwa seluruh kegiatan aparatur akan diarahkan
kepada upaya memperbaiki tingkat keselamatan dan
kualitas hidup para pemakai jasa transportasi.
III.3.2.2. Mendengar,
keputusan
dengan
tetap
menghargai
III.3.2.5.2.
41
III.3.2.5.3.
III.3.2.5.4.
III.3.2.5.5.
III.3.2.5.6.
perundang-undangan
nasional
mengenai
aspek
perlu
dibahas
dan
ditetapkan
42
sistem
pembinaan
SDM
untuk
melalui
penggabungan
secara
sinergis
43
penggunaan
berbagai
alat
reformasi,
seperti
menekankan
kepada
langkah-langkah
restrukturisasi,
konteks
restrukturisasi,
reformasi
BUMN
44
ideal
perusahaan
reformasi
multinasional
gelombang
Indonesia
II
ialah
berukuran
45
Company
merupakan
salah
satu
bentuk
pengembangan
secara
terpadu
prasarana/sarana
49
pelabuhan
umum
dilakukan
oleh
50
navigasi
penerbangan
dilakukan
oleh
dapat dilimpahkan
dari
Pemerintah.
Peluang swasta nasional/Badan hukum Indonesia (termasuk BUMN)
dalam penyelenggaraan MTO belum di atur dalam peraturan perundangan
tertentu, sehingga perlu dipersiapkan pengaturannya dalam
kaitan
pengembangan STI.
Meskipun demikian dengan memperhatikan peraturan perundangan
transportasi
yang
telah
ada,
dapat
diperkirakan
bahwa
peluang
51
BAB 4
ANGKUTAN UMUM MULTIMODA, ALTERNATIF PERENCANAAN
TRANSPORTASI YANG SUSTAINABLE
Bagaimana menciptakan angkutan umum yang nyaman efisien dan efektif
senyaman angkutan pribadi, sehingga dapat menarik penumpang angkutan pribadi
(mobil, motor) menjadi penumpang angkutan umum secara tetap. Langkah dan
terobosan untuk ini dikenal dengan melakukan sistem angkutan umum yang terpadu
(multimoda), terkombinasikan dengan baik, efisien dan efektif sehingga orang dapat
berpindah dari satu jenis angkutan ke angkutan lainnya dengan cepat, murah dan
nyaman.
Bagaimana membuat pergantian dari satu jenis angkutan umum (moda) ke
angkutan umum lainnya dengan cepat? Kemudian, bila melihat posisi negara
berkembang sekarang, dengan segala keterbatasan dan kekurangan sistemnya,
bagaimana angkutan umum dapat dikembangkan? Sebaiknya angkutan umum tidak
dikembangkan secara unimodal, tetapi sudah dipersiapkan kearah multimodal. Karena
apa? Bila pengembangan angkutan umum seperti saat ini, dengan konsep unimodal,
maka akan terjadi banyak kendala pada pelaksanaannya nanti. Orang malas
menggunakan angkutan umum karena sulit pada saat pergantian moda, waktu
menunggu yang lama, tempat pergantian yang tidak nyaman, jumlah pergantian
angkutan yang tidak menentu dan akhirnya menyuburkan tumbuhnya angkutan umum
yang tidak resmi seperti ojek, dsb.
Penelitian penelitian yang berkembang menunjukkan bahwa belum ada kajian
angkutan multimoda secara komprehensif, sebagian hanya mencakup satu atau dua
aspek multimoda saja. Untuk Negara maju hal ini tidak terlalu menjadi masalah karena
angkutan umum mereka yang uni moda (tidak terintegrasi) saja sudah mempunyai
system jadwal, peraturan pelayanan, system pembayaran, infrastruktur dan jaringan
yang baik. Sebaliknya, di Negara berkembang dimana system angkutan unimoda saja
belum sempurna, perlu penerapan system multimoda yang mencakup semua komponen
multimoda. Oleh sebab itu dikembangkan konsep bahwa angkutan
52
54
4.5. Fasilitas peralihan antar moda dengan jaringan berbeda (Intermodal Tranfer
Point)
Fasilitas Intermodal Transfer Point adalah sangat penting karena
merupakan titik sambung antara dua jenis moda dari dua jenis jaringan yang
berbeda. Contohnya antara jaringan sungai dan jaringan jalan, atau kereta
api.
55
DAFTAR PUSTAKA
-
http://expressclass.blogspot.com/2009/02/usaha-peningkatan-sdmtenaga-kerja.html
http://bpptpm.babelprov.go.id/content/izin-usaha-bongkar-muat
http://sik.dephub.go.id/portal/eselon/mahkamah_pelayaran/index.php/9
1-halaman/slides/83-visi-misi-biro-keuangan
http://adiepaddi.blogspot.com/2013/09/transportasi-multimoda-danintermoda.html
http://masranto.blogspot.com/2008/08/angkutan-multimoda.html
56